Tatalaksana Konservatif CKD

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 38

REFERAT PENATALAKSANAAN KONSERVATIF GAGAL GIJAL KRONIK

Dokter Pembimbing : Dr. Gerie Amarendra, Sp.PD Disusun oleh : Selvi Annisa 030.08.220

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD KOTA BEKASI PERIODE 23 JULI- 23 SEPTEMBER 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI SEPTEMBER 2012
1

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .1 BAB I PENDAHULUAN.3 BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................4 Definisi4 Klasifikasi...4 Epidemiologi...4 Etiologi6 Manifestasi klnis penyakit ginjal kronik................7 Penatalaksanaan Konservatif Penyakit ginjal kronik..9 BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................. 23 Daftar pustaka....24 LAPORAN KASUS..26

BAB I PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan berakhir pada gagal ginjal atau End Stage Renal Disease (ESRD). Insiden PGK meningkat diseluruh dunia, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Jumlah pasien yang memerlukan terapi pengganti ginjal meningkat dua kali lipat selama dekade terakhir. Telah diketahui bahwa PGK tahap akhir meningkatkan risiko kematian dan penyakit kardiovaskuler. Faktor-faktor yang dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia, dislipidemi, asidosis metabolik, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan asam basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti hemodialisis atau CAPD.

BAB II PEMBAHASAN
I. DEFINISI Penyakit Ginjal Kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada akhirnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi penggantian ginjal yang tetap berupa dialysis atau transplantasi ginjal. (1) Kriteria Penyakit ginjal Kronik(2) 1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan structural maupun fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi: kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan 2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml.mnt/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. II. EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di Negara-negara berkembang lainnya insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.(3) III. KLASIFIKASI

Klasifikasi Penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakitnya dapat dilihat pada table 2 Table 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakitnya(3)

Derajat 1 2 3 4 5

Penjelasan Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau Kerusakan ginjal dengan LFG ringan Kerusakan gijal dengan LFG sedang Kerusakan ginjal dengan LFG berat Gagal ginjal

LFG(ml/menit/1,73m2) >=90 60-89 30-59 15-29 <15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnostic dapat dilihat pada table 3 Tabel 3. Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar diagnosis etiologi(3) Penyakit Penyakit ginjal diabetes Penyakit ginjal non diabetes Contoh Diabtes tipe 1 dan 2 Penyakit vaskuler, Penyakit pada transplantasi glomerular, penyakit penyakit

tubulointerstitial, penyakit kistik Rejeksi kronik, keracunan obat (siklosporin/takrolimus), penyakit recurrent (glomerular), Transplant glomerulopathy

IV.

ETIOLOGI

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu Negara dengan Negara lain. Tabel 4 menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat.
(3)

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialysis di Indonesia, seperti pada table 5.Dikelompokkan pada sebab lain, dianntaranya, nefritis lupus, nefroati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.(2)

Tabel 4. Penyebab utama penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat (1995-1999)(3) Penyebab Diabetes Melitus -tipe1 (7%) -tipe 2 (37%) Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar Glomerulonefritis Nefritis Interstitialis Kista dan penyakit bawaan lahir Penyakit sistemik (missal: lupus dan vaskulitis) Neoplasma Tidak diketahui Penyakit lain 27% 10% 4% 3% 2% 2% 4% 4% 44% Insiden

Tabel 5. Penyebab gagal ginjal yang mengalami hemodialysis di Indonesia tahun 2000(2) Penyebab Insiden

Glomerulonefritis Diabetes Melitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi Sebab lain

46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65%

V. MANIFESTASI GAGAL GINJAL KRONIK 1. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa Homeostasis natrium dan air Pada kebanyakan pasien dengan penyakit ginjal kronik yang stabil kandungan natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan. Penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler (CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum didialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, maka pemberian loop diuretik bersama dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk menyimpan natrium dan H2O.(1) Homeostasis kalium Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi oleh karenakonstipasi, katabolisme protein, hemolisis, pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented dietary intake, metabolik asidosis dan beberapa obat yang dapat menghambat kalium masuk ke dalam sel atau menghambat sekresi kalium di nefronbagian distal. Hipokalemia jarang terdapat pada penyakit ginjal kronik dan biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.1
7

Asidosis metabolik Dengan berlanjutnya PGK, maka seluruh ekskresi asam sehari hari dan produksi penyangga (buffer) akan turun yang dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Pada kebanyakan pasien dengan PGK yang stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat memperbaiki asidosis. Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap status volume.1 2.Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat Kelainan mayor dari penyakit tulang pada PGK dapat diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit tulang akibat sekunder hiperparatiroidismeberhubungan dengan metabolisme mineral yang abnormal yaitu : (1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) danmenimbulkan retensi PO43-.

(2). Tertahannya PO4 3- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan masa sel kelenjar para tiroid. .

