5 Jurnal+Budget+Vol 5 2 2020 - Final-105-123

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

JURNAL BUDGET VOL. 5, NO.

2, 2020

KETIMPANGAN ANTAR WILAYAH & HUBUNGANNYA


DENGAN BELANJA PEMERINTAH: STUDI DI INDONESIA

Inequality between Regions & Their Relationship with Government


Expenditures: A Study in Indonesia

Marihot Nasution
Pusat Kajian Anggaran, Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat RI
email: marihot.nasution@dpr.go.id

Abstract
This study examines the development of inequality between regions in
Indonesia from 2010-2019. Tests are carried out by grouping using Klassen's
typology and measuring the value of inequality using the Williamson Index. In
addition, the results of the inequality calculation are tested for correlation with
government spending according to type, namely personnel expenditure, material
expenditure, capital expenditure, subsidy expenditure, grant expenditure, social
assistance expenditure and transfers to the regions.
The results showed that the Klassen typology categorized 2 provinces as
developed and rapidly developing provinces/quadrant 1, namely DKI Jakarta and
Riau Islands. Meanwhile, 8 provinces are included in the group of provinces that
are categorized as underdeveloped (quadrant 3). For the group of provinces that
are classified as developing with per capita income exceeding the average but
with low growth and are in quadrant 4, there are 5 provinces and other provinces
(19 provinces) are included in quadrant 2 where the growth is high but the GDP
per capita is below the average. Meanwhile, the value of inequality as measured
by the Williamson index during 2010-2019 is in the range of 0.70-0.76, which is
close to number 1, meaning that Indonesia experiences high regional inequality.
The results of the correlation testing for variations in the Williamson Index
on variations in state expenditure show that personnel spending, goods
spending, capital expenditures and transfers to regions have a positive and
significant relationship to the Williamson index. This proves that state spending is
still not evenly distributed and still unable to lift regions with low growth.
Keywords: inequality between regions, Williamson index, government
spending

84
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

1. Pendahuluan
Kesenjangan antarwilayah di Indonesia masih merupakan salah satu
tantangan penting dalam pembangunan nasional. Saat ini, kesenjangan antar
wilayah di Indonesia dipandang relatif masih cukup tinggi, khususnya
kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan
Timur Indonesia (KTI). Struktur ekonomi Indonesia secara spasial tahun 2019
masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto,
yakni sebesar 59,00 persen, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,32 persen,
dan Pulau Kalimantan 8,05 persen (BPS, 2020). Bahkan, selama 30 tahun
(1986-2019) kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) KBI sangat
dominan dan tidak pernah kurang dari 80 persen terhadap PDB (BPS, 2020).
Oleh karena itu, upaya untuk melakukan percepatan pemerataan pembangunan,
termasuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah menjadi salah
satu agenda pembangunan nasional.
Kesenjangan antarwilayah juga dapat dilihat dari masih terdapatnya
kabupaten yang merupakan daerah tertinggal tersebar di wilayah Indonesia. Di
tahun 2020 masih terdapat 62 daerah tertinggal yang ditetapkan dalam Peraturan
Presiden (Perpres) No. 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah Tertinggal
Tahun 2020-2024. Isu kesenjangan wilayah ini juga terkait dengan isu
pemerataan pembangunan. Isu pemerataan pembangunan menjadi suatu
keniscayaan bila kita cermati komparasinya dengan perkembangan kawasan
regional, melalui peringkat indeks pembangunan inklusif atau Inclusive
Development Index (IDI), yang dirilis World Economic Forum (WEF) tahun 2018.
Secara umum, WEF melihat negara-negara berkembang menunjukkan
peningkatan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan masyarakatnya. Dari
77 negara berkembang, Indonesia menempati peringkat ke-36 indeks
pemerataan pembangunan (peringkat ke-22 di tahun 2017), di bawah Malaysia
(peringkat ke-13 tahun 2018 dan ke-16 tahun 2017), Thailand (peringkat ke-17
tahun 2018 dan ke-12 tahun 2017) dan Vietnam (peringkat ke-33 di tahun 2018).
Upaya pemerintah dalam mengurangi ketimpangan tersebut salah
satunya dengan menerapkan kebijakan fiskal yang sehat melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN merujuk pada kebijakan yang
dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui
pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Perubahan tingkat dan
komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-
variabel permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi; pola persebaran
sumber daya; dan distribusi pendapatan. Melalui kebijakan fiskal, pemerintah
dapat memengaruhi tingkat pendapatan nasional, dapat memengaruhi
kesempatan kerja, dapat memengaruhi tinggi rendahnya investasi nasional, dan
dapat memengaruhi distribusi penghasilan nasional.
Namun, hingga kini belanja negara melalui konsumsi pemerintah dan
investasi dinilai belum optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan kajian Bappenas (2019), yang menguji andil belanja negara tahun

