Laporan Praktikum Farmakologi
Laporan Praktikum Farmakologi
Laporan Praktikum Farmakologi
Asisten: Khafizati Amalina Fitri Rosadi G1A009136 Kelompok XI Pradani Eva A. Rona Lintang Harini Hesti Putri A. Hayin Naila N. Khoirur Rijal A. Intan Puspita Hapsari Dicky Bramantyo A.P. Keyko Lampita Mariana S. Khairisa Amrina Rosyada Nurul Setyawan G1A010097 G1A010094 G1A010099 G1A010102 G1A010106 G1A010109 G1A010113 G1A010074 G1A010039 G1A008091
BLOK RESPIRASI JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2012
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh : Kelompok XI Pradani Eva A. Rona Lintang Harini Hesti Putri A. Hayin Naila N. Khoirur Rijal A. Intan Puspita Hapsari Dicky Bramantyo A.P. Keyko Lampita Mariana S. Khairisa Amrina Rosyada Nurul Setyawan G1A010097 G1A010094 G1A010099 G1A010102 G1A010106 G1A010109 G1A010113 G1A010074 G1A010039 G1A008091
disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Farmakologi Blok Respirasi Jurusan Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
BAB I PENDAHULUAN Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman tuberculosis (TB) menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus, tidak berspora, tidak berkapsul, berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis merupakan pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (PDPI, 2006). Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas (breathlessness), dada rasa tertekan (chest tightness), dispnea, dan batuk (cough) terutama pada malam atau dini hari. Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak (PDPI, 2006).
BAB II PEMBAHASAN A. Obat Anti Tuberkulosis 1) Rifampisin a. Jenis Rifampisin merupakan derivate semisintetik rifamisin B yang merupakan salah satu anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Obat ini digunakan sebagai obat anti tuberkulostatik pilihan pertama. Selain itu juga obat ini digunakan untuk terapi pada lepra. Rifampisin merupakan ion zwitter yang larut dalam pelarut organik dan air yang pHnya asam (Schmitz, 2009; Syarif, 2009). b. Farmakodinamik Rifampisin terutama aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh. Rifampisin yang berikatan pada subunit menghambat RNA polymerase yang bergantung pada DNA sehingga sintesis RNA diblokir. RNA mitokondria mamalia dapat dihambat oleh rifampisin tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi untuk menghambat kuman (Schmitz, 2009; Syarif, 2009). Efek yang diberikan oleh obat ini adalah bakterisid. Rifampisin merupakan obat anti tuberculosis (OAT) spektrum luas yang selain mampu membunuh Mycobacteria juga dapat membasmi bakteri gram positif dan gram negatif, Klamidia dan dalam konsentrasi yang sangat tinggi (in vitro) juga membasmi virus dan protozoa (Schmitz, 2009). Rifampisin merupakan pemacu metabolism yang kuat sehingga berbagai obat misalnya hipoglikemik oral, kortikosteroid urea yang dan kontrasepsi pada orang oral dengan berkurang diabetes efektifitasnya bila diberikan bersama rifampisin. Sulfonil diberikan mellitus akan berkurang efeknya bila diberikan bersama
c.
Farmakokinetik Kadar puncak dalam plasma darah dicapai dalam waktu 2-4 jam pemakaian oral. Absorbsinya dihambat oleh asam
setelah
aminoparasalisilat. Apabila keduanya harus digunakan bersamaan maka harus diberi jarak 8-12 jam (Syarif, 2009). Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5-5 jam dan akan memanjang bila ada kelainan fungsi hepar. Efek samping dari Rifampisin dapat mengakibatkan air seni menjadi merah. Hal ini terjadi karena rifampisin didistribusi ke seluruh tubuh dengan baik bahkan ke cairan otak. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien karena tidak memerlukan penanganan (Syarif, 2009). Tabel 1. Farmakokinetik rifampisin (Syarif, 2009).
d.
