Eksistensi Madzhab Dalam Hukum Islam Masa Kontemporer: M. Saleh STAIN Jurai Siwo Metro

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

EKSISTENSI MADZHAB DALAM HUKUM

ISLAM MASA KONTEMPORER

M. Saleh
STAIN Jurai Siwo Metro
E-mail : m_salehstain@yahoo.com

Abstract
Based on the above explanation can we understand that differences
of opinion among Muslims is not a new phenomenon, but since
most early Islamic period of dissent that has already happened.
The difference occurs based and the existence of different views of
each sect in understanding Islam the truth on that one. For that
we Muslims should always be open and arif in memendang as
well as understand the meaning of the difference, up to a point
the conclusion that is different it’s not identical to the contrary
during the difference it move towards truth and Islam are one
in diversity. Khilafiah problem is the problems that occur in the
reality of human life. Among the problems the khilafiah anyone
solve it in a way that is simple and easy, since there is a mutual
understanding based on common sense. But behind that khilafiah
can be a problem stand to establish harmony among Muslims
because of the attitude of the taasub (fanatical) excessive, not
based on considerations of common sense and so on. Dissent in
the Court of law as a result of research (ijtihad), need not be seen
as a factor that weakens the position of Islamic law, even on the
contrary can provide respite. This means, that people are free to
choose one of the opinion of the many, and not just glued to one
opinion only. Therefore, the existence of bermadzhab in Islamic
law in contemporary era is still required to align clients ‘ factual
truth of the Qur’an and as-Sunnah.
Keywords: Fatwa, Islam, Qur’an, consensus

Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor 1


150 M. Saleh

Abstrak
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukanlah suatu
fenomena baru, tetapi semenjak masa Islam yang paling dini
perbedaan pendapat itu sudah terjadi. Perbedaan terjadi adanya
cirri dan pandangan yang berbeda dari setiap mazhab dalam
memahami Islam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita umat
Islam harus selalu bersikap terbuka dan arif dalam memendang
serta memahami arti perbedaan, hingga sampai satu titik
kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik dengan bertentangan
selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran dan Islam adalah
satu dalam keragaman. Masalah khilafiah merupakan persoalan
yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah
khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang
sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan
akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi
ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam
karena sikap taasub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan
pertimbangan akal sehat dan sebagainya. Perbedaan pendapat
dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak
perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan
hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran.
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat
dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada
satu pendapat saja. Oleh sebab itu, eksistensi bermadzhab dalam
hukum Islam pada era kontemporer masih diperlukan guna
menselaraskan kebenaran faktual al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kata kunci: Fatwa, hukum Islam, al-Quràn, ijma’

Pendahuluan
Paling tidak ada dua sikap fanatik yang berkembang dalam
masyarakat Islam yaitu fanatik dalam bermadzhab dan fanatik anti
madzhab. Orang yang fanatik dalam bermadzhab memandang
bahwa hanya madzhab yang dianutnya yang benar, sedangkan
madzhab yang lain adalah salah. Atau seseorang tetap berpegang
pada madzhabnya walaupun dia mengetahui bahwa dalil yang
dipakai madzhabnya lemah, sedangkan dalil yang dipakai oleh
madzhab yang lain lebih shahîh. Atau ada yang berpandangan