85
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

2016-2017 terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode 2017-2018


menyatakan bahwa meskipun pengeluaran pemerintah (khususnya belanja
kementerian/lembaga) naik namun kenaikan tersebut hanya mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi sebesar 0,24 persen, jauh dari angka yang direncanakan
sebelumnya yaitu 0,66 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan
fiskal khususnya belanja pemerintah belum optimal dalam mendongkrak
pertumbuhan ekonomi. Penyebabnya, pengalokasian anggaran sendiri yang
belum tepat sasaran sehingga belanja tersebut belum memiliki efek ekonomi
secara makro. Lebih khususnya, belanja tersebut belum mampu mengurangi
tingkat kemiskinan maupun kesenjangan antar daerah, mengurangi jumlah
pengangguran, hingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Belanja pemerintah
melalui kementerian/lembaga juga masih cenderung terjebak pada dana rutin
yang tidak memberikan dampak ekonomi besar. Misalnya, peningkatan belanja
pegawai atau belanja barang yang relatif tidak perlu. Sementara itu, alokasi
belanja modal masih belum mendominasi di kementerian/lembaga dan sering
penyerapannya menumpuk di akhir tahun.
Penyebab lain mengapa belanja pemerintah masih dinilai belum berandil
optimal dalam pertumbuhan ekonomi dan nantinya pengurangan ketimpangan
antar wilayah di antaranya disebabkan karena sempitnya ruang gerak fiskal
APBN. Saat ini terdapat beberapa belanja rutin yang tidak dapat ditinggalkan
atau bersifat mengikat (mandatory spending), di antaranya belanja pegawai,
transfer ke daerah, pembayaran utang hingga kewajiban mengalokasikan 20
persen untuk pendidikan dan 5 persen untuk kesehatan.
Untuk itu, perlu dikaji bagaimana kondisi ketimpangan antar wilayah di
Indonesia selama ini dan hubungannya dengan belanja pemerintah yang telah
direalisasikan. Studi ini diharapkan dapat menjadi langkah evaluasi bagi
pemerintah dalam mengalokasikan sumber dayanya melalui kebijakan fiskal
yang berorientasi pemerataan pembangunan antar wilayah secara optimal.
Pengkajian ini tepat dilaksanakan saat ini mengingat Indonesia sedang fokus
mewujudkan pemerataan pembangunan di Indonesia yang merupakan jawaban
terhadap masalah ketimpangan. Salah satu strateginya dapat dilakukan dengan
menjamin ketersediaan infrastruktur yang disesuaikan dengan kebutuhan
antarwilayah, sehingga mendorong investasi baru, lapangan kerja baru,
meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sebagai dampak dari
bergeraknya ekonomi lokal.

2. Tinjauan Pustaka
Ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena
umum dalam proses pembangunan ekonomi. Hal ini pada awalnya disebabkan
oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi
demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Terjadinya ketimpangan
antar wilayah ini berimplikasi terhadap kesenjangan tingkat kesejahteraan
masyarakat antar wilayah, yang dapat mengganggu stabilitas keamanan wilayah
akibat kecemburuan masyarakat terutama yang berasal dari daerah dengan

86
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

tingkat kesejahteraan yang lebih rendah. Berdasarkan definisi OECD (2003),


kesenjangan wilayah (regional disparities) menggambarkan perbedaan intensitas
yang dimanifestasikan melalui fenomena ekonomi yang diamati pada sejumlah
wilayah dalam satu negara. ILO (2002) dalam Kutscherauer, et al. 2010
menyebutkan bahwa kesenjangan wilayah adalah perbedaan performa ekonomi
dan kesejahteraan antarwilayah.
Secara teoritis, ketimpangan pembangunan antar-wilayah dimunculkan
dari Teori Pertumbuhan Neo-Klasik dari Douglas C. North (Sjafrizal, 2014)
dimana muncul prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan ekonomi
nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Menurut teori tersebut pada awal proses pembangunan suatu negara,
ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan
terjadi hingga ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila
proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur
ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Dengan kata
lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah memiliki bentuk huruf U
terbalik (reversed U-shape curve) seperti tampak di gambar di berikut (Sjafrizal,
2014).
Gambar 1. Kurva Ketimpangan Pembangunan

Williamson (1966) dalam Sjafrizal (2014) menguji kebenaran Teori


Pertumbuhan Neo-Klasik ini dengan mengukur ketimpangan pembangunan antar
wilayah menggunakan Indeks Williamson. Penghitungan indeks Williamson ini
dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

Dimana:
Yi = PDRB per kapita provinsi i
Y = PDRB per kapita rata-rata nasional
fi = jumlah penduduk di provinsi i
n = jumlah penduduk nasional
Dengan indikator angka indeks Williamson yang diperoleh terletak antara
0 sampai dengan 1, jika mendekati 0 berarti ketimpangan (disparitas) antar

87
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

wilayah semakin rendah atau dengan kata lain pembangunan antar wilayah
terjadi secara merata, tetapi jika bila angka indeks menunjukkan semakin jauh
dari nol atau mendekati 1 maka ketimpangan pembangunan antar wilayah
semakin tinggi serta mengidentifikasikan adanya pertumbuhan ekonomi regional
yang tidak merata. Indeks Williamson ini memiliki kelemahan yaitu merupakan
yang sensitif terhadap definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan,
seperti terjadi dalam penelitian Sjafrizal (2002) yang membahas ketimpangan
antarwilayah di Indonesia pada periode 1993-2000 dengan memisahkan ibukota
Indonesia, DKI Jakarta dalam pengukuran indeks. Hasil pengukuran indeks
ketimpangan wilayah menunjukkan pengaruh kehadiran DKI Jakarta dalam
penghitungan ternyata relatif signifikan dikarenakan struktur ekonomi daerah
yang berbeda dibandingkan daerah lain yang diikutkan dalam pengukuran.
Meskipun demikian indeks ini sudah lazim digunakan dalam mengukur
ketimpangan pembangunan antar wilayah.
Melihat ketimpangan wilayah juga dapat dilakukan dengan analisis
tipologi Klassen. Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran
tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah
(Syafrizal, 1997). Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan
dua indikator utama yaitu pertumbuhan ekonomi pada sumbu vertikal dan rata-
rata pendapatan perkapita pada sumbu horizontal. Klassen mengklasifikasikan
tingkat pembangunan menjadi empat kuadran utama yaitu sektor maju dan
tumbuh pesat, sektor pertumbuhan tertekan, sektor potensial atau masih bisa
tumbuh dan sektor relatif tertinggal (Gambar 2).
Gambar 2. Tipologi Klassen

Kuadran II (K2) Kuadran I (K1)

wilayah pertumbuhan tertekan; wilayah maju dan berkembang pesat;


pendapatan rendah tetapi pertumbuhan pertumbuhan dan pendapatan tinggi
tinggi
(ri >= r dan yi >= y)
(ri < r dan yi >= y)

Kuadran III (K3) Kuadran IV (K4)

wilayah relatif tertinggal; pertumbuhan wilayah potensial atau masih bisa


rendah dan pendapatan rendah berkembang; pendapatan tinggi tetapi
pertumbuhan rendah
(ri < r dan yi < y)
(ri >= r dan yi < y)

