Gene Mapping
Gene Mapping
Gene Mapping
OLEH:
Jenadi Binarto
160121140001
PEMBIMBING
Prof. S. Sunardhi Widyaputra, drg., M.S., Ph.D.
BAB I
PENDAHULUAN
Upaya untuk memahami penyakit pada manusia setidaknya setua apa yang tercatat
dalam sejarah dan melalui keberadaannya, usaha ini adalah untuk mengejar usaha mamnusia
untuk mengatasi penderitaan dan kematian. Genetika molekuler, di sisi lain, adalah disiplin
ilmu yang relatif masih baru, dimulai sejak ditemukannya struktur DNA dobel heliks oleh
Watson dan Crick di tahun 1955. Berlawanan dengan ilmu yang mempelajari penyakit
manusia, genetika molekuler muncul secara utama untuk mencapai suatu tujuan yang agak
abstrak, yakni memahami material genetika di tingkat molekuler, termasuk susunan
strukturnya, organisasinya, dan cara penyampaian informasi dari DNA yang ditranslasikan
menjadi sebuah fenotipe. (Sirica, 1996)
Namun, dapat dijadikan sebuah aturan umum, bahwa sebagai disiplin ilmu yang baru,
perlengkapan yang dicapai dari ilmu tersebut dapat diaplikasikan kedepan untuk membuka
berbagai mekanisme terjadinya suatu penyakit, dan genetika molekuler merupakan tanpa
kecuali. Dengan demikian, hanya dengan para dokter dan ahli biokomia menyediakan para
ahli medis dengan mikroskop dan penanda enzim, genetika molekuler telah memberikan
serangkaian peralatan yang dapat meneliti sebab-sebab dari penyakit manusia, dan kelainan
keturunan juga. Hal ini merupakan tujuan utama dari makalah ini, yakni menyediakan
serangkaian penjelasan mengenai beberapa cara dan teknik yang sangat memadai, serta
memberikan contoh-contoh cara apa saja yang menggunakan perlengkapan tersebut untuk
lebih memahami penyakit keturunan. (Sirica, 1996)
BAB II
PEMBAHASAN
bertanggung jawab atas suatu penyakit. Namun sayangnya, dasar kerusakan biokimia pada
kebanyakan kelainan keturunan belum terifentifikasi. Pada banyak kasus, masalah ini akan
berputar kembali menggunakan teknik yang disebut dengan positional cloning. (Sirica, 1996)
Pada tahun 1980an, keterbatasan dalam teknik kloning diuraikan di atas bahwa diatasi
dengan perkembangan dari berbagai strategi baru, yang akan memberikan suplemen dari
metode yang dikemmbangkan oleh ahli biologi molekuler dengan teknik yang dikembangkan
oleh para ahli genetika untuk melakukan pemetaan gen yang bertanggung jawab atas ciri-ciri
fenotipe tertentu hingga daerah subkromosomal. Seringkali disebut positional cloning,
pendekatan ini juga pernah disebut reverse genetics karena, berkebalikan dengan teknik
kloning sebelumnya, sebuah gen diidentifikasi sebelum fungsi dari protein yang diuraikan
telah dapat ditentukan. Namun, karena kedua pendekatan berlangsung secara esensial dari
identiffikasi dari fenotipe penyakit hingga identifikasi dari defek genetika yang bertanggung
jawab terhadap penyakit, telah diperselisihkan bahwa penggunaan istilah reverse genetics
sebaiknya digunakan untuk kasus-kasus di mana peneliti memperkenalkan sebuah mutasi ke
dalam genom dari sebuah hewan laboratoris seperti tikus dan kemudian menganalisa fenotipe
yang dihasilkan. Untuk alasan ini, positional cloning, daripada istilah reverse genetics, akan
digunakan dalam hal ini. Perbedaan dan Kemiripan dari kedua pendekatan konvensional dan
posisional dari kloning akan ditunjukkan pada skema berikut: (Sirica, 1996)
yang telah diklon, dan yang paling akhir adalah identifikasi dari gen penyakit diantara daerah
pengkodean yang merupakan kandidat. (Sirica, 1996)
II.1 PEMETAAN GEN
Langkah pertama dari identifikasi gen penyakit meliputi pemetaan gen pada
bagian kromosom. Hal ini dilakukan dengan cara analisa pertautan (linkage analysis)
dan analisa sitogenetika, atau dari kombinasi dari kedua teknik tersebut. (Sirica, 1996)
II.1.1 ANALISA PERTAUTAN
Analisa pertautan adalah sebuah teknik yang dapat digunakan untuk
menentukan apakah 2 lokus genetik secara fisik bertautan pada kromosom yang
sama dengan mengukur jumlah frekuensi rekombinan diantara kedua lokus. Untuk
melakukan pemetaan gen penyakit, frekuensi rekombinan diantara kedua gen dan
serangkaian lokus penanda polimorfik ditentukan dulu. Meskipun fungsi yang jelas
dari gen penyakit tidak diketahui, analisa pertautan dapat dilakukan dengan
mengobservasi fenotipe yang dihasilkan oleh varian yang ada di dalam lokus.
