834 2769 1 PB
834 2769 1 PB
834 2769 1 PB
Abstract
Limited Liability Company is the most popular form of business entity in Indonesia because
law acknowledges the principle of limited liability of its shareholders, which gives
advantages for entrepreneurs running a business. Article 3 Subsection 1 Law No. 40 Year
2007 concerning Limited Liability Company stated that company’s shareholders are not
personally liable for agreements made on behalf of the Company and are not liable for the
Company’s losses in excess of their prospective shareholding. However, in Article 3
Subsection 2 there are some waivers of the principle, one of the exceptions is if the relevant
shareholders are involved in illegal actions committed by the Company. It is interesting
because in fact, usually, shareholder do not get involved in company’s management. Through
normative research with Statute and Conceptual Approach on Piercing the Corporate Veil,
shareholders can be accountable for personal responsibility if shareholders in giving his/her
voting rights in General Meeting of Shareholders neglect his/her duty of care, or if besides of
being shareholders he/she also become Board of Directors and/or Board of Commissioners
who runs the Company’s management, or if the shareholders give order or command to
Board of Directors or Board of Commissioners or company’s employee to perform actions
that causing the Company committed an unlawful act and harm others (tort). Personal
liability can be requested if injured party filing a tort lawsuit and set the relevant
shareholders as a defendant besides the Company.
Abstrak
Perseroan Terbatas (PT) adalah bentuk badan usaha yang paling diminati di Indonesia karena
hukum mengakui prinsip tanggung jawab terbatas yang dimiliki oleh para pemegang
sahamnya. Hal ini merupakan keuntungan bagi para pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya. Pasal 3 ayat (1) UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan
bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap persetujuan yang
dilakukan oleh PT serta tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang dialami oleh PT
melebihi persentase saham yang dimilikinya. Akan tetapi, Pasal 3 ayat (2) UUPT mengatur
mengenai pengecualian yaitu apabila pemegang saham yang bersangkutan terlibat di dalam
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. Hal ini menarik karena pada umumnya,
pemegang saham tidak terlibat dalam pelaksanaan manajemen PT. Melalui penelitian hukum
normative dan pendekatan undag-undang dan konseptual yakni doktrin Piercing The
Corporate Veil, disimpulkan bahwa pemegang saham dapat dimintakan pertangunggung
175
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
jawaban secara pribadi apabila pemegang saham dalam memberikan hak suara di Rapat
Umum Pemegang Saham telah melalaikan kewajibannya untuk bertindak hati-hati, atau
apabila selain sebagai pemegang saham juga merangkap sebagai Dewan Direksi dan.atau
Dewan Komisaris yang menyelenggarakan manajemen PT, atau apabila pemegang saham
memberikan perintah kepada Dewan Direksi atau Dewan Komisaris atau karyawan PT untuk
melakukan perbuatan yang mengakibatkan PT melakukan perbuatan melawan hukum dan
merugikan pihak lain. Pertanggungjawaban secara pribadi dapat dimintakan oleh pihak yang
dirugikan melalui gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan.
Kata Kunci: Pemegang Saham, Perbuatan Melawan Hukum, Piercing the Corporate
Veil
A. Pendahuluan
Mulanya perusahaan dilakukan oleh orang perorangan yang disebut usaha
kepemilikan tunggal. Usaha kepemilikan tunggal didirikan, dimiliki, dan dikelola oleh
pengusaha secara individu. Jenis usaha ini pada umumnya bermodal kecil dengan jenis dan
jumlah produksi terbatas. Contohnya toko kelontong atau warung, tukang bakso, pedagang
asongan, dan lain-lain. Usaha tersebut kemudian berkembang menjadi perusahaan
persekutuan (usaha kemitraan) yang dilakukan oleh dua orang pengusaha atau lebih. Alasan
terbentuknya persekutuan ini diantaranya karena ada orang-orang yang tidak memiliki modal
untuk membangun usahanya sendiri, sehingga mereka berkumpul menyatukan modal untuk
membangun usaha bersama. Adapun alasan lain adalah keinginan pengusaha untuk
melakukan kerja sama bisnis dan memperbesar modal usaha. Di Indonesia dikenal dua jenis
badan usaha persekutuan, yaitu badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak
berbadan hukum.
Menurut E. Utrecht1, badan hukum adalah badan yang tidak berjiwa, lebih tepatnya
bukan manusia, yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak. Sejalan
dengan pendapat C.S.T. Kansil bahwa subjek hukum dalam dunia hukum terdiri dari manusia
(natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Disamping manusia sebagai subjek
1
Neni Sri Iminiyati, Hukum Bisnis: Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2009), hal. 124, seperti dikutip oleh Cuk Prayitno, “Tinjauan Yuridis Kepemilikan Kekayaan Negara yang
Dipisahkan dan Pertanggungjawaban Pengurus BUMN yang Berbentuk Persero”, Tesis (Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2010), hal. 15
176
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
hukum terdapat juga badan hukum, yaitu badan atau kumpulan manusia yang diberi status
persoon oleh hukum, yang mempunyai hak dan kewajiban layaknya manusia.2
B. Arief Sidharta menambahkan ciri-ciri sebuah badan hukum adalah:3
a. memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang
menjalankan kegiatan badan-badan hukum tersebut;
b. memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan
kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum
tersebut;
c. memiliki tujuan tertentu;
d. berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat
pada orang-orang tertentu karena hak-hak dan kewajiban-kewajibannya tetap ada
meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.
