Gene Mapping

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 58

GENETIKA MOLEKULER

DALAM PENYAKIT KETURUNAN


PADA MANUSIA

OLEH:

Jenadi Binarto
160121140001

PEMBIMBING
Prof. S. Sunardhi Widyaputra, drg., M.S., Ph.D.

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS


BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Upaya untuk memahami penyakit pada manusia setidaknya setua apa yang tercatat
dalam sejarah dan melalui keberadaannya, usaha ini adalah untuk mengejar usaha mamnusia
untuk mengatasi penderitaan dan kematian. Genetika molekuler, di sisi lain, adalah disiplin
ilmu yang relatif masih baru, dimulai sejak ditemukannya struktur DNA dobel heliks oleh
Watson dan Crick di tahun 1955. Berlawanan dengan ilmu yang mempelajari penyakit
manusia, genetika molekuler muncul secara utama untuk mencapai suatu tujuan yang agak
abstrak, yakni memahami material genetika di tingkat molekuler, termasuk susunan
strukturnya, organisasinya, dan cara penyampaian informasi dari DNA yang ditranslasikan
menjadi sebuah fenotipe. (Sirica, 1996)
Namun, dapat dijadikan sebuah aturan umum, bahwa sebagai disiplin ilmu yang baru,
perlengkapan yang dicapai dari ilmu tersebut dapat diaplikasikan kedepan untuk membuka
berbagai mekanisme terjadinya suatu penyakit, dan genetika molekuler merupakan tanpa
kecuali. Dengan demikian, hanya dengan para dokter dan ahli biokomia menyediakan para
ahli medis dengan mikroskop dan penanda enzim, genetika molekuler telah memberikan
serangkaian peralatan yang dapat meneliti sebab-sebab dari penyakit manusia, dan kelainan
keturunan juga. Hal ini merupakan tujuan utama dari makalah ini, yakni menyediakan
serangkaian penjelasan mengenai beberapa cara dan teknik yang sangat memadai, serta
memberikan contoh-contoh cara apa saja yang menggunakan perlengkapan tersebut untuk
lebih memahami penyakit keturunan. (Sirica, 1996)

BAB II
PEMBAHASAN

Identifikasi gen penyakit manusia dengan positional cloning


Usaha untuk memahami genetika pada penyakit manusia dimulai sejak ditemukannya
hukum genetika Mendel pada awal abad 20. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang
baru ini, para peneliti mulai menggunakan berbagai alat yang dikemmmbangkan oleh para
ahli biokimia untuk mengurai dasar molekuler dari penyakit keturunan. Sebuah keunggulan
penting dari bidang ilmu ini ditemukaan pada tahun 1949, ketika Pauling mendemonstrasikan
bahwa anemia sickle cell disebabkan oleh substitusi tunggal dari asam amino di dalam rantai
alpha pada hemoglobin. Dengan dipelajarinya struktur DNA pada tahun 1950an dan
diuraikannya kode genetika pada tahun 1960an, muncul sebuah harapan untuk secara tepat
mengidentifikasi defek genetika yang menimbulkan penyakit spesifik pada manusia. (Sirica,
1996)
Harapan ini terpenuhi pada tahun 1970an dengan perkembangan dari teknik biologi
molekuler yang krusial seperti sequencing DNA dan kloning. Dengan menggunakan metode
yang sangat kuat tersebut, berbagai variasi pendekatan telah dikembangkan untuk identifikasi
dan isolasi dari DNA yang diklon yang membawa gen tertentu yang spesifik, termasuk
banyak dari gen-gen yang bertanggung jawab atas kelainan keturunan pada manusia. Pada
satu dari strategi tersebut, klon dari cDNA yang sesuai diidentifikasi menggunakan probe
oligonukleotida yang memiliki sintesis dengan dasar sequence protein asam amino yang
terekspresi oleh gen penyakit. Strategi lain adalah menggunakan antibodi yang disiapkan
untuk menangkap protein yang terekspresi oleh gen penyakit untuk melakukan pemindaian
pada kumpulan ekspresi cDNA. Klon pada beberapa gen, seperti penguraian dari protein
golongan globin, telah bersandarkan pada fakta bahwa mRNA yang diuraikan ternyata
berlimpah pada beberapa jaringan tertentu, sehingga membuat kumpulan cDNA yang
dihasilkan dari jaringan-jaringan dapat dipindai secara efisien dengan secara sederhana
melakukan sequence pada klon secara acak. Setelah cDNA diuraikan oleh gen penyakit
tertentu dan diisolasi, selanjutnya dapat digunakan untuk menjadi probe serta untuk
mengidentifikasi klon genom yang berkaitan. (Sirica, 1996)
Seluruh strategi klon ini memiliki kesamaan fakta secara umum bahwa mereka
membutuhkan pengetahuan sebelumnya tentang kerusakan atau ketiadaan produk gen yang

bertanggung jawab atas suatu penyakit. Namun sayangnya, dasar kerusakan biokimia pada
kebanyakan kelainan keturunan belum terifentifikasi. Pada banyak kasus, masalah ini akan
berputar kembali menggunakan teknik yang disebut dengan positional cloning. (Sirica, 1996)
Pada tahun 1980an, keterbatasan dalam teknik kloning diuraikan di atas bahwa diatasi
dengan perkembangan dari berbagai strategi baru, yang akan memberikan suplemen dari
metode yang dikemmbangkan oleh ahli biologi molekuler dengan teknik yang dikembangkan
oleh para ahli genetika untuk melakukan pemetaan gen yang bertanggung jawab atas ciri-ciri
fenotipe tertentu hingga daerah subkromosomal. Seringkali disebut positional cloning,
pendekatan ini juga pernah disebut reverse genetics karena, berkebalikan dengan teknik
kloning sebelumnya, sebuah gen diidentifikasi sebelum fungsi dari protein yang diuraikan
telah dapat ditentukan. Namun, karena kedua pendekatan berlangsung secara esensial dari
identiffikasi dari fenotipe penyakit hingga identifikasi dari defek genetika yang bertanggung
jawab terhadap penyakit, telah diperselisihkan bahwa penggunaan istilah reverse genetics
sebaiknya digunakan untuk kasus-kasus di mana peneliti memperkenalkan sebuah mutasi ke
dalam genom dari sebuah hewan laboratoris seperti tikus dan kemudian menganalisa fenotipe
yang dihasilkan. Untuk alasan ini, positional cloning, daripada istilah reverse genetics, akan
digunakan dalam hal ini. Perbedaan dan Kemiripan dari kedua pendekatan konvensional dan
posisional dari kloning akan ditunjukkan pada skema berikut: (Sirica, 1996)