(3) Tertahannya PO4 3- juga menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2 + dan dengan supresi produksi kalsitriol (1,25 dihidroksi oleh kalsiferol ). (4) Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang rendah dapatmenimbulkan hiperparatiroidisme melalui mekanisme langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol menimbulkan gannguan absorbsi Ca 2+ dari traktus gasrto interstinal, yang kemudian menimbulkan hipokalsemia dan selanjutnya meningkatkan sekresi dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder.1,2

Low turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas. Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi, atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D, peningkatan deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan ini biasanya terjadi pada pasien dengan diabetes.1,2 Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol(1, 25 (OH) 2 D3 ). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di saluran cerna.1,2 VI. PENATALAKSANAAN KONSERVATIF GAGAL GINJAL KRONIK Penatalaksanaan konservatif penyakit ginjal kronik meliputi1: 1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya 2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 3.Memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik Tujuannya adalah untuk mempertahankan kadar LFG dan mencegah penurunan LFG lebihlanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.1 Tujuan terapi konservatif pada penyakit ginjal kronik pre-dialisis antara lain adalah: 1. 2. 3. 4. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Beberapa prinsip terapi konservatif antara lain adalah1: 1. Mencegah perburukan faal ginjal secara progresif

Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik Hindari gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi medis yang kuat 2. Pendekatan terhadap penurunan faal ginjal yang progresif lambat (slowly progresif) Mengendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular Mengendalikan infeksi jika terjadi Diet protein yang proporsional Mengendalikan hiperfosfatemia Terapi terhadap hiperurisemia Terapi keadaan asidosis metabolik Mengontrol kadar gula darah 3. Terapi alleviative gejala azotemia Pembatasan konsumsi protein hewani Terapi gatal-gatal pada kulit Terapi terhadap keluhan gastrointestinal Terapi terhadap keluhan neuromuskular seperti kebas atau kram otot Terapi kelainan tulang dan sendi Terapi anemia

10

PEMBATASAN ASUPAN PROTEIN Standar diet pada Penyakit Ginjal Kronik Pre Dialisis dengan terapi konservatif adalah sebagai berikut3: 1. Syarat Dalam Menyusun Diet Energi 35 kkal/kg BB, pada geriatri dimana umur > 60 tahun cukup 30 kkal/kg BB, dengan ketentuan dan komposisi sebagai berikut: Karbohidrat sebagai sumber tenaga, 50-60 % dari total kalori kebutuhan protein sebesar 0,6 g/kg BB dan 50% dianjurkan berasal dari protein dengan nilai biologis tinggi. Produk kedelai cukup aman untuk selingan pengganti protein hewani sebagai variasi menu dengan jumlah sesuai anjuran. Susu kacang kedelai dapat pula digunakan sebagai pengganti susu sapi. Hal positif yang didapat dari protein nabati adalah mengandung phytoestrogen yang disebut isoflavon yang memberikan banyak keuntungan pada PGK. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa protein dari kedelai dapat menurunkan proteinuria, hiperfiltrasi, dan proinflamatory cytokines yang diperkirakan dapat menghambat penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Penelitian lain mengenai diet dengan protein nabati pada pasien PGK adalah dapat menurunkan eksresi urea, serum kolesterol total dan LDL sebagai pencegah kelainan pada jantung yang sering dialami pada pasien PGK. Pada binatang percobaan dengan penurunan fungsi ginjal yang diberi casein dibandingkan dengan protein kedelai setelah 1-3 minggu ternyata dapat menunda penurunan fungi ginjal lebih lanjut. Protein diberikan lebih rendah dari kebutuhan normal, oleh karena itu diet ini biasa disebut diet rendah protein atau low protein diet (LPD) .3,4,5 Diet sangat rendah protein (very low protein diet/VLP) yaitu dengan pemberian protein 0,3 gr/kg BB/hari yang dilengkapi dengan pemberian asam amino esensial atau campuran asam amino esensial dan asam keto. Kedua diet ini dapat mengurangi asupan nitrogen sekaligus memenuhi kebutuhan fisiologis asam amino asensial dapat terpenuhi. Saat ini dampak diet rendah protein disertai dengan pemberian asam keto merupakan topik yang banyak dibicarakan maupun diteliti.
11

Asam keto dimetabolisme oleh tubuh menjadi asam amino esensial dan dapat mengurangi beban nitrogen pada ginjal, dapat memenuhi kebutuhan protein tubuh tanpa menyebabkan kelebihan fosfor atau urea.5,6 Teplan melakukan penelitian tentang bagaimana pengaruh jangka panjang diet rendah protein ditambah asam keto dan ACE-inhibitor terhadap metabolisme dan proteinuria pada pasien nefropati diabetik. Setelah 12 bulan dijumpai penurunan proteinuria yang signifikan terkait dengan perbaikan parameter metabolisme protein dan dapat memperlambat progresi penyakit ginjal terkait dengan penurunan klirens inulin.7 Dalam penelitian Walser, VLPD (0,3gr/kgBB) dengan suplementasi asam keto dan dengan pengawasan yang ketat ternyata dapat menunda dialisis dalam kurun waktu 1 tahun. 8 Pada penelitian Bellizi, faktor asupan diet protein sangat penting dalam pencegahan progresifitas PGK. Dalam penelitian ini ternyata asupan VLPD disertai suplemen ketoanalog menurunkan proteinuria serta tekanan darah lebih terkontrol dibandingkan dengan grup yang mendapat asupan LPD. Penelitian ini memperlihatkan bahwa rasio intake protein nabati pada diet VLPD dengan ketoanalog lebih tinggi dibandingkan LPD dan ternyata dijumpai efek vasodilatasi melalui respon dari kadar BCAA yang mengakibatkan penurunan tekanan darah sehingga dapat menghambat progresifitas PGK.9 Keuntungan suplementasi ketoanalog pada metabolism protein dan asam amino antara lain6: v mencegah dekarboksilasi asam amino v mengalami konversi menjadi asam amino v meningkatkan sintesa protein dan mengurangi pembentukan nitrogen. Dosis suplemen asam keto yaitu 1 tablet/5 kgBB/hari (0,1 gr/kgBB/hari) Lemak untuk mencukupi kebutuhan energi diperlukan 30 % diutamakan lemak tidak jenuh. Kebutuhan cairan disesuaikan dengan jumlah pengeluaran urine sehari ditambah IWL 500 ml. Garam <2 garam/hari
12