Sediaan dan posologi Di Indonesia rifampisin terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan
300 mg. Selain itu terdapat pula sediaan tablet 450 dan 600 mg serta suspense yang mengandung 100mg/ 5mL rifampisin. Pada beberapa sediaan dikombinasi dengan isoniazid. Obat ini sebaiknya diberikan sehari sekali sebaiknya 1 atau 2 jam sesudah makan. Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg adalah 450g/hari sedangkan untuk yanmg lebih dari 50kg adalah 460mg/hari. Dosis untuk anak-anak adalah 10-20 mg/kgBB per hari dengan dosis maksimum 600 mg/hari (Syarif, 2009). e. Efek Samping 1) Gangguan fungsi hati
2) Keluhan gastrointestinal 3) Gangguan fungsi ginjal 4) Reaksi alergis 5) Efek teratogen pada percobaan hewan f. Indikasi dan Kontraindikasi 1) Tuberkulosis (TB) 2) Leprosy 3) Legionnaire's disease 4) Brucellosis 5) Infeksi stafilokokus f.2. Kontraindikasi 1) Hipersensitif terhadap golongan obat ini 2) Penyakit kuning (jaundice) 3) Severe hepatic disease 4) Gangguan hati yang berat g. Contoh Penulisan Resep Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah : dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ Rifampisin mg 650 tab No.XXX S 1dd. Tab I. Pc om. f.1. Indikasi
P
Pro Usia Alamat : Budi : 45 tahun :Purwokerto
2) Isoniazid a. Jenis Isoniazid merupakan obat yang paling aktif dalam terapi tuberculosis yang disebabkan oleh galur yang rentan. Bentuknya kecil dan larut dengan bebas dalam air (Katzung, 2010). b. Farmakodinamik Isoniazid menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan komponen penting dalam dinding sel mikrobakterium. Isoniazid merupakan precursor obat yang diaktifkan oleh katG, suatu katalaseperoksidase milik mikrobakterium. Bentuk aktif isoniazid membentuk kompleks kovalen dengan protein pembawa-asil (AcpM) dan KasA, suatu sintetase protein pembawa beta-ketoasil, yang menyekat sintesis asam mikolat dan membunuh sel (Katzung, 2010). c. Farmakokinetik Isoniazid cepat diserap dari saluran cerna. Dosis oralnya sebesar 300 mg (5 mg/kg pada anak) mencapai kadar puncak dalam plasma sebesar 3-5 mcg/ml dalam 1-2 jam. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam semua cairan tubuh dan jaringan. Metabolisme isoniazid terutama asetilasi oleh N-asetiltransferase hati ditentukan secara genetic. Kadar isoniazid plasma rerata pada asetilator cepat adalah sekitar sepertiga hingga separuh kadar tersebut pada asetilator lambat. Waktu paruh rerata pada keduanya masing-masing sebesar kurang dari 1 jam dan 3 jam. Bersihan isoniazid yang lebih cepat oleh asetilator cepat biasanya tidak berdampak pada terapi jika dosis diberikan setiap hari, tetapi kadarnya bisa saja tidak mencukupi untuk terapi jika obat diberikan sekali seminggu atau jika terjadi malabsorpsi. Metabolit isoniazid dan sejumlah kecil isonazid yang tidak mengalami perubahan diekskresi terutama melalui urin. Dosisnya tidak perlu disesuaikian pada gagal ginjal (Katzung, 2010). d. Sediaan Tablet 50, 100, 300, dan 400 mg
Sirup 10 mg/ml (Syarif, 2009) e. Dosis Dosis isoniazid sebesar 5 mg/kg/hari. Dosis dewasa umumnya 300 mg yang diberikan sekali sehari. Pada keadaan infeksi berat atau malabsorpsi, dosis tersebut dapat diberikan hingga 10 mg/kg/hari. Dosis 15 mg/kg/hari atau 900mg dapat digunakan pada regimen obat yang diberikan dua kali seminggu dalam kombinasi dengan agen antituberkulosis kedua (misalnya rifampisin 600 mg) (Katzung, 2010). f. Efek samping Demam, ruam pada kulit, hepatitis yang dapat disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri, neuropati perifer, dan berbagai reaksi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi piridoksin, tinnitus, dan keluhan saluran cerna (Katzung, 2010). g. Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi Isoniazid sebagai suatu agen tunggal diindikasikan dalam terapi tuberkulosis laten. Dosisnya sebesar 300 mg/hari (5 mg/kg/hari) atau 900 mg dua kali seminggu selama 9 bulan (Katzung, 2010). Kontraindikasi Kontraindikasi isoniazid pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap isoniazid itu sendiri. Isoniazid juga dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit hepar akut atau dulunya pernah melakukan pengobatan hepar (Becker, 2007). h. Contoh penulisan resep Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah : dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx
Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ Isoniazid mg 300 Tab. No. XXX S 1.dd Tab I a.c Om. Pro Usia Alamat 3) Pirazinamid a. Jenis Aldinamide, Tebrazid (Lullmann, et al,2000). b. Farmakodinamik Pirazinamid bekerja secara bakterisid in vitro hanya pada pH asam. Aktivitas pirazinaid pada pH asam sangat ideal karena Mycobacterium tuberculosis bertempat di dalam fagosom yang bersifat asam pada makrofag. Basil tuberkel di dalam monosit in vitro dihambat atau dibunuh pada konsentrasi obat sebesar 12.5 mg/ml. Target pirazinamid yaitu gen asam lemak sintase I dari mycobacterium, termasuk biosintesis asam mikolat. Pirazinamid diubah menjadi asam pirazinoat bentuk aktif obat inioleh enzim mycobacterium pyrazinamidase yang dikode oleh pncA. Resistensi bisa terjadi dengan cepat apabila pirazinamid digunakan sebagai obat tunggal atau diberikan sendiri. Resistensi terjadi karena mutasi pada pncA yang mengakibatkan terganggunya perubahan pirazinamid menjadi bentuk aktifnya (Petri, 2006; Katzung, 2006). c. Farmakokinetik Pirazinamid mudah diabsorbsi di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 g/mL pada dua jam setelah pemberian obat. Distribusi pirazinamid secara luas ke sistem saraf pusat, paru, dan liver melalui pemberian secara oral. Penetrasi sangat baik ke dalam cairan serebrospinal. Pirazinamid dihidrolisis menjadi asam pirazinoat, kemudian dihidrolisis lagi menjadi asam 5- hidroksipirazinoat yang merupakan hasil metabolit utama untuk diekskresi. Ekskresinya terutama melalui filtrasi : Budi : 45 tahun :Purwokerto
glomerulus. Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam (FKUI, 2009; Petri, 2006). d. Sediaan Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg (FKUI, 2009).
