Studi Pembuatan Bakso Instan Dari Ikan GABUS (Ophiocephalus Striatus)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 76

STUDI PEMBUATAN BAKSO INSTAN DARI IKAN

GABUS (Ophiocephalus striatus)

Study of Making The Instant Meatball Snakehead


(Ophiocephalus striatus)

OLEH

NUR ALIYAH ZULKARNAIN

G 311 09 278

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
STUDI PEMBUATAN BAKSO INSTAN DARI IKAN
GABUS (Ophiocephalus striatus)

Study of Making The Instant Snakehead Meatball


(Ophiocephalus striatus)

Oleh

NUR ALIYAH ZULKARNAIN


G311 09 278

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada
Jurusan Teknologi Pertanian

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : STUDI PEMBUATAN BAKSO INSTAN DARI IKAN


GABUS (Ophiocephalus striatus)
Nama : NUR ALIYAH ZULKARNAIN
Stambuk : G 311 09 278
Program Studi : ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

Disetujui
1. Tim Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Jalil Genisa, MS Prof. Dr. Ir. Amran Laga, MS
NIP. 19500112 198003 1 003 NIP. 19621231 198803 1 020

Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui

2. Ketua Jurusan 3. Ketua Panitia


Ujian Sarjana

Prof. Dr. Ir. Hj. Mulyati M. Tahir, MS Dr. Ir. Nandi K.Sukendar, M.App.Sc
NIP. 19570923 198312 2 001 NIP. 19430717 196903 2 001

Tanggal Lulus : Januari 2014


Nur Aliyah Zulkarnain (G 311 09 278). Study of Making The Instant
Meatball Snakehead (Ophiocephalus striatus). Supervised by Jalil
Genisa and Amran Laga

ABSTRACT

Snakehead is one type of freshwater fish which has high protein content
(25,2 g), however the processing has not been developed due to less
favored of aroma and shape. Meatballs is one of processed meat
products. It is generally made from beef and chicken . Instant fishball
products are products produced by using freeze dryer so that the resulting
product is instant . This study aimed to determine the instant meatball
processing so that the snakehead can be accepted by consumers . The
research method which is the ratio of fish meat with flour tapimal ( tapioca and
maltodextrin ) is ( A1 ) 70 % : 30 % , ( A2 ) 60 % : 40 % and ( A3 ) 50 % : 50 % .
The meatballs were the best obtained 70 % : 30 % , 30 % tapimal where flour
was obtained from 24 g of flour and tapioca flour 6 g of maltodextrin ( 4:1 ) . Data
processing is descriptive quantitative . Instant meatballs are better than the
results obtained with fish meat ratio 70 % : 30 % tapimal flour ( A1 ) , of which 30
% was obtained from 24 g of flour and tapioca flour 6 g of maltodextrin ( 4 : 1 ) .
Proximate analysis covers 38.6 % moisture content , ash content of 0.06 % ,
32.45 % protein content , fat content 1.09 % , and the power of the best
rehydration treatment A3 is 5.45 % and organoleptic tests include sense 4.3 (
liked ) and texture 4.2 ( liked ).

Keywords : snakehead, meatball


Nur Aliyah Zulkarnain (G 311 09 278). Studi Pembuatan Bakso Instan
dari Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus). Dibawah bimbingan Jalil
Genisa dan Amran Laga

RINGKASAN

Ikan gabus merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang memiliki
kandungan protein yang tinggi (25,2 g), namun belum banyak
dikembangkan pengolahannya dikarenakan aroma dan bentuknya yang
kurang disenangi. Bakso ikan merupakan salah satu produk olahan
daging yang dibuat selain dari daging sapi dan ayam. Produk bakso ikan
instan adalah produk yang dihasilkan dengan memanfaatkan teknologi
pembekuan kering sehingga produk yang dihasilkan bersifat instan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan bakso instan
ikan gabus sehingga dapat diterima oleh panelis. Metode penelitian yaitu
perbandingan daging ikan dengan tepung tapimal (tapioka dan
maltodekstrin) yakni (A1) 70% : 30%, (A2) 60% : 40% dan (A3) 50% : 50%.
Bakso yang terbaik diperoleh yakni 70% : 30%, dimana tepung tapimal
30% diperoleh dari 24 g tepung tapioka dan 6 g tepung maltodekstrin
(4:1). Pengolahan data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Bakso
instan yang baik dari hasil penelitian diperoleh dengan perbandingan
daging ikan 70% : tepung tapimal 30% (A1), dimana 30% diperoleh dari 24
g tepung tapioka dan 6 g tepung maltodekstrin (4 : 1). Analisa proksimat
meliputi kadar air 38,6%, kadar abu 0,06%, kadar protein 32,45%, kadar
lemak 1,09%, dan daya rehidrasi terbaik perlakuan A 3 yaitu 5,45% serta
uji organoleptik meliputi rasa 4,3 (suka) dan tekstur 4,2 (suka).

Kata kunci : bakso, ikan gabus


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,

atas rahmat dan karunia-Nya yang telah diberikan sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi yang berjudul “Studi

Pembuatan Bakso Instan dari Ikan Gabus (Ophiocepalus striatus) ini

merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada

Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian,

Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Penulis menghaturkan terima kasih banyak yang sebesar-

besarnya kepada Prof. Dr. Ir. H. Jalil Genisa, MS dan Prof. Dr. Ir.

Amran Laga, MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan

bimbingan, kritikan, saran dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan

skripsi ini. Tak lupa pula ucapan dan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hj.

Mulyati M Tahir, MS dan Dr.rer.nat. Zainal, S.TP, M.FOODTECH yang

telah meluangkan waktunya selaku penguji guna memberikan masukan

dan petunjuk menuju kesempurnaan skripsi ini.

Melalui kesempatan yang berharga ini, penulis tak lupa pula

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ketua Jurusan dan Staf Dosen beserta seluruh karyawan Jurusan

Teknologi Pertanian yang telah banyak memberikan pengetahuan

kepada penulis selama menempuh pendidikan.


2. Dekan Fakultas Pertanian dan para Wakil Dekan, Karyawan dan Staf

dalam lingkup Fakultas Pertanian atas bantuannya dalam

penyelesaian berkas-berkas selama penulis menempuh pendidikan.

3. Ketua Panitia Seminar, Bapak Februadi Bastian, STP., M.Si atas

bantuannya dalam penyelenggaraan seminar proposal dan hasil.

4. Ketua Panitia Ujian Sarjana, Bapak Ir. Nandi K. Sukendar, M.App.Sc

atas bantuannya dalam penyelesaian berkas-berkas ujian sarjana dan

dukungannya yang luar biasa.

5. Semua pihak, termasuk Laboran Ibu Ati dan Ibu Yuli, yang terlibat

dalam membantu penyelesaian skripsi ini mulai dari awal penelitian

hingga skripsi tersebut selesai ditulis.

Penulis menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna,

sama halnya dengan skripsi ini yang masih memiliki kekurangan. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik demi perbaikan

skripsi ini ke depannya.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang

besar nantinya.Secara umum, tentunya bagi para pembaca dan

khususnya kepada penulis sendiri. Amin.

Makassar, Januari 2014

Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih tak terhingga kepada Bapakku tercinta

Drs. Zulkarnain Arsyad dan Ibuku Ir. Hasnawaty Rachman yang

dengan penuh ketulusan dan kasih sayangnya selama ini telah

membimbing dan membesarkan ananda (penulis) serta senantiasa sabar

dalam menerima keluh kesah ananda, tiada pernah putus untuk

memberikan dukungan baik materi maupun moril, utamanya doa yang luar

biasa untuk ananda yang tak akan ternilai harganya. Tak lupa pula untuk

saudara-saudaraku tersayang, Muhammad Ihsan Zulkarnain dan

Muhammad Ilham Akbar Zulkarnain serta nenekku Rahmatia dan

omku Haeruddin, A.md yang tercinta yang terus memotivasi penulis

untuk sukses dalam menyelesaikan skripsi ini.

 Terkasih penulis ucapkan terima kasih kepada Suhartono Akkas yang

yang senantiasa ada, menemani, mendukung, selalu bersabar dan

menjadi penyemangat penulis selama ini, dari awal perjalanan bahkan

hingga skripsi ini terselesaikan.

 Teristimewa penulis ucapkan terima kasih kepada Khusnul Khatim

Salman, STP dan Mba Ai Masrifah yang selalu membantu dan

mendukung penulis sampai penyelesain tugas akhir ini.

 Sahabat terbaik Afiqah Mihsar Marhiyah, ST, Kiki Mariana, S.KM,

Lusiana, A. Putri, Amd dan A, Hardiyanti yang selalu ada, menemani,

dan mendukung penulis selama ini, dari awal perjalanan bahkan hingga

skripsi ini terselesaikan.


 Sahabat seperjuanganku yang terbaik “Abdul Halim, Huzain Hasan.

A.P, dan Lukmanul Hakim” yang mewarnai hari-hari penulis di

kampus, mulai dari awal perkuliahan, penelitian, hingga tahapan skripsi

dan terus saling menyemangati satu sama lain hingga akhirnya penulis

selesai.

 Teman-teman tercinta penulis ucapkan kepada teman-teman yang

selalu hadir disetiap keluh kesah dan pemberi dukungan dan

bantuannya Mustar, STP, Naziruddin, AB, Hasri, M. Fadlyl H, Tariq

Hussein, Ahmad Husain, Stevano William, Agy Kusuma,

Mutawakkil, Riska vivi, Noviyanti, Hasriani, Ummu Farah,

Mukarammah, STP, Fischer Ema Witak, Hikma Sulaiman, STP,

Andi Tenri Lawang, STP, Rahmadana, STP, Anita Puspita, Amrida,

Surya Azhar, Idha Reskia, STP, Asriyanti, STP, Muhpidah, STP, In

Srikandy, STP, Nur Azizah, STP, Yolanda, STP, Nuraidah, STP,

Musdalifah, STP, Munirah, STP, Husnul, STP, Kak Masnah, Kak

Arni, Andi Tenri, PTBP, STP, Hasrayanti, STP, Hamsah, STP dan

teman-teman lain yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu

persatu. Terima kasih atas doa, dukungan, perhatian, pengertian, dan

semangatnya selama ini kepada penulis.


Dan terima kasih juga buat Anak-Anak TEXA 09, TEKPER 09 semoga

apa yang kita lalui bersama dapat menjadi sebuah kenangan yang tak

terlupakan, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan

rahmat serta hidayah-NYA kepada kita semua.

 Warga KMJ TP UH, kakanda dan adinda yang telah memberikan

motivasi dan dukungan selama penyelesaian skripsi ini 


RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nur Aliyah Zulkarnain atau biasa dipanggil

dengan Aliyah, lahir di Ujung Pandang tanggal 1

Februari 1991. Penulis dilahirkan oleh pasangan

Drs. Zulkarnain Arsyad dan Ir. Hasnawaty

Rachman dan merupakan anak sulung dari dua

bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah

1. TK . Khadijah Makassar (1996)

2. SD. Negeri Cendrawasih Makassar (1997 – 2003)

3. SMP Khadijah Makassar (2003 – 2006)

4. SMA Negeri 3 Makassar (2006 – 2009)

5. Pada tahun 2009 penulis diterima diperguruan tinggi negeri

Universitas Hasanuddin melalui jalur SNMPTN pada Program

Strata Satu (S1) dan tercatat sebagai mahasiswa Program Studi

Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas

Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar (2009 – 2014).