Perbedaan antara badan usaha berbadan hukum dan tidak berbadan hukum terletak
pada pengakuan status badan usaha sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri terpisah dari
para pendiri dan pengurusnya. Badan usaha tidak berbadan hukum bukan subjek hukum
sehingga tidak dapat melakukan perbuatan perdata dalam kedudukannya sebagai
perkumpulan. Meski dilakukan atas nama bersama, para pengusaha secara bersama-sama
bertanggung jawab secara pribadi, baik dalam mengadakan persetujuan dengan pihak ketiga
maupun dalam hal harta kekayaan. Contoh badan usaha tidak berbadan hukum adalah
persekutuan perdata, persekutuan firma, dan persekutuan komanditer (CV). Sedangkan badan
usaha berbadan hukum adalah badan usaha yang memiliki status sebagai subjek hukum, yaitu
pembawa hak dan kewajiban4 yang dapat menuntut atau dituntut oleh subjek hukum lain di
muka pengadilan5. Badan-badan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut dalam lalu lintas
hukum dengan perantaraan pengurusnya, pendek kata diperlakukan sepenuhnya sebagai
seorang manusia6. Badan usaha berbadan hukum diakui sebagai entitas yang berdiri sendiri
dan terpisah dari para pendiri dan pengurusnya. Contohnya Perseroan Terbatas (PT).
2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 117-118
3
B. Arief Sidharta dan Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Buku I (Bandung: Penerbit Alumni,
2000), hal. 82-83
4
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Prenhallindo, 2001), hal. 107
5
B. Arief Sidharta dan Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit., hal. 82
6
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003), hal. 21
177
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Bagian Menimbang
178
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
8
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Penjelasan Pasal 3 ayat (1)
9
Philips J. Scalatta Jr, Foundation of Business Law, seperti dikutip oleh M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan
Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 73
10
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 58-59
11
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin, Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi
(Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009), hal. 259-261
179
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
12
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1365
13
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2003), hal. 50
180
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
3. De daad moet aan een ander schade heb bentoege bracht (perbuatan itu harus
menimbulkan kerugian pada orang lain)
4. De daad moet aan schuld zijn te wijten (perbuatan itu karena kesalahan yang dapat
dicelakakan kepadanya)
Miriam Darus Badrulzaman memiliki pendapat yang sama dengan Hoffman, mengatakan
bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan sebagai perbuatan
melawan hukum adalah sebagai berikut:14
a. Harus ada perbuatan (baik bersifat positif maupun negative)
b. Perbuatan itu harus melawan hukum
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan melawan hukum
e. Ada kesalahan
Penerapan pasal 3 ayat (2) UUPT diatas memerlukan pembuktian adanya fakta yang
menunjukkan keterlibatan pemegang saham dalam perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh perseroan.15 Kata ‘terlibat’ sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
memiliki dua kelompok arti yang sifatnya berbeda.
1) Pada kelompok arti kata pertama, terlibat memiliki arti: terbawa-bawa, terjerumus,
tersangkut, terseret.16 Arti kata tersebut menyiratkan seakan-akan pemegang saham tidak
berniat atau tidak ada intensi atau bahkan tidak melakukan tindakan, namun karena suatu
alasan ia menjadi terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
perseroan.
2) Pada kelompok arti kata kedua, terlibat memiliki arti: berpartisipasi, berperan serta, ikut
serta, turut.17 Sifat arti kata pada kelompok kedua ini lebih mengarah kepada tindakan
aktif dari pemegang saham, yang terkesan, mengambil bagian dan peran dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan dengan sengaja.
Pasal 3 ayat (2) UUPT tidak memiliki penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk
keterlibatan maupun makna ‘terlibat’ yang dimaksud dalam pengecualian tanggung jawab
14
Miriam Darus Badrulzamam, Hukum Perikatan dalam KUHPerdata Buku Ketiga: Yurisprudensi, Doktrin,
Serta Penjelasan (Bandung: Penerbit Citra Aditya, 2015), hal. 146-147
15
Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 81
16
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/terlibat, diakses pada tanggal 4 Maret 2018
17
Ibid.
181
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
terbatas pemegang saham. Tidak adanya penjelasan dan pembatasan makna kata terlibat oleh
UUPT dapat mengganggu kepastian hukum akan prinsip tanggung jawab terbatas yang
selama ini menjadi daya tarik Perseroan bagi para pengusaha. Hal inilah yang akan diuraikan
di artikel ini dengan rumusan masalah bagaimanakan bentuk keterlibatan pemegang saham
dalam perbuatan melawan hukum PT yang dapat memperluas pertanggungjawabannya?
B. Pembahasan
B. 1. Penerapan Doktrin Piercing the Corporate Veil Dalam Pasal 3 ayat (2) Huruf C
UUPT
Karakteristik istimewa PT yaitu adanya prinsip tanggung jawab terbatas pemegang
saham (limited liability of its shareholders). Prinsip tanggung jawab terbatas pemegang
saham telah diperkenalkan sejak peraturan mengenai Perseroan diatur dalam KUHD. Pasal 40
KUHD menyatakan bahwa, “para persero atau pemegang saham atau sero tidak bertanggung
jawab lebih daripada jumlah penuh saham-saham itu.” Ketentuan Pasal 36 sampai dengan 56
KUHD kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UUPT 1995, namun
prinsip tanggung jawab terbatas tetap dipertahankan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT 1995 yang
berbunyi:
Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan
yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian
perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.
Peraturan mengenai Perseroan kemudian berganti menjadi UUPT. Dalam UUPT pun masih
tetap dipertahankan prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham, bahkan isi Pasal 3
ayat (1) UUPT masih sama dengan isi Pasal 3 ayat (1) UUPT 1995. Ketentuan dalam ayat
tersebut mempertegas ciri bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran
seluruh saham yang dimiliki dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.