e. Dosis Dosis oral yaitu 20-35 mg/kgBB/hari. Dosis maksimal 2-3 gram sehari, tergantung pada berat badan. Dosis untuk anak yaitu 15-30 mg/kgBB/hari dan dosis per hari tidak boleh melebihi 2 gram. Pirazinamid efektif dan aman untuk pemberian 2-3 kali dalam seminggu (Petri, 2006; FKUI, 2009). f. Efek samping Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 gram per hari, maka muncul gejala-gejala penyakit hati seperti ikterus dan nekrosis hati yang menyebabkan kematian. Sebaiknya melakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum memberikan terapi dengan pirazinamid dan selalu memantau transaminase secara berkala selama pengobatan berlangsung. Jika jelas menimbulkan kelainan hati, pirazinamid harus dihentikan. Selain itu, pirazinamid juga menghambat ekskresi asam urat sehingga menyebabkan hiperuricemia, arthralgia, anoreksia, mual dan muntah, dysuria, malaise, dan demam (FKUI, 2009). g. Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi Pengobatan tahap awal (intensif) semua kategori OAT untuk TB (FKUI, 2009). Kontraindikasi 1) 2) 3) 4) Pasien ikterus Pasien dengan kelainan hati kronis Pasien dengan gagal ginjal Pasien dengan hiperuricemia (gout)
(FKUI, 2009) h. Contoh penulisan resep Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ Pirazinamid mg 500 Tab. No. LX S 1.dd Tab II a.c Om.
P
Pro Usia Alamat 4. : Budi : 45 tahun :Purwokerto
a. Jenis b. Farmakodinamik Ethambutol merupakan isomer turunan etilendiamina sederhana yang memutar ke kanan, yang merupakan spektrum kerjanya hanya terbatas pada mikobakteri saja. Hampir semua galur M. tuberculosis dan M.kansasii sensitif terhadap ethambutol. Ethambutol tidak efektif untuk kuman lain. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberculosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Mekanisme kerjanya ethambutol akan menghambat arabinosyl transferase (disandikan oleh operon embCAB) yang terlibat dalam sintesis arabinogalactan, komponen dari dinding sel mikobakteri. Perlawanan terjadi dengan cepat melalui mutasi pada gen emb jika obat digunakan sendirian (Katzung, 2009). c. Farmakokinetik Obat ini diserap dengan baik secara oral dan didistribusikan ke sebagian besar jaringan jaringan termasuk Sistem Saraf Pusat (SSP). Setelah pemberian oral sekitar 75 80% ethambutol diserap dari
saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2 4 jam setelah pemberian. Masa paruh eliminasinya 3 4 jam. Kadar ethambutol dalam eritrosit 1 2 kali kadar dalam plasma. Dalam waktu 24 jam, 50% ethambutol yang diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Ethambutol tidak dapat menembus sawar darah otak, tetapi pada meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi dalam cairan otak (Katzung, 2009; Syarif, 2009). d. Sediaan Tablet 250 mg dan 500 mg, ada pula sediaan yang telah dicampur dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap (Syarif, 2009). e. Dosis Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali sehari, ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian diturunkan menjadi 15 mg/kgBB. Pengurangan dosis diperlukan pada pasien dengan gangguan ginjal. (Katzung, 2009; Syarif, 2009). f. Efek samping Efek samping yang biasa dialami oleh pasien adalah gangguan penglihatan, biasanya bilateral yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya ketajaman penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapang pandangan, dan skotoma sentral maupun lateral. Selain itu juga dapat terjadi ruam alergi, ikterus, neuritis perifer, gangguan sistem saraf pusat (SSP), hiperurisemia, untuk gangguan gastrointestinal jarang terjadi (Syarif, 2009; Evaria, 2011) g. Indikasi dan Kontraindikasi g.1. Indikasi Untuk terapi TB paru yang resisten g.2. Kontraindikasi Hipersensitif terhadap ethambutol, neuritis optik, anak dibawah 13 tahun (Evaria, 2011).
h. Contoh penulisan resep Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah : dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ Etambutol mg 250 Tab. No. LX S 1.dd Tab III p.c om.