Selama menjalani studi penulis aktif dalam organisasi Himpunan

Mahasiswa Teknologi Pertanian (Himatepa UH), Universitas

Hasanuddin, Makassar.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ............................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................x

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................... 2

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikan Gabus .............................................................................. 4

B. Pasca Post Mortem ................................................................... 7

C. Bakso ..................................................................................... 8

D. Bahan Pengisi ......................................................................... 11

E. Maltodekstrin ........................................................................... 12

F. Es atau Air Es ......................................................................... 13

G. Pemanggangan ....................................................................... 14

H. Pengeringan ............................................................................ 15

I. Pembekuan .............................................................................. 18

J. Bumbu ..................................................................................... 18

K. Proses Pembuatan Bakso ........................................................ 21

L. Uji Organoleptik ........................................................................ 24


III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat .................................................................. 26

B. Alat dan Bahan ........................................................................ 26

C. Posedur Kerja Penelitian ......................................................... 27

D. Metode Analisa Pengamatan ................................................... 30

E. Pengolahan Data ...................................................................... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penelitian Pendahuluan ........................................................... 35

2. Penelitian Utama ...................................................................... 36

A. Analisa Kandungan Kimia ................................................ 37

3. Kadar Lemak ........................................................................ 37

4. Kadar Protein ....................................................................... 38

5. Kadar Air .............................................................................. 40

6. Kadar Abu ............................................................................ 42

7. Daya Rehidrasi..................................................................... 43

B. Uji Organoleptik ............................................................... 44

1. Rasa..................................................................................... 44

2. Tekstur ................................................................................. 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ............................................................................ 49

B. Saran ..................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 50

LAMPIRAN ...................................................................................... 54
DAFTAR TABEL

NO JUDUL HALAMAN
1. Kandungan Gizi Ikan Gabus dalam 100 g Bahan .......................... 7

2. Standar Nasional Indonesia Bakso Ikan ......................................... 9


DAFTAR GAMBAR

NO JUDUL HALAMAN
1. Ikan Gabus (Ophiocepalus striatus) ................................................ 6

2. Diagram alir pembuatan bakso instan ikan gabus ........................... 29

3. Hasil Uji Kadar Lemak Bakso Instan Ikan Gabus ............................. 38

4. Hasil Uji Kadar Protein Bakso Instan Ikan Gabus ............................. 39

5. Hasil Uji Kadar Air Bakso Instan Ikan Gabus.................................... 41

6. Hasil Uji Kadar Abu Bakso Instan Ikan Gabus.................................. 42

7. Hasil Uji Daya Rehidrasi Bakso Instan Ikan Gabus .......................... 44

8. Hasil Uji Organoleptik terhadap Rasa Bakso Instan ikan gabus ...... 46

9. Hasil Uji Organoleptik terhadap Tekstur Bakso Instan ikan gabus ... 47
DAFTAR LAMPIRAN

NO JUDUL HALAMAN
1. Rata-rata kadar Air dari 3 Ulangan Bakso Instan Ikan Gabus ......... 54

2. Rata-rata kadar Abu dari 3 Ulangan Bakso Instan Ikan Gabus ....... 54

3. Rata-rata Hasil Daya Rehidrasi dari 3 Ulangan Bakso Instan

Ikan Gabus ...................................................................................... 54

4. Rata-rata kadar lemak dari 3 Ulangan Bakso Instan Ikan Gabus .... 54

5. Rata-rata kadar protein dari 3 ulagan bakso instan ikan gabus ....... 55

6. Hasil uji organoleptik terhadap rasa bakso instan ikan gabus .......... 55

7. Hasil uji organoleptik terhadap tekstur bakso instan ikan gabus ...... 57

8. Gambar 3 perlakuan Bakso Instan Ikan Gabus .............................. 58


I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu bahan pangan yang banyak

dikonsumsi masyarakat karena banyak mengandung lemak jenuh dan

protein yang berupa asam amino esensial yang penting bagi tubuh.

Salah satu ikan yang memiliki kandungan tersebut adalah ikan gabus,

kandungan albumin yang dimiliki ikan gabus cukup tinggi sekitar 6,2

gram dalam 100 gram bahan. Ikan gabus banyak hidup di air tawar dan

belum dikembangkan pengolahannya dikarenakan bentuk dan

aromanya yang kurang disenangi, disamping itu mudah rusak atau

menurun kandungan nutrientnya setelah 4 jam lepas tangkap dan mati

(Genisa, J, 2000). Pembuatan bakso merupakan salah satu solusi

untuk mengatasi masalah tersebut.

Bakso merupakan salah satu produk olahan daging secara

tradisional, yang sangat terkenal dan digemari oleh semua lapisan

masyarakat, dan bisa diharapkan sebagai sumber pangan yang cukup

bergizi. Bahan baku pembuatan bakso dapat berasal dari berbagai

daging antara lain, sapi, ayam dan ikan, serta ditambahkan bahan

pengikat seperti tapioka. Namun dalam pembuatan bakso ikan yang

diuji cobakan ditambhakan tepung maltodekstrin yang disingkat dengan

“tapimal” dengan perbandingan tapioka 4 : 1 (Purnomo, 1998). Jenis

bakso yang banyak ditemukan di pasar adalah bakso daging sapi dan
bakso daging ayam.. Bakso ikan hampir sama dengan bakso yang

terbuat dari daging. Perbedaannya hanya terletak pada bahan bakunya.

Ikan yang digunakan dalam pembuatan bakso bervariasi, tergantung

rasa yang diinginkan. Kekenyalan dapat diatur berdasarkan tepung

tapioka yang digunakan.

Produk bakso ikan gabus instan adalah produk yang

dihasilkan dengan memanfaatkan teknologi pembekuan kering

sehingga produk yang dihasilkan bersifat instan. Produk bakso ikan

instan merupakan produk yang tidak memantul atau elastis serta

memiliki masa simpan cukup lama dan dapat disajikan secara praktis,

namun bakso instan dari ikan gabus belum diperoleh hasil olahannya

sehingga peneliti akan memodifikasi olahan ikan gabus yang dapat

menghasilkan bakso instan.

Berdasarkan uraian diatas maka telah dilakukan penelitian

tentang pembuatan bakso instan berbahan dasar ikan gabus yang

dapat diterima oleh panelis/masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah ikan gabus dapat diproses menjadi bakso instan, sehingga

mempunyai kandungan gizi dan dapat diterima sesuai uji organoleptik ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk menghasilkan produk

bakso instan ikan gabus yang memiliki kandungan gizi dan rasa yang

dapat diterima oleh panelis/masyarakat.


Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses modifikasi pembuatan bakso instan

ikan gabus.

2. Untuk mengetahui kandungan gizi bakso instan ikan gabus dan

hasil uji organoleptik, sehingga dapat diterima oleh

panelis/masyarakat.

Kegunaan dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

informasi dan bahan pembanding hasil pengolahan ikan gabus sebagai

pangan alternatif yang dapat diolah menjadi produk bakso instan yang

memiliki nilai gizi cukup tinggi untuk dikonsumsi dan bernilai kesehatan

oleh panelis/masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ikan gabus (Ophiocephalus striatus)

Ikan gabus (Ophiocephalus striatus ) merupakan ikan karnivora

yang suka memakan hewan lain yang lebih kecil seperti cacing,

udang, ketam, plankton dan udang renik (Djuhanda, 1981). Protein

ikan gabus segar mencapai 25,1% sedangkan 6,224% dari protein

tersebut berupa albumin. Jumlah ini sangat tinggi dibandingkan

sumber protein hewani lainnya. Albumin merupakan jenis protein yang

paling banyak dalam plasma darah yang mencapai 60% dan

bersinergi dengan mineral Zn yang dapat mempercepat penyembuhan

luka. Selain itu kadar lemak ikan gabus lebih rendah dibandingkan

dengan jenis ikan lain seperti ikan tongkol memiliki 24,4% dan lele

11,2% lemak (Suprayitno, 2006).

Kandungan albumin dalam ikan gabus umumnya lebih tinggi

dari ikan tawar lainnya, bahkan tidak dimiliki pada ikan lainnya seperti

ikan lele, ikan gurami, ikan nila, ikan mas, dan sebagainya. Menurut

(Suprayitno et.,al., 2008), bahwa kandungan asam amino essensial

dan non essensial pada ikan gabus memiliki kualitas yang jauh lebih

baik dari albumin telur. Albumin merupakan protein yang mudah rusak

oleh panas. Albumin termasuk dalam golongan protein globuler yang

umumnya berbentuk bulat atau ellips dan terdiri dari rantai polipeptida

yang berlipat. Protein umumnya memiliki sifat dapat larut dalam air,
larut dalam asam dan basa dan dalam etanol. Albumin juga

mempunyai sifat dapat dikoagulasi dengan pemanasan. Rentang suhu

pada saat terjadi denaturasi dan koagulasi protein sekitar 55 0C-750C.

Jika protein mengalami denaturasi tidak ada ikatan kovalen pada

rantai polipeptida yang rusak namun pada aktivitas biologi hampir

semua protein rusak sehingga menyebabkan daya kelarutannya

berkurang. Penurunan kadar protein diakibatkan adanya flokuasi yaitu

penggumpalan dari partikel yang tidak stabil menjadi partikel yang

diendapkan. Flokuasi merupakan tahap awal denaturasi. Pemanasan

menyebabkan protein terdenaturasi. Pada saat pemanasan, panas

akan menembus daging dan menurunkan sifat fungsional protein.

Menurut penelitian (Rizkha, 2009) , bahwa pengeringan pada suhu

45ºC menghasilkan kadar albumin sebesar 21,08%.

Klasifikasi ilmiah ikan gabus, menurut Anonim (2012a), adalah

sebagai berikut:

Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Ordo : Perceformes
Famili : Channidae
Genus : Ophiocephalus
Spesies : Ophiocephalus striatus
Umumnya ikan memiliki bau amis, hal ini disebabkan karena

pada bagian otot ikan terbuat dari jenis protein yang berbeda dengan

daging sapi dan ayam. Bau amis ikan berasal dari hasil penguraian
(dekomposisi), terutama amonia, berbagai senyawa belerang dan

bahan kimia bernama amina yang berasal dari penguraian asam-

asam amino (Anonim, 2013a).

Ada beberapa jenis gabus salah satunya Ophiocephalus

striatus merupakan jenis ikan gabus yang banyak ditemui dan memiliki

ukuran tubuh relatif kecil. Jenis lain adalah gabus toman Channa

micropeltes dan Channa pleuropthalmus. Gabus toman merupakan

jenis gabus yang berukuran tubuh besar, mencapai panjang 1 meter

dengan berat 5 kg. Ikan gabus memiliki kepala berukuran besar dan

agak gepeng mirip kepala ular (sehingga dinamai snakehead).

Terdapat sisik-sisik besar di atas kepala. Tubuh berbentuk bulat giling

memanjang, seperti peluru kendali atau torpedo. Sirip punggung

memanjang dan sirip ekor membulat di ujungnya. Sisi atas tubuh dari

kepala hingga ke ekor berwarna gelap, hitam kecokelatan atau

kehijauan. Sisi bawah tubuh putih. Sisi samping bercoret-coret tebal

(striata). Warna ini sering kali menyerupai lingkungan sekitarnya.

Mulut besar, dengan gigi-gigi besar dan tajam (Anonim, 2013a).

Gambar ikan gabus dapat dilihat pada Gambar 01.

