Article 213

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 40

481

PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS


DALAM NASKAH KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA

BUGINESE SCIENCE-SUFISM IN THE KUTIKA UGI


'SAKKE RUPA
Rahmatia1 dan Abdullah Maulani2
1
Universitas Indonesia, Indonesia
2
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia
rahmalogi@gmail.com

DOI: 10.31291/jlka.v19.i2.935
Diterima: 15 September 2021; Direvisi: 15 Desember 2021;
Diterbitkan: 31 Desember 2021

ABSTRACT
This article discusses the contents of the manuscript entitled Kutika Ugi'
Sakke Rupa (KUSR) or Bunga Rampai Kutika Bugis. KUSR explains the
method of calculating the good and bad times of the Bugis people. KUSR
has a superior value to similar kutika scripts that only contain one or two
methods. KUSR collects several methods of calculating time which mostly
accepts literature from the Islamic world in the Middle East and North
Africa, such as the works of Sheikh Aḥmad bin Muḥammad Ramaḍān al-
Makki and Abu al-'Abbās Aḥmad bin ‘Alī al-Būnī. In addition, Ibn 'Arabī
thought also played an important role in the construction of the KUSR text
through the explanation of wahdāt al-wujūd understanding and remem-
brance related to the elements of Islamic Sufism. In this regard, this article
analyzes the relationship between the influence of Islamic Sufism and the
Kutika method of calculation, especially in the 19th century. Therefore, a
philological approach related to the study of texts and the history of
manuscripts to understand the background of Islamic influence is an
important thing to do in this study. This aims to reveal the form of Islamic
influence contained in the KUSR text and its relation to the development of
Islam in South Sulawesi. Thus, Islamic discourses, especially Sufism, can
be seen as an influential factor in the transmission of science and astro-
nomy in the 19th century Bugis society.

Jurnal Lektur Keagamaan | p-ISSN: 2620-522X, e-ISSN: 1693-7139


This is an open access article under CC-BY-NC-SA license
(http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0/)
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Keywords: Kutika, Bugis, Natural Science, Sufism.

ABSTRAK
Artikel ini mendiskusikan isi naskah yang berjudul Kutika Ugi’ Sakke
Rupa (KUSR) atau Bunga Rampai Kutika Bugis. KUSR menjelaskan
metode perhitungan waktu baik dan buruk masyarakat Bugis. KUSR
memiliki nilai ungul daripada naskah kutika serupa yang hanya memuat
satu atau dua metode. KUSR menghimpun beberapa metode hitungan
waktu yang banyak meresepsi literatur-literatur yang berasal dari dunia
Islam di Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti karya-karya Syekh
Ahmad bin Muhammad Ramadhân al-Makki dan Abu al-‘Abbas Ahmad
bin Ali al-Būnī. Selain itu, Ibnu ‘Arabī juga memegang peranan penting
dalam konstruksi teks KUSR melalui penjelasan paham wahdāt al-wujūd
dan zikir-zikir yang berkaitan dengan unsur-unsur sufisme Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, artikel ini menganalisis kaitan antara
pengaruh sufisme Islam dan metode hitungan Kutika, khususnya pada abad
ke-19. Oleh sebab itu, pendekatan Filologi terkait kajian teks dan sejarah
naskah untuk memahami latar belakang pengaruh Islam menjadi hal yang
penting dilakukan dalam studi ini. Hal ini bertujuan untuk mengungkap
bentuk pengaruh Islam yang terdapat dalam naskah KUSR dan kaitannya
dengan perkembangan Islam di Sulawesi Selatan. Dengan demikian,
wacana-wacana keislaman terutama tasawuf dapat dilihat sebagai faktor
yang berpengaruh terhadap transmisi ilmu sains dan falak masyarakat
Bugis abad ke-19.
Kata kunci: Kutika, Bugis, Sains, Sufisme.

PENDAHULUAN
Islam sudah masuk ke tanah Sulawesi sejak era Raja Gowa
X (1546—1565) dengan memberi izin kepada pedagang-peda-
gang Melayu untuk menetap di Mangalekana (Somba Opu)
melalui suratnya kepada Nakhoda Bonang. 1 Namun, menurut
keterangan Noorduyn2, belum ada orang Bugis-Makassar yang
masuk Islam pada saat itu. Islam resmi menjadi agama kerajaan
dan dianut oleh seluruh rakyat Gowa pada 9 November 1607

1
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah
(Yogyakarta: Ombak, 2011), 44.
2
J Noorduyn, Een Boeginees Geschriftje over Arung Singkang” Dalam
Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde (Leiden: KITLV & Royal
Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 1953), 88.

482 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

melalui acara salat Jumat pertama di Masjid Tallo.3 Setelah itu,


perlahan-lahan Islam menyebar di seluruh penjuru Sulawesi
Selatan dan menjadi agama mayoritas yang dianut oleh orang
Bugis dan Makassar.
Pesatnya perkembangan Islam sejak resmi menjadi agama
yang dianut oleh Kerajaan Gowa-Tallo’pada awal abad ke-17
tidak hanya membawa dampak politik pada kerajaan di sekitar-
nya, tetapi juga membawa dampak sosial dan budaya pada kawa-
san Sulawesi Selatan secara luas. Islam dalam ranah sosial dan
budaya tampak pada sistem penulisan aksara. Pada masa ini,
tradisi tulis orang Bugis yang sudah memiliki aksara lokal, yakni
aksara Lontara’4, banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Arab
dan Melayu sehingga tercipta aksara Sérang yang memiliki
kemiripan grafem dengan aksara Jawi (Cho Tae Young, 2012:
111). Roger Tol 5 mengungkapkan bahwa dalam naskah-naskah
Bugis aksara Lontara seringkali ditulis berdampingan dengan
aksara Arab atau Latin. Meskipun pengaruh Islam amat kuat
sejak abad ke-17, tidak menjadikan aksara Arab mendominasi
tradisi tulis di Sulawesi Selatan. Mayoritas orang Bugis memper-
tahankan aksara Lontara sebagai identitas tradisi tulis mereka
meskipun dalam teks-teks Islam.
Dalam perkembangannya, tradisi tulis naskah-naskah
Bugis tetap hidup sampai akhir abad ke-19 meskipun teknologi
percetakan sudah menyebar luas di penjuru Nusantara. Namun,
setelah abad ke-19, tren percetakan ini secara tidak langsung
turut andil menggerus tradisi penulisan naskah-naskah Bugis 6 .
Meskipun demikian, kuatnya budaya mencatat yang diwarisi

3
Mattulada, Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah, 46.
4
Kata ‘lontara’’ merupakan turunan dari kata ‘lontar’ yang berasal
dari Jawa. Lontara’ merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
transmisi ilmu pengetahuan masyarakat Bugis. Lihat Koolhof “The ‘La
Galigo’; A Bugis Encyclopedia and Its Growth,” Bijdragen Tot de Taal-,
Land- En Volkenkunde 155, no. 3 (1999): 362.
5
Roger Tol, “Bugis Kitab Literature. the Phase-out of a Manuscript
Tradition,” Journal of Islamic Manuscripts 6, no. 1 (January 1, 2015): 362,
https://doi.org/10.1163/1878464X-00601005.
6
Tol, 70.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 483
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

masyarakat Bugis, memberikan dampak positif selama berabad-


abad dengan melimpahnya tinggalan catatan-catatan kuno yang
dapat dipelajari hingga hari ini. Salah satunya adalah Lontara’
Kutika yang merekam jejak peradaban ilmiah manusia Bugis.
Lontara’ Kutika dimaknai secara umum sebagai kumpulan
catatan waktu baik dan buruk untuk melakukan suatu kegiatan.
Namun, Lontara’ Kutika tidak hanya memuat berbagai hitungan
hari baik dan buruk atau ramalan nasib, tetapi juga prakiraan
cuaca dalam bidang pertanian maupun pelayaran (PaEni, 2003:
viii). Mattulada7 menambahkan kegunaan pau kotika mencakup
aspek perhitungan waktu yang luas, yakni meliputi petunjuk
waktu untuk memulai pekerjaan di sawah, mendirikan rumah,
memasuki rumah baru, dan juga pedoman untuk mengetahui
makna mimpi.
Apabila merujuk pada periode awal penelitian mengenai
kutika, B.F. Matthes (1868) telah melakukan penelusuran terha-
dap Lontara’ Kutika 8 dan mendeskripsikan tabel-tabel yang
menjelaskan petunjuk hari yang disebutnya kutika lima milik
seorang imam bernama Abd’ al-Wahhab. Laporan penelitiannya
tergolong singkat, yakni berjumlah 38 halaman. Namun, hasil
penelitiannya sangat berarti dalam kajian mengenai kutika yang
hampir dilupakan oleh para peneliti. Penelitian selanjutnya
terkait kutika dilaksanakan oleh Kathryn Robinson9 pada tahun
1998 dan Roger Tol 10 terhadap naskah kutika yang berbentuk
gulungan rontal menyerupai pita kaset berukuran besar. Pada
periode selanjutnya, penelitian mengenai teks kutika sebagai
metode hitungan lokal Bugis telah dikaji melalui beberapa

7
Mattulada, Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995), 18–19.
Matthes, B.F. 1868. Makassarsche en Boeginesche Kotika’s.
8

Leiden University Libraries: Sutherland


9
Robinson Kathryn and Mukhlis PaEni, “Living Through Histories:
Culture, History and Social Life in South Sulawesi,” Journal of Southest
Asian Studies 32, no. 03 (1998): 469–72.
10
Roger Tol, “Rolled up Bugis Stories: Marriage Advice and The Tale
of The Parakeet,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 43, no. 1
(2009): 189–208.

484 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

pendekatan. Pertama, pendekatan ilmu sain11. Penelitian tersebut


membandingkan metode penghitungan bulan antara pananrang
(kutika) dalam Lontara’ dan kalender Hijriah. Kesimpulan dari
penelitian tersebut adalah perbedaan penentuan awal bulan
disebabkan oleh perbedaan konsep dan kriteria mengenai hilal.
Oleh karena itu, diperlukan kriteria imkân alru`yah sebagai
kriteria hisab-rukyat Indonesia yang disepakati semua pihak.
Penelitian kutika juga pernah dikaji dengan pendekatan
ilmu kultural linguistic. 12 Dengan menggunakan pendekatan
kultural lingustik, penelitian tersebut menjelaskan simbol hari
baik dan buruk dalam Lontara’ Pananrang. Dalam lontara’
tersebut, terdapat pedoman hitungan yang dinamakan kutika atau
daftar hari baik dan buruk. Simbol-simbol baik dan buruk diilus-
trasikan melalui jenis binatang, simbol waktu, simbol matema-
tika, dan constellations symbols. Selanjutnya, penelitian kutika
dengan pendekatan sejarah dan etnografi 13 . Tulisan tersebut
secara komprehensif memberikan penjelasan yang baik menge-
nai sistem perhitungan hari atau kalender Bugis berdasarkan
naskah kutika. Selain itu, dari segi penelitian etnografi, diperoleh
kesimpulan bahwa perhitungan waktu dalam masyarakat Bugis
tidak hanya digunakan untuk menentukan waktu beribadah,
tetapi juga waktu untuk memulai kegiatan pertanian, navigasi
pelayaran, dan prediksi cuaca.
Penelitian dalam tulisan ini menganalisis Lontara’ Kutika
yang ditemukan di Kalimantan Timur, yaitu naskah berjudul
Kutika Ugi’ Sakke Rupa (KUSR) yang berarti Bunga Rampai
Kutika Bugis. Lokasi naskah KUSR yang ditemukan di
11
Syarifuddin Yusmar, “Penanggalan Bugis-Makassar Dalam Penen-
tuan Awal Bulan Kamariah Menurut Syariah Dan Sains,” Jurnal Hunafa 5,
no. 3 (2008): 265–86.
12
Fahmi Gunawan, “Good and Teribble Days Symbols in Pananrang
Manuscript: A Cultural Linguistics Approach,” in Proceedings 2nd Interna-
tional Seminar on Linguistics (ISOL II) (Padang: Universitas Andalas, 2015),
94–101.
13
Hasanah, N. dan Suriamihardja. 2016. “Astronomy in Buginese-
Makassarese Culture Based on Historical and Ethnographical Sources”
dalam International Symposium on Sun, Earth, and Life (ISSEL), Jurnal of
Physics: IOP Publishing.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 485
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Kalimantan Timur dapat mengindikasikan keberadaan jejak