Kalium disesuaikan dengan kondisi ada tidaknya hiperkalemia 40-70 meq/hari Fosfor yang dianjurkan 5-7 mg/kg BB/hari (<800 mg/hari) Kalsium 1400-1600 mg/hari Sumber Vitamin dan Mineral Pasien yang mengalami hipekalemi perlu menghindari buah dan sayur tinggi kalium dan perlu pengelolaan khusus yaitu dengan cara merendam sayur dan buah dalam air hangat selama 2 jam, setelah itu air rendaman dibuang, sayur/buah dicuci kembali dengan air yang mengalir dan untuk buah dapat dimasak.3 Efek Metabolik Terhadap Asupan Diet Protein Hampir sama dengan pasien dengan penyakit hati atau penyakit herediter metabolisme nitrogen, pada pasien PGK akan terjadi intoleransi protein ketika mereka makan protein yang terlalu banyak. Protein yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami metabolisme yaitu pertama, breakdown protein menghasilkan asam amino yang diperlukan untuk cadangan sintesis protein tubuh yang baru. Kedua, protein menghasilkan nitrogen yang merupakan sisa metabolime protein dan harus diekskresikan melalui ginjal , bila terakumulasi akan menyebabkan gejala-gejala uremia. Sisa metabolisme protein lainnya seperti guanidine, aromatic/aliphatic amines akan memberikan efek toksik bila kadarnya tinggi dalam darah. Urea merupakan metabolit nitrogen yang merupakan petanda adanya akumulasi dari toksin-toksin yang lainnya. Jika seorang penderita PGK makan makanan yang banyak mengandung protein, maka akan terakumulasi juga beberapa bahan yang lain seperti phenol, asam urat, asid dan fosfat. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Hakim dkk tahun 1988 terhadap 911 penderita PGK dengan serum kreatinin > 5 mg/dl yang mendapat perhatian nutrisi minimal memperlihatkan berbagai kelainan metabolisme antara lain > 30% penderita dengan asidosis berat (bicarbonate serum < 15 mmol/l), hiperfosfatemia berat ( fosfat serum > 7mg/dl) dan azotemia berat ( BUN > 120 mg/dl). Asupan tinggi protein juga dapat menyebabkan hiperurisemia, tidak hanya meningkatkan risiko penyakit gout tetapi juga dapat menyebabkan sindroma metabolik, hipertensi dan disfungsi endotel dengan penyakit vaskuler.10,11,12,13

13

Alasan untuk mengontrol asupan protein pada penderita PGK(Fouque,2007)14 ________________________________________________________________ Adaptasi adekuat terhadap asupan rendah protein Menurunkan beban nefron yang masih tersisa Memperbaiki resistensi insulin Mengurangi stress oksidasi Mengurangi proteinuria Menurunkan kadar hormon paratiroid Memperbaiki profil lipid Efek aditif pada pemberian ACE inhibitor Menurunkan angka kematian atau memperlambat inisiasi dialysis sampai 40% Number needed to treat yang menguntungkan ( 1 pasien akan terhindar dari kematian atau inisiasi dialsis setiap tahun untuk setiap 18 pasien yang mendapat diet rendah protein ) Tidak adanya alasan objektif yang pasti untuk tidak merekomendasikan diet rendah protein kepada kebanyakan penderita PGK HAMBATAN IMPLEMENTASI ASUPAN RENDAH PROTEIN Implementasi diet rendah protein pada pengelolaan PGK sering terlupakan dan nilainya pada rencana pengelolaan penderita PGK sering diremehkan. Terdapat beberapa hambatan untuk melaksanaan strategi diet rendah protein ini. Kesulitan pertama adalah hasil dari studi MDRD yang menRekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis (K/DOQI,2002):
14

Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis menurut K/DOQI 2002: Untuk individu dengan PGK (LFG<25 ml/menit) yang belum menjalani hemodialisis regular, harus dipertimbangkan pemberian diet rendah protein 0,6 gr/kg BB/hari. Rekomendasi asupan protein pada penderita PGK predialisis berdasarkan K/DOQI 2002 yaitu: untuk individu dengan PGK (LFG < 25 ml/menit) yang tidak menjalani hemodialisis regular, maka diberikan diet rendah protein 0,60 gr/kgBB/hari. Untuk individu yang tidak dapat menerima jenis diet tersebut atau tidak dapat mempertahankan asupan diet yang adekuat, perlu diberikan asupan protein hingga 0,75 gr/kg BB/hari.16 v Bila dapat dilaksanakan dan dapat dimonitor, diet rendah protein, tinggi energi dapat mempertahankan status nutrisi dan mengurangi potensi terbentuknya metabolik nitrogen yang toksis, mengurangi gejala uremia dan menurunkan kejadian komplikasi metabolik. v Bukti menunjukkan diet rendah protein dapat menghambat progresifitas gagal ginjal dan memperlambat kemungkinan terapi dialisis. v Paling sedikit 50% asupan protein harus mempunyai nilai biologis tinggi. v Bila penderita gagal ginjal mengkonsumsi nutrisi tidak terkontrol, penurunan asupan protein dan indikator status nutrisi harus dilakukan16.