Gambar 01. Ikan gabus (Ophiochepalus striatus)


Kandungan gizi ikan gabus menurut (Suprapti, 2008) dapat

dilihat pada Tabel 01.

Tabel 01.Kandungan gizi ikan gabus berdasarkan Suprapti (2008) per


100 gram bahan.
No Unsur Gizi Jumlah Satuan
1 Energi 116 Kal
2 Air 69,6 G
3 protein 25,2 G
4 Lemak 1,7 G
5 Karbohidrat 0 G
6 Lemak 3.6 G
7 Kalsium 62 Mg
8 Fosfor 176 Mg
9 Besi 0,9 Mg
10 Vitamin A 45 Mcg
11 vitamin B 0,04 Mg
12 Vitamin C 0 Mg
Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan, Fakultas Kedokteran UI
Jakarta 1966.

B. Pasca Post Mortem

Setelah ikan mati, peredaran darah berhenti dan hasilnya

adalah berlangsungnya serangkaian perubahan yang sangat

kompleks dalam otot. Makin banyak darah yang hilang dari tubuh ikan

akan meningkatkan umur simpan serta kualitas daging yang

dihasilkan. Seluruh proses yang berkaitan dengan konversi otot dapat

dibagi menjadi tiga tahap yakni, 1. Prarigor, saat jaringan otot menjadi

lunak dan lentur dengan ditandai perubahan biokimia yaitu turunnya

kandungan ATP dan kreatin posfat serta berlangsungnya glikolisis. 2.

Rigor mortis, ikan umumnya memiliki periode rigormortis sekitar 1-7

jam setelah mati. 3. Pasca rigor, kondisi daging ikan secara bertahap
dan secara inderawi memberikan kenampakan yang baik. Keadaan

demikian terjadi pada saat penyimpanan sementara pada suhu dingin.

Tercapainya pH akhir pasca mortem sangat tergantung pada keadaan

fisiologi otot dan jenis ikan. Untuk otot ikan perubahan yang terjadi

selalu disertaii dengan turunnya pH. Turunnya pH mengubah kondisi

menjadi asam yang yang disertai dengan berbagai reaksi eksotermis

seperti glikolisis yang umumnya berpengaruh pada protein daging

ikan. Konsekuensi selama pasca mortem, protein dalam otot sangat

sering dipengaruhi oleh kombinasi keadaan yaitu suhu tinggi dan pH

rendah. Perubahan tersebut sangat mudah diamati seperti hilangnya

warna asli dan hilangnya kemampuan mengikat air protein

sarkoplasmik ikan jauh lebih stabil dari protein myofibril sejenis.

Protein myofibril pada ikan memiliki sifat lebih besar pada stabilitas

terhadap panas dan kelarutannya dibandingkan dengan daging yang

umumnya tidak mempengaruhi tekstur ikan (Anjarsari B, 2010).

C. Bakso

Bakso adalah salah satu bentuk olahan restrukturisasi daging

yang merupakan produk pangan berbentuk bola atau yang lain, yang

diperoleh dari campuran daging / ikan yang telah dihaluskan dengan

cara digiling (kadar daging/ikan minimal 50%) dan pati atau serealia

dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan kimia lain serta bahan

tambahan makanan yang diijinkan (SNI, 1995). Standar Nasional

Indonesia bakso ikan dapat dilihat pada Tabel 02.


Tabel 02. Persyaratan Mutu Bakso Bakso Ikan (SNI No. 01-3818-
1995)
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Bau - Normal, khas ikan
1.2 Rasa - Gurih
1.3 Warna - Normal
1.4 Tekstur - Kenyal
2. Air % b/b Maks 80,0
3. Abu % b/b Maks 3,0
4. Protein % b/b Min 9,0
5. Lemak - Maks 1,0
6. Boraks - Tidak boleh ada
7. Bahan tambahan
makanan
8. Cemaran logam
8.1 Timbal (Pb) Mg/kg Maks 2,0
8.2 Tembaga (Cu) Mg/kg Maks 20,0
8.3 Seng (Zn) Mg/kg Maks 100,0
8.4 Timah (Sn) Mg/kg Maks 40,0
8.5 Raksa (Hg) Mg/kg Maks 0,5
9. Cemaran Arsen (As) Mg/kg Maks 1,0
10. Cemaran mikroba :
7
10.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks 1x10
2
10.2 Bakteri bentuk koli AMP/g Maks 4x10
10.3 Salmonella - Negatif
2
10.4 Staphylococcus Koloni/g Maks 5x10
aureus
10.5 Vibrio cholerae - Negatif
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1995)

Menurut Hardoko (1994) daging ikan sebagai bahan utama

pembuatan bakso merupakan sumber protein myofibril yang

membentuk gel. Sedangkan pati yang ditambahkan berfungsi sebagai

pembentuk sekaligus memperbaiki adonan, meningkatkan daya ikat

air dan memperbaiki tekstur. Kriteria mutu untuk tekstur bakso adalah

tekstur kompak, elastis, tidak ada serat daging, tidak ada duri dan

tulang, tidak basah berair dan rapuh (Wibowo, 1999).


Proses pengikatan ini merupakan suatu reaksi yang

dipengaruhi oleh pemanasan, karena daging dalam keadaan segar

(Hardoko,1994). Proses pembuatan bakso ikan meliputi: pencucian

ikan segar, pemisahan daging ikan dari duri dan jeroan, penggilingan,

penirisan, pencampuran dengan tepung tapioka dan bumbu-bumbu

yaitu bawang putih, merica, gula, garam, MSG yang telah dihaluskan;

kemudian pencetakan berbentuk bola, perendaman dalam air hangat

40ºC 15 menit, perebusan sampai mengapung (matang) dan penirisan

(Wibowo, 1999).

Bakso daging menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk

makanan berbentuk bulatan atau lain yang diperoleh dari campuran

daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50 persen) dan pati atau

serealia dengan atau tanpa bumbu BTP (bahan tambahan pangan)

yang diizinkan. Pembuatan bakso biasanya menggunakan daging

yang segar. Daging segar (pre-rigor) adalah daging yang diperoleh

setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses pendinginan

terlebih dahulu. Fase pre rigor berlangsung selama 5 sampai 8 jam

setelah postmortem. Bakso dapat dikelompokkan menurut jenis

daging yang digunakan dan berdasarkan perbandingan jumlah tepung

pati yang digunakan. Berdasarkan jenis daging sebagai bahan baku

untuk membuat bakso, maka dikenal bakso sapi, bakso ayam, bakso

ikan, bakso kerbau, dan bakso kelinci (Gaffar,1998).


D. Bahan Pengisi

Bahan pengisi dan bahan pengikat diperlukan dalam

pembuatan bakso. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan

pengisi terletak pada fraksi utama dan kemampuannya

mengemulsikan lemak. Bahan pengisi mempunyai kandungan

karbohidrat yang lebih tinggi, sedangkan bahan pengikat mempunyai

kandungan protein yang lebih tinggi. Bahan pengikat memiliki

kemampuan untuk mengikat air dan mengemulsikan lemak (Kramlich,

1971).

Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso

adalah tepung dari pati, seperti tepung tapioka dan tepung sagu.

Tepung dari pati dapat meningkatkan daya mengikat air karena

memiliki kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan

pemanasan (Tarwotjo et al., 1971). Menurut Forrest et al. (1975),

penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk mereduksi

penyusutan selama pemasakan memperbaiki stabilitas emulsi,

meningkatkan cita rasa, memperbaiki sifat irisan da mengurangi biaya

produksi. SNI 01-3818-1995 menetapkan penggunaan bahan pengisi

dalam pembuatan bakso maksimum 50% dari berat daging yang

digunakan.
E. Maltodekstrin

Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang

mengandung unit α-D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui

ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Maltodekstrin

merupakan campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida dan

dekstrin. Maltodekstrin biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose

Equivalent). Maltodekstrin dengan DE yang rendah (5-15) bersifat

non-higroskopis, sedangkan maltodekstrin dengan DE tinggi (15-

20) cenderung menyerap air. Maltodekstrin merupakan larutan

terkonsentrasi dari sakarida yang diperoleh dari hidrolisa pati

dengan penambahan asam atau enzim. Kebanyakan produk ini ada

dalam bentuk kering dan hampir tak berasa. Maltodekstrin sangat

banyak aplikasinya seperti bahan pengental sekaligus dapat

dipakai sebagai emulsifier. Kelebihan maltodekstrin adalah mudah

larut dalam air dingin. Aplikasi penggunaan maltodekstrin

contohnya pada minuman susu bubuk, minuman sereal berenergi

dan minuman prebiotik (Srihari dkk, 2010).

Maltodekstrin dapat digunakan sebagai pengganti lemak.

Maltodekstrin dengan air akan membentuk gel yang dapat mencair

atau larut dan menyerupai struktur lemak. Konsistensi, penampilan

dan sifat organoleptiknya dapat diterima. Penggunaan

maltodekstrin dalam produksi pangan juga dapat mengurangi kalori

lebih dari 70 persen (Roper, 1996).


Maltodekstrin digunakan pada industri pangan sebagai

bahan substitusi, bahan pengental, dan bahan pengisi.

Maltodekstrin termasuk dekstrin yang dihidrolisa secara enzimatik,

dapat sebagai bahan tambahan atau suplemen yang berfungsi

sebagai sumber energi tambahan dalam minuman. Sebagai bahan

substitusi dapat dimanfaatkan dalam pengolahan pangan

fungsional, yaitu makanan yang secara alamiah mengandung satu

atau lebih senyawa dan mempunyai fungsi fisiologis tertentu yang

bermanfaat bagi kesehatan (Triyono, 2008).

Maltodekstrin dapat digunakan pada makanan karena

maltodekstrin memiliki sifat tertentu, sifat yang dimiliki maltodekstrin

antara lain maltodekstrin mengalami proses dispersi yang cepat,

memiliki daya larut yang tinggi, mampu membentuk film, memiliki

sifat higroskopis yang rendah, dan mampu menghambat kristalisasi

(Hui, 1992). Sifat-sifat yang dimiliki maltodekstrin antara lain

mampu membentuk body, sifat browning yang rendah, dan memiliki

daya ikat yang kuat (Srihari dkk, 2010).

F. Es atau Air Es

Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan

mencairkan es, sehingga suhu daging atau adonan dapat

dipertahankan. Selai itu, penambahan es atau air juga penting untuk

menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan


sari minyak (juiceness) dan keempukan daging (Forrest et al., 1975).

Jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan akan mempengaruhi

kadar air, daya mengikat air, kekenyalan dan kekompakan bakso

(Indarmono, 1987). Oleh sebab itu, penggunaan es atau air es harus

dibatasi. Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk

emulsi daging adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan

akibat gesekan selama penggilingan, melarutkan dan

mendistribusikan garam ke seluruh bagian massa daging secara

merata, membantu proses pembentukan emulsi, dan

mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika panas ini

berlebih maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi

mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. Akibatnya produk tidak

akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al., 2001).

G. Pemanggangan

Pemanggangan merupakan salah satu proses pengolahan

pangan yang menggunakan media panas dalam upaya pemasakan

dan pengeringan bahan pangan. Pemangganan juga memberikan

efek pengawetan karena terjadi inaktivasi mikroba dan enzim serta

penurunan Aw (aktivitas air). Pemangganan dapat dilakukan secara

langsung maupun tidak langsung. Proses pemanggangan langsung

menggunakan media panas yang bersinggungan langsung dengan

bahan, sementara pemanggangan tidak langsung menggunakan alat

pemanas yang akan memanaskan udara baru kemudian udara panas


tersebut masuk ke dalam bahan pangan. Proses pemanggangan

menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma dan rasa dari bahan

(Ayustaningwarno, 2013).