Dimana:
ri: PDRB per kapita provinsi i
r: PDRB per kapita wilayah
yi: pertumbuhan ekonomi provinsi i
y: pertumbuhan ekonomi wilayah

88
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

Potensi ketimpangan pendapatan antar daerah akan selalu ada karena


kondisi daerah yang berbeda, termasuk faktor endowment yang berbeda
antardaerah. Semakin besar perbedaan pendapatan perkapita antar daerah
berarti ketimpangan pendapatan antar daerah semakin melebar (divergen).
Banyak faktor yang menentukan ketimpangan pendapatan antardaerah, yaitu
konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah, mobilitas barang (perdagangan),
faktor produksi antardaerah, alokasi investasi publik dan swasta lintas daerah.
Konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah akan menyebabkan ketimpangan
antar daerah semakin besar (Sjafrizal, 2008). Konsentrasi kegiatan ekonomi
antar daerah menunjukkan perbedaan pertumbuhan antar daerah juga. Alokasi
investasi pemerintah disini adalah pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu,
perbedaan pengeluaran pemerintah di suatu daerah dengan daerah lainnya akan
menyebabkan ketimpangan pendapatan antar daerah tersebut.
Mukaramah, dkk. (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh
pengeluaran publik terhadap ketimpangan pendapatan antara pedesaan dan
perkotaan di Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran publik
pemerintah untuk pendidikan dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan
antar etnis dan ketimpangan pendapatan antara perkotaan dan perdesaan.
Pengeluaran pemerintah untuk pertanian dan pembangunan pedesaan
berpengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan antar kelompok etnis dan
berpengaruh terhadap disparitas pendapatan antara perkotaan dan perdesaan.
Calderon dan Servien (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui
pengaruh pengeluaran pemerintah pada infrastruktur terhadap pertumbuhan
ekonomi dan distribusi pendapatan. Panel data digunakan dari 121 negara
selama tahun 1960-2000. Penelitian ini menggunakan persamaan regresi. Hasil
studi menunjukkan bahwa dari segi kuantitas, infrastruktur memiliki pengaruh
positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Secara kualitas, infrastruktur berpengaruh lemah terhadap pertumbuhan
ekonomi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah infrastruktur harus dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan ketimpangan pendapatan.
Artinya, pembangunan infrastruktur melalui belanja pemerintah dibutuhkan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan pendapatan.
Martines-Vazquez, dkk. (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui
pengaruh pajak dan pengeluaran publik terhadap ketimpangan pendapatan.
Penelitian ini menggunakan data panel 150 negara maju, negara berkembang
dan negara transisi, selama 1970-2009, dengan alat analisis OLS dan GMM
(Generalized Method of Moment). Variabel terikat adalah koefisien gini. Variabel
independen adalah pajak dan pengeluaran publik. Pengeluaran publik adalah
perlindungan sosial, pendidikan, kesehatan dan perumahan. Analisis
menemukan bahwa pajak dan pengeluaran publik secara signifikan
memengaruhi koefisien gini (ketimpangan pendapatan). Pajak progresif (atas
penghasilan) secara positif memengaruhi distribusi pendapatan dan berkontribusi
pada penurunan ketimpangan pendapatan. Pajak penghasilan badan
berpengaruh positif terhadap distribusi pendapatan, namun pengaruhnya
menurun seiring dengan meningkatnya globalisasi dan keterbukaan

89
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

perdagangan (perdagangan internasional). Pangsa pengeluaran publik dalam


PDB untuk kesejahteraan sosial, pendidikan dan perumahan berpengaruh positif
terhadap distribusi pendapatan. Dari sisi belanja publik, meningkatnya belanja
perlindungan sosial menyebabkan koefisien gini 0,22 menurun. Meningkatnya
pengeluaran untuk kesehatan masyarakat menyebabkan penurunan
ketimpangan pendapatan. Penurunan pengeluaran publik untuk pendidikan dan
perumahan menyebabkan peningkatan ketimpangan pendapatan.
Alokasi dana publik antar daerah melalui anggaran negara merupakan
instrumen kebijakan utama untuk mengatasi disparitas daerah (Acconcia & Del
Monte, 1999). Di negara maju, efek utama dari kebijakan redistributif dan transfer
adalah bahwa daerah berpenghasilan rendah menikmati aliran masuk sumber
daya yang positif, yaitu, mereka membayar pajak lebih sedikit daripada yang
mereka terima sebagai layanan dan manfaat, sementara daerah berpenghasilan
tinggi memberikan dukungan keuangan. Perpindahan dana antar wilayah muncul
setidaknya karena dua alasan. Pertama, setiap daerah merupakan bagian dari
masyarakat dengan standar nasional untuk pelayanan publik dan kesejahteraan,
dan basis perpajakan yang sama. Hal ini memastikan bahwa, untuk daerah
dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah dari rata-rata nasional, jumlah
yang dibayarkan untuk pajak lebih rendah dari jumlah belanja publik yang
diterima. Kedua, daerah miskin mendapatkan manfaat dari kebijakan daerah
yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dan mendorong pertumbuhan.
Bentuk utama dari kebijakan ini adalah investasi di bidang infrastruktur dan
subsidi untuk mendorong investasi masuk.
McCulloch dan McKay dalam Raychaudhuri (2010), menjelaskan
bagaimana peran pembangunan infrastruktur dapat menurunkan tingkat
kemiskinan dan kemudian menekan ketimpangan. Hubungan pembangunan
infrastruktur sendiri dalam mengurangi tingkat kemiskinan bersifat tidak
langsung. Adanya investasi pada bidang infrastruktur, baik dari sisi pemerintah
maupun swasta, akan memengaruhi produktivitas dan jumlah angkatan kerja
dalam berbagai sektor. Dengan adanya infrastruktur yang memadai akan
menambah produktivitas suatu sektor sehingga dapat menyerap tenaga kerja,
yang kemudian akan ditindaklanjuti dengan pertumbuhan ekonomi dan
perubahan upah/gaji pada kaum miskin. Kedua hal tersebut memengaruhi
penawaran dan harga dari barang-barang kebutuhan pokok, selanjutnya dengan
perkembangan dari kualitas hidup tersebut maka dapat terciptanya pengurangan
angka kemiskinan. Semakin berkurangnya tingkat kemiskinan, maka akan
memicu terjadinya peningkatan kesejahteraan dari masyarakat, sehingga yang
diharapkan, akan mendorong terjadinya pengurangan dari tingkat ketimpangan
(Raychaudhuri, 2010). Maka dari itu, dengan infrastruktur yang memadai maka
akan memudahkan sekaligus mengundang investor masuk ke suatu daerah
sehingga akan meningkatkan kondisi ekonomi pada daerah tersebut yang
kemudian mengangkat perekonomian suatu daerah dan menjadikan daerah
tersebut setara dengan daerah lainnya. Nangarumba (2015) juga membuktikan
bahwa anggaran pada bidang infrastruktur dapat berkontribusi mengurangi
besaran tingkat ketimpangan pendapatan.