tradisi pengetahuan Bugis di kawasan Melayu. Hal ini berkaitan
dengan perjalanan sejarah para pasompe’ (perantauan) Bugis
yang menyebar di Semenanjung Melayu.
KUSR adalah salah satu naskah koleksi Museum Mulawar-
man yang dialih digital pada tahun 2019. Berdasarkan kolofon-
nya, teks KUSR selesai ditulis pada abad 19, yaitu 1311 H atau
1893 M. Pada eksordium naskah, terdapat sebuah surat yang
ditulis menggunakan huruf Jawi dan Bugis dan menyebutkan dua
tokoh penting pada masa tersebut, yakni Kapitan Abd al-Wahab
atau dikenal dengan nama Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi dan
Ibn Abdul Karim yang dikenal dengan nama Muhammad bin
‘Abd al-Karim al-Sammani (Azra, 2018: 321).
Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi merupakan ulama keturu-
nan Sulawesi Selatan yang menjadi ulama besar di Kalimantan
dan berhubungan erat dengan tarekat Sammaniyah Muhammad
Arsyad al-Banjari di Kalimantan. Dengan demikian, KUSR turut
memperlihatkan jejak peninggalan manusia Bugis di Kalimantan,
khususnya transmisi pengetahuan yang berkaitan erat dengan
jaringan ulama Haramayn, Bugis, dan Kalimantan. Selain itu,
metode hitungan kutika dalam teks KUSR banyak merujuk pada
kitab-kitab ulama Timur Tengah, seperti Ja’far Ṣadiq, Syekh Ali
Mulawi, Saehata I Belawa, Petta Pakie I Sawito, Sayyidī
Muḥyiddīn Ibn al-‘Arabī, Syekh Muhammad Ibn Ali al-Hindi,
dan kitab Syamsul Ma’arif karangan Sayyid Ahmad al-Būnī.
Penjelasan kutika pada naskah KUSR adalah gabungan
antara ilmu sains dan tasawuf yang berkaitan erat dengan
mistiko-filosofis wahdāt al-wujūd Ibn ‘Arabi. Paham wujudiyah
dalam KUSR memberikan gambaran bahwa aliran mistik memi-
liki pengaruh yang kuat dalam periode Islam Melayu-Sulawesi
pada masa ini. Penelitian mengenai sufisme di Sulawesi Selatan
telah dikaji oleh beberapa peneliti, yaitu Rajab14, Ridhwan15, dan

14
Hadarah Rajab, “Implementasi Nilai-Nilai Sufisme Tarekat Naqsa-
bandiyah Di Sulawesi Selatan,” Ulumuna: Jurnal Studi Keislaman XIV
(2010): 341–68.
15
Ridhwan, “Development of Tasawuf in South Sulawesi,” QIJIS
(Qudus International Journal of Islamic Studies) 5 (2017): 29–46.

486 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

Ubaedillah 16 . Ketiga penelitian tersebut secara umum hanya


memaparkan jaringan tarekat tertentu pada beberapa daerah di
Sulawesi Selatan.
Ketiga penelitian tersebut secara umum hanya memapar-
kan jaringan tarekat tertentu pada beberapa daerah di Sulawesi
Selatan berdasarkan berdasarkan data sosio historis. Di sisi lain,
Kajian mengenai kutika, seperti pada penelitian Yusmar,
Gunawan, dan Hasanah menitikberatkan penelitian mereka pada
konvensi hitungan hari dan tanggal di dalam naskah kutika. Hal
ini berbeda dengan penelitian yang mengacu pada kajian teks
naskah KUSR ini. Oleh sebab itu, penelitian ini mempertanyakan
kembali mengenai kaitan antara metode sains, yaitu hitungan
hari berdasarkan peredaran bulan, dan ajaran sufisme yang
terdapat di dalam teks KUSR.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji lebih dalam penga-
ruh tarekat secara spesifik pada naskah. Hal tersebut dapat me-
ngurai kedua aspek ini, sains dan sufistik, dapat terkoneksi satu
sama lain. Dalam konteks ini, sains dimaknai sebagai penge-
tahuan yang sistematis berdasarkan observasi mengenai fenome-
na yang diamati secara berulang. Relevansi dari ilmu sains
tersebut adalah metode hitungan waktu (kutika) yang dimiliki
orang Bugis. Dalam naskah KUSR, metode hitungan waktu
dapat dikaitkan dengan mistiko-filosofis wahdah al-wujud Ibn
Arabi17 dan ilmu tamsil (tanda) yang dijelaskan oleh ahli hikmah
abad ke-13, yaitu Sayyid Ahmad al-Būnī (w. 622 H/1224 M).
Penelusuran pemikiran sains-sufisme di dalam penelitian
ini karena sumber yang menjadi data penelitian adalah manus-
krip berbahasa Bugis yang berjudul Kutika Ugi’ Sakke Rupa
(KUSR). Oleh sebab itu, diperlukan langkah kerja filologis untuk
menganalisis isi teks. Filologi adalah bidang ilmu yang menja-
dikan naskah dan teks sebagai objek kajiannya dan memiliki
tujuan untuk menemukan bentuk teks asli yang dikenal dengan

16
Achmad Ubaedillah, “The Rise of The Khalwatiyah Samman Sufi
Order in South Sulawesi: Encountering The Local, Escaping The Global,”
Studia Islamika 24 (2017): 213–43.
17
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII Dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, 208.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 487
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

kritik teks (Achadiati, 2019: 43). Sehubungan dengan hal


tersebut, filologi dipandang sebagai metode untuk menghasilkan
sebuah edisi teks yang sesuai dengan prosedur kajian naskah
Nusantara (Achadiati, 2019: 53). Edisi teks yang dipilih untuk
menyunting naskah KUSR adalah edisi kritis. Tujuan penyun-
tingan untuk membuka akses pada naskah dan memudahkan teks
agar mudah dibaca. Penyusunan edisi dengan melakukan proses
alih aksara dari aksara Lontara ke aksara Latin, lalu dilanjutkan
ke proses alih bahasa dari bahasa Bugis ke bahasa Indonesia.
Dalam tahap analisis, akan dilakukan penguraian terhadap
struktur dan karakteristik sistem perhitungan tradisional di dalam
KUSR. Artikel ini juga mengurai sejarah perkembangan Kutika
saat Islam masuk di Sulawesi Selatan melalui studi pustaka. Hal
ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pengaruh-pengaruh
tarekat yang terdapat dalam naskah Kutika Ugi’ Sakke Rupa dan
juga beriringan dengan transmisi ilmu pengetahuan bagi masya-
rakat Bugis pada abad ke-19.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kutika dan Khazanah Pernaskahan Sulawesi Selatan
Metode hitungan kutika pada abad ke-19 telah menyatu
dengan napas Islam yang diikuti oleh pengaruh beberapa tarekat
pada masa itu. Namun, sesungguhnya sistem hitungan tradisional
Bugis telah dikenal sekitar abad ke-14 atau jauh sebelumnya.
Masa ini terkait dengan perkembangan kerajaan bercorak Hindu-
Buddha dan perkembangan bahasa Sanskerta dan Melayu di
Nusantara.
Hal ini terlihat pada penggunaan sistem hitungan Kutika
Lima. Matthes 18 menjelaskan bahwa hitungan ini terdiri dari
lima nama, yakni Masoéwara, Kala, Siri, Barahama, dan
Bisinong dan masing-masing hari memiliki kualitas baik dan
buruk untuk berbagai macam kegiatan. Nama hari tersebut
memiliki kesaamaan dengan nama dewa-dewa dalam keperca-
yaan Hindu, seperti Maheswara, Kala, Sri, dan Brahma. Bahkan,

18
B F Matthes, Makassarsche En Boeginesche Kotika’s (Leiden
University Libraries: Sutherland, 1868), 15.

488 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

hitungan pergantian tahun yang dikenal dengan istilah


separiyama sama dengan hitungan satu windu, yakni delapan
tahun.19
Enre 20 menjelaskan alasan penggunaan istilah dari dua
agama (Hindu dan Buddha) tersebut karena bersumber dari
daerah lain, yakni kerajaan Majapahit, yang kemudian melaku-
kan kontak dengan masyarakat Sulawesi Selatan melalui jalur
perdagangan. Selain itu, pengetahuan tersebut hanya terbatas
pada istilah bahasa tanpa diikuti makna filosofisnya. Hal ini
menunjukkan bahwa pengaruh Hindu-Buddha di Sulawesi
Selatan hanya dipakai untuk memperkaya kosakata yang tidak
ada padanannya dalam dalam bahasa Bugis. Proses meminjam
dan mencangkokan kata-kata Sanskerta serta sejumlah kecil
kata-kata Indo-Arya, pada umumnya tidak mengalami suatu
perubahan fonetis.21 Kosakata Sanskerta disesuaikan dengan pola
bunyi yang lebih mudah diucapkan dalam bahasa Bugis, seperti
Wisnu menjadi Bisinong, Maheswara menjadi Masuwara, dan
sebagainya.
Istilah kutika yang dikenal di Sulawesi Selatan sebagai
kitab perhitungan tradisional manusia Bugis bukanlah sepenuh-
nya asli dari Sulawesi Selatan. Kutika berasal dari bahasa
Sanskerta, yakni krittika. Kemudian diserap oleh bahasa Melayu
menjadi ketika, kutika, atau rejang yang berarti pengetahuan atau
widya mengenai tenungan dan tilik-menilik yang tidak
berdasarkan rasi/zodiak.22
Istilah kutika dalam bahasa Bugis memiliki banyak varian
berdasarkan daerah atau suku masing-masing, contohnya suku
Makassar menyebut kutika dengan istilah pitika, suku Konjo
menyebutnya patikai, dan suku Bugis Bone menyebutnya putika.

19
Andi Palloge Nabba, Sejarah Kerajaan Tanah Bone (Makassar:
Yayasan al-Mu’allim Sulawesi Selatan, 2006), 49.
20
Fachruddin Ambo Enre, Ritumpanna Wélenrénngé, Sebuah Episoda
Sastra Bugis Klasik Galigo (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 32.
21
P J Zoetmulder, Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang
(Jakarta: Djambatan, 1985), 14.
22
B.M.Z. Shaharir, “Kosmologi Malayonesia Yang Terungkap Dalam
Bahasa Melayu,” Jurnal Peradaban 9 (2016): 16.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 489
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Namun, secara umum, dikenal dengan istilah kutika yang


bermakna waktu baik dan buruk. Lontara’ Kutika senantiasa
ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan yang berulang
dalam rentang waktu 50 sampai 100 tahun. Penggunaan naskah
ini sangat dinamis terutama untuk menentukan waktu turun
sawah dalam tradisi agraris atau pemberangkatan armada perang
dan perahu dagang dalam tradisi maritim.23
Sama seperti kepercayaan masyarakat Bugis pada hitungan
hari berdasarkan kutika ataupun ramalan dari mitologi dan
mimpi. Orang Melayu juga percaya pada hitungan hari baik dan
buruk, serta kekuatan pada mistisisme yang bersifat simbol,
ritual, maupun jimat untuk kekuatan diri (Shaharir, 2014: 3).
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kutika sebagai
konsep tidak hanya dimiliki oleh orang Bugis, tetapi juga
menyebar di berbagai wilayah yang bersinggungan dengan ba-
hasa Melayu dan Sanskerta. Aspek pembeda antara kutika
Melayu dan kutika Bugis terletak pada penerapan atau pedoman
dalam perhitungan yang menyesuaikan dengan keadaan geog-
rafis serta kondisi sosial kemasyarakatan.
Perkembangan kutika mengalami kemajuan pesat seiring
dengan masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan. Ilmu per-
hitungan tradisional yang pada awalnya hanya didasarkan pada
kualitas hari beralih mengikuti sistem penanggalan Hijriah.
Hitungan hari yang terdiri atas 30 atau 29 hari dalam satu bulan
mulai mengikuti konvensi Islam, tetapi tetap disesuaikan dengan
sistem bunyi bahasa Bugis. Begitu pula penomoran bahasa Bugis
yang tidak memiliki lambang bilangan, dalam perkembangannya
mengikuti kaidah lambang bilangan Arab.
Sejak penerimaan Islam pada abad ke-17, orang Bugis
dikenal sebagai penganut Islam yang taat. 24 Hal ini diperkuat
dengan unsur-unsur Islam yang menjadi bagian integral dari
sistem kehidupan masyarakat Bugis dengan istilah Sara’

23
Mukhlis Paeni, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara; Sulawesi
Selatan (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2003), ix.
24
Christian Pelras, Manusia Bugis (Jakarta-Paris: Nalar bekerjasama
dengan Forum, Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO), 2006), 4.

