0% found this document useful (0 votes)
8 views8 pages

UTS Pengantar Waris - Nasihatul Fadillah - 2320400034

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1/ 8

Nama : Nasihatul Fadillah

Nim : 2320400034

Prodi : Hukum Keluarga (2)

Dosen : Dr. H. Akhmad Haries, M.S.I.

Tugas : Mata Kuliah Matrikulasi Pengantar Kewarisan

Tugas UTS : Meresume Materi Perkuliahan

A. Definisi Kewarisan Islam


Kata waris berasal dari Bahasa Arab miras. Bentuk jamaknya adalah mawaris,
yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli
warisnya.
Ilmu yang mempelajari warisan disebut ‘ilm al-mawaris atau lebih dikenal
dengan istilah faraid. Kata faraid merupakan bentuk jamak dari faridah, yang
diartikan oleh para ulama faradiyun semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian
yang telah ditentukan kadarnya. Kata fardu sebagai suku kata dari kata faridah,
menurut bahasa mempunyai beberapa arti, antara lain adalah:
1. Taqdir, yaitu sesuatu ketentuan, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 237.
2. Qot’u, yaitu ketetapan yang pasti, seperti dalam Q.S. Al-Nisa’ ayat 7.
3. Inzal, yaitu menurunkan, seperti dalam Q.S. Al-Qasas ayat 85.
4. Tabyin, yaitu penjelasan, seperti dalam Q.S. Al-Tahrim ayat 2.
5. Ihlal, yaitu menghalalkan, seperti dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 38
6. ‘ata’, yaitu pemberian.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), hukum kewarisan adalah hukum
yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya
masing-masing.
Hasbi Al-Shiddieqy mendefinisikan ilmu faraid adalah suatu ilmu yang
mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak
mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara
pembagiannya.
Dari beberapa definisi diatas, maka kita dapat pahami bahwa ilmu faraid atau
ilmu mawaris adalah ilmu yang membahas tentang pemindahan harta peninggalan
dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup, baik
mengenai tentang harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima
harta peninggalan tersebut, berapa bagian masing-masing ahli waris, maupun cara
penyelesaian pembagian harta peninggalan tersebut.

B. Asas Kewarisan
Asas kewarisan hukum Islam terdiri dari:
1. Asas Ijbari, berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal dunia
kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah tanpa
digantungkan kepada kehendak pewaris dan ahli warisnya.
2. Asas Bilateral, berarti seseorang menerima haka tau bagian warisan dari kedua
belah pihak, dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan
Perempuan.
3. Asas Individual, berarti harta warisan dapat dibagi kepada ahli waris untuk
dimiliki secara perorangan.
4. Asas Keadilan Berimbang, berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh
dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban.
5. Asas Akibat Kematian, berarti kewarisan ada karena adanya orang yang
meninggal dunia.

C. Sistem Kewarisan
Di dalam hukum Islam dikenal sistem kewarisan secara individual bilateral.
Sistem kewarisan yang bersifat individual yakni harta warisan dapat dibagi-bagi untuk
dimiliki secara perorangan. Sedangkan bersistem bilateral yang berarti berbicara
kearah mana peralihan harta itu di kalangan ahli waris. System bilateral ini
mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua (2) arah. Hal
ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis
kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis
keturunan perempuan.
Meskipun demikian, keluarga yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris
lebih diutamakan daripada keluarga yang jauh, yang lebih kuat hubungannya dengan
pewaris lebih diutamakan daripada yang lebih lemah.
1
D. Sumber-Sumber Hukum Kewarisan Islam
1. Al-Qur’an
ِ َ‫َصيبٌ مِ َّما ت ََركَ ْال َوا ِلد‬
‫ان َو ْاْل َ ْق َربُونَ مِ َّما قَ َّل‬ ِ ‫ساءِ ن‬ ِ َ‫َصيبًا َم ْف ُر َركَ ْال َوا ِلد‬
َ ِِّ‫ان َو ْاْل َ ْق َربُونَ َولِلن‬ ِ ‫َصيبٌ مِ َّما تَن‬
ِ ‫ِلر َجا ِل ن‬ ِّ ِ ‫ل‬
‫مِ ْنهُ أَ ْو َكث ُ َر وضًا‬
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan
kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang
telah ditetapkan”. (QS. An Nisaa’: 7)
Pada ayat ini ada penetapan hak bagi laki-laki maupun perempuan dari harta
peninggalan kedua orang tua dan karib kerabat yang telah wafat, baik harta
tersebut sedikit atau banyak, sebagai ketentuan yang telah pasti dari Allah Ta’ala.