90
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

Semua studi ini menunjukkan bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah


terhadap ketimpangan pendapatan dapat bervariasi antar negara. Pengaruh
pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan pendapatan bisa positif atau
negatif, tergantung jenis pengeluaran pemerintah. Meskipun kesenjangan
antarwilayah hampir tidak mungkin dihilangkan sama sekali, namun upaya untuk
mengurangi tingkat kesenjangan antar wilayah perlu dilakukan. Hal ini untuk
menghindari berbagai dampak negatif yang dapat ditimbulkan akibat tingginya
kesenjangan antar wilayah. Tingginya kesenjangan antarwilayah dapat
mengancam kestabilan kondisi sosial-ekonomi di antaranya potensi munculnya
dampak negatif terutama terhadap kohesi sosial politik (Bappenas, 2018).
Meskipun pertumbuhan ekonomi berlangsung cukup tinggi, namun akan muncul
persepsi publik bahwa kesejahteraan belum dapat dinikmati oleh semua orang,
sehingga keadilan dan pemerataan belum terjadi. Kesenjangan yang meningkat
akan mengurangi pertumbuhan ekonomi melalui beberapa hal, di antaranya:
perubahan pola permintaan, perubahan ukuran pasar domestik, berkurangnya
kegiatan kewirausahaan, keterkaitan ekonomi politik dan instabilitas bagi
perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan lain sebagainya; serta ketidakmampuan
kelompok miskin kronis keluar dari kemiskinan akan memperlebar kesenjangan
dan melemahkan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini masih cukup besar
jumlah masyarakat miskin dan rentan yang tidak terlindungi atau tidak
mendapatkan manfaat bantuan dan jaminan sosial.
Oleh karena itu, upaya untuk melakukan percepatan pemerataan
pembangunan, termasuk mengurangi ketimpangan pembangunan dan hasil-hasil
pembangunan antarkelompok sosial-ekonomi dan antar wilayah menjadi salah
satu agenda pembangunan nasional. Hal ini diwujudkan oleh agenda prioritas
(Nawacita) Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
di masa kepemimpinannya periode 2015-2019, khususnya dalam membangun
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah–daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan. Komitmen nasional ini selanjutnya tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019
dalam dimensi pembangunan “Pemerataan dan Kewilayahan”. Upaya ini pun
dilanjutkan di masa kepemimpinan Presiden Jokowi di 2020-2024. Komitmen
nasional tersebut kemudian diterjemahkan dalam rencana kerja pemerintah
tahunan, dialokasikan anggarannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). APBN merupakan instrumen kebijakan fiskal pemerintah yang
bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui tiga fungsi
utamanya, yaitu: alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Selain itu, APBN berperan
strategis dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, menstimulasi
investasi, dan memastikan pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia
didistribusikan merata dan berkeadilan. Dalam rangka mendukung pembangunan
kewilayahan sebagaimana dirumuskan pada RPJMN Tahun 2020-2024,
pemerintah mengalokasikan APBN ke wilayah melalui belanja Kementerian
Negara/Lembaga (K/L) dan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa
(TKDD) yang meningkat sejak implementasi otonomi daerah. Belanja K/L
dikelompokkan menurut jenis pengeluaran di antaranya melalui: a) belanja

91
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

pegawai, b) belanja barang, c) belanja modal, d) belanja subsidi, e) belanja


hibah, f) belanja bantuan sosial, dan g) belanja lain-lain.
Kebijakan alokasi anggaran melalui belanja K/L dan TKDD tersebut
secara langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat melalui program-
program prioritas pemerintah seperti pembangunan infrastruktur, program di
bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan pertahanan keamanan.
Selanjutnya penyaluran TKDD juga terus diarahkan menjadi berbasis kinerja
seperti DAK Fisik dan Dana Desa yang bersifat investasi dan berkontribusi
secara langsung bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat sampai dengan
level paling rendah yakni desa, sehingga hal tersebut diharapkan mampu
menstimulasi peningkatan kemandirian fiskal daerah, pertumbuhan ekonomi, dan
pendapatan per kapita masyarakat. TKDD merupakan bagian belanja negara
yang dialokasikan dalam APBN kepada daerah dan desa dalam rangka
mendanai pelaksanaan urusan yang telah diserahkan kepada daerah dan desa.
Sementara itu, meskipun belanja K/L masuk sebagai kategori Belanja
Pemerintah Pusat, namun pelaksanaan dan manfaatnya dirasakan sampai ke
daerah, baik yang dilaksanakan satker pusat maupun satker daerah. Alokasi
belanja K/L terkait hal tersebut dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama,
pelaksanaan kegiatannya dilakukan di daerah dalam rangka mendanai program-
program pemerintah di daerah, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan
(Kartu Indonesia Pintar dan Bidikmisi), kesehatan (bantuan untuk iuran dalam
rangka jaminan kesehatan nasional), serta program perlindungan sosial (PKH
dan bantuan pangan). Kedua, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang
merupakan pelimpahan wewenang atau penugasan dari pemerintah kepada
gubernur/daerah yang berasal dari APBN dan dilaksanakan oleh
gubernur/daerah. Beberapa kegiatan yang termasuk dalam kategori ini antara
lain adalah bantuan benih, alat pertanian, dan kegiatan penyuluhan oleh
Kementan; bantuan makanan tambahan dan penyuluhan kesehatan oleh
Kemenkes; kegiatan restorasi gambut oleh Kemen LHK; pemeliharaan
jalan/jembatan/jaringan irigasi oleh Kemen PUPR; pendamping dana desa pada
Kemendes dan PDTT; dan pembangunan pasar rakyat oleh Kemendag. Ketiga,
belanja K/L yang alokasi anggarannya tercatat di pusat namun kegiatannya ada
di daerah, antara lain: kegiatan pelatihan/ sosialisasi, serta kegiatan pengadaan
dan pemeliharaan/perawatan alutsista.