ISTINBATH MEI 2016


Eksistensi Madzhab dalam Hukum Islam Masa Kontemporer 151

bahwa talfîq (berpindah madzhab) hukumnya haram. Di samping


itu kelompok ini sangat mengkultuskan imam panutannya sampai
pada level melecehkan imam lainnya.
Golongan anti madzhab berpendapat bahwa taqlîd kepada
madzhab hukumnya haram. Mereka berpandangan bahwa taqlîd
kepada madzhabnya sama artinya meninggalkan al-Quràn dan
Sunnah. Mereka menyerukan agar semua kaum muslimin langsung
merujuk kepada al-Quràn dan Sunnah dalam mengambil hukum
syari’at walaupun mereka tidak memilih perangkat-perangkat ilmu
atau bahkan tidak memperhatikan persyaratan ijtihad yang harus
mereka lalui untuk sampai kepada derajat mujtahid. Sehingga
seringkali hukum-hukum yang mereka simpulkan terasa aneh
bagi kaum awam. Mereka berani menentang pendapat para imam
dan mengemukakan pendapat yang betul-betul baru. Bahkan di
antara mereka mengatakan bahwa keempat madzhab yang sudah
dikenal umat Islam sejak lama adalah suatu bid’ah yang diada-
adakan dalam agama Islam, dan madzhab-madzhab empat itu
menurut mereka sama sekali bukan bagian dari agama Islam.
Sebagian mereka juga ada yang mengatakan bahwa kitab-kitab
keempat madzhab itu sebagai al-Kutub Al-Mushaddi’ah (kitab-kitab
yang membawa kepada kehancuran).1
Sikap dan kondisi seperti ini telah menimbulkan perselisihan
dan perpecahan dalam tubuh kaum Muslimin. Bahkan tidak
jarang perbedaan dalam masalah furû’ (cabang) dapat menyulut
terjadinya pertengkaran dan pertumpahan darah di antara sesama
Muslim. Pada titik inilah persoalan madzhab dalam syari’at Islam
itu menjadi penting untuk ditelisik lebih lanjut.
Mayoritas umat Islam di dunia ini masih tetap berpegang
teguh kepada fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat Imam Madzhab
yang empat dalam urusan furû’iyyah. Sebagian umat Islam juga
ada yang menganut selain madzhab empat tersebut, seperti
madzhab Dzâhirî dan madzhab Syi’ah. Namun terdapat pula umat
Islam yang melepaskan dirinya dari madzhab-madzhab itu, dalam
pengertian yang lain mereka tidak mengikuti salah satu madzhab

1
M.Said Ramadhan al-Buthi, Alamadzhâbiah Akhthuru Bid’atin Tuhaddidu
al-Syari’ah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Gazira Abdi Ummah, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2001), h.15.

Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor 1


152 M. Saleh

yang empat atau yang lainnya. Akan tetapi mereka menjalankan


pendapat mereka sendiri. Tentunya hal tersebut di atas membuat
bingung umat Islam yang telah lama berpegang teguh pada
pendapat-pendapat imam madzhab mereka. Tentunya menarik
untuk dikaji lebih jauh bagaimanakah sesungguhnya madzhab
dalam bangunan syari’at Islam.

Pembahasan

1. Pengertian Madzhab
Kata-kata madzhab adalah merupakan shighat (bentuk)
isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang terambil dari
Fi’il Madhi Dzahaba (‫ )ذهب‬yang memiliki arti pergi. Untuk itu
madzhab berarti: tempat pergi atau jalan. Adapun kata lain yang
semakna dengan madzhab ini adalah: Maslak ( ‫) مسلك‬, tharîqah (
‫ ) طريقة‬dan sabîl ( ‫ ) سبيل‬yang kesemuanya berarti jalan atau cara.
Demikianlah kata madzhab dalam pengertian bahasa.2
Madzhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam:
Sejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim
besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.
Sedangkan menurut Siradjuddin Abbas madzhab adalah “Fatwa
atau pendapat seorang imam mujtahid”.3 Dalam buku yang
sama Syeikh M.Said Ramadlan al-Buthi menandaskan bahwa
pengertian madzhab menurut istilah ialah jalan pikiran/paham/
pendapat yang ditempuh oleh seorang imam mujtahid di dalam
menetapkan suatu hukum Islam dari al-Quràn dan al-Hadits.4
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapatlah
ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan madzhab
itu mengandung dua pengertian yaitu: Pertama, madzhab berarti
jalan pikiran atau metode ijtihad yang ditempuh seseorang
imam mujtahid dalam menetapkan hukum sesuatu peristiwa
berdasarkan al-Quràn dan as-sunnah. Kedua, madzhab dalam arti
fatwa-fatwa atau pendapat-pendapat seorang imam mujtahid
tentang suatu hukum terhadap suatu masalah yang digali dari

2
Ibid., h. 17.
3
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Imam Syafi’i, (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1972), h. 52.
4
M.Said Ramadlan al-Buthi, Alamadzhâbiah.

ISTINBATH MEI 2016


Eksistensi Madzhab dalam Hukum Islam Masa Kontemporer 153

al-Quran dan al-Hadits.


2. Historisitas Lahirnya Madzhab.

a. Terpecahnya Umat Islam kepada Golongan/Madzhab.