Tahapan tersebut meliputi strategi spesifik kloning posisional yang meliputi:


pemetaan gen (genetic mapping) dari lokus gen penyakin hingga hanya di dalam beberapa
juta bp (base pair), pengisolasian dari DNA genom yang telah diklon dari lokus ke tempat
dimana gen penyakit telah dipetakan, identifikasi daerah pengkodean di dalam DNA genom

yang telah diklon, dan yang paling akhir adalah identifikasi dari gen penyakit diantara daerah
pengkodean yang merupakan kandidat. (Sirica, 1996)
II.1 PEMETAAN GEN
Langkah pertama dari identifikasi gen penyakit meliputi pemetaan gen pada
bagian kromosom. Hal ini dilakukan dengan cara analisa pertautan (linkage analysis)
dan analisa sitogenetika, atau dari kombinasi dari kedua teknik tersebut. (Sirica, 1996)
II.1.1 ANALISA PERTAUTAN
Analisa pertautan adalah sebuah teknik yang dapat digunakan untuk
menentukan apakah 2 lokus genetik secara fisik bertautan pada kromosom yang
sama dengan mengukur jumlah frekuensi rekombinan diantara kedua lokus. Untuk
melakukan pemetaan gen penyakit, frekuensi rekombinan diantara kedua gen dan
serangkaian lokus penanda polimorfik ditentukan dulu. Meskipun fungsi yang jelas
dari gen penyakit tidak diketahui, analisa pertautan dapat dilakukan dengan
mengobservasi fenotipe yang dihasilkan oleh varian yang ada di dalam lokus.
Sebuah satuan pemetaan, disebut juga centiMorgan (cM), mewakili fraksi
rekombinan dari 1 persen, yang dapat dikonversikan menjadi sekitar 1 Mbp (juta
base pair) pada manusia, meskipun jarak yang persis dapat bervariasi untuk lokus
yang berbeda. Aplikasi yang sukses dari analisa pertautan pada manusia
memmbutuhkan analisa matematika dari data yang didapat dari keluarga dengan
individu yang terkena penyakit dalam studi. (Sirica, 1996)
Data dari sejumlah keluarga biasanya harus digabungkan untuk menentukan
apakah lokus penanda dan gen penyakit secara fisik bertautan, dan jumlah keluarga
yang semakin besar dianalisa, semakin akurat penentuan jarak genetik antara gen
penyakit dan lokus marker. (Sirica, 1996)
Beberapa tipe lokus marker telah tersedia untuk digunakan analisa pertautan.
Grup pertautan pertama pada manusia meliputi grup darah, yang merupakan lokus
polimorfik yang paling banyak dikenal. Jumlah dari lokus penanda polimorfik terus
meningkat secara drastis dengan adanya analisa Southern Blot. Teknik ini meliputi
penghancuran DNA genom dengan enzim restriksi, memecah DNA yang terestriksi
pada gel agarosa, pemindahan fragmen-fragmen yang terseparasi tersebut ke dalam
membran nitrocellulose atau nilon, dan identifikasi dari fragmen DNA spesifik

dengan hibridisasi dengan probe yang dilabel secara radioaktif atau kimiawi.
(Sirica, 1996)
Begitu peneliti memulai pemeriksaan pada berbagai tempat dalam genom
manusia dengan menggunakan analisa Southern Blot, dengan segera ditemukan
bahwa individu dapat bervariasi akan ada atau tidaknya tempat terpisahnya dari
enzim restriksi yang spesifik. Sebuah properti yang berguna dari Restriction
Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah karena mereka menyajikan alel
kodominan, karena keberadaan atau ketiadaan dari tempat restriksi polimorfik
manapun dapat ditentukan dengan ketiadaan informasi keturunan. Hal ini
mengartikan bahwa heterozigot, membuat RFLP menjadi lokus penanda yang
berguna untuk melakukan pemetaan gen penyakit. (Sirica, 1996)
Grup polimorfik lainnya yang terbukti berguna sebagai penanda gen adalah
Variable Number of Tandem Repeats (VNTR). Lokus VNTR terjadi berupa
pengulangan sekuens yang disebut minisatelit, dan terdiri dari pengulangan tandem
dari sekuens oligonukleotida yang secara normal berjarak antara 10-60 bp. Sesuai
namanya, VNTR, jumlah dari pengurangan pada tiap lokus bevariasi dan beberapa
lokus VNTR dapat ditemukan memiliki lebih dari 10 alel. Perlu diketahui bahwa
variabel RFLP berkaitan dengan VNTR tidak dihasilkan dari ada atau tidaknya
tempat tertentu pemecahan dari enzim restriksi, tetapi dikarenakan adanya variasi
jumlah pengulangan tandem yang dippisahkan oleh dua tempat pemecahan.
Meskipun VNTR tidak seumumm RFLP yang sederhana, VNTR terjadi cukup
sering sehingga memberikan kemudahan sebagai penanda genetika. Sebagai
tambahan, jumlah alel yang relatif besar berkaitan dengan banyak VNTR
menghasilkan tingkat yang tinggi dari heterozigositas dari lokus-lokus ini,
membuat mereka lebih efeisien daripada RFLP yang sederhana pada pemetaan
genetika di mana mereka ditautkan. (Sirica, 1996)
Kelas lain dari pengulangan tandem yang terbukti berguna dalam pemetaan
genetika terdiri dari nukleotida seperti CA atau GT, yang terulang dari 10 hingga
60 kali. Pengulangan nukleotida ini, disebut juga mikrosatelit, dan sangat
polimorfik, dan telah diperkirakan bahwa puluhan ribu dari tiap tipe pengulangan
tersebut tersebar dalam keseluruhan genom manusia. Namun, analisa Southern
Blot tidak cukup sensitif untuk mendeteksi kepolimorfikan dalam lokus
dinukleotida berullang, yang dapat memiliki selisih sebesar 2 nukleotida. Untuk
alasan ini, kepolimorfikan ditentukan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR),

yang berdasar pada amplifikasi enzimatik dari sekuens DNA target yang
didefinisikan oleh primer sisi oligonukleotida. Dengan mendesain primer yang
menghibridisasi secara spesifik untuk melakukan sekuens pada sisi manapun dari
pengulangan nukleotida dann menjalankan produk PCRR pada gel poliakrilamida
yang tipis, dimungkinkan untuk mendapatkan perbedaan yang kecil dengan
panjang 1 bp. (Sirica, 1996)