490 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

(syariat/agama). Menurut Reid 25 , terdapat papaseng (peribaha-


sa/pesan) yang menyatakan pura taro maranang, tepura taro
sara’ (keputusan rakyat bisa saja diubah, tetapi tidak dengan
keputusan syariat). Begitu pula dengan pengaruh ajaran ulama-
ulama Melayu maupun Timur Tengah yang menjadi anreguru di
Sulawesi Selatan. Salah satunya adalah Syekh Abdul Wahhab al-
Bugisi yang telah disebutkan sebelumnya. Adapun perhitungan
waktu menurut Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi, dalam setiap
hari terbagi menjadi lima waktu yang memiliki kualitasnya
masing-masing. Metode hitungan ini disebut Kutika Pakkita
Esso.26
Tabel 1.
Perbandingan nama bulan dan
hari menurut tahun Hijriah dan Bugis
Nama Bulan Nama Hari
Islam Bugis Islam Bugis
Muharram Muharrang Isnaini Asénéng
Ṣafar Sappara’ Śulāśā Salasa’
Rabī’ul awwal Rabbele’ Arba’ā Rebba’a
awwala’
Rabī’ul akhir Rabbele’ Khamis Kammisi
ahéré
Jumādal ūlā Jumadele’ Jumu’ah Juma’
awwala’
Jumādal ākhir Jumadele’ Sabtu Sattu
ahéré
Rajab Rajja’ Ahad Aha’
Sya’bān Sabang
Ramaḍān Rumallang
Syawwal Sawwala’
Żulqa’idah Julukaedda
Żulhijjah Juluhijja

25
Anthony Reid, “Pluralisme Dan Kemajuan Makassar Abad Ke-17,”
in Kuasa Dan Usaha Di Masyarakat Sulawesi Selatan (Makassar: Ininnawa,
2019), 79.
26
Muchlis Hadrawi, Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis
(Makassar: Ininnawa, 2017), 190.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 491
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Sumber: Lontara’ Kutika milik Abdul Karim Karaeng Tutu,


Galesong, Takalar.

Waktu baik dan buruk dalam satu hari dibagi menjadi lima,
yakni Elé (pagi), Abbuéng (dhuha), Tangngasso (tengah hari),
Loro (Zuhur), dan Assara’ (Asar). Waktu mallise adalah hari
berisi yang artinya sangat baik. Waktu pollebola adalah hari
netral dan masih memiliki kualitas baik. Waktu lobbang adalah
kosong yang berarti hari buruk. Waktu maddara adalah berdarah
yang berarti hari buruk. Waktu uju’ adalah jasad yang berarti
hari buruk.
Tabel 2.
Tabel Kutika Pakkita Esso
Esso Elé Abbuéng Tangngasso Loro Asara’
Juma’ Lobbang Uju Maddara pollebola Malise
Sattu Lobbang pollebola Malise uju Maddara
Aha’ Malise pollebola Uju lobbang Maddara
Sineng Malise pollebola Uju maddara Lobbang
Salasa lobbang Uju Pollebola malise Maddara
Araba Malise pollebola Uju lobbang Maddara
Kamisi Lobbang Uju Maddara pollebola Malise
Sumber: Hadrawi (2017, 190).

Pengaruh Islam pada ilmu pengetahuan tradisional dalam


hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Nama-nama hari
yang digunakan pada tabel di atas masih mendapatkan pengaruh
lokal yang dipercaya membawa dampak tertentu dalam semua
kegiatan, terutama dalam bekerja mencari nafkah. Memilih
waktu-waktu yang tepat untuk memulai atau melakukan peker-
jaan bagi masyarakat Bugis dapat menentukan keberhasilan
usahanya, sehingga dicari waktu yang berkualitas mallise
(berisi). Selain itu, terdapat pula hitungan nahase’ tabbékka pitué
nasiuleng yang menunjukkan waktu-waktu nahas yang muncul
di setiap bulan. Hari nahas seringkali dikorelasikan dengan
terbitnya Muharram yang dianggap memiliki unsur panas (esso

492 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

mapella).27 Hal ini menunjukkan pengaruh Islam telah menyatu


dalam alam pikiran orang Bugis.
Meminjam istilah Akhmar 28 mengenai proses Islamisasi
Bugis yang telah menjadi satu dengan akar pemikiran orang
Bugis, tidak serta merta menghapus nilai-nilai lokal Bugis
praIslam. Dalam hal ini, terjadi hubungan saling silang antara
Islam dan Bugis sehingga terdapat istilah Bugisisasi Islam 29 ,
yakni Islam yang berkembang di Sulawesi Selatan tetap
mempertahankan nilai-nilai lokal Bugis. Salah satu bentuk Bugi-
sisasi Islam yang terlihat pada teks KUSR adalah tabel hitungan
Kutika Lima (KUSR, 22) yang mengkonversi tiga metode yakni
Bugis, Sanskerta, dan Islam.

Tabel 3.
Kutika Lima
Mangolo Mangolo u[n]rai
Mangolo alau Manolo
maniyang alau Mangolo u[n]rai maniyang baca
manorang baca manurengi
baca dowa maniyang baca dowa
dowa baca dowa
Innā Allāha wa dowa Naṣrun min
Qulhuwallāhu Innā a’ṭaynāka
malāikatihī ya Qunud Allāhi wa fatḥun
aḥad al-kauthar
salu ‘ala nabī qarīb
Seweni Duwa[m]peni Tellu[m]peni Pata[m]peni Lima[m]peni
Iyéle Masuwara Kala Siri Barhama Bese’nu
Tengessotira Bese’nu Masuwara Kala Siri Berhama
Tengesso Berhama Bese’nu Masuwara Kala Siri
Loroi Siri Barhama Bese’nu Masuwara Kala
Asarai Kala Siri Barhama Bese’nu Masuwara
Raja Sajata Laki-laki Parampuang Ana’na
Sumber: Rahmatia.30

Dalam tabel Kutika Lima, metode Bugis dipakai untuk


menentukan waktu (élé, tengessotira, tengesso, loroi, dan
asara’), sedangkan kualitas waktu pada setiap hari memakai
istilah Sanskerta yang telah mengalami bugisasi, yakni Masu-

27
Hadrawi, 192.
28
Andi Muhammad Akhmar, Islamisasi Bugis: Kajian Sastra Atas La
Galigo Versi Bottina I La Déwata Sibawa I Wé Attaweq (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2018), 2.
29
Akhmar, 506.
30
Ayu W Rahmatia, ‘Kutika Suku Bugis Di Kalimantan Timur: Kajian
Filologi Dan Gagasan Ekofenomenologi’, 2020, p. 80.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 493
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

wara, Kala, Sri, Barhama, dan Bese’nu. Istilah Islam yang


dimaksud dalam tabel ini adalah penentuan arah menghadap
ketika akan bepergian disertai dengan bacaan doa yang berbeda-
beda mulai dari hari pertama sampai hari kelima.

Naskah Kutika Ugi’ Sakke Rupa


Naskah dengan kode PRI/15/MMK/KKT merupakan nas-
kah koleksi Museum Mulawarman di Kalimantan Timur. Naskah
didata pada tahun 2019 dengan nomor invertarisasi 07.08 nomor
registrasi 1530. Data dalam katalog Sumber-Sumber Tertulis
Indonesia Tengah, Kajian Kodikologis, Filologis, Linguistis,
Historis, dan Budaya: Kalimantan Timur dan Utara 31 , judul
awal naskah adalah Kutika Suku Bugis Bone. Namun, dalam
penelitian Rahmatia32 (2020), judul tersebut disesuaikan dengan
isi naskah menjadi Kutika Ugi’ Sakke Rupa (Bunga Rampai
Kutika Bugis) yang selanjutnya akan disebut KUSR.
Secara umum, KUSR berisi tabel perhitungan atau kalen-
der untuk menentukan pergantian hari atau bulan. Secara garis
besar, isi teks KUSR dapat dikategorikan menjadi tujuh bab yang
terdiri atas perhitungan bulan dan waktu; perhitungan dan
prediksi untuk segala masalah; pedoman untuk membangun
rumah; pedoman untuk membeli perahu; etika dan doa bercocok
tanam; dan macam-macam istihara untuk hajat. Dalam satu
pembahasan dapat saja diselingi oleh pembahasan lainnya, se-
hingga tidak terdapat susunan yang jelas untuk setiap bab.
Pergantian bab hanya ditandai dengan kata ‘pasal’ yang diurai-
kan dalam bentuk narasi.
Manuskrip KUSR telah mengalami perbaikan pada hala-
man sampul. Sampul naskah berupa sampul yang dilapisi kulit
sintetis berwarna hijau. Sampul berukuran 25 x 18 cm, ukuran
halaman 24 x 17,5 cm, dan ukuran blok teks adalah 17 x 10 cm.
Jumlah halaman keseluruhan adalah 138 halaman termasuk satu
halaman kosong. Nomor halaman naskah ditulis dengan angka
31
Titik Pudjiastuti, Sumber-Sumber Tertulis Indonesia Tengah, Kajian
Kodikologis, Filologis, Linguistis, Historis, Dan Budaya: Kalimantan Timur
Dan Utara ((belum diterbitkan), n.d.).
32
Rahmatia, “Kutika Suku Bugis Di Kalimantan Timur: Kajian
Filologi Dan Gagasan Ekofenomenologi.” 2020, p. 80.

494 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

Arab pada bagian pias atas dan angka Romawi pada bagian
bawah menggunakan pensil. Teks ditulis dari kiri ke kanan dan
cara penulisan recto-verso. Eksordium teks KUSR berupa surat
yang ditulis menggunakan huruf Jawi dan Bugis.
Ilustrasi berupa gambar-gambar berbentuk simbol dan lam-
bang. Tinta yang digunakan untuk menulis teks berwarna hitam
(gambar 1). Terdapat pula rubrikasi dalam naskah ini pada
penulisan kompas menggunakan huruf hijaiyah (gambar 2). Pada
bagian akhir teks, yakni halaman 137 dan 138, terdapat kolofon
yang menyatakan waktu selesainya teks ini ditulis, yaitu pada
hari Rabu, 11 Jumadil Akhir 1311 H atau 20 Desember 1893 M
dan menyatakan bahwa naskah ini selesai dibuat atas pesanan
Haji Mahmud (gambar 3).

Sumber: Dokumentasi pribadi


Gambar 1.
Ilustrasi bentuk tubuh manusia (KUSR, 6).

