Personal Branding Dan Kekuasaan Politik Di Kabupaten Luwu Utara
Personal Branding Dan Kekuasaan Politik Di Kabupaten Luwu Utara
Personal Branding Dan Kekuasaan Politik Di Kabupaten Luwu Utara
Nila Sastrawati
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
Abstract
The Research of Personal Branding and Political Power in Luwu Utara
Regency is a descriptive qualitative research that focuses on Brand
personality is closely related to the modalities of the contestants in
addition to political modalities or political party support. In obtaining
research data, interviews related to community responses to personal
branding by political contestants. In addition to interviews, document
studies especially previous research is helpful in completing the
required data.
The results show that political contestants are influenced by modalities
in building their brand personality. Such modalities include social
modalities, economic modalities, and cultural modalities. Social
modalities are related to the intensity of contestant interactions with
their constituents. Economic modality is related to ownership. The
assumption is established in the community that an established future
leader has the opportunity to help the community easily and does not
depend on the sponsor. Contestants who build larger networks with
sponsors will share power based on the amount of cost or cost incurred.
Cultural modalities are related to actions, behavior and educational
background.
Public response to personal branding offered by the community can be
observed from; first, the intelligence of managing the potential of the
region as outlined in the vision and mission of the flagship. Second,
communication skills with a humanist approach. Third, the ability to
manage the emotional constituents especially for the women.
Keywords:
Personal Branding, Power, Politics
Abstrak
Penelitian Personal Branding dan Kekuasaan Politik di Kabupaten
Luwu Utara merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang berfokus
pada Brand personality sangat terkait dengan modalitas yang dimiliki
kontestan selain modalitas politik atau dukungan partai politik. Dalam
memperoleh data penelitian, dilakukan wawancara terkait respon
masyarakat terhadap personal branding yang dilakukan kontestan
A. PENDAHULUAN
P
olitik merupakan suatu wadah atau suasana mendukung keseimbangan minat
dan kebutuhan di satu sisi, namun di sisi lain politik juga menciptakan peluang
bagi ambisi pribadi atau pemuasan libido meniti tangga kekuasaan. Politik
adalah “seni kemungkinan” (the art of possibilities), apa yang tidak mungkin bisa
menjadi mungkin dalam politik. Dalam berpolitik terdapat kampanye, diplomasi, dan
negosiasi, dalam konteks inilah dibutuhkan kekuatan seni untuk meyakinkan. Politik
diyakini dapat merubah seseorang dari “nothing” menjadi “something”, setelah
dikemas menjadi menarik di atas panggung politik. Dalam konteks ini konsepsi
dramaturgi sering digunakan untuk memperoleh kesan yang baik bagi orang lain di
luar diri personal yang kemungkinan berbeda dengan realitas sesungguhnya.
Dunia realitas saat ini adalah dunia dengan entitas-entitas yang saling
berhubungan secara sistimatis. Ekonomi, hukum, seni, dan politik menyatu menjadi
sarana pemenuhan kebutuhan dan prestise. Libido kekuasaan melebur dalam bentuk
“citra”, sehingga tidak lagi dapat dibedakan antara realitas dengan citra yang
ditampilkan, antara kepentingan sub system lain dengan kepentingan kekuasaan,
antara kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kekuasaan politik. Realitas
tersebut memotivasi individu-individu untuk menggunakan berbagai macam cara
untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan politik sebagai sesuatu yang lumrah.
B. KERANGKA TEORITIK
Mengkaji personal branding dalam kajian kekuasaan politik, tidak terlepas dari
relevansi teori yang mendasari.
1. Image (Citra)
Abad informasi saat ini disebut juga sebagai abad “citraan” (the age of the image),
disebabkan realitas dunia yang dibangun oleh teknologi informasi muthahir disesaki
oleh citra-citra dengan beragam perwujudan. Abad citraan adalah abad dimana dunia
dikuasai oleh representasi dan yang nyata sesungguhnya adalah yang tampak
(termasuk simbol), bukan dibalik symbol.1
Politik pencitraan (imagology politic) lahir dari implikasi arus informasi dan
keterbukaan sistem politik melalui keterlibatan penuh masyarakat untuk ikut
menentukan dan mengawal jalannya pemerintahan. Realitas ini menyebabkan Partai
politik berlomba-lomba membangun citra yang baik,meskipun pencitraan tersebut
telah melampui realitas yang sesungguhnya2 .