Gambar 1. Crossing Over pada kromosom yang menjadi dasar analisa pertautan
II.1.2 ANALISA SITOGENETIKA
Pendekatan lain dalam pemetaan gen penyakit adalah melibatkan
penggunaan analisa sitogenetika untuk mendeteksi kelainan abnormal dari
kromosom dalam individu yang menderita penyakit tertentu. Pada beberapa kasus,
penyakit ditemukan berkaitan dengan kelainan pada kromosom seperti delesi,
pemecahan, translokasi, atau inversi dari kromosom. Dengan mengkorelasikan
posisi dai kelainan ini dengan keberadaan fenotipe dari penyakit, maka
dimungkinkan pada beberapa kasus untuk dilakukan pemetaan gen penyakit pada
daerah subkromosomal. (Sirica, 1996)
Posisi relati dari penanda gen yang bertautan juga dapat dipetakan
menggunakan analisa sitogentika dari kromosom pada fase metafase yang
dihibridisasi in situ dengan melabelkan probe asam nukleik. Untuk melakukan ini,
sel dihentikan pada metafase kemudian difiksasi dan diamati dalam mikroskop.
Selanjtnya DNA kromosom didenaturasi dengan pemberian pH yang tinggi. Probe
RNA atau DNA yang terlabel kemudian dihibridisasi ke kromosom yang telah
didenaturasi tersebut dan kelebihan probe akan disingkirkan dengan pembersihan.

Metode tersebut gunakan untuk melihat probe yang terhibridisasi sangat


bergantung pada metode di mana terlabel. (Sirica, 1996)
Teknik dari hibridisasi in situ pertama kali menggunakan probe radioaktif
yaang dapat dideteksi dengan menyelupkan slide di mana kromosom yang telah
terfiksasi ke dalam emulsi fotografik. Namun, sensitifitas yang lebih tinggi kini
dapat dicapai dengan metode yang disebut dengan FISH (Fluorescent in situ
Hybridization). Untuk melakukan metode ini, sebua probe asam nukleik disintesis
menggunakan setidaknya satu nukleotida yang terlabelkan biotin, sebuah vitamin
yang akan terikat dengan afinitas tinggi ke protein avidin dan streptavidin. Setelah
hibridisasi in situ, molekul fluorescen akan berpasangan dengan avidin atau
streptavidin dan kemudian ditambahkan untuk dapat dilakukan visualisasi dari
probe yang telah terhibridisasi dengan pemeriksaan mikroskop fluorescence.
(Sirica, 1996)
Dengan menggunakan metode ini, disebutkan bahwa dapat posisi penanda
dapat dilokalisir hingga sekitar 1Mbp. Bahkan dapat pula memperkirakan urutan
dari penanda yang bertautan sangat dekat degan hibridisasi menggunakan probe
yang telah dilabel dengan molekul yang akan berfluorescence pada gelombang
cahaya yang berbeda. Sebagai contoh, jika probe untuk penanda pertama berarana
hijau dan probe kedua berwarna merah, hibridisasi in situ akan menampilkan
kromosom yang terlabel dengan titik merah dan titik hijau. Posisi relatif dari kedua
titik akan menunjukkan posisi relatif dari penanda gen satu sama lain. (Sirica,
1996)

Gambar 2. Gambaran analisa FISH yang telah dimodifikasi


II.1.3 PENGURAIAN GEN SECARA BERTAHAP
Setelah pemetaan gen penyakit telah dilakukan pada wilayah kromosomal
tertenntu menggunakan analisa pertautan dan analisa sitogenetika, langkah
selanjutnya adalah menyusun data genom pada kromosom ataupun segmen
kromosom yang mengandung gen. Untuk melakukan ini, dalam sejarahnya,
ilmuwan menggunakan teknik DNA rekombinan dan sekuensing pada gen
manusia. Untuk melakukan penggandaan DNA, ilmuwan banyak menggunakan
bantuan dari teknologi rekayasa genetika pada bakteri/tumbuhan untuk
menggandakan potongan DNA manusia yang akan dianalisa, agar dapat diuraikan
secara bertahap. Tahapan dari penguraian ini meliputi : (Radji, M., 2011)
1. Isolasi DNA
2. Enzim restriksi
3. Kloning vektor
4. Teknik Sekuensing
Setelah diketahui bahwa molekul DNA merupakan materi genetik yang
menentukan sifat suatu organisme, dan sel bakteri dapat menerima DNA asing
secara spontan, beberapa peneliti segera melakukan penelitian untuk melakukan
manipulasi terhadap sifat-sifat genetik dari beberapa jenis sel. Berbagai penelitian
telah dilakukan untuk memasukkan DNA asing kedalam sel bakteri, sel jamur, sel

tanaman dan sel hewan. Namun demikian, pada tahap pertama manipulasi tersebut
banyak yang mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit
spesies bakteri yang dapat menerima DNA secara spontan. Sebagian besar spesies
bakteri, sel hewan dan sel tanaman tidak dapat menerima DNA asing secara
spontan. Selain itu DNA asing yang telah berhasil masuk ke dalam sel hanya
mampu bertahan apabila dapat bereplikasi secara otonom, atau dapat terintegrasi
kedalam kromosom hospesnya. Umumnya DNA asing yang masuk kedalam DNA
kromosom akan segera didegradasi oleh enzim nuklease yang terdapat pada sel
hospes. (Radji, M., 2011)
Modifikasi genetik suatu organisme baru bisa dilakukan sejalan dengan
penemuan dan pengembangan berbagai teknik dalam biologi molekuler. Antara
lain teknik isolasi dan pemurnian DNA, penemuan enzim restriksi endonuklease,
enzim DNA polimerase dan DNA ligase, penemuan DNA plasmid dan teknik
transfer DNA, teknik deteksi DNA, teknik pemetaan gen, dan teknik kultivasi.
(Radji, M., 2011)
II.1.3.1 Isolasi dan Purifikasi DNA genom dan plasmid
Isolasi dan Purifikasi DNA Genom Molekul DNA yang sering digunakan
dalam teknologi DNA rekombinan adalah DNA plasmid dan DNA genom
yang berasal dari sel bakteri. Pada dasarnya isolasi DNA genom total dari sel
bakteri terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1. Kultivasi sel dalam media yang sesuai
2. Pemecahan dinding sel
3. Ekstraksi DNA genom
4. Purifikasi DNA
Pemecahan dinding sel bakteri dilakukan secara fisik misalnya dengan
cara sonikasi, maupun dengan cara kimia yaitu dengan menggunakan enzim
lisozim, etilen diamin tetra asetat (EDTA), atau kombinasi dari keduanya. Pada
kondisi tertentu pemecahan dinding sel cukup dilakukan dengan lisozim dan
EDTA, akan tetapi sering ditambahkan bahan lain yang dapat melisiskan
dinding sel antara lain deterjen triton X-100 atau sodium dedosil sulfat (SDS).
Setelah sel mengalami lisis, tahap selanjutnya adalah memisahkan debris sel
dengan cara sentrifugasi. Komponen sel yang tidak larut diendapkan dengan

sentrifugasi sehingga meninggalkan ekstrak sel dalam supernatan yang jernih.