Proses pemanggangan biasanya menggunakan bahan bakar

seperti arang atau briket. Jika menggunakan bahan bakar seperti yang

disebutkan maka letak kan bahan yang hendak dipanggang jika arang

sudah membara dengan baik. Biasanya proses pembaraan

berlangsung 30-60 menit, maka akan menunjukkan bara yang

menyala merah dengan beberapa bagian telah menjadi abu putih

(Tintin, 2008).

Suhu pemanggangan yang terlalu tinggi menyebabkan warna

crust menjadi lebih gelap dan bagian dalam bahan menjadi tidak

terpanggang sempurna. Akan tetapi suhu pemanggangan yang terlalu

rendah waktu pemanggangan akan lebih lama untuk mendapatkan

warna yang diinginkan. Pemanggangan yang lama akan

menyebabkan crust yang terbentuk lebih tebal. Pemanasan yang

cepat meningkatkan transfer air sehingga terjadi reaksi pembentukan

warna (Teti Estiyasih, 2013).

H. Pengeringan

Pengeringan merupakan proses pemindahan panas dan uap

air secara simultan, yang memerlukan energi untuk menguapkan

kandungan air yang dipindahhkan dari permukaan bahan. Selain itu,

tujuan dari pengeringan adalah untuk meningkatkan daya tahan


bahan, memperbaiki cita rasa bahan dan mempertahankan

kandungan nutrisi bahan (Achanta dan Okos, 2000). Secara umum

temperatur udara yang tinggi akan menghasilkan proses pengeringan

yang lebih cepat. Namun, temperatur pengeringan yang lebih tinggi

dari 500 C harus dihindari karena dapat menyebabkan bagian luar

produk sudah kering, tetapi bagian dalam masih basah. Khusus untuk

ikan temperatur pengeringan yang dianjurkan antara 40 0 – 500 C

(Endryani, 2009).

Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan pengering

buatan yakni kondisi pengeringan terkontrol dan waktu pengeringan

bisa lebih cepat dengan tidak tergantung oleh cuaca. Sehingga dapat

menghasilkan produk yang berkualitas baik (Taib, 1987). Suhu

pengeringan tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan. Pada

umumnya suhu pengeringan adalah antara 40 0 – 600 C dan hasil dari

proses pengeringan yang baik adalah simplisia yang mengandung

kadar air 10%. Demikian pula dengan waktu pengeringan juga

bervariasi tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan (Ria, R. 2012

dalam Syamsir, 2011).

Memperpanjang daya tahan suatu bahan, maka sebagaian air

pada bahan perlu dihilangkan atau diuapkan sehingga mencapai

kadar air tertentu. Operasi pengeringan ini dilakukan dengan

menghembuskan udara atau gas panas yang tidak jenuh pada bahan

yang akan dikeringkan. Air atau cairan lain menguap pada suhu yang
lebih rendah dari titik didihnya karena adanya perbedaan kandungan

uap air pada muka bahan padat gas dengan kandungan uap air pada

fasa gas. Gas atau udara panas disebut medium pengering,

menyediakan panas yang diperlukan untuk penguapan air dan

sekaligus membawa uap air keluar. Kerugian menggunakan

pengawetan dengan cara pengeringan yakni setiap bahan peka

terhadap panas karena derajat kepekaan panas tertentu dapat

menimbulkan bau gosong (burn flavour) pada kondisi pengeringan

yang tak terkendali. Selain itu pada proses pengeringan terjadi

hilangnya flavour yang mudah menguap (volatil flavour) dan pigmen

menjadi pucat (Effendi S, 2009).

Pada proses pemanasan dapat terjadi perubahan yang

diharapkan dan tidak diharapkan diantanya denaturasi

protein,kehilangan aktivitas enzim, perubahan warna dan pemutusan

ikatan peptida. Kebanyakan protein terdenaturasi jika dipanaskan

pada suhu (600-900C) (Anonim, 2012b).

Pengeringan menggunakan blower merupakan salah satu

jenis pengerigan kabinet. Pengeringan ini terdiri dari suatu ruangan

dimana rige-rigen untuk produk yang dikeringkan dapat diletakkan di

dalamnya. Udara dihembuskan dengan menggunakan kipas angin

melalui suatu pemanas dan menembus rigen-rigen pengering yang

berisi bahan yang akan dikeringkan (Desrosier, 1988).


I. Pembekuan

Pembekuan adalah proses penurunan suhu dari suatu bahan

sampai mencapai suhu di bawah titik bekunya. Proses pembekuan

ditandai dengan terjadinya perubahan fase air menjadi padat (kristal-

kristal es). Prosesnya terjadi secara bertingkat dari permukaan sampai

ke pusat termal bahan. Pusat termalbahan adalah titik yang terletak

paling jauh dari media pembeku. Pada titik ini proses pembekuan

berlangsung paling lambat. Pembekuan merupakan suatu usaha

untuk mempertahankan mutu bahan pangan. Bahan pangan beku

memiliki masa simpan yang jauh lebih panjang dari pada bahan

pangan dingin. Dalam proses pembekuan terjadi pelepasan panas

dari dalam produk dan selanjutnya produk akan mengalami penurunan

suhu (Fellows, 2000).

J. Bumbu

Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan bakso instan

ikan gabus yakni bawang putih, garam, dan lada. Bumbu-bumbu

tersebut memberikan rasa dan aroma pada produk olahan. Bumbu

dari tanaman alam berguna memberikan aroma, rasa yang khas, serta

daya awet tertentu pada daging (Marliyati, 1995). Rempah-rempah


yang biasa digunakan sebagai bumbu adalah bahan asal tumbuhan

yang biasanya dicampurkan kedalam berbagai makanan untuk

penambah aroma dan membangkitkan selera makan (Somaatmadja,

1985).

Rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu diutamakan

mengandung cukup oleoresin dan minyak atsiri, karena kedua

komponen ini menimbulkan cita rasa dan aroma yang khas yang

diinginkan. Oleh karena itu rempah yang akan dimanfaatkan untuk

bumbu harus cukup tua, sehingga kandungan oleoresin dan minyak

atsirinya mencapai optima (Rahmawati, 1998).

Bawang putih (Allium sativum L) mengandung minyak atsiri

yang berwrna kuning kecoklatan dan berbau menyengat. Aroma

bawang putih sebenarnya merupakan turunan dari dialil sulfida

(Marliyati, 1995). Manfaat utama bawang putih adalah sebagai bumbu

penyedap masakan yang membuat masakan menjadi beraroma dan

mengundang selera. Bawmang putih disamping selain sebagai zat

penamba aroma dan bau juga merupakan antimikrobia

(Damanik, 2010).

Lada merupakan salah satu jenis bumbu. Bagian tanaman ini

yang dimanfaatkan adalah bagian buahnya. Komponen kimia yang

terkandung dalam lada putih adalah piperine, piperidin, lemak, asam

piverat, chavisin, dan minyak terbang yang terdiri dari felanden,

kariofilen, dan terpen-terpen. Minyak essensial pada lada putih hanya


terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit. Ketajaman aroma lada

putih lebih menyengat tetapi kurang memiliki aroma dibandingkan

dengan lada hitam dan lada hijau. Lada putih banyak digunakan

sebagai bumbu masakan dalam makanan yang tidak menginginkan

kontaminan penampakan (Fani, 2007 dalam Arsyad dan

Rasyidah, 2000).

Konsentrasi garam yang paling sering digunakan adalah yang

berkenaan dengan persyaratan organoleptik. Dalam pembuatan abon

garam berfungsi sebagai penambah cita rasa sehingga akan terbentuk

rasa gurih dengan adanya gula dan garam. Garam adalah bahan yang

sangat penting dalam pengawetan daging, ikan, dan bahan pangan

lainnya. Garam juga mempengaruhi aktivitas air dari bahan pangan

dengan menyerap air sehingga aktivitas air akan menurun dengan

menurunnya kadar air. Oleh karena itu garam dapat digunakan untuk

mengendalikan pertumbuhan mikroba dengan suatu metode yang

bebas dari racun (Buckle et al., 1987). Gram merupakan bumbu

utama dalam makanan yang menyehatkan. Tujuan penambahan

garam adalah untuk menguatkan rasa bumbu yang sudah ada

sebelumnya. Jumlah penambahan garam tidak boleh terlalu

berlebihan karena kan menutupi rasa bumbu yang lain dalam

makanan. Jumlah penambahan garam dalam resep makanan

biasanya berkisar antara 15%-25% (Suprapti, 2000).


Minyak goreng berfungsi sebagai penghantar panas,

penambah rasa gurih dan penambah kalori bahan pangan. Minyak

goreng biasanya dibuat dari minyak kelapa atau minyak sawit. Cara

penggorengan abon sebaiknya menggunakan cara deep frying yaitu

bahan pangan yang digoreng dengan minyak kelapa atau sawit agar

hasil akhirnya baik cepat dan masak merata (Buckle et al., 1988).

K. Proses Pembuatan Bakso Ikan

Pada prinsipnya pembuatan bakso terdiri atas empat tahap

yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan bakso

dan, pemasakan. Pada proses penggilingan daging harus

diperhatikan kenaikan suhu akibat panas saat proses penggilingan

karena suhu yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi

adalah di bawah 200C. Pemasakan bakso setelah dicetak dilakukan

dengan cara perebusan dalam air mendidih atau dapat juga dikukus

(Bakar dan Usmiati, 2007).

1. Penghancuran daging

Tahap ini bertujuan untuk memperluas permukaan daging

sehingga protein yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar

kemudian jaringan lunak akan berubah menjadi mikro partikel.

Proses pencincangan perlu ditambahkan es atau air dingin

sebanyak 20% dari berat adonan agar menghasilkan emulsi yang

baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan (Winarno dan

Rahayu, 1994).
2. Pembuatan adonan

Setelah daging lumat dicuci dan dibersihkan daging ikan

dicampur dengan garam dapur dan bumbu secukupnya. Setelah

tercampur merata ke dalam adonan tersebut ditambahkan tepung

biji nangka sedikit demi sedikit sambil diaduk dan dilumatkan

hingga diperoleh adonan yang homogen. Pada saat pembentukan

adonan bakso ikan ditambahkan es batu sekitar sekitar 15-20%

atau bahkan 30% dari berat daging ikan lumat. Es ini berfungsi

mempertahankan suhu dan menambah air ke dalam adonan agar

adonan tidak kering dan rendemennya tinggi (Wibowo, 2006).

3. Pencetakan

Adonan yang sudah homogen dicetak menjadi bola-bola

bakso yang siap direbus atau dikukus. Pembentukan adonan

menjadi bola bakso dapat dilakukan dengan menggunakan tangan,

caranya adalah adonan diambil dengan sendok makan kemudian

diputar-putar dengan menggunakan tangan sehingga terbentuk

bola bakso. Bagi mereka yang sudah mahir, untuk membuat bola

bakso ini cukup dengan mengambil segenggam adonan lalu

diremas-remas dan ditekan ke arah ibu jari. Adonan yang keluar

dari lubang antara ibu jari dan telunjuk membentuk bulatan

kemudian bulatan tersebut dilakukann pengambilan dengan sendok

(Wibowo, 2006).
4. Pemasakan

Pemanasan menyebabkan molekul protein terdenaturasi

dan mengumpul membentuk suatu jaring-jaring. Kondisi optimum

untuk pembentukan gel adalah pada kadar garam 0,6 M, pH 6, dan

suhu 65 0C. Untuk mendapatkan kekuatan gel yang maksimum,

bakso harus dijendalkan dengan cara direndam dengan air dengan

suhu 28-30 oC selama 1-2 jam atau pada suhu air 45 0C selama

20-30 menit. Pemasakan bakso umunya dilakukan dengan air

mendidih dapat juga dilakukan dengan cara blanching dengan uap

air panas atau air panas pada suhu 85-90 0C.