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 495
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Sumber: Dokumentasi pribadi


Gambar 2.
Rubrikasi dalam teks (KUSR, 37).
Kondisi fisik naskah masih baik, tetapi terdapat halaman
yang terlepas dan terbalik penempatannya, yaitu halaman 39, 40,
dan 60. Namun, hal tersebut tidak menjadi kendala dalam
membaca dan memahami isi teks. Sampul, kertas, dan jilidan
telah direstorasi. Kertas telah direstorasi dengan kertas Jepang.
Penjilidan baru dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI pada
tahun 2019.

Sumber: Dokumentasi pribadi


Gambar 3.
Kolofon naskah (KUSR, 138)..

496 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

Sumber: Dokumentasi pribadi


Gambar 4.
Kolofon naskah (KUSR, 137).
Teks KUSR termasuk teks profan. Walaupun sarat dengan
bacaan doa dan zikir yang bercirikan pengaruh tarekat tertentu,
KUSR tidak dapat dikategorikan sebagai teks sakral. Apalagi
naskah ini adalah naskah kompilasi yang tidak berkaitan dengan
suatu ritual khusus, misalnya tradisi masure’ untuk upacara
tanam benih padi. Isi KUSR bersifat umum dan mengandung
informasi pengetahuan yang secara general dapat dipraktikkan
oleh siapa saja.
Ciri kebahasaan dan aksara di dalam teks KUSR menun-
jukkan bahwa naskah ini merupakan teks multibahasa dan
aksara. Teks KUSR sebagian besar ditulis menggunakan bahasa
Bugis. Namun, secara keseluruhan, naskah ini memuat empat
bahasa dengan variasi empat aksara, yakni bahasa Bugis dengan
aksara lontara’, bahasa Bugis dengan aksara sérang, bahasa
Arab dengan aksara Arab, bahasa Melayu dengan aksara Jawi,
dan bahasa Banjar dengan aksara Jawi. Selain itu, terdapat empat
baris catatan kaki yang ditulis menggunakan aksara latin.
Namun, aksara Latin tersebut diduga merupakan catatan yang
ditambahkan oleh orang lain yang menyimpan naskah ini di
kemudian hari. Temuan ini merupakan sesuatu yang jarang
terjadi dalam penulisan kitab Lontara’. Hal tersebut menandakan

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 497
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

luasnya pemahaman penulis teks KUSR terhadap aksara dan


bahasa yang dikuasainya.
Bahasa Bugis yang dipakai dalam teks ini tidak dapat
secara pasti diklasifikasikan berasal dari salah satu dialek saja.
Karena terdapat beberapa dialek bahasa Bugis dalam menyebut-
kan nama binatang, seperti tikus disebutkan dengan nama
balawo (dialek Bugis Bone), walawoi (dialek Bugis Sidrap),
bilisu (dialek Bugis Sinjai); kuda disebutkan dengan nama
anyarang (dialek Bugis Bone), rusa disebutkan dengan nama
jonga (dialek Bugis Bone), jowai (dialek Bugis Sidrap). Terdapat
pula bahasa Makassar yang sesekali muncul di dalam teks,
seperti kata kuaintu, ritotowaia, dan taungaiya.
Pengaruh bahasa Arab dalam tradisi tulis masyarakat
Bugis, terlihat pula di dalam teks KUSR. Penggunaan aksara
Arab, Jawi, maupun Serang tersebar di dalam teks KUSR dan
dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu nama dan istilah; bacaan
doa; dan pola kalimat. Berdasarkan gejala bahasa KUSR yang
memuat empat aksara dan empat bahasa di dalamnya, maka
kategorisasi ini bertujuan untuk memilah antara teks aksara
Arab, Jawi, dan Serang.
Penggunaan aksara Serang dalam kitab Lontara’ sangatlah
jarang. Hal ini terungkap dalam hasil penelitian PaEni 33 , yang
mencatat seluruh hasil microfilm naskah Sulawesi Selatan
berjumlah 4049 naskah. Hal tersebut kemudian dirinci oleh Cho
Tae Young 34 , yang mendapatkan hasil berupa 780 naskah
beraksara Serang dari 4049 naskah. Dengan demikian, persentase
naskah beraksara Serang hanya 19,36 persen.
Aksara Serang dalam teks KUSR digunakan sebagai
kalimat pembuka atau judul dalam setiap bab dan kadangkala
menjadi catatan kaki di luar bingkai teks. Adapun pada bab
Hajat Pengasihan ditulis menggunakan aksara Serang dan Arab
secara bergantian.

33
Paeni, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara; Sulawesi Selatan,
xix.
34
Cho Tae Young, Aksara Serang Dan Perkembangan Tamaddun
Islam Di Sulawesi Selatan (Yogyakarta: Ombak Press, 2012), 131.

498 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

Sumber: Dokumentasi pribadi


Gambar 6.
Penulisan aksara Serang dalam naskah (KUSR, 108-109).
Untuk melihat pengaruh bahasa Arab yang dikuasai penga-
rang terhadap teks KUSR yang ditulisnya, hal pertama yang
perlu diperhatikan adalah ciri teks Bugis yang menyesuaikan
dengan sistem bunyi bahasa lokal. Hal ini jelas terlihat dalam
penulisan nama-nama yang berasal dari kosata Arab, seperti
Zahra menjadi Isuhura, Yusuf menjadi Yusupu, Nuh menjadi
Nohong, dan Namrud menjadi Namarudeng. Begitupun dengan
penyebutan nama lokasi yang berasal dari luar Sulawesi, seperti
Mesir menjadi Maséré’. Demikian pula pada kata-kata yang
terkait dengan ajaran Islam yang ditransfer ke dalam bahasa
Bugis, seperti Arsy menjadi Arase’, tasbih menjadi bilampilang.
Syekh Abdul Wahhab dan Jaringan Keilmuan Kutika
Pada halaman awal KUSR, terdapat sebuah surat yang
ditulis menggunakan huruf Jawi dan Bugis serta menyebutkan
dua tokoh penting pada masa tersebut, yakni Kapitan Abd al-
Wahhab dan di akhir teks terdapat fadilah Alfatiha kepada Ibn
Abdul Karim sebagai sumber dari pembuatan tulisan tersebut.
Surat daripada saya Kapitan Abdu al Wahab di Muara Jawa
mengabisi seterunya kepada saya/ supaya punya orang sendiri

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 499
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

nama berkawan/ (spasi panjang) supaya dari sini jalan laut


fakir/ Sejarah di Muara Jawa Kutai kepada segala/ O puwana
nyawaku beloné rahasiyaku/ sulomattapana jarena nyawana
mataku/ buwana atiku tajénge maréto nana buku/ ita maburané
rahasiyaku angolo témangoku nabaddang/Mubari’ Ibnu Abdul
Karim/ Bifatihah//
(KUSR: 4)
Secara jelas, KUSR tidak menyebutkan bahwa tulisan di
dalam kitab ini dibuat oleh Kapitan Abd al-Wahhab. Surat
tersebut hanya menyebutkan bahwa seorang kapitan bernama
Abd al-Wahhab berada di Muara Jawa Kutai agar ia dapat
menjalin persaudaraan. Nama Kapitan Abd al-Wahhab dapat
dikaitkan dengan Ince Abdul Wahhab Daeng Masikki yang
dikenal sebagai Kapitan Melayu ke-15. Namun, hal ini masih
dapat diperdebatkan karena ketidakcocokan masa saat Daeng
Masikki diangkat menjadi kapitan oleh pemerintah kolonial
Belanda pada tahun 19035 dan kolofon naskah yang menyebutkan
bahwa naskah KUSR selesai ditulis pada tahun 1893 M.
Ince Abdul Wahab Daeng Masikki adalah keturunan
Melayu yang hidup di Makassar dan mengawali karirnya sebagai
guru. Ia pernah menjadi siswa Kweekschool setelah melewati
ujian seleksi yang dilakukan oleh B.F. Matthes pada tahun 1879.
Ince Abdul Wahab Daeng Masikki dinyatakan lulus pada 1884
dan dilantik menjadi guru bantu di Sekolah Externen, yaitu
sekolah rendah yang berhubungan dengan sekolah guru. Ia
memperoleh ijazah Diploma dan menjadi guru di sekolah-
sekolah pribumi yang ada di Sulawesi Selatan (Amir, 2016: 106).
Sampai pada tahun 1898, Ince Abdul Wahab Daeng Masikki
yang menjadi guru di Segeri dilantik menjadi Jaksa di Takalar,
Sulawesi Selatan. Kemudian pada 1 April 1906, ia diangkat men-
jadi kapitan keturunan Melayu ke-15 berdasarkan surat keputu-
san Asisten Residen van Senden dalam Regeerings Almanak
Kerajaan Hindia-Belanda.

Amrullah Amir, ‘Sejarah Masyarakat Melayu di Sulawesi Selatan


35

1600-1942: Identiti dan Autoriti’ (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2015), p.


323.

500 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

Berdasarkan pembuka teks, nama Kapitan Abd al-Wahhab


di dalam KUSR telah berada di Kutai pada rentang tahun 1893
atau sebelumnya. Apabila nama Abdul Wahab Daeng Masikki
dikaitkan dengan pembuka teks, terdapat ketidaksesuaian masa
dalam hal ini karena sampai akhir abad ke-19, ia masih menjadi
guru dan baru menjadi Kapitan Melayu pada awal abad ke-20.
Jabatannya sebagai Kapitan Melayu berarti bertugas untuk
memimpin perkampungan Melayu di Makassar berserta urusan
administrasinya yang berhubungan dengan pemerintah kolonial.
Dapat diperkirakan bahwa maksud eksordium (pembuka teks)
naskah KUSR hanya berkisar pada perizinan Kapitan Abd Al-
Wahhab untuk melakukan perjalanan ke Kutai. Namun, sekali
lagi, terdapat keraguan yang mendasar mengenai perbedaan
angka tahun yang disebutkan di dalam teks KUSR, yakni 1893
dan tahun menjabatnya Abdul Wahab Daeng Masikki sebagai
Kapitan Melayu pada tahun 1906.
Frasa ‘kapitan’, dapat saja merujuk pada seseorang yang
menjadi kapten atau pemimpin dalam sebuah pelayaran. Dalam
hal ini, dugaan sementara mengarah kepada nama seorang kali
atau ulama yang datang ke Kalimantan pada abad awal abad ke-
19. Dalam jaringan ulama Nusantara ia lebih dikenal dengan
nama Abd’ al-Wahab al-Bugisi. 36 Nama al-Bugisi disematkan
kepadanya karena Abd’ al-Wahab adalah ulama keturunan
Sulawesi Selatan yang lazim disebut sebagai orang Bugis. Abd’
al-Wahhab al-Bugisi berasal dari keluarga bangsawan yang
cukup terpandang di Sulawesi Selatan. Ia adalah seorang putra
raja dari tanah Bugis, Sulawesi Selatan, yang bergelar Sadenreng
Daeng Bunga Wardiyah (Daudi, 2003: 51).
Dalam karirnya sebagai ulama, Syekh Abdul Wahhab al-
Bugisi lebih banyak mendedikasikan ilmunya untuk perkemba-
ngan pusat pendidikan Islam yang didirikannya bersama mertua
sekaligus sahabatnya, Syekh Muhammad ‘Arsyad di Kaliman-
tan37. Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi memiliki hubungan persa-
36
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII Dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia (Depok:
Prenadamedia Group, 2018), 332.
37
Azra, 332.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 501
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

habatan dengan tiga ulama Melayu saat menimba ilmu di Hara-


mayn, yakni Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Syekh
Abdussamad al-Palimbani, dan Syekh Abdurrahman al-Mashri
al-Batawi. Adanya hubungan pernikahan Syekh Abdul Wahhab
al-Bugisi dengan Syarifah, putri Syekh Muhammad ‘Arsyad,
semakin memperat hubungan kekerabatan maupun keilmuan
antara Sulawesi Selatan dan Kalimantan.
Nama Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi telah dikenal sejak
sebelum abad ke-19 di Sulawesi Selatan. Melalui catatan
Matthes38 , ia mendapati kutika dari seorang kali (ulama) yang
bernama Abdu al-Wahab yang menjelaskan hari nahas dalam
satu bulan. Hadrawi39 juga menyebutkan hal yang sama, yakni
terdapat Lontara’ Kutika milik Katte Ummareng yang menga-
dopsi perhitungan hari ajaran Syekh Abdul Wahhab.Selain kitab
kutika yang banyak disalin dan diklaim sebagai ilmu lokal Bugis,
belum dapat ditemukan lagi karya tulis yang mencatumkan nama
Abdul Wahhab al-Bugisi sebagai pemiliknya. Sampai saat ini,
nama Abdul Wahhab al-Bugisi adalah tokoh bayangan yang
menyertai perjuangan Syekh Muhammad ‘Arsyad al-Banjari40 di
Kalimantan.
Minimnya karya yang secara jelas menyebutkan sanad
keilmuannya kepada Abd’ al-Wahhab al-Bugisi menyulitkan
upaya dalam mengidentifikasi pengarang atau sumber ilmu dari
KUSR. Namun, penutup surat yang menyatakan bahwa naskah
KUSR bersanad kepada Ibn Abdul Karim, “Mubari’ Ibnu Abdul
Karim” (diciptakan (dari) Ibnu Abdul Karim), adalah hal yang
patut diperhatikan. Nama Ibnu Abdul Karim diduga kuat berasal