Sebuah satuan pemetaan, disebut juga centiMorgan (cM), mewakili fraksi
rekombinan dari 1 persen, yang dapat dikonversikan menjadi sekitar 1 Mbp (juta
base pair) pada manusia, meskipun jarak yang persis dapat bervariasi untuk lokus
yang berbeda. Aplikasi yang sukses dari analisa pertautan pada manusia
memmbutuhkan analisa matematika dari data yang didapat dari keluarga dengan
individu yang terkena penyakit dalam studi. (Sirica, 1996)
Data dari sejumlah keluarga biasanya harus digabungkan untuk menentukan
apakah lokus penanda dan gen penyakit secara fisik bertautan, dan jumlah keluarga
yang semakin besar dianalisa, semakin akurat penentuan jarak genetik antara gen
penyakit dan lokus marker. (Sirica, 1996)
Beberapa tipe lokus marker telah tersedia untuk digunakan analisa pertautan.
Grup pertautan pertama pada manusia meliputi grup darah, yang merupakan lokus
polimorfik yang paling banyak dikenal. Jumlah dari lokus penanda polimorfik terus
meningkat secara drastis dengan adanya analisa Southern Blot. Teknik ini meliputi
penghancuran DNA genom dengan enzim restriksi, memecah DNA yang terestriksi
pada gel agarosa, pemindahan fragmen-fragmen yang terseparasi tersebut ke dalam
membran nitrocellulose atau nilon, dan identifikasi dari fragmen DNA spesifik
dengan hibridisasi dengan probe yang dilabel secara radioaktif atau kimiawi.
(Sirica, 1996)
Begitu peneliti memulai pemeriksaan pada berbagai tempat dalam genom
manusia dengan menggunakan analisa Southern Blot, dengan segera ditemukan
bahwa individu dapat bervariasi akan ada atau tidaknya tempat terpisahnya dari
enzim restriksi yang spesifik. Sebuah properti yang berguna dari Restriction
Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah karena mereka menyajikan alel
kodominan, karena keberadaan atau ketiadaan dari tempat restriksi polimorfik
manapun dapat ditentukan dengan ketiadaan informasi keturunan. Hal ini
mengartikan bahwa heterozigot, membuat RFLP menjadi lokus penanda yang
berguna untuk melakukan pemetaan gen penyakit. (Sirica, 1996)
Grup polimorfik lainnya yang terbukti berguna sebagai penanda gen adalah
Variable Number of Tandem Repeats (VNTR). Lokus VNTR terjadi berupa
pengulangan sekuens yang disebut minisatelit, dan terdiri dari pengulangan tandem
dari sekuens oligonukleotida yang secara normal berjarak antara 10-60 bp. Sesuai
namanya, VNTR, jumlah dari pengurangan pada tiap lokus bevariasi dan beberapa
lokus VNTR dapat ditemukan memiliki lebih dari 10 alel. Perlu diketahui bahwa
variabel RFLP berkaitan dengan VNTR tidak dihasilkan dari ada atau tidaknya
tempat tertentu pemecahan dari enzim restriksi, tetapi dikarenakan adanya variasi
jumlah pengulangan tandem yang dippisahkan oleh dua tempat pemecahan.
Meskipun VNTR tidak seumumm RFLP yang sederhana, VNTR terjadi cukup
sering sehingga memberikan kemudahan sebagai penanda genetika. Sebagai
tambahan, jumlah alel yang relatif besar berkaitan dengan banyak VNTR
menghasilkan tingkat yang tinggi dari heterozigositas dari lokus-lokus ini,
membuat mereka lebih efeisien daripada RFLP yang sederhana pada pemetaan
genetika di mana mereka ditautkan. (Sirica, 1996)
Kelas lain dari pengulangan tandem yang terbukti berguna dalam pemetaan
genetika terdiri dari nukleotida seperti CA atau GT, yang terulang dari 10 hingga
60 kali. Pengulangan nukleotida ini, disebut juga mikrosatelit, dan sangat
polimorfik, dan telah diperkirakan bahwa puluhan ribu dari tiap tipe pengulangan
tersebut tersebar dalam keseluruhan genom manusia. Namun, analisa Southern
Blot tidak cukup sensitif untuk mendeteksi kepolimorfikan dalam lokus
dinukleotida berullang, yang dapat memiliki selisih sebesar 2 nukleotida. Untuk
alasan ini, kepolimorfikan ditentukan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR),
yang berdasar pada amplifikasi enzimatik dari sekuens DNA target yang
didefinisikan oleh primer sisi oligonukleotida. Dengan mendesain primer yang
menghibridisasi secara spesifik untuk melakukan sekuens pada sisi manapun dari
pengulangan nukleotida dann menjalankan produk PCRR pada gel poliakrilamida
yang tipis, dimungkinkan untuk mendapatkan perbedaan yang kecil dengan
panjang 1 bp. (Sirica, 1996)
Gambar 1. Crossing Over pada kromosom yang menjadi dasar analisa pertautan
II.1.2 ANALISA SITOGENETIKA
Pendekatan lain dalam pemetaan gen penyakit adalah melibatkan
penggunaan analisa sitogenetika untuk mendeteksi kelainan abnormal dari
kromosom dalam individu yang menderita penyakit tertentu. Pada beberapa kasus,
penyakit ditemukan berkaitan dengan kelainan pada kromosom seperti delesi,
pemecahan, translokasi, atau inversi dari kromosom. Dengan mengkorelasikan
posisi dai kelainan ini dengan keberadaan fenotipe dari penyakit, maka
dimungkinkan pada beberapa kasus untuk dilakukan pemetaan gen penyakit pada
daerah subkromosomal. (Sirica, 1996)
Posisi relati dari penanda gen yang bertautan juga dapat dipetakan
menggunakan analisa sitogentika dari kromosom pada fase metafase yang
dihibridisasi in situ dengan melabelkan probe asam nukleik. Untuk melakukan ini,
sel dihentikan pada metafase kemudian difiksasi dan diamati dalam mikroskop.