Dan Allah ‫ ﷻ‬berfirman :


ً ‫َت َواحِ دَة‬ ْ ‫سا ًء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما ت ََركَ َوإِ ْن كَان‬ َ ِ‫َّللاُ فِي أ َ ْو ََل ِد ُك ْم لِلذَّك َِر مِ ثْ ُل َحظِ ِّ ْاْل ُ ْنثَيَي ِْن فَإِ ْن ُك َّن ن‬
َّ ‫ُوصي ُك ُم‬
ِ ‫ي‬
‫ُس مِ َّما ت ََركَ إِ ْن َكانَ لَهُ َولَدٌ فَإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َولَدٌ َو َو ِرثَهُ أَبَ َواهُ فَ ِِل ُ ِ ِّم ِه‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫ف َو ِْلَبَ َو ْي ِه ِل ُك ِِّل َواحِ ٍد مِ ْن ُه َما ال‬
ُ ‫ص‬ ْ ِِّ‫فَلَ َها الن‬
ُ‫ُوصي ِب َها أ َ ْو دَي ٍْن آَبَا ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم ََل تَد ُْرونَ أَيُّ ُه ْم أ َ ْق َرب‬ ِ ‫ُس مِ ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي‬ ُّ ‫ث فَإِ ْن َكانَ لَهُ ِإ ْخ َوة ٌ فَ ِِل ُ ِ ِّم ِه ال‬
ُ ‫سد‬ ُ ُ‫الثُّل‬
َ َّ ‫َّللا ِإ َّن‬
َ َ‫َّللا َكان‬
‫علِي ًما َحكِي ًما‬ ِ َّ َ‫ضةً مِ ن‬ َ ‫لَ ُك ْم نَ ْف ًعا فَ ِري‬

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan


untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh
setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-
masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika
dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat
yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak

2
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana”. (QS. An Nisaa’: 11)

Demikian pula Allah ‫ ﷻ‬berfirman :


ِ ‫الربُ ُع مِ َّما ت ََر ْكنَ مِ ْن بَ ْع ِد َو‬
‫صيَّ ٍة‬ ُّ ‫ف َما ت َ َركَ أ َ ْز َوا ُج ُك ْم إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُه َّن َولَدٌ فَإِ ْن َكانَ لَ ُه َّن َولَدٌ فَلَ ُك ُم‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
ُّ ‫ُوصينَ ِب َها أ َ ْو دَي ٍْن َولَ ُه َّن‬
‫الربُ ُع مِ َّما ت ََر ْكت ُ ْم ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَدٌ فَإِ ْن َكانَ لَ ُك ْم َولَدٌ فَلَ ُه َّن الثُّ ُم ُن مِ َّما ت ََر ْكت ُ ْم مِ ْن بَ ْع ِد‬ ِ ‫ي‬
‫ُس فَإِ ْن‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫ث ك َََللَةً أَ ِو ا ْم َرأَة ٌ َولَهُ أ َ ٌخ أ َ ْو أ ُ ْختٌ فَ ِل ُك ِِّل َواحِ ٍد مِ ْن ُه َما ال‬
ُ ‫ُور‬ َ ‫صونَ ِب َها أ َ ْو دَي ٍْن َو ِإ ْن َكانَ َر ُج ٌل ي‬ ُ ‫صيَّ ٍة تُو‬ ِ ‫َو‬
ِ َّ َ‫صيَّةً مِ ن‬
َّ ‫َّللا َو‬
ُ‫َّللا‬ ِ ‫ار َو‬
ِّ ٍ ‫ض‬ َ ‫صى بِ َها أ َ ْو دَي ٍْن‬
َ ‫غي َْر ُم‬ َ ‫صيَّ ٍة يُو‬ ُ ‫كَانُوا أ َ ْكث َ َر مِ ْن ذَلِكَ فَ ُه ْم‬
ِ ُ‫ش َركَا ُء فِي الثُّل‬
ِ ‫ث مِ ْن بَ ْع ِد َو‬
‫علِي ٌم َحلِي ٌم‬
َ
“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu)
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah
dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah
dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika
seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga,
setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya
dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah.
Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun”. (QS An Nisaa’:12)