(Radji, M., 2011; Thermo Scientific, 2009)
Tahap akhir dari isolasi DNA adalah proses pemurnian DNA. Disamping
DNA, ekstrak sel mengandung protein dan RNA dalam jumlah yang cukup
besar. Umumnya cara pemurnian DNA dilakukan dengan penambahan larutan
fenol atau campuran fenol dan kloroform dengan perbandingan 1:1, untuk
mengendapkan protein dengan cara di sentrifugasikan dan dihancurkan secara
enzimatis dengan proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein masih
tercampur dengan RNA sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk
membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut
kemudian dimurnikan dengan cara presipitasi etanol. Dengan adanya larutan
garam (kation monovalen seperti Na+), pada suhu -20oC etanol absolut dapat
mengendapkan DNA dengan baik sehingga mudah dipisahkan dengan cara
sentrifugasi. (Radji, M., 2011; Thermo Scientific, 2009)
Pada isolasi dan purifikasi DNA sel total yang berasal dari sel eukariot,
misalnya sel tanaman atau sel hewan, walaupun pada dasarnya tahapan isolasi
dan purifikasinya sama, namun memerlukan suatu modifikasi cara isolasi
sehubungan dengan sifat-sifat khusus dari sel yang digunakan. Modifikasi
yang sering dilakukan adalah pada proses pemecahan sel eukariot. Senyawa
kimia yang digunakan untuk memecah sel bakteri tidak selalu dapat digunakan
untuk memecah sel tanaman maupun sel hewan. Untuk memecah sel tanaman
dibutuhkan ezim-enzim degeneratif yang spesifik dan sering dikombinasi
dengan cara pemecahan dinding sel secara fisik antara lain menggunakan
butiran-butiran gelas. Sedangkan untuk mengisolasi DNA total dari sel hewan
yang tidak memiliki dinding sel umumnya hanya digunakan deterjen untuk
memecah membran sel dan membran nukleusnya. (Radji, M., 2011)
II.1.3.2 Isolasi dan Purifikasi DNA Plasmid
Isolasi dan purifikasi DNA plasmid dari sel bakteri pada dasarnya sama
dengan cara isolasi DNA genom. Sel bakteri yang mengandung DNA plasmid
dibiakkan dan dipanen. Sel bakteri dilisiskan dengan penambahan deterjen dan
enzim lisozim, kemudian disentrifugasi untuk memisahkan debris sel dengan
ekstrak sel. Proses selanjutnya adalah memisahkan protein dan RNA dari DNA
plasmid. Namun demikian terdapat perbedaan penting dalam isolasi DNA

plasmid dengan isolasi DNA genom. Isolasi DNA plasmid memperhatikan


keberadaan DNA genom yang berasal dari sel bakteri. Pemisahan antara DNA
plasmid dengan DNA genom sangat penting untuk dilakukan apabila DNA
plasmid akan digunakan sebagai vektor kloning. Adanya sedikit kontaminasi
DNA genom bakteri dalam jumlah kecil pun dapat mempengaruhi
keberhasilan kloning DNA. (Radji, M., 2011; Thermo Scientific, 2009)
Beberapa cara untuk menghilangkan DNA genom pada pemurnian DNA
plasmid telah banyak dikembangkan. Cara pemisahan DNA plasmid dengan
DNA genom pada prinsipnya berdasarkan ukuran dan konformasinya. Ukuran
DNA plasmid sangat kecil bila dibandingkan dengan ukuran DNA genom.
Ukuran DNA plasmid yang terbesar, kurang dari 8% ukuran DNA genom
bakteri, dan sebagaian besar DNA plasmid berukuran lebih kecil daripada
ukuran tersebut. Dengan demikian teknik yang dapat memisahkan molekul
DNA yang kecil dengan DNA yang berukuran besar akan sangat efektif untuk
memisahkan DNA plasmid. (Radji, M., 2011)
Salah satu cara yang lazim digunakan untuk memisahkan DNA plasmid
dengan DNA genom adalah dengan menggunakan cara sentrifugasi gradient
densitas. Teknik sentrifugasi gradient densitas etidium bromida sesium klorida,
yang berkecepatan tinggi, merupakan cara yang sangat efektif untuk
memperoleh DNA plasmid murni. Dengan teknik tersebut DNA plasmid akan
membentuk pita pada titik tertentu yang terpisah dengan pita genom, dimana
protein akan mengapung pada permukaan gradient, dan RNA akan berada pada
dasar tabung. Posisi pita-pita DNA dalam tabung bisa terlihat melalui pendaran
etidium bromida yang disinari dengan ultra violet. DNA plasmid dapat diambil
dengan menusukkan jarum suntik pada dinding tabung dimana pita DNA
plasmid terlihat dan menyedotnya. Sedangkan etidium bromida yang terikat
pada DNA plasmid dapat diekstraksi dengan n-butanol, dan CsCl dihilangkan
dengan cara dialisis. Teknik pemisahan ini dapat memperoleh DNA plasmid
murni yang dapat digunakan sebagai vektor kloning. (Radji, M., 2011)
II.1.3.3 Enzim Endonuklease Restriksi
Pada tahun 1960-an, enzim andonuklease restriksi ditemukan oleh
Werner Arber dan Hamilton Smith, yang diisolasi dari mokroorganisme.
Secara