Selanjtnya DNA kromosom didenaturasi dengan pemberian pH yang tinggi. Probe
RNA atau DNA yang terlabel kemudian dihibridisasi ke kromosom yang telah
didenaturasi tersebut dan kelebihan probe akan disingkirkan dengan pembersihan.
tanaman dan sel hewan. Namun demikian, pada tahap pertama manipulasi tersebut
banyak yang mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit
spesies bakteri yang dapat menerima DNA secara spontan. Sebagian besar spesies
bakteri, sel hewan dan sel tanaman tidak dapat menerima DNA asing secara
spontan. Selain itu DNA asing yang telah berhasil masuk ke dalam sel hanya
mampu bertahan apabila dapat bereplikasi secara otonom, atau dapat terintegrasi
kedalam kromosom hospesnya. Umumnya DNA asing yang masuk kedalam DNA
kromosom akan segera didegradasi oleh enzim nuklease yang terdapat pada sel
hospes. (Radji, M., 2011)
Modifikasi genetik suatu organisme baru bisa dilakukan sejalan dengan
penemuan dan pengembangan berbagai teknik dalam biologi molekuler. Antara
lain teknik isolasi dan pemurnian DNA, penemuan enzim restriksi endonuklease,
enzim DNA polimerase dan DNA ligase, penemuan DNA plasmid dan teknik
transfer DNA, teknik deteksi DNA, teknik pemetaan gen, dan teknik kultivasi.
(Radji, M., 2011)
II.1.3.1 Isolasi dan Purifikasi DNA genom dan plasmid
Isolasi dan Purifikasi DNA Genom Molekul DNA yang sering digunakan
dalam teknologi DNA rekombinan adalah DNA plasmid dan DNA genom
yang berasal dari sel bakteri. Pada dasarnya isolasi DNA genom total dari sel
bakteri terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1. Kultivasi sel dalam media yang sesuai
2. Pemecahan dinding sel
3. Ekstraksi DNA genom
4. Purifikasi DNA
Pemecahan dinding sel bakteri dilakukan secara fisik misalnya dengan
cara sonikasi, maupun dengan cara kimia yaitu dengan menggunakan enzim
lisozim, etilen diamin tetra asetat (EDTA), atau kombinasi dari keduanya. Pada
kondisi tertentu pemecahan dinding sel cukup dilakukan dengan lisozim dan
EDTA, akan tetapi sering ditambahkan bahan lain yang dapat melisiskan
dinding sel antara lain deterjen triton X-100 atau sodium dedosil sulfat (SDS).
Setelah sel mengalami lisis, tahap selanjutnya adalah memisahkan debris sel
dengan cara sentrifugasi. Komponen sel yang tidak larut diendapkan dengan
alamiah
bakteri
menghasilkan
enzim
endonuklease
untuk
mempertahankan dirinya dari keberadaan DNA asing yang masuk kedalam sel
bakteri. Jika ada DNA asing masuk kedalam sel bakteri melalui proses transfer
genetik yang terjadi secara alamiah, misalnya virus bakteriofag, maka akan
mempertahankan dirinya dari keberadaan DNA asing tersebut, sel bakteri
melepaskan enzim endonuklease yang dapat memotong DNA asing pada situs
yang sangat spesifik dan restriktif. Oleh sebab itu enzim tersebut dikenal
dengan nama enzim endonuklease restriksi. (Radji, M., 2011; )
Enzim endonuklease restriksi yang sangat selektif dalam memotong
untai DNA sangat bermanfaat bila diaplikasikan pada teknologi DNA
rekombinan. Setiap enzim mengalami rangkaian 4-8 pasang basa tertentu yang
terdapat dalam untai DNA. Bagian atas situs pada molekul DNA yang dikenali
oleh enzim endonuklease restriksi dikenal sebagai situs pemotongan enzim.
Rangkaian-rangkaian situs pemotongan DNA oleh enzim ini apabila terdapat
dalam genom bakteri itu sendiri, biasanya dilindungi dengan adanya gugus
metil pada residu basa adenine (A) dan sitosin (C), sehingga tidak dapat
dipotong oleh enzim endonuklease yang dihasilkan oleh bakteri sendiri. Setiap
enzim endonuklease restriksi memiliki situs pengenalan pemotongan yang
berbeda dan sangat spesifik. (Radji, M., 2011)
Enzim endonuklease restriksi yang berbeda, memiliki situs pemotongan
yang berbeda, namun ada beberapa jenis enzim endonuklease restriksi yang
diisolasi dari sumber yang berbeda memiliki situs pemotongan yang sama.
