Luwu Bugis

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 152

ii | Fadly Bahari

LUWU BUGIS The Antediluvian World


Copyright © 2018 Fadly Bahari

Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 1
Hak Cipta adalah hak ekslusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dan
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Ketentuan Pidana
Pasal 113
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i
untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta
atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi
pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta
atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secra komesial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan
atau pidana denda paling banyak Rp1.ooo.000.000.00 (satu miliar
rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau
pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000.00 (empat miliar
rupiah).
LUWU BUGIS The Antediluvian World | iii

Daftar Isi – iii

Kata Pengantar – v

Bagian 1: Profil Orang Bugis – 11

Bagian 2: Bugis dan Bajoe yang tak ada bedanya – 25

Bagian 3: Sulawesi, Disebut K’u-lun dalam Kronik Cina dan


Gurun dalam Kitab Nagara Kretagama – 32

Bagian 4: Lombok Merah (Cella Passe), Nama Kuno Pulau


Sulawesi – 44

Bagian 5: Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-ling Terletak di


Sulawesi – 47
 Catatan I-Tsing tentang Ho-ling
 Berita-berita dari zaman Dinasti Tang
 Interpretasi berita-berita dari masa dinasti Tang
 Perkiraan letak wilayah kerajan Ho-ling di Pulau
Sulawesi

Bagian 6: Hipotesis Letak Geografis Ho-ling di Sulawesi – 65


 To-po-teng di sebelah barat Ho-ling
 Po-li atau Ma-li di sebelah Timur Ho-ling
 Chen-la di sebelah utara Ho-ling
 Laut di sebelah selatan Ho-ling

Bagian 7: Mengkaji Sebutan “Luwu” dalam Zhu Fan Zhi (Abad 13


M) – 78
 Ciri-Ciri Sho-po yang identik dengan budaya Luwu
 Lu-wu disebut sebagai ibukota kerajaan Chen-la

Bagian 8: “Bugis” dan “Luwu”; sama-sama artinya “Teluk” – 91


 Kata Teluk – Telugu – λοέω ( loéō ) – yang berasal dari
satu akar yang sama, yaitu: Luwu.
iv | Fadly Bahari

Bagian 9: Bahasa Sebagai Artefak Sejarah Yang Otentik – 103


 Kesamaan Leksikon bahasa Yunani dan bahasa Tae’

Bagian 10: Jejak Luwu Di Kawasan Mediterania – 116

Bagian 11: Jejak Luwu di Madagaskar dan Afrika – 120

Bagian 12: Jejak Luwu di Bahrain (kawasan Teluk Persia) – 130

Daftar Pustaka – 143


LUWU BUGIS The Antediluvian World | v

Uraian-uraian dalam buku ini merupakan hasil


penelusuran saya dalam 10 tahun terakhir, yaitu dimulai
sejak tahun 2008. Pada saat itu, walaupun belum timbul
niat untuk menulis sebuah buku, karena minat baca yang
saya miliki pada saat itu adalah lebih kepada wujud
penyaluran minat keingintahuan terhadap berbagai hal
tentang sejarah, seni dan budaya, tetapi, metode runut yang
saya lakukan telah mengarahkan saya untuk terbiasa
menulis dan menyimpan catatan-catatan kecil, yang
rangkaian utuh berupa “benang merah” dari kesemua
catatan-catatan kecil tersebut tersimpan dalam ingatan
saya sebagai bentuk suatu pemahaman tertentu. Barulah
setelah tahun 2015, ketika memutuskan pulang ke kota
kelahiran saya (Palopo), timbul keinginan saya untuk
menulis sebuah buku.
Bisa dikatakan bahwa buku ini mengungkap sisi lain
sejarah Sulawesi Selatan secara khusus dan pulau Sulawesi
secara umum yang selama ini tak pernah mendapat
perhatian para ahli, baik oleh karena tidak memiliki minat
ke arah itu, maupun karena memang terlewatkan begitu
saja. Dan memang, dalam beberapa hal, sebagian fakta yang
saya ungkap dalam buku ini adalah sesuatu yang sifatnya
telah sangat lama terlupakan – tenggelam dalam relung-
relung terdalam sejarah.
Buku LUWU BUGIS The Antediluvian World terdiri dari
Duabelas bagian. Bagian pertama dengan judul; Profil
Orang Bugis – membahas profil orang Bugis dengan
mengutip beberapa pendapat orientalis dan ilmuwan Eropa
seperti William Marsden (1754-1836), Sir Thomas
Stamford Bingley Raffles (1781-1826), atau pun James
vi | Fadly Bahari

Cowles Prichard (1786-1848), mengenai berbagai hal


tentang Bugis. Dalam bagian ini, saya memberi kritikan
terhadap pernyataan Christian Pelras dalam bukunya
“Manusia Bugis” (2005: hlm. 3-4) yang menyatakan:
…orang Bugis pada dasarnya adalah petani. Sedangkan
aktivitas maritim mereka baru benar-benar berkembang
pada abad ke-18 Masehi. Adapun perahu pinisi’ yang
terkenal dan dianggap telah berusia ratusan ahun, bentuk
dan model akhirnya sebenarnya baru ditemukan antara
penghujung abad ke-19 hingga decade 1930-an. Demikian
pula halnya dengan predikat bajak laut yang diberikan
kepada orang Bugis, sama sekali keliru dan tidak mendasar.
– yang saya anggap tidak benar, bahkan cenderung
mendegradasi profil kesejarahan maritim Bugis. Saya
berprinsip bahwa capain baik Pelras yang telah
menghasilkan karya seperti buku “Manusia Bugis” – yang
kaya sumber literature berbagai hal tentang Bugis, tidaklah
mesti membuat kita lalai memberikan kritik terhadap hal-
hal yang memang sudah sepatutnya mendapatkan kritik.
Bagian kedua, dengan judul; Bugis dan Bajoe yang tak
ada bedanya – membahas pemaparan saya mengenai Bugis
dan Bojoe yang dalam pandangan saya tidak ada bedanya.
Argumentasi ini saya urai dengan mengutip beberapa
pendapat dari para ahli yang pada umumnya senada dalam
berpendapat bahwa orang Bugis dan orang Bajou atau
Bajoe pada dasarnya adalah sama. Selain itu, saya juga
mengajukan linguistik historis dari kedua nama tersebut
yang saya anggap dapat membuktikan pandangan saya.
Bagian ketiga, dengan judul “Sulawesi, Disebut K’u-lun
dalam Kronik Cina dan Gurun dalam Kitab Nagara
Kretagama”, hingga bagian keempat “Lombok Merah (Cella
Passe), Nama Kuno Pulau Sulawesi” Ada bagian di mana
LUWU BUGIS The Antediluvian World | vii

saya mengajukan hipotesis nama pulau Sulawesi di masa


kuno. Pembahasan ini saya anggap penting, karena ini
adalah hal yang belum pernah terbahas sebelumnya oleh
para ahli. Dalam pembahasan ini, saya mengaitkan kata K’u-
lun yang terdapat dalam beberapa catatan Cina kuno, yakni
sebuah toponim yang merujuk ke suatu tempat di wilayah
laut cina selatan (kawasan Nusantara), dengan kata Gurun
yang terdapat dalam kitab naskah kakawin
Negarakretagama, pada pupuh 14: “Pulau Gurun, yang juga
biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak
diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah Bantayan
beserta Kota Luwuk, Sampai Udamaktraya dan pulau lain-
lainnya tunduk.” (Slamet Muljana. Tafsir Nagarakretagama.
(2006: 346) – yang menurut hasil penelusuran saya,
terindikasi sebagai nama lain pulau Sulawesi di masa lalu.
Pada bagian kelima “Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-
ling Terletak di Sulawesi,” dan bagian keenam “Hipotesis
Letak Geografis Ho-ling di Sulawesi,” saya kembali
mengajukan suatu hipotesis mengenai kemungkinan
kerajaan Ho-ling yang disebut dalam kronik Cina, berada di
pulau Sulawesi. Ada banyak data yang menguatkan
hipotesis tersebut, yang saya ajukan dalam ulasan ini.
Bagian ketujuh, “Mengkaji Sebutan ‘Luwu’ dalam Zhu Fan
Zhi (Abad 13 M)”, senada dengan pembahasan sebelumnya,
juga mengidentifikasi Salah satu kerajaan tertua di pulau
Sulawesi yaitu ‘Luwu’, sebagai toponim yang disebutkan
dalam naskah Cina dari abad 13 M.
Bagian kedelapan, “Bugis” dan “Luwu”; sama-sama
artinya “Teluk”, dapat dikatakan sebagai bagian utama dari
Buku ini. Di bagian ini, saya menguraikan temuan - makna
sebenarnya dari nama Luwu dan Bugis. Yang bahwa
Ternyata, kedua nama ini sama-sama berarti "teluk".
viii | Fadly Bahari

Pembuktiannya mengacu pada setidaknya tiga sumber


yang saling menguatkan satu sama lain, yaitu: dari bahasa
Filipina, bahasa Uzbek, dan rumpun bahasa Indo-Eropa
(terutama pada bahasa Inggris dan Yunani kuno).
Bagian kesembilan, Bahasa Sebagai Artefak Sejarah Yang
Otentik, adalah bagian pembahasan dimana saya
mendorong suatu pemahaman bahwa adalah hal yang tidak
bijak untuk senantiasa menghadapkan penuntutan fakta
sejarah pada keberadaan bukti arkeologis semata-mata –
yang kita sangat pahami merupakan wujud materi yang
rentan mengalami pengrusakan alami dalam kurun waktu
tertentu, lenyap oleh bencana alam, serta bahkan pula
rentan dimanipulasi ataupun dihilangkan oleh manusia itu
sendiri. Sebagai alternatif, dan sekaligus merupakan
hipotesis dari riset saya, adalah dengan mengajukan bahasa
sebagai artefak sejarah yang otentik.
Hal ini bisa dikatakan merupakan pengejawantahan
ungkapan Wilhelm von Humboldt “…karakter dan struktur
suatu bahasa mengekspresikan kehidupan batin dan
pengetahuan dari para penuturnya (…) Suara-suara tidak
menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke
dalamnya, dan makna ini mewujudkan pemikiran suatu
komunitas.” Penuturan Humboldt bahwa "suara-suara tidak
menjadi kata-kata sampai sebuah makna dimasukkan ke
dalamnya.." jelas bisa diartikan bahwa dalam bahasa
tersimpan berita-berita tentang masa lalu yang tentunya
dapat ditelusuri.
Bagian kesepuluh “Jejak Luwu Di Kawasan Mediterania,”
kesebelas "Jejak Luwu di Madagaskar dan Afrika", dan
keduabelas "Jejak Luwu di Bahrain (kawasan Teluk Persia)",
adalah bagian di mana saya mengulas banyak hal yang
dapat dipertimbangkan sebagai jejak “Luwu” di masa kuno.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | ix

Demikianlah gambaran umum dari susunan tema


pembahasan dalam buku LUWU BUGIS The Antediluvian
World ini.

Penulis,
Fadly Bahari
x | Fadly Bahari
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 11

Terdapat banyak literatur tentang orang Bugis yang


ditulis oleh para peneliti dari Eropa setidaknya mulai dari
abad ke-18 hingga ke-19, yang saya pikir cukup objektif
mengurai profil orang Bugis sebagaimana adanya. Salah
satu yang menarik adalah yang ditulis oleh Thomas
Stamford Raffles dalam buku “The History of Java” Volume II
(1817: Hlm. clxxxiii-clxxxiv) yang bercerita tentang pelaut
dan pedagang dari Celebes. Berikut kutipannya:
Meskipun beberapa negara Bugis memiliki
perdagangan yang bagus, mereka pada dasarnya
bergantung pada diri mereka sendiri untuk nafkah
penghidupan. Modus penguasaan tentu saja sangat kuat,
dan lembaga feodal berdiri di jalan kemajuan mereka;
tetapi kepemilikan pribadi di atas tanah tak bisa
dipungkiri, dan tanah dimiliki secara gratis atau dengan
pungutan sewa. Jumlah sewa, dalam kasus terakhir,
umumnya sepertiga dari hasil yang dibayarkan dalam
bentuk barang; petani berhak mendapatkan sepertiga,
dan pemilik kerbau atau lembu jantan yang membantu
berhak atas sepertiga sisanya. Para pekerja yang
dipekerjakan untuk menuai dibayar seperenam dari apa
yang mereka kumpulkan. Tidak ada kelas yang
dikecualikan dari hak kepemilikan di dalam masalah
tanah, dan pemilik dapat melepas tanahnya dengan
menjualnya kapan saja ia mau.
Orang-orang Sulawesi adalah pedagang yang giat dan
aktif: karakter seorang pedagang dihormati, dan
pangeran yang berkuasa penuh menganggap tidaklah
memalukan untuk masuk ke dalam spekulasi
perniagaan. Sayangnya, bagaimanapun, mereka
12 | Fadly Bahari

digerakkan oleh semangat sempit pedagang, untuk


prasangka dari kebijakan liberal raja, dan membuat
kekuatan mereka tunduk pada kecintaan mereka
terhadap keuntungan, dengan membangun monopoli
menguntungkan mereka sendiri terhadap rakyatnya.
Monopoli menjadi hal yang umum di setiap negara
bagian di pulau itu, tetapi kebanyakan dari mereka
hanya bersifat sementara. Raja Luwu memonopoli
perdagangan tembaga; Raja Soping (Soppeng) siri (daun
sirih), yang menghasilkan tiga ratus dolar sebulan; dan
Raja Sedendreng garam dan opium.
Begitu sangat kuat semangat usaha perdagangan di
antara penduduk pulau ini, hingga mereka sering
meminjam [modal usaha] dalam jumlah tertentu untuk
pembelian komoditas yang mereka harapkan untung,
dan mempertaruhkan kebebasan pribadi mereka, dan
keluarga mereka, pada keberhasilan sebuah
petualangan. Dalam pelayaran perniagaan mereka,
setiap orang dalam prahu memiliki bagiannya sendiri
dari kargo, dan melakukan bisnis dalam perhitungannya
sendiri: setiap orang juga membawa ketentuannya
sendiri; … Pemilik kapal setuju untuk melakukan
pelayaran dengan sejumlah orang, besar atau kecil,
menyesuaikannya dengan ukuran (kapal), dan membagi
ruang kapal di antara mereka dengan cara berikut. Dua
juru mudi, atau pengiring, menerima satu petah (atau
pembagian) sebelum sanketan dan seluruh ruang di
atasnya; pemilik berhak atas dua petah di bagian terluas
dari perahu; dan dua juru batu [bantu] ke ruang antar
tiang; petah yang tersisa dibagi di antara kru, dari siapa
pemilik, atau nakoda, menerima pengangkutan
sepersepuluh atau satu per dua puluh dari harga semua
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 13

komoditas yang mereka jual, menurut kesepakatan


mereka besar atau kecil, dalam proporsi nilai mereka.
Para juru mudi dan juru bantu hanya membayar
separuh bagian dari ongkos angkut yang dibayar oleh
kru lainnya. Terkadang pemiliknya memberi suplai
kepada kru dengan uang muka untuk satu pelayaran,
dan menerima pada saat di akhir tidak hanya pelunasan
pinjamannya, tetapi sepertiga dari keuntungan
spekulasi.
Barang-barang pokok perdagangan adalah kapas,
yang diimpor dari pulau-pulau sekitarnya dan diekspor
kembali setelah diproduksi menjadi kain, yang dikenal
dengan nama kain Bugis, yang sangat diminati di seluruh
Kepulauan, dan secara umum teksturnya lebih halus dari
pada yang diproduksi di Jawa. Sarang burung walet,
tripang (siput laut), sirip hiu, kulit kura-kura, agar agar,
jangat, dan barang-barang lainnya yang dihargai pada
pasar Cina, dikumpulkan dalam jumlah yang cukup
besar dan memberikan kembali barang-barang tersebut
ke kapal jung Cina yang tiap tahun mengunjungi Celebes.
Emas diperoleh di Celebes, tetapi dalam jumlah yang
jauh lebih kecil daripada di Kalimantan atau Sumatra.
Meskipun orang Bugis, pada umumnya, dianggap
sebagai pedagang besar, perdagangan luar negeri
tampaknya hampir secara eksklusif terbatas pada orang-
orang Waju. Orang-orang ini menetap dalam jumlah
yang cukup besar di semua pelabuhan perdagangan, dari
Acheen ke Manilla, dan merekalah yang membentuk kru
hampir semua perahu-perahu orang Bugis yang
menavigasi Laut Timur.
Beberapa perahu orang-orang Bugis dari Makasar
yang berkunjung ke pesisir utara New Holland dan teluk
14 | Fadly Bahari

Carpentaria dalam mencari teripang tahunan, dan


kadang-kadang sejumlah kecil kelompok orang ditinggal
dengan tujuan untuk mengumpulkan teripang untuk
memperoleh persediaan ketika kedatangan perahu-
perahu tersebut dalam tahun berikutnya.
Bugis, sungguh adalah negara maritim dan
perniagaan yang luar biasa di Kepulauan (Nusantara).
Barang-barang dari kapal mereka, terutama dalam
bentuk opium, emas, dan kain, seringkali berjumlah
masing-masing lima puluh atau enam puluh ribu dolar,
dan orang-orang yang menavigasi dan
bertanggungjawab di dalamnya diakui sebagai pedagang
yang adil dan terhormat.
Penduduk pribumi Selatan Sulawesi memiliki bentuk
tubuh yang ringan, Karakter umumnya baik sekali, agak
pendek, dengan tinggi badan berukuran sedang. Mereka
dikatakan pendendam; tetapi selama periode
pemerintahan Inggris di Makassar, hanya sedikit, jika
ada contoh yang terjadi untuk mendukung pernyataan
seperti itu. Tentu saja, bukanlah suatu contoh kematian
orang-orang yang terbunuh dalam perang baru-baru ini
antara dua belah pihak yang sama-sama merupakan
suku Makassar, yang menuntut balas demi keluarga
mereka, meskipun orang-orang yang tumbang di tangan
mereka adalah sangat dikenal.
Mereka memperbantukan diri mereka kepada
pimpinan mereka terutama untuk kepentingan mereka
sendiri, tetapi dalam beberapa kasus mereka
memperlihatkan dengan jelas bukti kesetiaannya.
Mereka sering mengganti pimpinan yang mereka
tinggalkan, tetapi hampir tidak ada apa pun yang dapat
membujuk mereka untuk mengkhianati pimpinan yang
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 15

mereka tinggalkan tersebut. Tidak ada kejadian bahwa


perahu milik seorang Belanda atau Cina telah dibawah
pergi ketika dikemudikan oleh orang-orang Bugis.
Perjanjian-perjanjian yang pernah dilakukan akan selalu
ditaati, dan seorang Bugis tidak pernah diketahui
menyimpang dari yang telah disepakatinya. "Itulah
Kesopanan alami, yang mencirikannya sebagai bangsa
yang terhormat dengan memakai apa yang disebut keris
Malaya, tidak ada tempat yang lebih mempertontonkan
hal itu dari pada yang ada pada penduduk Sulawesi.
Perkumpulan-perkumpulan kecil mereka disatukan oleh
semua keterikatan dan kehangatan yang mana
merupakan keutamaan dari klan-klan di Inggris Utara: -
kesamaan semangat gagah berani akan kebebasan dan
kegigihan menunjukkan keistimewaan tanpa perlu
banyak perintah. meskipun kebanggaan dari leluhur dan
romantisme kekesatriaan adalah kesenangan dari kelas-
kelas yang lebih tinggi. Terlibat dalam suatu perburuan
adalah suatu hiburan, bukan sebagi sarana penghidupan,
hasilnya tidak akan segera diperoleh, terkecuali setiap
tuan feodal, dengan kelompok-kelompok dan pengikut-
pengikutnya, membaktikan diri dalam perburuan
tersebut. Setiap penduduk adalah sederajat dalam titah
dari Raja feodal, baik pada saat perdamaian, perang
maupun pertanian, di luar kehidupan sehari-hari, hanya
sedikit yang diperhatikan.”
Di sisi lain, mereka adalah pencuri yang sangat
terkenal, dan hampir tidak menganggap pembunuhan
sebagai kejahatan. Contoh pembunuhan barbar
berdarah dingin sering terjadi dalam dua mil dari
benteng Eropa, sebelum kedatangan Inggris dan
penghapusan perdagangan budak. Orang-orang malang
16 | Fadly Bahari

yang telah diculik dan dibawa ke Makasar untuk dijual,


sering dibunuh untuk mencegah penyelidikan ketika
pembeli yang siap tidak ditemukan.
Banyak kebiasaan mereka juga sangat buas. Kepala
musuh yang memiliki pangkat atau jabatan tertentu
selalu dipenggal, dan contoh-contoh lebih dari satu kali
terjadi pada jantung yang dipotong dan dimakan oleh
para penakluk. Mereka menyukai darah dan daging
mentah hewan. disebut Lawar/ Lawa’ dara, yang
merupakan ati dan jantung rusa, dipotong menjadi irisan
dan dicampur mentah dengan darah hangat, dihargai
sebagai hidangan favorit mereka.
Demikianlah penggalan kutipan tulisan Thomas
Stamford Raffles dalam “The History of Java”, yang
disusunnya pada tahun 1817, dan merupakan hasil
penelitiannya selama bertugas di Nusantara. Dalam
bukunya, tergambar betul kekaguman Raffles terhadap
suku Bugis, bukan saja dalam hal pelayaran dan
perniagaan, tapi juga dalam hal karakter yang menurutnya
memiliki kesamaan dengan klan-klan dari Inggris utara.
Mengenai ‘orang-orang Waju’ yang disebut Raffles
sebagai pelaut yang mendominasi perdagangan luar negeri,
yang membentuk kru hampir semua perahu-perahu orang
Bugis yang menavigasi Laut Timur, sepertinya, yang
dimaksudkannya itu, tak lain adalah orang Bajou atau Bajoe
(penyebutan Bugis). Terkait hal ini, James Cowles Prichard
dalam Researches Into the Physical History of Mankind:
History of the Oceanic and of the American Nations. Vol. V
(1847: hlm. 90) menjelaskan sebagai berikut:
'Biaju' mungkin sama dengan 'Baju' atau 'Badju' dan
'Waju', istilah yang dipergunakan di pesisir Makassar di
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 17

Sulawesi, dan juga untuk orang-orang tidak umum yang


hidup di atas laut di prahu, dan yang resor utamanya
adalah pantai timur Kalimantan dan pantai barat pulau
Sulawesi. Orang-orang yang disebutkan terakhir ini
biasanya disebut 'Badju Laut', atau 'Badju dari laut'.
Orang Waju dari Sulawesi adalah orang-orang yang lebih
terpelajar daripada Biaju dari Kalimantan, dan
peradaban mereka tampaknya sezaman dengan orang-
orang Bugis Celebes, yang mana adalah tidak mungkin
untuk membedakan mereka. Di Singhapore orang-orang
Waju umumnya disebut Bugis. Marsden mengatakan
bahwa mereka disebut Tuwaju. Saya tidak memiliki
keraguan sedikit pun bahwa Biaju atau Baju Dayak,
Badju atau Baju Laut, Waju atau Tuwaju, dan Bugis atau
Ugi adalah satu dan orang yang sama, dengan hanya
sedikit variasi dalam sopan santun yang merupakan
hasil dari pemisahan dan hubungan dengan orang asing.
Dalam buku “Penjelajah Bahari” (2008: Hlm. 99)
merupakan terjemahan dari judul asli: “The Phantom
Voyagers”, Robert Dick mengungkap hal yang sama bahwa
bahasa dan kebiasaan-kebiasaan orang Bajo, seperti halnya
orang bugis yang merupakan “sepupu” mereka, mengalami
perubahan secara konstan sebagai akibat dari hubungan
mereka dengan bangsa-bangsa lain. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa Kemauan mereka untuk mengambil
dan menggunakan bahasa-bahasa dari penduduk yang
mendiami pulau-pulau merupakan bagian penting yang
harus dicatat. Hal tersebut bahkan berlaku hingga benda-
benda yang penting bagi ke hidupan mereka, seperti istilah-
istilah yang berhubungan dengan kapal, yang dianggap
sebagian orang tidak akan mengalami perubahan. Adrian
Horridge, yang memahami permasalahan itu dengan baik
18 | Fadly Bahari

pada 1970-an dan 1980-an, menulis: “Sebagai pelaut yang


sering berkelana ke sana-kemari, mereka sangat cepat
mengadopsi bahasa lokal dan mulai menggunakan kata-kata
dalam bahasa tersebut untuk menyebut perahu dan
peralatan mereka, dan hal itu sungguh amat
mencengangkan.”
Sebaliknya, ada pula fakta bahwa orang-orang Bajo,
Bugis, Makassar, Mandar, dan kelompok-kelompok lain
yang masih memiliki kekerabatan yang mendominasi
“dunia perahu”, masing-masing memiliki istilah yang sangat
berbeda untuk bagian-bagian dari perahu. Perbendaharaan
kata khusus itu terbentuk selama bertahun-tahun; dengan
demikian, beragamnya jenis kapal menunjukkan adanya
pengembangan secara bertahap selama periode yang lama,
dan pada saat yang sama menunjukkan beragam gaya
hidup yang mengisyaratkan bahwa orang-orang Bajo dan
Bugis telah berkelana sampai ke tempat yang jauh.
Selain keahlian bahari mereka, bangsa Bugis mempunyai
reputasi sebagai pedagang dan juga prajurit yang setia
sekaligus kejam. Selama berabad-abad mereka merupakan
pemain utama dalam pengangkutan rempah-rempah, kayu
cendana, mutiara, ambergris, damar, sarang burung walet
yang dapat dimakan, sagu, dan sirip ikan hiu yang
dikeringkan, untuk diperdagangkan di Cina bagian selatan.
Ketika Portugis datang pada awal 1500-an, bangsa Bugis
juga telah dikenal sebagai bajak laut yang menjual hasil
rampasan mereka hingga ke Malaka. Bahkan pada 1970-an,
sekitar dua ratus kapal yang dikenal sebagai kapal pinisi
milik bangsa Bugis yang beratnya antara 120-200 ton,
masih bisa ditemukan memenuhi pelabuhan Sunda Kelapa
di dekat Jakarta, dan lebih banyak lagi di Surabaya atau
Ujung Pandang. Dan pada 1980-an, armada yang terdiri
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 19

dari 800 pinisi masih membawa kayu dalam rute reguler


dari Kalimantan ke Jawa. Bangsa Bugis juga merupakan
koloni bahari yang sukses, yang berhasil mendirikan pos-
pos perdagangan hampir di setiap pelabuhan Indonesia.
Pada abad ke-l7, mereka bahkan mengambil alih kerajaan
Johor, dan dalam kurun waktu 1820-1830, pada masa
masa pembentukan Singapura, bangsa Bugis sudah
memiliki tempat tinggal di sana.
William Marsden (1754-1836) seorang orientalis
berkebangsaan Inggris, dalam bukunya The History of
Sumatra (1784: hlm. 172) mengatakan:
"Orang-orang Bugis Makassar yang datang tiap tahun
untuk berdagang di Sumatra dianggap para penduduk
setempat sebagai teladan dalam cara bersikap, bangsa
Melayu meniru gaya berpakaian mereka, serta membuat
pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka.
Reputasi mereka tentang keberanian, yang melebihi
semua pelaut di perairan bagian timur, mendapat
sanjungan khusus. Mereka juga memperoleh rasa
hormat dari barang-barang mahal yang mereka
datangkan, serta semangat yang mereka tunjukkan
ketika membelanjakannya dalam permainan sabung
ayam dan opium".
Peta asal Belanda yang dibuat pada abad ke-18 dan
digambar kembali oleh navigator Bugis, menunjukkan
bahwa pelaut-pelaut gagah berani itu telah berhasil
mencapai Kepulauan Maladewa yang bentuknya
menggantung dari India seperti pukat/jaring yang dapat
menangkap semua pergerakan yang terjadi antara Asia
Timur dan Afrika. Tak ada yang tahu, sudah berapa lama
mereka berada di Maladewa. Tetapi, dengan melihat bentuk
20 | Fadly Bahari

kapal mereka yang lebih mirip dengan kapal lndonesia


dibandingkan dengan kapal India atau Arab, diperkirakan
hubungan itu sudah berlangsung sejak zaman dulu.
Sementara itu, Menurut H. Kahler (1975); Di Afrika
Selatan, Cape Melayu disebut Slameiers, yang
terkontaminasi oleh Selam (istilah Melayu untuk Islam) dan
Maleier (nama Afrika untuk Melayu). Pada abad 17 dan 18,
mereka rupanya disebut Bugis, Bougise atau Bugunesen,
nama penduduk bagian selatan Celebes(Sulawesi): Bugis.
[H. Kahler. "Der Islam Bei Den Kap-Malaien" - Handbook of
Oriental Studies. Section 3 Southeast Asia, Religions,
Religionen, Leiden, E. J. Brill, 1975, hlm. 127]
Uraian Thomas Stamford Raffles, James Cowles Prichard,
William Marsden, hingga Robert Dick di atas tentang profil
orang Bugis sebagai pelaut ulung sejak berabad-abad yang
lalu tentu saja sangat kontras dengan apa yang diungkap
Pelras dalam bukunya Manusia Bugis:
Orang Bugis sejak berabad-abad lamanya sebenarnya
merupakan salah satu suku bangsa yang paling tidak
dikenal di Nusantara. Ironisnya, dari sedikit
“pengetahuan” yang beredar mengenai mereka, sebagian
besar di antaranya justru merupakan informasi yang
keliru. Salah satu contohnya adalah anggapan bahwa
orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dahulu kala.
Anggapan itu bersumber dari banyaknya perahu Bugis
yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di berbagai
wilayah Nusantara – dari Singapura sampai ke Papua,
dan dari bagian selatan Filipina hingga ke pantai barat
laut Australia. Ada pula yang mengatakan, orang Bugis
pernah berhasil menyeberangi samudra Hindia sampai
ke Madagaskar. Orang pun lalu beranggapan bahwa
orang Bugis mungkin pelaut paling ulung yang ada di
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 21

wilayah Asia Tenggara. Padahal, dalam kenyataan


sebenarnya, orang Bugis pada dasarnya adalah petani.
Sedangkan aktivitas maritim mereka baru benar-benar
berkembang pada abad ke-18 Masehi. Adapun perahu
pinisi’ yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan
ahun, bentuk dan model akhirnya sebenarnya baru
ditemukan antara penghujung abad ke-19 hingga decade
1930-an. Demikian pula halnya dengan predikat bajak
laut yang diberikan kepada orang Bugis, sama sekali
keliru dan tidak mendasar. [Christian Pelras, “Manusia
Bugis,” Jakarta: Nalar bekerja sama Forum Jakarta-Paris,
EFEO, 2005, hlm. 3-4]
Pernyataan Pelras yang saya kutip di atas sulit untuk
tidak bisa dianggap memiliki maksud-maksud tertentu.
Terlepas dari dugaan saya ini, tentu saja saya sangat
mengapresiasi tinggi upaya Pelras dalam menyusun buku
Manusia Bugis yang kaya akan berbagai sumber literatur,
tapi, pencapaian baik tersebut, saya pikir, tentu saja tidak
boleh membuat kita lalai dalam memberi kritik terhadap
hal-hal yang memang sudah sepatutnya mendapatkan
kritik.
Sejujurnya, menjadi hal yang mengherankan bagi saya
bahwa dengan materi literatur sedemikian banyak itu, pada
akhirnya, malah mengantarkan Pelras tiba pada keputusan
membuat pernyataan demikian. Saya pikir, mengatakan
aktivitas maritim orang Bugis baru benar-benar
berkembang pada abad ke-18 Masehi, yang sementara
dalam buku “The History of Java” yang ditulis Raffles pada
tahun 1817 (awal abad ke 19), tergambar bagaimana telah
mapannya sistem perdagangan dan pelayaran lintas benua
orang-orang Bugis, hal yang bisa dikatakan membutuhkan
hingga ratusan tahun untuk dapat terbentuk secara mapan
22 | Fadly Bahari

seperti itu. Dengan demikian, ini jelas menunjukkan


kurangnya kedalaman analisa Pelras. Bagaimana pun juga,
kemampuan navigasi dan berbagai hal terkait pelayaran
bukanlah sesuatu yang dapat dikuasai secara instant,
setidaknya di masa itu yang belum ada sekolah khusus
pelayaran seperti masa sekarang ini. Di masa itu,
kemampuan melaut adalah kemampuan yang diturunkan
secara alami dari orang tua ke anak-anaknya.
Sebagai contoh kasus, dapat kita lihat pada kisah tentang
Nabi Sulaiman yang meminta orang-orang Phoenicia untuk
membantunya membangun sebuah armada laut dan
mengajarkan orang-orangnya menguasai teknik pelayaran.
Kerjasama itu berhasil, dan sebagaimana dikisahkan dalam
Alkitab Raja-Raja 1, Mereka sampai ke Ofir dan dari sana
mereka mengambil empat ratus dua puluh talenta emas,
yang mereka bawa kepada raja Salomo (Sulaiman).
Demikianlah, pada akhirnya, ketika masa Nabi Sulaiman
berakhir dan hubungan kerjasama pelayaran tidak lagi
berlangsung dengan orang-orang Phoenicia, maka berakhir
pula-lah sejarah pelayaran bangsa Ibrani. (adapun siapa
sesungguhnya orang-orang Phoenicia ini akan saya bahas
khusus pada bagian akhir buku ini. Saya tidak menjamin
apakah hipotesa saya mengenai mereka benar atau tidak –
tapi setidaknya uraian tersebut beserta fakta-fakta yang
saya ajukan, sekiranya dapatlah untuk dipertimbangkan).
Antropolog Gene Ammarell (direktur Southeast Asia
Studies di Ohio University) dalam bukunya “Navigasi Bugis”
mengatakan bahwa: tradisi melaut orang Bugis mungkin
yang terbesar di dunia, aktor utama diaspora Austronesia.
Gene Ammarell juga mengatakan bahwa capaian navigasi
tersebut merentang setidaknya sejak 5 milenium lalu dan
melingkupi dua per tiga bumi, sebelum perahu-perahu
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 23