Pengaruh pemasakan ini terhadap adonan bakso adalah

terbentuknya struktur produk yang kompak. jika bakso yang direbus

sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah matang

dan dapat diangkat. Kematangan bakso juga dapat dilihat dengan

melihat bagian dalam bakso. Biasanya perebusan bakso ini

memerlukan waktu sekitar 15 menit. Jika diiris, bekas irisan bakso

yang sudah matang tampak mengilap agak transparan, tidak keruh

seperti adonan lagi. Setelah cukup matang, bakso diangkat dan

ditiriskan sambil didinginkan pada suhu ruang. Agar lebih cepat

dingin, dapat dibantu dengan kipas angin asal dijaga dengan benar

agar tidak terjadi kontaminasi kotoran setelah dingin, bakso


dikemas dalam kantong plastik dan ditutup rapat. Sebaiknya bakso

yang telah dikemas disimpan dalam lemari pendingin pada suhu

yang terjaga sekitar 5 0C (Wibowo, 2006).

L. Uji Organoleptik

Warna merupakan komponen yang sangat penting untuk

menentukan kualitas atau derajat penerimaan suatu bahan pangan.

Suatu bahan pangan meskipun dinilai enak dan teksturnya sangat baik,

tetapi memiliki warna yang tidak menarik atau memberi kesan telah

menyimpang dari warna yang seharusnya, maka seharusnya tidak akan

dikonsumsi. Penentuan mutu suatu bahan pangan pada umumnya

tergantung pada warna, karena warna tampil terlebih dahulu (Winarno,

2004).

Aroma bahan makanan banyak menentukan kelezatan

makanan tersebut. Industri makanan menganggap sangat penting

melakukan uji aroma karena dengan cepat dapat memberikan hasil

penilaian produksinya disukai atau tidak disukai (Soekarto, 1985).

Tekstur memiliki pengaruh penting terhadap produk misalnya

dari tingkat kerenyahan, tipe permukaan, kekerasan, dan sebagainya.

Tekstur merupakan sensasi tekanan yang dapat diamati dengan mulut

(pada waktu digigit, dikunyah, dan ditelan) ataupun perabaan dengan

jari (Kartika, dkk., 1988).

Rasa adalah faktor berikutnya yang dinilai panelis setelah

tekstur, warna dan aroma. Rasa lebih banyak melibatkan indera lidah.
Rasa yang enak dapat menarik perhatian sehingga konsumen lebih

cenderung menyukai makanan dari rasanya. Cita rasa dari bahan

pangan sesungguhnya terdiri dari tiga komponen, yaitu bau, rasa, dan

rangsangan mulut (Rampengan dkk., 1985).


III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September – Oktober

2013, di Laboratorium Pengolahan Pangan dan Laboratorium Kimia

Analisa dan Pengawasan Mutu Pangan, Program Studi Ilmu dan

Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian,

Universitas Hasanuddin, Makassar.

B. Alat dan Bahan

Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom

plastik, kompor gas, panci, pisau, sendok , mesin penggiling, saringan

tepung, timbangan analitik. blender, baskom plastik, kompor, sendok,

dan panci, labu ukur 100 ml, alat titrasi, tabung reaksi, pipet, kertas

saring, cawan, oven desikator,corong Buchner dan kertas label.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan

gabus, tepung tapioka, maltodekstrin, bawang putih, garam dan es

batu, merica, aquadest, chloroform, H2SO4, aquadest, H2BO3, NaOH,

air bersih, aluminium foil


C. Prosedur Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Prosedur penelitian dilakukan untuk penentuan jumlah bumbu,

perbandingan tepung tapioka dan maltodekstrin, serta perlakuan

pemanasan yang ideal digunakan dalam pembuatan bakso instan

ikan gabus, untuk mendapatkan hasil yang baik nantinya.

1. penentuan bumbu :

bawang putih 3 g, merica bubuk 3 g, penyedap rasa 3 g dan

garam 2 g.

2. Penentuan tepung tapioka dan maltodekstrin

I. 25 g : 25 g

II. 40 g : 10 g

III. 30 g : 20 g

Dari hasil penelitian diatas, perlakuan yang terbaik untuk

pembuatan bakso instan ikan gabus yaitu perlakuan II (40 g

tapioka : 10 g maltodekstrin atau perbandingan 4:1).

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh beberapa

panelis meliputi rasa dan tekstur sudah dapat diterima. Dari

perbandingan 4 : 1 dikembangkan menjadi :

I. 24 g tepung tapioka : 6 tepung maltodekstrin

II. 32 g tepung tapioka : 8 tepung maltodekstrin

III. 40 g tepung tapioka : 10 tepung maltodekstrin


3. Proses pemanasan yang digunakan dalam pembuatan bakso

instan ikan gabus yaitu dengan cara dioven pada suhu 160ºC

selama 25 menit.

2. Penelitian Utama

Berdasarkan tahapan proses penelitian pendahuluan diatas, maka

dilanjutkan kepenelitian utama untuk membuat bakso instan ikan

gabus, yaitu

A1 = Daging Ikan 70% : Tepung Tapimal 30%

A2 = Daging Ikan 60% : Tepung Tapimal 40%

A3 = Daging Ikan 50% : Tepung Tapimal 50%

Diagram alir pembuatan bakso instan ikan gabus dapat dilihat

pada Gambar 02.


Ikan gabus segar

Dipotong menjadi dua lalu


dibilas dan dibersihkan

- Kulit
Difilet dagingnya - Insang
- tulang

150 g daging ikan diblender


dengan hancuran es
selama 15 menit

Bawang putih,
Ditambahkan bumbu sambil garam, merica dan
diblender dgn hancuran daging penyedap rasa / 3 g

A1 = Daging Ikan 70% : T.Tapimal 30%


Adonan di beri perlakuan
A2 = Daging Ikan 60% : T. Tapimal 40%

A3 = Daging Ikan 50% : T. Tapimal 50%


Adonan diaduk/
dihomogenkan

Adonan dibentuk
bulat

Adonan direbus 10-15 menit pada suhu


97°C selama 10-15 menit

Dimasukkan dlm frezeer


pada T= -40°C selama ±
6 jam Analisis Kimia :
- Protein
- Kadar abu
- Kadar air
- Lemak
Bakso Instan - Daya Rehidrasi
Dioven pada suhu
Ikan Gabus Uji Organoleptik :
160°C selama 20-
- Rasa
25 menit
- tekstur

Gambar 02. Diagram alir pembuatan bakso instan ikan gabus


D. Metode Analisa Pengamatan

Parameter pengamatan pada penelitian ini yaitu uji

organoleptik, uji daya patah, kadar protein, kadar lemak, kadar abu,

kadar karbohidrat dan kadar air.

a. Kadar Protein (Sudarmadji dkk., 1997)

Kadar protein ditentukan dengan metode kjedahl

menggunakan destruksi Gerhardt Kjeldaterm. Prosedur kerja

sebagai berikut :

1. Bahan ditimbang sebanyak 0,5 gram kemudian dimasukkan ke

dalam labu kjedahl 100 ml.

2. Ditambahkan kurang lebih 1 gram campuran selenium dan 10 ml

H2SO4 pekat kemudian dihomogenkan.

3. Didestruksi dalam lemari asam sampai jernih. Bahan dibiarkan

dingin, kemudian dibuang ke dalam labu ukur 100 ml sambil

dibilas dengan aquadest.

4. Dibiarkan dingin kemudian ditambahkan aquades sampai tanda

tera. Disiapkan penampung yang terdiri dari 10 ml H2BO3 2%

tambah 4 tetes larutan indikator dalam erlenmeyer 100 ml.

5. Dipipet 5 ml NaOH 30% dan 100 ml aquadest, di suling hingga

volume penampung menjadi kurang lebih 50 ml. Dibilas ujung

penyuling dengan aquades kemudian ditampung bersama isinya.


6. Dititrasi dengan larutan HCL atau H2SO4 0,02 N, perhitungan

kadar protein dilakukan sebagai berikut:

Keterangan :
V1 = volume titrasi contoh
N = normalitas larutan HCL atau H2SO4 0,02 N
P = faktor pengenceran = 100/5

b. Kadar air (Sudarmadji dkk., 1997)

1. Bahan yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 2 gram

kemudian dimasukkan kedalam cawan yang telah diketahui

beratnya.

2. Bahan yang dikeringkan dalam oven suhu 100-1050C selama

3-5 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator dan

ditimbnag. Bahan kemudian dikeringkan lagi dalam oven

selama 30 menit, didinginkan dalam desikator dan kemudian

ditimbang. Perlakuan ini diulangi sampai tercapai berat

konstan.

3. Dihitung kadar airnya dengan rumus:


Kadar air = (berat awal – berat akhir) x 100%
Berat akhir

c. Kadar lemak (Sudarmadji dkk., 1997)

Kadar lemak ditentukan dengan metode socxhlet.

Prosedur kerja penentuan kadar lemak sebagai berikut :


1. Ditimbang dengan teliti kurang lebih 1 gram sampel.

Dimasukkan ke dalam tabung reaksi berskala 10 ml,

ditambahkan chloroform mendekati skala.

2. Kemudian ditutup rata, dikocok dan dibiarkan semalam.

Himpitkan dengan tanda skala 10 ml dengan pelarut lemak

yang sama dengan memakai pipet, lalu dikocok hingga

homogen. Kemudian disaring dengan kertas saring ke dalam

tabung reaksi.

3. Dipipet 5 cc ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya

(a gram). Lalu diovenkan pada suhu 100 oC selama 3 jam.

4. Dimasukkan ke dalam desikator lebih kurang 30 menit,

kemudian ditimbang (b gram).

5. Dihitung kadar lemak dengan menggunakan persamaan :

Kadar lemak =

Dimana : P = Pengenceran = 10/5 = 2

d. Kadar Abu (Sudarmadji dkk., 1997)

Kadar abu ditentukan dengan metode tanur. Prosedur kerja

penentuan kadar abu sebagai berikut :

1. Cawan pengabuan dibakar dalam tanur kemudian dan didinginkan

3 - 5 menit lalu ditimbang.

2. Ditimbang dengan cepat kurang lebih 5 g sampel yang sudah

dihomogenkan dalam cawan.


3. Dimasukkan dalam cawan pengabuan kemudian dimasukkan ke

dalam tanur dan dibakar sampai didapat abu berwarna abu-abu

atau sampai beratnya tetap.