Penggunaan “pencitraan” sebagai salah satu cara melanggengkan kekuasaan
berbanding lurus dengan mekanisme hasrat sebagai mesin penggeraknya. Hasrat
yang membentuk, menata, dibentuk berdasarkan kemauan dan keinginan sang
pembangun citra. Demikian halnya dengan pencitraan yang dibangun sebuah Partai
Politik dengan berdasarkan pada mesin politik yang dimiliki, hasrat kekuasaan
merupakan agenda penting yang harus terwujud.
Politik pencitraan telah menembus ruang-ruang yang telah diciptakan dengan
kondisi awal sebagai ruang netral bagi aktifitas sosial masyarakat dan terbebas dari
aspek politik. Ruang-ruang yang bebas dari pretensi dan kepentingan-kepentingan
individu maupun sekelompok orang selain kepentingan pemenuhan kepentingan
lahiriah dan batiniah sebagai makhluk sosial. Dalam konteks ini, pandangan Easton
bahwa politik adalah kekuatan maha dasyat dapat dimaklumi.
Pencitraan politik juga dapat dicermati dari realitas demokrasi sebagai pilar dari
sistem politik yang banyak dianut Negara-negara di dunia termasuk di Indonesia.
Piliang memandang demokrasi pada dua aspek yakni demokrasi sebagai realitas
kehidupan sosial sehari-hari, dan demokrasi sebagaimana ia direpresentasikan
sebagai citra (image) di dalam berbagai media informasi. Di satu pihak ada realita
demokrasi, dipihak lain terdapat citra demokrasi (image of democracy). Ketika realita
demokrasi berjalan secara mutual dengan citra demokrasi, maka akan terbentuk
demokrasi sempurna. Sebaliknya ketika citra demokrasi tidak sesuai dengan realita
demokrasi maka akan terbentuk demokrasi tak sempurna.
1
Piliang, Yasraf Amir, Postrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Post Metafisika, (Jalasutra,
Jakarta,2004) h.452
2
Pahmi, Politik Pencitraan, (Gaung Persada Press, Jakarta,2010) h.29
Kepercayaan
Jaringan
Modal Sosial
Norma
Tindakan
Sosial
3
Teori modal dicetuskan pertama kali oleh Piere Bourdieu. Disebutkan bahwa teori ini mempunyai ikatan
erat dengan persoalan kekuasaan. Oleh karenanya pemikiran Bourdieu terkonstruk atas persoalan dominasi.
Dalammasyarakat politik tentu persoalan dominasi adalah persoalan utama sebagai salah satu bentuk aktualisasi
kekuasaan. Pada hakikatnya dominasi dimaksud tergantung atas situasi, sumber daya (kapital) dan strategi pelaku.
Lihat, Abd. Halim, Politik Lokal; Pola, Aktor & Alur Dramatikalnya (Yogyakarta: LP2B, 2014), 108
4
Rahel Widyawati Kimbal, (Modal Sosial dan Ekonomi Industri: Sebuah Study Kualitatif, Deepublish:
Yogyakarta,2015), h.21.
5
Piliang, Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, (Matahari: Bandung 2011)
h.191-192
Kondisi yang menguntungkan akan tercipta baik oleh partai politik maupun
kontestan politik jika memiliki modal sosial dan modal capital karena keduanya saling
menguat. Ketika politisi dan partai politik memiliki reputasi dan kredibilitas yang
tinggi di masyarakat, maka akan lebih mudah mengakumulasi modal capital. Hal ini
dapat dilihat ketika partai atau kontestannya membutuhkan suntikan dana dari
pendonor, maka pendonor akan memberikan kepada siapapun yang memiliki
peluang besar untuk menang.6
Persaingan politik yang sangat ketat sangat memungkinkan partai politik dan
kontestan yang memiliki modal terbatas akan tersingkir dari kompetisi atau
pertarungan politik. Instrumen-instrumen sosialisasi dan kampanye politik yang
umum digunakan baik melalui media massa maupun kampanye terbuka
membutuhkan dana yang sangat besar.