Eropa berlayar melampaui Samudera Atlantik. [Gene


Ammarell, Navigasi Bugis, Makassar, Ininnawa, 2014; 2016,
hlm. xiii]
Tidak ketinggalan Yuval Noah Harari mengungkap pula
hal yang senada dalam buku "sapiens": Teori yang paling
masuk akal mengajukan bahwa sekitar 45.000 tahun lalu,
Sapiens yang hidup di Nusantara (sekelompok pulau yang
terpisah dari Asia dan dari satu sama lain hanya oleh selat-
selat sempit) mengembangkan masyarakat-masyarakat
pelaut pertama. Mereka belajar bagaimana membangun
dan mengendalikan perahu untuk mengarungi laut lalu
menjadi nelayan, saudagar, dan penjelajah jarak jauh.
[Yuval Noah Harari. Sapiens, Jakarta, Kepustakaan Populer
Gramedia, 2017: hlm. 77]
Saya cenderung melihat bahwa apa yang diungkap
Pelras tersebut di atas ada kemiripan dengan kasus
Kontroversial terkait situs arkeologi Sriwijaya yang terjadi
di tahun 1974 hingga beberapa tahun kemudian, yang
diulas Pierre-Yves Manguin dalam tulisannya Palembang
dan Sriwijaya, Hipotesis Lama, Penelitian Baru (Palembang
Barat) yang terlampir dalam buku Kedatuan Sriwijaya –
Seri Terjemahan Arkeologi No. 11 – bahwa terjadi apa yang
disebut Pierre-Yves Manguin sebagai “serangan yang paling
parah” – yang datang dari sisi arkeologi lapangan pada
tahun 1974. Berikut kutipannya:
“Sebuah kerjasama gabungan antara University of
Pennsylvania Museum dan Dinas Purbakala Indonesia,
setelah tiga bulan penggalian di Palembang dan
sekitarnya, membawa Bennet Bronson, kepala tim
Amerika, pada kesimpulan-kesimpulan radikal atas
persoalan itu, yang kemudian disebarkan secara luas:
dalam hal apa pun, situs-situs Palembang tidak
24 | Fadly Bahari

membuktikan keberadaan situs kota yang penting


sebelum abad XIV atau abad XV; seluruh arca dan
prasasti dari millennium pertama Masehi yang datang
dari situs-situs tersebut hanyalah hasil “peletakan
kembali” secara sistematis dan besar-besaran oleh
sebuah Negara yang berdiri di kemudian hari dan yang
berkeinginan untuk memperkuat kekuasaannya sendiri
atas kawasan ini dengan memakai atribut-atribut dari
luar kekuasaannya…” [Pierre-Yves Manguin. “Palembang
dan Sriwijaya, Hipotesis Lama, Penelitian Baru
(Palembang Barat)” dalam buku “Kedatuan Sriwijaya –
Seri Terjemahan Arkeologi No. 11”, Depok, Komunitas
bambu bekerjasama dengan École Française d’Extrême-
Orient dan Pusat Arkeologi Nasional hlm. 202]
Dari sudut pandang tertentu, Statement semacam ini
tentu saja bisa dilihat sebagai sesuatu hal yang sangat
merugikan bagi catatan kesejarahan suatu bangsa.
Beruntung bagi Palembang/ Sriwijaya bahwa segera pada
tahun 1979 ada tim yang ke Palembang untuk melakukan
survey yang dikepalai Satyawati Suleiman dan O. W.
Wolters, yang berhasil menetralisir keadaan tersebut.
Namun apa pun itu, dugaan terbaik yang bisa saya
munculkan Terkait uraian Pelras di atas, adalah bahwa
mungkin dugaan Pelras itu didasari oleh pemahaman
kelirunya yang membedakan antara orang Bugis dan Orang
Bajo, bahwa keahlian pelayaran adalah milik orang Bajo,
sedangkan orang Bugis hanyalah seorang petani saja.
Karena itu, untuk memperjelas hal ini, saya membahas
khusus dalam artikel berikutnya: Bugis dan Bajoe yang tak
ada bedanya.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 25

Adalah hal yang benar apa yang diungkap oleh James


Cowles Prichard (1847) … ; “Saya tidak memiliki keraguan
sedikit pun bahwa Biaju atau Baju Dayak, Badju atau Baju
Laut, Waju atau Tuwaju, dan Bugis atau Ugi adalah satu dan
orang yang sama, dengan hanya sedikit variasi dalam sopan
santun yang merupakan hasil dari pemisahan dan hubungan
dengan orang asing”. Pernyataan ini akan dapat kita lihat
kebenarannya dengan terlebih dahulu mengetahui asal usul
mereka dengan mencermati jejak-jejak yang mereka
tinggalkan dalam rekaman sejarah sejak masa kuno.
Dalam buku “Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad
III-VII” yang merupakan terjemahan dari buku dengan
judul asli: “Early Indonesian Commerce: A Study of The
Origins of Sriwijaya” O.W. Wolters membahas masalah
tentang istilah Po-ssū yang ramai diperdebatkan oleh para
sarjana selama lebih dari seratus tahun. Secara umum
terdapat dua golongan pendapat; yakni yang menyatakan
Po-ssū berarti Persia dan Po-ssū sebagai sebuah nama
tempat di Asia Tenggara.[1]
Saya melihat bahwa Mencermati polemik tentang Po-ssū
ini akan mengantarkan kita mengenal suku Bajoe di masa
kuno, bahwa istilah Po-ssū sangat mungkin ada keterkaitan
dengan nama Baju, Waju, Bajo atau Bajoe.
Berikut ini perdebatan para sarjana mengenai Po-ssū:
… Berbagai penjelasan telah diberikan tentang arti
istilah Possū seperti yang digunakan oleh penulis Cina
dalam konteks Asia Tenggara. Meskipun begitu, kondisi dan
sistem organisasi perdagangan laut Asia pada abad ke-5
dan ke-6 masih tetap merupakan dugaan. Lebih lanjut
26 | Fadly Bahari

Wolters mengatakan: Para sarjana yang berpendapat


bahwa Po-ssū berarti Persia membuat kesimpulan bahwa
orang Persia telah menguasai laut selama masa itu,
sedangkan mereka yang berpendapat bahwa ungkapan itu
mungkin merupakan nama tempat di Asia Tenggara
mengalami banyak kesulitan teks, hingga mereka tidak
dapat menentukan identitas para pedagang pada masa
itu.[2]
Pernyataan Wolters tentang “kesulitan teks” bisa
dikatakan senada dengan yang diungkap Prof. Liang Liji
dalam bukunya (Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis: 2000
Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia, 2012)
bahwa banyak negeri yang namanya dieja dengan bahasa
Mandarin dan ditulis dalam aksara Tionghoa sehingga agak
jauh menyimpang dari bunyi aslinya. Hal itu tentu akan
menimbulkan kontroversi di kalangan ilmuwan dalam
memastikan nama negeri yang sebenarnya. Prof. Liang Liji
juga mengatakan bahwa perkataan dari bahasa Mandarin
berupa monosilabel, terdiri dari satu suku kata. Jadi, bagi
orang Tionghoa, terasa sulit kalau menyalin kata asing yang
terdiri dari multi suku kata sehingga sering disingkat
menjadi satu atau dua suku kata dengan mengambil suku
kata yang terkesan baginya. ”Amerika Serikat”, misalnya,
disalin secara singkat menjadi ”Mei Guo”. Dari kata ”A-me-
ri-ka” yang terdiri dari empat suku kata itu, hanya suku
kata yang berbunyi me yang diambilnya, karena bunyi itu
yang dirasa mengesankan. Adapun ”United States” yang
panjang itu disingkat menjadi "Guo” saja yang berarti
“negara”. Itulah yang menyulitkan untuk mencari bunyi
lengkap dari suatu nama asing kalau berdasarkan catatan
bahasa Mandarinnya.[3]
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 27

Tapi kondisi “kesulitan teks” tersebut tentu saja tidak


sampai pada situasi yang membuat para ahli benar-benar
tidak mampu mengidentifikasi kata-kata yang dimaksud.
Ciri-ciri geografis yang digambarkan hingga barang-barang
yang disebutkan dalam naskah kuno Cina tersebut tentu
saja dapat menjadi acuan identifikasi para ahli.
Mengenai perdebatan mengenai Po-ssū, nampaknya
Wolters sangat merujuk referensi-referensi yang berasal
dari Bretschneider (1871), dan nampaknya Bretschneider
sangat yakin dengan pendapatnya bahwa Po-ssū adalah
Persia, sebagaimana pernyataan yang ia ungkap dalam
bukunya; There can be no doubt that the Po-ssū kuo
described in the Chinese annals in the sixth and seventh cent.,
is the same as Persia (Dynasty of the Sassanides).[4] Ia pun
mengatakan bahwa; sudah pasti bahwa arab dan juga
persia melakukan perdagangan besar dengan Sumatra
selama abad pertengahan, dan mungkin juga ada koloni di
sana. Dengan cara ini mudah untuk memahami bagian
dalam buku-buku Cina, bahwa Sumatera identik dengan
Possu dan Kerajaan Ta-shi..., di mana Mr. Phillips
membumikan pandangannya tentang Possu.[5]
Selain Bretschneider, Wolters mengatakan bahwa
Groeneveldt Beal, Chavannes, dan Takakusu juga secara
konsisten menerjemahkan Po-ssū sebagai "dari Persia".
Para penulis itu menerjemahkan teks-teks yang
membicarakan keadaan tersebut terjadi tidak lebih awal
dari abad ke-7, tetapi pada 1911 Hirth menguatkan lagi
pendapat ini khusus tentang abad ke-6, ketika ia
menyatakan bahwa barang-barang yang dianggap berasal
dari Persia dalam Wei shu dan Sui shu menunjukkan bahwa
para pedagang Persia telah membawanya ke Cina.[6]
28 | Fadly Bahari

Adalah Philips (1869) yang menyatakan pendapatnya


yang lain, yang menimbulkan ketidaksenangan di kalangan
peneliti, yaitu pendapat bahwa Po-ssū sama dengan Persia
tidaklah dapat menjelaskan segala-galanya. Po-ssū bisa jadi
merupakan transkripsi nama tempat di Asia Tenggara.
Dengan mengutip Tung hsi yang k'ao, Phillips
mengemukakan bahwa Po-ssu mungkin adalah "Pasai"
yang letaknya jauh di pantai utara Sumatra. Teori itu
mendapat dukungan pada tahun 1899 ketika Tsuboi
Kumazo menemukan sebuah teks Jepang dari permulaan
abad ke-12. Ia memberikan pelafalan angka dalam bahasa
Po-ssū yang ternyata sangat mirip sekali dengan pelafalan
angka dalam bahasa Melayu.[7] Catatan tersebut
mencakup; sasaa, toa, rima, namu, sa-i-bira, dan kata-kata
itu telah dibandingkan dengan pengucapan Melayu satu (1),
dua (2), lima (5), enam (6) dan Sembilan (9). Laufer
menyatakan telah dapat mengidentifikasikan kata-kata
Melayu yang dapat digolongkan pada kata-kata Po-ssū.[8]
Pada 1909, Gerini yang sangat berminat
mengidentifikasi dengan pasti nama-nama tempat di Asia
Tenggara dari transkripsi Cina mengubah teori Pasai itu
agar dapat menyamakan Po-ssū dengan "Lambesi", yaitu
sebuah kampung dekat Aceh. Suatu keberagaman topografi
yang lebih signifikan diketengahkan oleh Parker pada 1893.
Ia menemukan satu referensi tentang lokasi Po-ssū dalam
uraian Hsin T'ang shu yang berkaitan dengan misi Pyu ke
Cina pada permulaan abad ke-9. Dalam uraian itu, Po-ssū
jelas terletak di Burma. Sejak 1869, ketika Phillips memulai
kajian tentang Po-ssū, para sarjana sudah dapat
memanfaatkan teks-teks Cina dari berbagai abad. Kajian
dimulai dari sejarah kerajaan yang membicarakan tentang
abad ke-6 sampai pada Tung hsi yang k’ao dari abad ke-17.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 29

Hanya ketika Laufer memasuki bidang ini pada 1919


pembicaraan mulai terpusat pada senarai teks yang lebih
spesifik, terutama teks zaman T'ang dan Sung. Laufer juga
menjadi orang pertama yang tidak lagi menganggap cukup
hanya dengan memberikan penjelasan yang wajar tentang
masalah Po-ssū tanpa memberikan alasan-alasannya.
Memasuki pertengahan bab X buku “Kebangkitan dan
Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII” dalam pembahasannya
tentang istilah Po-ssū, Wolters Nampak telah lebih banyak
memberikan uraian-uraian yang mengarahkan Po-ssū
identik dengan Asia tenggara. Seperti pada uraian berikut
ini:
Dalam teks-teks T'ang dan Sung, akan ditemukan
beberapa referensi tentang Po-ssū yang menurut
pengertiannya adalah nama sebuah tempat atau
penduduk di Asia Tenggara. Sekalipun tidak ada bukti
yang menyatakan bahwa pernah terdapat sebuah pusat
perdagangan penting di daerah itu yang bernama Po-
ssū, dalam beberapa teks yang dituliskan oleh Laufer,
orang Cina mungkin telah menggunakan istilah tersebut
sebagai nama sebutan untuk penduduk Asia Tenggara
yang nenek moyangnya berperan besar dalam
menjalankan perdagangan Persia pada abad ke-5 dan
ke-6.
Kemungkinan ini dapat memberikan penjelasan pada
bukti yang aneh tentang penulis Jepang Oe Tadafusa
yang meninggal pada 1111. Ia menyusun daftar kata-
kata hitungan Po-ssū yang mengandung beberapa kata
hitungan yang jelas-jelas berasal dari bahasa Melayu.
Pemakaian nama sebutan itu dapat juga memberikan
penjelasan tentang satu bagian dalam Sung Shih. Pada
992 M, para utusan dari Jawa tiba di daerah Ting Hai di
30 | Fadly Bahari

Pantai Chekiang. Mereka mengunjungi Pengawas


Perdagangan Chang Su yang kemudian mengirimkan
laporan tentang para utusan itu kepada raja. Ini adalah
utusan Jawa yang pertama sejak 860-873 M.[9]
Pada bagian yang lain ia kemudian mulai
berargumentasi bahwa Kemungkinan orang Cina
menggunakan istilah Po-ssū sebagaimana sebutan terhadap
keturunan para pedagang Asia Tenggara abad ke-5 dan ke-
6. Referensi-referensi tentang kapal-kapal Po-ssū pada
masa itu pun dapat membantu menetapkan identitas para
pedagang yang membawa muatan "Persia" ke Cina ketika
teks-teks kuno itu ditulis… mengenai argumentasi ini, jika
saja Wolters membaca uraian Raffles dalam “The History of
Java” tentang bugis dan Bajoe, mungkin ia akan mendapat
perspektif yang lebih mencerahkan tentang Po-ssū (Baju,
Waju, atau Bajoe) dan eksistensinya di Nusantara di masa
lalu, sebagaimana bunyi kalimat dari Raffles yang kembali
saya kutip; “Meskipun orang Bugis, pada umumnya,
dianggap sebagai pedagang besar, perdagangan luar negeri
tampaknya hampir secara eksklusif terbatas pada orang-
orang Waju. Orang-orang ini menetap dalam jumlah yang
cukup besar di semua pelabuhan perdagangan, dari Acheen
ke Manilla, dan merekalah yang membentuk kru hampir
semua perahu-perahu orang Bugis yang menavigasi Laut
Timur.” Pada kutipan ini disebutkan bahwa orang Waju
(bajoe) menetap dalam jumlah yang cukup besar di semua
pelabuhan perdagangan, dari Acheen yang merupakan
nama Aceh di masa lalu, hingga Manila (philipina). Uraian
Raffles ini mendukung pernyataan Phillips yang
mengemukakan bahwa Po-ssu mungkin adalah "Pasai", dan
Gerini yang menyamakan Po-ssū dengan "Lambesi", yaitu
sebuah kampung dekat Aceh.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 31

Catatan:
1. Lihat; O.W. Wolters. Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya
Abad III-VII, Bab X: Pengiriman barang “Persia” (Depok:
Komunitas Bambu, 2017) hlm. 161-187
2. Ibid, hlm 161
3. Prof. Liang Liji. Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis: 2000
Tahun Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia (Jakarta:
Penerbit buku Kompas, 2012) Hlm. 27-29
4. E. Bretschneider. On the knowledge possessed by the ancient
Chinese of the Arabs and Arabian colonies and other Western
countries mentioned in Chinese books (London: Trübner & co,
1871) Hlm. 5
5. Ibid, hlm. 16 (catatan 1)
6. O.W. Wolters. Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-
VII, Bab X: Pengiriman barang “Persia” (Depok: Komunitas
Bambu, 2017) hlm. 162
7. Ibid
8. Ibid hlm. 182 (bagian catatan 28 bab X)
9. Ibid, hlm. 165
32 | Fadly Bahari

Sejak mulai mengetahui tentang Asia Tenggara, orang


Cina sudah menggunakan istilah K'un-lun untuk menamai
bangsa-bangsa laut yang penting di daerah itu.[1] Hal ini
sesuai dengan pengantar I-Tsing (seorang pendeta Buddha
yang berangkat ke Malayu dan India) dalam bukunya A
Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the
Malay Archipelago[2] : …Di antara negeri-negeri ini, ada
yang kelilingnya kira-kira seratus batu Cina; ada yang kira-
kira seratus yojana. Meskipun sulit untuk menghitung jarak
di lautan besar, namun mereka yang telah biasa berlayar
dengan kapal dagang akan pandai mengira-ngira luasnya
pulau. Negeri-negeri itu semuanya dikenal atas satu nama
umum, yakni kepulauan K’ulun, karena utusan K’ulun yang
pertama kali datang di Ko-chin dan Kwang-tung.[3]
Mengenai penyebutan K’ulun yang dianggap tidak begitu
jelas, Pada bagian catatan kaki, Takakusu merujuk
pendapat Professor Chavannes sebagai berikut: “…'Voici,
d'après I-tsing lui-même (Nan-hai - ..., chap, i, p. 3 et 4) quelle
est l'origine de ce nom : ce furent des gens du pays de Kiue-
loen (掘倫) qui vinrent les premiers dans le Tonkin et le
Koang-tong; c'est pourquoi on prit l'habitude d'appliquer le
nom de Kiue-loen ou de Koen-loen (崑崙) à toutes les
contrées des mers du sud qui étaient alors fort peu connue.
Cependant, remarque I-tsing, ce nom a pris ainsi une
extension que rien ne justifie ; en effet, les gens du pays de
Kiue-loen sont noirs et ont les cheveux crépus, tandis que les
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 33

habitants des grandes-îes des mers du sud (les Malais) ne


diffèrent guere des Chinois.” …yang kurang lebih maksudnya
mempertegas kembali kalimat I-Tsing tentang asal usul
nama K’ulun, yaitu antara Kiue-loen (掘倫) dan Koen-loen
(崑崙), yang menurut I-Tsing jika menggunakan karakter
Kiue-loen (掘倫) akan merujuk pada sebutan orang Cina
untuk pulau Condore dimana orang-orangnya berambut
kriting dan berkulit hitam, sementara penduduk pulau-
pulau besar di Laut Selatan (orang Melayu) tidak berbeda
jauh dari orang Cina. Jadi, pada dasarnya I-Tsing pun juga
tidak paham dengan jelas mengapa Pelaut sekaligus
pedagang dari Nusantara yang pertama kali datang di Ko-
chin dan Kwang-tung disebut K’u-lun atau K’un-lun.
Mengenai ketidakjelasan asal usul kata K’u-lun atau
K’un-lun tersebut, saya memperkirakan bahwa mungkin
bentuk sebenarnya adalah 賈倫. Aksara 賈 (pinyin: jiǎ, gǔ,
jià) dapat berarti: nama keluarga; pedagang; beli;
perdagangan. Sementara, aksara 倫 (pinyin: Lún) dapat
berarti: hubungan manusia.[4] Dengan demikian, jika
bentuk pinyin yang kita pilih adalah gǔ Lún, kata ini secara
harafiah berarti “Manusia Pedagang”, hal ini sejalan dengan
terjemahan Pelliot atas sa-po Sebagai "orang Sabaen".
Bagian itu dimuat dalam uraian Fa Hsien tentang Sri Lanka,
yang menyatakan, sa-po berarti sarthavaha atau "kepala
saudagar".[5] Orang Bajo atau Bajoe sendiri menyebut diri
mereka “orang sama,”[6] yang dalam hal ini, dapat diduga
bahwa “sama” merupakan bentuk lain dari “saba”[7] yang
telah mengalami perubahan fonetik b menjadi m yang
umum terjadi pada kelompok fonetik labial.
34 | Fadly Bahari

Fakta-fakta ini dengan sendirinya membenarkan uraian


Raffles tentang orang waju atau Bajo yang dikatakannya
secara ekslusif menavigasi perdagangan luar negeri, yakni
dari Nusantara ke Cina, India, Persia, Madagaskar, Afrika,
dan lain sebagainya.
Jika hipotesis gǔ Lún sebagai bentuk asli dari K’u-lun
untuk menyebut pelaut dan pedagang dari laut selatan
(nusantara) dapat diterima, selanjutnya kita dapat
bergerak lebih jauh dengan menimbang bahwa jika sebutan
gǔ Lún merupakan bentuk transkripsi dari Cina, maka bisa
jadi bentuk aslinya adalah “gu-run” yang mana nama ini
dapat kita temukan disebutkan dalam naskah kakawin
Negarakretagama, pada pupuh 14: “Pulau Gurun, yang juga
biasa disebut Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak
diperintah seluruhnya. Bantalayan di wilayah Bantayan
beserta Kota Luwuk, Sampai Udamaktraya dan pulau lain-
lainnya tunduk.”[8]
Jika mencermati penyebutan Pulau Gurun sebelum
menyebutkan Bantayan (Bantaeng) dan Luwuk (Luwu)
maka dapat diduga yang dimaksud pulau Gurun di sini
adalah pulau Sulawesi. Hal ini juga dikuatkan dengan
menganalisa “sumpah palapa” dari Pati Gajah Mada yang
berbunyi: Lamun huwus kalah nusantara insu amukti
palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura,
ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Palembang,
Tumasik, samana isun amukti palapa.[9] (rincian letak
wilayah lihat pada gambar di bawah)
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 35

Dalam peta di atas dapat kita lihat bahwa semua daerah


yang dirinci dalam sumpah Palapa, secara umum mewakili
wilayah Nusantara dari timur hingga ke barat. Jika
seandainya ada pendapat yang mengatakan bahwa wilayah
gurun dalam sumpah palapa bukanlah pulau Sulawesi,
maka akan menjad terasa janggal jika Pati Gajah Mada tidak
menyebutkan pulau Sulawesi sebagai salah targetnya untuk
menyatukan wilayah nusantara. Sebagai catatan, nama
wilayah lain yang disebutkan dalam sumpah tersebut,
dapat dikatakan telah dapat teridentifikasi dengan baik.
Tersisa nama Gurun saja yang sejauh ini masih menjadi
tanda Tanya.
Demikianlah, Identifikasi ini dapat dikatakan sejalan
pula dengan fakta bahwa Sulawesi sebagai asal dari pada
orang Bajoe, jadi, adalah benar jika orang-orang Cina di
masa lalu menyebut pelaut dan pedagang dari laut selatan
(nusantara) sebagai “orang gǔ Lún” itu berarti mereka
merujuk pada pulau asal pelaut-pelaut tersebut yaitu pulau
Gurun; yakni nama lain pulau Sulawesi di masa lalu.
Ada pun penjelasan untuk kalimat “yang juga biasa
disebut Lombok Merah” – telah pula saya urai dalam buku
saya lainnya Negeri Kuno di Pulau Sulawesi bahwa nama itu
36 | Fadly Bahari

tidak lain adalah Shi li Po chi yang oleh kalangan ahli


sejarah dunia sepakat sebagai bentuk transkripsi dari
Sriwijaya. Saya melihat bahwa bentuk asli dari Shi li Po chi
adalah Chili Passe; Chili kita temui dalam bahasa Yunani[10]
sebagai Lombok, sementara dalam bahasa tae’ orang di
Luwu biasanya menggunakan kata cella (yang dalam
bahasa Indonesia berarti merah) sebagai wujud kata lain
dari penyebutan Lombok/cabe yang dapat diduga
berdasarkan pada kenyataan bahwa wujud lombok pada
umumnya berwarna merah. Sementara itu, Passe dalam
bahasa Tae’ berarti Pedas – sifat yang pada umumnya kita
temui seringkali tersimbolisasi dalam bentuk warna merah.
Uniknya, Passe pun juga berarti Lombok/cabe dalam
bahasa tae’.
Demikianlah, bahwa Chili Passe bisa juga bentuk aslinya
adalah Cella passe yang dalam bahasa Tae; Cella=merah,
passe=Lombok dengan demikian Cella passe berarti
“Lombok Merah”.
Dapat kita lihat bahwa kata Cella passe ada
kemungkinannya mengalami perubahan fonetis menjadi
Shi li Po chi jika ditranskripsi ke dalam bentuk Cina. Fakta
ini menunjukkan bahwa sangat mungkin asal dari Sriwijaya
sesungguhnya adalah Pulau Sulawesi. Bahwa Minanga
Tamwa(r) yang diriwayatkan dalam prasasti Kedukan Bukit
sebagai titik awal perjalanan Siddhayâtra Dapunta Hyang
sesungguhnya letaknya di Pulau Sulawesi.
Pada masa sekarang, budaya bugis sangat akrab dengan
ungkapan siri na pesse, jika boleh lebih jauh berandai-andai,
bisa jadi ungkapan ini bentuk dasarnya adalah siri pesse,
dan dengan demikian dapat terlihat pula bahwa bentuk
tersebut, melalui tinjauan fonetis cukup identik dengan
bentuk Chili Passe. Jadi, dapat diduga bahwa dalam kurun
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 37

waktu ratusan tahun, yang tadinya merupakan nama


wilayah, Chili Passe kemudian berkembang terjemahan dan
pemaknaannya kebentuk yang lebih filosofis, yakni sebagai
sebuah bentuk semboyan tentang sebuah prinsip “rasa
malu” dan “harga diri” yang mengarahkan orang bugis
secara totalitas menjaga nilai-nilai yang dikandungnya.
Keunikan lain dari kata Cella dan Lombok adalah bahwa
keduanya sesungguhnya memiliki arti “besar”. Kata Cella,
saya duga memiliki kaitan morfologi dengan kata salle yang
dalam bahasa tradisional di Sulawesi Selatan berarti
“besar”; sementara, Lombok saya duga memiliki kaitan
morfologi dengan kata lompo yang dalam bahasa
tradisional di Sulawesi Selatan juga berarti “besar”.
Sehingga bisa dikatakan bahwa masih banyak hal lain yang
nampaknya belum terungkap terkait kata-kata ini,
terutama mengenai mengapa nama itu digunakan untuk
penyebutan pulau Sulawesi di masa lalu, dan kedua, makna
mana yang sesungguhnya digunakan, apakah makna
“besar” atau makna “Lombok atau cabai”.
Jika mencermati kata Chi li yang dianggap oleh para ahli
sebagai transkripsi Cina untuk kata Sri (pada Sri-wijaya),
maka, kata ini, bentuk aslinya dalam bahasa sansekerta
adalah zrI ( श्री ) yang artinya: kemegahan / kejayaan /
kekuasaan. Dapat kita lihat bahwa makna tersebut
setidaknya juga memiliki kedekatan dengan makna “besar”
atau “the great” dalam bahasa Inggris.
Sebagai bahan tambahan, hipotesis Gǔ Lún sebagai
bentuk asli dari K’u-lun dan merupakan transkripsi dari
Gurun rupa-rupanya sangat sejalan dengan uraian Prof.
Edward H. Schafer seorang ahli Sinologi, sejarawan, dan
penulis Amerika dalam bukunya "The Golden Peaches of
Samarkand". Dalam buku ini, Schafer mengutip catatan
38 | Fadly Bahari

tentang K'un-lun dari Hui-lin seorang leksikografer


Buddhis dari Dinasty Tang pada abad kedelapan dan
kesembilan. Dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa
“…mereka juga disebut Kurung. Mereka adalah orang-orang
barbar di pulau-pulau besar dan kecil, dari Laut Selatan.”
Mereka sangat hitam, dan mengekspos sosok telanjang
mereka. Mereka bisa menjinakkan dan menyerbu binatang
buas, badak, gajah dan sejenisnya. Mereka juga disebutkan
unggul ketika mereka masuk ke air, karena mereka dapat
tetap di sana sepanjang hari dan tidak mati (Ketahanan di
dalam air ini sangat tepat dengan kemampuan yang dimiliki
oleh orang Bajo). Mereka juga disebut Persia "hitam"
(mengenai catatan Hui-lin tentang istilah Persia "hitam"
ini, saya pikir dapat menjadi jawaban untuk perdebatan
tentang Po-ssū - Para sarjana yang berpendapat bahwa Po-
ssū berarti Persia dan mereka yang berpendapat bahwa Po-
ssū merupakan nama tempat di Asia Tenggara memiliki sisi
kebenarannya masing-masing). Schafer juga mengungkap
Sumber-sumber lain yang mengklasifikasikan semua
negara di sebelah selatan Cina sebagai "Kurung," atau
menjadikan "kurung" memiliki arti yang sama dengan
istilah Dvipantara dari buku-buku sanskrit; tetapi
pernyataan Hui-lin tampaknya membatasi istilah itu
kepada orang-orang Indonesia yang tidak menerima
"manfaat" akulturasi India, yaitu, bagi penduduk asli pulau-
pulau yang tidak beragama Hindu.
Kutipan lebih lengkap dari buku Schafer "The Golden
Peaches of Samarkand" tentang orang K'un-lun bisa disimak
sebagai berikut:
Here is an account of the K'un-lun peoples by Hui-lin,
the great Buddhist lexicographer of the eighth and ninth
century:
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 39

They are also called Kurung. They are the barbarous


men of the islands, great and small, of the Southern Seas.
They are very black, and expose their naked figures. They
can tame and cow ferocious beasts, rhinoceroses,
elephants and the like. There are many races and varieties
of them; thus there are the Zangi, the Turmi [?], the
Kurdang [?] and the Khmer. All are simple, humble people.
Their nations have nothing of good form or social
responsibility. They rob and steal for a living, and are fond
of chewing up and devouring humans, as if they were
some sort of rakshas or evil ghosts. The languages they
speak are not correct and proper ones, being different
from those of the several "bulwark" nations. They excel
when they go in the water, for they can remain there the
whole day and not die.
In this account we see some remarkable instances of
chinese ethnocentric prejudice, especially those against
dark skins (they also called the Persians "black"!) and
against relative nudity, which had been regarded as
objectionable since Han times. Other sources classify all
countries south of China as "Kurung," or make "kurung"
the equivalent of the Dvipantara of the sanskrit books;
but Hui-lin's statement seems to limit the term to the
Indonesians who had not received the "benefits" of
Indian acculturation, that is, to the non-Hinduized
aborigines of the isles.[11]
Schafer juga membuat catatan bahwa selain Kunlun,
orang selatan ini kadang-kadang ditulis Gǔlóng 古龍 yang
arti dari aksara Hanzi ini adalah "Naga Kuno" ; 古 Gǔ
(kuno), 龍 lóng (naga).[12] Hal ini tentunya selaras dan
40 | Fadly Bahari

mendukung keberadaan suku kata “gu” pada hipotesis “Gu-


run”.
Dalam dokumen bernama Ḥudūd al-ʿĀlam[13] ( Arab :
‫" العالم حدود‬Batas Dunia"), yakni sebuah buku geografi abad
ke-10 yang ditulis dalam bahasa Persia oleh seorang
penulis tak dikenal dari provinsi Guzgān, di tempat yang di
kenal sebagai Jowzjan wilayah Afghanistan utara sekarang
ini, terdapat uraian mengenai suatu istilah dalam kegiatan
perdagangan di pasar-pasar kuno wilayah Lahore
(Pakistan) yang bernama “Bohni”. Istilah Bohni ini rupa-
rupanya masih terpakai dan menjadi kebiasaan umum
dalam kegiatan perdagangan orang-orang di wilayah
Pakistan dan India Utara hingga hari ini. Berikut
uraiannya…
Bohni atau boni adalah kebiasaan sosial dan komersial
terutama dari India Utara dan Pakistan yang mengacu pada
penjualan pertama hari itu.[14] Dalam “A dictionary,
Hindustani and English : accompanied by a reversed
dictionary, English and Hindustani” Bohni disebutkan
sebagai uang yang diterima untuk penjualan pertama di
pagi hari oleh penjaga toko dan pedagang keliling. Tidak
menerima kredit, dengan kata lain transaksi terjadi secara
tunai saja dan idealnya tanpa diskon,[15] meskipun
protokol sosial terkait dengan penjualan bohni berbeda
menurut wilayah.[16]
Beberapa kalangan berpendapat bahwa praktek ini
dikatakan berasal pada awal abad ke-18 di pasar akhir
pekan Lahore. Tradisi itu dilakukan sedemikian rupa
sehingga penjualan pertama pada setiap hari pasar dibuat
untuk kurcaci (orang kerdil) dengan tujuan agar
mendapatkan pertanda baik yang menguntungkan kegiatan
penjualan. Kurcaci dalam bahasa Hindustani dikenal
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 41

sebagai बौना “bauna.”[17] Sebagian orang berpendapat


bahwa “bohni” berasal dari kata “bauna” ini.
Di Jawa hal semacam bohni dikenal dengan istilah
penglaris, sementara di Sulawesi selatan khususnya pada
pedagang Bugis lebih dikenal dengan istiah Pammula Balu’.
Secara umum, hampir tidak ada perbedaan bentuk
sentimen pedagang di wilayah Pakistan atau India dengan
pedagang Bugis di Sulawesi Selatan mengenai budaya
dagang ini. Bagi pedagang di wilayah Pakistan dan India
Utara penjualan pertama (bohni) dipercaya berpengaruh
kepada kesuksesan kegiatan penjualan selanjutnya pada
hari itu. Adalah pertanda buruk jika pelanggan pertama
pergi tanpa melakukan pembelian sehingga pedagang
sangat berhati-hati untuk tidak membiarkan itu terjadi.
Pada momentum bohni, harga barang biasanya dibuat
relatif rendah agar penjualan dapat dimulai dan
keberuntungan dapat dipertahankan.[18]
Setelah transaksi bohni berhasil, kebanyakan orang yang
percaya takhayul akan meludahi uang hasil penjualan
pertama tersebut dengan harapan tindakan tersebut dapat
menghindarkannya dari kesialan pada hari itu. Pada
pedagang-pedagang di Sulawesi Selatan, praktek semacam
ini pun dapat kita jumpai, biasanya mereka meludahi lalu
melipatanya dengan baik kemudian menyimpannya di
bagian yang dianggapnya spesial di dalam tempat
penyimpanan uang.
Terkait tradisi bohni di wilayah Pakistan dan India utara
dengan Pammula balu dalam tradisi perdagangan orang
Bugis yang memiliki arti yang sama yaitu “Penjualan
pertama”, maka saya ada menduga kemungkinan tradisi
tersebut pada dasarnya berasal dari Pulau Sulawesi yang
dibawah ke wilayah sana oleh pelaut dan pedagang dari
42 | Fadly Bahari

