5 Jurnal+Budget+Vol 5 2 2020 - Final-105-123
5 Jurnal+Budget+Vol 5 2 2020 - Final-105-123
5 Jurnal+Budget+Vol 5 2 2020 - Final-105-123
2, 2020
Marihot Nasution
Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat RI
email: marihot.nasution@dpr.go.id
Abstract
This study examines the development of inequality between regions in
Indonesia from 2010-2019. Tests are carried out by grouping using Klassen's
typology and measuring the value of inequality using the Williamson Index. In
addition, the results of the inequality calculation are tested for correlation with
government spending according to type, namely personnel expenditure, material
expenditure, capital expenditure, subsidy expenditure, grant expenditure, social
assistance expenditure and transfers to the regions.
The results showed that the Klassen typology categorized 2 provinces as
developed and rapidly developing provinces/quadrant 1, namely DKI Jakarta and
Riau Islands. Meanwhile, 8 provinces are included in the group of provinces that
are categorized as underdeveloped (quadrant 3). For the group of provinces that
are classified as developing with per capita income exceeding the average but
with low growth and are in quadrant 4, there are 5 provinces and other provinces
(19 provinces) are included in quadrant 2 where the growth is high but the GDP
per capita is below the average. Meanwhile, the value of inequality as measured
by the Williamson index during 2010-2019 is in the range of 0.70-0.76, which is
close to number 1, meaning that Indonesia experiences high regional inequality.
The results of the correlation testing for variations in the Williamson Index
on variations in state expenditure show that personnel spending, goods
spending, capital expenditures and transfers to regions have a positive and
significant relationship to the Williamson index. This proves that state spending is
still not evenly distributed and still unable to lift regions with low growth.
Keywords: inequality between regions, Williamson index, government
spending
84
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
1. Pendahuluan
Kesenjangan antarwilayah di Indonesia masih merupakan salah satu
tantangan penting dalam pembangunan nasional. Saat ini, kesenjangan antar
wilayah di Indonesia dipandang relatif masih cukup tinggi, khususnya
kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Struktur ekonomi Indonesia secara spasial tahun 2019
masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto,
yakni sebesar 59,00 persen, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,32 persen,
dan Pulau Kalimantan 8,05 persen (BPS, 2020). Bahkan, selama 30 tahun
(1986-2019) kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) KBI sangat
dominan dan tidak pernah kurang dari 80 persen terhadap PDB (BPS, 2020).
Oleh karena itu, upaya untuk melakukan percepatan pemerataan pembangunan,
termasuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah menjadi salah
satu agenda pembangunan nasional.
Kesenjangan antarwilayah juga dapat dilihat dari masih terdapatnya
kabupaten yang merupakan daerah tertinggal tersebar di wilayah Indonesia. Di
tahun 2020 masih terdapat 62 daerah tertinggal yang ditetapkan dalam Peraturan
Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal
Tahun 2020-2024. Isu kesenjangan wilayah ini juga terkait dengan isu
pemerataan pembangunan. Isu pemerataan pembangunan menjadi suatu
keniscayaan bila kita cermati komparasinya dengan perkembangan kawasan
regional, melalui peringkat indeks pembangunan inklusif atau Inclusive
Development Index (IDI), yang dirilis World Economic Forum (WEF) tahun 2018.
Secara umum, WEF melihat negara-negara berkembang menunjukkan
peningkatan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakatnya. Dari
77 negara berkembang, Indonesia menempati peringkat ke-36 indeks
pemerataan pembangunan (peringkat ke-22 di tahun 2017), di bawah Malaysia
(peringkat ke-13 tahun 2018 dan ke-16 tahun 2017), Thailand (peringkat ke-17
tahun 2018 dan ke-12 tahun 2017) dan Vietnam (peringkat ke-33 di tahun 2018).