Rumusan Pasal 3 ayat (1) secara imajiner menciptakan tembok pemisah antara
Perseroan dan pemegang saham (Corporate Veil) untuk melindungi pemegang saham dari
segala tindakan, perbuatan dan kegiatan Perseroan, dimana:18
1. tindakan, perbuatan dan kegiatan Perseroan bukan merupakan tindakan pemegang saham;
18
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 72
182
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
2. kewajiban dan tanggung jawab Perseroan bukan merupakan kewajiban dan tanggung
jawab pemegang saham.
Pemisahan (separation) antara Perseroan dan pemegang saham terjadi setelah Perseroan
mendapat Surat Keputusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai
pengesahan badan hukum dan sejak saat itu pula Perseroan merupakan subjek hukum
tersendiri yang berbeda (distinct) dari para pemegang sahamnya.
Prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham tidak berlaku secara absolut dan
mutlak. Terdapat beberapa ketentuan yang dapat menghapus tanggung jawab terbatas
pemegang saham, salah satunya ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf c:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh Perseroan.
UUPT merupakan lex spesialist dari KUHPerdata karena substansi yang diatur dalam
UUPT lebih spesifik yaitu mengenai bentuk badan hukum Perseroan, sehingga apabila
terdapat suatu ketentuan yang bersinggungan atau bertentangan antara keduanya, maka
berdasarkan asas lex specialist derogate legi generali, ketentuan dalam UUPT-lah yang harus
diterapkan. Akan tetapi adanya Pasal 3 ayat (2) huruf c merupakan suatu bentuk pengecualian
terhadap penerapan lex specialist. UUPT memberi keistimewaan kepada para pemegang
saham dengan adanya prinsip tanggung jawab terbatas, namun apabila pemegang saham
terlibat dalam Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Perseroan, tanggung jawab
terbatas pemegang saham akan hapus dan oleh karenanya Pasal 1365 KUHPerdata dapat
diterapkan dan diberlakukan terhadap pemegang saham yang bersangkutan.
Hapusnya prinsip tanggung jawab terbatas dalam PT dikenal juga dengan teori
Piercing the Corporate Veil atau penyingkapan tirai perusahaan (perseroan). Dalam Black’s
Law Dictionary, Piercing the Corporate Veil adalah “the judicial act of imposing personal
liability on otherwise immune corporate officers, directors, and shareholders for the
corporation’s wrongful acts. Also termed disregarding the corporate entity, veil-piercing.”19
Doktrin Piercing the Corporate Veil merupakan doktrin atau teori yang diartikan
sebagai suatu proses membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain atas
perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku yang merupakan badan
19
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 8th Edition (USA: West Group, 2004), hal. 1184
183
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
hukum, tanpa melihat fakta bahwa perbuatan tersebut dilakukan oleh perseroan pelaku
tersebut.20 UUPT melalui Pasal 3 ayat (2) mengakui doktrin Piercing the Corporate Veil yang
dibebankan kepada pemegang saham.
Tujuan utama penerapan doktrin Piercing the Corporate Veil adalah untuk memberi
keadilan bagi pihak dalam maupun luar Perseroan dari tindakan sewenang-wenang atau tidak
layak yang dilakukan oleh salah satu atau seluruh pemegang saham dan/atau pengurus atas
nama Perseroan, baik yang terbit dari suatu transaksi dengan pihak ketiga maupun yang
timbul dari perbuatan menyesatkan atau perbuatan melawan hukum.21 Sifat
pertanggungjawaban terbatas pemegang saham Perseroan tidak boleh digunakan untuk
merugikan kepentingan pihak-pihak yang beritikad baik, karena hukum senantiasa
melindungi pihak yang innocent dari tindakan yang merugikan kepentingannya.22 Jika
terdapat unsur Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam suatu kegiatan
Perseroan, meski hal tersebut dilakukan oleh Perseroan sendiri, oleh hukum dibenarkan jika
dimintakan tanggung jawab kepada pihak-pihak lain, seperti kepada Direksi, Dewan
Komisaris, bahkan pemegang saham.
Kembali pada ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf c UUPT, dalam hal Perseroan
melakukan perbuatan melawan hukum dan terbukti adanya keterlibatan pemegang saham,
maka hal tersebut dapat menyingkap atau merobek tirai perusahaan sehingga tanggung jawab
dapat dibebankan kepada pemegang saham yang bersangkutan. Fokus artikel ini adalah
Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Perseroan dimana pemegang saham terlibat
dalam perbuatan tersebut, bukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemegang
saham terhadap Perseroan. Biasanya doktrin piercing the corporate veil muncul dan dapat
diterapkan ketika ada kerugian dan pihak yang dirugikan tersebut (Penggugat) menggugat
ganti rugi ke Pengadilan Negeri dimana selain Perseroan, pemegang saham turut ditarik
menjadi pihak Tergugat dalam gugatan perbuatan melawan hukum tersebut.