Pulau Sulawesi, bahwa istilah bohni tersebut berasal dari


kata boni yang merupakan nama teluk di pulau ini, yakni;
teluk boni atau bone, asal dari para pelaut dan pedagang
ulung, sebagaimana yang dikatakan Thomas Stamford
Raffles dalam bukunya “The History of Java”: The Bugis,
indeed, is the great maritime and commercial state of the
Archipelago.[19]

Catatan:
1. Ibid
2. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Pada tahun 1896 M
oleh sarjana Jepang; Takakusu, dari judul aslinya;
南海寄歸內法傳 (pinyin: Nánhǎi jìguī nèifǎ zhuàn)
3. I-Tsing. A record of the Buddhist religion as practised in India
and the Malay archipelago - translated by J. Takakusu,
dengan judul; Buddhist Practices in India (Oxford, Clarendon
Press, 1896) hlm. 11. Dikutip Prof. Slamet Muljana dalam
bukunya “Sriwijaya” hlm. 49-51
4. Penjabaran makna aksara Hanzi ini dapat di lihat di alamat
situs ini: https://ctext.org/
5. Lihat O.W. Wolters. Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya
Abad III-VII, Bab X: Pengiriman barang “Persia” (Depok:
Komunitas Bambu, 2017) hlm. 169
6. Adrian B. Lapian. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah
Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (Depok: Komunitas Bambu,
2009), Hlm. 80
7. Mengenai kata “saba”, saya telah mengurai secara panjang
lebar dalam buku saya lainnya; Nusantara Titik Awal
Peradaban Manusia (yang segera pula akan terbit) sebagai
bentuk lain dari kata sabah, yang dalam bahasa Arab berarti
“pagi”, yang dengan berdasar pada temuan saya bahwa telah
ada suatu konsep pembagian zona waktu di masa kuno –
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 43

letak wilayah negeri Pagi atau negeri Sabah tepat berada di


wilayah Nusantara.
8. Slamet Muljana. Tafsir Nagarakretagama. (Yogyakarta: LKiS,
2006) Hal. 346
9. Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah
Kerajaan Majapahit. (Yogyakarta: LKiS, 2005) hlm. 254
10. Mengenai fenomena adanya keterkaitan bahasa Yunani dan
Bahasa Tae’ akan saya urai pada bagian menjelang akhir
buku ini.
11. Edward H. Schafer. The Golden Peaches of Samarkand: A
Study of T'ang Exotics. ((Berkeley: University of California
Press, 1963), hlm. 46
12. Ibid, hlm. 290
13. Ḥudūd al-ʿĀlam "The Regions of the World" Translate and
Explained by Vladimir Minorsky, 1930. (Printed at the
Oxford University Press, and Published by MESSRS. LUZAC &
CO, London, 1937)
14. S.W. Fallon. A new Hindustani-English dictionary with
illustrations from Hindustani literature and folk-lore.
(Medical Hall Press, 1879) hlm. 262
15. Duncan Forbes. A dictionary, Hindustani and English :
accompanied by a reversed dictionary, English and
Hindustani (London: Allen, 1866) hlm. 132
16. Area Study Centre (Central Asia)- Issues 5-7, University of
Peshawar, 1980
17. Ibid
18. Pramod Kumar Sinha - 1970, The depiction of folk-culture in
Vidyapati's prose.
19. Thomas Stamford Raffles. The History of Java. (London:
Printed for Black, Parbury, and Allen, Booksellers to the Hon.
East-India Company ... and John Murray ..., 1817) Hlm.
clxxxiii
44 | Fadly Bahari

Pada tulisan sebelumnya (Sulawesi: Disebut K'u-lun


dalam Kronik Cina dan Gurun dalam Kitab Nagara
Kretagama), telah saya urai pendapat bahwasanya di suatu
waktu pada masa lalu, pulau Sulawesi pernah dikenal
dengan sebutan K'u-lun (yang dapat ditemukan dalam
beberapa kronik Cina), dan sebutan Gurun (yang dapat
ditemukan dalam Kitab Nagara Kretagama).
Selain menyebut nama "Gurun" pupuh 14 Kakawin
Nagara Kretagama juga menyebut "lombok merah".
Berikut ini Pupuh 14 Kakawin Nagara Kretagamaa saya
kutip kembali :"Pulau Gurun, yang juga biasa disebut
Lombok Merah. Dengan daerah makmur Sasak diperintah
seluruhnya. Bantalayan di wilayah Bantayan beserta Kota
Luwuk, Sampai Udamaktraya dan pulau lain-lainnya tunduk.
Terkait penyebutan "lombok merah", saya menduga
sebutan ini bisa jadi ada keterkaitan dengan nama "Shi li Po
chi" yang terdapat dalam beberapa kronik Cina untuk
menyebut suatu wilayah di laut selatan.
Para ahli sejarah selama ini, pada umumnya bisa
dikatakan telah sepakat bahwa Shi li Po chi merupakan
bentuk transkripsi dari Sriwijaya. Alasan utama saya untuk
hipotesa tersebut ada pada bentuk sebutan "lombok
merah" dalam bahasa daerah di sulawesi selatan, yaitu:
Cella Passe (Cella = merah; Passe = Lombok atau pedis). Di
sisi lain, Chili atau tsili di dalam bahasa Yunani kita
temukan berarti "cabai/lombok." Dapat kita lihat bahwa
struktur fonetis "Shi li Po chi" dengan "Cella Passe" atau
"Chili Passe" memperlihatkan keidentikan.
Jika Hipotesis ini dapat diterima, pada giliran
selanjutnya, ini dapat dilihat sebagai Fakta yang
menunjukkan bahwa Minanga Tamwa(r) yang
diriwayatkan dalam prasasti Kedukan Bukit sebagai titik
awal perjalanan Siddhayatra Dapunta Hyang menuju
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 45

Melayu, sesungguhnya letaknya di Pulau Sulawesi, ini


dengan mempertimbangkan bahwa perjalanan tersebut
membutuhkan waktu sekitar 27-28 hari.
Berikut ini isi piagam kedukan bukit: (a) tanggal 11
bulan terang, waisaka Dapunta Hyang naik perahu. (b)
tanggal 7 bulan terang, Jyestha Dapunta Hyang berangkat
dari Minanga Tamwa(r) dengan tentara. (c) Tanggal 5
bulan terang bulan, Asada Dapunta Hyang datang membuat
wanua. (d) ....wihara ini di wanua ini. (Slamet Muljana.
Sriwijaya: 1960).
Sementara itu, dalam catatan perjalanan I-Tsing pada
tahun 671, ia menjelaskan bahwa ia setelah 20 hari
perjalanan pelayaran dari titik keberangkatannya di
Kwang-tung, kapalnya mencapai Kota Fo shih di negeri Shi
li fo shih. Di sana ia singgah selama enam bulan. setelah itu,
atas bantuan Raja Shi li fo shih (ia diizinkan berlayar
menggunakan kapal kerajaan), ia kemudian berangkat ke
melayu (yang pada bagian ini dia mengatakan: "yang
sekarang menjadi bagian shi li fo shih") lama pelayaran itu,
disebutkan selama 15 hari pelayaran. (Slamet Muljana.
Sriwijaya: 1960).
Uraian I-Tsing jelas menggambarkan jarak negeri Shi li
fo shih dengan tanah Melayu yang relatif jauh. Seperti
halnya tergambar pada perjalanan Dapunta Hyang yang
membutuhkan waktu sekitar 27-28 hari, yang mana dapat
diduga dikarenakan ia membawa rombongan pasukan
dalam jumlah yang besar. Demikianlah, dari mengetahui
nama lain dari pulau Sulawesi sebagai "lombok merah," dan
dengan memahami bahwa dalam bahasa daerah di sulawesi
selatan lombok merah disebut "Cella Passe" atau "Chili
Passe", kita dihadapkan pada pertimbangan bahwa besar
kemungkinan ia tak lain adalah "Shi li Po chi" yaitu toponim
dalam kronik Cina yang selama ini dianggap sebagai
transkripsi dari nama Sriwijaya.
Selanjutnya saya melihat ada kemungkinan bahwa
sebutan "Cella Passe", "Chili Passe", dan "Shi li Po chi"
46 | Fadly Bahari

memiliki keterkaitan kuat dengan frase yang sangat umum


dikenal dalam tradisi Bugis, yaitu: Siri na Pesse.
Antara kata "chili" dan "siri" dapat diduga terjadi
perubahan fonetis pada l dan r, yang umum terjadi diantara
fonetik artikulator konsonan dental (/ t / , / d / , / r / , / n /
, dan / l / ). Sementara itu, kata passe dan pesse bisa
dikatakan tidaklah ada perubahan karena keduanya umum
digunakan menurut masing-masing aksen bahasa dari
wilayah tertentu di Sulawesi Selatan.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 47

Dalam kesempatan ini, saya ingin menjabarkan suatu


hasil upaya identifikasi berita dari kronik Cina (terutama
dari masa dinasti Tang) tentang kerajaan Ho-ling, yang
menunjukkan keidentikan dengan berbagai hal yang
terdapat di pulau Sulawesi.
Upaya identifikasi tersebut meliputi tinjauan kebiasaan
masyarakat Ho-ling yang dikabarkan dalam kronik Cina
(tinjauan antropologi), toponim atau penamaan wilayah
(tinjauan linguistik), keunikan kawasan atau wilayah
tertentu (tinjauan geografis) hingga penyebutan nama
penguasa yang identik nama Raja/Datu dalam silsilah
kedatuan Luwu, yakni: Simpurusiang dan Tampa Balusu
(genealogi).
Menurut catatan Chiu T’ang shu (197: 3a) atau Old Tang
History, Ho-ling terletak di sebuah pulau di selatan.
Menurut Hsin Tang shu (222C: 3b) atau New Tang History,
Ho-ling terletak di laut selatan menghadap Po-li di timur
dan to-p’o-teng di barat. Kedua teks tersebut menyamakan
Ho-ling dengan She-po.
Hirth dan Rockhill (Chao Ju-kua, p. 60) menyimpulkan
bahwa Ho-ling adalah Jawa bagian barat dan mengusulkan
bahwa nama itu adalah transkripsi dari Kalinga di India,
dari mana para pemukim Hindu di Jawa sebagian besar
dianggap berasal.
Namun, Gerini menempatkan negara itu di Semenanjung
Melayu, sementara Schafer dalam “The Golden Peaches of
Samarkand (p. 67) menyebutnya Kalinga dan menganggap
sebagai sebuah negara di Jawa.
Hans Bielenstein (2005) dalam bukunya Diplomacy and
Trade in the Chinese World, 589-1276, mengatakan Mungkin
saja K’o-ling (Ho-ling) ada di Jawa, yang dalam hal ini
adalah pendahulu She-po.
48 | Fadly Bahari

Namun, catatan menunjukkan bahwa periode mereka


tumpang tindih. Pelliot mencatat pengiriman utusan dari
Ho-ling ke Tiongkok terjadi pada tahun 640 sampai 648,
666, 767, 768, 813, sampai 815 dan 818. Selama masa itu,
tidak ada penyebutan nama She-po.
Kronik Cina dari zaman dinasti Sung Awal (420-470 M)
ada menyebut nama She-po, yang berarti muncul sebelum
masa pencatatan Ho-ling, lalu muncul kembali pada tahun
820 sampai tahun 856 M, yakni setelah nama Ho-ling tidak
disebutkan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa utusan Ho-ling
ataupun She-po dianggap sama oleh orang-orang Cina.
She-p’o: Menurut Sung shih (489: 15b) dan Wen-hsien
t’ung-k’ao (332: 14b), terletak di laut selatan. Menurut Chao
Ju-kua (1170–1228) seorang pemeriksa pabean di kota
Quanzhou di Tiongkok pada masa Song akhir, She-po dapat
dicapai dari Chuan-chou (Quanzhou) setelah perjalanan
laut sekitar sebulan.
Sejarawan pada umumnya menganggap She-po adalah
sebutan untuk Jawa, namun demikian, terdapat pula
pendapat bahwa She-po yang dalam catatan Arab disebut
Zabaj, adalah suatu tempat di Sumatera, Semenanjung
Melayu, Kalimantan, dan Nusantara secara umum. Sehingga
dapat dikatakan bahwa letak Ho-ling atau She-po pada
dasarnya masih menjadi bahan perdebatan di antara para
sarjana.
Slamet Muljana misalnya dalam buku Sriwijaya,
mengatakan: Sudah terang bahwa pada zaman I-ts’ing,
nama Jawa itu sudah dikenal di kerajaan Sriwijaya, karena
pada piagam Kota Kapur yang dikeluarkan pada tahun 686
telah disebutkan bahwa “tentara Sriwijaya berangkat ke
bhumi Jawa.” Tentunya I-Ts’ing juga mengenal piagam
tersebut, setidak-tidaknya pernah mendengar nama Jawa,
karena ia lama menetap di Sriwijaya. Lagi pula ia adalah
orang yang mengagumi Fa-hien, padahal Fa-hien yang
berangkat dari Tiongkok pada tahun 414 telah menyebut
Jawadi, dan pada zaman dinasti Sung yang pertama (420-
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 49

578), telah disebut pula nama Yawada; maksudnya


Yawaswipa.
Suatu kenyataan ialah bahwa I-Tsing menyebut Ho-ling.
Andaikata yang dimaksud oleh I-Tsing adalah Jawa, pasti ia
akan berusaha mendeskripsikan nama Jawa itu dengan
ucapan Tionghoa yang mirip. Demikianlah, mungkin sekali
bahwa yang dimaksud dengan Ho-ling itu memang bukan
pulau Jawa.

Catatan I-Tsing tentang Ho-ling

Pada abad ke-7, kerajaan Ho-ling memegang peranan


penting dalam hal budaya dan keagamaan. Hal ini
sebagaimana yang dicatat I-Tsing (seorang bhiksu Buddha
Tionghoa yang mengunjungi Nusantara dan menetap 6-8
bulan pada tahun 671, sebelum kemudian melanjutkan
perjalanannya ke India), dalam bukunya “Ta-t’ang-si-yu-ku-
fa-kao-seng-ch’uan,” yang disusunnya pada tahun 691-692,
kemudian diterjemahkan Prof. Chavannes (1894) ke dalam
bahasa Perancis dengan judul “Memoire a l’epoque de la
grande dynastie Tang sur les religieux eminents qui allerent
chercher la Loi dans les pays d’Occident.“
Dalam memoire.., I-Tsing mencatat bahwa seorang
Pendeta Tionghoa Hwuai-ning pada tahun 644/645 secara
khusus berangkat dari Tiongkok menuju Ho-ling untuk
menerjemahkan bagian penutup Nirwanasutra, yang
menguraikan pembakaran jenasah Buddha dan
pengumpulan peninggalan-peninggalannya. (Slamet
Muljana: Sriwijaya, 1960; 2006; 2008; 2011).
Dalam masa tiga tahun (664/5 – 667/8) upaya
penerjemahan tersebut, Pendeta Hwuai-ning bekerjasama
dengan seorang pendeta Ho-ling bernama Yoh-na-po-to-lo,
yang kemudian oleh banyak sejarawan ditafsirkan sebagai
Jnanabhadra sebagai bentuk nama Sanskerta. Ketika
penerjemahan itu selesai, Hwui-ning memerintahkan
pendeta muda Yun-ki untuk membawanya pulang ke
Tiongkok. Setelah Yun-ki menyelesaikan tugasnya, ia
50 | Fadly Bahari

berlayar kembali ke Ho-ling. Sesampainya di Ho-ling,


Pendeta Hwui-ning telah berangkat ke India. Selanjutnya
Yun-ki tinggal sepuluh tahun di negeri laut selatan (Ho-
ling), menjadi murid Yoh-na-po-to-lo (Jnanabhadra). Ia
mempelajari bahasa Ku-lun dan paham bahasa Sanskerta.
Ketika I-Tsing menulis bukunya, Memoire, Yun-ki tinggal di
Shih-li-fo-shih dan berumur 30 tahun. (Slamet Muljana,
Sriwijaya).
Di dalam buku I-Tsing lainnya, “Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-
chu’an,” yang kemudian diterjemahkan J. Takakusu (1896)
ke dalam bahasa Inggris dengan judul “A Record of the
Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay
Archipelago,” terdapat petunjuk mengenai letak kerajaan
Ho-ling, walaupun bisa dikatakan samar-samar. Dalam
buku tersebut (Record…), I-Tsing merinci beberapa nama
negeri di Nusantara dari posisi arah barat ke timur, yang
kemudian oleh Takakusu, dalam buku terjemahannya,
mengidentifikasi nama negeri dengan penulisan Hanzi
tersebut sebagai transkripsi nama wilayah tertentu di
Nusantara. Berikut kutipannya…

Dicapture dari buku A Record of the Buddhist Religion as


Practiced in India and the Malay Archipelago, hlm. 10

Dari perincian nama negeri yang disebutkan I-Tsing,


nampak hanya Po-lu-shi, Mo-lo-yu, dan Mo-ho-sin yang
mudah diidentifikasi. Po-lu-shi adalah Barus, Mo-lo-yu
adalah Melayu, dan Mo-ho-sin adalah Banjar Masin. Nama
negeri selebihnya kemudian menjadi bahan perdebatan
para ahli.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 51

Berita-berita dari zaman Dinasti Tang


Catatan dari Dinasti Tang dikenal ada dua versi.
yakni Ch’iu-T’ang shu dan Hsin T’ang shu (618-906 M).
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia – Zaman
kuno (edisi pemutakhiran, 2008) dirangkum Berita tentang
Holing sebagai berikut…
Ho-ling juga disebut She-po, terletak di laut selatan.
disebelah timurnya terdapat Po-li dan di sebelah baratnya
terletak To-po-teng. Di sebelah selatannya adalah lautan,
sedang di sebelah utaranya terdapat Chen-la.
Tembok kota dibuat dari tonggak-tonggak kayu. Raja
tinggal di sebuah bangunan besar bertingkat, beratapkan
daun palem (?), dan ia duduk di atas bangku yang terbuat
dari gading. Dipergunakan pula tikar yang terbuat dari kulit
lembu. Kalau makan, orang tidak menggunakan sendok
atau sumpit, tetapi dengan tangan saja. Penduduknya
mengenal tulisan dan sedikit tentang ilmu perbintangan.
Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula
badak, dan gading. Kerajaan ini amat makmur; ada sebuah
gua (?), yang selalu mengeluarkan air garam.
Penduduk membuat minuman keras dari bunga kelapa
(atau bunga aren). Bunga pohon ini panjangnya dapat
mencapai tiga kaki, dan besarnya sama dengan tangan
orang. Bunga ini dipotong, dan airnya ditampung dijadikan
minuma keras; rasanya amat manis, tetapi orang cepat
sekali mabuk dibuatnya.
Di Ho-ling banyak perempuan yang berbisa; apabila
orang mengadakan hubungan kelamin dengan perempuan-
perempuan itu, ia akan luka-luka bernanah dan akan mati,
tetapi mayatnya tidak membusuk.
Di daerah pegunungan ada sebuah daerah yang bernama
Lang-pi-ya, raja sering pergi ke sana untuk menikmati
pemandangan laut. Apabila pada pertengahan musim panas
orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki, bayangannya
akan jatuh ke sebelah selatannya, da panjangnya dua kaki
empat inci.
52 | Fadly Bahari

Dalam masa Chen-kuan (627-649 M), raja Ho-ling


bersama dengan raja To-ho-lo dan To-po-teng,
mengirimkan utusan ke CIna menyerahkan upeti. Kaisar
memberikan surat jawaban dengan dibubuhi cap
kekaisaran, dan ketika utusan To-ho-lo meminta kuda-kuda
yang baik, permintaan itu dikabulkan oleh Kaisar.
Utusan dari Ho-ling datang lagi pada tahun-tahun 666,
767, dan 768. Utusan yang datang pada tahun 813 M (atau
815 M) mempersembahkan empat budak Sheng-chih
(jenggi), burung kakatua yang bermacam-macam
warnanya, burung p’in-chia (?), dan benda-benda yang lain.
Kaisar sangat berkenan hatinya, dan memberikan anugerah
gelar kehormatan kepada utusan itu. Utusan itu mohon
agar gelar itu diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat
terkesan akan sikap itu, dan memberi anugerah gelar
kehormatan kepada keduanya.
Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan
seorang perempuan sebagai ratu yaitu ratu Hzi-mo [Sima].
Pemerintahannya meskipun sangat keras akan tetapi adil.
Barang-barang yang terjatuh di jalan tidak ada yang
berani menyentuhnya. Pada waktu raja orang-orang Ta-
shih mendengar berita semacam itu, ia mengirim pundi-
pundi berisi emas untuk diletakkan di jalan di negeri ratu
Hsi-mo. Setiap orang yang melewatinya menyingkir;
sampai tiga tahun pundi-pundi itu tidak ada yang
menyentuhnya.
Pada suatu hari putra mahkota yang lewat di situ tanpa
sengaja telah menginjaknya. Ratu sangat marah, dan akan
memerintahkan hukuman mati terhadap putra mahkota.
Para menteri mohon pengampunan baginya. Akan
tetapi, ratu mengatakan bahwa karena yang bersalah
adalah kakinya, kaki itu harus dipotong. Sekali lagi para
menteri mohon pengampunan; akhirnya ratu
memerintahkan agar jari-jari kaki putra mahkota itu yang
dipotong, sebagai peringatan bagi penduduk seluruh
kerajaan. Mendengar hal itu raja Ta-shih takut dan
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 53

mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan ratu


Hsi-mo.
Dalam berita Cina lainnya ( masih dari masa dinasty
Tang), disebutkan bahwa raja Ho-ling tinggal di kota She-
p’o (She-p’o-tch’eng), tetapi leluhurnya yang bernama Ki-
yen telah memindahkan pusat kerajaan ke timur, ke kota
P’olu-chia-ssu.
Menurut Berita dalam Ying-huan-tchelio perpindahan
itu terjadi dalam masa T’ien-pao, yakni disekitaran tahun
742-755 M (BEFEO/ 4/ 1904 – Paul Pelliot, “Deux
itineraires…”, hlm 225).
L-C. Damais menyebutkan bahwa berita perpindahan itu
termuat dalam Yuan-che-lei-pin yang ditulis pada tahun
1669 M, dan bahwa perpindahan itu terjadi dalam masa
T’ien-pao, antara tahun 742 dan 775 M atau tahun 664 dan
667 Saka (L-C. Damais, BEFEO, LII, fasc. 1, 1964, hlm. 138).
Di sekeliling She-po ada 28 kerajaan kecil, dan tidak ada
diantaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat tinggi
kerajaan, dan yang terutama di antara mereka ialah ta-tso-
kan-hsiung (W. P. Groeneveldt, Historical Notes, hlm. 12-
15). Demikianlah berita tentang Ho-ling yang terdapat
dalam kronik dari masa dinasti Tang.

Interpretasi berita-berita dari masa dinasti Tang


Secara umum saya mengidentifikasi bahwa Kerajaan Ho-
ling berada di pulau Sulawesi. Ini didasari oleh karena
beberapa fakta terkait Ho-ling yang disebutkan dari kronik
cina (dinasty Tang) pada kenyataannya teridentifikasi
berada di pulau ini.
Namun sebelum saya membahasa satu demi satu fakta
tersebut, terlebih dahulu saya ingin menjelaskan suatu
toponim kuno bernama “karatuan” yang menunjukkan
keidentikan dengan dengan kata “kadatuan”. Perbandingan
keidentikan antara bentuk kata “karatuan” dan “kadatuan”
secara jelas kiranya dapat kita lihat pada bentuk kata
“kraton” dan “kdaton”.
54 | Fadly Bahari

Karatuan jelas berasal dari akar kata “Ratu” demikian


pula kadatuan berasal dari akar kata “Datu”, dan bahwa hal
ini merupakan wujud dari perubahan antara fonetis r dan d.
Di sisi lain, dalam beberapa prasasti, nama Sriwijaya
biasanya ditulis dengan sebuatan “Kadatuan Sriwijaya”.
Toponim “Karatuan” Saya temukan digunakan di 3
tempat di Sulawesi Selatan, yaitu: pertama, terdapat
toponim “karatuan” di kecamatan basse sang tempe –
kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan; kedua, toponim
“karatuang” di Tappalang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi
Barat; ketiga, toponim “karatuang” di kecamatan Bantaeng,
Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Toponim Karatuan di wilayah Basse Sang Tempe, Kabupaten


Luwu, Sulawesi Selatan.

Keberadaan toponim “Karatuan” di Bassa Sang tempe’


(Kabupaten Luwu) sebagai pusat kedatuan di masa lalu,
sejalan dengan adanya cerita lisan yang tersebar luas di
wilayah Luwu ataupun Toraja bahwa Raja-raja di Sulawesi
Selatan (Luwu, Toraja dan Gowa) berasal dari tabang di
kaki Gunung Sinaji yang masih berada di wilayah Basse
Sang Tempe’.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 55

Toponim Karatuang di wilayah Tappalang, Kabupaten Mamuju,


Provinsi Sulawesi Barat.

Sumber informasi terkait toponim “karatuang” di


Mamuju, Sulawesi Barat, sejujurnya sangat minim. Namun
begitu, beberapa blog di internet yang membahas asal usul
toponim karatuang di Sulawesi Barat, umumnya
mengaitkan hal tersebut dengan sosok bernama Tambuli
Bassi, sebagai tokoh penting dalam cerita tradisional
masyarakat setempat.

Toponim Karatuang di Wilayah kecamatan Bantaeng, Kabupaten


Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Sementara itu, Toponim “Karatuang” di Bantaeng, oleh


orang-orang di Bantaeng dikenal sebagai salah satu
56 | Fadly Bahari

perkampungan tua yang sarat nilai sejarah. Ini sejalan


dengan apa yang diungkap oleh Bupati Bantaeng, Ilham
Azikin, ketika pada masa kampanyenya berkunjung ke
wilayah tersebut, dan menyebutkan bahwa “Karatuang
adalah salah satu sentra perkembangan budaya di
Bantaeng”. Dalam kesempatan kunjungan Bapak Ilham
Azikin itu warga Karatuang memperlihatkan satu-satunya
kereta kencana kerajaan. (sumber berita: fajar.co.id)
Sebenarnya masih ada satu lagi kampung Karataun di
kecamatan Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat. Saya pikir
bentuk sebenarnya dari Karataun ini adalah Karatuan.

Toponim Karataun yang identik dengan bentuk Karatuan, yang


terdapat di wilayah Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat.

Bagi para Arkeolog nama Kalumpang tentu tidak asing


lagi. Karena di wilayah ini ditemukan banyak peninggalan
budaya Neolitik. Perhatian dunia Internasional terhadap
wilayah Kalumpang telah berlangsung sejak 1935. Ketika
P.V. Van Stein Callenfels mempresentasikan hasil
ekskavasinya di Bukit Kamasi pada 1933 dalam The Second
Congress of Prehistorians of the Far East di Manila
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 57

(Callenfels 1951). Kemudian Callenfels melakukan


penggalian di Situs Palemba yang juga terletak di Desa
Kalumpang, tepatnya di sisi selatan, pada sudut pertemuan
antara Sungai Karataun dan Sungai Karama.
(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/ – “Petutur
Austronesia Sudah Ada Sejak Sekitar 4000 Tahun Lalu di
Sulawesi“. Posted on Februari 12, 2016).
Penelitian di Situs Kamasi kemudian dilanjutkan oleh
Heekeren pada 1949, dengan membuka kotak ekskavasi di
sekitar kotak gali Stein Callenfels. Selain di Kamasi,
Heekeren (1972) melakukan survei di Minanga Sipakko
yang letaknya di tepi utara Sungai Karama, sekitar 4 km di
selatan Desa Kalumpang dan memperoleh temuan yang
serupa dengan temuan dari Kamasi. Temuan dari hasil
penelitian Stein Callenfels dan Heekeren itulah yang
menjadi tonggak awal penelitian arkeologi di wilayah
Kalumpang, sehingga memunculkan istilah budaya Neolitik
Kalumpang. (ibid)
Truman Simanjuntak melakukan penelitian ulang
terhadap Situs Minanga Sipakko pada 2004–2005, dan
menemukan sisa pemukiman Neolitik awal yang masih in
situ pada kedalaman 80-100 cm dari permukaan sekarang.
Penelitian intensif di situs Neolitik Minanga Sipakko
dilakukan kembali pada 2007–2008. Hasil ekskavasi di
Minanga Sipakko pada 2004–2005 dan 2007, dan di Kamasi
pada 2008 menunjukkan adanya lapisan hunian Neolitik
dengan karakteristik relatif sama, yang dimulai sekitar
3600 tahun yang lalu. (ibid)
Dengan menimbang berbagai hal terkait Karataun di
Kecamatan Kalumpang, maka dalam pembahasan
selanjutnya, Karataun (kalumpang) akan dimasukkan
dalam hipotesis sebagai toponim yang menunjukkan jejak
sebagai pusat kedatuan di masa kuno.
Dan berikut ini informasi dari kronik Cina yang saya
identifikasi berada pada wilayah Sulawesi Selatan…
“ada sebuah gua (?), yang selalu mengeluarkan air
garam.” kalimat yang lebih lengkap terdapat dalam buku
58 | Fadly Bahari

O.W. Wolters “Kebangkitan & Kejayaan Sriwijaya Abad III-


VII” hlm. 258 “Di pegunungan terdapat gua-gua, dan dari
dalam gua mengalir garam. Penduduk negeri ini
mengumpulkan garam itu dan memakannya.” Dugaan
saya bahwa gua-gua yang mengeluarkan air garam
kemungkinannya berada di dataran tinggi terjawab dengan
adanya kalimat yang lebih lengkap yang terdapat dalam
buku tulisan O.W. Wolters.
Keberadaan air garam di pegunungan memang menjadi
hal yang unik dan menarik untuk dicatat. hal semacam ini,
kebetulan dapat kita temukan di wilayah kaki gunung
Latimojong di Sulawesi selatan.
Untuk kebutuhan garam, penduduk di kaki gunung
latimojong seperti di wilayah Tibusan hingga Rante Balla,
Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu pada masa lalu
biasanya membasahi daun tertentu dengan air garam lalu
menjemurnya. ketika memasak, daun yang telah memiliki
kristal garam tersebut tinggal mereka celupkan di masakan
tersebut.
“Penduduk membuat minuman keras dari bunga
kelapa (atau bunga aren). Bunga pohon ini panjangnya
dapat mencapai tiga kaki, dan besarnya sama dengan
tangan orang. Bunga ini dipotong, dan airnya
ditampung dijadikan minuma keras; rasanya amat
manis, tetapi orang cepat sekali mabuk dibuatnya.” –
Dapat dikatakan membuat minuman beralkohol dari
pohon aren adalah tradisi yang sangat umum dikenal di
wilayah Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah Luwu
maupun Toraja. Minuman ini biasanya disebut Ballo’ (tuak).
“Di daerah pegunungan ada sebuah daerah yang
bernama Lang-pi-ya, raja sering pergi ke sana untuk
menikmati pemandangan laut.” – nama tersebut persis
sama dengan nama gunung langpiya (atau “lampia” dalam
pengucapan aksen lokal) di wilayah Luwu Timur. Bahkan
kabarnya, Anton Andi Pangerang, seorang bangsawan
sepuh, sejarawan dan antropolog yang terkemuka di Tana
Luwu, memiliki rumah peristirahatan di wilayah ini.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 59

Bulu Lampia/ langpiya dengan pemandangan laut di kejauhan.