Upaya pemerintah dalam mengurangi ketimpangan tersebut salah
satunya dengan menerapkan kebijakan fiskal yang sehat melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merujuk pada kebijakan yang
dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui
pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Perubahan tingkat dan
komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-
variabel permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi; pola persebaran
sumber daya; dan distribusi pendapatan. Melalui kebijakan fiskal, pemerintah
dapat memengaruhi tingkat pendapatan nasional, dapat memengaruhi
kesempatan kerja, dapat memengaruhi tinggi rendahnya investasi nasional, dan
dapat memengaruhi distribusi penghasilan nasional.
Namun, hingga kini belanja negara melalui konsumsi pemerintah dan
investasi dinilai belum optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan kajian Bappenas (2019), yang menguji andil belanja negara tahun
85
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
2. Tinjauan Pustaka
Ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena
umum dalam proses pembangunan ekonomi. Hal ini pada awalnya disebabkan
oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi
demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Terjadinya ketimpangan
antar wilayah ini berimplikasi terhadap kesenjangan tingkat kesejahteraan
masyarakat antar wilayah, yang dapat mengganggu stabilitas keamanan wilayah
akibat kecemburuan masyarakat terutama yang berasal dari daerah dengan
86
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
Dimana:
Yi = PDRB per kapita provinsi i
Y = PDRB per kapita rata-rata nasional
fi = jumlah penduduk di provinsi i
n = jumlah penduduk nasional
Dengan indikator angka indeks Williamson yang diperoleh terletak antara
0 sampai dengan 1, jika mendekati 0 berarti ketimpangan (disparitas) antar
87
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
wilayah semakin rendah atau dengan kata lain pembangunan antar wilayah
terjadi secara merata, tetapi jika bila angka indeks menunjukkan semakin jauh
dari nol atau mendekati 1 maka ketimpangan pembangunan antar wilayah
semakin tinggi serta mengidentifikasikan adanya pertumbuhan ekonomi regional
yang tidak merata. Indeks Williamson ini memiliki kelemahan yaitu merupakan
yang sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan,
seperti terjadi dalam penelitian Sjafrizal (2002) yang membahas ketimpangan
antarwilayah di Indonesia pada periode 1993-2000 dengan memisahkan ibukota
Indonesia, DKI Jakarta dalam pengukuran indeks. Hasil pengukuran indeks
ketimpangan wilayah menunjukkan pengaruh kehadiran DKI Jakarta dalam
penghitungan ternyata relatif signifikan dikarenakan struktur ekonomi daerah
yang berbeda dibandingkan daerah lain yang diikutkan dalam pengukuran.
Meskipun demikian indeks ini sudah lazim digunakan dalam mengukur
ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Melihat ketimpangan wilayah juga dapat dilakukan dengan analisis
tipologi Klassen. Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran
tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah
(Syafrizal, 1997). Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan
dua indikator utama yaitu pertumbuhan ekonomi pada sumbu vertikal dan rata-
rata pendapatan perkapita pada sumbu horizontal. Klassen mengklasifikasikan
tingkat pembangunan menjadi empat kuadran utama yaitu sektor maju dan
tumbuh pesat, sektor pertumbuhan tertekan, sektor potensial atau masih bisa
tumbuh dan sektor relatif tertinggal (Gambar 2).
Gambar 2. Tipologi Klassen
Dimana:
ri: PDRB per kapita provinsi i
r: PDRB per kapita wilayah
yi: pertumbuhan ekonomi provinsi i
y: pertumbuhan ekonomi wilayah
88
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
89
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
90
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
91
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini mengetahui ketimpangan antar wilayah di Indonesia dengan
menggunakan tipologi Klassen dan indeks Williamson. Sebelumnya telah
dijelaskan bahwa komponen penghitungan pengujian ketimpangan antar wilayah
dengan menggunakan tipologi Klassen dan indeks Wiliamson menggunakan
variabel di antaranya: PDRB per kapita, pertumbuhan PDRB provinsi dan jumlah
penduduk tiap provinsi. Data dari variabel tersebut diperoleh dari data dan
publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 hingga 2019. Penggunaan
kedua analisis ketimpangan tersebut untuk memberikan gambaran komprehensif
92
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
93
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
Rp245,01 triliun, Rp2,29 triliun, Rp77,98 triliun dan Rp14,02 triliun secara
berurutan. Untuk belanja transfer ke daerah sebagai wujud desentralisasi rata-
rata realisasi alokasi belanjanya adalah Rp547,57 triliun.