20
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), hal. 7
21
Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002),
hal. 7, seperti dikutip Melisa Carmelita, “Analisis Yuridis Terhadap Pelaksanaan Doktrin Piercing the
Corporate Veil dalam Prinsip Hukum Perusahaan di Indonesia (Studi kasus pada PT X)”, Skripsi (Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2008), hal. 1
22
Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT (Jakarta: Forum Sahabat, 2008),
hal. 5
184
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
Menurut M. Yahya Harahap penerapan Pasal 3 ayat (2) huruf c UUPT tidaklah sulit
karena yang perlu dibuktikan adalah fakta yang menunjukkan keterlibatan pemegang saham
dalam Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Perseroan.23 Makna dari keterlibatan
sendiri sangat luas. Adanya keterlibatan pemegang saham dalam pengurusan Perseroan
adalah hal wajar mengingat pemegang saham sebagai pemilik Perseroan pasti ingin
dilibatkan dalam pengambilan keputusan Perseroan, namun ketika Perseroan melakukan
perbuatan melawan hukum dan ada gugatan perbuatan melawan hukum dari pihak yang
dirugikan, sejauh mana keterlibatan pemegang saham tersebut menjadi sangat penting untuk
melihat sejauh mana pemegang saham dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Faktor-faktor yang dapat mengarah kepada penerapan doktrin piercing the corporate
veil dikelompokkan ke dalam kategori-kategori (teori) sebagai berikut:24
1. Agency Theory
Teori agency menggambarkan keadaan dimana pemegang saham Perseroan (baik
induk perusahaan maupun pemegang saham individu) memiliki tingkat kontrol yang
sedemikian dominan dimana Perseroan diselenggarakan hanya sebagai agen (representatif)
dari pemegang saham25. Pemegang saham terlalu ikut campur baik langsung maupun tidak
langsung dengan cara demikian rupa sehingga tindakan Perseroan dianggaap sebagai alter
ego pemegang saham.
Alter ego adalah “a corporation used by an individual in conducting personal
business, the result being that a court may impose liability on the individual by piercing the
corporate veil when fraud has been perpetrated on someone dealing with the corporation26”.
Prinsipnya dalam doktrin alter ego, pemegang saham akan diperlakukan sebagai pemilik dari
properti Perseroan atau sebagai pihak yang sebenarnya memiliki kepentingan, jika hal
tersebut diperlukan untuk mencegah penipuan atau untuk memberikan keadilan.
Indikasi terjadinya alter ego adalah ketika kepentingan pemegang saham
mengalahkan kepentingan Perseroan dan sulitnya membedakan entitas pribadi pemegang
23
M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 81
24
Ian M. Ramsay dan David B. Noakes, “Piercing the Corporate Veil in Australia”, 19 Company and Securities
Law Journal 250-271(2001), (Australia: Law Book Co, 2001), hal. 8
25
Ibid.
26
Bryan A. Garner, Op. Cit., hal. 86
185
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
saham dan Perseroan27. Adanya kesatuan interest dan ownership antara Perseroan dan
individu pemegang saham28. Perseroan sebagai agen tidak bertanggung jawab atas tindakan
yang dilakukan olehnya sesuai dengan maksud dan tujuan pemegang saham. Pemegang
sahamlah yang seharusnya bertanggung jawab atas semua perbuatan atau tindakan hukum
yang dilakukan atas nama Perseroan.29
2. Fraud
Fraud terwujud dalam tindakan pemegang saham yang memanfaatkan Perseroan
untuk menghindari tanggung jawab pribadi yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan
melawan hukum.
3. Sham or façade
Teori ini digunakan dalam hal, bentuk hukum Perseroan digunakan hanya sebagai
topeng untuk menutupi tujuan sebenarnya dari pengendali Perseroan. Jelas bahwa tujuan
pemegang saham mendirikan Perseroan hanya untuk menghindari tanggung jawab,
sedangkan apa yang menjadi kewajibannya tidak dipenuhi. Hal ini pada umumnya tampak
dari pencampuran harta kekayaan pemegang saham dan Perseroan.
4. Group enterprises
Teori ini dapat diterapkan dalam keadaan ketika direksi sebagai pengurus anak
perusahaan tidak lagi bebas bertindak sesuai kepentingan dan kebutuhan Perseroan, namun
berada dalam satu kebijakan yang sudah ditetapkan oleh induk perusahaan sehingga pengurus
bertindak untuk kepentingan induk perusahaan dan pemegang saham saja.
5. Unfairness or unjustice
Pada dasarnya hal ini dapat terjadi ketika pemegang saham secara dominan turut serta
menentukan putusan Perseroan yang karena tindakannya tersebut pihak yang berhubungan
hukum dengan Perseroan menjadi dirugikan, sedangkan gugatan langsung kepada Perseroan
hanya akan memperbesar kerugian. Oleh karenanya lebih adil apabila gugatan langsung
ditujukan kepada pemegang saham yang dominan tersebut.30
27
Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris Perseroan Terbatas
(PT) (Jakarta: Visimedia, 2009), hal. 113
28
Freddy Harris dan Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), hal. 64
29
Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 30
30
Ibid., hal. 32
186
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
Beberapa contoh fakta yang secara universal dapat membuat diterapkannya doktrin
Piercing the Corporate Veil sehubungan dengan keterlibatan pemegang saham dalam
Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Perseroan, antara lain:31
1. Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas tertentu, misalnya tidak dilakukannya
RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS,
2. Sangat dominan pemegang saham dalam kegiatan perseroan,
3. Perseroan hanya sebagai alter ego/agent dari pemegang saham yang bersangkutan,
4. Dapat diterapkan untuk alasan ketertiban umum (openbare orde), misalnya perusahaan
melaksanakan hal-hal yang tidak pantas (improper conduct).
31
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 8-9
187
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
188
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
34
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 379
189
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
orang yang sangat dekat dan langsung merasakan akibat dari perbuatan atau tidak berbuatnya
Tergugat35.