Diet rendah protein dan malnutrisi Kita ketahui bahwa beberapa penderita PGK dapat kehilangan massa ototnya dan protein, tetapi dari beberapa laporan hal ini terjadi hanya sebagian kecil saja yang disebabkan oleh asupan protein yang rendah. Pada kenyataannya telah banyak penelitian yang membuktikan kegunaan diet restriksi protein seperti yang telah dibahas diatas.3 Pada perencanaan yang baik pemberian asupan rendah protein diperlukan asupan energi yang adekuat oleh karena pasien PGK tanpa komplikasi akan mengaktivasi mekanisme protektif maupun adaptif yang sama dengan orang dewasa normal. Untuk alasan ini, pasien PGK tanpa komplikasi membutuhkan nutrisi yang sama dengan orang dewasa sehat. Malnutrisi
15

didefinisikan sebagai kelainan yang disebabkan oleh berkurangnya asupan kalori, protein atau adanya ketidak seimbangan diet, sehingga malnutrisi seharusnya diperbaiki dengan cara meningkatkan asupan kalori atau diet protein. Kehilangan otot pada PGK adalah suatu proses katabolisme yang terjadi karena teraktivasinya jalur seluler yang tidak tergantung terhadap asupan nutrisi. Kesalahan digunakannya istilah malnutrisi pada PGK disebabkan dua alasan yaitu keyakinan bahwa hipoalbuminemia disebabkan karena insufisiensi asupan protein dan gambaran klinik PGK mirip dengan keadaan yang dihubungkan dengan malnutrisi. Hipoalbuminemia sering terdapat pada pasien PGK. Penurunan serum albumin ini disebabkan adanya sitokinsitokin di sirkulasi darah dan inflamasi , bukan karena asupan nutrisi yang tidak adekuat (malnutrisi).4,17 Penurunan berat badan , kelemahan (fatigue) dan kehilangan massa otot yang terlihat pada pasien PGK sering didiagnosis sebagai malnutrisi, padahal kelainan tersebut merupakan konsekuensi proses metabolik yang terjadi pada PGK, bukan karena asupan nutrisi yang kurang. Meningkatkan asupan protein pada penderita ini hanya akan menimbulkan gangguan metabolik daripada meningkatkan massa otot. Asupan tinggi protein dapat menimbulkan asidosis yang akan meningkatkan destruksi protein di otot melalui aktivasi sistim ubiquin-proteasome proteolytic (UPP). UPP diidentifikasi sebagai sistim proteolitik yang menyebabkan katabolisme protein di otot pada keadaan tubuh mengalami katabolisme seperti luka bakar atau trauma. Asidosis metabolik juga menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif dan kehilangan cadangan protein. Koreksi asidosis dapat mensupresi sistim UPP dan menyebabkan peningkatan berat badan.10,17 Monitoring Asupan Nutrisi Asupan protein dapat diestimasi dengan memonitor nutrisi yang dimakan dan ekskresi urea dalam urine pasien PGK predialisis atau memonitor protein nitrogen appearance pada pasien PGK dengan dialisis. Untuk pasien PGK pre-dialisis dapat digunakan rumus berikut : Asupan nitrogen (gr/hr) = UNA (gr/hr) + 0,031 X berat badan (kg) Ket : UNA : urea nitrogen dalam urine 24 jam asupan protein : 6,25 X asupan nitrogen
16

Compliance diet rendah protein didefinisikan sebagai asupan aktual (yang sebenarnya) 20% asupan yang diresepkan. Pada penelitian-penelitian yang terkontrol baik, asupan aktual cenderung lebih besar 10-20% dari asupan yang diresepkan, tetapi pada penelitian dengan kontrol yang kurang baik asupan protein aktual 20-50% diatas diet protein yang diresepkan. Oleh karena itu sangat penting dukungan nutrisi secara berkesinambungan dan pemeriksaan kadar urea dalam urine secara teratur.4 Penanganan terhadap hiperkalemia Hiperkalemia salah satu komplikasi yang serius pada penderita uremia. Bila K+ serum mencapai kadar sekitar 7 mEq/L, dapat terjadi disritmia yang serius dan juga henti jantung. Selain itu, hiperkalemia makin diperberat lagi oleh hipokalsemia, hiponetremia, dan asidosis. Karena alasan ini, jantung penderita harus dipantau terus untuk mendeteksi efek hiperkalemia. Penanganan terhadap kondisi hiperkalemia yaitu: 1. Stop obat yang dapat meningkatkan kadar kalium seperti anti aldosteron, penyekat- non

selektif, ACE-I, dan ARB. 2. 3. Stop makanan dan minuman yang mengandung kalium. Jika kalium serum >6 meq/L maka segera berikan kalsium glukonas 10% 10 ml secara

parenteral selama 2-3 menit atau kalsium chlorida10% 5-10 ml selama 2-3 menit untuk mencegah gangguan ritme jantung. 4. Berikan Insulin Regular 10U bersamaan dengan pemberian glukosa 40% sebanyak 50 ml

atau hanya glukosa 40% sebanyak 50 ml secara parenteral dapat menurunkan kadar kalium 0,51,5 meq/L. Efek penurunan kalium dapat terlihat pada menit ke-15, mencapai puncak pada menit ke-60 dan berakhir dalam beberapa jam. 5. Pemberian Beta2-agonis sepeti terbutalin 7 mikrogram/kgBB/subkutan, Albuterol 10-20

mg secara nebulizer selama 10 menit dimana efek puncak dapat terlihat dalam 90 menit, atau Albuterol 0,5 mg intravena efek puncak dapat terlihat dalam 30 menit.18