Sebelumnya, Oleh beberapa sejarawan, Lang-pi-ya


diidentifikasi terletak di pulau Jawa, di desa Krapyak dekat
gunung Lasem. (E. W. van Orsoy de Flines, “Hasin, Medang,
Kuwu, Langpi-ya“, TBG, LXXXIII, 1949, hlm. 424-429;
Sejarah Nasional Indonesia – Zaman Kuno 2008, hlm 120-
121).
“Pada tahun 674 M rakyat kerajaan itu menobatkan
seorang perempuan sebagai ratu yaitu ratu Hzi-mo
[Sima]. Konon ratu ini memerintah dengan sangat
kerasnya, namun bijaksana sehingga Ho-ling menjadi
negara yang aman..” – Nama Ratu Sima identik dengan
Raja/ Datu ketiga dalam silsilah kedatuan Luwu, yang
kebetulan juga seorang perempuan, bernama
Simpurusiang, yang mungkin saja bentuk aslinya adalah si-
ma-pu-ru-si-ang.
Simpurusiang adalah datu ketiga dalam catatan silsilah
kedatuan Luwu yang melegenda. Dalam literature sejarah
Tana Luwu, diceritakan bahwa Simpurusiang adalah
sosok to manurung yang melanjutkan pemerintahan di
Kedatuan Luwu setelah masa kekosongan pemerintahan
yang belum diketahui berapa lamanya. Selama masa
kekosongan tersebut terjadi kekacauan, yang kuat
60 | Fadly Bahari

memangsa yang lemah, si-andre bale dalam ungkapan


bahasa bugisnya.
Dalam buku “The Early and the Imperial Kingdom in
Southeast Asian History” Hermann Kulke mengatakan
bahwa penobatan Ratu Sima sebagai penguasa Ho-ling
adalah wujud primus inter pares (utama/ pertama dari yang
sederajat) di antara dua puluh delapan bangsawan yang
menjadi penguasa negara kecil disekitarnya.
Artinya, meskipun Sima atau Simpurusiang sederajat
takaran kebangsawanannya dengan penguasa di wilayah
sekitarnya, namun karena dianggap memiliki kelebihan
khusus dalam hal kepemimpinan, maka akhirnya dialah
yang dinobatkan menjadi penguasa tertinggi dan
membawahi negera-negara kecil yang ada disekitarnya.
Di sekeliling She-po ada 28 kerajaan kecil, dan tidak
ada diantaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat
tinggi kerajaan, dan yang terutama di antara mereka
ialah ta-tso-kan-hsiung (W. P. Groeneveldt, Historical
Notes, hlm. 12-15).” – Terdapatnya 32 pejabat tinggi
kerajaan dalam pemerintahan Ho-ling, dapat diperkirakan
adalah terdiri dari utusan 28 negera kecil disekitarnya
ditambah 4 orang yang merupakan pejabat
kerajaan/kedatuan tingkat regional yang masing-masing
membawahi dan mengurusi 7 negara kecil di sekitarnya.
Sistem semacam ini, hingga hari ini masih dapat ditemukan
dalam sistem pemerintahan kedatuan Luwu.
Misalnya, Maddika Bua, membawahi/ mengurusi
wilayah : Kendari, Kolaka, Sangngalla’, Pantilang,
Wara/Palopo dan WalEnrang; Makole BaEbunta,
membawahi/ mengurusi wilayah : Donggala/Palu, Nuha,
Malili, Wotu, Mangkutana, BonE-BonE, MalangkE’,
Masamba dan Rongkong; Maddika Ponrang, membawahi/
mengurusi wilayah : Pitumpanua, Larompong, Suli, Bastem
(RantE Galla’).
Adapun nama ta-tso-kan-hsiung yang dikatakan
sebagai yang utama diantara seluruh pejabat tinggi
kerajaan Ho-ling, sangat identik dengan nama To
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 61

Ciung yang melegenda sebagai orang bijak dari Tana Luwu.


Dapat kita lihat bahwa “hsiung” sangatlah identik dengan
“Ciung”. Jadi dengan demikian, bisa jadi nama To Ciung
sebenarnya adalah nama jabatan pada masa kuno, yang
kemudian melegenda menjadi nama sosok orang bijak di
Tana Luwu pada hari ini.
“raja Ho-ling tinggal di kota She-p’o, tetapi nenek
moyangnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan
ibu kotanya ke timur, ke Po-lu-chia-sseu. Menurut
Berita dalam Ying-huan-tchelio perpindahan itu terjadi
dalam masa pemerintahan T’ien-pao, yakni disekitaran
tahun 742-755 M.” – Nama Po-lu-chia-sseu dan T’ien-pao
kuat dugaan saya ada keterkaitan dengan Raja/Datu kelima
dalam silsilah kedatuan Luwu, yakni: Tampa Balusu. Nama
T’ien-pao identik dengan “tampa”; sementara, Balusu
identik dengan “Po-lu-chia-sseu”.
Jadi, dapat diduga bahwa nama “Tampa Balusu” dapat
diurai terdiri dari: tampa = nama panggilan, gelar atau
julukan; sementara, Balusu = nama wilayah.
Masa pemerintahan T’ien-pao (tampa balusu) yang
disebutkan antara tahun 742-755 M, selisih sekitar 68
tahun dari masa penobatan Ratu Sima (674 M). Untuk hal
ini, dapat diduga bahwa rentang waktu 68 tahun tersebut
adalah terdiri dari masa pemerintahan Ratu Sima
(simpurusiang) dan putranya Anakaji (datu ke-4 dalam
silsilah kedatuan Luwu).
Mengenai berita dalam kronik Cina bahwa Ho-ling
menghasilkan kulit penyu, emas dan perak, cula badak,
dan gading, sepintaslalu akan membuat orang akan
berpikir bahwa karena di pulau Sulawesi tidak ada hewan
Badak dan Gajah, maka dengan sendirinya membuat
hipotesis gugur atau setidaknya akan dianggap lemah.
Namun penting untuk dipahami bahwa komoditas yang
diperdagangkan orang dari pulau Sulawesi di negeri Cina
bisa saja berasal dari pulau-pulau sekitarnya.
Daya jelajah orang Sulawesi untuk mendapatkan barang
dagangannya tak perlu diragukan. mereka tak segan
62 | Fadly Bahari

berlayar hingga ratusan mil ke pantai utara Australia hanya


untuk berburu teripang untuk kemudian dipasarkan ke
negeri Cina.
Demikian pula gading gajah ataupun cula badak. mereka
dapat saja berburu hingga ke pulau Jawa dan Sumatera,
mengumpulkannya, lalu menjualnya ke Cina. Dan karena
itu, tidaklah mengherankan jika kronik Cina kemudian
menyebut Ho-ling sebagai negeri penghasil komoditi cula
badak dan gading gajah.
Dengan ukuran panjang kapal hingga 65 meter, dan
dapat mengangkut hingga 600 orang, pada masa itu,
pelayaran dengan muatan hewan bertubuh besar bukanlah
suatu masalah. Setidaknya hal tersebut dapat kita cermati
pada berita dalam kronik Cina yang mengatakan bahwa
abad ke-7 utusan to-ho-lo yang berkunjung ke Negeri Cina,
memohon untuk diberikan kuda-kuda dengan jenis yang
baik, dan kaisar dikatakan mengabulkan permintaan
tersebut.

Perkiraan letak wilayah kerajan Ho-ling di Pulau


Sulawesi
Di pulau Sulawesi, Terdapat suatu toponim kuno
bernama “karatuan” yang menunjukkan keidentikan
dengan dengan kata “kadatuan”. Perbandingan keidentikan
antara bentuk kata “karatuan” dan “kadatuan” secara jelas
kiranya dapat kita lihat pada bentuk kata “kraton” dan
“kdaton”.
Karatuan jelas berasal dari akar kata “Ratu” demikian
pula kadatuan berasal dari akar kata “Datu”, dan bahwa hal
ini merupakan wujud dari perubahan antara fonetis r dan
d. Di sisi lain, dalam beberapa prasasti, nama Sriwijaya
biasanya ditulis dengan sebuatan “Kadatuan Sriwijaya”.
Dengan pertimbangan di atas, saya berasumsi bahwa
penggunaan sebutan “Karatuan” pada wilayah-wilayah
tertentu di pulau Sulawesi bisa jadi berlatar historis bahwa
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 63

di tempat itu, pada masa lalu, adalah merupakan pusat


kedatuan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, rekonstruksi
perpindahan ibu kota She-po lebih ke Timur (ke wilayah
Po-lu-chia-sseu) pada masa T’ien-pao (Tampa Balusu), saya
perkirakan, yakni dari karatuang (wilayah tappalang,
mamuju, Sulawesi Barat hari ini) atau Karataun (wilayah
Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat), ke wilayah Balusu
(wilayah Toraja Utara hari ini). lihat gambar berikut…

Beberapa wilayah dengan nama karatuan di pulau Sulawesi.

Adapun wilayah pegunungan di mana terdapat sumber


mata air asin, berada di wilayah karatuan (Basse sang
tempe’, kabupaten Luwu, Sulawesi selatan). Wilayah ini
tepat berada di sekitar kaki gunung Latimojong.
Sementara itu, Karatuang di wilayah Kabupaten
Bantaeng, Sulawesi Selatan hari ini, saya menduga menjadi
64 | Fadly Bahari

pusat kerajaan/ Kedatuan beberapa ratus tahun kemudian.


wilayah yang berada di ujung semenanjung pulau sulawesi
ini tentunya merupakan posisi yang strategis untuk
melayani kegiatan pelayaran dan perdagangan yang telah
ramai melintas dari wilayah barat ke timur Nusantara,
ataupun sebaliknya.
Demikianlah interpretasi saya terkait informasi kerajaan
Ho-ling yang bersumber dari kronik Cina. Lebih jauh
mengenai Interpretasi lainnya yang merujuk pada nama
wilayah (toponim) yang disebutkan dalam kronik Cina yang
kelihatan sangat identik pula dengan nama wilayah yang
ada di wilayah pulau Sulawesi, saya bahas pada tulisan
selanjutnya: Hipotesis Letak Geografis Ho-ling di Sulawesi.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 65

Upaya identifikasi letak kerajaan Ho-ling di Nusantara


dengan merujuk kronik Cina kuno telah banyak dilakukan
oleh para Ahli. Pembahasan mengenai hal ini oleh
sejarawan modern bisa dikatakan telah berlangsung lebih
dari seratus tahun.
Misalnya yang dibahas Junjiro Takakusu (1866-1945)
dalam bukunya A Record of Buddhist Practices Sent Home
from the Southern Sea, yang memuat terjemahan Nanhai
Jigui Neifa Zhuan, yakni catatan perjalanan biksu yijing (I-
Tsing) dari Dinasty Tang, yang merinci dua puluh lima
tahun masa ia tinggal di India dan Nusantara antara tahun
671 – 695 M. Buku ini diterbitkan oleh Junjiro Takakusu
pada tahun 1896.
Dalam rentang waktu pembahasan lebih dari seratus
tahun tersebut, telah banyak pendapat yang muncul dari
berbagai ahli terkait letak Ho-ling atau She-po yang dalam
kronik Cina dinyatakan sebagai sebutan untuk suatu
wilayah yang sama.
Berbagai perbedaan pendapat para ahli mengenai letak
She-po atau Ho-ling telah saya urai dalam tulisan
sebelumnya: Hipotesis Ini Buktikan Kerajaan Ho-ling
Terletak di Sulawesi, jadi dalam kesempatan ini saya hanya
akan fokus pada hipotesis yang ingin saya sampaikan saja.
Dalam upaya penyusunan hipotesis ini tentu saja saya
sangat memperhatikan pendapat yang diajukan oleh para
ahli sebelumnya. Dengan demikian harapan seperti
sebagaimana yang disampaikan O.W. Wolters bahwa “Suatu
usaha untuk mencari She-po… di tempat lain selain dari
Jawa haruslah didasarkan atas bukti baru dan meyakinkan,”
(Early Indonesian Commerce – A Study of The Origins of
Sriwijaya: 1967; 2011, hlm. 261) semoga saja dapat
terpenuhi dalam hipotesis ini.
66 | Fadly Bahari

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia II – Zaman Kuno


(2008, hlm. 119), diungkap rincian letak Ho-ling dengan
merujuk berita dari zaman dinasti Tang, sebagai
berikut: Ho-ling yang juga disebut She-po, terletak di
laut selatan. Di sebelah timurnya terletak Po-li dan di
sebelah baratnya tertelak To-po-teng. Di sebelah
selatannya adalah lautan, sedang di sebelah utaranya
terletak Chen-la… – informasi ini menjadi fokus
pembahasan saya dalam tulisan ini dengan
mengidentifikasi nama-nama wilayah yang disebutkan
bersempadan dengan Ho-ling.
Sebelum membahas satu persatu toponim (nama
wilayah) tersebut, saya akan kembali mengulas toponim
kuno yakni karatuan yang saya identifikasi merupakan
bentuk lain dari kata Kadatuan. dan bahwa persamaan kata
karatuan dan kadatuan dapat kita lihat pada persamaan
kata kdaton dan kraton, yang merupakan sebutan kompleks
pusat pemerintah raja pada masa lalu.
Toponim “Karatuan” Saya temukan digunakan di 3
tempat di Sulawesi Selatan, yaitu: pertama, terdapat
toponim “karatuan” di kecamatan basse sang tempe –
kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan; kedua, toponim
“karatuang” di Tappalang, Kabupaten Mamuju, Sulawesi
Barat; ketiga, toponim “karatuang” di kecamatan Bantaeng,
Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Selain ketiga titik ini, sebenarnya masih ada satu lagi,
yakni kampung Karataun di kecamatan Kalumpang,
Mamuju, Sulawesi Barat. Saya pikir, bentuk sebenarnya dari
Karataun ini adalah Karatuan.
Bagi para Arkeolog nama Kalumpang tentu tidak asing
lagi. Karena di wilayah ini ditemukan banyak peninggalan
budaya Neolitik.
Perhatian dunia Internasional terhadap wilayah
Kalumpang telah berlangsung sejak 1935. Ketika P.V. Van
Stein Callenfels mempresentasikan hasil ekskavasinya di
Bukit Kamasi pada 1933 dalam The Second Congress of
Prehistorians of the Far East di Manila (Callenfels 1951).
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 67

Kemudian Callenfels melakukan penggalian di Situs


Palemba yang juga terletak di Desa Kalumpang, tepatnya di
sisi selatan, pada sudut pertemuan antara Sungai Karataun
dan Sungai Karama.( “Petutur Austronesia Sudah Ada Sejak
Sekitar 4000 Tahun Lalu di Sulawesi“. Posted on Februari
12, 2016).
Penelitian di Situs Kamasi kemudian dilanjutkan oleh
Heekeren pada 1949, dengan membuka kotak ekskavasi di
sekitar kotak gali Stein Callenfels. Selain di Kamasi,
Heekeren (1972) melakukan survei di Minanga Sipakko
yang letaknya di tepi utara Sungai Karama, sekitar 4 km di
selatan Desa Kalumpang dan memperoleh temuan yang
serupa dengan temuan dari Kamasi.
Temuan dari hasil penelitian Stein Callenfels dan
Heekeren itulah yang menjadi tonggak awal penelitian
arkeologi di wilayah Kalumpang, sehingga memunculkan
istilah budaya Neolitik Kalumpang. (ibid)
Truman Simanjuntak melakukan penelitian ulang
terhadap Situs Minanga Sipakko pada 2004-2005, dan
menemukan sisa pemukiman Neolitik awal yang masih in
situ pada kedalaman 80-100 cm dari permukaan sekarang.
Penelitian intensif di situs Neolitik Minanga Sipakko
dilakukan kembali pada 2007-2008. Hasil ekskavasi di
Minanga Sipakko pada 2004-2005 dan 2007, dan di Kamasi
pada 2008 menunjukkan adanya lapisan hunian Neolitik
dengan karakteristik relatif sama, yang dimulai sekitar
3600 tahun yang lalu. (ibid)
Dengan menimbang berbagai hal terkait Karataun di
Kecamatan Kalumpang, maka dalam pembahasan
selanjutnya, Karataun (kalumpang) akan dimasukkan
dalam hipotesis sebagai toponim yang menunjukkan jejak
sebagai pusat kedatuan di masa kuno.
Dan berikut ini peta letak keempat titik daerah bernama
karatuan di pulau Sulawesi…
68 | Fadly Bahari

Beberapa wilayah dengan nama Karatuan di pulau Sulawesi.


nama ini tidak saja identik dengan kata kadatuan, tetapi juga
menunjukkan fakta kesejarahan yang tinggi melalui temuan
benda-benda kuno di wilayah tersebut serta didiukung cerita
tutur dalam tradisi masyarakat setempat.

To-po-teng di sebelah barat Ho-ling


Untuk mengidentifikasi letak geografis To-po-
teng sebagai daerah yang berbatasan dengan Ho-ling di
sebelah barat, saya melihat bahwa jalan terbaik yang mesti
dilakukan terlebih dahulu adalah dengan mengindentifikasi
sebuah berita Cina yang menyebutkan bahwa: raja Ho-ling
tinggal di kota She-p’o (She-p’o-tch’eng), tetapi
leluhurnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan
pusat kerajaan ke timur, ke kota P’olu-chia-ssu.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 69

Menurut Berita dalam Ying-huan-tchelio perpindahan itu


terjadi dalam masa T’ien-pao, yakni disekitaran tahun 742-
755 M (BEFEO/ 4/ 1904 – Paul Pelliot, “Deux itineraires…“,
hlm 225).
L-C. Damais menyebutkan bahwa berita perpindahan itu
termuat dalam Yuan-che-lei-pin yang ditulis pada tahun
1669 M, dan bahwa perpindahan itu terjadi dalam
masa T’ien-pao, antara tahun 742 dan 775 M atau tahun
664 dan 667 Saka (L-C. Damais, BEFEO, LII, fasc. 1, 1964,
hlm. 138).
Yang menarik karena nama Po-lu-chia-sseu dan T’ien-
pao kuat dugaan saya ada keterkaitan dengan Raja/Datu
kelima dalam silsilah kedatuan Luwu, yakni: Tampa Balusu.
Nama “T’ien-pao” identik dengan “Tampa“; sementara, “Po-
lu-chia-sseu” identik dengan “Balusu“.
Jadi, dapat diduga bahwa nama “Tampa Balusu” dapat
diurai terdiri dari: tampa = nama panggilan, gelar atau
julukan; sementara, Balusu = nama wilayah.
Masa pemerintahan T’ien-pao (tampa balusu) yang
disebutkan antara tahun 742-755 M, selisih sekitar 68
tahun dari masa penobatan Ratu Sima (674 M). Untuk hal
ini, dapat diduga bahwa rentang waktu 68 tahun tersebut
adalah terdiri dari masa pemerintahan Ratu Sima
(simpurusiang) dan putranya Anakaji (datu ke-4 dalam
silsilah kedatuan Luwu).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, rekonstruksi
perpindahan ibu kota She-po lebih ke Timur (ke wilayah Po-
lu-chia-sseu) pada masa T’ien-pao (Tampa Balusu), saya
perkirakan, diantara dua pilihan yakni dari karatuang
(wilayah tappalang, mamuju, Sulawesi Barat hari ini) atau
Karataun (wilayah Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat), ke
wilayah Balusu (wilayah Toraja Utara hari ini).
Dengan demikian, To-po-teng yang dalam kronik Cina
disebutkan sebagai negeri yang berbatasan denga Ho-
ling di sebelah barat mestilah berada di sebelah barat
wilayah Karatuang (tappalang), Karataun (Kalumpang) dan
wlayah Balusu. Dan hal ini dibuktikan dengan keberadaan
70 | Fadly Bahari

toponim buttu Tabating di sebelah barat wilayah-wilayah


tersebut. Buttu atau buntu adalah sebutan gunung dalam
bahasa daerah lokal di Sulawesi Selatan, jadi Buttu
Tabating adalah sebuah gunung bernama Tabating.
Jika kita amati, bentuk toponim Tabating tentu saja
sangat identik dengan toponim To-po-teng yang disebutkan
dalam kronik Cina.

Po-li atau Ma-li di sebelah Timur Ho-ling


Menurut Slamet Muljana (Sriwijaya: 2006, hlm. 84), Po-
li disebut juga Mali, dengan merujuk pendapat Pelliot yang
berdasarkan pada keserupaan bunyi [antara poli dan mali]
dan berita dari Hsin-T’ang-Shu.
Dengan konsisten pada hipotesis sebelumnya bahwa
wilayah dengan toponim karatuan adalah sebagai pusat
kedatuan Ho-ling pada masa lalu, maka pencarian letak po-
li atau Ma-li mestilah dilakukan di sebelah timur wilayah
Karatuan (Tappalang); Karataun (Kalumpang); Balusu
(kota tempat dipindahkannya pusat kerajaan di masa T’ien-
pao atau Tampa Balusu); dan, Karatuan, Bastem.
Pembuktian untuk hal ini bisa dikatakan terpenuhi
dengan keberadaan wilayah malili (Luwu Timur, Sulawesi
Selatan) yang identik dengan “ma-li“, dan keberadaan suku
Mori (bermukim di wilayah Luwu Timur hingga Sulawesi
tengah) yang di masa lalu adalah sebuah kerajaan, dimana
dengan metode pencermatan morfologi Bahasa
menggunakan pendekatan fonetik altikulatoris, kita dapat
melihat bahwa variasi bentuk yang dapat muncul dari
morfologi kata “Mori” adalah: poni – poli – pori – podi – poti
– boni – boli – bori – bodi – boti – woni – woli – wori – wodi –
woti – moni – moli – mori – modi – moti. Dari hasil ini
terlihat jelas jika “mori” ada keterkaitan dengan Po-li
ataupun Bo-ni.
Prof. Liang Liji Dalam bukunya “Dari Relasi Upeti ke
Mitra Strategis – 2000 Tahun Perjalanan Hubungan
Tiongkok-Indonesia“, 2012, hlm. 42, mengatakan bahwa
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 71

dalam kitab sejarah tiongkok kuno, negeri Po Li juga


disebut Bo Ni atau F0 Ni.
Antara wilayah Malili di Sulawesi Selatan dengan
wilayah Morowali, Lore hingga Poso di Sulawesi Tengah,
secara historis, bisa dikatakan memang telah terjalin
hubungan sejak ratusan tahun bahkan mungkin ribuan
tahun lalu. Hal ini setidaknya dibuktikan ketika masa
pemberontakan DI/TII, tempat pilihan pengungsian orang-
orang di wilayah Malili dan sekitarnya adalah wilayah
Sulawesi tengah. Yang bisa kita asumsikan bahwa daerah
tujuan pengungsian mereka didasari adanya sanak keluarga
di wilayah tujuan tersebut.
Selain itu, asumsi ini dikuatkan pula dengan jejak
sejarah bahwa sebagian besar wilayah di Sulawesi tengah
hari ini, pada masa lalu, merupakan wilayah kedatuan
Luwu.
Rujukan fakta lain bahwasanya negeri Po-li memang
berada di kawasan tengah pulau Sulawesi dapat kita
cermati dari catatan I-Tsing “Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-
chu’an ” yang merinci negeri-negeri yang dilaluinya dalam
perjalanan dari India ke Nusantara. Bunyinya sebagai
berikut: Di negara-negara laut selatan terdiri dari sepuluh
negara lebih. Pada umumnya, penduduknya menganut
Mulasarwastiwadanikaya, meskipun ada kalanya ada yang
juga memeluk Sammitinikaya; sekarang ada juga sementara
pengikut kedua aliran lainnya (meskipun hanya sedikit
jumlahnya). Dihitung dari barat, yang pertama ialah
negeri P’o-lu-shi, lalu negeri mo-lo-yeu, yang sekarang
menjadi negeri Shih-li-fo-shih, Mo-ho-sin, Ho-ling, Tan-tan,
Pem-pen, P’o-li, K’u-lun, Fo-shih-pu-lo, I-shan dan Mo-chia-
man. Masih ada beberapa pulau kecil-kecil lagi; tidak dapat
disebut semuanya di sini. (Prof. Dr. Slamet Muljana.
Sriwijaya: 1960; 2006, hlm. 49)
72 | Fadly Bahari

Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-chu’an,” yang diterjemahkan J. Takakusu


(1896) ke dalam bahasa Inggris dengan judul “A Record of the
Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay Archipelago“.

Nama Wilayah yang disebutkan setelah Ho-


ling yakni Tan-tan, Pem-pen, Po-li dan K’u-lun, sejauh ini
telah saya identifikasi sesuai dengan nama beberapa
wilayah di Sulawesi tengah. Bukan hanya secara fonetis
sama, tetapi juga urutan posisi wilayah tersebut sesuai
dengan yang dirincikan oleh I-Tsing. Berikut ini peta letak
wilayah-wilayah tersebut.

Peta Hipotesis letak toponim di Nusantara yang disebutkan


dalam kronik Cina.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 73

Pada peta hipotesis ini saya mengidentifikasi:Tan-tan=


Tentena; Pem-pen= Pompangeo; Po-li dengan kawasan yang
luas meliputi Malili hingga Malino di wilayah Mori; dan K’u-
lun sebagai kolonodale hingga kolono di wilayah bungku.
Prof. Dr. Slamet Muljana dalam buku Sriwjaya (1960;
2006, hlm. 54-103) banyak merinci nama-nama wilayah
lainnya yang disebutkan dalam kronik Cina. Ia
mengumpulkannya dari berbagai sumber catatan cina
kuno. Kesemua data yang beliau rangkum tersebut tentu
sangat penting sebagai bahan rujukan bagi peneliti-peneliti
selanjutnya, termasuk saya dalam hal ini.
Berikut ini beberapa data nama wilayah yang
disebutkan dalam kronik Cina yang dirangkum Prof. Dr.
Slamet Muljana dalam bukunya. Hanya Saya kutip bagian-
bagian yang saya anggap penting terkait pembahasan
tulisan ini.
Berita dari Sui-Shu, susunan Wei Cheng: Negeri Po-
li dapat dicapai melalui Chih-tu dan Tan-tan (…) Di sebelah
selatan Po-li terletak negeri Tan-tan dan Pem-pen. Dua
negeri itu memberikan hasilnya sebagai upeti. Baik adat-
istiadatnya maupun hasil buminya sama.
Berita Hsin Tang Shu: Po-li terletak di sebelah
tenggara Huang-wang (…), Dapat di capai (…) melalui Chi-
tu dan Tan-tan. Lebar dan panjangnya beberapa ribu li. Di
situ banyak kudanya. Negeri itu juga disebut Mali. Di
sebelah timurnya terletak negeri Lo-tha. (Untuk negeri Lo-
tha, saya mengidentifikasinya sebagai daerah Routa dekat
danau Towoti. Pada peta diatas dapat dilihat bahwa Routa
tepat berada di sebelah timur Malili).
Berita dari T’ung Tien, susunan Tu you: Berita tentang
negeri Tan-tan kita kenal pada masa pemerintahan
rajakula Sui. Letaknya di sebelah barat laut To-lo-mo dan di
sebelah tenggara Chen-chow. (Saya mengindentifikasi Tan-
tan sebagai Tentena dan To-lo-mo sebagai daerah beteleme.
Pada peta, dapat kita lihat jika letak tentena tepat berada di
barat laut beteleme).
74 | Fadly Bahari

Berita dari Nan-hai-chi-kuei-nai-fa-chu’an, karangan I-


Tsing: Tan-tan termasuk salah satu negeri laut selatan yang
memeluk agama Budha, dan disebut setelah Ho-ling.
Berita dari Chiu-T’ang-Shu: Negeri To-lo-po-ti berbatasan
di sebelah selatan dengan Pem-pen. (untuk To-lo-po-ti saya
mengindentifikasinya sebagai Lepati yaitu nama sebuah
gunung/bukit. suku kata to di depan to-lo-po-ti adalah
sebutan “orang” dalam bahasa daerah di Sulawesi selatan,
jadi To-lo-po-ti bisa diasumsikan orang lopoti atau lepati.
Pada peta dapat kita lihat lepati berdekatan wilayah dengan
Pompangeo/ Pem-pen yang juga merupakan nama
pegunungan).
Berita dari Ch’ang-Chun: Pada bulan 10 tahun 607 ia
berlayar dari Kanton dengan angin baik. Sesudah lebih dari
20 hari perjalanan, ia sampai di bukit Tsio-shih yang
membujur ke tenggara, lalu berlabuh di Ling-Chia-po-pa-to,
yang berhadapan dengan Lin-i. kemudian berlayar lagi
menuju selatan, sampai Shih-tze-shih. Dari sini, setelah
berlayar dua atau tiga hari melalui banyak pulau, tampak di
sebelah barat gunung-gunung kerajaan Lang-ya-shu.
Dari sini berlayar lagi ke selatan meninggalkan
pulau Chi-lung, lalu sampai di pantai Chih-tu. Perahu di
tambatkan; sesudah sebulan lebih, bau sampai di ibu kota.
(Chih-tu saya identifikasi sebagai Katu yakni sebuah desa di
kecamatan Lore Tengah, Poso, Sulawesi Tengah. letak Katu
yang di pedalaman sejalan dengan informasi bahwa butuh
perjalanan kurang lebih sebulan untuk tiba di wilayah
tersebut. Daerah ini dekat dari situs megalitik Pokekea
yang masuk dalam kawasan Lore lindu National Park).

Chen-la di sebelah utara Ho-ling


Pada umumnya para ahli sejarah mengidentifikasi Chen-
la atau Zhen-la terletak di wilayah Kamboja. Namun jika
merujuk pada hasil penelusuran saya yang menunjukkan
jika semua nama wilayah yang disebutkan dalam kronik
Cina fakta cukup berdekatan, maka saya berpikir
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 75

letak Chen-la mestilah juga demikian. Pandangan umum


para ahli selama ini yang mengidentifikasi Chen-la sebagai
Kamboja saya pikir terlalu meluas.
Jika merujuk Deskripsi Cina tentang Chen-la sebagai
“barat daya kerajaan Lin-i” (“What and Where was Chenla?”,
Recherches nouvelles sur le Cambodge. Publies sous la
direction de F. Bizot. cole franaise d’Extrme-Orient, Paris,
1994, pp. 197-212.), yang mana diketahui bahwa Lin-
i atau Lin-yi adalah kerajaan yang eksis di wilayah yang
ditempati kerajaan Champa (Vietnam: Cham pa) kemudian,
membuat saya menduga jika selama ini telah terjadi
kesalahpahaman di antara para ahli sejarah dalam
mencermati data yang tersaji dalam kronik Cina.
Chen-la atau Zhen-la adalah nama yang disebutkan
dalam akun Cina tentang entitas yang mengirim upeti ke
kaisar Cina. Klaim Chen-la menaklukkan Funan sebelum
muncul Kekaisaran Khmer pada dasarnya berasal dari
sumber yang lemah. Kenyataannya, baik Chen-
la ataupun Zhen-la tidaklah dikenal dalam bahasa Khmer
lama. (Claude Jacques, “‘Funan’, ‘Zhenla’: The Reality
Concealed by these Chinese Views of Indochina”, in R. B.
Smith and W. Watson (eds.), Early South East Asia : Essays in
Archaeology, History and Historical Geography, New York,
Oxford University Press, 1979, pp.371-9, p.378.)
Dalam pandangan saya, dengan menimbang
bahwa Chen-la adalah suatu nama wilayah di pulau
Sulawesi, maka ada kemungkinan sebutan tersebut ada
keterkaitan dengan sebutan cen-ra-na yakni sebutan lain
untuk cendana dalam bahasa lokal di Sulawesi Selatan. Dan
toponim Cendana saya temukan berada di wilayah Parigi
Moutong, Sulawesi tengah. Ini setidaknya sesuai dengan
letak geografis Ho-ling yang disebutkan I-Tsing bahwa di
sebelah utara berbatasan dengan Chen-la.
Adapun toponim Lin-i atau Lin-yi yang disamakan
dengan nama kerajaan Champa, saya duga merujuk pada
toponim Cempaka di wilayah Pohuwato, Gorontalo.
76 | Fadly Bahari

Perbandingan letak geografis yang identik antara Cambodia


(Chen-la) di barat daya Vietnam (Lin-i) yang merupakan
pendapat sarjana selama ini, dengan letak Cendana (Chen-la) di
barat daya Cempaka (Lin-i) sebagai hipotesis pembanding yang
saya ajukan.

Pada peta di atas dapat dilihat jika letak Cendana di


Parigi Moutong, berada di sebelah barat daya Cempaka di
Pohuwato. Yang mana sesuai dengan Deskripsi Cina
tentang Chen-la (Cendana) sebagai barat daya kerajaan Lin-
i (Cempaka).