P
Pro Usia Alamat 5. Streptomisin a. Jenis OAT lini pertama. b. Farmakodinamik Streptomisin in-vitro bersifat bakteriosatik dan bakterisid terhadap kuman TB. Kadar serendah 0,4 g/mL dapat menghambat pertumbuhan kuman. Sebagian besar M. tuberculosis strain human dan bovin dihambat pada kadar 10 g/mL. Adanya mikroorganisme yang hidup dalam abses atau kelenjar limfe regional serta hilangnya pengaruh obat setelah beberapa bulan pengobatan, mendukung konsep bahwa kerja streptomisin in vivo adalah supresi, bukan eradikasi. Obat ini dapat mencapai kavitas, tetapi relative sukar berdifusi ke cairan Intra sel (Istiantoro & Setiabudy, 2008). c. Farmakokinetik Setelah diserap dari tempat suntikan, hamper semua : Budi : 45 tahun :Purwokerto
dalam eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin yang berada dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisin diekskresi melalui filtrasi glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis yang diberikan parenteral diekskresi dalam bentuk utuh selama 24 jam pertama. Sebagian besar jumlah ini diekskresi dalam waktu 12 jam. Masa paruh pada orang dewasa sekitar 2-3 jam, dan dapat memanjang pada gagal ginjal (Istiantoro & Setiabudy, 2008). d. Sediaan Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram. e. Dosis Dosisnya 20 mg/kgBB secara IM, maksimum 1 gram/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali seminggu. Dosis harus dikurangi untuk orang lansia, anak-anak, orang dewasa yang berbadan kecil, dan pasien dengan gannguan fungsi ginjal (Istiantoro & Setiabudy, 2008). f. Efek samping Ototoksisitas dan nefrotoksisitas adalah hal yang harus diwaspadai pada pemberian streptomisin dan aminoglikosida lain. Efek toksik berhubungan dengan usia lanjut dan insufisiensi ginjal (Belknap, 2004). Pada 515 pasien dengan tuberkulosis yang diberi aminoglikosida, 8,2% berefek merugikan, setengahnya mengenai fungsi auditori dan vestibulum dari nervus kranialis kedelapan. Efek lainnya adalah ruam dan demam (Petri, 2006). g. Indikasi dan Kontraindikasi g.1. Indikasi TBC dan infeksi lain yang membutuhkan streptomisin. g.2. Kontraindikasi Hipersensitif terhadap aminoglikosida lain (Evaria, 2011).
h.
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah : dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ Streptomisin inj gram 1 vial No. XXX S. imm
P
R/ Aquades 5 ml No. XXX S.imm
P
R/ Spuit 5 cc No. XXX S.imm
P
Pro Usia Alamat 6. : Budi : 45 tahun : Purwokerto
Penulisan resep obat anti tuberculosis kategori I Pada pengobatan pasien TB, kategori penyakit digolongkan menjadi tiga kategori berdasarkan kasus dari penderita TB dan kebutuhan pengobatan dalam program. Kasus TB kategori I merupakan suatu kasus baru TB dengan BTA (+) yang mana kasus baru di sini bermakna bahwa pasien baru pertama kali mengalami TB dan belum pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya atau sudah pernah minum OAT tetapi < 1 bulan. TB kategori I ini merupakan kasus baru pada pasien dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier,
perikarditis, peritonitis, pleuritif masif atau bilateral dan penderita dengan sputum (-) tetapi kelainan parunya luas yang apabila pada gambaran foto rontgen, terdapat infiltrat yang lebih dari spatium intercostalis 2 (SIC 2) (Muttaqin, 2008). Pada pasien yang termasuk kasus baru/kategori I, maka pengobatan yang harus diberikan adalah OAT kategori I dengan aturan sebagai berikut : Tabel 2. Panduan OAT Kategori I (Muttaqin, 2008) Penderita TB Kategori I Panduan Obat Fase Awal (tiap hari Fase Lanjut 4HR
atau 3x seminggu) Kasus baru TB paru, dahak 2 RHZE (RHZS) (+) Kasus baru TB paru dahak (-) dengan kerusakan parenkim 2 RHZE (RHZS) luas Kasus baru TB extra paru Contoh penulisan resep: 2 RHZE (RHZS)
6HE 4 H3R3
Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah : dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ OAT 4FDC Kategori I Fase intensif Tab. No. LXXXIV S 1.dd Tab III. Pc. On. Pro Usia Alamat Fase : Budi : 45 tahun : Purwokerto lanjutan diberikan ketika setelah pengobatan fase
fase lanjutan masih tetap BTA (+), maka dapat dilakukan pengobatan fase awal lagi dengan diperpanjang 2-4 minggu (Muttaqin, 2008). Contoh penulisan resep: Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah : dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ OAT 2FDC Kategori I Fase lanjutan Tab. No. XXXVI S seminggu tiga kali Tab III. Pc. On.