3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini mengetahui ketimpangan antar wilayah di Indonesia dengan
menggunakan tipologi Klassen dan indeks Williamson. Sebelumnya telah
dijelaskan bahwa komponen penghitungan pengujian ketimpangan antar wilayah
dengan menggunakan tipologi Klassen dan indeks Wiliamson menggunakan
variabel di antaranya: PDRB per kapita, pertumbuhan PDRB provinsi dan jumlah
penduduk tiap provinsi. Data dari variabel tersebut diperoleh dari data dan
publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 hingga 2019. Penggunaan
kedua analisis ketimpangan tersebut untuk memberikan gambaran komprehensif

92
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

ketimpangan wilayah di Indonesia. Analisis tipologi Klassen digunakan untuk


mengetahui gambaran pola dan struktur pertumbuhan ekonomi di setiap daerah.
Mengingat Indeks Williamson bersifat sensitif terhadap daerah yang diikutkan
dalam pengujian maka perlu dilakukan pengujian yang mengeluarkan sampel
outlier, dalam hal ini Provinsi DKI Jakarta. Untuk mengukur pemerataan
pembangunan secara riil. Penghitungan indeks Williamson dilakukan secara
nasional dan per provinsi untuk melihat ketimpangan di dalam wilayah Indonesia
dan ketimpangan dalam provinsi.
Dalam menguji hubungan antara ketimpangan antar wilayah secara
nasional dengan belanja pemerintah digunakan data belanja pemerintah
berdasarkan jenisnya yaitu belanja pegawai, belanja modal, belanja barang,
belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja transfer ke
daerah dan belanja pemerintah pusat secara total. Selain itu, data belanja
pemerintah diperoleh dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun
2010 hingga 2019. Sementara itu, data PDB diperoleh dari BPS.
Mengingat jumlah sampel yang digunakan untuk menguji hubungan
berjumlah kurang dari 30 data (periode 2010-2019) maka pengujian hubungan
menggunakan uji korelasi Rank Spearman yang merupakan uji korelasi
nonparametrik. Korelasi Rank Spearman dipergunakan untuk mencari hubungan
atau untuk menguji signifikansi hipotesis asosiatif bila masing-masing variabel
yang dihubungkan berbentuk ordinal dan sampelnya kecil (<30).

4. Hasil dan Pembahasan


4.1. Deskriptif Statistik
Dari pengumpulan data diperoleh 542 pemerintah daerah yang memiliki data
lengkap yang diperoleh dari NPD. Data tersebut merupakan jumlah seluruh
pemerintah daerah di Indonesia. Dari hasil pengolahan data PDRB provinsi di
Indonesia diperoleh indeks Williamson diketahui bahwa nilai indeks Williamson
selama 2010-2019 berada di kisaran 0,70-0,76 yang artinya ketimpangan
wilayah di Indonesia masih cukup tinggi mendekati angka 1 dan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Rata-rata indeks Williamson pada periode
tersebut adalah 0,738. Meskipun demikian, data BPS menunjukkan bahwa
rasio gini Indonesia yang menunjukkan ketimpangan pendapatan Indonesia
berada di angka rata-rata 0,395 dan makin menurun dari tahun ke tahun.
Sehingga meskipun pendapatan makin tersebar merata namun ketimpangan
pembangunan wilayah masih belum menunjukkan hasil yang sama.
Sementara itu, data belanja pemerintah dapat dilihat sebarannya pada Tabel 1.
Belanja pemerintah di tiap jenisnya meningkat tiap tahunnya. Selama periode
10 tahun ini masing-masing belanja pemerintah di kementerian/lembaga
memiliki nilai rata-rata Rp237,46, Rp172,31 triliun, Rp135,35 triliun untuk
belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal secara berurutan.
Sementara itu, untuk belanja pemerintah lainnya berupa belanja subsidi,
belanja hibah, belanja bantuan sosial dan belanja lain-lain memiliki rata-rata

93
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

Rp245,01 triliun, Rp2,29 triliun, Rp77,98 triliun dan Rp14,02 triliun secara
berurutan. Untuk belanja transfer ke daerah sebagai wujud desentralisasi rata-
rata realisasi alokasi belanjanya adalah Rp547,57 triliun.
Tabel 1. Statistik Deskriptif

Sumber: Hasil olah data

4.2. Hasil Pengujian Empiris


Hasil analisis pengelompokan provinsi menggunakan tipologi Klassen membagi
34 provinsi di Indonesia ke dalam 4 kuadran berdasarkan data PDRB per
kapita dan pertumbuhan ekonomi provinsi rata-rata selama 2010-2019 tampak
di Gambar 4 di bawah ini. Dapat diketahui bahwa provinsi yang berada dalam
kelompok provinsi yang maju dan berkembang pesat berada di kuadran 1
hanyalah DKI Jakarta dan Kepulauan Riau. Sementara itu, kelompok provinsi
yang masuk dalam kategori tertinggal (kuadran 3) di antaranya Aceh,
Lampung, Kep. Bangka Belitung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara
Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Untuk kelompok provinsi
yang tergolong berkembang dengan pendapatan per kapita melebihi rata-rata
namun pertumbuhannya rendah dan berada di kuadran 4 di antaranya Provinsi
Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, Papua Barat, dan Papua.
Provinsi lainnya (19 provinsi) masuk ke dalam kuadran 2 dimana
pertumbuhannya tinggi namun PDRB per kapitanya di bawah rata-rata.
Gambar 4. Tipologi Klassen Provinsi se-Indonesia