alamiah

bakteri

menghasilkan

enzim

endonuklease

untuk

mempertahankan dirinya dari keberadaan DNA asing yang masuk kedalam sel
bakteri. Jika ada DNA asing masuk kedalam sel bakteri melalui proses transfer
genetik yang terjadi secara alamiah, misalnya virus bakteriofag, maka akan
mempertahankan dirinya dari keberadaan DNA asing tersebut, sel bakteri
melepaskan enzim endonuklease yang dapat memotong DNA asing pada situs
yang sangat spesifik dan restriktif. Oleh sebab itu enzim tersebut dikenal
dengan nama enzim endonuklease restriksi. (Radji, M., 2011; )
Enzim endonuklease restriksi yang sangat selektif dalam memotong
untai DNA sangat bermanfaat bila diaplikasikan pada teknologi DNA
rekombinan. Setiap enzim mengalami rangkaian 4-8 pasang basa tertentu yang
terdapat dalam untai DNA. Bagian atas situs pada molekul DNA yang dikenali
oleh enzim endonuklease restriksi dikenal sebagai situs pemotongan enzim.
Rangkaian-rangkaian situs pemotongan DNA oleh enzim ini apabila terdapat
dalam genom bakteri itu sendiri, biasanya dilindungi dengan adanya gugus
metil pada residu basa adenine (A) dan sitosin (C), sehingga tidak dapat
dipotong oleh enzim endonuklease yang dihasilkan oleh bakteri sendiri. Setiap
enzim endonuklease restriksi memiliki situs pengenalan pemotongan yang
berbeda dan sangat spesifik. (Radji, M., 2011)
Enzim endonuklease restriksi yang berbeda, memiliki situs pemotongan
yang berbeda, namun ada beberapa jenis enzim endonuklease restriksi yang
diisolasi dari sumber yang berbeda memiliki situs pemotongan yang sama.
Enzim-enzim endonuklease restriksi yang memiliki situs pemotongan yang
sama disebut isochizomer. (Radji, M., 2011)
Sekuens basa DNA pada situs pemotongan memiliki urutan basa yang
sama pada untai DNA heliks ganda, yang dikenal dengan sekuens palindromik.
Misalnya enzim EcoRI, yang diisolasi pertama kali oleh Herbert Boyer pada
tahun 1969 dari Escherichia coli yang memotong DNA pada bagian antara
basa G dan A pada sekuens GAATTC. Hasil pemotongan enzim endonuklease
restriksi ada dua macam yaitu menghasilkan ujung tumpul (blunt) dan ujung
lengket (sticky) atau kohesif. (Radji, M., 2011)

Enzim yang memotong

molekul DNA heliks ganda tidak berhadapan langsung, tetapi selisih 2-4 basa
menghasilkan potongan dengan ujung lengket, sedangkan enzim yang
memotong pada tempat yang berhadapan menghasilkan ujung tumpul. (Radji,
M., 2011)

Gambar 3. Situs pemutusan DNA oleh enzin restriksi endonuklease


Pada gambar

dibawah dapat dilihat

misalnya

enzim restriksi

EcoRI,memotong molekul DNA pada urutan heksa-nukleotida 5GAATTC


3 pada posisi antara basa G dan A. demikian pula pada urutan
polindromiknya 3CTTAAG5 enzim EcoRI, juga memotong pada posisi
antara basa A dan G. dengan demikian molekul DNA heliks ganda yang
terpotong oleh enzim EcoRI, menghasilkan fragmen restriksi dengan kedia
ujung yang lengket.

Gambar 4. Situs pemutusan DNA oleh enzim restriksi endonuklease EcoRI


Beberapa jenis enzim antara lain misalnya AluI menghasilkan fragmen
restriksi yang tumpul kerena memotong DNA heliks ganda tepat ditengah
antara basa C dan G. Dewasa ini banyak enzim endonuklease restriksi yang
telah dimurnikan dan diproduksi secara komersial yang dapat mengenali
sekuens nukleotida yang berlainan.

Perkiraan Pemotongan
Panjang dari sekuens pengenalan memengaruhi seringnya enzim restriksi
memotong DNA dalam ukuran tertentu. Misalnya pada enzim yang memiliki
panjang 4 basa, enzim ini diperkirakan akan memotong setiap 256 nukleotida.
Perhitungan tersebut diperoleh dengan mengasumsikan setiap basa mempunyai
kemungkinan yang sama untuk muncul, yaitu sebesar 1/4 (kemungkinan
muncul 1 dari 4 basa). Jadi jika sekuen pengenalan mempunyai panjang 6
basa, maka perhitungannya menjadi: (1/4)6 = 1/4096. Perhitungan ini hanya
sebagai perkiraan, pada kenyataannya belum tentu demikian. Beberapa sekuen
bisa jadi lebih sering atau lebih jarang ditemui dalam suatu organisme. Seperti
pada mamalia, sekuen CG sangat jarang ditemui sehingga enzim HpaII yang
mempunyai sekuen pengenalan CCGG akan lebih jarang memotong pada
DNA mamalia. (Metzenberg, S., 2002)
Enzim restriksi yang mempunyai sekuen pengenalan yang pendek akan
menghasilkan banyak potongan DNA; sedangkan jika mempunyai sekuen
pengenalan yang panjang, akan dihasilkan potongan DNA yang lebih sedikit.
Baik enzim yang mempunyai sekuen pemotongan pendek maupun panjang,
mempunyai fungsi masing-masing dalam rekayasa genetika. (Metzenberg, S.,
2002) Beberapa enzim yang sering digunakan dalam laboratorium dibagi
menjadi tiga berdasarkan perkiraan pemotongan:
A. 6-cutters
Enzim restriksi yang tergolong dalam 6-cutters memiliki situs
pemotongan yang spesifik pada 6 nukleotida. Ezim ini cocok digunakan untuk
pekerjaan kloning seharihari karena enzim ini sering memotong satu atau dua
situs pada plasmid, namun jarang memotong bagian penting seperti titik asal
replikasi (origin of replication) atau gen resisten ampisilin. Contoh enzim 6cutters adalah HindIII (AAGCTT) yang memotong genom bakteriofage (48
kbp) pada 7 situs. (Metzenberg, S., 2002)
B. 8-cutters
Enzim restriksi ini mempunyai situs pengenalan sepanjang 8 nukleotida;
cocok digunakan untuk membentuk kromosom menjadi potongan-potongan
yang spesifik dalam ukuran yang besar. Sebagai contoh: PacI (enzim 8-cutters)
memotong-motong kromosom E. coli menjadi 20 bagian, sedangkan BamHI