Laut di sebelah selatan Ho-ling


Secara umum saya menduga bahwa wilayah Sulawesi
selatan hari ini ditambah sebagian wilayah Sulawesi tengah
sesungguhnya adalah wilayah Ho-ling di masa lalu. Wilayah
tersebut pada dasarnya juga merupakan bekas wilayah
kedatuan Luwu pada masa lalu. dengan kata lain, bisa
jadi Ho-ling adalah sebuatan Kedatuan Luwu pada
masa kuno.
Setidaknya hal ini dapat kita lihat pada fakta Raja Ho-
ling yakni T’ien pao (yang memindahkan pusat kerajaan ke
wilayah Po-lu-chia-sseu) yang menunjukkan keidentikan
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 77

dengan nama Tampa Balusu yakni raja kelima dalam


Silsilah kedatuan Luwu.
Juga nama ta-tso-kan-hsiung yang dalam berita Cina
dikatakan sebagai yang utama di antara seluruh pejabat
tinggi kerajaan Ho-ling, sangat identik dengan nama To
Ciung yakni sebuah namayang melegenda sebagai orang
bijak dari Tana Luwu. Dapat kita lihat bahwa “hsiung”
sangatlah identik dengan “Ciung“.
Karena itu, keberadaan toponim Karatuang di Bantaeng
(pesisir selatan semenanjung Sulawesi Selatan) dapat
dianggap sebagai bagian dari kerajaan Ho-ling, dan bisa jadi
di wilayah tersebut pernah pula menjadi pusat kerajaan
Ho-ling ataupun Kedatuan Luwu.
Demikianlah Identifikasi keseluruhan toponim yang
bersempadan dengan Ho-ling dilakukan dengan juga
merinci beberapa toponim lainnya yang juga disebutkan
dalam beberapa sumber kronik Cina lainnya. Ini dengan
sendirinya berfungsi sebagai penguji konsistensi sekaligus
penguat Hipotesis yang diajukan.
78 | Fadly Bahari

Zhao Rukuo atau Zhao Rushi, atau yang lebih umum


ditulis sebagai Chau Ju-Kua, adalah anggota klan kekaisaran
Dinasti Song. Ia ditugaskan di Fujian sebagai pengawas
perdagangan maritim di Quanzhaou (A History of Chinese
Science and Technology, Volume 2 edited by Yongxiang Lu.
2015. hlm. 289).
Bekerja pada pos pabeanan membuatnya kesempatan
bertemu pedagang dari berbagai negara. Dari mereka inilah
ia mengumpulkan informasi tentang berbagai negara di
dunia. Dia juga mencatat berbagai produk yang
diperdagangkan, mempelajari peta-peta periode itu, dan
bersama dengan informasi yang dipelajarinya ia kemudian
menulis buku yang ia selesaikan sekitar 1225 Masehi.
Banyak berita dalam Zhu Fan Zhi mengambil informasi
dari karya-karya yang lebih tua, seperti buku Pingzhou
Ketan yang disusun Zhu Yu antara tahun 1111-1117 M dan
yang diterbitkannya pada tahun 1119 M (Needham, Volume
4, Part 3, 381. – Paul Cobb. The Lineaments of Islam:
Studies in Honor of Fred McGraw Donner, 2014. hlm 460),
buku Youyang Zazu atau Miscellaneous Morsels from
Youyang yang disusun pada sekitar abad ke-9 oleh Duan
Chengshi seorang penulis puisi dari dinasti Tang, dan
terutama dari Ling-wai-tai-ta, yang ditulis tahun 1178 oleh
penulis yang Chou Ch’u-fei.
Namun demikian, bagian penting dari buku Zhu Fan Zhi
adalah informasi yang dikumpulkan Zhao dari para
pedagang asing.
Buku Zhu Fan Zhi kemudian dialih bahasa ke dalam
bahasa Inggris oleh Friedrich Hirth dan William W.
Rockhill. Diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul: “Chau
Ju-kua: his work on the Chinese and Arab trade in the twelfth
and thirteenth centuries, entitled Chu-fan-chi“.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 79

Pada buku hasil terjemahan Hirth dan Rockhill kita


dapat mengetahui bahwa Buku Zhu Fan Zhi terbagi dalam
dua jilid. Volume pertama memberikan deskripsi tentang
berbagai negara dan kebiasaan masyarakat setempat,
volume kedua memberikan informasi tentang barang-
barang perdagangan yang tersedia dari negara-negara
tersebut.

Ciri-Ciri Sho-po yang identik dengan budaya Luwu

a. Tinjauan aspek budaya

Sebutan Fu-wang yang identik dengan kata “Puang” dalam tradisi


di Sulawesi Selatan.
Dalam kutipan di atas disebutkan tiga anak dari raja
menjadi Fu-wang yang dijelaskan sebagai jabatan deputi
kerajaan. Kata Fu-wang ini jelas sangat identik dengan
sebutan “Puang” dalam tradisi budaya di Sulawesi Selatan.
Pada masa lalu umumnya ucapan ini ditujukan pada
kalangan bangsawasan, namun pada masa sekarang umum
pula ditujukan pada pejabat atau tokoh masyarakat yang
memiliki pengaruh.
Pada masa sekarang, penyebutan puang dalam aksen
Bugis biasanya terdengar disebut “pung”, sementara dalam
aksen Toraja biasanya terdengar disebut “pong”. Di Luwu
sendiri umumnya masih tetap terdengar “puang”.
Dari informasi ini akhirnya dapat diketahui dari
mana sebutan “puang” itu berasal, yang rupa-rupanya
adalah sebuah sebutan Cina kuno, yang pada masa lalu
berarti pejabat deputi kerajaan.
80 | Fadly Bahari

Pada bagian ini disebutkan “Orang-orang punya nama


pribadi tapi tanpa nama keluarga.” Tradisi pemberian nama
semacam ini dalam tradisi Luwu/ Bugis disebut
“pantalarang” yang sepertinya berasal dari kata “talara”
artinya “laris,” dengan demikian sinonim dengan sebutan
“penglaris” dalam tradisi jawa. Pemberian nama
“pantalarang” dalam tradisi Bugis biasanya dilakukan
setelah seseorang berumah tangga. Biasanya dalam nama
yang dipilihkan mengandung makna sifat atau karakter
terbaik yang diharapkan menaungi kehidupan selanjutnya
orang tersebut.

Pada bagian ini disebutkan “Negeri ini memiliki taman


bambu tempat mereka melakukan kegiatan sabung babi
dan sabung ayam.” Hal ini setidaknya masih dapat kita
temukan di wilayah kota Palopo (letak istana kedatuan
Luwu) hingga hari ini. Di wilayah ini orang menyebut
tempat sabung ayam sebagai “pattung” artinya “rumpun
bambu”.
b. Tinjauan aspek geografi
Melalui tinjauan aspek geografi, secara umum saya
melihat jika posisi Sho-po yang digambarkan dalam
buku Zhu Fan Zhi berada di wilayah sulawesi tenggara.
Berikut ini data yang menunjukkan indikasi tersebut…

Pada kutipan kalimat ini, dijelaskan bahwa “Ke sebelah


timur (dari Sho-p’o) Anda tiba di (Samudra)-laut dan
ke tempat air mengalir ke bawah; ada kerajaan wanita.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 81

Lebih jauh ke timur adalah Wei-lu, akhir dari dunia


yang bisa dihuni.”
Pernyataan “di sebelah timur Sho-po terdapat laut” jelas
sesuai dengan kondisi geografi Sulawesi tenggara dengan
menimbang bahwa di sebelah Sulawesi tenggara terdapat
laut banda. Sementara pernyataan “lebih jauh ke timur
adalah wei-lu” dibuktikan dengan keberadaan toponim
“waelo” di pulau buru. Dengan demikian, ada kemungkinan
jika pulau buru yang kita kenal hari ini, pada masa lalu
lebih dikenal dengan sebutan wei-lu.

Pada peta ini dapat dilihat di sebelah timur sulawesi tenggara


adalah laut banda. Lebih jauh ke timur ada pulau buru. Sementara
Pada pulau Buru terdapat toponim “Waelo,” nama yang sangat
identik dengan wei-lu yang disebut dalam Zhu Fan Zhi.

Ungkapan “tempat air mengalir ke bawah,” sepertinya


menyiratkan topografi palung yakni celah jurang bawah
laut yang ada pada laut Banda. Penelitian terbaru
membuktikan palung terdalam Indonesia di Laut Banda,
Maluku, berkedalaman 7,2 kilometer dengan ukuran 120
km x 450 km (Kompas.com “Palung Banda Bisa Picu
Tsunami Besar“, by Ahmad Arif. – Posted on 30/11/2016).
82 | Fadly Bahari

Bunyi kalimat “tempat air mengalir ke bawah,” dapat


kita temukan juga dalam kitab I La Galigo (Epos Mitologi
Bugis kuno), dapat dibaca dalam capture halaman naskah I
La Galigo berikut ini….

Lebih lanjut informasi geografi Sho-po untuk arah utara


dan selatan adalah sebagai berikut…

dalam kalimat yang di capture di atas


dijelaskan “Berlayar setengah bulan (ke barat dari Sho-
po?) pertama akan mencapai negara K’un-lun. Ke
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 83

selatan (dari pelabuhan kota Sho-po?) Laut dicapai


dalam perjalanan tiga hari.
Dalam kalimat tersebut saya ingin mengkritisi beberapa
hal. Yaitu, kalimat bentuk perkiraan yang di tempatkan di
dalam tanda kurung “ke barat dari sho-po?” sepertinya
keliru. Karena setelah kalimat tersebut, bagian selanjutnya
menyebutkan arah selatan. Dalam hal ini saya berpikir
bahwa pada umumnya ketika orang menjelaskan suatu
letak geografi, penjelasannya biasanya terbagi atas
pasangan utara-selatan dan timur-barat.
Jadi sepertinya yang dimaksudkan pada bagian kalimat
awal adalah: jika berlayar setengah bulan ke arah utara,
pertama akan mencapai negara K’un-lun. Hal ini sesuai
dengan fakta bahwa negara K’un-lun yang dimaksudkan
adalah wilayah kolono ataupun kolonodale di sebelah utara
Sulawesi Tenggara (lihat peta di bawah).

Nampak pada sisi timur pulau Sulawesi, wilayah Kolono dan


Kolonodale kemungkinan adalah negara K’un-lun yang disebut
dalam kronik Cina.

Kalimat selanjutnya “Ke selatan (dari pelabuhan kota


Sho-po?) Laut dicapai dalam perjalanan tiga hari,” –
jelas sebagai sebuah kalimat yang janggal, ini lagi-lagi
84 | Fadly Bahari

disebabkan oleh kalimat perkiraan yang ditempatkan


dalam tanda kurung yakni : “dari pelabuhan kota sho-po?”.
Logikanya, jika dikatakan berangkat dari pelabuhan
tentu saja orang sudah mencapai lautan pada saat itu juga.
Sementara itu jelas-jelas pada kalimat selanjutnya
disebutkan “…laut dicapai dalam perjalanan tiga hari”. Jadi
saya pikir kalimat yang benar mestinya “ke selatan laut
dicapai dalam perjalanan tiga hari”.
Demikianlah, jika mencermati informasi geografi yang
disampaikan dalam buku Zhu Fan Zhi, mengindikasikan
letak Sho-po masuk dalam wilayah Sulawesi tenggara hari
ini, ada ketidaksinkronan dengan berita T’ung tien yang
dihimpun Tu Yu pada tahun 735-812 M.
Dalam berita T’ung tien, Ho-ling atau Sho-po terindikasi
berada di wilayah kaki gunung latimojong, tepatnya di
wilayah Rante Balla, Kabupaten Luwu, Sulawesi selatan.
Hal ini sebagaimana bunyi berita dari T’ung tien yang
mengungkap bahwa “Di pegunungan terdapat gua-gua,
dan dari dalam gua mengalir air garam” -yang mana
berita ini sesuai dengan kondisi alam di wilayah kaki
gunung Latimojong, yang banyak ditemukan sumber air
garam.
Pada masa lalu, untuk kebutuhan garam, penduduk di
kaki gunung latimojong seperti di wilayah Tibusan hingga
Rante Balla, Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu,
biasanya membasahi daun tertentu dengan air garam lalu
menjemurnya. ketika memasak, daun yang telah memiliki
kristal garam tersebut tinggal mereka celupkan di masakan
tersebut.
Bahkan baru-baru ini di wilayah Rante Balla ditemukan
mata air dengan kadar garam tinggi, sehingga rasanya
terasa sangat asin. Dokumentasi video mengenai sumber
mata air asin tersebut dapat pembaca simak videonya di
youtube dengan judul “Ajaib Mata Air di Pegunungan
Ranteballa Latimojong Asin”.
Perbedaan letak wilayah Ho-ling atau Sho-po yang
diindikasikan dalam informasi geografi T’ung tien dan Zhu
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 85

Fan Zhi pada dasarnya bisa saja dipahami sebagai akibat


telah terjadi perpindahan letak. Hal ini bisa dipahami jika
kita cermati bahwa masa T’ung tien disusun adalah pada
sekitar tahun 735-812 M, sementara Zhu Fan Zhi disusun
antara tahun 1170-1231 M, jadi setidaknya ada interval
waktu sekitar lebih dari 300 tahun.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa di sekitaran abad 6
hingga abad 9 letak Ho-ling atau She-po berada di wilayah
Sulawesi selatan hari ini, dan pada sekitar abad 12-13 atau
lebih, Ho-ling atau She-po berada di wilayah Sulawesi
tenggara hari ini.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa
wilayah Provinsi Sulawesi selatan dan sebagian wilayah
Provinsi Sulawesi tenggara pada masa lalu merupakan
bagian dari wilayah kedatuan Luwu.
Dengan demikian fakta bahwa dua nama raja Ho-ling
atau She-po yang terindikasi kuat disebutkan dalam silsilah
kedatuan Luwu yakni: Ratu Sima yang identik dengan nama
Simpurusiang dan T’ien-pao yang identik dengan nama
Tampa Balusu, dapat dianggap tetap sejalan terhadap fakta
dalam buku Zhu Fan Zhi yang mengindikasikan She-po
berada di wilayah Sulawesi tenggara.
Kita dapat mengasumsikan bahwa pada sekitar abad ke
13 pusat Ho-ling atau She-po atau yang di kemudian hari
dikenal sebagai Kedatuan Luwu berpusat di wilayah yang
pada hari ini masuk dalam wilayah administrasi Provinsi
Sulawesi tenggara.
Dalam sejarahnya, pusat Kedatuan Luwu sendiri
memang tercatat pernah beberapa kali berpindah. Salah
satunya adalah di tenggara yakni di Lelewawo. Bisa jadi
masih ada tempat lain di Sulawesi tenggara yang pernah
menjadi pusat kedatuan Luwu namun hilang dalam catatan
sejarah.
86 | Fadly Bahari

Pada peta ini terlihat sebagian wilayah Sulawesi tenggara masuk


dalam wilayah kedatuan Luwu. (sumber: William H. Frederick &
Robert L. Worden. Indonesia: a country study. Federal Research
Division Library of Congress, 2011. hlm. 32)
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 87

Lu-wu disebut sebagai ibukota kerajaan Chen-la


Pada halaman 52 (buku Chau Ju-kua), bagian yang
membahas Chen-la sebagai toponim yang dianggap sebagai
nama kuno Kamboja, disebutkan bahwa Chon-la terletak di
selatan Chan-ch’ong; di sebelah timurnya laut; di baratnya
P’u-kan; di selatan Kia-lo-hi. Dari Ts’uan-chou, berlayar
dengan angin yang baik, dapat mencapai negara ini dalam
waktu satu bulan atau lebih. Negara ini mencakup
sepenuhnya 7000 persegi li. Ibukota kerajaan disebut Lu-
wu. Tidak ada cuaca dingin.

Capture bagian buku Zhu Fan Zhi yang menyebut nama Lu-wu.

Catatan kaki untuk Lu-wu.

Dan berikut ini kurang lebih penjelasan mengenai “Lu-


wu” yang diberi penjelasa pada bagian catatan kaki buku
Chau Ju-kua: Pada abad ketujuh ibukota Cho-la disebut I-
sho-na-ch’ong (…) Nama Lu-wu tampaknya menunjuk ke
Lovek [pada googlemap tertulis “Longvek”], reruntuhan kota
ini masih terlihat 10 kilometer utara dari wilayah Udong
[pada googlemap tertulis Oudongk]. (…) tapi Pelliot, (…)
mengatakan bahwa Lovek hanya menjadi ibu kota Kamboja
pada abad kelimabelas. Ketika Chau Ju-kua menulis [buku
Zhu Fan Zhi ini], katanya, ibukotanya adalah Angkor, dan
namanya adalah Kambupuri atau Yacodharapura. (…)
88 | Fadly Bahari

Dari penjelasan catatan kaki mengenai Lu-wu, nampak


ketidakjelasan jika Lu-wu pernah digunakan sebagai nama
ibukota Kamboja. Anggapan bahwa Lu-wu merujuk pada
toponim Lovek juga bisa dikatakan meragukan secara
fonetis karena faktanya pada googlemap tertulis “longvek”,
serta meragukan pula jika ditinjau menurut penentuan
waktu.
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Chen-la yang beribukotakan Lu-wu yang dimaksudkan
Chau ju-kua dalam buku Zhu Fan Zhi tidaklah terdapat di
Kamboja, tetapi chen-la tersebut adalah wilayah Cendana
yang terdapat di wilayah Parigi Moutong, Sulawesi tengah.
Dalam tulisan sebelumnya (Hipotesis Letak Geografis
Ho-ling di Sulawesi) telah saya jelaskan pendapat mengenai
hipotesis Chen-la yang dimaksud dalam kronik Cina adalah
toponim Cendana yang terdapat di wilayah Parigi Moutong,
Sulawesi tengah.
Hipotesis letak Chen-la ini sekiranya lebih dikuatkan
dengan mencermati informasi catatan dari sejarah Dinasti
Sung tentang negeri yang bernama Tan-mei-liu.
Dalam catatan sejarah dinasti Sung letak negeri Tan-
mei-liu disebutkan ke timur sampai chen-la 50 pos
(hentian); ke selatan sampai Lo-yue 15 pos, menyeberang
laut; ke barat sampai Si-t’en 35 pos; ke utara sampai
Teh’eng-leang 60 pos, ke tenggara sampai Cho-po 45 pos;
ke timur laut sampai kanton 135 pos. (Prof. Dr. Slamet
Muljana. Sriwijaya, 2006. hlm. 263)
Dari informasi Dinasti Sung ini dapat kita ketahui bahwa
di sebelah barat Chen-la terdapat negeri bernama Tan-mei-
liu. Nama negeri ini saya temukan identik dengan toponim
malei di tanjung Balaesang, Donggala-Sulawesi tengah,
yang secara kebetulan tepat berada di sebelah barat
cendana, Parigi Moutong-Sulawesi tengah.
Suku kata tan di depan Tan-mei-liu bisa jadi merujuk
pada sebutan tanjung yang dipendekkan dalam sebutan
Cina. Dengan demikian yang hari ini dikenal sebagai
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 89

Tanjung Balaesang, pada masa lalu mungkin lebih dikenal


dengan sebutan tanjung Malei.
Atau bisa juga tan adalah pemendekan dari sebutan
“tana” – jadi Tan-mei-liu adalah transkripsi dari tana malei.
opsi ini setidaknya didukung oleh keberadaan toponim
tana malei di sekitar wilayah tersebut.
hipotesis Tan-mei-liu sebagai transkripsi dari malei,
lebih dikuatkan oleh informasi geografinya yang dalam
berita Dinasti Sung disebutkan ” ke selatan, menyeberang
laut, sampai Lo-yue 15 pos” -yang mana hal ini sesuai benar
dengan fakta bahwa sisi selatan malei adalah laut (Selat
Makassar), sehingga untuk menuju Lo-yue (daerah
disebelah selatan) tentulah mesti menyeberangi laut.
Untuk mencermati letak geografi malei atau tanamalei
terhadap cendana dapat dilihat pada peta berikut ini…

Hipotesis Cendana sebagai Chen-la lebih dikuatkan dengan


keberadaan malei atau tanamalei yang identik dengan toponim
Tan-mei-liu yang dalam kronik Cina disebut berada di sebelah
barat Chen-la.
90 | Fadly Bahari

Demikianlah, seluruh uraian di atas bisa dikatakan lebih


menguatkan hipotesis Chen-la sebagai toponim di pulau
Sulawesi dibandingkan dengan anggapan banyak ahli
sebelumnya, yakni Chen-la sebagai kerajaan yang
memerintah di Kamboja setelah masa Fu-nan.
George Coedes sendiri menyatakan “Nama Chen-la yang
oleh China selalu dipakai untuk Kemboja, sampai sekarang
masih juga tidak terjelaskan: Tidak ada kata Sanskerta atau
Khmer yang sesuai ucapan lamanya t’sien-lap.”
(bentuk t’sien-lap adalah dugaan penyebutan Chen-la dalam
aksen Khmer). (George Coedes. Asia Tenggara Masa Hindu-
Buddha: 1964; 2017, hlm. 103)
Dengan demikian “Lu-wu” yang disebut sebagai nama
ibukota Chen-la dalam buku Zhu Fan Zhi besar
kemungkinannya lebih merujuk pada eksistensi nama
Luwu yang jelas memiliki catatan sejarah yang sangat
panjang di pulau Sulawesi.
Dapat dikatakan jika situasi yang dialami Chau ju-kua
dalam menyusun buku Zhu Fan Zhi (pada abad ke-13)
terutama dalam pembahasannya tentang negara-negara
yang eksis pada 400 hingga 600 abad sebelum masanya,
lebih bersifat dugaan karena ketidakjelasan data. Situasi
ketidakjelasannya bisa dikatakan persis seperti yang kita
rasakan pada hari ini ketika mencoba merekonstruksi
peristiwa sejarah yang berlangsung 400-600 tahun yang
lalu dari masa sekarang.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 91

Sesungguhnya Jejak Bugis tidak hanya sampai pada


wilayah India atau Pakistan sebagaimana temuan jejak
tradisi perniagaan orang Bugis yakni “pammula balu” yang
di wilayah India utara dan Pakistan dikenal dengan istilah
“Bohni”. Bergerak lebih ke Barat laut memasuki wilayah
Asia Tengah, kita akan menemukan dalam bahasa Uzbek
(bahasa yang digunakan di wilayah tersebut) kata “bo'g'iz”
yang berarti “teluk”, yang memiliki keterkaitan erat dengan
kata “look” yang dalam bahasa Philipina, juga berarti
“teluk”.
Bunyi penyebutan Kata “bo'g'iz” yang terdengar
sebagai “Bugis”, dan bunyi penyebutan “look” yang
terdengar sebagai “luwuk” dan bahwa keduanya
memiliki arti yang sama yakni “teluk” membuat saya
yakin bahwa inilah asal usul atau makna dari nama
“Luwu” dan “Bugis” yang sesungguhnya, yaitu: teluk.
Mencermati kesamaan makna dari Luwu dan Bugis
yakni “teluk” – yang tentu saja maksudnya adalah teluk
boni – maka, dapat diperkirakan, dimasa lalu, orang-orang
di pulau Sulawesi – khususnya yang berada di jazirah
Sulawesi Selatan hari ini, pada umumnya
mengidentifikasikan diri, sekaligus diidentifikasi oleh
bangsa-bangsa lain sebagai “orang teluk.” Hal ini masih
dapat kita saksikan hingga tahun 90-an dimana orang-
orang dari Sulawesi pada umumnya dikatakan sebagai
orang Bugis – bahkan memunculkan penyebutan: Bugis
Makassar; Bugis Toraja; atau, Bugis Mandar.
Hal lain, yang juga penting untuk mendapat perhatian
adalah keberadaan kata “bo'g'iz” yang dalam bahasa Uzbek
92 | Fadly Bahari

yang berarti “teluk, lalu, dalam beberapa bahasa di wilayah


Eropa lainnya, juga terdapat kata untuk “teluk” dengan
bentuk yang juga mirip dengan “bugis” yakni dalam bahasa
German utara (Danish):Bugt, German: Bucht, Norwegian:
Bukt, dan Swedish: Bukt – jika kita perhatikan kesemua
kata tersebut memiliki bentuk yang sangat mirip dengan
kata “bukit,”[1] walaupun jelas-jelas kesemuanya memiliki
makna: Teluk. Dalam mencermati hal ini, saya punya
banyak hipotesa, tapi didasari oleh beberapa
pertimbangan, saya mohon maaf – untuk sementara tidak
akan saya utarakan dalam kesempatan ini.
Sementara itu, keberadaan kata “look” yang dalam
bahasa Philipina, juga berarti “teluk”, bisa dikatakan
sebagai hal yang lumrah, disebabkan hubungan Pulau
Sulawesi dengan kawasan tersebut sejak masa kuno telah
terjalin. Di provinsi Sulu, terdapat sebuah daerah yang
bernama Luuk. Nama ini tentunya mengingatkan kita akan
Luwu yang berada di Sulawesi Selatan - sebuah kerajaan
kuno yang menjadi "background" dari kisah I La Galigo.
Penduduk lokal Sulu menyebut diri mereka dengan
nama Tausug. Kata Tausug berasal dari kata tau, yang
berarti "orang," dan sug, yang berarti "arus." Jadi, Tausug
berarti "orang-orang dari arus,"[2] – dapat diduga bahwa
arus yang dimaksud disini adalah arus laut,mengacu pada
letak wilayah mereka di kepulauan Sulu. Beberapa orang
mengatakan nama itu berasal dari "Tau Ma Isug," yang
berarti orang-orang pemberani. Di Sabah, Malasia, orang
Tausug dikenal sebagai orang Suluk.[3] Orang-orang
bangsawan memegang gelar seorang datu. Gelar ini
diwariskan melalui para ayah dan memiliki kekuatan
regional baik sebagai datu kerajaan atau datu biasa,
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 93

tergantung pada hubungan mereka dengan sultan yang


berkuasa.[4]
Shelly Errington, dalam bukunya "Meaning and Power in
a Southeast Asian Realm," menjelaskan kesamaan prinsip-
prinsip kepemimpinan orang Luwu dan orang tausug di
Filipina. Ia mengurainya sebagai berikut:
…To Luwu akan mengatakan bahwa mereka
"memiliki" orang, atau bahwa suatu upacara "dimiliki"
seseorang, atau bahwa penguasa adalah "pemilik" dari
semua tanah (yang mana akar kata tersebut adalah pu,
akar yang sama yang ditemukan pada kata; Opu, Ampo,
Puang, dll., bentuk kata kerjanya adalah: punna - dan
seorang pemilik disebut: punnana.) Arti kepemilikan di
Luwu digambarkan dengan baik oleh Kiefer, yang
menulis tentang Tausug dari Filipina selatan. Dia
menunjukkan bahwa "ketika Tausug mengatakan dia
memiliki sesuatu (misalnya ketika dia mengatakan
bahwa dia memiliki kelompok Samal [Sama-Bajau]), dia
terutama menekankan bahwa dia akan menggunakan
kekuatan pribadinya sendiri untuk melindunginya dari
pelanggaran; seseorang memiliki sesuatu jika seseorang
pada akhirnya bertanggung jawab untuk
perlindungannya .... Oleh karena itu, ketika seorang
kepala suku Tausug mengatakan bahwa ia memiliki
sekelompok Samals, ia tidak merujuk kepada mereka
sebagai budak, tetapi lebih menekankan bentuk otoritas
tertentu atas mereka "(Kiefer 1972: 23).[5]
Sebuah pendapat mengatakan leluhur orang tausug
berasal dari sung, yang menarik adalah karena sung, sulu’
atau suluk, dan sau’[6] (saya duga bentuk asli dari sug)
adalah perbendaharaan kata dalam bahasa tae’ yang
94 | Fadly Bahari

kesemuanya bermakna sama, yaitu: keluar. Mengaitkan


kesamaan kata-kata ini dengan etimologi tausag (orang
arus) mengarahkan ingatan saya pada cerita-cerita kuno
yang beredar di Luwu yang menyebutkan bahwa orang-
orang Bajou adalah orang-orang dihanyutkan banjir bah
yang terjadi ketika pohon welenrang[7] ditebang.
Tentu saja kisah ini merupakan sebuah Alegori, yang
sangat mungkin merupakan sebuah analogi tentang sebuah
peristiwa masa lalu yang benar-benar terjadi. Hipotesis
saya adalah bahwa Banjir bah yang dimaksud dalam kisah
tersebut adalah Banjir bah di zaman Nabi Nuh. Dengan
demikian cukup layak untuk dipertimbangkan bahwa
orang-orang tausug di kepulauan Sulu yang merupakan
orang sama-bajou adalah mereka yang di “hanyutkan”
(dalam artian terpaksa mengungsi) oleh banjir bah tersebut
– karena itulah mereka disebut “orang-orang dari arus” –
dan karena sung, sulu’ atau suluk, dan sau’ (saya perkirakan
bentuk asli dari sug) merupakan bahasa tae’ (bahasa di
Sulawesi) yang berarti; “keluar”, – maka kronologi yang
bisa dibangun dalam hal ini adalah bahwa penyebutan
tersebut muncul dikarenakan mereka dianggap orang-
orang yang keluar dari pulau Sulawesi – akibat terbawa
arus banjir bah.
Menurut Mattulada, masyarakat di Sulu banyak yang
bergelar Opu (gelar kebangsawanan Bugis yang berasal
dari Luwu). Salah satu di antara tokoh Filipina dengan gelar
ini adalah Opu Mastura, seorang pejabat setingkat Menteri
yang menjabat di era 1980-an.
Orang-orang Bugis disebut "baklaya" dalam bahasa
Tausug. Konon, pakaian perang atau baju zirah milik raja
Bugis asal Wajo, Sulawesi selatan, yaitu La Salewangeng To
Tenriruwa (1715-1736) tersimpan di Filipina. Baju perang
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 95

kuno ini tersimpan di National Museum of The Philippines,


Rizal Park Avenue Manila, Filipina. Alkisah, setelah
membantu Sultan Kudarat melawan invasi Penjajah
Spanyol tahun 1728, La Salewangeng To Tenriruwa
kemudian menikah dengan seoarang putri bernama Dayang
Maharleka Sari dan kemudian menetap di Cagayan De Oro,
di sebuah istana yang sekarang telah menjadi Balai Polisi
Republik Filipina.[8]

Kata Teluk – Telugu –- λοέω ( loéō ) – yang


berasal dari satu akar yang sama, yaitu: Luwu.
Kata “teluk” dalam bahasa Indonesia didefinisikan
sebagai: bagian laut yang menjorok ke darat – saya
perkirakan, berasal dari kata Luwu / luwuk / look / atau
luk yang berarti lengkungan atau cekungan, sebagaimana
penerapan kata “luk” yang dapat kita temukan dalam
menyebut lengkungan pada keris. Adapun suku kata te
pada kata te-luk saya melihat sama bentuknya dengan
fungsi kata “the” dalam bahasa Inggris, atau pun “de” dalam
bahasa Belanda, yang fungsinya digunakan untuk merujuk
pada seseorang, tempat, atau hal yang unik. Bisa kita lihat
bahwa Kata “Te-Luk” ini ada pula kaitannya dengan istilah
“Deluge” ((dĕl´yōōj) yang berarti membanjiri, banjir besar
dan/ atau air bah. Bentuk kata aslinya dalam Yunani kuno
adalah: λοέω ( loéō ) atau λόω ( lóō ) yang berarti:
Mencuci atau mandi.
Bentuk kata Deluge yang identik dengan teluk dan
bentuk aslinya dalam Yunani kuno: loéō atau lóō – bisa
dikatakan mengkonfirmasi teori saya sebelumnya bahwa
luwu adalah berarti teluk. Merupakan fenomena yang luar
biasa bahwa arti nama Luwu akhirnya dapat diketahui dari
sumber di luar Luwu itu sendiri, terlebih bahwa sumber itu
96 | Fadly Bahari

berasal dari wilayah Mediterania yang merupakan pusat


peradaban dunia di masa lalu. Kata Yunani kuno; loéō,
sebenarnya dapat kita jumpai sinonimnya pada toponim
Loeo di wilayah Sigi - Sulawesi tengah, yang hingga tahun
1905 masih masuk dalam wilayah klaim kedatuan Luwu.