P
Pro Usia Alamat 7. : Budi : 45 tahun : Purwokerto
Penulisan resep obat anti tuberculosis kategori II Paduan OAT kategori ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: 1) Pasien kambuh 2) Pasien gagal 3) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat Setelah fase intensif, maka diberikan obat fase lanjutan. Tabel 3. Panduan OAT kategori II (Kemenkes, 2009)
Contoh penulisan resep OAT kategori II fase intensif : Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah : dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ OAT FDC Kategori II Fase intensif Tab. No. LXXXIII S 1.dd Tab III. Pc. On. R/ Streptomisin inj gram 1 vial fl. No. XXX S 1.dd 750 mg IM R/ Spuit 5 cc No. XXX S. imm Pro Usia Alamat : Budi : 45 tahun : Purwokerto
P
P P
Contoh penulisan resep OAT kategori II fase lanjutan : Berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, resepnya: dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ OAT FDC Kategori II Fase lanjutan Tab. No. XXXVI S 1.dd Tab III. Pc. On. R/ Etambutol mg 500 Tab No. LX S 1.dd Tab II Pc.On Pro Usia : Budi : 45 tahun
P P
: Purwokerto 1. Aminofilin
a. Jenis Golongan bronkodilator yang merupakan derivat dari metilxantin. b. Farmakodinamik Teofilin, kafein dan teobromin memiliki efek farmakologi yang sama yaitu dapat menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus, merangsang sistem saraf pusat, otot jantung, dan meningkatkan diuresis. Pada dosis rendah dan sedang, metilxantin dapat menyebabkan sedikit cortical arousal dengan peningkatan kewaspadaan dan rasa lelah, sedangkan pada dosis tinggi dapat menyebabkan kegelisahan dan tremor terutama pada penggunaan aminopilin pada penderita asma. Metilxantin juga dapat memiliki efek kronotropik dan inotropik positif langsung pada jantung yang terjadi karena peningkatan rilis katekolamin yang disebabkan oleh hambatan reseptor adenosine prasinaps (Katzung, 2002). Efek terapi dari metilxantin ini diduga tidak hanya terbatas pada jalan napas, sebab mereka memperkuat kontraksi otot rangka terpisah pada penelitian in vitro, dan mempunya efek kuat baik dalam memperbaiki kontraktilitas maupun dalam memperbaiki kepenatan diafragma pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis. Teofilin mempunyai kemampuan untuk meningkatkan respon ventilasi pada keadaan hipoksia dan mengurangi sesak, bahkan pada pasien dengan obstruksi aliran udara yang ireversibel (Katzung, 2002). c. Farmakokinetik Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian secara oral, rectal atau parenteral. Sediaan dalam bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorbsi secara cepat dan lengkap. Asorbsi juga berlangsung lengkap untuk beberapa jenis sediaan lepas lambat. Absorbs teofilin dalam bentuk garam yang mudah larut, seperti teofilin Na gkisinat atau teofilin kolin. Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin
bentuk cair atau tablet tidak bersalut dapat menghasilkan kadar puncak plasma dalam waktu 2 jam (FKUI, 2007). Pada umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbs teofilin tetapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorbs. Metilxantin didistribusikan ke seluruh tubuh, dapat melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Volume distribusi nya antara 400 dan 600 ml/kg. eliminasi dari metilxantin terutama melalui metabolisme dalam hati. Sebagian besar akan diekskresikan bersama urin dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin (FKUI, 2007). d. Sediaan Teofilin berbentuk kristal putih, pahit dan sedikit larut dalam air. Untuk penggunaan oral, tersedia : Kapsul Tablet Sirup Ampul (FKUI, 2007). e. Dosis Kadar terapi teofilin sedikitnya 5-8 g/ml, sedangkan efek toksik mulai terlihat pada kadar 15g/ml dan lebih sering pada dosis diatas 20 g/ml. Dosis aminofilin diberikan 6 mg/kgBB diberikan secara infus selama 20-40 menit. Setelah itu untuk efek yang optimalkan dipertahankan dengan pemberian infuse 0,5 mg/kgBB/jam untuk dewasa normal dan bukan perokok. Untuk anak-anak dan orang dewasa perokok memerlukan dosis 0,8-0,9 mg/kgBB/jam. Teofilin oral bagi orang dewasa adalah 400 mg/hari (FKUI, 2007). f. Efek samping 1) SSP : gugup, ansietas, sakit kepala, insomnia, kejang : 130 mg : 150 mg :50 mg/5ml, 130 mg/15ml, 150 mg/15 ml :10ml, mengandung 24 mg aminofilin setiap mililiternya.
Tablet salut selaput lepas lambat : 125 mg, 250 mg, 300 mg
2) Kardiovaskular : takikardia, palpitasi, aritmia, angina pektoris 3) GI : mual, muntah, anoreksia, kram (Deglin, 2005). g. Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi Digunakan pada penyakit asma bronchial, PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik), apnea pada bayi prematur (FKUI, 2007). Kontraindikasi Hipersensitifitas terhadap obat ini (FKUI, 2007). h. Contoh penulisan resep Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah : dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ Aminofilin mg 100 tab No.XXX S 1.dd Tab I. Pc. Pro Usia Alamat : Budi : 45 tahun : Purwokerto 2. Salbutamol a. Jenis Bronkodilator golongan Agonis -2 kerja cepat (pedoman pengendalian asma). b. Farmakodinamik Kerja obat : mengakibatkan akumulasi siklik adenosine menofosfat (cAMP) pada reseptor adrenergic beta, menyebabkan bronkodilatasi, relative selektif terhadap reseptor beta2 (paru) (Deglin, 2005).