Enzim-enzim endonuklease restriksi yang memiliki situs pemotongan yang
sama disebut isochizomer. (Radji, M., 2011)
Sekuens basa DNA pada situs pemotongan memiliki urutan basa yang
sama pada untai DNA heliks ganda, yang dikenal dengan sekuens palindromik.
Misalnya enzim EcoRI, yang diisolasi pertama kali oleh Herbert Boyer pada
tahun 1969 dari Escherichia coli yang memotong DNA pada bagian antara
basa G dan A pada sekuens GAATTC. Hasil pemotongan enzim endonuklease
restriksi ada dua macam yaitu menghasilkan ujung tumpul (blunt) dan ujung
lengket (sticky) atau kohesif. (Radji, M., 2011)
molekul DNA heliks ganda tidak berhadapan langsung, tetapi selisih 2-4 basa
menghasilkan potongan dengan ujung lengket, sedangkan enzim yang
memotong pada tempat yang berhadapan menghasilkan ujung tumpul. (Radji,
M., 2011)
misalnya
enzim restriksi
Perkiraan Pemotongan
Panjang dari sekuens pengenalan memengaruhi seringnya enzim restriksi
memotong DNA dalam ukuran tertentu. Misalnya pada enzim yang memiliki
panjang 4 basa, enzim ini diperkirakan akan memotong setiap 256 nukleotida.
Perhitungan tersebut diperoleh dengan mengasumsikan setiap basa mempunyai
kemungkinan yang sama untuk muncul, yaitu sebesar 1/4 (kemungkinan
muncul 1 dari 4 basa). Jadi jika sekuen pengenalan mempunyai panjang 6
basa, maka perhitungannya menjadi: (1/4)6 = 1/4096. Perhitungan ini hanya
sebagai perkiraan, pada kenyataannya belum tentu demikian. Beberapa sekuen
bisa jadi lebih sering atau lebih jarang ditemui dalam suatu organisme. Seperti
pada mamalia, sekuen CG sangat jarang ditemui sehingga enzim HpaII yang
mempunyai sekuen pengenalan CCGG akan lebih jarang memotong pada
DNA mamalia. (Metzenberg, S., 2002)
Enzim restriksi yang mempunyai sekuen pengenalan yang pendek akan
menghasilkan banyak potongan DNA; sedangkan jika mempunyai sekuen
pengenalan yang panjang, akan dihasilkan potongan DNA yang lebih sedikit.
Baik enzim yang mempunyai sekuen pemotongan pendek maupun panjang,
mempunyai fungsi masing-masing dalam rekayasa genetika. (Metzenberg, S.,
2002) Beberapa enzim yang sering digunakan dalam laboratorium dibagi
menjadi tiga berdasarkan perkiraan pemotongan:
A. 6-cutters
Enzim restriksi yang tergolong dalam 6-cutters memiliki situs
pemotongan yang spesifik pada 6 nukleotida. Ezim ini cocok digunakan untuk
pekerjaan kloning seharihari karena enzim ini sering memotong satu atau dua
situs pada plasmid, namun jarang memotong bagian penting seperti titik asal
replikasi (origin of replication) atau gen resisten ampisilin. Contoh enzim 6cutters adalah HindIII (AAGCTT) yang memotong genom bakteriofage (48
kbp) pada 7 situs. (Metzenberg, S., 2002)
B. 8-cutters
Enzim restriksi ini mempunyai situs pengenalan sepanjang 8 nukleotida;
cocok digunakan untuk membentuk kromosom menjadi potongan-potongan
yang spesifik dalam ukuran yang besar. Sebagai contoh: PacI (enzim 8-cutters)
memotong-motong kromosom E. coli menjadi 20 bagian, sedangkan BamHI
DNA-nya yang dpat disisipi oleh DNA asing. Disamping itu tempat
pengenalan restriksinyapun sangat sedikit. Namun sejumlah derivat M13
telah dikonstruksi untuk mengatasi masalah tersebut.
II.1.3.4.3 Cosmid
Kosmid merupakan vektor yang dikonstruksi dengan menggunakan
kos dari DNA lamdha dengan plasmid. Kemampuannya untuk membawa
fragmen DNA sepanjang 32 hingga 47 kb menjadikan kosmid lebih
menguntungkan daripada fag dan plasmid.
II.1.3.4.4 Fasmid
Selain kosmid, ada kelompok vektor sintetik yang merupakan
gabungan antara plasmid dan fag . Vektor yang dinamakan fasmid ini
membawa segmen DNA yang berisi tempat att. Tempat att digunakan
oleh DNA untuk berintegrasi dengan kromosom sel inang pada sel
lisogenik.
II.1.3.4.5 Vektor YACs
Seperti halnya kosmid YACs (yeast artificial chromosomes atau
kromosom buatan dari khamir) dikonstruksi dengan menggabungkan
antara DNA plasmid dan segmen tertentu DNA kromosom khamir.