Dan Allah ‫ ﷻ‬berfirman :


‫ف َما ت ََركَ َوهُ َو يَ ِرث ُ َها إِ ْن لَ ْم‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫ْس لَهُ َولَدٌ َولَهُ أ ُ ْختٌ فَلَ َها ن‬َ ‫َّللاُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْالك َََللَ ِة إِ ِن ا ْم ُر ٌؤ َهلَكَ لَي‬
َّ ‫يَ ْست َ ْفتُونَكَ قُ ِل‬
‫سا ًء فَلِلذَّك َِر مِ ثْ ُل َحظِ ِّ ْاْل ُ ْنثَيَي ِْن يُبَيِِّ ُن‬ ِ َ ‫يَ ُك ْن لَ َها َولَدٌ فَإِ ْن كَانَت َا اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َما الثُّلُث‬
َ ِ‫ان مِ َّما ت ََركَ َوإِ ْن كَانُوا إِ ْخ َوة ً ِر َج ًاَل َون‬
‫علِي ٌم‬
َ ٍ‫ش ْيء‬ َّ ‫َضلُّوا َو‬
َ ‫َّللاُ بِ ُك ِِّل‬ ِ ‫َّللاُ لَ ُك ْم أَ ْن ت‬
َّ
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia
tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya

3
(saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia
tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang
saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An Nisaa’: 176)

2. Al-Sunnah
َ ‫أَ ْلحِ قُ ْوا ْالف ََرائ‬
َ ‫ِض ِبأ َ ْه ِل َها فَ َما بَق‬
‫ِي فَ ُه َو ِْل َ ْولَى َر ُج ٍل ذَك ٍَر‬
“Berilah orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya
masing-masing. Sedangkan kelebihannya diberikan kepada ‘ashobah yang lebih
dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama.” (H.R. Bukhari Muslim)
‫اقسمواالمال بين اهل الفرائض على كتاب للا‬

“Bagikanlah harta warisan di antara ahli waris menurut Kitabullah” (H.R.


Muslim dan Abu Dawud).

3. Ijma’ dan Ijtihad sahabat, imam madzhab dan para mujtahid dapat digunakan
dalam permasalahan waris yang belum dijelaskan oleh nash yang sharih.

E. Sebab-Sebab Kewarisan
1. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab.
Kekerabatan artinya, adanya hubungan nasab antara orang yang mewarisi
dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang diwarisi dengan yang
mewarisi, kerabat dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
a. Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si pewaris.
b. Ushul, yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris.
c. Hawasyi, yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui garis
menyamping, seperti saudara, bibi, paman, dan anak turunnya tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.

4
2. Karena hubungan pernikahan.
Perkawinan yang menyebabkan dapat mewarisi memerlukan 2 syarat, yaitu:
a. Akad nikah yang sah menurut syariat Islam, baik keduanya telah berkumpul
atau belum.
b. Ikatan perkawinan antara suami istri itu masih utuh atau masih dianggap utuh.
3. Karena wala’, yakni pewarisan dikarenakan jasa seseorang yang telah
memerdekakan seorang hamba sahaya, kemudian hamba sahaya (budak) itu
menjadi kaya. Warisan dapat diperoleh jika budak yang telah dimerdekakan itu
tidak mempunyai ahli, dzawil arham ataupun suami-istri.

F. Rukun-Rukun Kewarisan
1. Ahli waris, yaitu orang yang dihubungkan kepada si mati dengan salah satu sebab-
sebab pewarisan.
2. Pewaris, yaitu si mati, baik secara hakiki maupun secara hukum.
3. Warisan, atau tirkah atau mirats, yaitu harta atau hak yang berpindah dari si
pewaris kepada ahli waris.

G. Syarat-Syarat Kewarisan
1. Meninggalnya pewaris dengan sebenarnya maupun secara hukum
2. Hidupnya ahli waris setelah kematian si pewaris, walaupun secara hukum, seperti
anak dalam kandungan.
3. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang pewarisan.