(enzim 6-cutters) memotong sekitar 300 bagian. Jika langsung menggunakan


enzim 6-cutters, maka fragmen yang dihasilkan terlalu kecil dan banyak.
Untuk itu digunakan enzim 8-cutters terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan enzim 6-cutters. (Metzenberg, S., 2002)
C. 4-cutters
Enzim restriksi ini cocok untuk percobaan yang menginginkan
pemotongan pada beberapa situs yang potensial. Contohnya: jika ingin
mengumpulkan fragmen DNA secara acak, dan pada potongan tersebut
terdapat gen yang diinginkan; dapat dilakukan digestsi parsial (partial
digestion) menggunakan enzim 4-cutters. (Metzenberg, S., 2002)

Penamaan Enzim Restriksi


Pada dasarnya, penamaan enzim restriksi diambil dari nama bakteri yang
menghasilkan enzim tersebut (Sasnaukas, G., et al., 2007). Seperti contohnya
enzim EcoRI yang memiliki pola:

Jenis-jenis Enzim Restriksi


Enzim restriksi secara tradisional dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan
komposisi subunit, posisi pemotongan, spesifisitas sekuens dan kofaktor yang
diperlukan:
1. Enzim restriksi tipe I
Enzim restriksi ini kompleks dengan multisubunit, memotong DNA
secara acak dan jauh dari sekuens pengenalannya. Pada awalnya enzim ini
dikira langka; tapi setelah analisis sekuens genom, enzim ini ternyata
umum. Enzim restriksi tipe I ini memiliki pengaruh besar dalam biokimia,
namun mempunyai nilai ekonomis yang rendah karena tidak dapat
menghasilkan potongan fragmen DNA yang diinginkan sehingga tidak
diproduksi. (Sasnaukas, G., et al., 2007)
2. Enzim restriksi tipe II
Enzim ini memotong DNA dekat atau pada situs pengenalan. Enzim
ini menghasilkan fragmen-fragmen sesuai dengan yang diinginkan sehingga
biasa digunakan untuk analisis DNA dan kloning gen. Enzim tipe II yang
umum digunakan adalah HhaI, HindIII, EcoRI, dan NotI; dan enzim-enzim
tersebut tersedia secara komersil. Enzim ini tergolong kecil dengan subunit
yang memiliki 200-350 asam amino dan memerlukan Mg2+ sebagi
kofaktor. Selanjutnya enzim jenis tipe II yang umum, biasanya digolongkan
sebagai tipe IIs, adalah FokI dan AlwI. Enzim ini memotong diluar situs
pengenalan, berukuran sedang, 400-650 asam amino, dan memiliki 2
domain khusus. Domain pertama untuk berikatan dengan DNA, sedangkan

domain yang satunya untuk memotong DNA. (Rinehart, C.A., 2005;


Sasnaukas, G., et al., 2007)
3. Enzim restriksi tipe III
Enzim restriksi tipe II ini merupakan enzim restriksi yang tidak
digunakan dalam laboratorium. Hal ini dikarenakan enzim ini memotong di
luar situs pengenalan dan membutuhkan dua sekuen dengan orientasi
berlawanan pada DNA yang sama untuk menyelesaikan pemotongan
sehingga enzim ini jarang menghasilkan potongan sempurna. (Rinehart,
C.A., 2005; Sasnaukas, G., et al., 2007)
Keadaan Restriksi
Enzim restriksi pada umumnya bekerja pada pH 7,4; suhu 37C; dan
memerlukan bermacammacam kekuatan ionik, tergantung dari jenis enzimnya.
Akan tetapi, beberapa enzim memerlukan optimasi khusus agar proses restriksi
berjalan dengan baik. Dalam larutan stok, enzim restriksi biasanya dikemas
bersama dengan 10X larutan penyangga reaksi yang telah dioptimasi.
(Rinehart, C.A., 2005) Buffer reaksi dapat digolongkan menjadi empat jenis
berdasarkan kekuatan ionik-nya:
1. 0 mM NaCl = low salt buffer (L)
2. 50 mM NaCl = medium salt buffer (M)
3. 100 mM NaCl = hi salt buffer (H)
4. 150 mM NaCl = very high salt buffer (VH)
Ketika melakukan digesti dengan 2 atau lebih enzim restriksi yang
berbeda buffer reaksinya, perlu dilihat rujukan tabel aktivitas enzim tersebut
pada buffer reaksi tertentu. Misalnya: reaksi digesti dilakukan dengan
menggunakan EcoRI (garam tinggi) dan HpaII (garam rendah, KCl). Setelah
dilihat pada tabel, kedua enzim aktif pada keadaan garam sedang. Oleh karena
itu, digunakan buffer reaksi dengan konsentrasi KCl sedang. Buffer reaksi
yang digunakan adalah KCl karena HpaII memerlukan KCl, bukan NaCl;
sedangkan EcoRI dapat menggunakan kedua garam tersebut. Kondisi optimal
ketika melakukan proses digesti sangat penting. Karena jika kondisi optimal
tidak tercapai, enzim akan memotong secara tidak normal. Contohnya: EcoRI
pada buffer reaksi dengan konsentrasi garam rendah tidak hanya memotong
pada situs pengenalan normal GAAATTC, namun akan juga memotong situs

pengenalan AATT. Aktifitas seperti ini dinamakan star activity. (Rinehart,


C.A., 2005)
Setelah proses inkubasi selesai, reaksi digesti enzim dapat dihentikan
dengan menambahkan EDTA. Penambahan EDTA akan mengkelat ion logam;
dalam reaksi ini ion logam yang dikelat adalah Mg2+. Untuk beberapa tipe
enzim lainnya, inaktivasi dapat dihentikan dengan cara pemanasan;
menggunakan pendenaturasi protein, contohnya fenol atau kloroform; atau
memisahkan enzim dari DNA menggunakan kolom kromatografi. (Rinehart,
C.A., 2005)
II.1.3.4 BIOTRANSPORT / VEKTOR KLONING
Vektor adalah molekul DNA yang berfungsi sebagai wahana atau
kendaraan yang akan membawa suatu fragmen DNA masuk ke dalam sel inang
dan memungkinkan terjadinya replikasi dan ekspresi DNA asing tersebut.
Vektor yang dapat digunakan pada sel inang prokariot, khususnya E.coli,
adalah plasmid, bakteriofag, kosmid dan fosmid. Sementara itu vektor YACs
dan YEps dapat digunakan pada khamir. Plasmid Ti, baculovirus, SV40 dan
retrovirus merupakan vektor-vektor yang dapat digunakan pada sel eukariot
tingkat tinggi. Vektor kloning DNA terdiri dari beberapa tipe antara lain adalah
DNA plasmid berupa DNA heliks ganda sirkuler yang dapat bereplikasi secara
otonom, karena memiliki titik awal replikasi (origin of replication = ORI)
sendiri.
II.1.3.4.1 Plasmid
Secara umum plasmid dapat didefinisikan sebagai molekul DNA
sirkuler untai ganda di luar kromosom yang dapat melakukan replikasi
sendiri. Plasmid tersebar luar diantara organisme prokariot dengan ukuran
yang bervariasi dari sekitar 1 kb hingga lebih dari 250 kb (1 kb = 1000
pb). Agar dapat digunakan sebagai vektor kloning, plasmid harus
memenuhi syarat-syarat berikut ini:
1. Mempunyai ukuran relatif kecil bila dibandingkan dengan pori dinding
sel sebingga dapat dengan mudah melintasinya.
2. Mempunyai sekurang-kurangnya dua gen marker yang dapat menandai
masuk tidaknya plasmid ke dalam sel inang.