17

Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurangi hipertensi glomerulus ialah dengan

pengggunaan antihipertensi yang bertujuan untuk memperlambat progresivitas dari kerusakan ginjal yaitu dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi intraglomerular. Selain itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan proteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik yang meningkat. Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal. Dengan kata lain derajat proteinuriaberkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada PGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama penghambat enzim konverting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.19 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler Hal ini dilakukan karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Hal-hal yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemi, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.19 Penatalaksanaan anemia Kejadian anemia pada PGK stadium V adalah hampir 100%. Penyebab anemia adalah multifaktorial antara lain defisiensi besi, defisiensi asam folat, usia sel eritrosit yang memendek, perdarahan kronik, inflamasi kronik, lingkungan uremik, hiperparatiroid, keracunan aluminium, dan defisiensi produksi eritropoietin. Anemia mempunyai dampak negatif berupa gangguan kardiovaskuler, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, maka anemia pada PGK perlu dikelola dengan baik.20

18

Pengobatan anemia dilakukan sesuai dengan penyebabnya. Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi besi, maka terapinya adalah dengan memberikan preparat besi. Terapi besi pada PGK menurut rekomendasi dari PERNEFRI yaitu: sebelum dimulai terapi besi, terlebih dahulu dilakukan test dose, dimana terapi besi fase koreksi bertujuan untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolut dan fungsional sampai status besi cukup, yaitu feritin serum >100g/L dan saturasi transferin >20%. Cara pemberian: Iron sucrose ( venofer sediaan 20 mg dan 100 mg): bila dapat ditoleransi 100 mg, diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%, drip iv dalam waktu paling cepat 15 menit. Iron dextran: 100 mg iron dextran diencerkan dengan 50 ml NaCl 0,9%. Dosis besi fase koreksi: bila serum feritin 30g/L : 6x100 mg dalam 4 minggu bila serum feritin 31 sampai 100 g/L : 4x100 mg dalam 4 minggu Dosis besi fase pemeliharaan: 80 mg tiap 2 minggu. Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi besi fase koreksi. Bila status besi cukup, dilanjutkan dengan terapi besi fase pemeliharaan.20 Bila terjadi defisiensi asam folat, diberi pengobatan asam folat dengan dosis 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu. Jika penyebab anemia adalah karena defisiensi eritropoetin, maka dapat diberi terapi EPO.Indikasi terapi EPO menurut rekomendasi dari PERNEFRI adalah bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syaratpemberian adalah: a. Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin > 20%. b. Tidak ada infeksi yang berat. Kontraindikasi pemberian EPO yaitu hipersensitivitas terhadap EPO. Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO : a. Hipertensi tidak terkendali b. Hiperkoagulasi
19

c. Beban cairan berlebih/fluid overload Terapi EPO ada 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase koreksi bertujuan untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht tercapai. a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan, 2-3x seminggu selama 4 minggu. b. Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 % dalam 2-4 minggu. c. Hb,Ht dipantau tiap 4 minggu. d. Bila target respon tercapai: dosis EPO dipertahankan sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL) e. Bila terget respon belum tercapai dosis EPO dinaikkan 50%. f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4 minggu, turunkan dosis 25%. g. Pemantauan status besi perlu dilakukan selama pemberian EPO. Terapi EPO fase pemeliharaan: a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>10 g/dL) dengan dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu, Hb dan Ht dipantau setiap bulan, status besi diperiksa setiap 3 bulan. b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai > 12 g/dL (dan status besi cukup) maka dosis EPO diturunkan 25%. Agar pemberian terapi EPO optimal, perlu diberikan terapi penunjang seperti: a. asam folat : 5 mg/hari b. vitamin B6: 100-150 mg c. Vitamin B12 : 0,25 mg/bulan d. Vitamin C : 300 mg IV pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO e. Vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid f. Vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi iv.20 Osteodistrofi ginjal

Salah satu tindakan pengobatan terpenting untuk mencegah timbulnya hiperparatiroidisme sekunder dan segala akibatnya adalah diet rendah fosfat dan dengan pemberian agen yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Obat pengikat fosfat ada dua jenis, yaitu yang mengandung kalsium (calcium containing phosphate binder) sepeti kalsium karbonat dan kalsium asetat.
20

yang tidak mengandung kalsium (noncalcium containing phosphate binder) seperti lantanum karbonat. Pencegahan dan koreksi hiperfosfatemia mencegah urutan peristiwa yang dapat mengarah pada gangguan kalsium dan tulang. Apabila terjadi keterlibatan tulang yang parah akibat kurangnya terapi preventif dengan agen pengikat fosfat, maka diindikasikan terapi vitamin D atau paratiroidektomi. Bila lesi yang dominan adalah osteomalasia maka perlu harus dimulai terapi vitamin D dengan pengawasan ketat.2,21 Neuropati Perifer Biasanya neuropati perifer simtomatik tidak timbul sampai gagal ginjal mencapai tahap yang sangat lanjut. Tidak ada pengobatan yang diketahui untuk mengatasi perubahan tersebut kecuali dengan dialisis yang dapat menghentikan perkembangannya.1 Pengobatan segera pada infeksi Penderita gagal ginjal kronik memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap serangan infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Semua jenis infeksi dapat meningkatkan proses katabolisme dan mengganggu nutrisi yang adekuat serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga infeksi harus segera diobati untuk mencegah gangguan fungsi ginjal lebih lanjut. Petunjuk untuk pemberian antibiotik: Hindari antibiotik yang bersifat nefrotoksik Perhatikan golongan antibiotik yang memerlukan penyesuaian dosis.1,22