Segmen kromosom khamir yang digunakan terdiri dari sekuens telomere,
sentromer, dan titik awal replikasi. YACs dapat membawa fragmen DNA
genomic sepanjang lebih dari 1 Mb. Oleh karena itu, YACs dapat
digunakanuntuk menggklon gen utuh manusia, misalnya gen penyandi
cystic fibrosis yang panjangnya 250 kb. Dengan kemampuannya itu YACs
sangat berguna dalam pemetaan genom manusia seperti pada proyek
pemetaan genom manusia.
Proses ini umumnya terjadi secara alamiah diantras sel bakteri melalui
pili bakteri. Pada transfer DNA melalui konjugasi diperlukan jenis
plasmid khusus yang disebut dengan plasmid konjugatif. Apabila sel
bakteri memiliki plasmid tersebut (sel donor) bertemu dengan bakteri
yang tidak memiliki plasmid (sel penerima), maka akan terjadi agregasi
sel dari keduanya. Pada saat itu akan terjadi transfer plasmid dari sel
donor ke dalam sel penerima. (Radji, M., 2011)
Manipulasi terhadap plasmid konjugatif dapat dilakukan untuk
membuat plasmid konjugatif membawa molekul DNA rekombinan yang
dikehendaki sehingga dapat ditransfer kepada sel bakteri lain melalui
kontak antar sel bakteri. Salah satu cara teknik konjugasi khusus yang
berhasil dilakukan adalahh teknik konjugasi menggunakan bakteri
Agrobacterium tumefaciens yang mengandung plasmid konjugatif yang
disebut dengan plasmid Ti (Tumor inducing). (Radji, M., 2011)
2. Transfeksi
Transfer DNA melalui proses ini apabila vektor yang digunakan adalh virus
bakteriofag. DNA rekombinan yang akan ditransfer dikemas terlebih dahulu
dalam kapsid bakteriofag, kemudian diinfeksikan kedalam sel penerima.
Proses transfer DNA melalui transfeksi ini menyerupai proses infeksi oleh
virus yang terjadi secara alamiah. Replikasi dan propagasi akan
meningkatkan jumlah DNA rekombinan. (Radji, M., 2011)
3. Mikroinjeksi
Teknik ini digunakan untuk mentransfer DNA secara langsung kedalam sel
menggunakan jarum suntik yang merukuran sangat kecil atau mikro.
Umumnya teknik ini digunakan untuk mentransfer DNA kedalam sel hewan
atau sel tanaman, karena sel tersebut berukuran relative lebih besar daripada
sel bakteri. DNA rekombinan yang akan ditransfer diinjeksikan lengsung
kedalam nucleus sel penerima. (Radji, M., 2011) 4. Mikroprojektil Teknik
ini umumnya digunakan untuk mentransfer DNA kedalam sel atau jaringan
tanaman. Partikel DNA ditembakkan langsung dengan suatu alat penembak
khusus langsung kedalam sel tanaman. Dewasa ini terdapat berbagai jenis
alat penembak gen, salah satu jenisnya antara lain adalah pistol penembak
gen. (Radji, M., 2011)
II.1.3.6 KULTUR SEL
Kultur sel berperan penting dalam bidang rekayasa genetika dan
bioteknologi. Teknik pengembangbiakan sel, baik sel prokariot maupun sel
eukariot mendapatkan perhatian utama karena kultur sel merupakan sumber
produk biologis atau mediator dari berbagai reaksi biokonversi. (Radji, M.,
2011)
Kendala utama yang sering dijumpai adalah bahwa teknk kultur sel
dalam skala laboratorium tidak selalu langsung dapat diekstrapolasikan
menjadi kultur dalam skala industry. Kultivasi sel pada skala besar
memerlukan proses yang lebih rumit dan canggih dibandingkan dengan kultur
sel skala kecil. (Radji, M., 2011)
akumulasi
metabolit
mikroorganisme
dapat
menghambat
satu
cara
untuk
mengatasi
penurunan
pertumbuhan
dengan
menambahkan
medium
perbenihan
segar
secara
dari
sangat sedikit. Hal ini telah memacu para peneliti untuk mencari
alternative lain untuk memproduksi senyawa aktif yang terkandung dalam
bagian tumbuhan agar dapat dihasilkan senyawa dalam jumlah yang
cukup besar untuk diproduksi secara komersial. (Radji, M., 2011)
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencoba memproduksi
senyawa aktif yang berasal dari tanaman melalui kultur sel tanaman.
Namun upaya tersebut tidak mudah, terutama jika dibiakkan dalam skala
besar. (Radji, M., 2011)
Gambar 7.
untuk
membentuk
DNA
untai
tunggal.
Seiring
dengan
dahulu
piperidin.pengaturan
dipotong-potong
masa
inkubasi
secara
atau
parsial
konsentrasi
menggunakan
piperidin
akan
Metode Sanger
Gel sekuensing metode Sanger yang telah dilabel radioaktif. Dewasa ini
metode sekuensing Maxam-Gilbert sudah sangat jarang digunakan karena ada
metode lain yang jauh lebih praktis, yaitu metode dideoksi yang
dikembangkan oleh A. Sanger dan kawan-kawan pada tahun 1977 juga.
Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah satu subunit
enzim DNA polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua sifat tersebut
adalah kemampuannya untuk menyintesis DNA dengan adanya dNTP dan
ketidakmampuannya untuk membedakan dNTP dengan ddNTP. Jika molekul
dNTP hanya kehilangan gugus hidroksil (OH) pada atom C nomor 2 gula
pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi nukleotida juga mengalami kehilangan
gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga tidak dapat membentuk ikatan
fosfodiester. Artinya, jika ddNTP disambungkan oleh fragmen klenow dengan
suatu molekul DNA, maka polimerisasi lebih lanjut tidak akan terjadi atau
terhenti. Basa yang terdapat pada ujung molekul DNA ini dengan sendirinya
adalah basa yang dibawa oleh molekul ddNTP.
Dengan dasar pemikiran itu sekuensing DNA menggunakan metode
dideoksi dilakukan pada empat reaksi yang terpisah. Keempat reaksi ini berisi
dNTP sehingga polimerisasi DNA dapat berlangsung. Namun, pada masingmasing reaksi juga ditambahkan sedikit ddNTP sehingga kadang-kadang
polimerisasi akan terhenti di tempat -tempat tertentu sesuai dengan ddNTP
yang ditambahkan. Jadi, di dalam tiap reaksi akan dihasilkan sejumlah
fragmen DNA yang ukurannya bervariasi tetapi ujung 3nya selalu berakhir
dengan basa yang sama. Sebagai contoh, dalam reaksi yang mengandung
ddATP akan diperoleh fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran yang
semuanya mempunyai basa A pada ujung 3nya.
Pada Gambar 13.2 diberikan sebuah contoh sekuensing sebuah fragmen
DNA. Tabung ddATP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran tiga dan tujuh
basa; tabung ddCTP menghasilkan tiga fragmen dengan ukuran satu, dua, dan
empat basa; tabung ddGTP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran lima
dan sembilan basa; tabung ddTTP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran
enam dan delapan basa. Di depan (arah 5) tiap fragmen ini sebenarnya
terdapat primer, yang berfungsi sebagai prekursor reaksi polimerisasi sekaligus
untuk
kontrol
hasil
sekuensing
karena
urutan
basa
primer
telah
dengan
empat
reaksi
Pada
terpisah
cara
yang
tersebut,
diperlukan
pada
masing-masing
untuk
pirofosfat
inorganik
yang
dilepaskan
selama
Metode sekuensing DNA yang kini ada hanya dapat merunut sepotong
pendek DNA sekaligus. Contohnya, mesin sekuensing modern yang
menggunakan metode Sanger hanya dapat mencakup paling banyak sekitar
1000 pasang basa setiap sekuensing. Keterbatasan ini disebabkan oleh
probabilitas terminasi rantai yang menurun secara geometris seiring dengan
bertambahnya panjang rantai, selain keterbatasan fisik ukuran dan resolusi gel.
Sekuens DNA dengan ukuran jauh lebih besar kerap kali dibutuhkan.
Sebagai contoh,genom bakteri sederhana dapat mengandung jutaan pasang
basa, sedangkan genom manusia terdiri atas lebih dari 3 milyar pasang basa.
Berbagai strategi telah dikembangkan untuk sekuensing DNA skala besar,
termasuk strategi primer walking dan shotgun sequencing. Kedua strategi
tersebut melibatkan pembacaan banyak bagian DNA dengan metode Sanger
dan selanjutnya menyusun hasil pembacaan tersebut menjadi sekuens yang
runut. Masing-masing strategi memiliki kelemahan sendiri dalam hal
kecepatan dan ketepatan; sebagai contoh, metode shotgun sequencing
merupakan metode yang paling praktis untuk sekuensing genom ukuran besar,
namun proses penyusunannya rumit dan rentan kesalahan. (Sirica, 1996;
Muladno, 2010)
Data sekuens bermutu tinggi lebih mudah didapatkan bila DNA
bersangkutan dimurnikan dari pencemar yang mungkin terdapat pada sampel
dan diamplifikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan metode reaksi berantai
polimerase bila primer yang dibutuhkan untuk mencakup seluruh daerah yang
diinginkan cukup praktis dibuat. Cara lainnya adalah dengan kloning DNA
sampel menggunakan vektor bakteri, yaitu memanfaatkan bakteri untuk
"menumbuhkan" salinan DNA yang diinginkan sebanyak beberapa ribu pasang
basa sekaligus. Biasanya proyek-proyek sekuensing DNA skala besar memiliki
persediaan pustaka hasil kloning semacam itu. (Sirica, 1996; Muladno, 2010)
II.2
yang
dipergunakan
untuk
memfiksasi
DNA biasanya
dengan
sensitifitasnya
lebih
menggunakan
rendah
bahan
dibandingkan
radioisotop
dengan
bahan
walaupun
radioisotop
sebelum
yang
(cDNA).Atau,
hibridisasi,
menggunakan
anti-sense
DNA
oligonukleotida
strategi hibridisasi ada tiga, diantaranya DNA pelacak, DNA target, dan
deteksi sinyal. Tahapan dari strategi hibridisasi, diantaranya :
1. Terjadinya pasangan secara tepat antara dua untai DNA yang
komplemen
2. Penambahan DNA pelacak untai tunggal yang telah berlabel pada
kondisi tertentu (suhu dan konsentrasi ion) supaya terjadi pasangan
antara DNA target dan pelacak;
3. Pencucian untuk menghilangkan kelebihan pelacak yang tidak
menempel pada DNA target yang spesifik;
4. Deteksi adanya hibrid antara DNA target dan pelacak
berbeda dari RNA. Ini pada dasarnya adalah kombinasi dari denaturasi
RNA elektroforesis gel, dan sebuah pewarnaan. (Suharsono dan
Widyastuti, 2006)
II.2.2 HTF Islands
HTF islands, yang teriri dari kluster situs HpaII yang tidak termetilasi,
terdapat pada sekitar 1 persen dari genom vertebrata. Genom mamalia yang
haploid, mengandung sekitar 30.000 dari islands ini, dan masing-masing island
biasanya memiliki panjang sekitar 1 hingga 2 kb. Setiap island terdiri dari Cp-G
yang kaya akan unatian dari DNA (pengenalan situs dari Hpa II adalah CCGG),
dan banyak telah ditemukan berkaitan dengan gen, terutama pada ujung 5 dari
rantai gen.