H. Penghalang-Penghalang Kewarisan
Yang dimaksud dengan penghalang kewarisan adalah hal-hal, keadaan atau
pekerjaan yang menyebabkan seseorang yang seharusnya mendapat warisan menjadi
tidak mendapatkannya.
Hal-hal yang dapat menggugurkan atau menghilangkan hak seseorang tersebut
ada 3, yaitu:
1. Pembunuhan
2. Berlainan agama
3. Perbudakan

5
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II Pasal 173, dijelaskan tentang
terhalangnya ahli waris mewarisi harta benda keluarganya bisa karena ditetapkan oleh
seorang hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yaitu apabila dia
dihukum karena:

1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat


para pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara
atau hukuman yang lebih berat.

I. Hijab dan Mahjub


Hijab menurut bahasa adalah tutup atau mencegah. Sedangkan menurut istilah
ulama ahli faraid (ilmu waris) hijab berarti tidak bisanya seseorang mendapat warisan
yang sebenarnya bisa mendapatkan dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat
dengan si mayit.
Dengan pengertian diatas, maka dapat dipahami bahwa dalam bab hijab ini
tercegahnya seseorang dari mendapatkan warisan bukan karena adanya sebab-sebab
yang menghalanginya mendapat warisan sebagaimana disebutkan pada bab
penghalang kewarisan, namun dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat
posisinya dengan si mayit. Jadi sesungguhnya ahli waris yang terhalang (mahjub) ini
memiliki hak untuk mendapatkan harta waris si mayit, hanya saja karena ada ahli
waris yang lebih dekat ke mayit dari pada dirinya maka ia terhalang haknya untuk
mendapatkan warisan tersebut. Bila orang yang terhalang ini disebut dengan
“mahjub” maka ahli waris yang menghalangi disebut dengan “hajib”.
Hijab ini dibagi menjadi 2 macam, yakni:
1. Hijab hirman, dimana orang yang mahjub benar-benar tidak bisa mendapatkan
harta waris secara keseluruhan. Misalnya, seorang cucu laki-laki sama sekali tidak
bisa mendapatkan harta waris bila ia bersamaan dengan anak laki-laki nya si
mayit.
2. Hijab nuqshan, dimana seorang ahli waris terhalang untuk mendapatkan bagian
warisnya secara penuh. Seperti seorang suami yang tidak mendapatkan bagian ½
dan hanya bisa mendapatkan ¼ saja bila ia bersamaan dengan anak atau cucunya
si mayit.

6
Dari semua ahli waris yang ada hanya 6 ahli waris yang tidak bs mahjub
dengan hijab hirman. Keenam ahli waris itu adalah bapak, ibu, anak laki-laki, anak
Perempuan, suami dan istri.

Sedangkan ahli waris selain keenam tersebut dapat menjadi mahjub secara
mutlak. Mereka adalah sebagaimana yg disebutkan oleh Imam Muhammad bin Ali Al-
Rahabi yakni:

1. Kakek menjadi mahjub apabila bersama dengan baoak si mayit.


2. Nenek menjadi mahjub apabila bersama dengan ibu si mayit.
3. Cucu laki-laki dari anak laki-laki menjadi mahjub bila bersama dengan anak laki-
laki si mayit.
4. Semua saudara si mayit baik laki-laki maupun perempuan, baik sekandung,
sebapak ataupun seibu menjadi mahjub apabila bersamaan dengan anak laki-laki,
cucu laki-laki dari anak laki-laki atau bapak si mayit.
5. Waladul umm atau saudara seibu baik laki-laki ataupun perempuan selain menjadi
mahjub bila bersamaan dengan ketiga ahli waris pada nomer 4 diatas juga menjadi
mahjub apabila bersamaan dengan kakek, anak perempuan, atau cucu perempuan
dari anak laki-laki.
6. Cucu perempuan dari anak laki-laki apabila bersamaan dengan perempuan si
mayit lebih dari satu maka menjadi mahjub.
7. Saudara perempuan sebapak menjadi mahjub apablia bersamaan dengan saudara
perempuan sekandung si mayit lebih dari satu.

You might also like