38
Matthes, Makassarsche En Boeginesche Kotika’s, 7.
39
Hadrawi, Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, 190.
40
Syekh Muhammad ‘Arsyad al-Banjari merupakan ulama asal
Kalimantan yang menerima tarekat Sammaniyah dari Ibn Abdul Karim al-
Samani. Ia dianggap sebagai ulama yang paling bertanggung jawab atas
tersebarnya tarekat Sammaniyah di Kalimantan (Azra, 2018, 330). Ia juga
menjadi tokoh penting dalam dalam reformasi administrasi keadilan di
Kesultanan Banjar dengan menjadikan hukum Islam sebagai acuan dalam
pengadilan kriminal. Selain itu, ia juga memperkenalkan jabatan mufti
sebagai orang yang mengeluarkan fatwa terkait masalah keagamaan dan
sosial (Zamzami 1974, 10—11).

502 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

dari nama pendiri tarekat Sammaniyah, yakni Muhammad bin


‘Abd al-Karim al-Sammani. 41 Ia juga merupakan guru dari
Syekh Syekh Muhammad ‘Arsyad al-Banjari dan Abd’ al-
Wahhab al-Bugisi saat mereka sama-sama belajar di Haramayn.
Dalam melacak identitas pengarang naskah KUSR, sejauh
ini terdapat dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah
gelar kapitan yang terdapat di dalam pembuka teks merujuk pada
nama Abdul Wahab Daeng Masikki yang menjadi Kapitan
Melayu pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Kemung-
kinan kedua adalah istilah kapitan atau kapten merupakan gelar
untuk seorang pemimpin pelayaran yang merujuk pada nama
seorang ulama, yakni Abd al-Wahhab al-Bugisi yang juga diakui
Matthes42 dan Hadrawi43 sebagai seorang kali atau imam pemilik
Lontara’ Kutika.
Lokasi ditemukannya naskah KUSR di Kalimantan Timur
seirama dengan informasi di dalam teks yang menyebutkan nama
tempat ‘Muara Jawa Kutai’ atau Kutai Kertanegara. Sehubungan
dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa naskah KUSR
merupakan bukti adanya jejak keturunan Bugis di Kalimantan.
Hal tersebut tidak mengherankan karena hubungan antara
Sulawesi Selatan dan Kalimantan telah terjalin sejak awal abad
18. Awal mula keturunan Bugis menyebar di wilayah
Kalimantan, ditandai dengan kedatangan seorang bangsawan
Bugis keturunan Wajo, yaitu La Madukelleng pada tahun 1720-
an di wilayah Pasir, Kalimantan Timur. 44 La Maddukkelleng
sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki karena gelar
dari orang tuanya. Saat keluar dari Wajo, La Madukelleng hanya
berbekal tellu cappa.45

41
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII Dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, 321.
42
Matthes, Makassarsche En Boeginesche Kotika’s, 7.
43
Hadrawi, Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis, 190.
44
Kathryn Gay Anderson, “The Open Door: Early Modern Wajorese
Statecraft and Diaspora” (2003), 140–41.
45
Noorduyn, Een Boeginees Geschriftje over Arung Singkang” Dalam
Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde, 144–52.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 503
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Dalam masyarakat Bugis, istilah tellu cappa (tiga ujung)


diaplikasikan dalam melakukan proses adaptasi di perantauan.
Ujung yang pertama adalah cappa lila yang bermakna ujung
lidah, artinya ketika orang Bugis sedang melakukan diplomasi
dan negosiasi kerja sama menggunakan bahasa yang santun.
Ujung kedua adalah cappa laso yang berarti ujung kelamin, mak-
nanya ketika orang Bugis ingin menyambung tali persaudaraan
dengan suku lain, mereka akan menikahi putri raja atau putri
bangsawan dan juga putri masyarakat asli di daerah tersebut.
Ujung ketiga adalah cappa kawali atau ujung badik, simbol ini
bermakna ketika kedua ujung sebelumnya gagal dilakukan, maka
ujung badik atau berperang menjadi pilihan terakhir untuk
menyelesaikan masalah. filosofi ini senantiasa melekat pada diri
pribadi etnis Bugis ke mana pun mereka merantau.46
Dalam perantauannya, La Madukelleng menikah dengan
puteri Raja Pasir, yaitu Andin Anjang atau Andeng Ajeng, putri
dari Aji Geger bin Aji Anom Singa Maulana Sultan Aji
Muhammad Alamsyah yang menjadi Raja Pasir pada rentang
tahun 1703-1726 M. Selanjutnya, La Madukelleng menjadi Raja
Pasir pada tahun 1726 sampai tahun 1736 setelah meredam pem-
berontakan yang terjadi di Pasir.47 Kesuksesan La Madukelleng
di tanah rantau begitu cepat menyebar sehingga terjadi gelom-
bang migrasi besar-besaran orang Wajo ke Kalimantan. Kemu-
dian, jaringan diaspora Bugis ini menyebar ke Kutai dan
Samarinda yang dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona.48
Jejak pasompe’ (perantau) Wajo juga menyebar sampai ke
wilayah Kerajaan Banjar dan mendirikan kerajaan bawahan yang
dikenal dengan nama Pagatan pada abad ke-18. 49 Pada masa
selanjutnya, para pasompe’ Bugis datang ke Kalimantan dengan

46
Andi Ima Kesuma I.C, Politik Ranjang Bugis Makassar (Makassar:
Universitas Negeri Makassar, 2010), 15.
47
Mansyur, “Diaspora Suku Bugis Di Wilayah Tanah Bumbu,
Karesidenan Borneo Bagian Selatan Dan Timur Tahun 1842—1942” (2012),
101.
48
Assegaf, Sejarah Kerajaan Sadurangas Atau Kesultanan Pasir
(Tanah Grogot: Pemerintah Daerah Tingkat II Pasir, 1992), 123–36.
49
Anderson, “The Open Door: Early Modern Wajorese Statecraft and
Diaspora,” 155.

504 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

berbagai tujuan, baik tujuan politik maupun ekonomi. Dalam


hubungannya dengan konteks KUSR, para perantau Bugis di
Kalimantan Timur dapat dikaitkan dengan jaringan ulama
Nusantara yang mulai berkembang sejak abad ke-17.

Resepsi Pemikiran Tokoh-Tokoh Sufi dalam


Naskah Kutika Ugi’ Sakke Rupa
Dalam naskah KUSR, metode perhitungan yang digunakan
adalah gabungan antara ilmu sains dan tasawuf. Dalam konteks
ini, sains dimaknai sebagai pengetahuan yang sistematis
berdasarkan observasi mengenai fenomena yang diamati secara
berulang. Relevansi dari ilmu sains adalah metode hitungan
waktu (kutika) yang dimiliki orang Bugis. Konvensi umum ilmu
hitung tradisional dalam kutika, seperti hitungan 30, 9, dan 7
dapat ditemukan di dalam teks KUSR, bahkan terdapat uraian di
dalam teks KUSR yang tidak dimiliki oleh teks kutika lainnya,
salah satunya adalah penjelasan putika pukulu’ jangé yang
berkaitan erat dengan mistiko-filosofis wahdah al-wujud Ibn
Arabi50 dan ilmu tamsil (tanda) yang dijelaskan oleh ahli hikmah
abad ke-13, yaitu Sayyid Ahmad al-Būnī (w. 622 H/1224 M).
Ahmad al-Būnī bernama lengkap Abu al-‘Abbas Ahmad
bin Ali bin Yusuf al-Qurashi al-Būnī. Nama al-Būnī ini
disematkan karena dia berasal dari Bunnah, Afrika Utara yang
kini dikenal sebagai Anabah, Aljazair. 51 Al-Būnī hidup pada
masa abad ke-13 (sekitar 1155—1224 M) yang sezaman dengan
Muhyidin Ibn al-‘Arabī. Oleh sebab itu, karya monumentalnya,
yakni kitab Shams al Ma’arif al-Kubra memiliki benang merah
dengan pemikiran-pemikiran Ibn al-‘Arabī. Selain itu, dalam
teks KUSR, terdapat nukilan kitab Shams al-Ma’arif terkait
dengan peredaran Naga Lompo (naga besar) dalam satu tahun,
seperti kutipan berikut ini.

50
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII Dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, 208.
51
Noah D. Gardiner, “Esotericism in a Manuscript Culture: Ahmad Al-
Buni and His Readers Through the Mamluk Period” (University of Michigan,
2014), 71.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 505
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

“…Iyana bicaranna angolonna naga lopoé/ Pasal panes-


saéngngi a’gulilinna naga lopoé mo(n)roi ri tanaé/ weka
eppamigiling nasitaung... makunniro bicaranna naga lopoé
masué ri kitta’ Syamsul Ma’arif…”
“…Inilah pembicaraan tentang menghadapnya naga besar/ Pasal
yang menjelaskan berputarnya naga besar yang tinggal di tanah/
empat kali ia berputar dalam setahun… Demikianlah ceritanya
naga besar yang diambil dari kitab Syamsul Ma’arif…”
(KUSR: 60-61)

Ajaran tarekat yang secara samar tertulis dalam KUSR


tidak terlepas dari sejumlah pengaruh ulama Timur Tengah
maupun ulama Bugis. Melalui karya-karya ulama jaringan Timur
Tengah dan dengan pengetahuan penulis KUSR, naskah ini
menjelma menjadi transmiter antara ilmu sains dan tasawuf.
Terdapat sejumlah nama cendekiawan muslim baik yang berasal
dari Timur Tengah maupun lokal Bugis yang metodenya dikutip
sebagai pedoman sistem hitungan di dalam KUSR, yaitu Abd al-
Wahhab dan Ibnu Abdul Karim, Ja’far Ṣadiq, Syekh Ali Mulawi,
Saehata I Belawa, Petta Pakie I Sawito, Sayyidī Muḥyiddīn Ibn
al-‘Arabī, Syekh Muhammad Ibn Ali al-Hindi, dan kitab
Syamsul Ma’arif karangan Sayyid Ahmad al-Būnī.
Memetakan pengaruh tarekat di dalam KUSR dapat
dimulai dari nama-nama ulama yang disebutkan di dalam teks.
Terdapat tiga nama penting yang saling berkaitan, yakni Abd’ al-
Wahhab al-Bugisi, Ibnu Abdul Karim al-Sammani, dan Sayyidī
Muḥyiddīn Ibn al-‘Arabī. Dalam pembuka teks berdasarkan
nama Kapitan Abd al-Wahhab yang menyebutkan bahwa sumber
tulisan ini dibuat (mubari’) oleh Ibnu Abdul Karim. Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa dugaan Kapitan Abd al-Wahhab
bernama lengkap Abdul Wahhab al-Bugisi yang dalam sanad
keilmuannya, berguru pada salah satu sosok pendiri tarekat
Sammaniyah, yaitu Muhammad bin ‘Abd al-Karim al-Qadiri as-
Sammani (van Bruinessen, 1995: 57) yang lebih dikenal dengan
nama Syekh Muhammad Samman52.