Sumber: Hasil olah data

94
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

Hasil tipologi Klassen provinsi di atas berhubungan positif dengan ketersediaan


infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia di wilayah tertentu, sehingga
semakin tinggi nilai dari faktor tersebut maka makin tinggi pula
kesenjangannya. Sementara itu, faktor sumber daya alam dan alokasi belanja
pembangunan pemerintah juga memberi andil bagi kesenjangan tersebut.
Makin tinggi nilai sumber daya alam dan alokasi belanja pemerintah di suatu
wilayah maka kesenjangan pembangunan justru makin berkurang. Alokasi
belanja pemerintah dapat dilihat dari program pemerintah yang merupakan
interpretasi arah kebijakan umum pembangunan nasional dari pemerintah.
Gambar 5. Indeks Williamson dan Rasio Gini Indonesia, 2010-2019

Sumber: Hasil olah data


Seperti disampaikan sebelumnya bahwa nilai ketimpangan yang diukur dengan
indeks Williamson berada di kisaran 0,70-0,76 yang mendekati angka 1, artinya
Indonesia mengalami ketimpangan wilayah yang tinggi. Namun jika wilayah
yang merupakan outlier, atau dalam hal ini DKI Jakarta yang memiliki
perkembangan jauh di atas wilayah yang lain dikeluarkan dari penghitungan
maka nilai indeks Williamson akan menunjukkan hasil yang lebih rendah
(Gambar 5). Hasil ini menunjukkan bahwa tanpa DKI Jakarta, pembangunan
wilayah Indonesia relatif lebih merata dengan angka indeks Williamson 0,395 di
tahun 2019 turun dari 0,519 di tahun 2010. Penurunan ini merupakan prestasi
bagi pemerintahan periode 2010-2019, mengingat sejak 2010 pembangunan
kewilayahan menjadi agenda bagi pemerintahan kala itu. Pada awal periode
pemerintahan Jokowi di 2009 lalu, pembangunan infrastruktur dan
pembangunan dari pinggiran menjadi prioritasnya.

95
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

Tabel 2. Indeks Williamson Indonesia Menurut Provinsi, 2010 dan 2018

Sumber: Hasil olah data

Sementara itu, penghitungan indeks Williamson tiap provinsi untuk mengukur


ketimpangan wilayah dalam provinsi di tahun 2010 dan 2018 menunjukkan
bahwa masih banyak provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan tinggi (indeks
Williamson di atas 0,5, Tabel 2). Dari hasil perhitungan juga menunjukkan
bahwa indeks tersebut mengalami penurunan di 18 provinsi, sedangkan 15
provinsi lainnya mengalami peningkatan indeks Williamson (Tabel 2). Hal ini
menunjukkan bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun
pemerintah daerah telah membuahkan hasil, namun belum merata karena
masih ada provinsi yang memiliki indeks Williamson di atas 1 karena struktur
ekonomi daerahnya memang menyebabkan ketimpangan. Provinsi tersebut di
antaranya Papua dan Papua Barat. Kedua provinsi tersebut memiliki

96
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

kabupaten yang memiliki PDRB sangat tinggi dibandingkan PDRB wilayah


kabupaten lainnya dalam provinsi tersebut. Hal tersebut menunjukkan struktur
ekonomi yang jauh berbeda antar kabupaten/kota dan hadirnya sumber daya
alam yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber PDRB. Untuk kasus Provinsi
Papua dan Papua Barat, keduanya memiliki kabupaten yang memiliki PDRB
tinggi dari lapangan usaha pertambangan dan penggalian. Sesuai dengan
rumus penghitungan indeks Williamson yang menggunakan PDRB per kapita
maka dengan kondisi jumlah penduduk kabupaten di kedua provinsi tersebut
yang relatif sedikit menyebabkan kabupaten dengan PDRB dari pertambangan
dan penggalian yang nilainya tinggi memiliki PDRB per kapita yang jauh lebih
besar dari kabupaten lainnya dalam provinsi tersebut. Kabupaten tersebut di
antaranya Kabupaten Mimika di Provinsi Papua dan Kabupaten Teluk Bintuni di
Provinsi Papua Barat.
Hasil pengujian korelasi belanja pemerintah dengan indeks Williamson yang
mengukur ketimpangan antar wilayah menggunakan analisis korelasi
Spearman Rank menunjukkan bahwa belanja pemerintah selama 2010-2019
berupa belanja pegawai, belanja barang, belanja modal serta transfer ke
daerah berhubungan positif dan signifikan terhadap indeks Williamson. Selain
itu, secara total jumlah belanja pemerintah pusat memiliki korelasi positif dan
signifikan terhadap indeks Williamson yang dihitung dengan memasukkan DKI
Jakarta dalam perhitungan indeks. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi
(sig./p value) yang kurang dari 0,05 (Tabel 3, sisi kanan).
Tabel 3. Hasil Korelasi Indeks Williamson dengan Belanja Pemerintah

Korelasi dengan Indeks Korelasi dengan Indeks


Williamson tanpa DKI Variabel Williamson
Jakarta sebagai outlier

Nilai Sig. Nilai Sig.