Kembali pada pemegang saham Perseroan. Pemegang saham memiliki hak suara guna
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai Perseroan dalam mekanisme RUPS,
yang merupakan organ Perseroan yang memiliki wewenang dalam penentuan keputusan vital
Perseroan. Pemegang saham sebagai ‘para pengambil keputusan’ Perseroan hendaknya dalam
mengambil suatu pilihan yang berhubungan dengan hak suaranya bertindak dengan kehati-
hatian yaitu selalu memperhitungkan baik buruk keputusan yang akan diambil dengan
menggunakan kemampuan dan keahlian berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang
dimilikinya. Meski pada Perseroan tidak diatur syarat-syarat pendidikan atau keahlian
tertentu bagi pemegang saham (kecuali diatur khusus dalam undang-undang atau Anggaran
Dasar Perseroan), sudah seharusnya seorang pemegang saham adalah seorang yang cakap,
mampu berpikir dan mempertimbangkan pilihan-pilihan dengan menggunakan logika
berpikir sampai akhirnya mengambil keputusan tertentu. Apakah pilihan yang akan
diambilnya telah tepat sesuai dengan logika, nalar, dan pengetahuan serta tidak merugikan
pihak lain? Hal ini dikarenakan setiap keputusan yang disetujui dalam RUPS merupakan
tindakan yang akan dilakukan oleh Perseroan nantinya yang mana akan sangat berpengaruh
kepada Perseroan juga para pihak yang memiliki hubungan hukum dengan Perseroan
(stakeholders). Sehingga dalam pengambilan keputusan pemegang saham tidak boleh hanya
memikirkan keuntungan diri sendiri, namun harus juga memperhatikan kewajibannya untuk
bertindak dengan itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-udangan, kewajiban
berhati-hati (duty of care) serta kewajiban untuk bertindak sesuai dengan kecakapan dan
keahlian berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya (duty of skills). Apabila
kewajiban tersebut dilanggar maka dirinya akan dianggap lalai (breach of duty). Maka
apabila Perseroan melakukan Perbuatan Melawan Hukum sebagai akibat dari keputusan
RUPS, maka pihak yang dirugikan akibat tindakan Perseroan tersebut dapat menggugat
Perseroan beserta pemegang sahamnya.
Menjadi masalah lain jika diantara para pemegang saham terdapat pemegang saham
pengendali atau mayoritas dalam RUPS yang memiliki kemampuan untuk menentukan
35
Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 88
190
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
sendiri hasil keputusan RUPS, sehingga dirasa tidak adil jika pemegang saham minoritas
turut dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian Penggugat, karena jika dilakukan voting,
suara yang diberikan pemegang saham minoritas mungkin tidak berpengaruh mengubah
keputusan RUPS.
Pemegang saham minoritas meski merasa suara yang diberikan mungkin tidak
memiliki pengaruh karena suara mayoritas saja sudah memenuhi syarat suara setuju, namun
tidak begitu saja lepas dari tanggung jawab pribadi jika ada pihak lain yang menggugat,
karena meski kecil jumlah suaranya, pemegang saham tersebut tetap berkontribusi
memberikan suara setujunya. Namun dalam pemenuhan ganti kerugian secara tanggung
renteng oleh para pemegang saham dapat dilakukan dengan pro rata, yaitu ganti kerugian
oleh para pemegang saham secara tanggung renteng (bersama-sama) namun jumlah yang
dikeluarkan oleh masing-masing sebanding dengan persentase saham yang dimiliki.
Kemudian bagaimana dengan pemegang saham yang sejak semula tidak menyetujui
keputusan RUPS tersebut? Pasal 3 ayat (2) huruf c menyatakan prinsip tanggung jawab
terbatas tidak berlaku apabila pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan, maka tanggung jawab secara pribadi hanya
berlaku bagi pemegang saham yang terlibat dalam perbuatan tersebut.
Dalam gugatan perbuatan melawan hukum, Penggugat tidak diharuskan untuk
menarik seluruh pemegang saham dalam gugatannya. Majelis Hakim pada pertimbangan
hukum mengenai eksepsi Tergugat Putusan Nomor 39/Pdt.G/2011/PN.JMB yang menyatakan
bahwa gugatan Penggugat kurang pihak karena tidak mengikutsertakan Sun Star
International yang juga merupakan pemegang saham, harus ditolak. Hal ini didasarkan pada
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 305/K/Sip/1971 yang
menyatakan bahwa Penggugat adalah pihak yang berwenang menentukan siapa saja yang
hendak digugatnya. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
4/K/Rup/1958 tertanggal 13 Desember 1958 menyebutkan bahwa untuk dapat menuntut
seseorang di depan pengadilan adalah syarat mutlak bahwa harus ada perselisihan hukum
antara kedua belah pihak yang berperkara.36 Bahwa berarti gugatan harus didasarkan pada
adanya kepentingan atau perselisihan hukum, maka pihak Sun Star International tidak harus
36
Putusan Nomor 39/Pdt.G/2011/PN.JMB, hal. 50
191
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
diikutsertakan dalam gugatan, karena Penggugat merasa tidak mempunyai kepentingan atau
perselisihan hukum dengan Sun Star International.
37
Freddy Harris dan Teddy Anggoro, Op. Cit., hal. 41
192
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
kepada harta kekayaan pribadi, karena sebagai organ yang paling berhubungan erat dengan
aktivitas yang dilakukan oleh Perseroan, Direksi merupakan pengambil keputusan sehari-hari
serta organ yang bertindak merealisasikan keputusan tersebut. Jika dalam RUPS diambil
keputusan untuk melakukan suatu tindakan (yang pada umumnya diambil keputusan secara
garis besar dan tidak detail), Direksi-lah yang mengambil keputusan dan langkah-langkah
nyata dan konkrit untuk mewujudkan hasil keputusan RUPS. Sebagai organ yang terjun
langsung tanggung jawab Direksi sangat besar karena peran dan keterlibatannyapun sangat
besar.