Pada masa Nabi Muhammad saw. masih hidup umat Islam
masih bersatu, baik dalam masalah akidah atau masalah syari’ah
(Hukum Islam). Hal ini tidak lain karena adanya otoritas pembinaan
hukum dan aqidah yang secara langsung dipegang oleh Nabi
sendiri. Beliaulah yang menetapkan dan memutuskan hukum
yang terjadi, baik berdasarkan petunjuk al-Quràn atau berdasarkan
perkataan beliau sendiri. Umat Islam pada masa itu tidak perlu
berijtihad tentang sesuatu persoalan yang belum ada nashnya. Para
sahabat merasa cukup dengan adanya Rasulullah sebagai tempat
bertanya. Jikapun sesekali perlu menggunakan ijtihad, hasil ijtihad
disampaikan kepada Nabi, lalu Nabi memberikan keputusannya.5
Setelah Rasulullah wafat otoritas pembinaan hukum
umatpun berpindah kepada para sahabat. Pada saat itu
sesungguhnya sudah terjadi penafsiran-penafsiran hukum atau
istinbâth hukum dengan cara mengeluarkan fatwa-fatwa untuk
peristiwa-peristiwa yang tidak terdapat dalam nash. Namun
demikian perbedaan pendapat di kalangan sahabat tersebut tidak
menyebabkan timbulnya golongan-golongan/madzhab-madzhab
dalam Islam. Hal ini karenakan faktor antara lain: kokohnya
prinsip musyawarah di kalangan sahabat, mudahnya tercapai
ijma’, periwayatan hadits masih belum begitu tersiar, sedikitnya
persoalan-persoalan baru, tidak terlalu banyak mengeluarkan
fatwa, orang yang berwenang memberikan fatwapun adalah
mereka-mereka yang betul-betul ‘âlim (expert) di bidangnya.6
Di ranah hukum Islam pada masa sahabat relatif masih
dapat dipersatukan, namun pada masa tersebut sudah ada
pertentangan pada masalah politik kekhalifahan, terutama sejak
khalifah Usman menjabat sebagai khalifah yang ketiga. Pada masa
ini ada segolongan umat Islam yang tidak senang dan tidak setuju
5
Hasbi al-Shiddiqui, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 66.
6
Ibrahim Husen, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Nikah, Thalak dan
Ruju’, (Jakarta: Balai Pustaka dan Perpustakan Islam, 1971), h.18.

Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor 1


154 M. Saleh

dengan Khalifah Usman. Terutama karena Usman menjalankan


politik pemerintahannya dengan sistem ‘kekeluargaan’. Hasutan
Abdullah ibn Saba’ mengenai wasiat politik Muhammad kepada
Ali telah memberikan dampak kepada sebagian umat Islam.
Muncullah dua aliran yang terbesar di kalangan kaum Syi’ah,
pertama, madzhab Wishayah yang berpendapat bahwa Ali telah
menerima wasiat dari Rasulullah saw. untuk menjadi khalifah
sesudah beliau wafat. Dikatakan juga bahwa Ali adalah penerima
wasiat terakhir justru karena Nabi Muhammad saw. adalah Nabi
terakhir. Kedua, Madzhab Hak Ilahi yang berpendapat bahwa
Ali berhak menjadi khalifah itu karena hal itu sudah merupakan
ketentuan dari Allah SWT. Dikatakan pula bahwa Usman telah
merampas hak dengan kekerasan.7
Akibat hasutan dan propaganda yang diusung oleh Abdullah
bin Saba tersebut, maka orang yang menentang kekhalifahan
Usman berusaha menjatuhkan beliau dari kedudukannya sebagai
khalifah, yang pada akhirnya menyebabkan kepada terbunuhnya
khalifah Usman. Pasca terbunuhnya Ustman, mayoritas umat
Islam membai’at Ali bin Ali Thalib sebagai khalifah ke empat.
Namun, terpilihnya Ali sebagai khalifah menyisakan persoalan
perang Jamal8 dan perang Shiffin9.
Peristiwa tahkim (arbitrase) dalam perang Shiffin
menghantarkan umat Islam terpecah secara politis kepada dua
golongan besar : Pertama, kelompok Khawarij yang memisahkan

7
Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Terj.Mukhtar Yahya, (Jakarta:
Jaya Murni, 1973), h. 198-9.
8
Perang Jamal meletus ketika Abu Thalhah, Zubair, dan Mu’awiyah
bergerak menentang Ali, karena Ali dianggap telah melindungi pembunuh
khalifah Usman. Perang Jamal antara khalifah Ali dengan para pengikutnya di
satu pihak melawan Abu Thalhah, Zubair dan Aisyah beserta pengikutnya di
pihak lain.
9
Perang Shiffin terjadi antara Muawiyah sebagai gubernur Damaskus
yang menentang kepemimpinan Ali sebagai khalifah. Setelah Mu’awiyah hampir
kalah dalam peperangan di Shiffin itu, salah seorang tentaranya disuruh untuk
mengangkat mushaf Al-Qur’an ke ujung tombak sebagai isyarat berdamai.
Ali menerima permintaan damai, namun sebagian dari pengikutnya menolak
dan tidak setuju diadakan tahkim tersebut. Mereka yang tidak setuju akhirnya
mengeluarkan diri dari kedua belah pihak, memisahkan diri dari Ali dan tidak
bergabung dengan Mu’awiyah.