21

Penanganan terhadap dislipidemia Gangguan metabolism lipid merupakan bagian integral untuk modulasi kerusakan

progresif glomerulus. Dari laporan meta analisis dari 13 studi yang telah dipublikasi, Fried dkk menyimpulkan koreksi farmakologik dislipidemia memperlihatkan penurunan yang lambat fungsi ginjal walaupun dengan efek minimal. Statin merupakan pilihan utama untuk tujuan renoprotektif karena mempunyai efek pleiotropik pada vaskuler, mempunyai efek anti inflamasi, anti oksidan, immunomodulasi, proangiogenik dan anti trombotik. Efek renoprotektif statin telah didukung dari data post-hoc dari studi CARE.1

22

BAB III KESIMPULAN

Penderita

PGK

dianjurkan

untuk

mengontrol

kandungan yang

protein

pada

nutrisinya,berdasarkan

penelitian-penelitian

terdapat

pengaruh

menguntungkan

terhadapmetabolik bila diberikan diet rendah protein atau diet sangat rendah protein ditambah dengan ketoanalog seperti mengontrol tekanan darah, berkurangnya gejala uremia,asidosis metabolik, hiperfosfatemia, serta PTH. Berkurangnya limbah nitrogen dan kadar PTH akan turut memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, meningkatkan respon terhadap terapi eritropoietin dan mengontrol anemia. Diet rendah protein juga menyebabkan penurunan tekanan kapiler glomerulus dan proteinuria sehingga dapat memperlambat progresifitas PGK. Diet rendah protein ini aman dan tidak menimbulkan kehilangan massa otot, fatigue dan malnutrisi. Faktorfaktor yang dapat mempercepat progresivitas PGK seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperurisemia, dislipidemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan cairan dan asam basa, infeksi, dan faktor pemberat lainnya perlu dikontrol dan diatasi sehingga dapat memperlambat progressi PGK dan menunda dimulainya terapi pengganti ginjal sepeti hemodialisis atau CAPD.

23

BAB IV DAFTAR PUSTAKA


1. Sukandar E, Gagal Ginjal Kronis Dan Terminal: Nefrologi Klinik, Edisi III. Bandung. Penerbit ITB: 2006;465-514. 2. Kestenbaum B, Sampson JN, Rudser KD. Serum phosphate levels and mortality risk among people with chronic kidney disease. Kidney Int 2005;95:S21-7 3.Diet Rendah Protein Dan Penggunaan Protein Nabati pada Penyakit Ginjal Kronik, diunduh dari: http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/diet_rendah_prot-nabati.pdf 4. Should We Still Prescribe A Reduction In Protein Intake for Chronic Kidney Disease (CKD) Patients, diunduh dari: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/should_we_still_prescribe_a_reduction.pd f 5. Bandiara R, Ketoacid Therapy in Pre-Dialysis Patients to Prevent End Stage Renal Disease: A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension, Annual meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn), Balai Penerbit Universitas Diponegoro: 2010;81-89. 6. Lestariningsih. Ketoacid Proven Therapy To Slowndown The Progression Of CKD: Kongres Nasional X Pernefri Annual Meeting;57-63. 7. Teplan V et al. Effect low protein diet suplemented with ketoacids and erythropoetin in chronic renal failure, long term study. Ann Transpant 2001;6(1):47-53. 8. Walser M, Hill S. Can renal replacement be deferred by a supplemented very low protein

diet. J Am Soc Nephrol 1999;10:110-116. 9. Bellizi V. Very low potein diet supplemented with ketoanalogs improves blood

pressure control in chronic kidney disease. Kidney Int 2007;71:234-51 10. Khosla UM, Mitch WE. Dietary protein restriction in the management of chronic kidney disease. European Renal Disease 2007;41-45
24

11. Khosla UM, Zharikov S, Finch JL. Hyperuricemia induces endothelial dysfunction. Kidney Int 2005;67:1739-42 12. Cirillo P, Sato W, Reungjui S. Uric acid, the metabolic syndrome and renal disease. J Am Soc Nephrol 2006;17:165-168 13. Nair KS. Amino acid and protein metabolism in chronic renal failure. Journal of Renal Nutrition 2005;15(1):28-33

14. Fouque D, Aparicio M. Eleven reason to control the protein intake of patients with chronic kidney disease. Natur Clin Practice Nephrol 2007;3(7):383-92 15. Mitch WE, Klahr S. Handbook of nutrition and the kidney, Lippincot, William&Wilkins, Philadelphia, 5thed;2005:115-137

16. National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative kidney Quality (K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI Clinical practice guideline for chronic disease: evaluation, classification, and stratification. Kisney Disease Outcome Initiative. Am J Kidney Dis 39 (Suppl 1): S246, 2000

17. Kuhlmann MK, Kribben A, Wittwer M, Horl WH. OPTA- malnutrition in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant 2007;22(Suppl 3):13-19

18. Siregar P, Penatalaksanaan gangguan elektrolit pada penyakit ginjal kronik predialisis: Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:91-92

19. Roesli RMA, Principles of hypertension management in renal disease: Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:249-255 20. Effendi Imam, Anemia pada penyakit ginjal kronik: Kongres Nasional X Pernefri, Annual Meeting:37-40

21. Lydia A, Gangguan mineral dan tulang pada penyakit ginjal kronik: terapi Lantanum Karbonat, A comprehensive Approach to Kidney Disease and Hypertension,

25

Annual

meeting of Indonesian Society of Nephrology (InaSn). Balai Penerbit Diponegoro:133-136.