Pasal 97 ayat (3) menyatakan bahwa setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh
secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab
pribadi diatas juga berlaku terhadap setiap anggota Dewan Komisaris sebagaimana diatur
dalam Pasal 114 ayat (3) dan (5) UUPT mengingat peran dan fungsinya sebagai pengawas
Direksi, Dewan Komisaris turut ambil bagian dalam pengambilan keputusan yang sifatnya
pengurusan sehari-hari untuk menjalankan dan memelihara Perseroan.
Jika dapat dibuktikan sebaliknya yaitu Direksi telah bertindak dengan itikad baik,
penuh kehati-hatian dan tindakannya semata-mata untuk kepentingan Perseroan, maka
Direksi dapat terhindar dari pertanggungjawaban pribadi. Inilah yang dikenal dengan doktrin
business judgment rule.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan business judgement rule adalah “the
presumption that in making business decisions not involving direct self interest or self
dealing, corporate directors act on an informed basis, in good faith, and in the honest belief
that their actions are in the corporation’s best interest38.” Menurut Roger LeRoy dan Gaylod
A. Jentz doktrin ini merupakan “a rule that immunizes corporate management from liability
for action that result in corporate loses or damages if the actions are undertaken in good
faith and are within both the power of the coporation and the authority of management to
make.”
Doktrin business judgement rule melindungi Direksi dari keputusan bisnis yang
merupakan transaksi Perseroan selama hal tersebut dilakukan dalam batas kewenangannya
38
Bryan A. Garner, Op. Cit., hal. 212
193
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
juga disertai itikad baik dan penuh kehati-hatian. Direksi tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas pertimbangan bisnis meskipun ternyata pertimbangan bisnis
tersebut keliru. Anggota Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab apabila terbukti
bahwa:
a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya,
b. Direksi telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai maksud dan tujuan Perseroan,
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Doktrin ini ada untuk memicu Direksi agar lebih berani dalam mengambil keputusan-
keputusan bisnis demi memajukan dan mencapai maksud dan tujuan Perseroan. Dapat
disimpulkan meski sebagai pemegang saham ia memiliki keuntungan dengan adanya prinsip
tanggung jawab terbatas sesuai Pasal 3 ayat (1) UUPT, namun dengan rangkap jabatan
kepadanya melekat pula tanggung jawab selaku Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang
menurut UUPT kedua organ Perseroan tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
pribadi. Sehingga jika terdapat gugatan Perbuatan Melawan Hukum Direksi dan/atau Dewan
Komisaris harus dapat membuktikan hal-hal tersebut diatas agar tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pribadi. Hal ini adalah logis karena pemegang saham yang
menduduki jabatan Direksi dan/atau Dewan Komisaris bukan hanya sekedar melakukan
pengawasan manajemen melainkan telah menjadi bagian dari manajemen Perseroan.
194
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
baik buruknya bagi kepentingan Perseroan, shareholders, dan para stakeholders. Dengan
memberikan saran, pemegang saham tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pribadi,
karena sifatnya hanya memberi masukan dan pertimbangan.
Berbeda halnya jika pemegang saham memberikan perintah (order) kepada Direksi
dan/atau Dewan Komisaris. Tidak dapat dipungkiri sebagai pemegang saham yang identik
dengan pemilik Perseroan pasti disegani oleh Direksi dan/atau Dewan Komisaris maupun
karyawan dalam Perseroan, sehingga meskipun ia tidak menduduki jabatan Direksi atau
Dewan Komisaris, ia dapat mendikte jalannya Perseroan. Direksi dan/atau Dewan Komisaris
mungkin akan menuruti kehendak pemilik karena adanya ikatan moral, demi melestarikan
kedudukannya sebagai board,39 atau karena berada di bawah paksaan atau tekanan.
Terkait dengan adanya dominasi pemegang saham, Blumberg menggunakan contoh
kasus Rose Hall, Ltd. Melawan Chase Manhattan Overseas Banking Corp., 576F.Supp.107
(D.Del.1983) yang mengidentifikasikan 4 (empat) faktor utama terjadinya piercing the
corporate veil, yaitu:40
a) Keterlibatan pemegang saham dalam kegiatan operasional sehari-hari Perseroan;
b) Penetapan langsung oleh pemegang saham terhadap putusan-putusan dan kebijakan-
kebijakan penting Perseroan;
c) Penentuan langsung keputusan usaha Perseroan dengan mengesampingkan peran Direksi
(dan Dewan Komisaris);
d) Instruksi pemegang saham kepada pejabat Perseroan untuk melakukan perbuatan hukum
atas nama Perseroan atau dengan secara langsung melakukan tindakan atas nama
Perseroan.
Apabila dapat dibuktikan adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh pemegang saham
untuk memaksa Direksi dan/atau Dewan Komisaris menuruti perintahnya, maka pemegang
saham dapat dimintakan pertanggungjawaban pribadi. Meski demikian bukan berarti Direksi
dan/atau Dewan Komisaris dapat bebas dari pertanggungjawaban, karena sebagai Direksi
dan/atau Dewan Komisaris yang memiliki kewajiban untuk membela kepentingan Perseroan,
shareholders dan stakeholders sesuai maksud dan tujuan Perseroan dalam Anggaran Dasar,
39
Munir Fuady, Hukum... Op. Cit., hal. 101
40
Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 34
195
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
Direksi dan/atau Dewan Komisaris dapat mengambil tindakan tegas untuk tidak memenuhi
perintah pemegang saham tersebut.
Sesuai Pasal 92 ayat (2) UUPT, Direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai
dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batasan yang ditentukan dalam UUPT
dan/atau Anggaran Dasar Perseroan, serta Pasal 97 ayat (3) bahwa Direksi bertanggung
jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya. Maka Direksi dapat turut dimintakan pertanggungjawaban pribadi jika
memenuhi permintaan pemegang saham untuk mengambil tindakan melawan hukum41.