Modal budaya sangat terkait dengan pemilikan individu terhadap benda-benda
material yang dianggap memiliki prestise tinggi, pengetahuan dan ketrampilan yang
diakui otoritas resmi dan kebiasaan (gaya pakaian, cara berbicara, selera makan,
bahasa tubuh dan sebagainya yang merupakan wujud dari posisi obyektif agen.7 Dari
pandangan tersebut dapat dikemukakan bahwa latar belakang pendidikan (komitmen
terhadap pendidikan), profesi, latar belakang keluarga kelas-kelas sosial merupakan
modal budaya.
3. Teori Tindakan Rasional
Prinsip dasar teori pilihan rasional berasal dari ekonomi neoklasik. Teori ini
menjadi popular ketika Coleman mendirikan jurnal Rationality and Society pada 1989
yang dimaksudkan untuk menyebarkan pemikiran yang berasal dari perspektif
pilihan rasional. Teori pilihan rasional menekankan pada tindakan rasional dari
individu atau aktor untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan tujuan tertentu dan
tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan (prefensi). Teori pilihan rasional
memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang
mempunyai tujuan atau mempunyai maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan
tindakannya tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor pun dipandang
mempunyai pilihan atau nilai, keperluan, yang penting adalah kenyataan bahwa
tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihannya.
4. Analisis Interaksi: Konsepsi Ervin Goffman
Usaha untuk mempelajari masyarakat dimulai dengan mengkaji hubungan
antara manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan luar.
Tindakan sosial yang melibatkan sejumlah individu memungkinkan untuk saling
memberikan isyarat atau respon, baik dari yang memberi rangsangan maupun
penerima dengan penggunaan bahasa. Tindakan tersebut memungkinkan keduanya
6
Firmansyah, Persaingan, Legitimasi Kekuasaan dan Marketing Politik: Pembelajaran Politik Pemilu 2009
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), h.LVIII
7
Sofyan Sjaf, Politik Etnik: Dinamika Lokal di Kendari (Yayasan Pustaka Obor, Jakarta 2014) h.70
untuk masuk ke dalam proses berpikir, percakapan antara individu dengan dirinya
sendiri untuk menentukan tindakan berikutnya
Individu dituntut untuk mampu memainkan sejumlah peran pada suatu situasi
yang berbeda. Disatu sisi, individu akan diperhadapkan pada situasi yang
kemungkinan cenderung bertentangan dengan pandangan subyektifnya dan
teraktualisasi dalam tindakan-tindakan. Di sisi lain, untuk menarik dukungan politik
individu melakukan interaksi intens dengan menggunakan instrumen-instrumen
politik (pengaruh dan simbol) dalam percakapan-percakapan tatap muka. Dalam
konteks ini, konsep “dramaturgi” Goffman sangat berperan besar dalam menganalisis
kemampuan individu memainkan peran, bahasa, dan simbol.
C. PEMBAHASAN
Kekuasaan Politik di Kabupaten Luwu Utara tidak terlepas dari dinamika politik
dengan intensitas persaingan politik yang cukup tinggi. Sebagai kabupaten yang
mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam aspek sosial ekonomi,
heterogenitas turut memberi kontribusi gerak partisipasi masyarakat termasuk dalam
aspek politik. Hal ini dapat dicermati pada pandangan Giddens8 bahwa heterogenitas
sesungguhnya bukan merupakan halangan, bahkan menjadi bagian penting yang
tidak dapat dipisahkan dari makna “cosmopolitan” yang sesungguhnya.
Partisipasi politik masyarakat menjadi bagian penting terciptanya kekuasaan
politik antara lain adanya efek simbiosis mutualisma antara kontestan dengan
konstituen. Pada posisi ini, dapat dicermati dua pola relasi politik yakni; pertama,
konstituen memegang kendali instrument-instrumen (pengaruh dan symbol) yang
dibutuhkan konstituen dan harus dipatuhi kontestan. Kedua, kontestan yang telah
mendesain instrument-instrumen politik dimana konstutuen hanya pada posisi
penyebar atau penerima.
Kedua pola tersebut menunjukkan adanya kesepakatan-kesepakatan
pemaknaan terhadap sesuatu yang dimaknai memberi keuntungan politik yang telah
disepakati antara kontestan dan konstituen. Konsepsi-konsepsi isu keadilan,
kesejahteraan, dan persamaan sebagai isu atau jargon politik baik partai maupun
konstituen, pada dasarnya membutuhkan modal politik sehingga isu atau jargon
politik dapat sampai ke masyarakat secara maksimal.