4. Bahan didinginkan kemudian ditimbang.

5. Dihitung kadar abunya dengan rumus:

berat abu ( gr )
% abu  x100 %
berat sampel ( gr )

e. Daya Rehidrasi ( Penambahan Berat)

Pengukuran daya rehidrasi dilakukan dengan metode

penimbangan (Ramlah,1997). Daya rehidrasi adalah kemampuan

bahan pangan atau suatu produk untuk menyerap air. Pengukuran

dilakukan dengan menimbang a gram bahan kering kemudian

direbus sampai masak (± 10 menit). Setelah dimasak

kemudian bahan ditiriskan dan ditimbang (b gram)

Jumlah air yang diserap dihitung dengan cara:

Daya rehidrasi (%) = x 100%

f. Uji Organoleptik (Rampengan dkk., 1985)

Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan

atau kelayakan suatu produk agar dapat diterima oleh panelis

(konsumen). Metode pengujian yang dilakukan adalah metode

hedonik (uji kesukaan) meliputi: rasa. Dalam metode hedonik ini,

panelis (konsumen) diminta memberikan penilaian berdasarkan


tingkat kesukaan. Skor yang digunakan adalah 5 (sangat suka),

4 (suka), 3 (agak suka), 2 (tidak suka), dan 1 (sangat tidak suka).

E. Pengolahan Data

Pengolahan data dalam peneitian ini adalah data yang diperoleh diolah

dengan menggunakan Deskriptif Kuantitatif dengan tiga kali ulangan.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bakso adalah salah satu bentuk olahan daging ikan yang

merupakan produk pangan berbentuk bundar atau kotak, yang diperoleh

dari campuran daging / ikan yang telah dihaluskan dengan cara digiling

(kadar daging/ikan minimal 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa

penambahan bahan-bahan kimia lain serta bahan tambahan makanan

yang diijinkan (Dewan Standarinisasi, 1995).

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan sebelum melakukan

penelitian utama bertujuan untuk menentukan komposisi bumbu,

tepung yang ideal serta proses pemanasan yang baik untuk

pembuatan bakso instan ikan gabus. Penelitian pendahuluan terdiri

atas :

1. Penentuan komposisi bumbu

bawang putih 3 g, merica bubuk 2 g, penyedap rasa 3 g dan

garam 2 g. Penentuan komposisi bumbu bertujuan untuk

mengetahui apakah bumbu yang ditambahkan pada produk

bakso instan, sudah dapat diterima oleh panelis.

2. Penentuan komposisi tepung tapioka dan maltodekstrin

I. 1 : 1

II. 4 : 1

III. 3 : 2
Dari hasil penelitian diatas, komposisi yang terbaik untuk

pembuatan bakso instan ikan gabus yaitu formulasi II (40 g

tapioka : 10 g maltodekstrin). Berdasarkan hasil pengujian

sensori tekstur yang dilakukan oleh beberapa panelis, tekstur

bakso instan ikan gabus sudah dapat diterima.

3. Penentuan proses pemanasan bertujuan untuk mengetahui

cara pemanasan apa yang baik dalam proses pembuatan

bakso instan ikan gabus. Uji yang dilakuakan terdiri dari dua

cara, yaitu dengan cara dipanggang dan dioven. Berdasarkan

uji yang dilakukan, proses pengovenan yang menghasilkan

hasil yang baik, suhu yang digunakan yaitu 165ºC dan akan

dilanjutkan ketahapan selanjutnya.

2. Penelitian Utama

Penelitian utama adalah lanjutan dari penelitian

pendahuluan, dimana hasil perlakuan terbaik antara

perbandingan tepung tapioka dan tepung maltodekstrin akan

dilanjutkan dalam pembuatan bakso instan ikan gabus. Dari hasil

perbandingan kombinasi tepung yang terbaik yaitu 40 g tapioka

dan 10 g maltodekstrin (4 :1). Dari perbandingan 4 : 1

dikembangkan menjadi :

I. 24 g tepung tapioka : 6 tepung maltodekstrin

II. 32 g tepung tapioka : 8 tepung maltodekstrin

III. 40 g tepung tapioka : 10 tepung maltodekstrin


Kemudian dilanjutkan untuk penentuan formulasi untuk pembuatan

bakso instan yaitu :

A1 = Daging Ikan 70% : Tepung Tapimal 30%

A2 = Daging Ikan 60% : Tepung Tapimal 40%

A3 = Daging Ikan 50% : Tepung Tapimal 50%

A. Analisa Kandungan Kimia

1. Kadar Lemak

Lemak merupakan salah satu kandungan kimia yang tidak

larut dalam air, umumnya lemak terdapat pada hewan maupun

tumbuhan. Lemak merupakan salah satu kandungan yang menjadi

salah satu penyimpanan cadangan makanan bagi makhluk hidup.

Selain itu, lemak juga merupakan sumber energi yang efektif yang

sangat penting bagi tubuh (Sudarmdji, 1997). Pengujian kadar

lemak untuk mengetahui berapa banyak kandungan lemak pada

bakso instan ikan gabus.

Berdasarkan grafik histogram dibawah kadar lemak tertinggi

yaitu 1,09%. SNI kadar lemak untuk bakso ikan yaitu minimal 3%,

sedangkan hasil pengujian untuk kadar lemak bakso instan ikan

gabus diperoleh 1,09%, artinya kadar lemak tersebut belum

memenuhi standar SNI. Hal ini dipengaruhi rendahnya kandungan

lemak pada ikan gabus, sehingga kadar lemak bakso instan yang

dihasilkan rendah, karena lemak yang terdapat pada ikan gabus

rendah. Hal ini sesuai pernyataan Suprayitno (2006), bahwa kadar


lemak ikan gabus lebih rendah dibandingkan dengan jenis ikan

lainnya. Hasil uji kadar lemak pada produk bakso instan gabus dapat

dilihat pada Gambar 03.

1,09
1,2 0,91 0,87
1
Kadar Lemak (%)

0,8
0,6
0,4
0,2
0
70:30 60:40 50:50

Perbandingan Daging Ikan (%) dengan Tapimal Tapimal (%)

Gambar 03. Hubungan Perbandingan Daging Ikan dengan


Tepung (Tapioka dan Maltodekstrin) Terhadap
Bakso Instan

2. Kadar Protein

Protein merupakan salah satu pembentuk energi, zat

pembangun dan zat pengatur bagi tubuh. Protein merupakan

senyawa organik yang banyak dijumpai pada hewan, salah satunya

ikan gabus. Ikan gabus merupakan ikan air tawar yang mempunyai

kadar protein yang cukup tinggi yaitu 25,1%. Analisa protein

dilakukan untuk mengetahui berapa banyak kandungan kadar

protein yang dihasilkan dari produk bakso instan ikan gabus,

karena protein merupakan komponen yang mudah rusak, setelah

beberapa proses pengolahan. Hasil uji kadar protein pada produk

bakso instan gabus dapat dilihat pada Gambar 04.


32,45
35 26,75 25,9
30

Kadar Protein (%)


25
20
15
10
5
0
70:30 60:40 50:50

Perbandingan Daging Ikan (%) dengan Tepung Tapimal (%)

Gambar 04. Hubungan Perbandingan Daging Ikan dengan


Tepung (Tapioka dan Maltodekstrin) Terhadap
Bakso Instan

Berdasarkan grafik histogram datas kadar protein bakso

instan ikan gabus diatas yaitu 32,45%, sedangkan SNI untuk

produk bakso ikan yaitu minimal 9,70%. Hal ini sudah memenuhi

dari standar nasional Indonesia untuk produk bakso bakso instan

ikan gabus. Hal ini menunjukkan bahwa produk bakso instan yang

telah melalui beberapa proses pengolahan yaitu proses awal

dengan perebusan, proses kedua pembekuan dan ketiga

pengovenan, masih memiliki kandungan protein diatas standar

yang ditetapkan oleh SNI No. 01-3819-1995. Kandungan protein

bakso instan tersebut berasal dari ikan gabus itu sendiri, dimana

kandungan protein ikan gabus lebih tinggi dibandingkan kandungan

protein ikan tawar lainnya. Hal ini sesuai pernyataan Suprayitno


(2006), protein ikan gabus segar mencapai 25,1% sedangkan

6,224% dari protein tersebut berupa albumin. Jumlah ini sangat

tinggi dibandingkan sumber protein hewani lainnya.

3. Kadar Air

Kadar air merupakan kandungan penting dalam suatu bahan

pangan dan hampir setiap pangan mengandung kadar air. Kadar air

sangat mempengaruhi daya tahan pangan. karena apabila suatu

pangan memiliki kadar air yang tinggi maka pangan tersebut cepat

mengalami kerusakan, oleh karena itu penting suatu pengolahan

untuk mempertahankan pangan agar tidak mudah rusak.

Analisa kadar air pada produk bakso instan ikan gabus

bertujuan untuk mengetahui batasan maksimal atau rentang

tentang besarnya kandungan air di dalam bahan (Suprapti, 2003).

Pengukuran kadar air sangat penting untuk bahan kering seperti

bakso instan ikan gabus ini, sehingga perlunya diketahui batas

kadar air yang baik dan mempunyai daya simpan yang lebih lama.

Hasil uji kadar air pada produk bakso instan gabus dapat dilihat

pada Gambar 05.


38,6

40 30,6
35 27

Kadar Air (%) 30


25
20
15
10
5
0
70:30 60:40 50:50
Perbandingan Daging Ikan (%) dengan Tepung TapMalto (%)

Gambar 05. Hubungan Perbandingan Daging Ikan dengan


Tepung (Tapioka dan Maltodekstrin) Terhadap
Bakso Instan

Berdasarkan grafik histogram diatas, kadar air untuk

perlakuan terbaik yaitu A1 (70% daging ikan : 30% tepung tapimal)

kadar air yang dihasilkan yaitu 38,6%, A2 (60% daging ikan : 40%

tepung tapimal) yaitu 30,6% dan A3 (50% daging ikan: 50% tepung

tapimal) memiliki kadar air terendah yaitu 27%. Hasil tersebut

berbeda dipengaruhi oleh masing-masing perlakuan antara jumlah

ikan dan tepung. makin rendah kadar tepung tapmalto dan makin

tinggi daging ikan gabus menyebabkan makin tinggi kadar air

bakso. Hal ini berkaitan dengan proses gelatinisasi pati yang

terkandung dalam tapioka dan pembentukan ikatan silang antara

pati dengan protein yang telah mengalami denaturasi. Eskin et al

(1971) dalam Wibowo (1999) menyatakan bahwa reaksi gelatinisasi

pati dan denaturasi protein menyebabkan air terperangkap dalam


matriks kompleks pati-protein, sedangkan gelatinisasi pati tersebut

terjadi pada suhu relatif tinggi (lebih dari 60oC) menyebabkan

granula pati membengkak terisi air.

4. Kadar Abu

Kadar abu merupakan sisa hasil pembakaran zat anorganik

dari bahan organik yang diabukan dalam tungku pengabuan.

Kadar abu juga menentukan ada tidaknya zat mineral dalam suatu

bahan pangan. Analisa kadar abu pada bakso instan ikan gabus

bertujuan untuk mengetahui adanya kandungan mineral yang

dihasilkan. Semakin tinggi kadar abu maka semakin tinggi pula

kadar mineral yang terkandung. Hasil uji kadar abu pada produk

bakso instan gabus dapat dilihat pada Gambar 06.