Selain itu, arti dari λοέω ( loéō ) yaitu: “Mencuci” –


mengingatkan saya pada suatu nama desa di Tanah Luwu
bernama “Sassa” yang dalam bahasa Tae’ artinya Mencuci.
Desa Sassa bisa dikatakan salah satu desa di tanah Luwu
yang masih sangat kental dengan tradisi kunonya.
Di Desa Sassa terdapat Suku Limolang yang percaya
bahwa mereka berbicara bahasa To Manurung, yang
berfungsi sebagai sejarah lisan yang diwariskan dari
generasi ke generasi di komunitas Sassa. Hal ini
sebagaimana yang diungkap dalam buku “The Dynamics of
Decentralization in the Forestry Sector in South Sulawesi”
yang disusun oleh Putu Oka Ngakan, Dkk (2005). Berikut
ini kutipannya: …The Limolang tribe, who live in Sassa
village, believe they speak the To Manurung language, which
functions as aspoken history passed from generation to
generation in Sassa communities. Balaelo is the term used in
Sassa for the leader of a Limolang tribe.[10] Jika nama Desa
Sassa yang berarti “mencuci” ini memang ada keterkaitan
dengan bahasa Yunani kuno: λοέω yang juga berarti
“mencuci”, maka ia dapat diasumsikan sebagai salah satu
puzzle sejarah Luwu dari masa yang sangat kuno.
Kata “teluk” atau pun “Deluge” saya prediksi juga
memiliki keterkaitan dengan sebutan “Telugu” yakni
bahasa Dravida Selatan-tengah yang dikatakan asli dari
India, yang mana para penuturnya pun juga disebut
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 97

demikian. Suatu pendapat mengatakan etimologi telugu


memiliki bentuk awal tenugu (perubahan fonetik n menjadi
l) yang bentuk dasarnya berasal dari bahasa proto-Dravida
kata ten (yang berarti “selatan”) yang dapat dimaknai
"orang-orang yang tinggal di bagian selatan / arah
selatan"[11] …walaupun pernyataan ini terasa spekulatif
tapi biarlah saya katakana disini bahwa dugaan makna
telugu sama dengan “orang selatan” atau "orang-orang
yang tinggal di bagian selatan / arah selatan" memiliki
keterkaitan dengan pernyataan Prof. Santos yang
mengatakan “pembacaan yang teliti terhadap teks Strabo
tentang nama Ethiopia yang ditujukan bagi semua orang
yang tinggal di selatan garis katulistiwa, memberikan kesan
bahwa orang Antipode sebenarnya identik dengan bangsa
Ethiopia pada umumnya. Jika demikian, bangsa Atlantis
(Atlantean) – yang juga hidup di belahan bumi selatan –
adalah bangsa Ethiopia, terlepas apakah mereka itu orang
barat atau orang timur.”[12] Kenyataan ini mau tidak mau
mengarahkan kita pada pemikiran bahwa; telugu – Deluge –
atau pun λοέω (loéō) atau λόω (lóō) memang memiliki
keterkaitan yang erat dengan daerah Luwu di pulau
Sulawesi.
Uraian saya lebih lanjut mengenai kata “selatan” ini
adalah bahwa saya menduga kata selatan berasal dari kata
“selat”. Imbuhan akhiran –an pada kata selat-an
menunjukkan makna tempat. Tempat yang “dimaksudkan”
di sini akan ketahuan setelah kita tinjau kata selat dalam
bahasa islandia dan swedia yaitu; sund, yang merupakan
bentuk lain yang terlupakan dari Sunda. Jadi, Sunda arti
sesungguhnya adalah selat, – selat yang berada di ujung
selatan. Kuat dugaan saya bahwa inilah selat yang dilalui
sebelum memasuki negeri Atlantis yang diceritakan Plato.
98 | Fadly Bahari

Deluge yang bentuknya dalam bahasa Latin; dīluvium,


dan λοέω ( loéō ) dalam bahasa Yunani kuno – merupakan
bentuk kata yang sangat kuno, yang mana kemunculan kata
ini dalam Al-Kitab umumnya terkait dengan pembahasan
banjir bah di masa Nabi Nuh, sebagaimana arti Deluge
dalam bahasa inggris yakni; banjir bah.
Adapun hipotesis lain yang saya ingin ajukan seterkaitan
dengan hal ini adalah bahwa Banjir bah di zaman Nabi Nuh
kuat dugaan saya terjadi di Luwu sebagaimana Nabi Nuh
pun saya duga sesungguhnya berasal dari daerah ini.
Bentuk asli “Deluge” dalam Yunani kuno: λοέω ( loéō ),
yang berarti: mencuci – yang jelas-jelas sangat mirip
dengan “luwu” – lalu keberadaan toponim Sassa (di Luwu)
yang juga berarti: mencuci – serta kata “Deluge” sendiri
yang kemunculannya dalam Al-Kitab umumnya terkait
dengan pembahasan banjir bah di masa Nabi Nuh –
merupakan puzzle-puzzle tentang sejarah manusia yang
sangat kuno – yang terbenam teramat lama, terlupakan,
hingga hilang dalam ingatan kolektif manusia. Puzzle-
puzzle_, yang sejatinya dapat menuntun manusia kembali
mengenal siapa dan dari mana mereka berasal.
Penggabungan Puzzle-puzzle ini menggambarkan suatu
bentuk – yang dapat menuntun pada suatu kesimpulan
bahwa Luwu yang diceritakan dalam kitab I La Galigo
sebagai kerajaan awal yang didirikan oleh To Manurung
Batara Guru – sang “mula tau” atau “manusia pertama” –
ketika diturunkan dari langit – sesungguhnya, adalah
tempat pertama kali Nabi Adam merintis peradaban
manusia.
Anak-anaknya, dan keturunan anak-anaknya, sebagian
tetap menetap di Luwu dan sebagian lainnya menyebar di
permukaan bumi. Keturunannya yang menetap di Luwu,
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 99

yang mencapai masa Nabi Nuh yang kemudian


mendapatkan musibah banjir bah (pencucian muka bumi
dari para pendosa yang menentang kekuasaan langit).
Dalam tradisi agama Samawi, dikisahkan bahwa manusia
yang tersisa pada saat itu adalah Nabi Nuh, anak-anaknya,
dan beberapa orang pengikutnya yang turut serta di dalam
bahtera Nabi Nuh. Sementara itu, dalam cerita-cerita kuno
di Luwu, dikisahkan bahwa ketika pohon Welenreng
ditebang untuk dibuat perahu yang akan digunakan
Sawerigading berlayar ke negeri Cina, batang pohon
Welenreng yang sangat besar itu mengakibatkan banjir bah
yang menghanyutkan segala mahluk hidup. Cerita-cerita
kuno yang beredar di Luwu menyebutkan bahwa orang-
orang Bajoe diceritakan termasuk yang dihanyutkan banjir
bah itu, hingga menyebar ke segala arah. Tapi, tentu saja
cerita-cerita kuno orang Luwu yang bersifat Allegori
tersebut, tentu saja tidak dapat di maknai secara harafiah.
Secara pribadi, poin yang dapat ditarik dari cerita itu
adalah – terjadi banjir bah – dan orang-orang menyebar ke
berbagai arah.
Mungkin akan dianggap terlampau spekulatif jika saya
mengatakan bahwa daerah bernama Nuha di kabupaten
Luwu Timur merupakan Jejak nama Nabi Nuh di Luwu, tapi
hipotesis ini, dalam pandangan saya lebih merupakan jejak
lain dari keturunan Nabi Adam yang juga saya duga kuat
diturunkan pula di tanah Luwu, yang dalam kitab I La
Galigo dikenal sebagai Batara Guru.
Saya sangat paham bahwa keseluruhan uraian yang saya
sampaikan dalam buku ini, oleh sebagian orang akan
menganggapnya terlalu mengada-ada, tapi setidaknya
kesemua teori tersebut memiliki dasar argumentasinya
sendiri.
100 | Fadly Bahari

Sebagian orang-orang yang tidak sepakat mungkin akan


mengarahkan pertanyaan balik: lalu mana bukti
arkeologinya? – saya bisa menjawab bahwa sesungguhnya
buku ini hanyalah pengungkapan awal saja – berbasis
penelusuran saya terhadap berbagai literatur kuno dan
tentunya pendekatan linguistik.
Dalam penelusuran-penelusuran yang saya lakukan,
saya bukannya tidak mendapatkan spot-spot yang
teridentifikasi kuat memendam bukti arkeologis. Tentu saja
mengungkap di sini tanpa melalui pembuktian di lapangan
adalah tindakan prematur dan di sisi lain saya sadar bahwa
hal itu besar kemungkinannya akan menghadapkan spot-
spot tersebut pada tindakan penjarahan pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab.
Tapi terlepas dari itu semua, saya yakin bahwa fakta-
fakta yang terekam dalam bentuk kosakata bahasa “yang
memiliki makna tertentu” sebenarnya dapat menjadi
artefak sejarah yang sangat otentik. Hal ini bisa dikatakan
merupakan pengejawantahan dari ungkapan Wilhelm von
Humboldt “…karakter dan struktur suatu bahasa
mengekspresikan kehidupan batin dan pengetahuan dari
para penuturnya (…) Suara-suara tidak menjadi kata-kata
sampai sebuah makna dimasukkan ke dalamnya, dan makna
ini mewujudkan pemikiran suatu komunitas.”[13]
Karena itu, berdasar pada ungkapan Humboldt tersebut,
saya ingin katakan bahwa: dalam fakta “kata” senantiasa
memiliki makna, dan bawah struktur suatu bahasa
mengekspresikan kehidupan batin dan pengetahuan dari
para penuturnya (sebagaimana yang diungkap Humboldt) –
dan bahwa tidak ada jalan untuk ia dirusak atau
dimanipulasi, karena tersimpan dalam ingatan kolektif
manusia – dan serta mampunya suatu bahasa bertahan
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 101

hingga ribuan tahun – maka, esensi lain dari bahasa yang


dapat kita lihat dari kesemuanya itu, adalah bahwa bahasa
sejatinya merupakan dokumen sejarah yang sarat riwayat
dan sangat otentik. Pada bahasalah sesungguhnya
monument sejarah termegah manusia bersemayam.
Dan berdasar pada pemahaman ini, saya pikir adalah
tidak bijak untuk senantiasa menghadapkan penuntutan
fakta sejarah pada keberadaan bukti arkeologis semata-
mata – yang kita sangat pahami merupakan wujud materi
yang rentan mengalami pengrusakan alami dalam kurun
waktu tertentu, lenyap oleh bencana alam, serta bahkan
pula rentan dimanipulasi ataupun dihilangkan oleh
manusia itu sendiri.

Catatan:
1. yang dalam bahasa Indonesia bisa berarti gunung kecil, atau
gundukan tanda yang lebih tinggi dari sekelilingnya.
2. U.S. Army Special Forces Language Visual Training Materials –
TAUSUG. Hal. 2
3. Ibid.
4. Ibid. hlm. 5
5. Shelly Errington. Meaning and Power in a Southeast Asian
Realm (New Jersey: Princeton University Press, 1989) hlm. 69
6. Ini berbeda dengan Kata “Sau” dalam bahasa tae’ yang saya
identikkan dengan pelabuhan kuno Mesir “saw” atau “sauu”.
Kata sau ini tidak menggunakan tanpa petik (diakritik).
7. Dalam kisah I La Galigo Welenreng adalah pohon yang
digunakan Sawerigading untuk membuat kapal. Pohon
tersebut diturunkan dari langit, batangnya luar biasa besar
serta hamparan daunnya teramat luas. Ketika pohon ini
ditebang, dikisahkan sebilah dahannya melayang
membumbung hingga ke jurusan Cina, tiba tepat di atas atap
istana La Tanete di negeri itu. Orang-orang terperanjat karena
102 | Fadly Bahari

melihat di atas atap terdapat daun-daun kayu yang membara


bagaikan bara api. (R. A. Kern. I La Galigo. (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1989; 1993) hlm. 168-169
8. Louie Buana, 2014. "Sepupu Sawerigading dari Filipina"
https://lontaraproject.com/101-la-galigo/sepupu-
sawerigading-dari-filipina/
9. William H. Frederick & Robert L. Worden. Indonesia: a country
study (Federal Research Division Library of Congress, 2011)
hlm. 32
10. Putu Oka Ngakan, Dkk. The Dynamics of Decentralization in the
Forestry Sector in South Sulawesi - The History, Realities and
Challenges of Decentralized Governance. (Bogor: Center for
International Forestry Research, 2005) Hlm. 56
11. Telugu Basha Charitra. Hyderabad: Osmania University. 1979.
pp. 6, 7.
(https://en.wikipedia.org/wiki/Telugu_language#cite_note-
22)
12. Prof. Arysio Santos. Atlantis: The Lost Continent Finally Found.
(Jakarta: Ufuk Press, 2010) hlm. 215
13. The Encyclopaedia Britannica, Ninth Edition Vol-XII.
Edinburgh: Adam And Charles Black. 1881 hlm. 346
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 103

Dalam penelusuran yang saya lakukan beberapa tahun


ini, saya melihat bahwa dalam bahasa sesungguhnya
terdapat teramat banyak informasi-informasi yang jika
dinalar dengan baik akan mengarahkan kita pada petunjuk-
petunjuk penting tentang kejadian-kejadian pada masa lalu
– bahkan pada masa yang sangat kuno.
Sebagai contoh: kata Saww atau Sauu yang merupakan
nama pelabuhan mesir kuno (yang menurut para ahli
diperkirakan digunakan sekitar 2000 SM hingga 1000 SM)
– sebagaimana yang diungkap Abdul Monem A. H. Sayed
dalam tulisannya yang berjudul The Land of Punt: Problems
of the Archaeology of the Red Sea and the Southeastern Delta
yang terlampir dalam buku Egyptology at the Dawn of the
Twenty-first Century: Archaeology (2003) –
memperlihatkan keidentikan dengan kata Sauh yang dalam
bahasa Indonesia berarti jangkar kapal, dan kata sau dalam
bahasa tae’ yang berarti “lepas” (bentuk kata kerja ma’pa-
sau : melepas). Kaitan ketiga kata ini (Saww, sauh dan sau)
dapat kita gambarkan dalam uraian: Pelabuhan (Saww) –
adalah tempat melepas (Sau) – jangkar (Sauh).
Fenomena bahasa, dimana satu kata memiliki makna
yang berbeda tergantung pada bentuk kalimat mana ia
diletakkan, atau pun memiliki makna yang secara logis
dapat dicermati memiliki keterkaitan satu sama lain, pada
dasarnya umum terjadi. Kita dapat melihat contohnya pada
kata “ma’tasik” yang dalam bahasa tae’ atau pun bahasa
Bugis hari ini berarti “melaut”, di masa lalu dapat berarti
“berlayar/melaut menuju tanah arab”, karena saya
menduga bahwa kata tasik sesungguhnya berasal dari kata
104 | Fadly Bahari

“Tashik” yang merupakan sebutan bagi negeri Arab di masa


kuno. Hal ini sebagaimana yang diungkap oleh Dr. Jawwad
Ali dalam bukunya :
Teks-teks Pahlawi[1] menggunakan istilah "tadgik"
atau "tachik" atau "tashik" untuk menyebut Arab,
sebagaimana Persia juga menggunakan "tazi" untuk
menyebut maksud yang sama. Armenia menggunakan
istilah "tachik" untuk menyebut Arab dan umat Islam,
sedangkan orang China menggunakan istilah "tashi".[2]
Fakta ini memberi gambaran kepada kita bahwa betapa
umum kegiatan pelayaran yang dilakukan pelaut bugis ke
negeri Arab di masa lalu, sehingga secara alami kegiatan
melaut yang mereka lakukan secara general diistilahi
“ma’tasik”.[3]
Demikianlah, kata Saww, sauh dan sau, bisa jadi adalah
satu kata yang sama, yang memiliki makna beragam –
bergantung pada bentuk kalimat mana ia digunakan. Jika
pendapat ini dapat diterima, maka pertanyaan yang timbul
selanjutnya adalah: mengapa ada unsur bahasa Nusantara
di wilayah Laut merah? – inilah yang saya maksudkan
dalam uraian sebelumnya, bahwa “dalam bahasa
sesungguhnya terdapat teramat banyak informasi-informasi
yang jika dinalar dengan baik akan mengarahkan kita pada
petunjuk-petunjuk penting tentang kejadian-kejadian pada
masa lalu.”
Kesamaan kosakata bahasa seperti yang ditunjukkan di
atas pada sisi lain sebenarnya dapat menunjukkan kepada
kita bahwa pada titik tertentu di masa lalu bahasa itu
bertalian, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa apa
yang diungkap dalam Alkitab bahwa manusia pernah
berbicara dalam satu bahasa yang sama dalam beberapa
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 105

waktu setelah ini dapat terbukti. Berikut kutipan dari


Alkitab Kejadian 11 (1-9) mengenai hal ini:
Pada awalnya, orang-orang di seluruh dunia hanya
memiliki satu bahasa dan menggunakan kata-kata yang
sama. Saat orang bergerak ke arah timur, mereka
menemukan dataran di Shinar dan menetap di sana.
Mereka berkata satu sama lain, "Ayo, mari kita membuat
batu bata dan memanggangnya secara menyeluruh."
Mereka menggunakan batu bata, bukan batu, dan ter
untuk mortir. Kemudian mereka berkata, "Mari, mari
kita membangun sebuah kota, dengan menara yang
mencapai ke langit, sehingga kita dapat membuat nama
untuk diri kita sendiri, jika tidak kita akan tersebar di
seluruh permukaan bumi." Tetapi TUHAN turun untuk
melihat kota dan menara yang dibangun orang-orang.
Tuhan berkata, "Jika sebagai satu orang yang berbicara
bahasa yang sama mereka telah mulai melakukan ini,
maka tidak ada yang mereka rencanakan untuk
dilakukan tidak mungkin bagi mereka. Ayo, mari kita
turunkan dan membingungkan bahasa mereka sehingga
mereka tidak akan saling memahami." Jadi, Tuhan
menyebarkan mereka dari sana ke seluruh bumi, dan
mereka berhenti membangun kota. Itulah sebabnya
mengapa kota itu disebut Babel, karena di sanalah
Tuhan membingungkan orang-orang dengan bahasa
yang berbeda. Dengan cara ini dia menyebarkannya ke
seluruh dunia.
Saya setuju dengan pendapat Prof. Santos yang
menyatakan: Ide yang meluas tentang “keterpisahan
linguistik” – sebuah istilah yang tidak cocok (…) [yang
sebenarnya adalah] bahwa pertalian di antara bahasa-
106 | Fadly Bahari

bahasa yang berbeda ini belum ditemukan, bukannya tidak


ada.[4] Lebih lanjut santos mengatakan bahwa… ini hanya
merupakan konsekuensi dari fakta bahwa bahasa-bahasa
atau rumpun-rumpun bahasa ini tidak pernah diteliti
sebagaimana mestinya oleh para ahli yang ikut serta
menemukan pertalian-pertalian ini. Jadi, ketimbang
ditempatkan dalam kamar-kamar berbeda yang saling tidak
berhubungan, dam dianggap sebagai “keterpisahan
lingustik”, bahasa-bahasa ini lebih pantas dianggap “belum
diteliti”. Sehingga, perlu dikaji lebih jauh.[5]
Saya sangat sepakat dengan kalimat terakhir di atas, dan
karena itu, untuk merangsang para ahli agar lebih giat
meneliti bahasa, berikut ini saya mengungkap fenomena
lain dari bahasa…
Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan suatu fakta
menarik bahwa Bentuk I dan I La yang bersifat predikat[6]
yang umum digunakan di Luwu/Bugis ketika menyebut
nama, contoh: I La Galigo, yang mana di Bali-pun aksen ini
terlihat umum digunakan, contoh: I made, I wayan, dan
lain-lain – ternyata terdapat pula dalam peradaban Akkadia
Kuno dan Amorite. Frank Moore Cross (1973) dalam
bukunya Canaanite Myth and Hebrew Epic - Essay in the
History of the Religion of Israel menjelaskan sebagai berikut:
…ila adalah bentuk ejaan dari nama ilahi yang mana banyak
ilmuwan memilih bentuk normalnya sebagai / 'ilāh /. (...)
menunjukkan bentuk predikat baik dalam Amorite dan
Akkadia Kuno.[7] Ila atau Il adalah dewa utama dari
Mesopotamia pada periode Pra-Sargonik.[8] Lalu, di Mesir
kuno, nama Ptah dikenal sebagai dewa pencipta dan dewa
pelindung perajin. Ia dianggap sebagai arsitek agung alam
semesta.[9] Di sebelah utara wilayah Mesir, tepatnya
diseberang Laut Mediterania, orang-orang Turki kuno
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 107

mengenal nama “Tanri” atau “Tengri”, sebagai dewa utama,


dianggap memiliki keterkaitan dengan Sumerian,
dikarenakan dalam bahasa Sumerian, kata untuk Tuhan
adalah "dingir", atau dim(m)er, atau tiher.[10]
Tengri, sebagai kata untuk menyebut dewa atau makhuk
surgawi juga dikenal dalam kepercayaan orang-orang
Mongol di Asia Tengah. Hal ini terungkap secara jelas dalam
sumber sejarah Mongol tertua "The Secret History of the
Mongols (Mongolian Tradisional : Mongγol-un niγuča
tobčiyan), bahwa bangsa Mongol pada abad ketiga belas
menyembah kekuatan surgawi, yang mereka sebut Mönh
Tenger (Surga Abadi) atau Höh Tenger (Langit Biru), Khan
(penguasa) Surga abadi, atau Tuhan Maha Segalanya, yang
digambarkan sebagai yang tertinggi dari semua makhluk
surgawi. Di bawahnya, ada fenomena surgawi lainnya
dipersonifikasikan sebagai dewa atau Tengri.[11]
Yang menarik adalah bahwa kata “I La”, “Ptah” dan
“Tanri” adalah merupakan sebutan untuk kaum bangsawan
Bugis. Petta bisa kita lihat penggunaannya pada nama
pejuang Nasional Andi Pangerang Petta Rani, sementara
sebutan Tanri, biasanya digunakan sebagai nama orang-
orang keturunan bangsawan Bugis di masa lalu. Sama
seperti nama Baso dan Besse, yang di masa lalu, hanya
dibolehkan digunakan oleh keturunan bangsawan saja,
sehingga tanpa menggunakan gelaran Opu, andi atau gelar
bangsawan lainnya pun, seorang yang menggunakan nama
Baso atau Besse sudah dapat dipastikan merupakan
keturunan bangsawan. Namun, di masa sekarang hal ini
sudah tidak berlaku lagi.
Dalam sesi wawancara Tanri Abeng di majalah Matra
Issues 42-47 pada halaman 22, Tanri Abeng menjelaskan
arti namanya: “Guru saya bilang, dalam bahasa Bugis halus,
108 | Fadly Bahari

Tanri itu artinya tinggi di atas.” …hal ini sangat menarik


karena sangat selaras dengan pemaknaan “tanri” sebagai
sebutan dewa yang bertempat di langit dalam kepercayaan
orang-orang Turki kuno atau pun orang-orang Mongol.
Dalam bahasa bugis sendiri, terdapat kata “tanre” atau
“matanre” yang artinya tinggi.
Sebagai bahan pertimbangan untuk bentuk “tanri” dan
“tanre” adalah bahwa dalam bahasa Bugis terdapat
kecenderungan aksen yang mengubah bunyi fonetis i
menjadi e, contohnya pada frase cina’ pi (artinya: nanti
saja) yang jika penyebutannya digabung menjadi cinampe
(fonetis m timbul sebagai konsekuensi penggabungan kata
cina’ dan pi yang berfungsi menjembatani keduanya;
sementara itu, dapat kita lihat setelah penggabungan
tersebut fonetis i berubah menjadi fonetis e).
Di masa sekarang, orang-orang di Sulawesi Selatan pada
umumnya menerjemahkan “Tanri” secara harafiah, yakni:
“tidak…”, contohnya pada nama “Tanri Bali”, Tanri= tidak -
Bali= lawan, jadi, “Tanri Bali” dimaknai sebagai “tidak ada
lawan”.
Demikianlah sebagian fenomena menarik yang saya
maksudkan terdapat dalam bahasa. Tentu saja fakta di atas
memunculkan pertanyaan… bagaimana hal ini bisa terjadi –
bahwa nama-nama atau gelar bangsawan di Luwu/Bugis
adalah merupakan nama Dewa-dewa tertinggi di bangsa-
bangsa besar di masa kuno seperti, Akkadian, Mesir kuno,
Turki Kuno hingga Mongol? – apakah tidak mungkin inilah
tanah punt yang dianggap orang Mesir kuno sebagai tanah
Tuhan?, atau Dilmun, yang dianggap orang Sumeria sebagai
surga di timur, tempat terbitnya matahari – tempat para
leluhur dan para pahlawan besar mereka bersemayam
dalam keabadian?
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 109

Hal lain yang bisa saya sampaikan dalam kesempatan


ini, terkait fenomena bahasa, adalah temuan saya mengenai
adanya beberapa kesamaan leksikon dalam bahasa Yunani
dan bahasa Tae’, berikut uraiannya…

Kesamaan Leksikon bahasa Yunani dan bahasa


Tae’
1. Συλλαβή “syllaví” (bahasa Yunani) – Silapi’ (bahasa
Tae’)
συλλαβή “syllaví” merupakan akar kata syllable
(umum digunakan untuk istilah aksara Brahmik,
karena pada dasarnya wujud yang diwakili satu
symbol aksara Brahmik adalah suatu unit “suku kata”)
– melalui "silabel" Perancis Kuno, dan dari “silaba”
Latin. Dalam bahasa Yunani συλλαβή “syllaví”
bermakna “diambil bersama” atau arti harafiahnya
“disatukan”. Yang menarik karena dalam bahasa tae’,
terdapat kata silapi’ yang artinya “saling berlapis” atau
“saling melapisi”. Kata silapi’ dalam bahasa tae ini
terlihat sangat memiliki kesamaan dengan kata
συλλαβή “syllaví” dari bahasa Yunani – untuk
memaknai saling berlapisnya konsonan dan vokal
dalam aksara syllable.
2. Tla (bahasa Yunani) – tulak (bahasa Tae’)
Dalam buku “Atlantis” Arysio Santos menyebut tla
sebagai bahasa Yunani yang berarti “memikul,
menyangga.”[12]
Dalam buku The Nostratic Macrofamily: A Study in
Distant Linguistic Relationship oleh Allan R. Bomhard
dan John C. Kerns di paparkan sinonim kata tla dalam
beberapa bahasa rumpun Proto-Indo-European
110 | Fadly Bahari

*t[h]el-/*t[h]ol-/*t[h]l- "to lift, to raise, to stretch, to


extend" : Sanskrit tulá "balance, scale", tulayati "to lift
up, to raise, to weigh";... Latin tollō "to lift up, to raise,
to elevate; to take up, to take away, to remove, to bear
or carry away"...[13]
Dalam bahasa Tae’ Tulak artinya “menyangga” –
sehingga dapat kita lihat bahwa tla dan tulak sama-
sama bermakna menyangga.
3. λίθος "lithos" (bahasa Yunani) – litak (bahasa Tae’)
Dalam bahasa Yunani, λίθος "lithos" berarti batu.
Sebagaimana kita lihat, lithos dan litak memiliki
kemiripan fonetik, yang menarik, karena dalam bahasa
Tae’ litak dan batu sama-sama berarti tanah. Pada
masa sekarang, penutur bahasa Tae’ pada umumnya
masih dapat memahami litak artinya tanah, tapi kata
batu untuk artinya tanah saya pikir hampir sudah tidak
ada yang mengetahuinya, karena ini bahasa yang
kelihatannya sudah sangat kuno.
Dalam peta The East Indies and Southeast Asia John
Pinkerton (1818), pada peta pulau Sulawesi, di bagian
wilayah Luwu terdapat toponim batoe matoa; batoe
"tanah", matoa "tua", jadi artinya tanah tua.
Toponim lainnya yang menggunakan kata batu adalah
toponim uluwatu di bali yang berarti ujung tanah,
makna ini dibuktikan dengan fakta geografis uluwatu
yang berada di ujung selatan pulau Bali.
Saya menduga kata batu yang berarti tanah yang
sempat beredar di nusantara pada masa lalu,
kemungkinan berasal dari aksara hanzi 土 (tŭ) yang
berarti tanah atau bumi.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 111

4. ρύζι "rýzi" (bahasa Yunani) – resa’ (bahasa Tae’)


Dalam bahasa Yunani, ρύζι "rýzi" berarti “padi, beras,
nasi” dari kata ini kemungkinan kata rice dalam bahasa
Inggris berasal. Dalam bahasa Tae’ resa’ berarti padi.
Untuk beras disebut barra’, sementara nasi disebut
bobo’.
5. παι "pai" (bahasa Yunani) – pia (bahasa Tae’)
Dalam bahasa Yunani παι "pai" berarti “anak”,
sementara pia dalam bahasa Tae’ juga berarti “anak”.
Terlihat bahwa antara kedua kata ini (pia dan pia)
terjadi pertukaran posisi fonetik i dan a, walaupun
demikian, keduanya tetap memiliki makna yang sama.
Dalam hal penyebutan – kedua kata ini bisa dikatakan
terdengar tidak ada perbedaan, fonetik a pada p-a-i
(yunani) terbaca e (sebagaimana yang umum kita
temukan dalam bahasa Inggris), sementara fonetik i
pada p-i-a (tae’) juga terdengar terbaca e.
6. θάλασσα "thálassa" (bahasa Yunani) - talasalapang
(makassar)
Dalam bahasa Yunani θάλασσα "thálassa" artinya
“laut”, sementara itu terdapat toponim talasa di
wilayah Makassar yang secara geografis berposisi
dekat laut, lalu ada juga kata “talasalapang” dalam
bahasa Makassar (Sulawesi Selatan) yang secara
etimologi bisa saya katakan sesungguhnya berarti;
talasa = laut, lapang= luas, tapi bisa juga berarti
delapan. Adanya angka delapan dalam etimologi
“talasalapang” sesuai dengan temuan saya bahwa
terdapat “makna tertentu” pada nama-nama angka
dalam bahasa tradisional di Nusantara, yakni semacam
112 | Fadly Bahari

bentuk double-entendre (makna ganda), yang mana,


makna dari bentuk gandanya merupakan suatu
ungkapan bentuk perandaian atau simbolik yang
memuat rincian pesan yang dimaksudkan.
Angka 7 - untuk utara, mewakili unsur udara (angin),
dalam bahasa Indonesia disebut tujuh karena ia
menunjukkan arah tuju-an. Ini dapat kita pahami
mengapa demikian – setelah kita cermati bahasa
tradisional di Nusantara sebagian besar menyebut
angka 7 sebagai pitu. Pitu saya duga bentuk lainnya
adalah bidu’, yakni merujuk pada bintang biduk yang
letaknya di langit Utara, yang berfungsi sebagai
penunjuk arah dalam kegiatan navigasi. Jika angka 7
mewakili unsur udara (angin) dengan posisi di utara,
maka angka 8 mewakili unsur air dan berposisi di
barat. Dalam konsep Lokapala (yakni Dewa penjaga
arah mata angin) dalam tradisi Hindu, dewa penjaga
arah mata angin barat adalah Varuna “sang dewa laut”.
Demikianlah, kata talasapang dapat diartikan “laut
luas/lapang” atau laut “delapan”. Ini sesungguhnya
merupakan konsep kosmologi paling kuno dalam
peradaban manusia. (mengenai rincian makna angka-
angka lainnya, dapat dibaca pada buku saya: Nusantara
– Titik Awal Peradaban Manusia).
7. μάτια "mátia" (bahasa Yunani) - mata (bahasa Tae')
dalam bahasa Yunani μάτια "mátia" berarti “mata”,
hampir sama dengan kata mata dalam bahasa Tae’.
8. πούμε "poúme" (bahasa Yunani) - puamai (bahasa
Tae')
Dalam bahasa Yunani πούμε "poúme" adalah semacam
ungkapan "untuk berbicara tentang sesuatu" atau
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 113

ekspresi "bercerita satu sama lain" - makna ini hampir


sama dengan makna "puamai" dalam bahasa Tae' yang
bisa diartikan "katakan sini" atau "ceritakan saja"
(pua=katakan, mai=kesini)
9. τό "tó" (bahasa Yunani) - to' (bahasa Tae')
Dalam bahasa Yunani τό "tó" artinya "itu", persis sama
dengan to' dalam bahasa tae yang juga berarti itu.
10. αυτό "aftó" (bahasa Yunani) - apa to' (bahasa Tae')
Dalam bahasa Yunani αυτό "aftó" berarti "ini". bentuk
"aftó" hampir sama dengan apa to dalam bahasa Tae'
tetapi maknanya agak berubah, karena apa to' dalam
bahasa Tae' bermakna menunjukkan letak dengan
penekanan tanda seru, contoh: itu apa!
11. γόνατο "gónato" (bahasa Yunani) - guntu' (bahasa
Tae')
Dalam bahasa Yunani γόνατο "gónato" berarti "lutut",
sangat mirip dengan guntu' dalam bahasa Tae' yang
juga berarti lutut.
12. φόβο "fóvo" (bahasa Yunani) - poppo' (bahasa Tae')
Dalam bahasa Yunani φόβο "fóvo" berarti "takut atau
ketakutan", lucunya, dalam masyarakat penutur
bahasa Tae' makhluk halus yang ditakuti umumnya
disebut poppo'.
13. πατήστε "varý" (bahasa Yunani) - parri (bahasa Tae')
Dalam bahasa Yunani πατήστε "varý" berarti "berat",
identik dengan kata parri' atau maparri' yang dalam
bahasa Tae' bermakna: kesulitan yang membebani
pikiran.
114 | Fadly Bahari

Demikian beberapa kesamaan leksikon bahasa Yunani


dan Bahasa Tae’ yang sejauh ini dapat saya sampaikan.