Namun apabila Direksi melakukan tindakan preventif untuk mencegah timbulnya kerugian
dengan memberi masukan atau bahkan menentang perintah pemegang saham, maka Direksi
dapat dibebaskan dari tanggung jawab pribadi sesuai Pasal 97 ayat (5) huruf d. Direksi tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat membuktikan bahwa ia telah
mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Meski
konsekuensi dari pertentangan yang dilakukan oleh Direksi dapat berujung pada penggantian
atau pencopotan jabatannya oleh pemegang saham melalui forum RUPS. Jikalau pun terjadi
hal demikian, Direksi dapat mengajukan upaya hukum menggugat pemegang saham dengan
dasar Pasal 1365 KUHPerdata.42
Hal ini terjadi pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 39/Pdt.G/2011/PN.JMB antara
Ong Jimmy Angesti selaku Direktur Utama PT. Uniqueness Sepatumas Indonesia (PT. USI)
selaku Penggugat yang menggugat Chu Ping Han (Direktur dan Pemegang Saham PT. USI
sebesar 40%, Tergugat I) dan Chu Chun Ta (Komisaris dan Pemegang Saham PT. USI
sebesar 30%, Tergugat II) karena tindakan kedua Tergugat yang memberhentikan Penggugat
secara tidak sah, sewenang-wenang dan secara melawan hukum melalui RUPS-Luar Biasa.
Para Tergugat digugat dalam kedudukan mereka sebagai pemegang saham.
Kasus ini dikarenakan ketidakcocokan antara Penggugat dan Para Tergugat, dimana
sekitar bulan Oktober 2010 Penggugat selaku Direktur Utama PT. USI menemukan banyak
41
Hasil wawancara dengan Dr. phil. Ida Juda, M.B.A, Dipl. Kaufm, Dosen Prasetiya Mulya’s Graduate School
of Management, pada tanggal 15 November 2015
42
Andyna Susiawati Achmad, “Keputusan RUPS Rugikan Perusahaan”,
http://www.surabayapagi.com/index.php?read=Keputusan-RUPS-Rugikan-
Perusahaan;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829625b952cf41c4ca88c5b4e241aea7d30d3, diakses pada tanggal
22 Februari 2018
196
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
197
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
mengikat ke luar dan ke dalam. Terlebih hasil RUPS-LB telah diberitahukan kepada
Penggugat dan perubahan susunan pengurus/pemberhentian Direktur Utama telah didaftarkan
di Sistem Administrasi Badan Hukum Kementerian Hukum dan HAM. Para Tergugat
kemudian melayangkan gugatan Rekovensi dalam kedudukan mereka sebagai pemegang
saham yang mendalilkan bahwa kinerja Penggugat sebagai Direktur Utama sangat buruk dan
tidak cakap menjalankan tugasnya, sehingga para pemegang saham telah bersepakat untuk
memberhentikan Tergugat Rekonvensi dari jabatannya yang dilakukan melalui RUPS-LB
tanggal 8 September 2011. RUPS-LB telah dilakukan sesuai prosedur sehingga mempunyai
kekuatan hukum sempurna. Justru Tergugat Rekonvensi telah melakukan Perbuatan Melawan
Hukum karena belum mengembalikan seluruh aset dan dokumen perusahaan padahal telah
diberikan surat permintaan sebanyak dua kali.
Guna memutus perkara ini dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim
mempertimbangkan mengenai apakah RUPS-LB tanggal 8 September 2011 telah sesuai
dengan prosedur yang diatur dalam AD/ART PT. USI dan UUPT? Menimbang bahwa pada
faktanya surat undangan pelaksanaan RUPS-LB dikirim oleh kuasa Tergugat I dan II yang
berada di Jakarta melalui jasa JNE, secara logis sangat kecil kemungkinan surat itu diterima
atau sampai ke tangan Penggugat pada hari itu juga yang notabene beralamat di Jombang.
Terlebih tidak dapat dibuktikan kapan surat tersebut diterima oleh Penggugat, Tergugat hanya
membuktikan kapan surat dikirim. Sehingga karena proses pemanggilan RUPS-LB tidak
sesuai prosedur maka RUPS-LB tidak sah dan batal demi hukum sehingga tindakan
pemberhentian Penggugat oleh Tergugat I dan II merupakan perbuatan melawan hukum.
Selain itu majelis hakim memandang telah terjadi pemaksaan kehendak oleh Tergugat I dan
II dengan ketidakadanya kesamaan atau keseimbangan kedudukan antara Penggugat dengan
Tergugat I dan II karena mau tidak mau Penggugat harus menyetujui hasil RUPS-LB yang
telah diselenggarakan tanpa diberi kesempatan membela diri. Penggugat dalam posisi kurang
menguntungkan dengan situasi dan kondisi dengan jangka waktu yang kurang, sehingga
menurut majelis hakim, hal tersebut merupakan perbuatan sepihak yang didorong
penyalahgunaan kekuasaan oleh Tergugat I dan II selaku pemegang saham mayoritas, yang
mengakibatkan salah satu pihak dalam posisi yang kuat dan keadaan yang menguntungkan
dalam hal ini Para Tergugat sehingga merugikan orang lain dalam posisi lemah, yaitu
198
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
Penggugat, maka perbuatan itu dipandang sebagai perbuatan yang tidak patut dan tercela.
Oleh karena itu majelis hakim dalam putusannya memutuskan:
1) Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian,
2) Menyatakan bahwa Penggugat adalah sah sebagai Direktur Utama PT. USI,
3) Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum,
4) Menyatakan RUPS-LB tanggal 8 September 2011 di kantor PT. USI adalah tidak sah dan
batal demi hukum,
5) Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar ganti rugi materiil sebesar
Rp850.000.000,00 secara tanggung renteng, tunai dan sekaligus kepada Penggugat,
6) Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.