Tabel 1. Statistik Deskriptif
94
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
95
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
96
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
97
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
Dari hasil pengujian koefisien Spearman Rank di atas dapat dilihat bahwa
belanja pemerintah berhubungan positif dengan ketimpangan yang dihitung
dengan Indeks Williamson yang menyertakan DKI Jakarta dalam
penghitungan. Hubungan yang signifikan terjadi pada belanja pegawai, belanja
barang, belanja modal, belanja bantuan sosial, transfer ke daerah dan nilai total
belanja pemerintah pusat. Makin bertambah belanja pemerintah tersebut makin
meningkat pula ketimpangan/indeks Williamson. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Song (2013) yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah
berkontribusi terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan daerah di China
pada tahun 1978-2007. Ketimpangan pendapatan antar provinsi di China
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bias pada suatu wilayah. Hal ini
menyebabkan distribusi belanja pemerintah yang tidak merata antar provinsi
sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan antar provinsi di China
(Zhang dan Zou, 2012). Samanta dan Cerf (2009) juga menyatakan bahwa
pengeluaran pemerintah yang didistribusikan dengan baik dapat mengurangi
ketimpangan pendapatan. Dalam hal Indonesia, pengeluaran pemerintah
masih berpusat di wilayah Jawa seperti tercantum dalam Nota Keuangan
APBN 2019 bahwa belanja negara yang dilaksanakan melalui belanja K/L dan
TKDD berdasarkan kewilayahan, proporsinya secara spasial yang paling besar
berada pada wilayah Jawa, diikuti wilayah Sumatera, wilayah Sulawesi, wilayah
Maluku dan Papua, wilayah Kalimantan, dan wilayah Bali-Nusa Tenggara.
Porsi belanja negara tersebut sebagian besar berada di wilayah Jawa dan
Sumatera, dimana kedua wilayah tersebut memang memiliki jumlah penduduk
besar dan menjadi pusat kegiatan industri, perdagangan, dan pariwisata.
Gambar 6. Belanja Negara Menurut Wilayah, 2019
Sementara itu, jika indeks Williamson dihitung tanpa DKI Jakarta, maka
hubungan belanja negara dengan ketimpangan justru negatif, artinya makin
tinggi jumlah belanja negara maka ketimpangan antar wilayah menurun.
Belanja pemerintah yang berkorelasi signifikan dengan indeks Williamson yang
dihitung tanpa outlier, DKI Jakarta, di antaranya belanja pegawai, belanja
barang, transfer ke daerah, dan total belanja pemerintah pusat. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai signifikansi (p value) di atas 0,05 seperti yang tampak
98
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
di Tabel 5, sisi kiri. Hasil ini konsisten dengan Ostergaard (2013) yang
menemukan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh terhadap penurunan
ketimpangan pendapatan di negara-negara Sub Sahara. Menurut Claus, dkk.
(2014), jika belanja pemerintah dilihat per sektor, maka belanja publik di bidang
kesehatan dan pendidikan dapat menurunkan ketimpangan pendapatan di
negara-negara Asia. Lebih lanjut Park dan Shin (2015) menyatakan bahwa
pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dapat membantu mengurangi
ketimpangan pendapatan. Ospina (2010) menunjukkan bahwa belanja publik di
bidang pendidikan dan kesehatan berpengaruh terhadap penurunan
ketimpangan pendapatan. Doerrenberg dan Peichl (2014) menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan.