52
Ia merupakan pendiri Tarekat Sammaniyah. Tarekat ini merupakan
gabungan dari berbagai metode dan bacaan-bacaan dari tarekat lain, yaitu

506 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

Teks KUSR juga mengutip periwayatan dari Ja’far Ṣadiq


untuk menjelaskan keistimewaan hari dalam membeli pakaian.
Hal ini tampak dalam kutipan berikut.
Pasal makkedai nabita Musa/ niginigi maccorikengngi pakéya-
ngngé riyaso Jumu’ah/ manenungeng sau ininawa/ niginigi
maccorikengngi pakéyang riyaso Khamis/ a(ng)kai majapo
manenungeng paké/ niginigi maccorikengngi pakéyang riyaso
Arba’a/ lolong arajang nenniya akarang/ niginigi maccorikeng-
ngi pakéyang riyaso Ṡulaṡa/ manengnge malasa pakéi/ niginigi
maccorikengngi pakéyang riyaso Isnaini/ dé’nakenai lasatala-
leng/ niginigi maccorikengngi pakéyang riyaso Ahad/ napaké-
yang maté pakéyanna/ niginigi maccorikengi pakéyang riyaso
Sabtu/ manenunge masara ininawa/ Ja’far Shadiq.

Terjemah: Pasal berkatanya Nabi Musa a.s/ Barang siapa


membeli pakaian di hari Jumat/ ia akan menjadi orang cerdas
selama (memakai pakaian itu)/ Barang siapa membeli pakaian di
hari Kamis/ maka ia tidak akan menemukan kebaikan selama
memakainya/ Barang siapa membeli pakaian di hari Rabu/
disertakan untuknya kebesaran dan juga terangkat (derajatnya)/
Barang siapa membeli pakaian di hari Selasa/ sepanjang baju itu
dipakai dia akan sakit/ Barang siapa membeli pakaian di hari
Senin/ dia tidak akan terserang penyakit dalam (penyakit serius)/
Barang siapa membeli pakaian di hari Minggu/ dibawa sampai
mati pakaiannya/ Barang siapa membeli pakaian di hari Sabtu/
selama baju itu dipakai, dia akan selalu gelisah/ Ja’far Shadiq//
(KUSR: 18)

Selain Ja’far Sadiq, teks KUSR juga meresepsi pemikiran


Syekh ‘Āli Mulawi. Disebutkan bahwa ia berasal dari Mesir dan
mengajar di Makkah. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut.

Khalwatiyah, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syaziliyah (Nurhata, 2011: 6).


Di Nusantara, tarekat ini pernah mendapatkan pengikut massal, yang
persebarannya dimulai pada akhir abad delapan belas (van Bruinessen, 1995:
55). Tarekat ini sangat merakyat di daerah Sumatera Barat dan Kalimantan
Selatan. Salah satu tokoh tarekat Sammaniyah yang berpengaruh di
Kalimantan adalah Muhammad ‘Arsyad bin ‘Abd Allah al-Banjari, sahabat
sekaligus mertua Abdul Wahhab al-Bugisi (Azra, 2018: 330).

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 507
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Pasal {iyanae} asetihara so(m)pe’reng masenna makasing


ipaké/ narékko maléoki so(m)pe’ narékéngi tetinna asseng
riyaléta’ enrengé tetinna asenna wanuwa maélo tasuri e(n)rengé
tetinna esso mélo’é tajeppa hurupu’na abjad ipaké/ muinapanna
buwa tatellui/ narékko si’di le[ng]bbina matettui sidupa
pagoraé yiréga teléngi lopié yiréga repai yiréga natujuki lasa
maraja/ narékko 2 duwa lebbina majaatto réwéku masesakalé
masusa maraja/ narékko genne’’ tatoli’i majeppu e(ng)kai
asapareta mabarakka lolongettoi dalé’ mabarakka naripalo-
wang tetong ri puwang Allah Ta'ala sinina haja’na/ makunniro
isetihara napakéwé a(n)réguruta riyasengé Syeikh Ali Mulawi/
Maséré’é wanuwa Hawiya asenna ka(m)ponna/ mo(n)roé ri
tana Mekka tulimappangaji rilalena Masejidile Marama/ talitu-
tuiwi menapakéi narékko maéloki so(m)pe’ nasaba barakena
nabita/ salamakki/ wallahu ‘alam//

Terjemah: Inilah pesan yang baik dipakai untuk perjalanan


mencari rezeki/ Jika ingin melakukan perjalanan, maka
hitunglah titik nama yang pada dirimu juga titiknya nama negeri
yang akan didatangi juga titiknya hari yang akan dipakai untuk
berangkat dengan huruf abjad yang dipakai/ kemudian bagi tiga/
Jika satu lebihnya, tentu juga bertemu atau juga akan tenggelam
kapalnya atau juga pecah (kapalnya) atau juga kamu akan
terkena penyakit besar/ Jika dua lebihnya, (tandanya) tidak baik,
kembalilah kamu, nanti akan menyesal karena ada kesusahan
besar/ Jika genap yang tertulis, pasti akan ditemukan apa yang
dicari itu dan berkah akan didapat juga rezeki yang berkah,
dikabulkan hajatnya oleh Allah swt./ Demikianlah pesan yang
dipakai guru kita yang bernama Syeikh Ali Mulawi/ negerinya
bernama Mesir, dari daerah Hawiya/ Ia tinggal di tanah Makkah
yang mengajar mengaji di dalam Masjidil Haram/ Berhati-
hatilah memakainya jika ingin bepergian sebab berkahnya nabi
Muhammad saw./ Selamat/ dan kepada Allah Swt. pengetahuan
itu (dikembalikan)//
(KUSR: 35)

Kalimat doa dalam naskah KUSR juga merujuk pada


Saehata I Belawa atau disebut juga Sayyid Jamaluddin al-Akbari
al-Husaini (hidup sekitar 1310 M). Ia diketahui makamnya
berada di Tosora, Wajo, Sulawesi Selatan.

508 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

Pasal {iyanaé} dowana wali mapéengilino riyasengi Rijalulu


Gaiba ibaca narékko mapangujuki/ Bismillāhirrahmannirrahīm
assallāmu’alaikum yā Rijalul Gaibi, assallamuālaikum ya
arwaḥil muqadasatiya a’inūnī bigauṡati illahi wa anẓurni
naẓaratillah wan ṣuruni binaṣratillah yā nuqbā yā najbā yā
abdālu yā awtādu yā atqiyā’ yā gauṡu yā quṭbu a’inūni fill aṣril
lażi qaṣadta biḥurmati muhammadin ṣalallāhu alaihi wasallama
syaiṡu lillāhi alfātiha/ nayigaukena Rijalulu Gaibe narékko
maéloki laowangi ri bacangi patéha nyawana nabita siseng/
muniyakeni muwalasa(n)réso muwaka niajému wékkapetu
muinapatu béréselengiwi nyawana Rijalulu Gaibe/ narékko
purani mapanguju ati(n)rono pégipégi/ Rijalulu Gaiba kotono
manga(n)ro aja’muéwai siolo/ narékko muwakani ajému itani
aguli’na Rijalulu Gaibe yitona muolai/ salama’ baraka’na
Saehata iBelawa/

Inilah pasal doanya para wali yang menjaga bumi yang disebut
Rijalul Gaib, dibaca jika akan menghadapnya/ Bismillāhirrah-
mannirrahīm assallāmu’alaikum yā Rijalul Gaibi, assallamuā-
laikum yā arwaḥil muqaddasatiya a’inūnī bigauṡati illahi wa
anẓurni naẓaratillah wan ṣuruni binaṣratillah yā nuqbā yā najbā
yā abdālu yā awtādu yā atqiyā’ yā gauṡu yā quṭbu a’inūni fill
aṣril lażi qaṣadta biḥurmati muhammadin ṣalallāhu alaihi
wasallama syaiṡu lillāhi alfātiha/ Kemudian melakukan Rijalul
Gaib jika ingin bepergian dengan membaca surah Fatiha satu
kali sebagai nyawanya nabi Muhammad saw./ Diniatkan untuk
memanggil (tawasul), kemudian melangkah tujuh kali kemudian
kamu memberi salam kepada nyawanya Rijalul Gaib/ Jika sudah
menghadap, maka berkemaslah untuk pergi/ di mana posisi
Rijalul Gaib, disanalah kamu berdoa dan jangan sampai kamu
berlawanan arah (membelakanginya)/ Jika setelah kamu
melangkahkan kaki, lalu lihatlah (arah) Rijalul Gaib dengan
menengok ke belakang, itu pula yang kamu lewati/ Selamat atas
keberkahan syekh kita di Belawa.
(KUSR: 36)

Selain beberapa doa dan ketentuan para ulama di atas,


KUSR juga mengutip penjelasan tentang paham wahdat al-
wujud oleh Muḥyiddīn Ibn al-‘Arabī. Konsep wahdat al-wujud

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 509
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

dihadirkan untuk menegaskan bahwa konsep ini tidaklah sesat


sebagaimana konflik yang terjadi di Aceh pada abad ke-16.
Konsep ini tergambar secara praktis dalam kutipan berikut.

Hażā jadwalul Syaikhul Ma’ārif billahi ta’āla Sayyidī


Muḥyiddīn Ibn Al-‘Arabī, an alkabr baytil ahamu fi śālaśā wa
isyruna ṣaḥfah wa fī kuli ṣafḥatun mi’atun wa situna khāna/
wajami’u mā fī kuli ṣafḥati khamsa ayātin minal qur’anil aẓim
wal ‘ayatu swa ṡalaṡuna ḥarfan wakaifiyati tarkibi kuli ‘ayatin
min ayyi ṣafḥatin iża ardatan/ yanẓurlaka sūratal ikhlasi ṡalaṡa
marātin wa fātiḥatul kitābi maratan wa tuhdī syawābżalika ilā
ḥaḍaratin nabi ṣalallāhu ‘alaihissalam/ wataqra’u fātiḥatil
kitābi maratan ukhrā watuhdī syawābahā ilāl mu’alifi Sayyidī
Muḥyiddīn Ibn Al-‘Arabī / wa tugmiḍu ‘ainika wataḍ’u aṣbu’uka
alā ayi ḥarfin minhā/ fakhużuhu wa kulu ḥarfin hamisun
ba’dahu ilā akhiril ṣafhati ṡuma tarji’u ilā awalahā wa taf’ala
każalika ilā taṣila ayil ḥurufil lażi wa ḍa’at aṣba’uka ‘alaihi/
fatanẓuru ayatan yaẓharu minhā mā yadulu alā murādihi gairihi
mujarabin/

Inilah tabel yang dibuat oleh Syekh Ma’ārif Sayyid Muḥyiddīn


Ibn Al-‘Arabī karena Allah ta’ala yang bagian besarnya
melingkupi 23 lembar dan di setiap lembar terdapat 160 khatan
(tunjuk)/ Dalam semua lembar terdapat masing-masing 5 ayat
dari Al-Qur’an dan ayat itu terdiri atas 32 huruf/ Dan bagaimana
cara menyusun setiap ayat dari lembaran itu bila kamu
berkeinginan mengetahuinya/ Maka bukalah surah Al-Ikhlas lalu
baca sebanyak tiga kali dan surah Fatiha satu kali yang ditujukan
fadilahnya kepada nabi Muhammad s.a.w/ Kemudian bacalah
surah Fatiha sekali lagi dan sampaikan fadilahnya kepada
penyusun kitab ini, yaitu Sayyid Muḥyiddīn Ibn Al-‘Arabī/ Dan
usaplah matamu dan juga wajahmu seakan-akan surahsurah itu
merasukimu/ Maka ambila lima setelahnya sampai pada yang
terakhir lalu kembali pada yang pertama dan kerjakan lagi
seperti itu sampai pada huruf-huruf yang kamu letakkan di
wajahmu tadi dengan sangat khusyuk/ Maka kamu akan
mengetahui setiap ayat (tanda) yang nampak darinya dan
begitulah yang mujarab/
(KUSR: 97)

510 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

Syekh Ahmad al-Marzuki juga menjadi salah satu ulama


yang dikutip pengamalan doanya dalam naskah KUSR.