Universitas

22. Suhardjono, Inflammation and subclinical infection in chronic kidney disease: JNHC 2007.

26

LAPORAN KASUS
Identitas Pasien Nama Umur Alamat Pekerjaan Agama Status Suku Pendidikan No RM Tanggal masuk RS : Ny. Sunayah : 42 tahun : :: Islam : Janda 1 anak : Sunda : SD : 03317655 : 29/08/12

Tanggal pemeriksaan : 1/09/12 Anamnesis secara autoanamnesis KU KT RPS : sesak napas sejak 2 minggu SMRS : mual, muntah,batuk, kaki bengkak, lemas :

OS datang ke IGD RSUD Bekasi dengan keluhan utama sesak napas yang semakin lama semakin hebat sejak 2 minggu SMRS. OS harus tidur diganjal dengan 2 bantal untuk mengurangi sesaknya.sesak terutama saat berbaring dan berkurang saat posisi tegak.. Nyeri dada(-), berdebardebar(-).Batuk jarang dan kering,timbul pada saat berbaring. OS mengeluh sering merasa mual. Muntah terjadi setiap habis makan berisi makanan. BAB dan BAK lancar. Sakit pinggang(-).

27

Sejak 10 hari SMRS, OS mengaku kedua kakinya bengkak, bengkak timbul perlahan-lahan dari bawah ke atas. Demam(-). OS juga mengaku merasa lemah.Nafsu makan baik. 2 hari SMRS OS sudah sempat ke dokter untuk berobat dan diberi obat hipertensi captopril. OS baru minum sekali. Riwayat HT(+) namun tidak rutin minum obat. kencing manis(-), jantung(-), maag(+), sakit kuning(-), sakit ginjal(-), Asma(-), alergi(-) Saat di IGD, OS mengaku demam menggigil setelah diberikan transfuse darah. Demam hilang setelah kompres air hangat dan minum teh hangat. OS baru dipindahkan ke bangsal setelah 3 hari di IGD

RPD: OS tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat batuk pilek sebelum sakit disangkal. Riwayat pengobatan Ca Cerviks di RSCM 1 tahun yang lalu Riwayat HT(-), sakit jantung(-), kencing manis(-), maag(+), alergi(-), asma(-), sakit kuning(-) Riwayat kebiasaan: -jarang mengkonsumsi minuman bersoda Merokok(-) Alcohol(-) Jamu godongan (+)

RPK: Tidak ada keluarga yang pernah sakit seperti ini. Ibu pasien HT(+) dan asma(+), DM(-), jantung(-), alergi(-), sakit ginjal(-), sakit kuning(-)

28

[O] Pemeriksaan Fisik Keadaan umum: tampak sakit berat Kesadaran: compos mentis Kesan Gizi: TB: 152 cm, BB: 48kg. BMI: 20,77 kg/m2 : normal Tanda-tanda vital: TD: 150/100 mmHg N: 98x/m T: 39,3oC RR: 28x/m Mata: bengkak palpebral , CA+/+,SI-/Abdomen: Inspeksi: tampak buncit Auskultasi; bising usus 4x/m normal Perkusi: timpani, nyeri ketuk(-) Palpasi: supel, nyeri tekan positif regio lumbal dekstra dan sinistra, ballottement(-), CVA? Ekstremitas: Akral hangat ke4 ekstremitas Oedem pitting ke 2 tungkai [A]: suspek CKD, snemia [P]: PRC 500cc

29

Paracetamol 3x1stop O2 2-3 liter/menit Follow up 2/9 S Sesak napas batuk lemas kaki bengkak O TSB/CM TD: 150/110 mmHg N: 108x/m T: 36,50C RR: 40x/m Mata: CA+/+ Abdomen: tampak buncit teraba masa 4 jari di bawah umbilicus ballottement+/+, CVA +/-, NK(+) dan NT(+) epigastrium, hypogastrium dan TSB/CM TD: 130/100 mmHg, N: 111x/M T: 36,50C, RR: 44x/m Lain masih 3/9 Batuk(-) Lain masih 4/9 bengkak kaki kiri punggung panas demam tadi malam,skarang turun lain masih TSS/CM TD: 140/100 mmHg N; 100 x/m T: 37,3oC RR: 40 x/m CA-/Lain masih

30

lumbal kiri Oedem ke 2 tungkai Lab Darah rutin DHF Lab tgl 30/8 Eritrosit juta/uL Hb 5,3 g/dL Ht 17,6 % MCHC 30,1 pg Trombosit 491 rb/UL Ur 95 mg/dl Cr 4,65 mg/dl 1,93 tanggal 1/9/12 Hb 6,7 gr/dl Ht 21,2% Darah rutin DHF tgl 2/9/12 Hb 7,8 gr/dl Ht 23,4 % Trombo 400 ribu/uL GFR: 14

CKD std V Anemia Ca cerviks

Transfusi PRC DL, UL,FG Diet lunak Lasix 1x1

Transfuse PRC 2 kolf

Batasi cairan, pasang kateter untuk hitung balance cairan, USG

Sanmol 3x1

31

Bicnat Asam folat CaCo3 3x1

Renxamin/ 24 jam

5/9 lemas pusing mual sakit perut pinggang sakit dan panas lain masih TSS/CM TD: 140/100 mmHg N; 100 x/m T: 37,3oC RR: 40 x/m

6/9 Sakit perut

8/9 sesak, nyeri pinggang

9/9 S: sesak

TSS/CM TD: 140/90 mmHg N: 104x/m T: 36,50C RR: 44 x/m Abdomen:

