Eksistensi Madzhab Dalam Hukum Islam Masa Kontemporer: M. Saleh STAIN Jurai Siwo Metro
Eksistensi Madzhab Dalam Hukum Islam Masa Kontemporer: M. Saleh STAIN Jurai Siwo Metro
Eksistensi Madzhab Dalam Hukum Islam Masa Kontemporer: M. Saleh STAIN Jurai Siwo Metro
M. Saleh
STAIN Jurai Siwo Metro
E-mail : m_salehstain@yahoo.com
Abstract
Based on the above explanation can we understand that differences
of opinion among Muslims is not a new phenomenon, but since
most early Islamic period of dissent that has already happened.
The difference occurs based and the existence of different views of
each sect in understanding Islam the truth on that one. For that
we Muslims should always be open and arif in memendang as
well as understand the meaning of the difference, up to a point
the conclusion that is different it’s not identical to the contrary
during the difference it move towards truth and Islam are one
in diversity. Khilafiah problem is the problems that occur in the
reality of human life. Among the problems the khilafiah anyone
solve it in a way that is simple and easy, since there is a mutual
understanding based on common sense. But behind that khilafiah
can be a problem stand to establish harmony among Muslims
because of the attitude of the taasub (fanatical) excessive, not
based on considerations of common sense and so on. Dissent in
the Court of law as a result of research (ijtihad), need not be seen
as a factor that weakens the position of Islamic law, even on the
contrary can provide respite. This means, that people are free to
choose one of the opinion of the many, and not just glued to one
opinion only. Therefore, the existence of bermadzhab in Islamic
law in contemporary era is still required to align clients ‘ factual
truth of the Qur’an and as-Sunnah.
Keywords: Fatwa, Islam, Qur’an, consensus
Abstrak
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukanlah suatu
fenomena baru, tetapi semenjak masa Islam yang paling dini
perbedaan pendapat itu sudah terjadi. Perbedaan terjadi adanya
cirri dan pandangan yang berbeda dari setiap mazhab dalam
memahami Islam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita umat
Islam harus selalu bersikap terbuka dan arif dalam memendang
serta memahami arti perbedaan, hingga sampai satu titik
kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik dengan bertentangan
selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran dan Islam adalah
satu dalam keragaman. Masalah khilafiah merupakan persoalan
yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah
khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang
sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan
akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi
ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam
karena sikap taasub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan
pertimbangan akal sehat dan sebagainya. Perbedaan pendapat
dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak
perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan
hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran.
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat
dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada
satu pendapat saja. Oleh sebab itu, eksistensi bermadzhab dalam
hukum Islam pada era kontemporer masih diperlukan guna
menselaraskan kebenaran faktual al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kata kunci: Fatwa, hukum Islam, al-Quràn, ijma’
Pendahuluan
Paling tidak ada dua sikap fanatik yang berkembang dalam
masyarakat Islam yaitu fanatik dalam bermadzhab dan fanatik anti
madzhab. Orang yang fanatik dalam bermadzhab memandang
bahwa hanya madzhab yang dianutnya yang benar, sedangkan
madzhab yang lain adalah salah. Atau seseorang tetap berpegang
pada madzhabnya walaupun dia mengetahui bahwa dalil yang
dipakai madzhabnya lemah, sedangkan dalil yang dipakai oleh
madzhab yang lain lebih shahîh. Atau ada yang berpandangan
1
M.Said Ramadhan al-Buthi, Alamadzhâbiah Akhthuru Bid’atin Tuhaddidu
al-Syari’ah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Gazira Abdi Ummah, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2001), h.15.
Pembahasan
1. Pengertian Madzhab
Kata-kata madzhab adalah merupakan shighat (bentuk)
isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang terambil dari
Fi’il Madhi Dzahaba ( )ذهبyang memiliki arti pergi. Untuk itu
madzhab berarti: tempat pergi atau jalan. Adapun kata lain yang
semakna dengan madzhab ini adalah: Maslak ( ) مسلك, tharîqah (
) طريقةdan sabîl ( ) سبيلyang kesemuanya berarti jalan atau cara.
Demikianlah kata madzhab dalam pengertian bahasa.2
Madzhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam:
Sejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim
besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.
Sedangkan menurut Siradjuddin Abbas madzhab adalah “Fatwa
atau pendapat seorang imam mujtahid”.3 Dalam buku yang
sama Syeikh M.Said Ramadlan al-Buthi menandaskan bahwa
pengertian madzhab menurut istilah ialah jalan pikiran/paham/
pendapat yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid di dalam
menetapkan suatu hukum Islam dari al-Quràn dan al-Hadits.4
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapatlah
ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan madzhab
itu mengandung dua pengertian yaitu: Pertama, madzhab berarti
jalan pikiran atau metode ijtihad yang ditempuh seseorang
imam mujtahid dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa
berdasarkan al-Quràn dan as-sunnah. Kedua, madzhab dalam arti
fatwa-fatwa atau pendapat-pendapat seorang imam mujtahid
tentang suatu hukum terhadap suatu masalah yang digali dari
2
Ibid., h. 17.
3
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Imam Syafi’i, (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1972), h. 52.
4
M.Said Ramadlan al-Buthi, Alamadzhâbiah.
7
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Terj.Mukhtar Yahya, (Jakarta:
Jaya Murni, 1973), h. 198-9.
8
Perang Jamal meletus ketika Abu Thalhah, Zubair, dan Mu’awiyah
bergerak menentang Ali, karena Ali dianggap telah melindungi pembunuh
khalifah Usman. Perang Jamal antara khalifah Ali dengan para pengikutnya di
satu pihak melawan Abu Thalhah, Zubair dan Aisyah beserta pengikutnya di
pihak lain.
9
Perang Shiffin terjadi antara Muawiyah sebagai gubernur Damaskus
yang menentang kepemimpinan Ali sebagai khalifah. Setelah Mu’awiyah hampir
kalah dalam peperangan di Shiffin itu, salah seorang tentaranya disuruh untuk
mengangkat mushaf Al-Qur’an ke ujung tombak sebagai isyarat berdamai.
Ali menerima permintaan damai, namun sebagian dari pengikutnya menolak
dan tidak setuju diadakan tahkim tersebut. Mereka yang tidak setuju akhirnya
mengeluarkan diri dari kedua belah pihak, memisahkan diri dari Ali dan tidak
bergabung dengan Mu’awiyah.
10
Kudhari Beik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, (Mesir: At-Tijâriyah al-Kubrâ,
1976), h. .229.
11
Ibid., h. 41.
12
Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 71.
13
Imron Abdul Manan, ‘Bebas Madzhab Bukan Bid’ah’, dalam Majalah
Simpulan
Keharaman bermadzhab pada suatu madzhab tertentu,
dikemukakan oleh sebagian kecil ulama, namun jumhur ulama
23
Al-Âmidi, Ihkâm, h. 198
DAFTAR PUSTAKA