3. Mempunyai tempat pengenalan restriksi sekurang-kurangnya didalam


salah satu marker yang dapat digunakan sebagai tempat penyisipan
fragmen DNA.
4. Mempunyai titik awal replikasi (ori) sehingga dapat melakukan
replikasi di dalam sel inang.

Gambar 5. Struktur plasmid

II.1.3.4.2 Virus Bakteriofag


Bakteriofag adalah virus yang sel inangnya berupa bakteri. Dengan
daur hidupnya yang bersifat litik atau lisogenik bakteriofag dapat
digunakan sebagai vektor kloning pada sel inang bakteri. Ada beberapa
macam bakteriofag yang biasa digunakan sebagai vektor kloning,
diantaranya adalah bakteriofag dan M13.
Bakteriofag
Bakteriofag atau fag merupakan virus kompleks yang menginfeksi
bakteri E. coli. Berkat pengetahuan yang memadai tentang fag ini, kita
dapat memanfaatkannya sebagai vektor kloning semenjak masa-masa
awal perkembangan rekayasa genetika. DNA yang diisolasi dari partikel
fag ini mempunyai konformasi linier untai ganda dengan panjang 48,5 kb.

Namun masing-masing ujung fosfatnya barupa untai tunggal sepanjang 12


pb yang komplementer satu sama lain sehingga memungkinkan DNA
untuk berubah konformasinya menjadi sirkuler. Dalam bentuk sirkulet,
tempat bergabungnya kedua untai tunggal sepanjang 12 pb tersebut
dinamakan kos. Seluruh untai basa DNA telah diketahui. Secara alamiah
terdapat lebih dari satu tempat pengenalan restriksi untuk setiap enzim
restriksi yang biasa digunakan. Oleh karena itu, DNA tipe alami tidak
cocok untuk digunakan sebagai vektor kloning. Akan tetapi saat ini telah
banyak dikonstruksi derivat-derivat DNA yang memenuhi syarat sebagai
vektor kloning. Ada dua macam vektor kloning yang berasal dari DNA ,
yaitu vektor insersional dan vektor substitusi. Vektor insersional adalah
vektor yang dnegan mudah dapat disisipi oleh fragmen DNA asing.
Sedangkan vektor substitusi adalah vektor yang untuk membawa fragmen
DNA asing sebagian atau seluruh urutan basanya yang terdapat didaerah
nonesensial dan menggantinya dengan urutan basa fragmen DNA asing
tersebut. Diantara kedua masam vektor tersebut, vektor substitusi lebih
banyak digunakan karena kemampuannya untuk membawa fragmen DNA
asing hingga 23 kb. Salah satu contohnya adalah WES, yang mempunyai
mutasi pada tiga gen esensial, yaitu W, E, dan S. vektor ini hanya dapat
digunakan pada sel inang yang dapat menekan mutasi tersebut. Cara
substitusi fragmen DNA asing pada daerah non-esensial membutuhkan
dua tempat pengenalan restriksi untuk setiap enzim restriksi. Jika suatu
enzim restriksi memotong daerah nonesensial di dua tempat berbeda,
maka segmen DNA di antara kedua tempat tersebut akan dibuang untuk
selanjutnya digantikan oleh fragmen DNA asing. Jika pembuatan segmen
DNA tidak diikuti oleh subastitusi fragmen DNA asing maka akan
terjadi religasi vektor DNA yang kehilangan segmen pada daerah
nonesensial. Vektor religasi semacam ini tidak akan mampu bertahan di
dalam sel inang. Dengan demikian, ada suatu mekanisme seleksi otomatis
yang akan membedakan antara sel inang dengan vektor rekombinan dan
sel inang dengan vektor religasi. Bakteriofag mempunyai dua fase daur
hidup, yaitu fase litik dan fase lisogenik. Pada fase litik, transfeksi sel
inang (istilah trasnsformasi untuk DNA fag) dimulai dengan masuknya
DNA yang berubah konformasinya menjadi sirkuler dan mengalami

replikasi secara indenpenden atau tidak bergantung kepada kromosom sel


inang. Setelah replikasi menghasilkan sejumlah salinan DNA sirkuler,
masing-masing DNA ini akan melakukan transkripsi dan translasim
membentuk protein kapsid (kepala). Selanjutnya, tiap DNA akan dikemas
dalam kapsid sehingga menghasilkan partikel baru yang akan keluar dari
sel inang untuk menginfeksi sel inang lainnya. Sementara itu, pada fase
lisogenik DNA akan terintegrasi kedalam kromosom sel inang sehingga
replikasinya bergantung kepada kromosom sel inang. Fase lisogenik tidak
menimbulkan lisis pada sel inang. Didalam medium kultur, sel inang yang
mengalami lisis akan membentuk plak berupa daerah bening diantara
koloni-koloni sel inang yang tumbuh. Oleh karena itu, seleksi vektor
rekombinan dapat dilakukan dengan melihat terbentuknya plak tersebut.
Bakteriofag M13
Ada jenis bakteri lain yang dapat menginfeksi bakteri E.coli. berbeda
dengan yang mempunyai struktur ikosahedral berekor, fag jenis kedua
ini mempunyai struktur berupa filament. Contoh yang paling penting
adalah M13, yang mempunyai genom berupa untai tunggal DNA sirkuler
sepanjang 6.408 basa. Infeksinya pada sel inang berlangsung melaui pili,
suatu penonjolan pada permukaan sitoplasma. Ketika berada didalam sel
inang genom M13 berubah menjadi untai ganda sirkuler yang dengan
cepat akan bereplikasi menghasilkan sekitar 100 salinan. Salinan-salinan
ini membentuk untai tunggal sirkuler baru yang kemudian bergerak ke
permukaan sel inang. Dengan cara seperti ini DNA M13 akan terselubungi
oleh membran dan keluar dari sel inang menjadi partikel fag yang infektif
tanpa menyebabkan lisis. Oleh karena fag M13 terselubungi denngan cara
pembentukan kuncup pada membrane sel inang, maka tidak ada batas
ukuran DNA asing yang dapat disisipkan kepadanya. Inilah salah satu
keuntungan penggunaan M13 sebagai vektor kloning bila dibandingkan
dengan plasmid dan . Keuntungan lainnya adalah bahwa M13 dapat
digunakan untuk sekuensing (penentuan urutan basa) DNA mutagenesis
tapak terarah (site directed mutagenesis) karena untai tunggal DNA M13
dapat dijadikan cetakan (template) didalam kedua proses tersebut.
Meskipun demikian, M13 hanya mempunyai sedikit sekali daerah pada