Demikian halnya di Kabupaten Luwu Utara. Meskipun penelitian ini tidak
memfokuskan pada kekuasaan kepala daerah sebagai jabatan politik tertinggi pada
sebuah daerah kabupaten, tetapi pertarungan politik pada ranah ini turut memberi
data konstruktif dalam mencermati bentuk dan penerapan personal branding pada
daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada persaingan politik pemilihan Kepala
Daerah yang memenangkan bupati perempuan pertama di Sulawesi Selatan.
8
Ketut Arya Mahardika, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial (Jakarta; Gramedia Pustaka, 2000)
Salah satu factor kemenangan Indah Putri Indriani mengalahkan Arifin Junaidi
yang merupakan pasangan pejabat daerah periode sebelumnya, adalah
kemampuannya mengolah potensi personal atau modal politik yang dimiliki. 9
Identifikasi modal politik yang digunakan Indah Putri Indriani, berikut ini.
Modal sosial merupakan salah satu modalitas yang dapat dipandang sebagai
investasi untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Menjaga keharmonisan
dengan masyarakat akan lebih mudah dilakukan bagi seorang pejabat politik
dibandingkan masyarakat melalui fasilitas-fasilitas sebagai pejabat politik yang
dimiliki. Hal ini sangat disadari Indah Putri Indriani ketika masih menjadi wakil
bupati mendampingi Arief Junaidi selaku bupati saat itu. Pemetaan tugas yang
dilakukan Arief Junaidi bagi dirinya dengan wakil bupati (Indah Putri Indriani) saat
itu justru menjadi keuntungan sendiri bagi wakil bupati. Dari wawancara yang
dilakukan, dikemukakan responden bahwa aktifitas sosial kemasyarakatan Indah
Putri Indriani sudah sejak lama. Pola komunikasi yang intens pada seluruh lapisan
masyarakat dibangun melalui kegiatan-kegiatan sosial, dan terpelihara sampai saat
ini.
Pola komunikasi yang dibangun turut memberi kontribusi bertahannya
konstituen yang loyalis. Isu-isu yang dibangun berorientasi pada pembangunan ke
depan, dan menghindari black campaign terhadap lawan politik. Hal ini berbeda
dengan konstestan lain dimana isu gender menjadi substansi utama dalam menjegal
lawan politiknya. Akibatnya, konstituen khususnya kaum perempuan justru berbalik
arah mendukung Indah Putri Indriani. Ini sangat menentukan apalagi Indah Putri
Indriani bukan putri asli daerah Luwu Utara. Indah Putri Indriani membranding
dirinya sebagai sosok perempuan cerdas, religious, dengan nilai-nilai kemanusiaan
yang elegan. Nilai ini ditunjukkan dengan tanpa sungkan menghadiri undangan
masyarakat dari agama yang berbeda.
Komunikasi dibangun pada seluruh elemen masyarakat menjadi modal
memperluas jaringan, khususnya dikalangan kelompok-kelompok masyarakat yang
tergabung dalam aktifitas sosial kemasyarakatan. Kemampuan mengidentifikasi
masalah sebagai hasil komunikasi intens dengan kelompok-kelompok masyarakat
dijadikan sebagai isu politik yang dilengkapi dengan argumentasi pemecahan
masalah. Pengalaman organisasi yang dimiliki sejak dibangku perkuliahan menjadi
modal dalam memperluas jaringan dan dukungan politik masyarakat.
Mencapai jabatan politik bukan hal yang mudah. Seseorang yang memiliki
modal sosial belum menjadi jaminan kemenangan politik, jika tidak memiliki
ketersediaan dana yang mencukupi. Realita ini mendorong setiap kontestan untuk
menyediakan dana baik dana pribadi maupun dari pihak pendukung (sponsor). Hasil
wawancara responden dikemukakan, bahwa pada umumnya responden lebih
bersimpati pada kontestan yang memang sejak awal memiliki ketersediaan dana
9
Tawakkal Baharuddin dan Titin Purwaningsih, Modalitas Calon Bupati Dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah Tahun 2015, Journal of Governance and Public Policy, Vol 4 No. 1 Februari 2017
pribadi, dibandingkan kontestan yang diketahui disokong oleh sponsor. Asumsi yang
terbangun dalam pikiran responden bahwa keterlibatan berbagai pihak terhadap
kontestan tertentu tidak menjamin untuk memberikan dananya kembali setelah
kontestan terpilih. Justru sebaliknya, akan menagih hasil sokongan mereka ke
kontestan.