Iyana bicaranna tinpa korangi/ pasal {iyanaé}145 yisetihara


pole ri Saéha Aḥmad al Marzuki/ agiagi hajata tapogauni riolo-
nayi gaukenna tomasembajang duwa raka taniyakengi isetihara/
tapangi puresi ri lalenna raka ri oleo imu(n)ri pateha Qul yā
ayuhal kafirun laturicappa’na/ tapangi puresi ri lelenna raka ri
mu(n)rié imu(n)ri pateha Qulhuwallāh laturicappa’na/ narékko
purani mabéréseleng bacani salawa pegipegi salawa ribaca
seratu’/ tainapasi toba’ seratu’ {iyanaé}146 astagfirullāhal
aẓīm/ tainapana bacai weka pitu makuling yinaya innal tasya-
baha alaina wa inna insyāllāhu lāmuhtadun/ tainapana bacai
{iyaé}147 dowange siseng laturicappa’na Allāhumma ini astaḥi-
ruka bi’ilmika wa astaqdiruka biqudratika waas’aluka min
faḍlikalaẓīm faa innaka taqdirū walā aqdiru wata’lamu walā
a’lamu wa anta ‘alamul guyub allahuma in kunta ta’lamu ana
hażal amra khairun lī fidīni wa dunyā wa ma’asyi wa’āqibati
amrī wa’ajilihi wa’ajilihi fa qadruhuli wa yasarihu lī ṡumma
barik li fihi yakarīmu fā’inkunta ta’lamu anna hażal amra
syaran lī fidīni wadunyā// 133 wa ma’āsyī wa ‘aqibatan amrī wa
‘ājilihi faṣrifhu wa ṣarifniya ‘anhu waqadru lil khaira khaiṡu
kāna ṡuma raḍinī bihi biraḥmatika yā arḥamarrāḥimīn//

Inilah bicaranya tentang membuka Alquran/ inilah pasal istihara


yang datang dari Syekh Ahmad al Marzuki/ untuk apapun yang
dihajatkan, maka terlebih dahulu kerjakan solat dua rakaat
diniatkan istiharah/ setelah itu, sesudah surah Fatiha dalam
rakaat pertama baca surat Al-Kafirun sampai selesai/ setelah itu,
setelah surah Fatiha dalam rakaat kedua, baca surat Al-Ikhlas
sampai selesai/ Jika selesai salam bacalah selawat, selawat
apapun dibaca 100 kali/ kemudian istigfar, yaitu astagfirullāhal
aẓīm, 100 kali/ kemudian baca sebanyak tujuh kali, yaitu innal
tasyabaha alaina wa inna insyāllāhu lāmuhtadun/ kemudian baca
doa ini satu kali sampai habis, Allāhumma ini astaḥiruka
bi’ilmika wa astaqdiruka biqudratika waas’aluka min faḍlika-
laẓīm faa innaka taqdirū walā aqdiru wata’lamu walā a’lamu
wa anta ‘alamul guyub allahuma in kunta ta’lamu ana hażal
amra khairun lī fidīni wa dunyā wa ma’asyi wa’āqibati amrī
wa’ajilihi wa’ajilihi fa qadruhuli wa yasarihu lī ṡumma barik li

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 511
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

[133] fihi yakarīmu fā’inkunta ta’lamu anna hażal amra syaran


lī fidīni wadunyā// wa ma’āsyī wa ‘aqibatan amrī wa ‘ājilihi
faṣrifhu wa ṣarifniya ‘anhu waqadru lil khaira khaiṡu kāna ṡuma
raḍinī bihi biraḥmatika yā arḥamarrāḥimīn
(KUSR: 132)

Syekh Ahmad bin Muhammad Ramadhân bin Manshûr al-


Makki al-Marzûki al-Mâliki al-Husaini al-Hasani merupakan
salah satu ulama terkemuka, mufti mazhab Maliki di Makkah.
Meskipun ia membangun karir kecendekiaannya di Tanah
Haram, ia berasal dari Mesir yang lahir pada tahun 1205 H/1834
M. 53 Salah satu karyanya yang populer di Indonesia adalah
‘Aqidat al-’Awam. Kitab ini banyak dipelajari di berbagai
lembaga pendidikan Islam di Indonesia terutama pesantren. 54
Sebagai teks yang mendapat pengaruh Islam yang kuat, tak heran
jika KUSR juga mengutip doa dari salah seorang ulama yang
karyanya amat populer di Nusantara itu.

Naskah KUSR sebagai Transmisi


Pengetahuan Sains-Sufistik
Sistem perhitungan kutika pada abad ke-19 lebih banyak
dipengaruhi oleh ilmu sains Islam. Dalam khazanah ilmu
perhitungan Islam terdapat beberapa istilah yang merujuk pada
‘ilm an-nujūm (ilmu perbintangan), ‘ilm hai’ah al-‘ālam (ilmu
keadaan alam), al-asthrūnimiyā (astronomi), dan ‘ilm al-falak
(ilmu falak).55 Ilmu falak berasal dari kata fa-la-ka yang bermak-
na orbit atau edar benda-benda langit sedangkan definisi umum
ilmu falak adalah suatu cabang pengetahuan yang mengkaji

53
Hishām al-Kāmil Hāmid Mūsā, Fatḥ Al-‘Allām Bi Sharḥ Manzūmati
‘Aqīdati Al-‘Awwām (Cairo: Dār el-Manār, 2013), 11.
54
Informasi ini dapat dibaca juga dalam Amien Nurhakim. 2020.
Mengenal Kitab Aqidatul Awam, Syair Ringkas Ilmu Tauhid.
https://www.nu.or.id/post/read/119180/mengenal-kitab-aqidatul-awam-
-syair-ringkas-ilmu-tauhid. Diakses pada 16 Maret 2021.
55
Abdul Amir Al-Mu’min, At-Turats Al-Falaky ‘Inda a’-Arab Wa Al
Muslimin Wa Atsaruhu Fi Ilm Al-Falak Al-Hadits (Aleppo: Universitas
Aleppo, 1991), 18.

512 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

keadaan benda langit dari segi bentuk, kadar, kualitas, posisi, dan
geraknya.56
Sistem perhitungan kutika pada abad ke-19 lebih banyak
dipengaruhi oleh ilmu sains Islam. Salah satunya adalah pemi-
kiran-pemikiran Ibn ‘Arabi. Melalui realitas esensial heliosen-
trisisme dalam bangunan dalam kosmologinya, Ibn ‘Arabi
menetapkan matahari yang dibandingkan dengan Qutb (Kutub)
dan Qalb al-alam (inti dunia).57 Hal ini sejalan dengan penjelasan
Kutub Mudāwī al-Kulūm tentang rahasia pergerakan orbit yang
berhubungan dengan ma’rifah sifat Allah Swt dan keberadaan al-
Abdal (para pejaga kutub) dalam kitab Al-Futūḥāt Al-
Makkiyah. 58 Konsep al-Abdal disebutkan dalam teks KUSR
sebagai Rijāl al-Gaib.

Sumber: Burckhardt (2001, 13).


Gambar 6.
Hierarki langit inferior dan superior terhadap Matahari

56
Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, Filologi Astronomi (Purwokerto:
UMP Press, 2017), 11.
57
Titus Burckhardt, Mystical Astrology According to Ibn ‘Arabi
(Louisville: Fons Vitae., 2001), 21.
58
Muhyiddin Ibn al-‘Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyah Jilid II, ed. Harun
Nur Rosyid (Yogyakarta: Darul Futuhat, 2018), 377.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 513
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Gambar di atas adalah tingkatan kualitas langit mulai dari


yang terdekat hingga yang terjauh dari bumi dan matahari. Nama
planet, seperti mars (al-Marih), Jupiter (al-Musytari), Saturnus
(al-zuhal), dan lain sebagainya, terdapat pula dalam teks KUSR.
Gambar 7 tersebut dikonversi menjadi tabel dan disebut oleh
penulis teks KUSR sebagai metode waktu perputaran jam atau
Putika Pukulu’ Jangé (KUSR, 31). Namun, dalam tradisi lisan
masyarakat Bugis, khususnya Sinjai, tabel Putika Pukulu’ Jangé
seringkali dikaitkan dengan ilmu falak Imam Ja’far Ṣadiq.
Ja’far bin Muhammad al-Ṣadiq adalah cucu Ali Zain al-
Abidin yang dikenal sebagai anak Husein bin Ali bin Abu
Thalib. Imam Ja’far Ṣadiq dipercaya pernah hidup di Sulawesi
Selatan mengajarkan ilmu-ilmu pada masyarakat Sulawesi
Selatan.59 Apabila merujuk pada rentang kehidupan imam yang
hidup pada abad ke-8 ini, kemungkinan yang dapat ditelaah
adalah ilmunya tetap terjaga melalui pengajaran dari ulama-
ulama Qadiriyah asal Bira pada abad ke-17.60 Hal ini dapat pula
dilihat melalui silsilah keilmuan yang berasal dari cabang Imam
Ja’far Ṣadiq (mahzab Ja’fari) yang dituliskan Syekh Yusuf saat
ia dibaiat dalam tarekat Shatariyya dan Qadiriyya bersama
dengan Ibrahim Barat al Haq Khutba Bulo-bulo.61 Namun, dalam
teks KUSR sanad ilmu Imam Ja’far Ṣadiq secara jelas hanya
tercantum untuk satu perkara, yakni hari baik dan buruk ketika
akan membeli pakaian.
Apabila merujuk pada teks, kaitan beberapa tarekat ini
dapat diidentifikasi melalui bacaan doa maupun zikir dalam teks
KUSR. Kalimat zikir seperti laillahailallāhu merupakan keselu-
ruhan dari ajaran Islam, yakni pengakuan tentang keesaan Tuhan
(tauhid). Bagi muslim, tauhid ini adalah poros yang jelas dan
sederhana dari agama Islam, sedangkan bagi para sufi, kalimat
penegasan itu adalah pintu yang terbuka untuk memahami dan
masuk dalam realitas esensial (Burckhardt, 1981:69). Selain itu,

59
Wawancara dengan Muhammad Rauf, 22 Januari 2020.
60
Thomas Gibson, Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara Abad
Ke-16 Hingga Abad Ke-21 (Makassar: Ininnawa, 2012), 69.
61
Hamid Abu, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi, Dan Pejuang
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1994), 360–63.