Korelasi (p value) Korelasi (p value)
Spearman Spearman
Rank Rank

-0,915**) 0,000 Belanja pegawai 0,878**) 0,001

-0,903**) 0,000 Belanja barang 0,866**) 0,001

-0,552 0,098 Belanja modal 0,671**) 0,034

0,503 0,138 Belanja subsidi 0,000 1

-0,794 0,006 Belanja hibah 0,579 0,079

-0,164 0,651 Belanja bantuan sosial 0,598*) 0,068

-0,564 0,090 Belanja lain-lain 0,323 0,362

-0,915**) 0,000 Transfer ke daerah 0,878**) 0,001

-0,842**) 0,002 Total belanja pemerintah pusat 0,976**) 0,000


Sumber: Hasil olah data

97
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

Dari hasil pengujian koefisien Spearman Rank di atas dapat dilihat bahwa
belanja pemerintah berhubungan positif dengan ketimpangan yang dihitung
dengan Indeks Williamson yang menyertakan DKI Jakarta dalam
penghitungan. Hubungan yang signifikan terjadi pada belanja pegawai, belanja
barang, belanja modal, belanja bantuan sosial, transfer ke daerah dan nilai total
belanja pemerintah pusat. Makin bertambah belanja pemerintah tersebut makin
meningkat pula ketimpangan/indeks Williamson. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Song (2013) yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah
berkontribusi terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan daerah di China
pada tahun 1978-2007. Ketimpangan pendapatan antar provinsi di China
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang bias pada suatu wilayah. Hal ini
menyebabkan distribusi belanja pemerintah yang tidak merata antar provinsi
sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan antar provinsi di China
(Zhang dan Zou, 2012). Samanta dan Cerf (2009) juga menyatakan bahwa
pengeluaran pemerintah yang didistribusikan dengan baik dapat mengurangi
ketimpangan pendapatan. Dalam hal Indonesia, pengeluaran pemerintah
masih berpusat di wilayah Jawa seperti tercantum dalam Nota Keuangan
APBN 2019 bahwa belanja negara yang dilaksanakan melalui belanja K/L dan
TKDD berdasarkan kewilayahan, proporsinya secara spasial yang paling besar
berada pada wilayah Jawa, diikuti wilayah Sumatera, wilayah Sulawesi, wilayah
Maluku dan Papua, wilayah Kalimantan, dan wilayah Bali-Nusa Tenggara.
Porsi belanja negara tersebut sebagian besar berada di wilayah Jawa dan
Sumatera, dimana kedua wilayah tersebut memang memiliki jumlah penduduk
besar dan menjadi pusat kegiatan industri, perdagangan, dan pariwisata.
Gambar 6. Belanja Negara Menurut Wilayah, 2019

Sumber: Kementerian Keuangan, 2020

Sementara itu, jika indeks Williamson dihitung tanpa DKI Jakarta, maka
hubungan belanja negara dengan ketimpangan justru negatif, artinya makin
tinggi jumlah belanja negara maka ketimpangan antar wilayah menurun.
Belanja pemerintah yang berkorelasi signifikan dengan indeks Williamson yang
dihitung tanpa outlier, DKI Jakarta, di antaranya belanja pegawai, belanja
barang, transfer ke daerah, dan total belanja pemerintah pusat. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai signifikansi (p value) di atas 0,05 seperti yang tampak

98
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

di Tabel 5, sisi kiri. Hasil ini konsisten dengan Ostergaard (2013) yang
menemukan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh terhadap penurunan
ketimpangan pendapatan di negara-negara Sub Sahara. Menurut Claus, dkk.
(2014), jika belanja pemerintah dilihat per sektor, maka belanja publik di bidang
kesehatan dan pendidikan dapat menurunkan ketimpangan pendapatan di
negara-negara Asia. Lebih lanjut Park dan Shin (2015) menyatakan bahwa
pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dapat membantu mengurangi
ketimpangan pendapatan. Ospina (2010) menunjukkan bahwa belanja publik di
bidang pendidikan dan kesehatan berpengaruh terhadap penurunan
ketimpangan pendapatan. Doerrenberg dan Peichl (2014) menunjukkan bahwa
pengeluaran pemerintah dapat mengurangi ketimpangan pendapatan.

5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Dari hasil pengelompokan menggunakan tipologi Klassen diketahui bahwa
masih banyak provinsi yang masuk ke dalam kuadran 2 dimana
pertumbuhannya tinggi namun PDRB per kapitanya di bawah rata-rata (19
provinsi). Hal ini pun didukung dengan penghitungan indeks Williamson antar
provinsi dimana penghitungan indeks Williamson tiap provinsi untuk mengukur
ketimpangan wilayah dalam provinsi di tahun 2010 dan 2018 menunjukkan
bahwa masih banyak provinsi yang memiliki tingkat ketimpangan tinggi (indeks
Williamson di atas 0,5). Dari hasil perhitungan juga menunjukkan bahwa indeks
tersebut mengalami penurunan di 18 provinsi, sedangkan 15 provinsi lainnya
mengalami peningkatan indeks Williamson (Tabel 3). Hal ini menunjukkan
bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintah maupun pemerintah daerah
telah membuahkan hasil meskipun masih perlu upaya pemerataan lagi agar
nilai indeks Williamson turun secara signifikan. Hal ini dikarenakan secara
nasional, indeks Williamson berada di kisaran 0,70-0,76 yang mendekati angka
1, artinya Indonesia mengalami ketimpangan wilayah yang tinggi.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan pemerataan dilakukan dengan
pengalokasian pengeluaran pemerintah hingga ke level desa di seluruh wilayah
Indonesia. Hasil pengujian korelasi antara indeks Williamson dan belanja
pemerintah menunjukkan bahwa belanja pemerintah berhubungan positif
dengan ketimpangan. Hubungan yang signifikan terjadi pada belanja pegawai,
belanja barang, belanja modal, belanja bantuan sosial, transfer ke daerah dan
nilai total belanja pemerintah pusat. Makin bertambah belanja pemerintah
tersebut makin meningkat pula ketimpangan/indeks Williamson. Hal ini
mengingat belanja negara masih terpusat di wilayah Jawa sehubungan dengan
banyaknya jumlah penduduk di pulau ini dan banyaknya pusat kegiatan usaha
di dalamnya.
5.2. Saran
Melihat masih adanya ketimpangan di wilayah Indonesia, maka perlu
diupayakan agar pembangunan lebih merata yang menjangkau seluruh wilayah

99
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

Indonesia terutama secara kualitatif sesuai kebutuhan masing-masing daerah.