Pada kasus jabatan politik di Luwu Utara, latar belakang sosial ekonomi
keluarga kontestan turut menjadi perhatian masyarakat. Terlahir dari keluarga yang
cukup memadai dalam aspek ekonomi, sokongan dana diperoleh dominan dari
keluarga. Profesi sebagai dosen yang berkiprah nasional mengindikasikan bahwa
anggaran yang dibutuhkan dapat terpenuhi.
Kemampuan seseorang membangun komunikasi politik yang baik salah satunya
dipengaruhi latar belakang pendidikan yang dimiliki dan dijadikan tolak ukur bagi
masyarakat untuk memberikan dukungan. Gaya berpakaian, cara bertutur, bahasa
tubuh menjadi bagian penting dalam membangun image pada kontestan.
Dibandingkan kontestan lain, seorang perempuan yang cerdas, cantik, peduli,
keibuan, mampu menjaga keutuhan rumah tangga, akan memperoleh respon positif
dari masyarakat.
Modalitas yang dikemas sebagai brand/image figure pada jabatan politik
Modalitas Unsur-unsur Brand/image
Kepercayaan
Kepeduliaan
Jaringan
Sosial Pengalaman
Nilai
Perluasan jaringan
Tindakan
Kepemilikan Modal Keberpihakan pada
Finansial
Pribadi masyarakat
Cerdas
Budaya Latar belakang keluarga Religius
Cantik
D. PENUTUP
Berdasarkan focus penelitian yang dijabarkan dalam dua pertanyaan dasar sebagai
rumusan masalah dalam penelitian ini, maka akan dikemukakan kesimpulan dari
hasil penelitian sebagai berikut:
1. Brand personality sangat terkait dengan modalitas yang dimiliki kontestan selain
modalitas politik atau dukungan partai politik. Modalitas tersebut meliputi
modalitas sosial, modalitas ekonomi, dan modalitas kultural. Modalitas sosial
terkait dengan intensitas interaksi kontestan dengan konstituennya. Semakin
intens interaksi yang terjadi semakin tinggi respon positif dari masyarakat.
Modalitas ekonomi terkait dengan kepemilikan. Asumsi yang terbangun dalam
masyarakat bahwa calon pemimpin yang mapan memiliki peluang membantu
masyarakat dengan mudah serta tidak menggantungkan kepentingan pada pihak
sponsor. Kontestan yang membangun jaringan lebih besar dengan sponsor akan
membagi kekuasaan berdasarkan besarnya cost atau biaya yang dikeluarkan.
Modalitas kultural terkait dengan tindakan, prilaku dan latar belakang
pendidikan. Tindakan, prilaku yang baik turut dipengaruhi latar belakang
pendidikan. Meskipun pendidikan tidak menjadi unsur utama, tetapi asumsi yang
terbangun dalam masyarakat bahwa dengan pendidikan yang dimiliki
menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengkomunikasi sesuatu secara
cermat dan tepat.
2. Brand personality yang dijadikan nilai jual politik tidak sepenuhnya menjadi
factor utama keberhasilan dalam meraih jabatan politik, jika tidak diiringi dengan
realitas sosial. Hal tersebut dapat dilihat dari kekalahan petahana dengan tag line
“mannessa” yang dimaknai dengan optimisme untuk menang. Brand personality
yang disusun petahana tidak mampu memperoleh dukungan masyarakat untuk
duduk pada periode kedua. Pemilahan tugas antara petahana dengan wakilnya,
menjadi kemenangan tersendiri bagi wakilnya (Indah Putri) karena interaksi telah
dilakukan sebelum dirinya mencalonkan diri sebagai Bupati kabupaten Luwu
Utara. Respon masyarakat terhadap personal branding yang ditawarkan
masyarakat dapat dicermati dari; pertama, kecerdasan mengelola potensi wilayah
yang dituangkan dalam visi dan misi unggulan. Kedua, kemampuan komunikasi
dengan pendekatan humanis. Ketiga, kemampuan mengelola emosi konstituen
khususnya bagi kalangan perempuan.
Daftar Pustaka