TSS/CM TD 110/70mmHg N: 92 x/mnit T: 36,50C RR: 32 x/mnt

O: TSS/CM TD: 110/80 mmHg N: 120 x/menit T: 37,7oC RR: 29x/menit

Lab: tgl 4/9/12

buncit

32

Darah rutin DHF Hb: 9,4 g/dL Ht: 29% Trombosit: 441 ribu/uL Ureum: 89 mg/dL Creatinin: 4,26 mg/dL USG: hidronefrosis bilateral (bendungan), dan pembesaran uterus disertai asites .Efusi leura bilateral Lab 9/9/12: Hb: 9,6 g/dL, Ht: 29,6 %, Trombo: 421 rb/uL Fungsi hati Albumin 2 g/dL Ur: 99 mg/dl Cr: 4,9 mg/dL

CKD V Efusi Pleura Ca Cerviks USG valsartan Batasi cairan 500 cc/mEq Cek ulang albumin, jika albumin <3 koreksi albumin 20 % 100 cc

CKD V Efusi Pleura Ca Cerviks lasik 2x1 Albumin 20% 100 cc Bicnat 3x1 Caco3 3x1 Asam folat 3x1

33

Laboratorium 30/08/12 HEMATOLOGI Darah rutin Leukosit Eritrosit Hemoglobin Hematokrit Index eritrosit MCV MCH MCHC Trombosit KIMIA KLINIK Fungsi hati AST (SGOT) ALT(SGPT) Fungsi Ginjal Ureum 95 mg/dL (20-40) 22 U/L 26 U/L (<37) (<41) 91,1 fl 27,4 pg 30,1% 591 ribu/uL (32-37) (150-400) (82-92) (27-32) 8,9 ribu/uL 1,93 juta/uL 5,3 g/dL 17,6 % (5-10) (4-5) (12-14) (37-47)

34

Kreatinin

4,65 mg/dL

(0,5-1,5)

Diabetes Gula Darah Sewaktu Elektrolit Natrium (Na) Kalium(K) Clorida (Cl) Darah Rutin Leukosit (ribu/uL) Hb (g/dl) Ht (%) Trombo ribu/uL 141 mmol/L 5,2 mmol/L 105 mmol/L Tgl 1/9/12 8,7 6,7 21,2 325 (135-145) (3,5-5,5) (94-111) Tgl 2/9/12 8,1 7,8 23,4 460 Tgl 4/9/12 9,2 9,4 29 441 96 mg/dL (60-110)

KIMIA KLINIK Fungsi ginjal Ureum Kreatinin 89 mg/dL 4,26 mg/dL (20-40) (0,5-1,5)

Resume: Pasien, Ny. S,42 tahun datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 minggu SMRS. sesak terutama saat berbaring dan berkurang saat posisi tegak..Mual(+), muntah(+) isi makanan setiap
35

habis makan, batuk jarang terutama saat berbaring. Kaki bengkak sejak 10 hari SMRS, lemas(+). RPD: riwayat pengobatan Ca Cerviks di RSCM 1 tahun yang lalu. Riw. maag(+).PF; TD: 150/100 mmHg, N: 98x/mT: 36,7oC, RR: 28x/m, CA+/+,Abdomen: tampak buncit, nyeri tekan (+) regio lumbal dekstra dan sinistra, ballottement(+/+), CVA(+/+).Ekstremitas:kedua tungkai oedem. Lab: Eritrosit 1,93 juta/uL, Hb 5,3 g/dL, Ht 17,6 % , MCHC 30,1 pg , Trombosit 491 rb/UL , Ur 95 mg/dl , Cr 4,65mg/dl. DAFTAR MASALAH 1. CKD Atas dasar: keluhan sesak napas terutama saat nerbaring, kedua tungkai bengkak, lemas,mual TD 150/100 mmHg,, RR: 28x/menit, CA+/+,abdomen tampak buncit, nyeri tekan region lumbal dextra dan sinistra, ballottement(+/+), nyeri ketuk CVA(+/+), kedua tungkai edema. Hb 5,3 g/dl, ur 95 mg/dl, cr 4,65 mg/dl. A: CKD.dd/ CHF Pemeriksaan penunjang anjuran: USG abdomen, EKG,rontgen thorax Medikamentosa: O2 2-3 L RL/16 jam Transfusi PRC Posisi setengah duduk Hitung balance cairan, kurangi asupan cairan Diet lunak Medikamentosa Lasix 1x1

36

Bicnat 3x1 Asam folat 3x1 CaCo3 3x1

2. Anemia normositik normokrom ec. CKDdd/ anemia aplastic,anemia hemolitik Atas dasar lemas, lemas, CA+/+, Eritrosit 1,93 juta/uL, Hb 5,3 g/dL, Ht 17,6 % , MCHC 30,1 pg , Pemeriksaan penunjang anjuran: Morfologi darah tepi Non medikamentosa: Transfusi PRC 3. Ca cerviks Atas dasar riwayat pengobatan Ca cerviks di RSCM 1 tahun yang lalu Pemeriksaan penunjang anjuran: USG Rujuk ke RSCM untuk dilakukan kemoterapi lanjutan 4. Hipertensi Atas dasar TD 150/100 mmHg A Hipertensi ec CKD. dd/ peningkatan tekanan darah karena tegang, hiperkolesterolemia,kelainan jantung Pemeriksaan anjuran: Lipid lengkap, foto rontgen Non-medika mentosa Pantau tekanan darah setiap hari Medikamentosa Amlodipin 12,5 mg
37

38

Anda mungkin juga menyukai