c. Farmakokinetik 1) Absorpsi: Diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral, namun dengan cepat akan mengalami metabolism ekstensif. 2) Distribusi: Tidak banyak diketahui. Sedikit terdapat didalam air susu ibu (ASI). 3) Metabolisme dan Ekskresi: Dimetabolisme secara ekstensif oleh hati dan jaringan lain. 4) Waktu paruh: 3,8 jam (Deglin, 2005). d. Sediaan Oral (Tablet, Sirup, Kapsul), Inhalasi aerosol, Inhalasi cair, Injeksi (Theodorus, 2007). e. Dosis 1) Oral a) Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari b) Anak 2-6 tahun : 1-2 mg 3-4 kali sehari c) Anak 6-12 tahun : 2 mg diminum 3-4 kali sehari d) Dewasa : 4 mg diminum 3-4 kali sehari, dosis maksimal 1 kali minum sebesar 8 mg Catatan : dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif sebesar 2 mg 2) Inhalasi aerosol a) Anak : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hisapan) bila perlu. b) Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari 3) Inhalasi cair
a)
Dewasa dan anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali sehari atau 5 kali bila perlu. Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan.
b)
4) Injeksi subkutan atau intramuscular Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu 5) Injeksi intravena lambat
Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu (Theodorus, 2007). f. Efek samping (Deglin, 2005). 1) System saraf pusat : gugup, gelisah, insomnia, tremor, sakit kepala. 2) Kardiovaskular : hipertensi, aritmia, angina 3) Endo : hiperglikemia 4) Gastrointestinal : mual, muntah. g. Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi Asma, sesak nafas yang disebabkan bronchitis kronis, emfisema; mencegah kelahiran prematur (Deglin, 2005). Kontraindikasi Hipersensitivitas. Hati-hatu pada penderita dengan hipertensi, penyakit arteri koroner, diabetes, gangguan aritmia, hipertiroid (Deglin 2005). h. Contoh penulisan resep Pemberian oral untuk anak usia 12 tahun: dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ Salbutamol . 2 mg . tab . No XV S. 3 d d . tab 1 . pc . Pro Usia Alamat : Budi : 12 tahun : Purwokerto 3. Ipratropium bromide a. Jenis Antagonis reseptor muskarinik. b. Farmakodinamik Ipratropium bromida adalah antagonis kolinergik asetilkolin pada reseptor kolinergik, yang memblok asetilkolin.
c. Farmakokinetik 1) Absorpsi : setelah oral inhalasi, hanya sedikit yang diabsorpsi dari permukaan paru atau saluran cerna. 2) Distribusi : 0-9% terikat dengan albumin plasma dan a1-acid glycoprotein secara in vitro. 3) Metabolisme: sebagian dimetabolisme melalui hidrolisis ester 4) Ekskresi: feses, ginjal 3.7-5.6% dalam bentuk tidak berubah d. Sediaan Inhaler 20 mcg/semprot. Inhalation Solution 250 mcg/ml. e. Dosis 1) Inhaler 20-40 mcg, 3-4 kali sehari. 2) Anak s/d 6 th : 20 mcg 3 kali sehari; 6 -12 th : 20-40 mcg 3 kali sehari 3) Inhalation solution: 250 - 500 mcg, 3-4 kali sehari. 4) Anak s/d 6 th : 125-250 mcg, dapat diulang tiap 4-6 jam, dosis maksimum sehari 1 mg; 6-12 th : 250 mcg (Evaria, 2011) f. Efek samping Mulut kering, mual, konstipasi, sakit kepala, takikardi, fibrilasi atrial. g. Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi Terapi simptomatik bronkospasme yang reversibel, berhubungan dengan obstruksi kronis saluran nafas. Kontraindikasi Hipersensitifitas terhadap obat ini. (Evaria, 2011) h. Contoh penulisan resep Jika berat badan pasien 40 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah :
dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ Ipatoprium bromide mcg 40 tab No.XXX S 3 dd Tab I. Pc. On. Pro Usia Alamat : Budi : 12 tahun : Purwokerto 4. Kromolin a. Jenis Kromolin atau natrium kromolin atau garam dinatrium dimasukkan sebagai obat antihistamin atau sebagai stabilisator sel mast karena menghambat degranulasi pelepasan histamin, TNF- dan mediator inflamasi lainnya, sehingga kromolin digolongkan sebagai obat antiinflamasi non-steroid dan merupakan obat pengendali (profilaksis) (Deglin, et al., 2004; Zi-qing, et al., 2008). b. Farmakodinamik Kromolin bekerja menghambat degranulasi sel mast. Kromolin tidak merelaksasi bronkus atau otot polos lain. Kromolin juga tidak menghambat respons otot tersebut terhadap berbagai obat yang bersifat spasmogenik. Terapi kromolin menghambat pelepasan histamin dan autakoid lain termasuk leukotrin dari paru-paru manusia selama proses alergi yang diperantarai IgE. Hambatan pelepasan leukotrin penting bagi penderita asma bronchial karena leukotrin merupakan penyebab bronkokonstriksi. Kromolin bekerja pada mast cell paru-paru, yaitu sasaran primer dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Kromolin tidak menghambat ikatan IgE dengan mast cell atau interaksi antara kompleks sel IgE dengan antigen spesifik, tetapi menekan respons sekresi akibat reaksi tersebut (FKUI, 2007; Schmitz, et al., 2008).