Sebuah strategi untuk isolasi klon genom mengandung HTF islands
digunakan untuk mencari gen Cystic Fibrosis. Untuk mengisolasi klon yang
diambil dari wilayah kaya CpG non metilasi, sebuah vektor cosmid dibuat
menggunakan enzim restriksi pemotong yang langka, yang sensitif untuk
metilasi. DNA genom yang digunakan untuk menyusun data, diisolasi dari sel
hibrid ang membawa bagian dari gen manusia di mana gen Cystic Fibrosis telah
terpetakan. DNA tersebut kemudian dihancurkan menggunakan enzim Hind III
dan Xma III, yang akan mengenali sekuens CGGCCG. Dan fragmen DNA akhir
akan difraksionasi dan ligasi ke dalam vektor cosmid yang telah dipersiapkan
dengan menggunakan penghancuran dari Hind III dan Not I, yang menghasilkan
ujung kompatibel dengan yang dihasilkan oleh Xma III. Klon yang mengandung
sekuens manusia kemudian diisolasi dengan cara skreening dengann DNA
manusia yang terlabel. (Sirica, 1996)
II.2.3 Exon Trapping
Teknik lain untuk identifikasi dari wilayah pengkodean dari gen DNA yang
terklon disebut juga exon trapping. Teknik ini menggunakan peralatan pemotong
RNA yang sangat spesifik dari sel eukariotik untuk mengidentifikasi sekuens klon
yang mengandung exon. Untuk melakukan prosedur ini, gen DNA yang terklon
akan dihancurkan dengan satu atau lebih dari enzim restriksi, fraksionasi, dan
ligasi ke dalam vektor exon trapping. Vektor ini secara dasar adalah sebuah
plasmid atau vektor klon fag yang telah dimodifikasi dengan penambahan dari
II.3.1. Model Binatang Coba dari seleksi fenotipe setelah mutagenesis acak
Sejumlah binatang coba tikus dengan penyakit manusia dipilih berdasarkan
seleksi fenotipe yang membawa fenotipe yang diakibatkan proses acak (Gambar 6).
Pada beberapa kasus, mutasi ini muncul secara spontan, sedangkan pada beberapa
kasus muncul akibat dari usaha para peneliti untuk secara sengaja merubah gen
tikus. Namun pada seluruh kasus, tikus yang termutasi tersebut diseleksi
berdasarkan pada kenyataan dimana menampilkan fenotipe yang memiliki
kesamaan dari penyakit manusia. (Sirica, 1996)
imperfecta tipe II. Pada manusia, penyakit ini telah ditemukan berkaitan dengan
substitusi dari residu kolagen tunggal dari 1 . Ketika gen mutan kolagen 1 ke
dalam substitusi spesifik glysin telah dibuat untuk memasukkannya ke dalam gen
tikus melalui injeksi pronuklear, hasil dari tikus transgenik menunjukkan fenotipe
dominan letal yang memiliki karakteristik penyakit manusia. Pada contoh lain dari
teknik ini, seeksor tikus menghasilkan sel sabit hemoglobin yang dihasilkan dari
injeksi pronuklear dari gen globin alpha dan beta dari manusia. Tikus tersebut
kemudian dikawinkan dan secara alami menghasilkan tikus dengan thalasemia
untuk menurunkan tingkat hemoglobin dari tikus. Tikus tersebut menunjukkan
beberapa gejala dari anemia sel sabit, termasuk bentukan sabit dari sel darah merah
sehingga terjadi deoksigenasi. (Sirica, 1996)
Gambar 14. Pembuatan model binatang coba ekspresi akibat mutasi dari transgen
II.3.3. Model Binatang Coba dengan melakukan Enchancer Trapping atau Gene
Trapping
Hanya 5 hingga 10 persen dari mutasi insersional pada tikus dapat
menghasilkan fenotipe yang dapat terlihat. Hal ini, dikarenakan, fakta bahwa
Sel ES adalah deretan sel stem yang pluripoten yang diambil dari embrio
tikus yang dikultur secara in vivo pada saat fase perkembangan blastocyst. Derean
sel ES didapat dengan memindahkan blastocyst ke dalam piringan kultur jaringan
yang dibibitkan dengan menggunakan lapisan feeder dari fibroblast embrionik
primer atau firoblast embrionik yang telah terbentuk. Pada kondisi ini, embrio akan
terus berkembang, menetas dari zona pellucida dan melekat pada lapisan feeder.