Catatan:
1. Pahlavi scripts: Literatur kuno yang dilestarikan dalam
bahasa Persia tengah.
2. Dr. Jawwad Ali. Sejarah Arab sebelum Islam (Tangerang
Selatan: PT Pustaka Alvabet, 2018) hlm. 17. diterjemahkan
dari judul asli: Al-Mufashshal fi Tarikh Al-Arab Qabla Al-Islam
(1968)
3. Terkait kata “tasik” ini, saya juga menduga bahwa asal usul
dari nama Tasikmalaya sesungguhnya berasal dari kata
“tasik” yang berarti Arab, dan “malaya” yang berarti Melayu.
Istilah ini kemungkinan berasal dari fakta banyaknya
pedagang dan Muballigh keturunan Arab yang bermukim di
wilayah ini di masa lalu, serta pengungsi dari Malaka (orang
Melayu) yang sebagian diantaranya merupakan tentara
Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah jawa
setelah negerinya gagal direbut kembali dari Portugis oleh
pasukan Pati Unus yang menyerang Malaka di tahun 1521.
4. Prof. Arysio Santos. Atlantis, The Lost Continental Finally
Found (Jakarta: Ufuk Press, 2010) Hlm. 166
5. Ibid. hlm. 166-167
6. Dalam tata bahasa, predikat adalah bagian kalimat yang
menandai apa yang dikatakan oleh pembicara tentang
subjek.
7. Frank Moore Cross. Canaanite Myth and Hebrew Epic - Essay
in the History of the Religion of Israel. (London: Harvard
University Press, 1973, 1997) hlm. 14
8. Ibid
9. Gerald Massey. Egyptian Wisdom and the Hebrew Genesis
(New York: Cosimo, 2008) hlm. 319
10. The Cambridge Ancient History vol. I, Part I: Prolegomena and
Prehistory. Edited by: I.E.S. Edwards F.B.A, C.J. Gadd F.B.A.,
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 115

dan N.G.L. Hammond F.B.A. (Cambridge University Press,


1970) hlm. 151-152
11. Carole Pegg. Mongolian Music, Dance, & Oral Narrative:
Performing Diverse Identities (University of Washington
Press, 2001) Hlm. 116
12. Arysio Santos. Atlantis hlm. 179
13. Allan R. Bomhard, John C. Kerns. The Nostratic Macrofamily:
A Study in Distant Linguistic Relationship (Berlin, New York:
Mouton de Gruyter, 1994) hlm. 281
116 | Fadly Bahari

Dalam literatur kesejarahan Asia kecil (Turki hari ini)


dikenal Budaya Luwian yang berkembang di Zaman
Perunggu Asia Kecil bagian barat. Sejauh ini, Luwian telah
dieksplorasi terutama oleh para ahli bahasa, yang belajar
tentang orang Luwian melalui banyak dokumen dari
Hattuša, ibu kota peradaban orang Het di Asia Kecil bagian
tengah.[1]
Hari ini, istilah “Luwian” sering digunakan untuk
menunjukkan bangsa di ujung timur Mediterania selama 10
dan abad ke-9 SM. Namun, naskah hieroglif Luwian di barat
dan selatan Asia Kecil juga menunjukkan dibuat pada awal
2000 SM, Oleh karena itu, istilah Luwian juga diterapkan
pada masyarakat adat yang tinggal di Anatolia barat dan
selatan - selain Hattians - sebelum kedatangan orang Het
dan selama pemerintahan Het. Selain itu, sebagian besar
dokumen hieroglif Luwian sejauh ini telah ditemukan di
awal Zaman Besi Suriah dan Palestina.
Menariknya, bangsa Luwian juga seringkali dikaitkan
dengan "sea peoples" atau orang laut yang secara ganas
menginvasi wilayah mesir kuno dan wilayah lain dari
Mediterania Timur yang mengakibatkan peradaban Zaman
Perunggu Akhir runtuh untuk selamanya (1200-900 SM).
Tulisan di dinding kuil kamar mayat Ramses III di Thebes
kuno (Mesir) berbicara tentang sebuah invasi dari yang
disebut sebagai Bangsa Laut.[2]
"The Sea Peoples" hingga saat ini tetap tidak
teridentifikasi di mata kebanyakan sarjana modern, dan
sumber hipotesis tentang asal usul mereka banyak bersifat
spekulasi.
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 117

Memasuki era iron age, di sekitar abad 7 SM, bekas


wilayah Luwian kemudian dikenal sebagai Lydia. kemudian
menjadi wilayah turki untuk masa sekarang ini.
Bahasa Lydian adalah bahasa Indo-Eropa di keluarga
bahasa Anatolia, terkait dengan Luwian dan juga bahasa
"orang laut". bahasa Lydian akhirnya punah pada abad 1
SM. Dari penerjemahan sebuah prasasti Lydian, berhasil
diterjemahkan kata “Bira” yang berarti; rumah.[3]
Dari semua informasi yang terkait dengan bangsa
Luwian ini, dan dengan mencermati bentuk penyebutan
namanya, kuat dugaan saya bahwa bentuk dasar dari nama
Luwian adalah “Luw” atau “Luwu” sebagaimana kelaziman
orang-orang Eropa ketika menyebut nama suatu bangsa
yang sering memberi akhiran –an, seperti India yang
menjadi Indian atau Indonesia yang menjadi Indonesian.
Sementara itu, kosa kata “Bira” dalam bahasa Luwian
yang berarti “rumah”, saya menduga ada keterkaitan
dengan suatu daerah bernama Bira di ujung selatan pulau
Sulawesi, yang merupakan pusat pembuatan perahu
Phinisi. Pemikiran ini didasari fakta adanya keterkaitan
yang erat antara Bangsa Luwian dengan Bangsa Laut “The
Sea People”, bahwa bisa jadi asal usul bangsa Luwian di Asia
Kecil pada masa kuno berasal dari para Penjelajah Laut dari
pulau Sulawesi yang kemudian menjadikan nama kampung
halamannya sebagai sebutan untuk “rumah” dipemukiman
baru mereka. Bentuk bahasa yang identik dengan hal ini
dapat kita lihat pada sebutan Banua atau Wanua yang
dalam bahasa tradisional di pulau Sulawesi berarti
“rumah”, “kampung” juga “negeri”.
Di wilayah Asia kecil inilah kata tanri merupakan bentuk
nama Dewa, sebagaimana telah saya ungkap sebelumnya
(Bagian 5: Bahasa Sebagai Artefak Sejarah Yang Otentik).
118 | Fadly Bahari

Dari Old Turki * Tenri ( “ dewa langit biru ” ) , dari Proto-


Turki * Tenri atau * Tanri ( “ dewa; langit, surga ” ), yang
menurut hipotesis Altai kontroversial, adalah mungkin dari
Proto- Altaic * t`aŋgiri ( " sumpah, Tuhan " ) . Menurut
interpretasi G. Starostin, kata ini didasarkan pada Altaic
yang umumnya merupakan istilah agama atau yuridis.
Etimologi yang diusulkan ini menganggap bahwa 'langit'
dalam bahasa Turki memiliki makna sekunder yang
diturunkan dari makna utama 'Tuhan'... Bentuk Turki Kuno
dicatat oleh Mahmud al-Kashgari (abad ke-11). Bentuk
tertua dari nama ini dicatat dalam catatan Cina dari abad
ke-4 SM, menggambarkan keyakinan Xiongnu . Ini
mengambil bentuk 撐 犁/撑 犁 (chēnglí), yang dipahami
sebagai transkripsi Cina dari bentuk Proto-Turki. Asal lebih
lanjut dari kata tersebut tidak pasti.[4]
Masih di wilayah Mediterania, tepatnya di wilayah
Yunani sekarang, terdapat semenanjung bernama
“Peloponnese” yang kemungkinan bentuk aslinya adalah
“Pelopo” sebagaimana penyebutan orang-orang Eropa
terhadap bugis; Buginese, serta Makassar; Makassarese,
dan masih banyak contoh lainnya. Jika hal ini dapat
diterima maka saya ingin katakan bahwa nama ini pun
sangat identik dengan nama Palopo yakni sebuah kota di
Provinsi Sulawesi Selatan, yang sejak beberapa ratus tahun
yang lalu menjadi pusat kerajaan Luwu. Seperti halnya
bangsa Luwian yang kuat dugaan saya berasal dari
Sulawesi, Peloponnese ini pun juga bisa jadi memiliki kaitan
kesejarahan pula dengan pulau Sulawesi. Mungkin
pernyataan ini bisa dikatakan terlalu dini, walau
sebenarnya, dalam buku “Atlantis”, Prof. Arysio Santos
telah melangkah jauh lebih dahulu dengan mengatakan:
“…Yang terpenting, kini jelaslah bahwa bangsa Yunani – juga
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 119

bangsa Eropa dan Timur Dekat berkulit putih lainnya,


termasuk Ethiopia – berasal dari sana, di Indonesia.
Kemudian, belakangan mereka berpindah ke wilayah
Mediterania ketika kampung halaman mereka dihancurkan
dan ditenggelamkan oleh banjir, kurang lebih sama dengan
pernyataan Plato dan sumber-sumber kuno lainnya…”[5]

Catatan:
1. https://luwianstudies.org/who-are-the-luwians/
2. https://luwianstudies.org/the-sea-peoples-inscriptions-
and-excavation-results/
3. Sir George L. Campbell. Compendium of the World's
Languages, Volume 1: Abaza to Kurdish. (London: Routledge,
1991) Hlm. 82
4. https://en.wiktionary.org/wiki/tanrı ... Starostin, Sergei;
Dybo, Anna; Mudrak, Oleg (2003) Etymological dictionary of
the Altaic languages (Handbuch der Orientalistik; VIII.8),
Leiden, New York, Köln: E.J. Brill: “*t`aŋgiri”
5. Prof. Arysio Santos. Atlantis: The Lost Continent Finally
Found (Jakarta: UFUKPRESS, 2010) Hlm. 452
120 | Fadly Bahari

Di Madagaskar, saya temukan toponim Ampasimanjeva


yang saya perkirakan adalah bentuk bahasa Makassar
"ampa sima jappa" yang berarti: "menarik biaya
perjalanan," jadi saya menduga, di masa lalu, desa itu
merupakan tempat tinggal para pemilik armada kapal.
Ampasimanjeva berada di distrik Manakara, nama yang
identik dengan ungkapan "manakkara" - yang sekarang
menjadi slogan resmi pada lambang pemerintah kabupaten
Mamuju. Kisah masa lalu yang menyertai penamaan desa
Manakara di Madagaskar pada kenyataannya terkesan
memiliki keterkaiatan yang erat dengan sejarah wilayah
Mamuju/Mandar, yang sekarang menjadi provinsi Sulawesi
Barat.
Dari sebuah situs di internet saya menemukan
penjelasan asal nama daerah Manakara yang ada di
Madagaskar. Sumber tersebut menyebutkan bahwa nama
"Manakara" berasal dari dua makna: makna pertama
berasal dari keberadaan batu karang besar atau "aram-
bato" yang ada di laut, dari utara ke selatan. Jadi tempat ini
disebut "manana aram-bato" maka jadilah nama
"Manakara". Batu karang besar ini dijaga oleh makhluk gaib
yang hidup di bawah air; "Rangahy Sola". Makna kedua dari
nama Manakara adalah karena ungkapan "7 vinany". Yang
mana berarti: pertemuan air tawar dengan air laut, dimana
7 aliran air tawar [Sungai] mengalir ke muara hingga
terhubung kelaut.[1] Walaupun penjelasan ini agak samar-
samar, tapi saya pikir pembaca dapatlah melihat adanya
hubungan dari penjelasan makna kedua dengan ungkapan
yang terkenal dalam literatur kesejarahan bumi Manakkara
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 121

di Sulawesi Barat, yakni; "Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba'bana


Binanga" (Tujuh Kerajaan di Hulu Sungai, dan Tujuh
Kerajaan di Hilir Sungai, yang bersatu membentuk Negara
Konfederasi di masa lalu). 7 vinany kemungkinan bentuk
aslinya adalah 7 binanga atau minanga (yang dapat berarti
muara sungai).
Manakara adalah ibu kota region Vatovavy Fito Vinany,
yang mana nama region ini pun sangat ada kemiripan
dengan nama desa “Pitung Penanian” yang terletak di
kecamatan Rantebua – Toraja Utara.
Berbicara mengenai orang Bugis sebagai pemilik armada
kapal yang melayani pelayaran di Madagaskar, Afrika serta
pelayaran melintasi Samudera Hindia ke wilayah lainnya,
disana, terdapat kapal yang disebut Mtepe - buatan suku
Bajun. Mtepe merupakan jenis kapal penumpang yang saat
itu merupakan kapal yang umum digunakan di pantai
Afrika Timur.[2] Kapal ini cukup luas untuk mengangkut
barang-barang menempuh jarak jauh. Kemampuan Suku
Bajun dalam membuat kapal tersebut dikarenakan mereka
merupakan keturunan dari orang Bajo dari masa lampau.
Untuk pendapat ini, Robert Dick mengatakan: Jika suku
Bajun terkait dengan suku Bajo dari Indonesia, Suku Bugis
dari Sulawesi memiliki peluang yang lebih besar untuk
dihubungkan dengan bangsa Afrika/ Madagaskar.[3]
Dugaan Robert Dick ini cukup mendasar jika mencermati
mata pencaharian suku Bajun Afrika adalah sebagai
nelayan – dan dibandingkan dengan binatang lain, mereka
sangat senang menangkap mentimun laut atau teripang –
yang mana hal ini identik dengan Suku Bajo dan Bugis
Makassar yang rela berlayar hingga ribuan mil ke laguna-
laguna dangkal di pantai utara Australia untuk menangkap
122 | Fadly Bahari

binatang tersebut, dan menjualnya sebagai makanan mahal


di pasar-pasar di dataran Cina.[4]
Suku Bajun Afrika juga memiliki cara yang tak biasa
dalam menangkap kura-kura, yaitu dengan menggunakan
seekor remora – atau ikan pengisap. Setelah menangkap
seekor remora yang biasanya berukuran panjang 30 hingga
90 cm, mereka memasang pada ekornya sebuah benda
berbentuk cincin dan tali. Jika seekor kura-kura ditemukan,
sang remora dilepaskan dan dengan cepat menempatkan
mulut penghisapnya pada cangkang kura-kura yang
berbobot sampai dengan 11 kg atau lebih itu ke dalam
perangkap. Teknik yang sama digunakan oleh nelayan-
nelayan di sebagian wilayah Melanesia, Jepang, dan
Australia Utara.[5] Dapat diduga jika teknik tersebut
didapatkan suku Bajun dari Suku Bajo atau Suku Bugis
Makassar yang kemungkinan besar memang merupakan
asal dari keturunan mereka. Pada kisaran waktu itu, hanya
suku bajo yang telah terbukti melakukan pelayaran sangat
jauh lintas benua seperti itu.
Terkait kapal Mtepe yang berfungsi sebagai kapal
penumpang di masa lalu, saya menduga ada keterkaitan
dengan asal usul penamaan Pete-pete – sebagai istilah
untuk angkutan umum yang secara luas digunakan
masyarakat di beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Bisa
saja ada kemungkinan bahwa Mtepe yang merupakan nama
angkutan umum pelayaran pada masa lalu, seiring
berjalannya waktu terserap menjadi istilah untuk nama
angkutan umum di darat di Sulawesi Selatan.
Istilah ini kemungkinan dibawa oleh para pelaut Bugis
Makassar atau pelaut Bajo dari Afrika, kemudian
mempopulerkannya di Sulawesi Selatan. Hal ini saya pikir
relevan dengan ungkapan William Marsden yang
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 123

mengindikasikan Pelaut Bugis Makassar sebagai “sumber


trend di masa lalu”, yang mana hal ini dapat dimengerti
dikarenakan mereka memiliki banyak pengalaman dengan
mengunjungi banyak tempat dalam aktifitasnya sebagai
pelaut. Berikut ini saya mengutip ulang ungkapan Marsden
tersebut: "Orang-orang Bugis Makassar yang datang tiap
tahun untuk berdagang di Sumatra dianggap para penduduk
setempat sebagai teladan dalam cara bersikap, bangsa
Melayu meniru gaya berpakaian mereka, serta membuat
pantun-pantun yang memuji pencapaian mereka. Reputasi
mereka tentang keberanian, yang melebihi semua pelaut di
perairan bagian timur, mendapat sanjungan khusus. Mereka
juga memperoleh rasa hormat dari barang-barang mahal
yang mereka datangkan, serta semangat yang mereka
tunjukkan ketika membelanjakannya dalam permainan,
sabung ayam dan opium."
Keberadaan unsur toponim yang identik antara yang ada
di pulau Sulawesi dan Madagaskar bukanlah hal yang
mengejutkan karena bahasa yang digunakan masyarakat di
kedua pulau, oleh para ahli lingustik telah disepakati
teridentifikasi sebagai bagian dari pada rumpun bahasa
bahasa Austronesia.[6]
Otto Dahl (1951) walaupun secara umum
mengemukakan bahasa Malagasi ada keterkaitan dengan
Bahasa Ma’anjan, namun di sisi akhir dalam bukunya yang
berjudul “Malgache et Ma’anjan” ia juga mengatakan bahwa
terdapat unsur dalam Malgache yang mengarah ke Celebes
(Sulawesi).[7] Berikut ungkapan Otto Dahl dalam Malgache
et Ma’anjan hlm. 372 tersebut: “Les resemblances avee le
Maanjan ne resolvent pourtant pas tous les problems du
Malgache. Il ya dans le Malgache des elements qui semblent
nous orienter vers Celebes. Mais une nation qui a pousse ses
124 | Fadly Bahari

expeditions maritime jusqu’en Afrique, a certainment pu,


long temps auparavant, traverse le Detroit de Macassar, et a
subi l’influence des langues de Celebes.”[8]
Pradiptajati Kusuma dkk, Dalam artikelnya
“Mitochondrial DNA and the Y chromosome suggest the
settlement of Madagascar by Indonesian sea nomad
populations”[9] menyampaikan bahwa nilai FST kromosom
Y yang ketika divisualisasikan dengan Surfer, menunjukkan
bahwa populasi Indonesia dengan afinitas terdekat ke
Malagasi berasal dari daerah dekat garis Wallace di barat
dan selatan laut Sulawesi (Sulawesi selatan, timur Borneo
dan Kepulauan Sunda Kecil). Populasi dengan afinitas
tertinggi ke Malagasi adalah Mandar (Sulawesi), Flores
(Sunda Kecil), Bajo (Sulawesi), dan Kalimantan Timur
Dayak dan Lebbo '(Kalimantan).
Dalam kesimpulannya, Pradiptajati Kusuma dkk,
mengusulkan bahwa pemukiman Madagaskar memiliki
akar dari Indonesia yang lokasinya berada di sekitar
Sulawesi selatan, pulau Sunda Kecil dan Kalimantan bagian
timur.
Keberadaan Populasi orang Indonesia di Madagaskar,
diduga kuat terkait dengan aktifitas kelompok nomaden
laut modern dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya
Melayu kuno di masa lalu. Nenek moyang orang Malagasi
datang dari Indonesia membawa garis keturunan ibu
dengan kontribusi putatif yang lebih besar dari Indonesia
Timur, dan garis keturunan ayah dari Indonesia timur dan
barat. Tidak adanya hubungan genetik yang jelas antara
Malagasi dan setidaknya beberapa populasi yang berbicara
bahasa mereka yang paling terkait erat, Ma'anyan,
memunculkan pertanyaan penting tentang; hubungan
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 125

antara gen dan bahasa dalam penyebaran Indonesia di


Samudra Hindia.

Visualisasi nilai FST kromosom Y

Pada bagian lain (dalam artikel yang sama), Pradiptajati


Kusuma dkk mengutip pendapat Bulbeck[10] yang
mengungkap adanya aktifitas penjelajahan dan
perdagangan laut di masa lalu sebagai jaringan interaksi
jarak jauh berbasis laut yang diduga kuat telah berkembang
sejak ribuan tahun yang lalu, setidaknya dimulai pada
Holocene awal.
Mengenai Timur Jauh sebagai asal dari peradaban dunia,
Prof. Santos telah mengurai hal ini secara panjang lebar
dalam bukunya yang sensasional “Atlantis: The Lost
Continent Finally Found”. Hanya saja, memang, beliau tidak
secara spesifik menyinggung Negeri Sabah atau Negeri Pagi
(kaum penyembah Matahari) yang telah saya ungkap
sebelumnya berasal dari Nusantara, sebagai aktor utama
penyebaran tersebut. Ia lebih menitik beratkan
identifikasinya tentang para penyebar peradaban terawal
di muka bumi itu dilakukan oleh kaum dari negeri Atlantis
126 | Fadly Bahari

yang saya pikir adalah sama saja dengan kaum negeri


Sabah (kaum penyembah Matahari). Namun begitu, dalam
beberapa bagian dalam bukunya, Santos tetap beberapa
kali membahas konsep kosmologi kuno tentang Matahari
Terbit, seperti pada bagian yang membahas ornament
sebuah vas Minoa yang menggambarkan matahari terbit
dari perairan samudra untuk menandai fajar era baru bagi
dunia, yang dianggapnya memiliki keterkaitan dengan
Atlantis.[11]
Secara umum, saya melihat bahwa Prof. Santos lebih
terfokus pada pengungkapan misteri Atlantis dan Surga
yang hilang. Tapi itu bukanlah masalah. Saya berpendapat
bahwa beliau telah sangat berkontribusi besar dalam
mengungkap banyak fakta dari berbagai sumber literatur
kuno demi menguatkan hipotesisnya, dan bahwa apa yang
kemudian saya upayakan ungkap dalam buku ini semoga
dapat sedikit banyak turut melengkapi usaha beliau
tersebut.
Jika dalam bukunya Prof. Santos berfokus pada
pengungkapan Nusantara (Indonesia) sebagai lokasi
Atlantis dan eden yang sesungguhnya, maka saya dalam
kesempatan buku ini dapat dikatakan hanya fokus memberi
detail yang terlewatkan, sekaligus memberi penjabaran
terkait beberapa fakta penting yang diungkapkannya.
Terkait tema yang tengah kita bahas pada bagian ini
(yakni jejak Luwu/Bugis di Madagaskar dan Afrika), pada
buku Atlantis – Prof. Santos, saya melihat kita bisa merujuk
pada pembahasannya mengenai orang Ethiopia Barat dan
Ethiopia Timur Jauh.
Perihal tema orang Ethiopia ini, Prof. Santos mengutip
Homer yang mengatakan bahwa Ethiopia Timur Jauh
sebagai salah satu dari dua Ethiopia, di mana Ethiopia
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 127

lainnya berlokasi di Libia (Afrika Utara). Ethiopia Barat ini


dinamakan demikian karena negeri ini juga didiami oleh
bangsa Ethiopia berkulit putih yang menginvasi wilayah ini
pada permulaan zaman. Hal yang kemudian diduga oleh
Santos sebagai invasi yang dimaksudkan oleh Plato, saat
menulis tentang adanya invasi bangsa Atlantis ke wilayah
Mediterania dalam dialog-dialognya, bukan invasi bangsa
orang laut yang terjadi lama sesudahnya.[12]
Menurut Santos, Dua selat yang digambarkan dalam
kosmogram Mesir dapat disamakan dengan dua ujung
dunia yang disebutkan dalam odyssey karya Homer (1:22)
sebagai dua tempat yang dihuni oleh : “bangsa Ethiopia…
yang tinggal di ujung-ujung dunia, terbagi menjadi dua, satu
di tempat matahari (Hyperion) terbit, dan yang lainnya di
tempat ia terbenam.”[13]
Santos juga mengutip sejarawan Ephorus (405-330 SM),
yang semasa dengan Plato, yang menjelaskan tradisi awal
saat bangsa Ethiopia menyerang dan menaklukkan Libia
(Afrika Utara), termasuk di dalamnya pegunungan Atlas,
dan kemudian menetap di sana.[14]
Selanjutnya Santos juga mengutip Herodotus (History
VII:70) dan Strabo (Geographica XV:21) yang juga
membicarakan dua Ethiopia, satu di timur dan satu di barat.
Salah satu berada di Afrika, dan yang lain mengembara
bersama orang-orang India, yang mana mereka sangat
mirip.
Santos juga mengutip pernyataan yang sangat menarik
dari Diodorus Siculus (History III:2:4) yang secara spesifik
mengatakan: “Mereka (orang-orang Ethiopia) juga
mengatakan bahwa bangsa Mesir adalah penduduk baru
yang dibebaskan oleh bangsa Ethiopia. Osiris menjadi
pemimpin koloni tersebut.” Santos mengatakan bahwa cerita
128 | Fadly Bahari

ini benar-benar menarik, karena ia membalikkan tradisi-


tradisi lazim tentang Osiris – atau Dionysos (nama lainnya),
Herkules, dan sebagainya – yang menginvasi India, fakta
yang tidak pernah terjadi. Berdasarkan catatan-catatan
yang jelas di atas, bisa disimpulkan bahwa mungkin, bangsa
Yunani kuno membuat dongeng dari peristiwa yang
sebenarnya membalikkan fakta itu dalam rangka untuk
menutupi kekalahan memalukan yang sebenarnya mereka
alami di tangan bangsa Ethiopia Timur. Invasi awal oleh
bangsa Ethiopia ini juga sangat mungkin sama dengan
invasi yang dinyatakan oleh Theopompos, yang juga satu
masa dengan Plato. Walaupun Theopompos memposisikan
peristiwa tersebut dalam semangat mitos, tradisinya
tentang Eusebes adalah sama dengan tradisi historis yang
baru saja dituturkan. Dan tradisi ini secara jelas didasarkan
pada realitas – bahwa kedua “Ethiopia” tersebut dipastikan
pernah ada, seperti yang dinyatakan oleh Homer. Selain itu,
sebagaimana dituturkan oleh Ephorus, bangsa Ethiopia
berkulit putih (atau sere) jelas berasal dari Timur.[15]
Dari Philostratus (Vit. ApoL II:33f), Santos mengutip
pernyataan bahwa “Bangsa India adalah manusia paling
bijak. Bangsa Ethiopia adalah sebuah koloni mereka, dan
mereka mewarisi kebijaksanaan ayah mereka.” Menurut
Santos, Ethiopia yang dibicarakan di sini adalah Indonesia,
yang sebelumnya pernah didiami oleh orang-orang India,
yang rupa-rupanya berasal dari sana. Sebenarnya, koloni
Dravidian yang disebutkan di sini disebabkan oleh
kembalinya mereka ke wilayah tersebut (Indonesia), pada
abad pertengahan.[16]
Demikianlah kutipan-kutipan dari Buku Prof. Santos
yang cukup banyak menguraikan data dari berbagai
literatur kuno tentang keberadaan orang Ethiopia timur
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 129

(Nusantara) dan Ethiopia barat (Benua Afrika) berikut


hubungan yang ada diantara mereka.

Catatan:
1. Tatiana R: https://voyage-madagascar.org/photos-de-
manakara/
2. Robert Dick-Read. Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban
Nusantara di Afrika Diterjemahkan dari judul asli: The
Phantom Voyagers. (Bandung: Mizan Pustaka, 2008) Hlm.
154
3. Ibid, hlm. 156
4. Ibid, hlm. 153.
5. Ibid, hlm. 153-154
6. Ibid , Hlm. 146
7. Ibid, hlm. 149
8. Ibid, hlm. 351 catatan nomor 6.
9. in BMC Genomics - December 2015
(https://bmcgenomics.biomedcentral.com/articles/10.1186
/s12864-015-1394-7)
10. Bulbeck D. An integrated perspective on the Austronesian
diaspora: The switch from cereal agriculture to maritime
foraging in the colonisation of Island Southeast Asia. Aust
Archaeol. 2008;67:31–52.
11. Prof. Arysio Santos. Atlantis: The Lost Continent Finally
Found. (Jakarta: Ufuk Press, 2010) hlm. 265-266
12. Ibid, hlm. 442
13. Ibid, hlm. 249
14. Ibid, hlm. 250
15. Ibid, hlm. 251-252
16. Ibid, hlm. 252-253
130 | Fadly Bahari

Pendapat umum tentang etimologi Bahrain mengatakan


bahwa: Bahrayn adalah bentuk ganda dari bahasa Arab
bahr ("laut"), jadi al-Bahrayn berarti "dua lautan". Ahli tata
bahasa abad pertengahan al-Jawahari mengomentari
perkataan ini bahwa istilah Bahrī yang secara formal lebih
tepat (lit. “milik laut”) telah disalahpahami dan tidak
digunakan.[1]
Pada masa lalu, Bahrain dikenal sebagai “Awal”. Nama
kuno Bahrain ini, oleh beberapa kalangan dianggap berasal
dari nama dewa yang digunakan untuk disembah oleh
penduduk pulau-pulau sebelum munculnya Islam. “Awal”
Menyerupai kepala Lembu.
Awal (bahasa Arab : ‫ )أوال‬artinya: Pertama. Hal ini
identik dengan kata dalam bahasa India – Avval / Awwal
(Hindi: अव्वल) artinya: Pertama, utama, permulaan atau
terdahulu. kesamaan ini menyebabkan ada sebagian
kalangan yang berpendapat bahwa representasi dewa
"Awal" yang menyerupai kepala Lembu memiliki kemiripan
dengan dewa Nandi dari umat Hindu, dan menyarankan
pendapat tentang adanya hubungan agama dan budaya di
antara keduanya.
Mencermati nama “Awal” sebagai nama kuno Bahrain,
menginspirasi saya mencermati ulang etimologi “Bahrain”.
Dalam hal ini, saya melihat bahwa kemungkinan asal kata
“Bahrain” bukanlah dari “Bahr” (laut), tapi, dari kata
“Bahra” – dengan bentuk aslinya – vara (Sanskrit: वर) yang
artinya: terutama, terdahulu, tertua, paling baik atau
terkemuka. Bentuk etimologi ini rasanya lebih mendekati
atau memiliki keterkaitan dengan etimologi dari nama
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 131

sebelumnya, yakni: “Awal”. Dalam bahasa Arab sendiri, kata


“Bahra” dapat berarti: Air Mancur.[2]
Dalam buku "Bahrain Through The Ages" disebutkan:
...dan mungkin, bahwa Bahrain berasal dari pepatah Arab
(...) : Kebun menjadi seperti laut ketika air begitu banyak
sehingga membuat semuanya menjadi hijau. Nama 'Bahra'
diberikan ke taman mekar yang selalu hijau.[3] Selain itu,
“Bahrâ” juga merupakan nama suatu suku - ras selatan
yang lebih awal menetap di Mesopotamia, dan hidup pada
zaman Islāmic (198-221 H).[4]
Menurut Irfan Shahîd (2002), di dalam bukunya
“Byzantium and the Arabs in the Sixth Century” yang
membahas sumber-sumber Arab pra-Islam di Rusāfa;
Bahra adalah federasi suku yang berkemah di sekitar
Rusāfa sebagai bagian dari federasi Perisai Batin sebagai
pelindung Ritus keagamaan Arab yang berkaitan dengan
ziarah dan praktik keagamaan Arab lainnya. Mereka
memiliki hubungan khusus dengan Ghassan, kelompok
federasi yang dominan.[5]
Demikianlah beberapa penggunaan kata “Bahra” pada
masa Arab pra-Islam – yang mengesankan “Bahra” sebagai
sesuatu yang berada di “pusat” atau “sumber awal”.
Adalah hal yang menarik, bahwa, jika kita mencermati
kata “Bahra” sebagai kata Arab untuk “air mancur”, yang
dalam bentuk bahasa inggrisnya adalah “Fountain”, maka,
kita temukan bahwa bentuk latin dari “Fountain” adalah
“fons” yang berarti: “sumber”, atau “mata air”. Hal ini jelas
mempertegas keterkaitan kata “Bahra” dengan “Awal”
sebagai nama kuno dari Bahrain. Dengan uraian ini, saya
perkirakan asal kata dari nama “Bahrain” bukanlah “Bahr”
melainkan “Bahra” yakni dari kata Sanskrit “Vara”. Jadi,
sepertinya memang ada kehadiran unsur India dalam
132 | Fadly Bahari

penamaan Bahrain di kawasan teluk Persia ini. Yang


menjadi pertanyaan kemudian adalah: India yang manakah,
yang datang memberi pengaruh di kawasan teluk Persia? –
India di bawah Asia Selatan ataukah India kepulauan/
Nusantara? …Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa
argumentasi akan coba saya paparkan terlebih dahulu.
Di Luwu, dikenal kata “Wara” sebagai pusat Kedatuan.
Dimana pun pusat Kedatuan Luwu berpindah, maka
berpindah pula “Wara” di tempat baru tersebut. Terhadap
hal ini, kita bisa menyaksikan bahwa “Wara” merupakan
semacam perangkat konsep ketatanegaraan di Kedatuan
Luwu yang senantiasa memiliki pusat atau Chiefdom.
Suatu Wara senantiasa dikelilingi perkampungan yang
dalam termonologi Luwu disebut lipu’. Pada hari ini, pada
umumnya orang di Luwu mengartikan lipu’ sama dengan
kampung. Namun jika mencermati etimologi dari kata lipu’
ini maka kita akan temukan bahwa makna yang lebih
tepatnya adalah “kampung yang mengelilingi pusat
kerajaan atau kedatuan.” Untuk penjelasan terkait hal ini, di
bawah ini saya akan mengulas bentuk etimologi tersebut
sehingga saya berkesimpulan demikian.
lipu’ dalam bahasa Luwu kuno berarti kampung. Saya
katakan kuno, karena kata ini sudah sangat jarang
digunakan, dan sudah sangat jarang pula yang dapat
memahami artinya. Sebagaimana yang saya ungkap di atas,
Kata lipu’ pada dasarnya memiliki makna lebih implisit dari
pemahaman umum yang memaknainya sebagai kampung.
tapi memang, butuh metode dan pendalaman yang baik
untuk bisa mengungkap makna sesungguhnya dari kata
lipu’ ini, karena ia telah mengalami perubahan bentuk dan
pergeseran makna dari khusus ke umum. ada pun proses
pengungkapannya adalah sebagai berikut:
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 133