c. Farmakokinetik 1) Absorbsi : kromolin bersifat buruk setelah pemberian secara apapun, kerjanya bersifat lokal. Sejumlah kecil dapat mencapai sirkulasi sistemik setelah inhalasi, lebih sedikit lagi dari rute yang lain (Deglin, et al., 2004). 2) Distribusi : karena hanya sejumlah kecil yang diabsorbsi, maka distribusinya tidak diketahui. Tidak menembus membran biologik dengan baik (Deglin, et al., 2004). 3) Metabolisme dan ekskresi : sejumlah kecil yang diabsorbsi diekskresi dalam empedu dan urin tanpa mengalami perubahan (Deglin, et al., 2004). 4) Waktu Paruh : 80 menit (Deglin, et al., 2004). d. Sediaan Kapsul inhaler (kapsul berisi bubuk halus) 20 mg diberikan melalui turbo inhaler. Dapat pula berbentuk larutan kromolin 4% yang mengandung 5,2 mg dengan menggunakan nebulizer. Tersedia pula larutan kromolin 4% untuk tetes mata (FKUI, 2007). e. Dosis 1) Dewasa: 200 mg 4 kali sehari. 2) Anak-anak 2-12 tahun : 100 mg 4 kali sehari. 3) Anak-anak sampai 2 tahun : 20 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis terbagi, bisa ditingkatkan menjadi 30 mg/kg/hari. 4) Inhalasi (dewasa dan anak-anal > 5 tahun) : 20 mg kapsul inhaler atau larutan nebulizer atau 2 spray sebagai aerosol 4 kali sehari. Untuk mencegah bronkospasme, gunakan aerosol 2 spray 10-15 menit sebelum pajanan situasi pencetus. 5) Nasal (dewasa dan anak-anak > 6 tahun) : 1 spray untuk setiap lubang hidung 3-4 kali sehari (sampai 6 kali sehari). 6) Oft (dewasa dan anak-anak > 4 tahun) : 1 tetes untuk setiap mata 4-6 kali sehari (Deglin, et al., 2004). f. Efek samping 1) SSP : semua rute : sakit kepala, iritabilitas, sulit tidur.
2) Mata dan THT, pada nasal : iritasi hidung, bersin, kongesti hidung. 3) Oftal : rasa terbakar pada okuler, rasa tersengat dan rasa tidak enak. 4) Respirasi; inhalasi : iritasi tenggorok dan trakhea, batuk, bronkospasme, wheezing. 5) Dermal : ruam, eritema, urtikaria. 6) Lain-lain : mialgia, reaksi alergik, mual, disuria, mulut kering termasuk anafilaksis atau memburuknya kondisi yang sedang diobati (Deglin, et al., 2004; FKUI, 2007; FK Unsri, 2008). g. Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi Penggunaan utama kromolin untuk terapi profilaktik asma bronkial. Efek protektif kromolin berakhir setelah beberapa jam. Kromolin tidak bermanfaat untuk terapi asma bronkial akut atau pada status asmatikus. Kromolin diindikasikan pula untuk rhinitis alergika, konjungtivis, alergi makanan, colitis ulcerosa, proctitis ulcerohaemorrhagica dan penyakit atopik mata. Selain itu juga efektif untuk asma kronik ringan atau sedang (FKUI, 1987; Schmitz, et al., 2008; Storms dan Kaliner, 2005). Kontraindikasi Kontraindikasi dari kromolin yaitu pada pasien dengan hipersensitivitas dan serangan asma akut. Perlunya pengawasan dan hati-hati apabila digunakan oleh wanita dalam status kehamilan dan laktasi (keamanan penggunaan belum ditetapkan). Untuk anak-anak < 2 tahun lebih baik penggunaan oral untuk mengatasi mastositosis yang parah. Tidak dapat mengurangi bahkan memperburuk bronkospasme akut (secara inhalasi) (Deglin, et al., 2004). Serta dikontraindikasikan pada pasien dengan infiltrat eosinofil pneumonik (Schmitz, et al., 2008).