Langkah pemerintah untuk melakukan pembangunan infrastruktur hingga ke
wilayah desa serta dialokasikannya Dana Desa sejak 2015 merupakan langkah
yang bagus namun masih diperlukan pengawasan agar infrastruktur yang
dibangun dan penggunaan alokasi anggaran memberikan pembangunan yang
memiliki multiplier effect tinggi dan inklusif ke semua lapisan masyarakat.
Untuk kedepannya, penelitian ini perlu dilakukan lagi dengan menguji pengaruh
belanja pemerintah baik menurut fungsi maupun jenisnya. Selain itu, perlu
dilakukan pengujian dengan periode uji yang lebih panjang agar dampak
belanja pemerintah dapat lebih terlihat. Pengambilan sampel menurut daerah
atau wilayah baik itu menurut pulau, provinsi, ataupun kabupaten/kota juga
diperlukan untuk menguji lebih dalam dampak belanja pemerintah terhadap
ketimpangan.

Daftar Pustaka
Acconcia, A., and Del Monte, A. 1999. Regional Development and Public
Spending: The Case of Italy. June 1999. Working paper
Bappenas, 2012. Analisis Kesenjangan Antar Wilayah 2012.
Bappenas. 2017. Prakarsa Pemerintah Daerah Dalam Upaya Pengurangan
Kesenjangan Wilayah Dan Pembangunan Daerah. ISBN: 978-602-61004-
1-2
BPS. 2020. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan IV-2019. Berita Resmi
Statistik No. 17/02/Th. XXIV, 5 Februari 2020, Jakarta
Calderon, Cesar and Serven, Luis. 2004, The Effect of Infrastructure
Development on Growth and Income Distribution, Central Bank of Chile,
Working paper No.270, September 2004. pp. 1 – 47.
Claus, I., Martinez-Vazquez, J., and Vulovic, V. 2014, Inequality in Asia and The
Pacific: Trend, Driver and Policy Implication, New York, Edited by Ravi
Kanbur, Chang Young Rhee and Juzhong Zuang, Routledge and Asian
Development Bank.
Doerrenberg, Philipp and Peich, Andreas. 2014, The Impact of Redistributive
Policies on Inequality in OECD Countries, Center for European Economic
Research, Discussion Paper, No. 14-012.
Kementerian Keuangan. 2020. Nota Keuangan dan APBN Tahun Anggaran
2020.
Kutscherauer, Alois, et al. 2010. Regional Disparities: Disparities in country
regional development - concept, theory, identification and assessment.
Technical University of Ostrava. Working paper
Martines-Vazquez, Jorge., Moreno-Dodson, Blanca and Vulovic, V. 2012, The
Impact of Tax and Expenditure Policies on Income Distribution: Evidence

100
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

from a Large Panel of Countries, International Center for Public Policy,


Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University,
Working Paper 12-25, April 2012, pp. 1-45.
Mukaramah H., Jalil, Ahmad Z. A., and Bakar, Nor’Aznin A. 2011, Household
Income Distribution Impact of Public Expenditure by Component in
Malaysia, International Review of Business Research Paper, Vol. 7, No.
4, pp. 140-165.
Nangarumba, Muara. 2015. Analisis Pengaruh Struktur Ekonomi, Upah Minimum
Provinsi, Belanja Modal, dan Investasi Terhadap Ketimpangan
Pendapatan di Seluruh Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2014. JESP-
Vol. 7, No. 2 November 2015. ISSN 2086-1575
OECD. 2002. Geographic Concentration and Territorial Disparity in OECD
Countries. Paris: OECD Publications Service.
OECD. 2003. Geographic Concentration and Territorial Disparity in OECD
Countries. Paris: OECD Publications Service.
Ospina, Monica. 2010, The Effect of Social Spending on Income Inequality: An
Analysis of Latin American Countries, Economia y Finanzas, Universidad,
EAFIT, No. 10-03.
Ostergaard, S. F. 2013, Determinant of Income Inequality: A Sub-Saharan
Perspective, Thesis, School of Business and Social Sciences, Aarhus
University.
Park, Donghyun and Shin, Kwanho. 2015, Economic Growth, Financial
Development and Income Inequality, ADB. Economic Working Paper
Series, No. 441.
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan
Daerah Tertinggal
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 Tahun 2020 tentang Penetapan Daerah
Tertinggal Tahun 2020-2024
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.02/2011 Tentang Klasifikasi
Anggaran, Lampiran III
Rayhchaudhuri, Ajitava. 2010. Trade, Infrastructure and Income Inequality in
Selected Asian Countries: An Empirical Analysis. Asia-Pacific Research
and Training Network on Trade Working Paper Series, No. 82.
Republika. 2019. Belanja Pemerintah Belum Optimal Dorong Pertumbuhan
Ekonomi, artikel tayang 12 Agustus 2019. Diakses dari republika.co.id
Samanta, S. K. and Cerf, J. G. 2009, Income Distribution and Effectiveness of
Fiscal Policy: Evidence from Transitional Economics, Journal of
Economics and Business, Vol. XII, No. I, pp. 29-45.
Sjafrizal. 2008, Teori Ekonomi Regional dan Aplikasi, Padang, Sumatera Barat:
Baduose Media, pp 104 -111.

101
JURNAL BUDGET VOL. 5, NO. 2, 2020

Sjafrizal. 2014. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: PT. Rajagrafindo


Persada
Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah
Indonesia Bagian Barat. Prisma, Tahun XXVI, No. 34, LP3ES.
Song, Yang. 2013, Rising Chinese Regional Income Inequality: The Role of
Fiscal Decentralization, China Economic Review, pp. 1-16.
WEF. 2018. The Inclusive Development Index 2018 Summary and Data
Highlights.
http://www3.weforum.org/docs/WEF_Forum_IncGrwth_2018.pdf
Zang, Qinghua and Zou, Heng-fu. 2012, Regional Inequality in Contemporary
China, Annual of Economics and Finance, Vol. 13, No. 1, pp. 113-137.

102

You might also like