ISTINBATH MEI 2016


Eksistensi Madzhab dalam Hukum Islam Masa Kontemporer 155

diri dan benci terhadap Ali dan Mu’awiyah beserta orang-orang


yang mendukung mereka. Kedua, kelompok Syi’ah yaitu golongan
yang setia10 dan sangat loyal kepada Ali dan kaum kerabatnya.
Dengan memperhatikan uraian di atas maka jelaslah bahwa
pengaruh perpecahan umat Islam di ranah politik menjadi dua
golongan besar itu ternyata memiliki pengaruh cukup signifikan
terhadap perkembangan syari’at (fiqh) Islam di masa berikutnya.
Hal ini sangat berpengaruh juga dalam hal timbulnya madzhab-
madzhab fiqh di masa-masa selanjutnya.
b. Lahirnya Ahlu al-Hadits dan Ahlu al-Ra’yi
Sejak kekhalifahan dipegang oleh khalifah ke-dua Umar
bin Khaththab, wilayah kekuasan semakin meluas. Hal ini
menyebabkan para ulama pergi bertebaran ke berbagai kota dan
daerah kekuasaan Islam. Masing-masing memberikan fatwa-fatwa
dalam masalah keagamaan. Para ulama yang melakukan ijtihad
pada masa itu mempunyai kecenderungan serta panutan masing-
masing terhadap sahabat yang mereka anggap lebih kompeten
dalam hal berijtihad.
Di kalangan para sahabat sudah ada dua corak (aliran)
dalam cara mengistinbâthkan hukum. Misalnya Ibnu Abbas dan
Ibnu Umar adalah dua sahabat Nabi saw. yang kuat berpegang
teguh kepada kekuatan nâsh. Mereka tidak mau menggunakan
ra’yu kecuali apabila dalam keadaan terpaksa, yaitu di saat
mendapatkan suatu peristiwa yang benar-benar sudah terjadi,
sedangkan nâsh hukumnya tidak ada. Dalam situasi yang demikian
ini barulah mereka menggunakan ra’yu.
Sahabat Ali bin Abi Thalib, Umar bin al-Khaththab, dan
Ibnu Mas’ud misalnya, mereka adalah sahabat Nabi yang dikenal
banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hukum suatu
masalah atau dengan kata lain mereka tidak terpaku pada dzahîr
nâsh saja namun ma’na lafadz, dilâlâh dan ruh syari’at/tasyri’ juga
menjadi perhatian mereka.
Di kalangan para tabi’in banyak yang terpengaruh oleh
cara beristinbâth yang dilakukan oleh para sahabat tersebut.