Dexametason a. Jenis Kortikosteroid b. Farmakodinamik Obat ini tidak secara langsung berefek bronkodilator, tetapi sebagai antiinflamasi. Obat ini bekerja dengan menghambat produksi sitokin dan kemokin, sintesis eikosanoid, penigkatan basofil, eosinofil, lekosit lain di paru serta menurunkan permeabilitas vaskuler (Suherman & Ascobat, 2008). c. Farmakokinetik Kortisol dan sintetiknya di absorbs cukup baik. Untuk efek cepat dapat diberikan secara IV. 90% kortisol terikat pada protein plasma. Pada kadar rendah atau normal, kortikosteroid terikat pada globulin (Suherman & Ascobat, 2008). d. Sediaan Deksametason terdapat dalam bentuk tablet, inhalasi, dan injeksi. e. Dosis Pada status asmatikus atau asma kronis yang berat, glukokortikoid dosis besar harus segera diberi; metal prednisolon-Na-suksinat 60-100 mg setiap 6 jam secara IV. Bila gejala mereda , dapat diikuti pemberian
prednisone oral 40-60 mg perhari. Eksaserbasi akut asma dapat diberikan prednisone 30 mg, 2 kali sehari selama 5 hari (Suherman & Ascobat, 2008). f. Efek samping Inhalasi glukokortikoid sering menimbulkan kandidiasis orofaring tanpa gejala, pencegahan dengan berkumur setelah pemakaian (Suherman & Ascobat, 2008). g. Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi Asma akut dan asma kronik. Kontraindikasi Hipersensitifitas terhadap obat ini. h. Contoh penulisan resep Jika berat badan pasien 53 kg dan obat diberikan sebulan, maka resepnya adalah : dr. Pradani Eva Adiningtyas SIP. G1A010097 Perumahan Berkoh Indah Gang 5, Purwokerto Telp. 085726xxxxxx Purwokerto, 15 Maret 2012 R/ Deksametason mg 50 tab No.VII S 1 dd tab I p.c o.n
P
Pro Usia Alamat : Budi : 45 tahun : Purwokerto
KESIMPULAN 1. Obat anti tuberkulosis terdiri dari obat kategori I dan II disesuaikan dengan status penyakit dan riwayat pengobatan pasien. Pemberian obat sesuai dengan rumus: a. Kategori I b. Kategori II : 2HRZE/4(HR)3 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3
2. Obat asma terdiri dari obat pengontrol dan pelega yang masing-masing berbeda dalam waktu penggunaannya. Obat pengontrol digunakan untuk obat rutin sedangkan pelega untuk obat saat serangan. Contoh obat pengontrol adalah dari golongan antileukotrien (zafirlukast), kortikosteroid sistemik (metilprednisolon, prednison), dan agonis -2 kerja lama (prokaterol, formoterol, salmeterol). Sedangkan obat pelega antara lain golongan agonis -2 kerja cepat (salbutamol, terbutalin), antikolinergik (ipratropium bromide, fenoterol), metilsantin (teofilin, aminofilin), dan kortikosteroid sistemik (metilprednisolon, prednison). 3. Bentuk sediaan obat bervariasi, dapat berupa tablet, kapsul, sirup, injeksi, dan inhaler. 4. Baik obat anti tuberkulosis maupun asma keduanya selain mempunyai manfaat dalam pengobatan juga mempunyai efek samping yang juga harus diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Becker, C., J.B. Dressman, G.L. Amidon., et al. 2007. Biowaiver Monographs for Immediate Release Solid Oral Dosage Forms : Isoniazid. American : Willey Interscienc Belknap, Steven M. 2004. Aminoglikcoside Antibiotics. Modern Pharmacology With Clinical Application Sixth Edition. Deglin, Judith Hopfer, April Hazard Vallerand. 2004. Pedoman Obat untuk Perawat Edisi 4. Jakarta : EGC. Deglin, Judith Hopfer, April Hazard Vallerand. 2005. Pedoman Obat untuk Perawat. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal :43 Evaria. 2011. MIMS Indonesia: Petunjuk Konsultasi Edisi 11. Jakarta: PT Medidata Indonesia. FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 253-258 FK Unsri. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta : EGC. Istiantoro, Yati H, Setiabudy, Rianto. 2008. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Katzung, Bertram G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : Salemba Medika. hal : 590-593 Katzung, Bertram G. 2006. Basic and Clinical Pharmacology 10th Edition. San Fransisco : McGraw Hill. Katzung, Bertram G. 2009. Pharmacology Examination and Board Review 9th edition. San Fransisco: McGraw-Hill. Katzung, Bertram G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : EGC. Kemenkes RI. 2009. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/Sk/V/2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Lullmann, Heinz., Albrecht Ziegler, Klaus Mohr, et al. 2000. Color Atlas of Pharmacology 2nd edition. Stuttgart : Thieme. 346 hal.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika. hal : 81. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. PPOK. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta : PDPI. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI. Petri, William A. 2006. Chemotherapy Of Tuberculosis, Mycobacterium Avium Complex Disease, And Leprosy In : Goodman & Gilman's The Pharmacological Basis Of Therapeutics - 11th Ed. San Fransisco : McGraw Hill. Schmitz, Gery; Hans Lepper, Michael Heidrich. 2008. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 3. Jakarta : EGC. Schmitz, Gery; Hans Lepper, Michael Heidrich. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta: EGC. Storms, William, Michael A. Kaliner. 2005. Cromolyn Sodium : Fitting an Old Friend into Current Asthma Treatment. Journal of Asthma, vol. 42 : 7989. Suherman, Suharti K., Ascobat, Purwantyastuti. 2008. Adrenokotikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog-Sintetik dan Antagonisnya. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Syarif, Amir. 2009. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI. Theodorus. 2007. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta: EGC Zi-qing, Hei, Gan Xiao-liang. 2008. Influence of Ketotifen, Cromolyn Sodium, and Compound 48/80 on the survival rates after intestinal ischemia reperfusion injury in rats. BMC Gastroenterology, vol 8 : 1186-471.