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Dari hasil pengelompokan menggunakan tipologi Klassen diketahui bahwa
masih banyak provinsi yang masuk ke dalam kuadran 2 dimana
pertumbuhannya tinggi namun PDRB per kapitanya di bawah rata-rata (19
provinsi). Hal ini pun didukung dengan penghitungan indeks Williamson antar
provinsi dimana penghitungan indeks Williamson tiap provinsi untuk mengukur
ketimpangan wilayah dalam provinsi di tahun 2010 dan 2018 menunjukkan
bahwa masih banyak provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan tinggi (indeks
Williamson di atas 0,5). Dari hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa indeks
tersebut mengalami penurunan di 18 provinsi, sedangkan 15 provinsi lainnya
mengalami peningkatan indeks Williamson (Tabel 3). Hal ini menunjukkan
bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun pemerintah daerah
telah membuahkan hasil meskipun masih perlu upaya pemerataan lagi agar
nilai indeks Williamson turun secara signifikan. Hal ini dikarenakan secara
nasional, indeks Williamson berada di kisaran 0,70-0,76 yang mendekati angka
1, artinya Indonesia mengalami ketimpangan wilayah yang tinggi.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan pemerataan dilakukan dengan
pengalokasian pengeluaran pemerintah hingga ke level desa di seluruh wilayah
Indonesia. Hasil pengujian korelasi antara indeks Williamson dan belanja
pemerintah menunjukkan bahwa belanja pemerintah berhubungan positif
dengan ketimpangan. Hubungan yang signifikan terjadi pada belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal, belanja bantuan sosial, transfer ke daerah dan
nilai total belanja pemerintah pusat. Makin bertambah belanja pemerintah
tersebut makin meningkat pula ketimpangan/indeks Williamson. Hal ini
mengingat belanja negara masih terpusat di wilayah Jawa sehubungan dengan
banyaknya jumlah penduduk di pulau ini dan banyaknya pusat kegiatan usaha
di dalamnya.
5.2. Saran
Melihat masih adanya ketimpangan di wilayah Indonesia, maka perlu
diupayakan agar pembangunan lebih merata yang menjangkau seluruh wilayah
99
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
Daftar Pustaka
Acconcia, A., and Del Monte, A. 1999. Regional Development and Public
Spending: The Case of Italy. June 1999. Working paper
Bappenas, 2012. Analisis Kesenjangan Antar Wilayah 2012.
Bappenas. 2017. Prakarsa Pemerintah Daerah Dalam Upaya Pengurangan
Kesenjangan Wilayah Dan Pembangunan Daerah. ISBN: 978-602-61004-
1-2
BPS. 2020. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2019. Berita Resmi
Statistik No. 17/02/Th. XXIV, 5 Februari 2020, Jakarta
Calderon, Cesar and Serven, Luis. 2004, The Effect of Infrastructure
Development on Growth and Income Distribution, Central Bank of Chile,
Working paper No.270, September 2004. pp. 1 – 47.
Claus, I., Martinez-Vazquez, J., and Vulovic, V. 2014, Inequality in Asia and The
Pacific: Trend, Driver and Policy Implication, New York, Edited by Ravi
Kanbur, Chang Young Rhee and Juzhong Zuang, Routledge and Asian
Development Bank.
Doerrenberg, Philipp and Peich, Andreas. 2014, The Impact of Redistributive
Policies on Inequality in OECD Countries, Center for European Economic
Research, Discussion Paper, No. 14-012.
Kementerian Keuangan. 2020. Nota Keuangan dan APBN Tahun Anggaran
2020.
Kutscherauer, Alois, et al. 2010. Regional Disparities: Disparities in country
regional development - concept, theory, identification and assessment.
Technical University of Ostrava. Working paper
Martines-Vazquez, Jorge., Moreno-Dodson, Blanca and Vulovic, V. 2012, The
Impact of Tax and Expenditure Policies on Income Distribution: Evidence
100
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
101
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020
102