Begitu sel trophectoderm telah menyebar, massa bagian dalam dari sel-sel tersebut
akan tereksposi dengan lapisan feeder dan mulai berproliferasi, membentuk
segumpalan kecil dari sel. Sel-sel ini, yang secara normal akan tumbuh dan
berkembang secara normal sebagai embrio dapat dipisahkan dari sel-sel
trophectodermnya dan diperluas. Setelah beberapa minggu, pertumbuhan dari
kultur, sel-sel ini seringkali mencapai titik di mana dapaat dipropaagasikan
menggunakan teknik kultur jaringan. Dengan kondisi kultur jaringan yang sesuai,
sebuah deretan sel ES yang terbentuk dengan teknik ini dapat dijaga pada keadaan
pluripoten, belum terdiferensiasi, dan keadaan euploid.
Kepentingan utama dari sel ES ini dalam riset biologis adalah fakta bahwa
sel-sel tersebut dapat dikultur dan dimanipulasi secara in vitro dengan cara yang
serupa pada sel kultur jaringan lainnya. Namun, ketika dikembalikan pada
blastocyst untuk perkembangan selanjutnya in vivo, mereka dapat memberikan
peningkatan pada chimera fertil yang dapat menyebarkan gen sel ES yang secara
potensial dapat digunakan ke dalam gen untuk seluruh tikus. Keunggulan dari rute
transgenesis ini adalah kejadian genetik yang langka, seperti gene trapping, dapaat
diidentifikasi dalam kultur dan diisolasi sebelum dimasukkan ke dalam embrio.
(Sirica, 1996)
Untuk melakukan gene trapping, vektor nya pertama-tama dimasukkan ke
dalam sel ES. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, termasuk injeksi
mikro, infeksi retroviral, atau elektroporasi. Sel-sel ES yang tertransfeksi kemudian
dibiarkan bertumbuh dan membelah di dalam kultur, di mana seleksi untuk
ekspresi dari gen penanda yang diinsersikan dilaksanakan. Vektor gene trapping
dapat melibatkan penanda, seperti contohnya gen resisten neomycin, yang
melibatkan sejumlah besar dari sel ES untuk dilakukan skreen atas ekspresi
penanda berdasarkan tingkat survavibilitas pada sebuah media penumbuh tertentu.
Seleksi dari sel ES memberikan ekspresi dari gen penanda lacZ dengan pengurutan
sel teraktivasi fluorescence telah dilaporkan. Begitu sel klon ES memberikan
Gambar 14. Pembuatan model binatang coba dengan Enhancer Trapping atau Gene Trapping
II.3.4. Model Binatang Coba dengan melakukan Gene Targeting
Perkembangan di bidang ilmu rekombinasi homolog dan manipulasi sel ES
telah membuat menjadi mungkin untuk merubah sebuah situs yang terseleksi
dalam gen tikus dengan menghapus sekuens endogenus, menginsersikan DNA
eksogen ataupun penggantian sekuens endogenus dengan eksogenus DNA.
Keunggulan dari teknik ini (Gene Targeting) berawal dari fakta bahwa dapat
digunakan untuk memodifikasi atau menginaktivasi dari elemen fungsional yang
ada sebelumnya pada lokasi yang tepat dalam gen tikus. Gene Targeting
memberikan alat yang kuat untuk analisa in vivo dari fenomena biologis yang
kompleks, termasuk banyak penyakit genetik, yang saat ini sulit atau tidak
mungkin untuk dilakukan in vitro.
DAFTAR PUSTAKA
Anam, Khairul. Laporan Praktikum Rekayasa Genetika Laporan III (DNA Rekombinan).
Program Studi Bioteknologi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 2010
Buletin Konservasi Biodiversitas Raja4 Vol. 2 No. 11. 2013. Enzim Restriksi. FPPK UNIPA.
(diakses
dari
http://ibcraja4.org/assets/file/Buletin6November2013.pdf
pada
14
Hirma, Ratna Dwi., Hariyati., dan Yuniati, Afrina. 2008. Pemotongan Molekul DNA
Menggunakan Enzim Restriksi Endonuklease dan Pengukuran Besarnya Pasangan
Basa
dari
Fragmen
yang
Terpotong.
(diakses
dari
Ligase.
(diakses
dari
http://www.biochem.umd.edu/biochem/kahn/
Gen.
Pusat
Penelitian
Sumberdaya
Hayati
dan