10
Kudhari Beik, Tarikh Tasyri’ al-Islamy, (Mesir: At-Tijâriyah al-Kubrâ,
1976), h. .229.

Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor 1


156 M. Saleh

Tabi’in Hijaz misalnya terpengaruh oleh ijtihadnya Ibnu Abbas


dan Ibnu Umar. Sehingga kelahiran mereka lebih dikenal dengan
sebutan Aliran ahlu al-hadîts. Sedangkan tabi’in yang berada di Irak
terpengaruh oleh ijtihadnya Ali, Umar, dan Ibnu Mas’ud. Sehingga
mereka lebih dikenal dengan aliran Qiyas (ra’yu).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan Ulama Hijaz
menjadi ahlu al-hadîts yaitu: Pertama, mereka dipengaruhi oleh
guru-guru mereka yang sangat ketat dan teliti terhadap penggunaan
nash-nash hadits dalam berijtihad. Kedua, mereka hanya hafal
hadits Nabi dan fatwa Sahabat, di samping sedikit sekali terjadinya
peristiwa-peristiwa baru yang tidak terdapat bandingannya di
masa sahabat. Ketiga, mereka hidup dalam keadaan permulaan
perkembangan Islam, manakala mereka diminta berfatwa tentang
suatu hal maka terlebih dahulu mereka memeriksa kitab Allah (al-
Qurần), sunnah Rasul kemudian Fatwa Sahabat. Dan kemudian
mereka berijtihad bi ar-ra’yi jika tidak ditetapkan hukumnya dalam
nash. Sedangkan faktor-faktor penyebab ulama Irak menjadi Ahlu
ar-ra’yi adalah sebagai berikut:
Pertama, mereka terpengaruh oleh jalan pikiran guru
mereka, seperti sahabat Abdullah bin Mas’ud yang terkenal sangat
terpengaruh oleh jalan pikiran dari Sahabat Umar bin Khaththab.
Kedua, Kufah dan Basrah dua kota yang banyak didiami oleh
ulama Irak adalah merupakan markas tentara Islam, dan Kufah
merupakan tempat kedudukan khalifah Ali bin Abi Thalib yang
banyak dikunjungi oleh para sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud,
Sa’ad bin Abi Waqash, Ammar bin Yasir, Abu Musa al-‘Asy’ari.
Dengan demikian sudah barang tentu mereka meriwayatkan
hadits-hadits Nabi. Keadaan seperti ini menyebabkan ulama-
ulama Irak cukup menguasai hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh para Sahabat yang datang berkunjung. Di samping itu Irak
adalah tempat/sumber fitnah kekacauan. Di Iraklah awal mula
timbul keberanian sebagian kalangan untuk membuat-buat hadits
palsu. Hal ini pulalah yang membuat ulama-ulama Irak terpaksa
membuat persyaratan yang ketat berkaitan dengan penerimaan
sebuah hadits dari para Sahabat. Sehingga ulama Iraq cenderung
lebih banyak menggunakan ratio (ra’yu) daripada hadits yang
belum diyakini kebenarannya.

ISTINBATH MEI 2016


Eksistensi Madzhab dalam Hukum Islam Masa Kontemporer 157

Ketiga, Keadaan geografis Irak –dengan adanya sungai


Tigris dan Eufrat menuntut orang untuk melakukan upaya-upaya
konstruktif di bidang pertanian seperti membuat pengairan,
memberlakukan pajak penghasilan rakyat dan sebagainya.
Keadaan ekonomi rakyat yang makmur menyebabkan pada
kehidupan yang mewah, serta timbulnya persoalan-persoalan
baru yang ditimbulkan oleh peninggalan budaya eklektik (adat
istiadat campuran) antara Persia, Yunani, dan Romawi. Hal ini
menuntut untuk diberikan jalan keluar. Keadaan seperti di Irak
ini tidak terjadi di Hijaz. Apabila orang-orang Hijaz cukup dengan
menyandarkan istinbâth hukumnya pada hadits Nabi serta fatwa-
fatwa Sahabat yang sudah ada. Tidak demikian di Irak, mereka
tidak merasa cukup dengan hadits-hadits dan fatwa Sahabat yang
ada, dikarenakan persoalan kehidupan yang lebih kompleks.
Maka Kufah lebih banyak menggunakan rasio/ra’yu dalam
mengistinbâthkan hukum.11
Aliran ahlu al-hadits di masa selanjutnya terdiri dari
beberapa madzhab yaitu: Madzhab Maliki, Madzhab Hanbali,
Madzhab Syafi’i dan Madzhab Dzahiri. Sedangkan madzhab yang
dipengaruhi oleh ahlu ar-ra’yi adalah Madzhab Hanafi.12
c. Madzhab Persepsi Hukum Islam
1). Pengertian Bermadzhab
Untuk dapat dipahami lebih jelas tentang makna
bermadzhab, maka akan dikemukakan dua pengertian
yaitu: Pertama, berdasarkan pada pengertian kata madzhab
maka bermadzhab adalah mengikuti jalan/metode
berpikir salah seorang mujtahid di dalam melakukan
istinbâth hukum dari sumbernya yaitu al-Quràn dan as-
sunnah. Kedua, bermadzhab berarti mengikatkan diri
kepada salah seorang imam madzhab (mujtahid) dalam
mengamalkan syari’at Islam berdasarkan fatwa-fatwa
atau pendapat-pendapat Imam Madzhab tersebut.13

11
Ibid., h. 41.
12
Hasbi Ash Shiddieqi, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 71.
13
Imron Abdul Manan, ‘Bebas Madzhab Bukan Bid’ah’, dalam Majalah

Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor 1


158 M. Saleh

Dalam pembahasan ini terminology yang


digunakan merujuk pada pengertian madzhab yang
kedua, yaitu mengikatkan diri pada salah seorang
imam madzhab (mujtahid) dalam mengamalkan syari’at
Islam berdasarkan fatwa atau pendapat imam madzhab
tersebut.
Seseorang yang belum mencapai tingkatan
mujtahid, yang beramal atau mengikuti pendapat
Imam Madzhab baik yang tidak mengetahui atau yang
mengetahui sumber/dasar hukum yang dipakai, baik
terus menerus atau sementara saja, baik yang memegang
satu madzhab saja maupun yang berpindah-pindah
madzhab ke madzhab yang lain, maka artinya dia telah
bermadzhab.
2). Pentingnya Bermadzhab
Kaum muslimin sepakat bahwa sumber hukum
syari’at Islam adalah al-Quràn dan as-sunnah yang wajib
diikuti dan diamalkan isi dan kandungannya. Seluruh
umat Islam diwajibkan untuk mengambil hukum-hukum
Allah itu langsung dari kedua sumbernya itu. Tapi dalam
kenyataannya tidak semua orang Islam mampu untuk
melakukan istinbâth hukum langsung dari kedua sumber
tersebut.
Para ulama sepakat bahwa orang yang mampu
mengistinbâthkan hukum secara langsung dari
sumbernya wajib berpegang teguh dan mengamalkan
apa yang dihasilkan dari ijtihadnya. Sebagaimana
ditandaskan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya
al-Mustashfâ sebagai berikut: Para ulama ushul telah
sepakat bahwa apabila seseorang telah melakukan
ijtihad dan telah mendapatkan simpulan hukum, maka
dia tidak boleh mengikuti pendapat mujtahid lain yang
menyalahi ijtihadnya, dan tidak boleh beramal dengan
hasil analisa yang lain serta meninggalkan hasil analisa
atau pemikirannya sendiri.14

al-Muslimun, No.137, Agustus,1981, h..56.


14
Abu Hamid al-Ghazali, Al-Mustashfâ, (Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariah

ISTINBATH MEI 2016


Eksistensi Madzhab dalam Hukum Islam Masa Kontemporer 159

Demikian pula Ibn al-Humâm seorang ahli ushul


dari madzhab Hanafi, dalam kitabnya menyatakan
sebagai berikut: Secara ittifâq para ahli ushul berkata
seorang mujtahid yang telah usai berijtihad dalam suatu
masalah hukum dilarang untuk bertaklid dalam hukum
itu.15 Akan tetapi karena mereka tidak sama dalam
memiliki ilmu pengetahuan, hingga tidak mungkin
bagi mereka yang tidak mampu dapat mengistinbâthkan
hukum secara langsung dari sumbernya. Maka dalam
status mereka yang terakhir ini para ulama berselisih
pendapat menjadi dua golongan: Pertama, segolongan
ulama ushul berpendapat bahwa bermadzhab itu
haram. Semua umat Islam harus mengikuti apa yang
ada di dalam al-Quràn dan as-sunnah. Di antara ulama
yang berpendapat demikian adalah Syeikh Khajandi,
Syeikh Nashirudin Albani, Ibnu Hazm dari golongan
Syi’ah. Kedua, Jumhur ulama Ushul berpendapat bahwa
bermadzhab bagi orang awam itu boleh hukumnya,
bahkan bagi orang awam murni bermadzhab itu wajib.
A. Hassan menyatakan bahwa bermadzhab sama
maknanya dan maksudnya dengan bertaklid. Dua-
duanya dilarang oleh Allah, Rasul, Sahabat, bahkan
oleh Imam-imam yang ditaklidi.16 Selanjutnya beliau
mengatakan: keluar dari madzhab itu bukan haram,
tetapi wajib. Masuk suatu madzhab itu bukan wajib
tapi haram.17 Dalam kaitannya dengan ini Ibnu Hazm
mengatakan bahwa seorang muslim tidak diperkenankan
mengikuti mujtahid baik yang masih hidup atau yang
telah meninggal, dan setiap orang wajib berijtihad sesuai
dengan kemampuannya….18

Al-Kubra, 1937), h. 121.


15
Ibnul Humam, Al-Tahrîr Fî Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Musthafâ
al-Bâb al Halâbi Wa Awladuh, tt), h. 535.
16
A.Hassan, Risalah Al-Madzhab, (Bangil: Pustaka Abdul Muis, 1980),
h.  12.
17
Ibid., h. 23
18
Ibnu Hazm, Al- Muhallâ, (Beirut: Majtabah Tijariyah, 1965), h. 66.

Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor 1


160 M. Saleh

Sedangkan golongan yang membolehkan


taklîd atau ittibâ’ mengatakan bahwa orang yang tidak
mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad, bila
terjadi suatu masalah hukum maka baginya ada dua
kemungkinan. Pertama, dia tidak terkena kewajiban apa-
apa sama sekali, tentunya hal ini menyalahi ijma’. Kedua,
dia terkena kewajiban melakukan ibadah, kalau demikian
berarti dia harus meneliti dalil-dalil yang menetapkan
suatu hukum atau dia harus taklid.19
Dalam kaitan dengan masalah di atas ulama
ushul tampaknya sepakat tentang bolehnya mengikuti
pendapat dan fatwa para imam madzhab. Mereka hanya
mempersoalkan apakah kebolehan bermadzhab itu dalam
arti taklîd ataukah dalam arti ittibâ’. Mayoritas ulama ushul
berpendapat bahwa umat Islam yang belum mencapai
tingkatan mujtahid wajib bermadzhab. Bagi mereka tidak
ada perbedaan antara istilah taklîd dan ittibâ’, kedua-
duanya sama berarti bermadzhab. Ibnu Subki mengatakan
bahwa selain mujtahid mutlak, baik dia masuk ke dalam
kategori awam atau lainnya, wajib bertaklid kepada
mujtahid hal ini berdasarkan surat An-Nahl: 43.20 Al-
Amidi semakin menegaskan bahwa orang awam dan
orang yang tidak memiliki keahlian berijtihad, walaupun
dapat menghasilkan sebagian ilmu yang mu’tabar dalam
berijtihad, dia wajib mengikuti pendapat para mujtahid
dan berpegang pada fatwa-fatwanya, demikian menurut
ahli tahkik dari ulama ushul.21Sedangkan Syeikh Khudary
Beik mengatakan bahwa wajib atas orang awam meminta
fatwa dan mengikuti para ulama.22
Dari pernyataan-pernyataan para ahli ushul ternyata
kewajiban bermadzhab bagi selain mujtahid mutlak itu
19
Al-Amidi, Al-Ihkâm Fî Ushûl Al-Ahkâm, (Cairo: Muassat al-Halabi Wa
Syurakauh, 1955), h. 198.
20
Ibnu Subki, Jam’u al-Jawâmi’, (Surabaya: Syarikah Maktabah Said bin
Nabhan wa Auladuh, 1965), h. 393.
21
Al-Âmidi, Ihkâm, h. 197.
22
Khudlary Beik, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Maktabah Tijariyah al Kubra,
1962), h. 382.

ISTINBATH MEI 2016


Eksistensi Madzhab dalam Hukum Islam Masa Kontemporer 161

hukumnya wajib, apakah dia awam murni atau awam biasa


yang belum sampai pada derajat mujtahid mutlak, meskipun
dia mampu untuk berijtihad dalam sebagian masalah. Hal
ini dilandaskan atas pendapat bahwa berijtihad itu dapat
dan boleh berlaku dalam sebagian masalah fiqhiyyah saja.
Pada uraian berikut ini akan dipaparkan dalil-
dalil yang membolehkan bermadzhab bagi orang awam
berdasarkan al-Quràn, As-sunnah, Ijma’:
a) Nash al-Quràn.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat al-
Nahl : 43 yang artinya “bertanyalah kalian kepada ahli ilmu
jika kalian tidak mengetahui. (Qs. An-Nahl :43).Para ulama
sepakat bahwa ayat di atas adalah perintah kepada orang
yang tidak mengerti hukum dan dalilnya agar bertanya
kepada orang yang lebih mengerti. Ayat ini merupakan
dasar pertama untuk mewajibkan orang awam agar taklid
kepada imam-imam madzhab.
b) Ijma Ulama
Dalam hal ini Al Amudi mengatakan bahwa orang-
orang awam pada zaman sahabat dan tabi’in sebelum
timbulnya golongan yang menentang, selalu meminta fatwa
kepada mujtahid dan mengikutinya dalam urusan syari’at.
Para alim ulama dari kalangan mereka dengan cepat
menjawab pertanyaan-pertanyaan tanpa menyebutkan dalil
dan tak ada seorangpun yang mengingkari hal ini, maka
berarti mereka telah ijma’ atau sepakat bahwa orang awam
itu boleh ikut kepada mujtahid secara mutlak.23 Demikianlah
penjelasan tentang kebolehan seseorang mengikuti suatu
madzhab tertentu sebagai pegangan dalam menjalankan
syari’at Islam.