Putusan di atas dapat menjadi contoh bagi para Direksi dan/atau Dewan Komisaris
untuk tetap membela kepentingan Perseroan secara keseluruhan. Direksi dan/atau Dewan
Komisaris memiliki kewenangan untuk menjalankan pengurusan dan pengelolaan Perseroan
sehingga apabila hasil keputusan RUPS atau perintah dari pemegang saham dirasa akan
merugikan Perseroan, Direksi dan/atau Dewan Komisaris dapat menolak bahkan menentang
keputusan tersebut demi kepentingan Perseroan.
Dari uraian di atas terlihat bentuk-bentuk keterlibatan pemegang saham dalam
pengurusan dan pengelolaan Perseroan yang dapat memperluas tanggung jawabnya, sehingga
prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham Perseroan menjadi hapus dan hilang karena
penerapan doktrin piercing the corporate veil. Pihak yang dirugikan diberikan kesempatan
untuk meminta ganti rugi kepada para pemegang saham berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata
dengan cara menarik pemegang saham yang bersangkutan menjadi pihak Tergugat baik
sendiri maupun secara bersama-sama dengan Perseroan. Sesuai Pasal 1865 KUHPerdata yang
berbunyi ‘Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain menunjuk pada suatu
peristiwa diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”, maka beban
pembuktian berada dipihak Penggugat selaku pihak yang mendalilkan terjadinya pelanggaran
yang melibatkan pemegang saham.
Senada dengan pendapat Sutan Remy Sjahdeini yang mengatakan bahwa:43
43
Rosa Agustina, Op. Cit., hal. 216
199
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
200
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
C. Kesimpulan
Pemegang saham (shareholders) adalah setiap orang dan/atau badan hukum mandiri,
baik Warga Negara Indonesia maupun asing, yang memiliki atau mengambil saham dalam
suatu Perseroan Terbatas. Pemegang saham sering disebut juga sebagai pemilik perusahaan.
Hukum mengakui Perseroan Terbatas dan pemegang saham merupakan subjek hukum yang
berbeda, oleh karenanya pemegang saham tidak dapat terlibat dalam pengurusan dan
pengelolaan Perseroan Terbatas karena tugas pengurusan dan pengelolaan telah diserahkan
kepada organ Perseroan Terbatas yaitu Direksi di bawah pengawasan Dewan Komisaris.
Meski demikian, pemegang saham sebagai pemilik perusahaan memiliki hak untuk tetap
terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis dan penting sehubungan dengan
Perseroan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Sesuai dengan namanya, Perseroan Terbatas, UUPT menganut prinsip tanggung
jawab terbatas pemegang saham (limited liability of its shareholders) yaitu pemegang saham
tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan
tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.
Pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran seluruh saham yang dimiliki dan
tidak meliputi harta kekayaan pribadi. Akan tetapi ketentuan pada Pasal 3 ayat (2) huruf c
UUPT memperluas tanggung jawab tersebut dalam hal pemegang saham terlibat dalam
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan Terbatas.
Bentuk keterlibatan pemegang saham yang dimaksud dalam pasal ini dapat berupa
pengambilan keputusan oleh pemegang saham melalui mekanisme RUPS yang
diselenggarakan tidak sesuai dengan syarat formal penyelenggaraan RUPS yang diatur dalam
UUPT dan Anggaran Dasar Perseroan, pemberian suara dalam RUPS oleh pemegang saham
yang dilakukan dengan melalaikan duty of care-nya, pemegang saham menduduki jabatan
Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagai organ pengurus dan pengelola Perseroan Terbatas
sehari-hari yang merupakan bagian dari manajemen Perseroan, dan apabila pemegang saham
mendikte jalannya Perseroan melalui pemberian perintah atau instruksi kepada Direksi atau
Dewan Komisaris atau karyawan Perseroan untuk melakukan suatu tindakan yang
menyebabkan Perseroan melakukan perbuatan melawan hukum dan merugikan pihak lain.
201
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Buku
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003
Fuady, Munir. Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam
Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014
_______. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2002
Harris, Freddy dan Teddy Anggoro. Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban Pemberitahuan
oleh Direksi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2013
202
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
Iminiyati, Neni Sri. Hukum Bisnis: Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi.
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1986
Wicaksono, Frans Satrio. Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris
Perseroan Terbatas (PT). Jakarta: Visimedia, 2009
Widjaja, Gunawan. Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT. Jakarta:
Forum Sahabat, 2008
Jurnal Ilmiah
Ramsay, Ian M. dan David B. Noakes. “Piercing the Corporate Veil in Australia”. 19
Company and Securities Law Journal, 2001. Australia: Law Book Co, 2001
Prayitno, Cuk. “Tinjauan Yuridis Kepemilikan Kekayaan Negara yang Dipisahkan dan
Pertanggungjawaban Pengurus BUMN yang Berbentuk Persero”. Tesis. Jakarta:
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
Kamus
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary 8th Edition. USA: West Group, 2004
Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Jombang Nomor 39/Pdt.G/2011/PN.JMB
Media Internet
Achmad, Andyna Susiawati. “Keputusan RUPS Rugikan Perusahaan”.
http://www.surabayapagi.com/index.php?read=Keputusan-RUPS-Rugikan-
Perusahaan;3b1ca0a43b79bdfd9f9305b8129829625b952cf41c4ca88c5b4e241aea7
d30d3
203
Law Review Volume XVII, No. 3_– Maret 2018
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/terlibat
204