0,06
0,05
0,06
0,05
Kadar Abu (%)

0,03
0,04
0,03
0,02
0,01
0
70:30 60:40 50:50

Perbandingan Daging Ikan (%) dengan Tepung Tapimalo (%)

Gambar 06. Hubungan Perbandingan Daging Ikan dengan


Tepung (Tapioka dan Maltodekstrin) Terhadap
Bakso Instan
Berdasarkan grafik histogram diatas, kadar abu terendah yaitu

pada A3 (daging ikan 50% : tepung tapimal 50%) adalah 0,03%, A2

(daging ikan 60% : tepung tapimal 40%) adalah 0,05% dan kadar

abu tertinggi yaitu pada perlakuan A1 ( daging ikan 70% : tepung

tapimal 30%). Kadar abu produk bakso instan sudah memenuhi

standar SNI untuk produk bakso (SNI No. 01-3818-1995), yaitu

kadar abu maksimal 3%. Kadar abu yang dihasilkan produk bakso

instan merupakan hasil sisa pembakaran mineral anorganik dari

ikan gabus. ikan. Hal ini sesuai pernyataan Suprayitno (2006),

bahwa ikan gabus mengandung mineral berupa mineral Zn.

5. Daya Rehidrasi

Daya rehidrasi pada bakso instan ikan gabus yang dihasilkan

menunjukan kemampuan bakso instan menyerap air. Analisa daya

rehidrasi dilakukan untuk mengetahui besarnya kemampuan bakso

instan menyerap air setelah dijadikan sebagai produk bersifat

instan. Hasil uji daya rehidrasi pada produk bakso instan gabus

dapat dilihat pada Gambar 7.

Berdasarkan grafik histogram dibawah menunjukan bahwa

kemampuan bakso instan menyerap air pada perlakuan A 1 (daging

ikan 70 : tepung 30%), A2 (daging ikan 60 : tepung 40%), dan A3

(daging ikan 50 : tepung 50%), secara berurutan yakni 1,47%, 3,07%

dan 5,45%.
5,45
6

Daya Rehidrasi (%)


5
3,07
4
3 1,47
2
1
0
70:30 60:40 50:50
Perbandingan Daging Ikan (%) dengan Tepung TapMalto (%)

Gambar 07. Hubungan Perbandingan Daging Ikan dengan


Tepung (Tapioka dan Maltodekstrin) Terhadap
Bakso Instan

Pada penelitian ini, perlakuan A1 (daging ikan 70 : tepung

30%) memiliki daya rehidrasi terendah. Semakin tinggi kemampuan

menyerap airnya maka semakin redah kadar air dari bakso instan ikan

gabus tersebut. Hal ini sesuai dengan (McWilliams,2001) bahwa

kemampuan daya serap air berkurang apabila kadar air dalam tepung

itu tinggi.

B. Uji Organoleptik

1. Rasa

Rasa merupakan atribut penting dalam suatu produk atau

bahan pangan. Rasa dapat diperoleh dari penambahan bumbu dan

proses pengolahan. Rasa bakso ikan mempunyai cita rasa yang

tersendiri, bakso ikan memiliki rasa yang berbeda dari bakso hasil

olahan sapi dan ayam, umumnya bakso ikan jika tidak diolah dengan

baik dan benar rasa yang dihasilkan memliki rasa yang kurang
disenangi karena pada umumnya ikan memiliki bau amis sehingga

perlunya pengolahan yang tepat untuk mendapat bakso ikan yang

disukai konsumen. Cita rasa merupakan faktor penentu dari bahan

pangan atau produk, jika rasa tersebut memiliki cita rasa yang enak,

maka sangat mudah untuk menarik perhatian konsumen. Menurut

Winarno (1997), bahwa rasa suatu makanan merupakan faktor yang

turut menentukan daya terima konsumen. Rasa dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi

dengan komponen rasa yang lain. Rasa makanan merupakan faktor

kedua yang menentukan cita rasa makanan setelah penampilan

makanan itu sendiri. Hasil uji organeleptik rasa bertujuan untuk

mengetahui tingkat respon konsumen terhadap produk bakso instan

yang diujikan dari masing-masing perlakuan. Hasil uji organoleptik

terhadap rasa dapat dilihat pada Gambar 08.

4,3
5
3,7
3,2
Nilai Rasa (1-5)

1
70:30 60:40 50:50

Perbandingan Daging Ikan (%) dengan Tepung Tapimal (%)

Gambar 08. Hubungan Perbandingan Daging Ikan dengann


Tepung (Tapioka dan Maltodekstrin) Terhadap
Rasa Bakso Instan
Berdasarkan grafik histogram diatas rasa terbaik yang

dihasilkan yaitu pada perlakuan A1 (70% daging ikan : 30% tepung

tapimal) dengan nilai 4,3 hasilnya disukai oleh panelis , B2 (60%

daging ikan : 40% tepung tapimal) dengan nilai 3,7 (suka) dan

perlakuan B3 (50% daging ikan : 50% tepung tapimal) dengan nilai

3,2 agak disukai oleh panelis. Dari hasil tersebut dapat dilihat produk

bakso instan yang dihasilkan menunjukkan tingkat kesukaan

terhadap rasa yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh

penambahan bumbu pada produk bakso instan yang dihasilkan.

2. Tekstur

Tekstur merupakan atribut penting dalam pengujian

organoleptik. Tekstur dapat dirasakan atau diketahui bentuknya

melalui sentuhan dengan indera peraba (kulit) ataupun indera

perasa (lidah). Tekstur sangat berperan penting pada olahan

pangan yang renyah seperti biskuit, lunak seperti daging dan

kenyal seperti bakso. Tekstur merupakan sensasi tekanan yang

dapat diamati dengan mulut (pada waktu digigit, dikunyah, dan

ditelan) ataupun perabaan dengan jari (Kartika, dkk., 1988). Hasil

uji organoleptik tekstur pada produk bakso instan gabus dapat

dilihat pada Gambar 09.


5 4,2
3,5
Nilai Tekstur (1-5)
4
2,7
3

1
70:30 60:40 50:50

Perbandingan Daging Ikan (%) dengan Tepung Tapimal (%)

Gambar 09. Hubungan Perbandingan Daging Ikan dengan


Tepung (Tapioka dan Maltodekstrin) Terhadap
Tekstur Bakso Instan

Berdasarkan grafik histogram diatas tekstur terbaik yang

dihasilkan yaitu pada perlakuan A1 (70% daging ikan : 30% tepung

tapimal) dengan nilai 4,2 disukai oleh panelis, A2 (60% daging ikan :

40% tepung tapimal) dengan nilai 3,5hasilnya agak disukai oleh

panelis dan perlakuan A3 (50% daging ikan : 50% tepung tapimal)

dengan nilai 2,7 tidak disukai oleh panelis. Rendahnya hasil penilaian

tersebut disebabkan tekstur pada A3 (50% daging ikan : 50% tepung)

memiliki tekstur yang agak keras dan memiliki tingkat kekenyalan

yang tinggi karena tepung yang digunakan lebih banyak dibanding

perlakuan A1 dan A2. Semakin banyak tepung yang digunakan

dibandingkan daging ikan, akan mengurangi tingkat kekerasan,

elastisitas dari bakso. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardoko

(1994), daging ikan sebagai bahan utama pembuatan bakso

merupakan sumber protein myofibril yang membentuk gel.


Ditambahkan oleh Wibowo (1999), Kriteria mutu untuk tekstur bakso

adalah tekstur kompak, elastis, tidak ada serat daging, tidak ada duri

dan tulang, tidak basah berair dan rapuh.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Proses pembuatan bakso instan ikan gabus meliputi beberapa

tahap, yaitu penentuan komposisi bumbu yang sesuai,

penentuan perbandingan komposisi tepung yang terbaik 40 g

tapioka dan 10 g maltodekstrin, penentuan proses pemanasan

(dioven) , dan penentuan formulasi (daging ikan dan tepung)

2. Hasil analisa uji kimia kimia meliputi kadar air tertinggi yaitu

pada A1 (daging ikan 70% : tepung tapimal 30%) yaitu 38,6%,

kadar abu tertinggi pada A1 (daging ikan 70% : tepung tapimal

30%) yaitu 0,06, kadar lemak dan protein tertinggi terdapat pada

perlakuan A1 (daging ikan 70 : tepung tapimal 30%) yaitu lemak

1,09% dan protein 32,45% serta daya rehidrasi tertinggi yaitu

pada perlakuan A3 (daging ikan 50% : tepung tapimal 50%) yaitu

5,45.

3. Perlakuan terbaik berdasarkan uji organoleptik yaitu formulasi

A1 (daging ikan 70% : tepung 30%). Untuk rasa 4,3 (suka) dan

tekstur 4,2 (suka).

B. Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan

penelitian mengenai masa simpan bakso instan ikan gabus serta

pengemasan yang baik terhadap produk bakso instan ikan gabus.


DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel.


2001.Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing,
Iowa.

Achanta dan Okos, 2000. Pengeringan. repository.ipb.ac.id/ bitstream


/handle
/123456789/55932/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequ
ence=3. Akses Tanggal 22 Mei 2013. Makassar.

Achyad, D.E dan R. Rasyidah. 2000. Lada Piper Ningrum Linn.


http://www.asiamaya.com/jamu/isi/lada_piperningrum.htm. Akses
Tanggal 22 Mei 2013. Makassar.

Anjarsari, B. 2010. Pangan Hewani (Fisiologi Pasca Mortem dan


Teknologi). Graha Ilmu. Bandung.

Anonim, 2012a. Klasifikasi Ikan Gabus. http://www.wikipedia.org.com.


Akses Tanggal 2 Februari 2013. Makassar.

----------,2012b. Protein. http://www.docstoc.com/docs/114533274/SIFAT-


PROTEIN. Akses Tanggal 15 Mei 2013. Makassar.

Ayustaningwarno, F. 2012. Proses Pemanggangan Roti. Pdf Document.


Akses tanggal 15 Mei 2013.

Bakar A dan S. Usmiati. 2007. Teknologi Pengolahan Daging. Bogor :


Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

Buckle, K.A., R.A. Edwards., G.H. Fleet and m. Wootton, 1987. Food
Science. Penerjemah Hari Purnomo dan Adiono dalam Ilmu
Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Damanik, RMS. 2010. Pengaruh Konsentrasi Kalsium Clorida (CaCl2)


dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Tepung Bawang
Putih. Laporan Tugas Akhir. Universitas Sumatera Utara.

Dewan Standardisasi Nasional. 1995. SNI 01-3818, Bakso Daging.


Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Desrosier, W. N. 1988. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan.


Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Djuhanda, T. 1981. Dunia Ikan. Armico. Bandung.

Effendi S. 2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan.


Alfabet, CV. Bandung.

Enriyani, 2009. Analisis Efisiensi Peneringan Ikan Nila pada Pengering


Surya Aktif Tidak Langsung. akademik.che.itb.ac.id/labtek/wp-
content/.../08/fan-sentrifugal.pdf. Akses Tanggal 22 Mei 2013.
Makassar.

Fellows, P. J. 2000. Food Processing Technology. Ellis Horwood, New


York. Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.
Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge dan R. A
Merkel. 1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman, San
Fansisco.

Gaffar, R. 1998. Sifat fisik dan palatabilitas bakso daging ayam


dengan bahan pengisi tepung sagu dan tepung tapioka.
Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hardoko, 1994. Pembuatan Fish Cake (Kamaboko) dari Daging Ikan


Tengiri dengan Tepung Gandum dan Tepung Sagu. Buletin
Ilmiah Perikanan. Faperik Unibraw Malang, III :p.63-72.

Hui, Y. H. 1992. Encyclopedia of Food Sciece and Technology


Handbook. VCH Publisher, Inc. New York.
Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono, 1988. Pedoman Uji Inderawi
Bahan Pangan. Pusat Antar

Kramlich, W. E., A. M. Pearson dan F. W. Tauber. 1973. Processed Meat.