514 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

zikir simbol, seperti ‘huwa’, ‘ah’, dan ‘a’ dalam dunia tarekat
sangat diperlukan.62
Simbolisme dalam dunia tasawuf adalah sesuatu yang
penting, karena alam semesta berbicara kepada mereka dalam
bahasa simbol, dan segala sesuatu juga memiliki signifikansi
simbolik disamping nilai eksternalnya.63 Zikir simbol Huwa dan
Ah menyiratkan dzikir dari tarekat tertentu. Menurut Nurhatta
(2011: 88) zikir Huwa adalah ciri tarekat Qadiriyah dan zikir Ah
adalah ciri tarekat Khalwatiyah. Kedua zikir simbol ini juga
terdapat dalam teks KUSR, yakni pada halaman 66 yang
berbunyi “mupowadasi weka tellu laillahailallāhu muḥammada-
rrasulullāhi 3 Allāhu 3 huwa huwa 3” (kemudian kamu ucapkan
ini sebanyak tiga kali laillahailallāhu muḥammadarrasulullāhi,
Allāhu sebanyak tiga kali, dan huwa huwa sebanyak tiga kali)
dan zikir Ah Ah Ah terdapat dalam tabel halaman 99 dalam
menjelaskan kualitas waktu Putika Pukulu’ Jangé.
Zikir simbolik dapat ditemukan pula pada teks KUSR
halaman 109 dalam menuliskan jimat dengan aksara Arab ١١١
(a, i, u). Dalam mistik Bugis, bacaan ini dikenal dengan istilah
sadda telué (suara yang tiga) (Akhmar, 2018: 474). Sadda telué
disebut juga syahada’ simula-mulanna lino atau syahadat pada
saat pertama kali bumi diciptakan. Dalam mistik Bugis suara
tersebut dipahami sebagai suara yang tidak terucapkan oleh lidah
dan tak dihembus oleh angin atau tennaleppa’ lila, tennairi’
anging. Vokal /a/, /i/, dan /u/ adalah suara yang diucapkan oleh
bayi saat pertama kali keluar dari rahim ibunya.64
Penggunaan vokal Sadda telué adalah simbol yang
menunjukkan relasi antara Tuhan melalui vokal /a/, diri melalui

62
Nurhata, “Naskah Muhammad Samman: Suntingan Teks Dan
Analisis Tema” (Universitas Indonesia, 2011), 8.
63
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam (Jakarta:
Ircisod, 2006), 177.
64
Haji Abdurrahman Ambodalle, Ada Tongeng-Tongengngé Ripannes-
sana Pappéjeppué Ri Puang Mappancajié (Pare-Pare: Percetakan Khaeriyah,
1955), 27.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 515
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

vokal /i/, dan Muhammad melalui vokal /u/.65 Dalam konteks ini,
mistik dipahami sebagai suatu kepercayaan bahwa manusia dapat
berkomunikasi, bahkan bersatu dengan Tuhan melalui batin
dalam sebuah meditasi (Simuh, 1995: 195). Hal ini tampak sama
dengan paham wahdat al-wujud Ibn ‘Arabi. Penganut wujudiyah
terkemuka yang menjadi salah satu mata rantai utama jaringan
ulama di Nusantara adalah Nur al-Din al-Raniri. Melalui al-
Raniri yang membaiat Syekh Yusuf al-Maqassari saat berada di
Aceh, 66 paham wujudiyah masuk ke Sulawesi Selatan seiring
dengan perkembangan tarekat Khalwatiyah di wilayah tersebut.
Oleh sebab itu, Tarekat Khalwatiyah Sammaniyah merupakan
tarekat yang memiliki pengikut terbanyak di Sulawesi Selatan.

PENUTUP
Kutika Ugi’ Sakke Rupa (KUSR) sebagai salah satu teks
keagamaan yang memuat berbagai informasi-informasi berharga
terkait jejak-jejak pengamalan ajaran tasawuf masyarakat
Sulawesi Selatan abad ke-19. Pengetahuan alam (sains) lokal
mengenai ilmu hitung kutika berkaitan erat dengan paham
sufisme yang terealisasi melalui ajaran-ajaran tasawuf seperti
wahdat al-wujud dan zikir-zikir tarekat yang menjadi bukti
bahwa literatur tasawuf memiliki posisi tersendiri bagi masyara-
kat Sulawesi Selatan pada masa itu.
Di sisi lain, ilmu hitung Putika Pukulu’ Jangé menjadi
bukti lain bahwa sistem peredaran matahari terhadap bulan
dalam realitas esensial heliosentrisisme Ibn Arabi diadopsi ke
dalam metode hitung orang Bugis dengan caranya sendiri. teks
KUSR ini merupakan teks profan yang pernah hidup di tengah
masyarakat pada masanya. Naskah KUSR juga dimaknai sebagai
upaya masyarakat Sulawesi Selatan dalam membangun memori
kolektifnya secara integratif. Hal ini tampak pada teks KUSR
yang melandasi transmisi pengetahuan ilmu falak dengan ilmu
tasawuf sebagai sebuah kesatuan yang tak terpisahkan.

65
Akhmar, Islamisasi Bugis: Kajian Sastra Atas La Galigo Versi
Bottina I La Déwata Sibawa I Wé Attaweq, 475.
66
Gibson, Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara Abad Ke-16
Hingga Abad Ke-21, 70.

516 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu, Hamid. Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi, Dan Pejuang. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1994.
Achadiati, Ikram. Pengantar Penelitian Filologi. Jakarta: Manassa,
2019.
Akhmar, Andi Muhammad. Islamisasi Bugis: Kajian Sastra Atas La
Galigo Versi Bottina I La Déwata Sibawa I Wé Attaweq. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.
Al-Mu’min, Abdul Amir. At-Turats Al-Falaky ‘Inda a’-Arab Wa Al
Muslimin Wa Atsaruhu Fi Ilm Al-Falak Al-Hadits. Aleppo:
Universitas Aleppo, 1991.
Ambodalle, Haji Abdurrahman. Ada Tongeng-Tongengngé Ripannes-
sana Pappéjeppué Ri Puang Mappancajié. Pare-Pare: Percetak-
an Khaeriyah, 1955.
Anderson, Kathryn Gay. “The Open Door: Early Modern Wajorese
Statecraft and Diaspora,” 2003.
Assegaf. Sejarah Kerajaan Sadurangas Atau Kesultanan Pasir. Tanah
Grogot: Pemerintah Daerah Tingkat II Pasir, 1992.
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII Dan XVIII Akar Pembaruan Islam
Indonesia. Depok: Prenadamedia Group, 2018.
Burckhardt, Titus. Mystical Astrology According to Ibn ‘Arabi.
Louisville: Fons Vitae., 2001.
Butar-Butar, Arwin Juli Rakhmadi. Filologi Astronomi. Purwokerto:
UMP Press, 2017.
Enre, Fachruddin Ambo. Ritumpanna Wélenrénngé, Sebuah Episoda
Sastra Bugis Klasik Galigo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1999.
Gibson, Thomas. Narasi Islam Dan Otoritas Di Asia Tenggara Abad
Ke-16 Hingga Abad Ke-21. Makassar: Ininnawa, 2012.
Hadrawi, Muchlis. Assikalaibineng, Kitab Persetubuhan Bugis.
Makassar: Ininnawa, 2017.

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 517
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Ibn al-‘Arabi, Muhyiddin. Al-Futuhat Al-Makkiyah Jilid II. Edited by


Harun Nur Rosyid. Yogyakarta: Darul Futuhat, 2018.
Kesuma I.C, Andi Ima. Politik Ranjang Bugis Makassar. Makassar:
Universitas Negeri Makassar, 2010.
Mansyur. “Diaspora Suku Bugis Di Wilayah Tanah Bumbu,
Karesidenan Borneo Bagian Selatan Dan Timur Tahun 1842—
1942,” 2012.
Matthes, B F. Makassarsche En Boeginesche Kotika’s. Leiden
University Libraries: Sutherland, 1868.
Mattulada. Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik
Orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press,
1995.
———. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah.
Yogyakarta: Ombak, 2011.
Mūsā, Hishām al-Kāmil Hāmid. Fatḥ Al-‘Allām Bi Sharḥ Manzūmati
‘Aqīdati Al-‘Awwām. Cairo: Dār el-Manār, 2013.
Nabba, Andi Palloge. Sejarah Kerajaan Tanah Bone. Makassar:
Yayasan al-Mu’allim Sulawesi Selatan, 2006.
Nasr, Seyyed Hossein. Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam. Jakarta:
Ircisod, 2006.
Paeni, Mukhlis. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara; Sulawesi
Selatan. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2003.
Pelras, Christian. Manusia Bugis. Jakarta-Paris: Nalar bekerja sama
dengan Forum, Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO),
2006.
Pudjiastuti, Titik. Sumber-Sumber Tertulis Indonesia Tengah, Kajian
Kodikologis, Filologis, Linguistis, Historis, Dan Budaya:
Kalimantan Timur Dan Utara. (belum diterbitkan), n.d.
Rahmatia, A W. “Kutika Suku Bugis Di Kalimantan Timur: Kajian
Filologi Dan Gagasan Ekofenomenologi,” 2020.
Reid, Anthony. “Pluralisme Dan Kemajuan Makassar Abad Ke-17.” In
Kuasa Dan Usaha Di Masyarakat Sulawesi Selatan. Makassar:
Ininnawa, 2019.
Young, Cho Tae. Aksara Serang Dan Perkembangan Tamaddun Islam

518 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur
PEMIKIRAN SAINS-SUFISTIK ORANG BUGIS DALAM NASKAH
KUTIKA UGI’ SAKKE RUPA — Rahmatia dan Abdullah Maulani

Di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Ombak Press, 2012.


Zoetmulder, P J. Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang.
Jakarta: Djambatan, 1985.

Jurnal
Gunawan, Fahmi. “Good and Teribble Days Symbols in Pananrang
Manuscript: A Cultural Linguistics Approach.” In Proceedings
2nd International Seminar on Linguistics (ISOL II), 94–101.
Padang: Universitas Andalas, 2015.
Kathryn, Robinson, and Mukhlis PaEni. “Living Through Histories:
Culture, History and Social Life in South Sulawesi.” Journal of
Southest Asian Studies 32, no. 03 (1998): 469–72.
Koolhof, Sirtjo. “The ‘La Galigo’; A Bugis Encyclopedia and Its
Growth.” Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde 155,
no. 3 (1999): 362–87.
Noorduyn, J. Een Boeginees Geschriftje over Arung Singkang” Dalam
Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde. Leiden: KITLV
& Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean
Studies, 1953.
Rajab, Hadarah. “Implementasi Nilai-Nilai Sufisme Tarekat
Naqsabandiyah Di Sulawesi Selatan.” Ulumuna: Jurnal Studi
Keislaman XIV (2010): 341–68.
Ridhwan. “Development of Tasawuf in South Sulawesi.” QIJIS
(Qudus International Journal of Islamic Studies) 5 (2017): 29–
46.
Shaharir, B.M.Z. “Kosmologi Malayonesia Yang Terungkap Dalam
Bahasa Melayu.” Jurnal Peradaban 9 (2016): 11–31.
———. “Rolled up Bugis Stories: Marriage Advice and The Tale of
The Parakeet.” Review of Indonesian and Malaysian Affairs 43,
no. 1 (2009): 189–208.
Tol, Roger. “Bugis Kitab Literature. the Phase-out of a Manuscript
Tradition.” Journal of Islamic Manuscripts 6, no. 1 (January 1,
2015): 66–90. https://doi.org/10.1163/1878464X-00601005.
Ubaedillah, Achmad. “The Rise of The Khalwatiyah Samman Sufi

https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur | 519
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 19, No. 2, 2021: 481 - 520

Order in South Sulawesi: Encountering The Local, Escaping The


Global.” Studia Islamika 24 (2017): 213–43.
Yusmar, Syarifuddin. “Penanggalan Bugis-Makassar Dalam Penentuan
Awal Bulan Kamariah Menurut Syariah Dan Sains.” Jurnal
Hunafa 5, no. 3 (2008): 265–86.
Skripsi, Tesis, dan Disertasi
Amir, Amrullah. “Sejarah Masyarakat Melayu Di Sulawesi Selatan
1600-1942: Identiti Dan Autoriti.” Universiti Kebangsaan
Malaysia, 2015.
Gardiner, Noah D. “Esotericism in a Manuscript Culture: Ahmad Al-
Buni and His Readers Through the Mamluk Period.” University
of Michigan, 2014.
Nurhata. “Naskah Muhammad Samman: Suntingan Teks Dan Analisis
Tema.” Universitas Indonesia, 2011.

520 | https://jlka.kemenag.go.id/index.php/lektur

You might also like