Simpulan
Keharaman bermadzhab pada suatu madzhab tertentu,
dikemukakan oleh sebagian kecil ulama, namun jumhur ulama

23
Al-Âmidi, Ihkâm, h. 198

Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor 1


162 M. Saleh

menyatakan kebolehan bagi seorang muslim terutama bagi orang


awam untuk berpegang teguh pada suatu madzhab tertentu/
madzhab yang empat. Jumhur ulama ushul sepakat bahwa
madzhab yang empat boleh untuk diikuti. Sebab para imamnya
telah berijtihad dengan segala persyaratan yang diperlukan untuk
itu. Banyak orang salah sangka bahwa adanya mazhab fiqih itu
berarti sama dengan perpecahan, sebagaimana berpecah umat
lain dalam sekte-sekte. Sehingga ada dari sebagian umat Islam
yang menjauhkan diri dari bermazhab, bahkan ada yang sampai
anti mazhab. Penggambaran yang absurd tentang mazhab terjadi
karena keawaman dan kekurangan informasi yang benar tentang
hakikat mahzab fiqih. Kenyataannya sebenarnya tidak demikian.
Mazhab-mazhab fiqih itu bukan representasi dari perpecahan atau
pereseteruan, apalagi peperangan di dalam tubuh umat Islam.
Sebaliknya, adanya mazhab merupakan kebutuhan asasi untuk
dapat kembali kepada al-Quràn dan as-Sunnah. Mazhab adalah
representasi dari sebuah sikap dan cara seseorang dalam memahami
teks al-Quràn dan as-Sunnah. Setiap orang yang berupaya untuk
memahami kedua sumber ajaran Islam, pada hakikatnya sedang
bermazhab. Kalau tidak mengacu kepada mazhab orang lain yang
sudah ada, maka minimal dia mengacu kepada mazhab dirinya
sendiri. Eksistensi mazhab saat ini masih diperlukan sebagai citra
pengamalan hukum Islam. Maka, tidak ada di dunia ini orang
yang tidak bermazhab. Semua orang bermazhab, baik dia sadari
atau tanpa disadarinya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Terj.Mukhtar Yahya,


Jakarta: Jaya Murni, 1973.
Al-Âmidî , Al-Ihkâm Fî Ushûl al-Ahkâm, Kairo: Muassat al-Halabi
wa Syurakauh, 1955
Amir Baad Syaah, Taisir al-Tahrir, Mesir: Maktabah Musthafâ al-
Bâb al-Halabî Wa Auladuh, 1954
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayân, Bukit Tinggi: Pustaka
Nusantara,  1955

ISTINBATH MEI 2016


Eksistensi Madzhab dalam Hukum Islam Masa Kontemporer 163

Al-Ghazali , Abu Hamid, Al-Mustashfâ, Jilid II, Mesir: al-Maktabah


al-Tijâriah al-Kubrâ, 1937.
A.Hassan, Risalah Al-Madzhab, Bangil: Pustaka Abdul
Muis,  1980.
al-Buthi, M. Said Ramadhan, Al-Lamadzhabiyah Akhthuru Bid’atin
Tuhaddidu asy-Syarî’ah al-Islâmiyah, Terj.: Gazira Abdi
Ummah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
Ibrahim Husen, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Nikah,
Thalak dan Ruju’, Jakarta: Balai Pustaka dan Perpustakan
Islam, 1971
Imron Abdul Manan, Bebas Madzhab Bukan Bid’ah, Majalah al-
Muslimun, No.137, Agustus, 1981
Ibnul Humam, At-Tahrîr Fî Ushûl al-Fiqh, Mesir: Maktabah
Musthâfâ al-Bâb al-Halabî Wa Awladuh
Ibnu Hazm, Al-Muhallâ, Beirut: Majtabah Tijariyah, 1965
Ibnu Subki, Jam’u al-Jawâmi’, Surabaya: Syarikah Maktabah Said
bin Nabhan wa Auladuh, 1965.
Khudlary Beik, Ushul Al-Fiqh, Mesir: Maktabah Tijâriyah al-
Kubrâ, 1962.
Ash-Shiddiqi, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
________, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Imam Syafi’i, Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1972.

Jurnal Hukum, Vol. 13 Nomor 1


164 M. Saleh

ISTINBATH MEI 2016

You might also like