The AVI Publishing, Connecticut

McWilliams, M., 2001. Food Experimental Perspectives, FourthEdition.


Prentice Hall, Hew Jersey

Purnomo dan Adiono dalam Ilmu Pangan. Universitas Indonesia Press,


Jakarta.

Rampengan, V.J. Pontoh dan D.T. Sembel., 1885. Dasar-dasar


Pengawasn Mutu Pangan. Badan Kerjasama Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur, Ujung Pandang.

Rizkha. 2009. Pengaruh Suhu Pengeringan Oven terhadap Kualitas


Serbuk Ikan Gabus. Jurnal Penelitian Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya.
Roper, H. 1996. Starch: Present Use and Future Utilization. Dalam Van
Bekkum, H. H. Ropper dan A. G. J. Voragen (eds.). Carbohydrates
as Organic Raw Materials III. VCH Publisher. Weinheim.

Soekarto, ST. 1990. Penilaian Organoleptik untuk Industri. Bharata


Karya Aksara, Jakarta.

Somaatmaja. D. 1985. Rempah-rempah Indonesia. Departemen


Perindustrian. Badan Litbang industri. Malai Besar Litbang Industri
Hasil Pertanian Bogor.

Sudarmaji S, Haryono B, Suhardi. 1997. Analisis Bahan Makanan dan


Pertanian. Yogyakarta : Penerbit Liberty.

Suprapti, 2003. Teknologi Pengolahan Pangan. Kanisius. Yogyakarta

Srihari, E., S.L.Farid, H. Rossa, dan W.S. Helen. 2010. Pengaruh


Penambahan Maltodekstrin Pada Pembuatan Santan Kelapa
Bubuk. Seminar Rekayasa Kimia Dan Proses, 4-5 Agustus 2010
ISSN : 1411-4216.

Suprayitno, 2006. Potensi serum Albumin dari Ikan Gabus. Kompas.


Cybermedia.

Suprayitno. 2008. Studi Profil Asam Amino Albumin dan Seng pada
Ikan Gabus. Skripsi Fakulatas Perikanan Universitas
Brawijaya, Malang.

Syamsir, 2011. Mempelajari Formulasi Bumbu Penyedap Berbahan


Dasar Ikan Teri dan Daging Buah Picung dengan
penambahan Rempah-Rempah. Penanganan bumbu
rempah.http:// ilmu pangan. pengananan bumbu dan
remapah.html. Akses Tanggal 20 Mei 2013. Makassar.

Taib, Gunarif., 1987. Operasi Pengerigan pada Pengolahan Hasil Pertanian.


PT. Melton putra. Jakarta.

Tarwotjo, I. S., S.Hartini, Soekirman dan Sumartono. 1971. Komposisi


Tiga Jenis Bakso. Jakarta. Akademi Gizi, Jakarta.

Tintin, S. 2008. Pengaruh Beberapa Pengolahan pada Ikan Mujair.


Repository.usu.ac.id/coverpdf. Akses Tanggal 4 Mei 2013.
Makassar.

Triyono, Agus., 2008. Karakteristik Hasil Optimalisasi Usaha Produksi


Pati Termodifikasi Secara Enzimatik Dari Umbi-Umbian
Dengan Konverter Sistim Pemanas Berjaked Oli. Prosiding
Seminar Nasional Teknoin Bidang Teknik Kimia dan Tekstil.

Winarno F.G dan TS.Rahayu. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan


dan Kontaminan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.

Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Jakarta


: PT Penebar Swadaya.

_______. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta : PT


Penebar Swadaya.
LAMPIRAN
Lampran 01. Hasil Analisa Kadar Air Bakso Instan Ikan Gabus
ULANGAN RATA-
SAMPEL TOTAL
I II III RATA
A1 39,5 37,2 39,3 115,9 38,6
A2 30,2 31,4 30,3 91,9 30,6
A3 17,2 31,2 32,8 81,2 27
Sumber : Data Sekunder Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013

Lampran 02. Hasil Analisa Kadar Abu Bakso Instan Ikan Gabus
ULANGAN RATA-
SAMPEL TOTAL
I II III RATA
A1 0,05 0,04 0,06 0,15 0,05
A2 1,57 0,03 0,04 1,64 0,54
A3 0,09 0,05 0,06 0,2 0,06
Sumber : Data Sekunder Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013

Lampran 03. Hasil Analisa Daya Rehidrasi Bakso Instan Ikan Gabus
ULANGAN RATA-
SAMPEL TOTAL
I II III RATA
A1 0,02 1,24 3,15 4,41 1,47
A2 1,84 5,11 2,26 9,21 3,07
A3 5,63 5,00 5,74 16,37 5,45
Sumber : Data Hasil Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013

Lampran 04. Hasil Analisa Kadar Lemak Bakso Instan Ikan Gabus
ULANGAN RATA-
SAMPEL TOTAL
I II III RATA
A1 1,11 1,04 1,12 3,27 1,09
A2 0,98 0,96 0,81 2,75 0,91
A3 0,84 0,80 0,98 2,62 0,87
Sumber : Data Sekunder Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013

Keterangan :
A1 : Daging Ikan 70% : Tepung Tapimal 30%
A2 : Daging Ikan 60% : Tepung Tapimal 40%
A3 : Daging Ikan 50% : Tepung Tapimal 50%
Lampran 05. Hasil Analisa Kadar Protein Bakso Instan Ikan Gabus
ULANGAN RATA-
SAMPEL TOTAL
I II III RATA
A1 31,94 33,02 32,41 97,37 32,45
A2 26,14 27,57 26,56 80,27 26,75
A3 26,51 25,23 25,96 77,70 25,90
Sumber : Data Sekunder Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013

Hasil Data Pengujian Organoleptik

Lampran 06. Hasil pengujian oganoleptik parameter rasa penelitian


pembuatan bakso instan ikan gabus. Perlakuan A1 (Daging
Ikan 70% : Tepung 30%)
No Nama U1 U2 U3 Total Rata-rata
1 Panelis 1 5 5 5 15 5
2 Panelis 2 4 4 4 12 4
3 Panelis 3 4 4 4 12 4
4 Panelis 4 5 5 5 15 5
5 Panelis 5 5 5 4 14 4.7
6 Panelis 6 4 4 4 12 4
7 Panelis 7 4 4 4 12 4
8 Panelis 8 4 4 4 12 4
9 Panelis 9 5 5 5 15 5
10 Panelis 10 4 3 4 11 3.7
11 Panelis 11 4 4 4 12 4
12 Panelis 12 5 4 4 13 4.3
13 Panelis 13 5 4 4 13 4.3
Sumber : Data Sekunder Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013
Lampran 07. Hasil pengujian oganoleptik parameter rasa penelitian
pembuatan bakso instan ikan gabus. Perlakuan A2
(Daging Ikan 60% : Tepung 40%)
No Nama U1 U2 U3 Total Rata-rata
1 Panelis 1 4 4 4 12 4
2 Panelis 2 4 4 4 12 4
3 Panelis 3 4 3 4 11 4
4 Panelis 4 5 4 4 13 4
5 Panelis 5 4 4 3 11 4
6 Panelis 6 5 4 3 12 4
7 Panelis 7 3 3 4 10 3.3
8 Panelis 8 3 3 2 8 3
9 Panelis 9 4 4 4 12 4
10 Panelis 10 4 4 4 12 4
11 Panelis 11 5 4 3 12 4
12 Panelis 12 3 3 3 9 3
13 Panelis 13 3 3 4 10 3.3
Sumber : Data Hasil Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013

Lampran 08. Hasil pengujian oganoleptik parameter rasa penelitian


pembuatan bakso instan ikan gabus. Perlakuan A3
(Daging Ikan 50% : Tepung 50%)
No Nama U1 U2 U3 Total Rata-rata
1 Panelis 1 3 3 3 9 3
2 Panelis 2 4 4 4 12 4
3 Panelis 3 3 3 4 10 3.3
4 Panelis 4 4 4 4 12 4
5 Panelis 5 3 3 4 10 3.3
6 Panelis 6 4 3 3 10 3.3
7 Panelis 7 3 4 3 10 3.3
8 Panelis 8 3 2 2 7 2.3
9 Panelis 9 3 3 3 9 3
10 Panelis 10 4 3 3 10 3.3
11 Panelis 11 4 4 4 12 4
12 Panelis 12 3 2 2 7 2.3
13 Panelis 13 3 2 1 6 2
Sumber : Data Sekunder Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013
Lampiran 09. Hasil pengujian oganoleptik parameter tekstur penelitian
pembuatan bakso instan ikan gabus. Perlakuan A1 (Daging
Ikan 70% : Tepung 30%)
No Nama U1 U2 U3 Total Rata-rata
1 Panelis 1 5 5 5 15 5
2 Panelis 2 5 5 5 15 5
3 Panelis 3 5 5 5 15 5
4 Panelis 4 5 4 4 13 4.3
5 Panelis 5 4 4 4 12 4
6 Panelis 6 4 4 4 12 4
7 Panelis 7 4 3 4 11 4
8 Panelis 8 4 4 4 12 4
9 Panelis 9 4 3 4 11 4
10 Panelis 10 4 4 4 12 4
11 Panelis 11 5 4 3 12 4
12 Panelis 12 4 4 3 11 4
13 Panelis 13 4 4 4 12 4
Sumber : Data Sekunder Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013

Lampiran 10. Hasil pengujian oganoleptik parameter tekstur penelitian


pembuatan bakso instan ikan gabus. Perlakuan A2 (Daging
Ikan 60% : Tepung 40%)
No Nama U1 U2 U3 Total Rata-rata
1 Panelis 1 4 4 4 12 4
2 Panelis 2 4 4 4 12 4
3 Panelis 3 4 4 4 12 4
4 Panelis 4 4 3 4 11 3.6
5 Panelis 5 4 4 3 11 3.6
6 Panelis 6 3 3 3 9 3
7 Panelis 7 4 3 3 10 3.3
8 Panelis 8 4 3 4 11 3.6
9 Panelis 9 3 3 3 9 3
10 Panelis 10 4 3 3 10 3.3
11 Panelis 11 3 4 3 10 3.3
12 Panelis 12 4 4 3 11 4
13 Panelis 13 4 3 3 10 3.3
Sumber : Data Sekunder Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013
Lampiran 11. Hasil pengujian oganoleptik parameter tekstur penelitian
pembuatan bakso instan ikan gabus. Perlakuan A3 (Daging
Ikan 50% : Tepung 50%)
No Nama U1 U2 U3 Total Rata-rata
1 Panelis 1 4 4 4 12 4
2 Panelis 2 2 2 2 6 2
3 Panelis 3 3 2 3 8 3
4 Panelis 4 3 4 4 11 3.6
5 Panelis 5 3 4 3 10 3.3
6 Panelis 6 3 2 3 8 3
7 Panelis 7 3 3 3 9 3
8 Panelis 8 2 3 2 7 2.3
9 Panelis 9 2 3 3 8 3
10 Panelis 10 2 2 2 6 2
11 Panelis 11 2 3 2 7 2.3
12 Panelis 12 2 2 2 6 2
13 Panelis 13 3 3 2 8 3
Sumber : Data Sekunder Penelitian Pembuatan Bakso Instan Ikan Gabus, 2013

Lampiran Gambar

Lampiran 12. A1 ( 70% daging ikan : 30% tepung tapimal)


Lampiran 13. A2 ( 60% daging ikan : 40% tepung tapimal)

Lampiran 14. A3 ( 50% daging ikan : 50% tepung tapimal)

You might also like