1. Mencari kata Lipu’ pada bentuk toponim (penamaan


wilayah).
Untuk hal ini, lipu’ bisa kita temukan dalam toponim
"libukang" dan "malibu". dengan tinjauan pemahaman
bahasa daerah (bahasa Tae’ atau pun bahasa Bugis),
maka bisa kita lihat bahwa libukang dan malibu
memiliki kata dasar "libu" yang artinya “masuk”.
Akhiran -kang pada akhir kata libu-kang menunjukkan
makna tempat, sehingga libukang bermakna sebagai
“tempat masuk” dalam bahasa Tae’ dan bahasa Bugis.
sementara itu, malibu juga memiliki kata dasar libu
yang juga berarti masuk. Awalan ma- pada kata ma-
libu membentuk kata kerja, sehingga kata malibu
bermakna "memasuki" dalam bahasa Tae’ ataupun
bahasa Bugis.
Yang mesti dipahami di sini adalah kata libu
sesungguhnya adalah bentuk morfologi dari kata lipu’
akibat perubahan fonetik yang biasa terjadi pada
kelompok fonem konsonan dwi bibir, yakni: p, b, dan
w. contoh kasus: Panua - Banua – Wanua, yang
memiliki makna sama.
Dari memahami libu sebagai wujud perubahan fonetik
dari lipu’ tidak berarti kita dapat asumsikan bahwa
lipu’ juga berarti; masuk. Yang terjadi dalam kasus ini
adalah kata lipu’ telah mengalami proses morfologi
yang mengakibatkan pergeseran makna, yang
seberapa jauh pergeseran makna tersebut akan dapat
kita ketahui setelah melalui tinjauan yang berikut ini.
2. Morfologi lipu’ menjadi suku kata liput, untuk kata;
“meliputi” atau pun “liputan”.
Melalui perjalanan waktu yang sangat panjang, kata
lipu’ akhirnya mendapati takdirnya terserap kedalam
134 | Fadly Bahari

bahasa Indonesia. Ia bermorfologi membentuk kata


dasar “Liput” untuk kata “meliputi”, “liputan”, dsb.
Konsonan t pada akhir kata liput merupakan wujud
dari perubahan dari aksen “tanda petik” di akhir kata
lipu’. Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa contoh,
yaitu: kata kunyi’ (dalam bahasa daerah di Sulawesi)
berubah bentuk menjadi kata kunyit ketika terserap ke
dalam bahasa Indonesia; sempi’ menjadi sempit; loga’
menjadi logat; lia’ menjadi lihat dan masih banyak lagi
contoh lainnya yang memperlihatkan aksen “tanda
petik” dari bahasa daerah di Sulawesi yang berubah
menjadi fonetik t setelah terserap ke dalam bahasa
Indonesia.
Dalam morfologi kata lipu’ menjadi kata liput, disini,
lagi-lagi kita menemukan pula adanya pergeseran
makna, lipu’ yang dari awal berarti kampung, menjadi
“liput” yang kurang lebih berarti: melingkupi atau
mengelilingi secara menyeluruh suatu yang menjadi
inti, fokus atau pusat perhatian.
3. Kesimpulan.
Dari analisa diatas, kita menyaksikan kata lipu’
mengalami beberapa morfologi bentuk, antara lain:
1. Libu-kang, sebuah toponim (nama wilayah) yang
dalam bahasa daerah setempat, di wilayah Sulawesi
Selatan, bermakna: tempat masuk atau jalan masuk.
2. Mali-bu, sebuah kata kerja, yang dalam bahasa
daerah di Sulawesi Selatan, bermakna: memasuki/
melewati.
3. Liput, merupakan bentuk kata dasar dari kata:
meliputi – yang bermakna menutupi; terliput – yang
bermakna tertutup.[6] Dalam pemaknaan yang
lebih luas, kata liput dapat bermakan: melingkupi
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 135

atau mengelilingi secara menyeluruh suatu yang


menjadi inti, fokus atau pusat perhatian. Seiring
perkembangan zaman, kata “liput” memiliki pula
makna khusus sebagai kata kerja, yakni: membuat
berita atau laporan secara terperinci tentang suatu
masalah atau peristiwa.
Dengan mengamati dan menganalisa ketiga morfologi
bentuk kata lipu’ diatas, kita dapat memunculkan illustrasi
kronologis sebagai berikut: Kata lipu’ di masa lalu, oleh
orang-orang di Luwu, kemungkinan besar dimaknai sebagai
zona perkampungan yang mengelilingi pusat dari kampung
tersebut, dan atau, kawasan perkampungan yang
membatasi akses langsung dari zona terluar ke zona
terdalam. Seorang yang ingin menuju pusat kampung mesti
terlebih dahulu melewati (Malibu) jalan masuk (libukang).
Pusat kampung yang saya maksudkan di sini adalah
semacam kompleks tempat raja, pejabat istana dan
keluarga bangsawan lainnya bermukim. Di kedatuan Luwu,
kompleks semacam ini disebut “lalebata”.
Demikianlah pengertian sesungguhnya dari kata lipu’
beserta bentuk-bentuk morfologinya yang memberi kita
wawasan baru bagaimana bahasa sebagai daya intelektual
manusia memiliki jalannya sendiri untuk berkembang
dalam keheningan waktu (baca: ketidaksadaran kita
terhadap apa yang terjadi, hingga hanya dengan kita
menyediakan waktu untuk menelaahnya secara mendalam
maka kita akan dapat memahaminya).
Setelah memahami makna sesungguhnya dari kata lipu’,
kita akhirnya dapat melihat bahwa adalah tepat jika kata
lipu’ dimaknai sebagai; sebuah kampung yang berada di
sekeliling kotaraja atau chiefdom yang dalam terminologi
orang Luwu atau Bugis disebut: Wara.
136 | Fadly Bahari

Dalam konsep adat kedatuan Luwu hari ini, dikenal kata


palili’ yang bermakna vassal atau daerah bawahan. Dapat
kita lihat bahwa terminologi palili’ tersebut merupakan
bentuk jamak dari kata lipu’. palili’ berasal dari kata dasar
lili’ yang mendapat awalan pa yang fungsinya sama dengan
awalan pe- dalam bahasa Indonesia – lili’ dapat diduga
terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata lilit. Jadi,
palili’ secara harafiah bermakna: pe-lilit atau yang meliliti.
Penggunaan kata palili’ ini untuk menganalogikan bentuk
penyatuan daerah-daerah vassal tersebut saya pikir sangat
tepat, karena memuat filosofi tentang realita dinamika
politik yang senantiasa mengiringi penyatuan tersebut –
bahwa lilitan itu adakalanya menguat ada juga kalanya
melemah hingga merenggang. Inilah wujud kearifan orang-
orang di masa lalu yang menggunakan bentuk-bentuk
perumpamaan atau analogi sebagai cerminan dari berbagai
hal dalam kehidupan.
Demikianlah kata Wara digunakan di Luwu – yang
bermakna sebagai: “pusat”, “utama”, serta “sumber”.
Terminologi Wara ini Menunjukkan keidentikan dengan
etimologi dari kata Bahra sebagai bentuk dasar dari nama
Bahrain.
Wara / Vara / Bara sesungguhnya identik satu sama lain
– mengalami perubahan fonetik (w, v dan b) yang umum
terjadi pada kelompok fonetis labial (contoh: wanua, banua
dan panua – yang sama-sama artinya rumah, tanah atau
negeri). Saya melihat bahwa semua ini berasal dari konsep
kosmologi.
Pada konsep makrokosmos atau pun mikrokosmos,
unsur api berada di lapisan terdalam atau inti (susunan
unsur makrokosmos adalah: udara – air – tanah – api) yang
berarti menurut tinjauan letak ia berada di pusat. Dari
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 137

pemahaman “letak di pusat” inilah makna vara atau wara


terbangun. Sementara itu, kata bara bisa dikatakan
merupakan deskripsi dari sifat api yang panas membara.
Telah saya bahas dibagian sebelumnya bahwa pulau
Sulawesi besar kemungkinan merupakan asal lahirnya
konsep kosmologi – dikembangkan oleh kaum penyembah
matahari di masa-masa awal peradaban manusia.
Jika kita mencermati adanya kemungkinan nama
Bahrain mengalami semacam perubahan fonetik seperti
yang terdapat pada bentuk Wara / Vara / Bara, maka
hasilnya kurang lebih sebagai berikut: perubahan pada
kelompok fonetik labial (wahrain – pahrain – mahrain);
perubahan pada kelompok fonetik semivowel (wahyain –
pahyain – mahyain – wahlain – pahlain –mahlain). Dari
kesembilan bentuk yang dihasilkan, setidaknya ada satu
bentuk yang menarik perhatian saya, yaitu: wahyain.
Wahyain terlihat sangat mirip dengan kata wayan yang
merupakan nama untuk anak pertama di Bali. Yang
menarik karena hal ini sangat memiliki kesamaan dengan
arti dari nama kuno Bahrain yakni “Awal” yang berarti
pertama, juga bentuk kata dasar Bahrain yakni “Bahra” –
dengan bentuk aslinya – vara (Sanskrit: वर) yang artinya:
terutama, terdahulu, tertua, paling baik atau terkemuka.
Rasanya ini bukan suatu hal yang kebetulan saja, walaupun,
pada umumnya orang bali mengatakan bahwa wayan
berasal dari kata wayahan yang artinya tertua/ lebih tua
atau yang paling matang.
Argumentasi terakhir yang dapat saya ajukan mengenai
keterkaitan Bahrain di teluk Persia dengan Nusantara di
masa lalu, adalah informasi dari Hui-lin seorang
leksikografer Buddhis yang agung dari Dinasty Tang pada
abad kedelapan dan kesembilan, yang dikutip oleh Schafer
138 | Fadly Bahari

(1963), dalam bukunya “The Golden Peaches of Samarkand:


A Study of T'ang Exotics”, yang mengatakan bahwa: ..mereka
juga disebut Kurung. Mereka adalah orang-orang barbar di
pulau-pulau besar dan kecil, dari Laut Selatan. Mereka
sangat hitam, dan mengekspos sosok telanjang mereka.
Mereka bisa menjinakkan dan menyerbu binatang buas,
badak, gajah dan sejenisnya. Mereka juga disebutkan
unggul ketika mereka masuk ke air, karena mereka dapat
tetap di sana sepanjang hari dan tidak mati [Ketahanan di
dalam air ini sangat sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki oleh orang Bajo]. Mereka juga disebut Persia
"hitam"![7]
Saya sangat yakin bahwa istilah “Persia hitam” yang
diungkap Hui-lin mengindikasikan adanya hubungan masa
lalu antara orang Bajo di Sulawesi dengan orang-orang di
wilayah Persia. Terkait hal ini, Wolters (1967; 2011; 2017)
mengatakan bahwa: Orang Cina mungkin telah
menggunakan istilah [Po-ssū] tersebut sebagai nama
sebutan untuk penduduk Asia Tenggara yang nenek
moyangnya berperan besar dalam menjalankan
perdagangan Persia pada abad ke-5 dan ke-6.[8]
Tapi, Saya melihat adanya keterkaitan yang lebih antara
orang Bajo dengan orang Persia, selain dari pada urusan
“menjalankan perdagangan” sebagaimana yang diutarakan
Wolters. Dalam bukunya “A History of Persia”, Sir Percy
Sykes mengatakan: “Persians call their country Iran and
themselves Irani…” sementara itu, para ahli mengatakan
kata Iran ( ‫ ) ایران‬berasal dari kata Eran, bahwa ia berarti:
tanah air orang Arya. Saya menduga Iran atau Eran arti
sebenarnya adalah: tanah, tanah air, atau negeri.
Kemungkinan nama ini berasal dari sumber yang sama
dengan kata Eelam atau Ilam (pada nama Eelam Tamil).
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 139

Penyebutan Ilam dengan arti tanah, dapat pula dijumpai di


Luwu, yaitu pada nama Ilam batu atau Ilan batu. Dengan
fakta ini kita dapat memperkirakan hubungan antara
Nusantara dengan wilayah Persia telah berlangsung jauh
sebelumnya, sejak masa sangat kuno, dan terus
berlangsung setidaknya hingga abad ke 5 atau ke 7 M
dengan adanya para pelaut Bajo yang senantiasa
mendatangi mereka dalam rangka kegiatan perdagangan.
Demikianlah, berdasarkan uraian panjang lebar di atas,
saya berkesimpulan bahwa; India di bawah Asia Selatan
dan India kepulauan/ Nusantara sama-sama berkontribusi
memberi pengaruh di wilayah teluk Persia di masa lalu –
tapi ada kemungkinan India kepulauan/ Nusantara
melakukannya secara lebih signifikan, terutama yang
dilakukan oleh pelaut-pelaut Bajo.
Sebuah kata yang menarik untuk dicermati – yang saya
pikir lagi-lagi ada keterkaitan dengan Nusantara adalah
kata: Khuda atau Khoda ( Persian : ‫ ) خدا‬adalah kata Iran
untuk "Raja." Istilah ini disebutkan berasal dari istilah Iran
Tengah xvatay, xwadag berarti "tuan", atau "penguasa",
muncul dalam bentuk tertulis di Parthian: kwdy, di Persia
Tengah: kwdy, dan di Sogdian: kwdy. Kata Khuda atau
Khoda ini sangat mirip dengan kata dalam bahasa
Indonesia “Nakhoda” yang dalam Kamus besar Bahasa
Indonesia didefinisikan sebagai: juragan (pemimpin)
perahu (kapal); perwira laut yang memegang komando
tertinggi di atas kapal niaga; kapten kapal.
Saya melihat kata Khoda yang digunakan di Persia
tersebut memang berasal dari kata Nakhoda. Saya
membayangkan bahwa kata yang pada awalnya digunakan
pelaut dari Nusantara untuk menyebut pemimpin kapal itu,
terserap dan digunakan secara umum di daratan kawasan
140 | Fadly Bahari

Persia sebagai akibat interaksi pelaut Nusantara dengan


orang-orang di Persia. Atau, bisa juga karena Pemimpin-
pemimpin kapal dari nusantara yang menetap di sana –
sementara itu, para anak buah kapalnya, meski pun telah di
darat tetap memanggilnya Nakhoda.

Catatan:
1. Faroughy, Abbas. The Bahrein Islands (750–1951): A
Contribution to the Study of Power Politics in the Persian Gulf.
(New York: Verry, Fisher & Co., 1951).
2. https://www.bahra.eu/about/ - dalam situs ini disebutkan:
...naam Bahra, het Arabische woord voor fontein (nama Bahra,
kata Arab untuk air mancur).
3. Al-Khalifa. Bahrain Through The Ages (New York: Routledge,
2014) hlm. 252
4. Alexander David Russell. Muslim Law: An Historical
Introduction to the Law of Inheritance (New York: Routledge,
2008; 1925)
5. Irfan Shahîd. Byzantium and the Arabs in the Sixth Century
Volume 2 Part 1 (Washington, D.C.: Dumbarton Oaks, 2002)
hlm. 116
6. Kamus besar Bahasa Indonesia
7. Edward H. Schafer. The Golden Peaches of Samarkand: A Study
of T'ang Exotics. ((Berkeley: University of California Press,
1963), hlm. 46
8. O.W. Wolters. Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII
(Depok: Komunitas Bambu, 2017) hlm. 165
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 141

1. Al-Quran al-Karim
2. AlKitab
3. Kamus Besar Bahasa Indonesia
4. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto.
Sejarah Nasional Indonesia. Jilid I Zaman Prasejarah
Indonesia. Edisi Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka,
2008)
5. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto.
Sejarah Nasional Indonesia. Jilid II Zaman Kuno. Edisi
Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2008)
6. Mahsun. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi,
Metode, dan tekniknya (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005)
7. Marsono. Morfologi Bahasa Indonesia dan Nusantara
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011)
8. Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta:
Rineka Cipta, 2015)
9. Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI-
Press, 1987)
10. Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi II (Jakarta: UI-
Press, 1990)
11. George Coedes. Asia Tenggara Masa Hindu-Budha (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2017)
12. R. P. Soejono Festschrift. Archaeology: Indonesian
Perspective (Jakarta: Indonesian Institute of Sciences –
LIPI, 2006)
13. Bernard H. M. Vlekke. Nusantara: Sejarah Indonesia
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017)
14. N. J. Krom. Zaman Hindu (Djakarta: P. T. Pembangunan,
1956)
15. Boechari. Melacak Sejarah Indonesia Lewat Prasasti
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012)
142 | Fadly Bahari

16. Liang Liji. Dari Relasi ke Mitra Strategis – 2000 Tahun


Perjalanan Hubungan Tiongkok-Indonesia (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2012)
17. Origins Chinese Language / Asal Usul Bahasa China
(Jakarta: Elex Media Computindo, 2009)
18. Anthony Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-
1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2014)
19. Anthony Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-
1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2015)
20. D. G. E. Hall. Sejarah Asia Tenggara (Surabaya: Usaha
Nasional, 1988)
21. Christian Pelras. Manusia Bugis (Jakarta: Nalar bekerja
sama dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO, 2005)
22. George Coedes, L. C. Damais, Herman Kulke, P. Y. Manguin,
Kedatuan Sriwijaya (Depok: Komunitas Bambu bekerja
sama dengan École française d’Extrême-Orient dan Pusat
Arkeologi Indonesia, 2014)
23. Herodotus The Histories. Translated and with an
Introduction by Aubrey de Selincourt (Penguin Books,
1954)
24. Man: A monthly record of anthropological science Volume
VIII. Published under the direction of the Royal
Anthropological Institute of Great Britain and Ireland,
1908
25. Ḥudūd al-ʿĀlam "The Regions of the World" Translate and
Explained by Vladimir Minorsky, 1930. (Printed at the
Oxford University Press, and Published by MESSRS. LUZAC
& CO, London, 1937)
26. S.W. Fallon. A new Hindustani-English dictionary with
illustrations from Hindustani literature and folk-lore.
(Medical Hall Press, 1879)
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 143

27. Duncan Forbes. A dictionary, Hindustani and English :


accompanied by a reversed dictionary, English and
Hindustani (London : Allen, 1866)
28. William Matthew Flinders Petrie. The Making Of Egypy.
(London: The Sheldon Press, 1939)
29. Humboldt, Wilhelm. Über die Kawi-Sprache auf der Insel
Java ( Berlin, Druckerei der Kö niglichen Akademie der
Wissenschaften, 1836)
30. Friedrich August Flückiger, Daniel Hanbury,
Pharmacographia: A History of the Principal Drugs of
Vegetable Origin, Met with in Great Britain and British India
(Cambridge University Press, 2014)
31. James Henry Breasted. Ancient Records of Egypt: Historical
Documents from the Earliest Times to the Persian Conquest,
collected, edited, and translated, with Commentary. (The
University of Chicago, 1906)
32. Joyce Tyldesley, Hatchepsut: The Female Pharaoh (London:
Penguin Books, 1996)
33. The Journal Of Egyptian Archaeology Vol.32 - Alan H.
Gardiner: Davies's copy of the great Speos Artemidos
Inscription (The Egypt Exploration Society, 1946)
34. Sir Henry Yule. Cathay and the way thither: being a
collection of medieval notices of China vol. III. (London: The
Hakluyt Society, 1913)
35. Braz A. Fernandes. Annual bibliography of Indian history
and Indology, Volume 4 (Bombay Historical Society, 1946)
36. Charles Umpherston Aitchison. Lord Lawrence and the
Reconstruction of India Under the British Rule. (Oxford,
Clarendon Press, 1905)
37. John Inglis. In the New Hebrides; reminiscences of
missionary life and work, especially on the island of
Aneityum, from 1850 till 1877 (London : T. Nelson and
Sons, 1887).
144 | Fadly Bahari

38. Laurence Austine Waddell. Egyptian Civilization: Its


Sumerian Origin and Real Chronology (London: Luzac & Co,
1930)
39. Joseph Toussaint Reinaud. Mémoire géographique,
historique et scientifique sur l'Inde antérieurement au milieu
du xi# siècle de l'ère chrétienne; d'après les écrivains Arabes,
Persans et Chinois (Paris, Imprimerie nationale, 1849)
40. Pharaoh's People: scenes from life in imperial Egypt -
Thomas Garnet Henry James. (London: Tauris Parke, 2007)
41. Andi Zainal Abidin Farid, 1979. Wajo Pada Abad XV-XVI –
Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari
Lontara’. (thesis)
42. David Bulbeck, Ian Caldwell, 2000. Land Of Iron: The
historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley,
Results of the Origin of Complex Society in South Sulawesi
Project (OXIS), The Centre for South-East Asian Studies,
The University of Hull.
43. Jacobus Noorduyn, 1926. Een Achttiende-Eeuwse Kroniek
van Wadjo - Buginese Historiografie.
44. H. H. Juynboll. Katalog des Ethnographischen
Reichsmuseums, XVI, Celebes I. Süd-celebes. Erster teil. (E. J.
Brill, Leiden — 1922)
45. Paul und Fritz Sarasin. Reisen in Celebes Ausgeführt in den
Jahren 1893-1896 und 1902-1903
46. Albert Grubauer. Unter Kopfjägern in Central Celebes:
Ethnologische Streifzüge in Südost und Central-Celebes (R.
Voigtländers Verlag, Leipzig, 1913)
47. Margaret Stefana Drower. Flinders Petrie: A Life in
Archaeology (The University of Winconsin Press, 1985)
48. Margaret Murray. Egyptian Temple (Routledge, 2004)
49. Walter B. Emery. Archaic Egypt (1963; 1987)
50. Toby Wilkinson. Genesis of the Pharaohs: Dramatic new
discoveries rewrite th origins of ancient Egypt. (London:
Thames & Hudson, 2003)
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 145

51. Ian Shaw & Paul Nicholson, The Dictionary of Ancient


Egypt, (London: British Museum Press, 1995)
52. Charles Darwin. The Origin of Species - Asal-usul Makhluk
Hidup Melalui Seleksi Alam (Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2017)
53. Gene Ammarell. Navigasi Bugis (Makassar: Penerbit
Ininnawa, 2016)
54. Adrian B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut –
Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (Depok:
Komunitas Bambu bekerja sama dengan École française
d’Extrême-Orient, KITLV-Jakarta, Arsip Nasional Indonesia,
Jurusan Sejarah FIB UGM, Jurusan Sejarah FS UNPAD,
2009)
55. Robert Dick-Read. Penjelajah Bahari (Bandung: Penerbit
Mizan, 2008)
56. Irving Finkel. "Board Games" - Beyond Babylon: Art, Trade,
and Diplomacy in the Second Millennium B.C. (New York:
Metropolitan Museum of Art, 2008).
57. Dr. Narinder Sharma. A Study Of Varuna In The Vedic
Literature Paravati Chattopadhyaya ( Thesis).
58. Prof. Arysio Santos. Atlantis, The Lost Continental Finally
Found (Jakarta: Ufuk Press, 2010).
59. Stephen Oppenheimer. Eden in The East. (Jakarta: Ufuk
Press, 2010)
60. Peter Ladefoged and Ian Maddieson. The Sounds of the
World's Languages (Cambridge, Massachusetts: Blackwell
Publishers, 1996)
61. Bruce M. Sullivan. The A to Z of Hinduism (Scarecrow Press,
2001).
62. L. A. Waddell. Wild Tribe of the Brahmaputra Valley: A
Contribution on their Physical Types and Affinites. (New
Delhi: Logos Press, 1901, 1975, 2000)
63. Slamet Muljana. Asal Bangsa & Bahasa Nusantara
(Yogyakarta: LKiS, 2017)
146 | Fadly Bahari

64. Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah


Kerajaan Majapahit. (Yogyakarta: LKiS, 2005)
65. Hasan Alwi & Dendy Sugono. Telaah bahasa dan sastra
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.
66. Frances Wood. Jalur Sutra – Dua Ribu Tahun di Jantung
Asia (Jakarta: Elex Media Computindo, 2009)
67. F. Max Muller. The Science Of Language Vol.1 Chapter IV:
The Classification Stage (Bombay: Longmans, Green, and
co, 1899)
68. Leonard Bloomfield. Language / Bahasa (Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1995)
69. Mattulada, “Elite di Sulawesi Selatan” dalam Antropologi,
no. 48 (1991).
70. Wahyuddin Halim. Arung, Topanrita dan Anregurutta
dalam masyarakat Bugis abad xx. Jurnal Al- Ulum Volume.
12, Nomor 2. Desember 2012
71. Syarif, Ananta Yudono, Afifah Harisah, Moh Mochsen Sir.
“Sulapa Eppa As The Basic or Fundamental Philosophy of
Traditional Architecture Buginese”. SHS Web of
Conferences Vol. 41, 2018. International Conference on
Architectural Education in Asia (eduARCHsia 2017)
72. Eric Crystal. Myth, Symbol and Function of the Toraja House.
(TDSR. Vol. I 1989).
73. Imam Indratno, Sudaryono, Bakti Setiawan, Kawik Sugiana.
Silau’na tongkonan sebagai sebuah realitas tondok . (Ethos -
Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Vol 4, No.1,
Januari 2016)
74. Theodorus Kobong. Injil dan Tongkonan. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008)
75. H. Nooy-Palm, The Sa'dan-Toraja (The Hague - Martinus
Nijhoff, 1979)
76. Mahmud Thoha. Membangun paradigma baru ilmu
pengetahuan sosial dan kemanusiaan (jakarta: PPE-LIPI,
2003)
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 147

77. Elizabeth Ten Grotenhuis. Japanese Mandalas:


Representations of Sacred Geography (Honolulu: University
of Hawaii Press, 1999)
78. Cain Carroll, Revital Carroll, David Frawley. Mudras of
India: A Comprehensive Guide to the Hand Gestures of Yoga
and Indian Dance (London: London And Philadelphia,
2013)
79. Patrick Olivelle. Upaniṣads (Oxford University Press, 1996)
80. James P. Allen. Middle Egyptian: An Introduction to the
Language and Culture of Hieroglyphs (Cambridge
University Press, 2000)
81. Philip Ball. The Elements: A Very Short Introduction (Oxford
University Press, 2004)
82. Betrand Russell. History Of Western Philosophy (London:
George Allen & Unwin, 1940)
83. H. G. Alexander. The Leibniz-Clarke Correspondence
(Manchester: Manchester University Press, 1956)
84. Sir Isaac Newton. Newton's Principia: the mathematical
principles of natural philosophy, 1642-1727
85. Richard Staley. Einstein's generation - The origins of the
relativity revolution. Chapter two "Albert Michelson, the
Velocity of Light, and the Ether Drift" (Chicago: University
of Chicago Press, 2009)
86. Albert Einstein: "Ether and the Theory of Relativity" (1920).
Sidelights on Relativity (London: Methuen, 1922)
87. Albert Einstein (1924), "Über den Äther", Verhandlungen
der Schweizerischen Naturforschenden Gesellschaft 105: 2,
85-93
88. The Austronesian Languages of Asia and Madagascar.
Edited by: Alexander Adelaar and Nikolaus P.
Himmelmann (London: Routledge, 2005)
89. Jeffrey L. Forgeng, Will McLean. Daily Life in Chaucer's
England (Westport, Connecticut - London: Greenwood
Press, 2009)
148 | Fadly Bahari

90. Israel Finkelstein dan Neil Asher Silberman. David and


Solomon: In Search of the Bible's Sacred Kings and the Roots
of the Western Tradition (New York: Free Press, 2007)
91. David Allan Hubbard. The Literary Sources of the Kebra
Nagast (Dissertation. University of Saint Andrews, 1956)
92. Slamet Muljana. Tafsir Sejarah Nagara Kretagama
(Yogyakarta: LKiS, 2006)
93. Virginia Matheson and Barbara Watson Andaya. The
Precious Gift (Tuhfat al-Nafis) Raja Ali Haji Ibn Ahmad.
(Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982)
94. Roshen Dalal, Hinduism: An Alphabetical Guide (India:
Penguin Global, 2011)
95. Samuel D. Atkins, A Vedic Hymn to the Sun-God Sūrya:
(Translation and Exegesis of Rig-Veda 1.115)(United Stated:
American Oriental Society, 1938)
96. Arthur Anthony Macdonell. Mitologi Veda (Delhi: Motilal
Banarsidass Publishers, first edition: Strassburg, 1898,
reprint: Delhi, 1974, 1981, 1995, 2002)
97. Joel Mlecko. Artikel jurnal: The Guru in Hindu Tradition,
Numen Volume 29, Fasc. 1 (Leiden: Brill Academic
Publishers, 1982)
98. Ayyangar, TR Srinivasa. The Yoga Upanishads (Adyar: The
Adyar Library, 1938)
99. Mattulada. Its Ethnicity and Way of Life, Southeast Asian
Studies, Vol. 20. No. 1 June 1982
100. Budianto Hakim dan M. Irfan Mahmud. Menelusuri Jejak
Lahirnya Keberagaman Masyarakat Sulawesi Selatan:
Perspektif Arkeologi – Kedatuan Luwu Edisi ke 2
(Jendeladunia, 2006)
101. R. Ghose. Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese
period (The University of Hong Kong Press, 1966)
102. Martin Ramstedt. Hinduism in Modern Indonesia
(Routledge, 2005)
103. Hesiod, The Theogony
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 149

104. L. A. Waddell. The Phoenician Origin of Britons, Scots &


Anglo-Saxons - Discovered by Phoenician & Sumerian
inscriptions in Britain, by Pre-Roman Briton coins & a mass
of new history (London: Williams and Norgate, 1925)
105. S. Balachandra Rao. Indian Astronomy: An Introduction -
Glossary of Technical Terms in Indian Astronomy
(Hyderguda, Hyderabad: Universities Press (India), 2000)
106. William G. Dever. Who Were the Early Israelites and Where
Did They Come From? (Grand Rapids, Michigan: William B.
Eerdmans Publishing, 2003)
107. William J. Dumbrell, Midian: A Land or a League?, Vetus
Testamentum, Vol. 25, Fasc. 2, No. 2a. Jubilee Number (May,
1975)
108. The History of Herodotus vol. I - Explanatory and Critical
from: Larcher, Rennell, Mitford, Schweighaeuser (Oxford:
Talboys and Wheeler, 1824)
109. Muḥammad Bāqir. Lahore, Past and Present: Being an
Account of Lahore Compiled from Original Sources (Lahore:
B.R. Publishing Corporation, 1984)
110. Area Study Centre (Central Asia)- Issues 5-7, University of
Peshawar, 1980
111. Pramod Kumar Sinha - 1970, The depiction of folk-culture
in Vidyapati's prose
112. Thomas Stamford Raffles. The History of Java. (London:
Printed for Black, Parbury, and Allen, Booksellers to the
Hon. East-India Company ... and John Murray ..., 1817)
113. Slamet Muljana. Sriwijaya (Yogyakarta: LKiS, 2006)
114. Michael Dumper, Bruce E. Stanley. Cities of the Middle East
and North Africa: A Historical Encyclopedia (Santa Barbara:
ABC-CLIO, 2007)
115. Jane McIntosh. Ancient Mesopotamia: New Perspectives
(santa Barbara: ABC-CLIO, 2005)
116. David Frawley. Gods, Sages and Kings: Vedic Secrets of
Ancient Civilization (Delhi: Motilal Banarsidass Publishers,
1991)
150 | Fadly Bahari

117. Faroughy, Abbas. The Bahrein Islands (750–1951): A


Contribution to the Study of Power Politics in the Persian
Gulf. (New York: Verry, Fisher & Co., 1951)
118. Al-Khalifa. Bahrain Through The Ages (New York:
Routledge, 2014)
119. Alexander David Russell. Muslim Law: An Historical
Introduction to the Law of Inheritance (New York:
Routledge, 2008; 1925)
120. Irfan Shahîd. Byzantium and the Arabs in the Sixth Century
Volume 2 Part 1 (Washington, D.C.: Dumbarton Oaks, 2002)
121. Edward H. Schafer. The Golden Peaches of Samarkand: A
Study of T'ang Exotics. ((Berkeley: University of California
Press, 1963)
122. O.W. Wolters. Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad
III-VII (Depok: Komunitas Bambu, 2017)
123. Ian Shaw, ed., The Oxford History of Ancient Egypt (Oxford,
2000)
124. Dr. Jawwad Ali. Sejarah Arab sebelum Islam – Jilid I:
Geografi, Iklim, Karakteristik, dan Silsilah. (Tangerang
Selatan: PT Pustaka Alvabet, 2018)
125. Dr. Jawwad Ali. Sejarah Arab sebelum Islam – Jilid III:
Daulah, Mamlakah, Kabilah, dan Imarah (Tangerang
Selatan: PT Pustaka Alvabet, 2018)
126. Daniel Don Nanjira. African Foreign Policy and Diplomacy
from Antiquity to the 21st. Volume 1 (Santa Barbara:
Praeger, 2010)
127. R. O. Winstedt. A History of Malaya - Journal Of The Malayan
Branch Of The Royal Asiatic Society Vol-XIII (Singapore:
Malaya Publishing House, 1935)
128. Peter Prengaman. Morocco's Berbers Battle to Keep From
Losing Their Culture. San Francisco Chronicle. March 16,
2001
129. Frank Moore Cross. Canaanite Myth and Hebrew Epic -
Essay in the History of the Religion of Israel. (London:
Harvard University Press, 1973, 1997)
LUWU BUGIS The Antediluvian World | 151

130. Andrew Pawley "The Origins of Early culture: the testimony


of historical linguistics." - Oceanic Explorations: Lapita and
Western Pacific Settlement. Edited by Stuart Bedford,
Chirstophe Sand and Sean P. Connaughton. (Canberra: Anu
Press, 2007)
131. Thomas Stamford Raffles. The History of Java.- Volume II
(London: Printed for Black, Parbury, and Allen, Booksellers
to the Hon. East-India Company ... and John Murray ...,
1817)
132. The Encyclopaedia Britannica, Ninth Edition Vol-XII.
Edinburgh: Adam And Charles Black. 1881
133. Ji Xiaoping. Worshiping the Three Sage Kings and Five
Virtuous Emperors The Imperial Temple of Emperors of
Successive Dynasties in Beijing. (Foreign Languages Press,
2007)
134. Wilhelm, Richard; Baines, Cary F. (1967). I Ching
135. R. A. Kern. I La Galigo. (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1989)
136. Muhammad ibn Yarir al-Tabari. The History of al-Tabari
Vol. 1: General Introduction and From the Creation to the
Flood. translated by Franz Rosenthal (New York: State
University of New York Press, 1989)
137. David Noel Freedman, Allen C. Myers. Eerdmans Dictionary
of the Bible (Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 2000)
138. Garrick Bailey, James Peoples. Essentials of Cultural
Anthropology - Second Edition. (Wadsworth - Cengage
Learning, 2010)
139. Sharyn Graham Davies. Keberagaman Gender di Indonesia
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017)
140. Richard Guy Parker, Peter Aggleton. Culture, Society and
Sexuality: A Reader (London: UCL Press, 1999)
141. Dr. Shauqi Abu Khalil. Atlas of the Qurʼân: Places, Nations,
Landmarks : an Authentic Collection of the Qurʼânic
Information with Maps, Tables & Pictures (Riyadh: Maktaba
152 | Fadly Bahari

Darussalam, 2003 - KIng Fahd National Library Cataloging-


in-Publication Data)
142. Bernhard C. Schär. Tropenliebe. Schweizer Naturforscher
und niederländischer Imperialismus in Südostasien um 1900.
(Frankfurt: Campus Verlag GmbH, 2015)
143. Mitchell Newton-Matza. Historic Sites and Landmarks that
Shaped America: From Acoma Pueblo to Ground Zero
Volume 1: A-M (California: ABC-CLIO, 2016)
144. Jared Diamond. Guns, Germs & Steel – Rangkuman Riwayat
Masyarakat Manusia (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2016)
145. Yuval Noah Harari. Sapiens – Riwayat Singkat Manusia
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2017)
146. Karen Armstrong. Sejarah Tuhan (Bandung: Penerbit
Mizan, 2011)
147. Monier-Williams."Sanskrit-English Dictionary"
148. Gerard Huet. Heritage du Sanskrit Dictionnaire sanskrit-
francais. http://sanskrit.inria.fr/

You might also like