DNA-nya yang dpat disisipi oleh DNA asing. Disamping itu tempat
pengenalan restriksinyapun sangat sedikit. Namun sejumlah derivat M13
telah dikonstruksi untuk mengatasi masalah tersebut.
II.1.3.4.3 Cosmid
Kosmid merupakan vektor yang dikonstruksi dengan menggunakan
kos dari DNA lamdha dengan plasmid. Kemampuannya untuk membawa
fragmen DNA sepanjang 32 hingga 47 kb menjadikan kosmid lebih
menguntungkan daripada fag dan plasmid.
II.1.3.4.4 Fasmid
Selain kosmid, ada kelompok vektor sintetik yang merupakan
gabungan antara plasmid dan fag . Vektor yang dinamakan fasmid ini
membawa segmen DNA yang berisi tempat att. Tempat att digunakan
oleh DNA untuk berintegrasi dengan kromosom sel inang pada sel
lisogenik.
II.1.3.4.5 Vektor YACs
Seperti halnya kosmid YACs (yeast artificial chromosomes atau
kromosom buatan dari khamir) dikonstruksi dengan menggabungkan
antara DNA plasmid dan segmen tertentu DNA kromosom khamir.
Segmen kromosom khamir yang digunakan terdiri dari sekuens telomere,
sentromer, dan titik awal replikasi. YACs dapat membawa fragmen DNA
genomic sepanjang lebih dari 1 Mb. Oleh karena itu, YACs dapat
digunakanuntuk menggklon gen utuh manusia, misalnya gen penyandi
cystic fibrosis yang panjangnya 250 kb. Dengan kemampuannya itu YACs
sangat berguna dalam pemetaan genom manusia seperti pada proyek
pemetaan genom manusia.

Gambar 6. Skema insersi DNA pada vektor YAC


II.1.3.4.6 Vektor YEps
Vektor-vektor untuk keperluan kloning dan ekspresi gen pada
Saccharomyces cereviceae dirancang atas dasar plasmid alami berukuran
2 m, yang selanjutnya dikenal dengan plasmid 2 mikron. Plasmid ini
memiliki sekuens DNA sepanjang 6 kb, yang mencakup titik awal
replikasi dan dua gen yang terllibat dalam replikasi. Vektor-vektor yang
dirancang atas dasar plasmid 2 mikron disebut YEps (yeast episomal
plasmids). Segmen plasmid 2 mikronnya membawa titik awal replikasi,
sedangkan segmen kromosom khamirnya membawa suatu gen yang
berfungsi sebagai penanda seleksi, misalnya gen LEU2 yang terlibat
dalam biosintesis leusin. Meskipun biasanya bereplikasi seperti plasmid
pada umumnya, YEps dapat terintegrasi kedalam kromosom khamir
inangnya.
II.1.3.4.7 Plasmid Ti Agrobacterium tumefaciens
Sel-sel tumbuhan tidak mengandung plasmid alami yang dapat
digunakan sebagai vektor kloning. Akan tetapi, ada suatu bakteri, yaitu
Agrobacterium tumefaciens, yang membawa plasmid berukuran 200 kb
dan disebut plasmid Ti (tumor inducing atau penyebab tumor). bakteri A.
tumefaciens dapat menginfeksi tanaman dikotil seperti tomat dan
tambakau serta tanaman monokotil, khususnya padi. Ketika infeksi

berlangsung bagian tertenntu plasmid Ti, yang disebut T-DNA, akan


terintegrasi kedalam DNA kromosom tanaman, mengakibatkan terjadinya
pertumbuhan sel-sel tanaman yang tidak terkendali. Akibatnya akan
terbentuk tumor atau crown gall. Plasmid Ti rekombinan dengan suatu gen
target yang disisipkan pada daerah T-DNA dapat mengintergrasikan gen
tersebut kedalam DNA tanaman. Dalam prakteknya, ukuran plasmid Ti
yang begitu besar sangatt sulit untuk dimanipulasi. Namun ternyata
apabila bagian T-DNA dipisahkan dari bagian-bagian lain plasmid Ti,
integrasi dengan DNA tanaman masih dapat asalkan T-DNA dan bagian
lainnya tersebut masih berada didalam satu sel bakteri A. tumefaciens.
Dengan demikian, manipulasi atau penyisipan fragmen DNA asing hanya
dilakukan pada T-DNA dengan cara seperti halnya yang dilakukan pada
plasmid E. coli. Selanjutnya, plasmid T-DNA rekombinan yang dihasilkan
ditrasnformasikan ke dalam sel A. tumefaciens yang membawa plasmid Ti
tanpa bagian T-DNA. Perbaikan prosedur berikutnya adalah pembuangan
gen-gen pembentuk tumor yang terdapat pada T-DNA.
II.1.3.4.8 Baculovirus
Baculovirus merupakan virus yang menginfeksi serangga, salah satu
protein penting yang disandi oleh genom virus ini adalah polihedrin, yang
akan terakumulasi dalam jumlah sangat besar didalam nuclei sel-sel
serangga yang diinfeksi karena gen tersebut mempunyai promote yang
sangat aktif. Promoter ini dapat digunakan untuk memacu overekspresi
gen-gen asing yang diklon ke dalam genom baculovirus sehingga akan
diperoleh produk protein yang sangat banyak jumlahnya di dalam kultur
sel-sel serangga yang terinfeksi.
II.1.3.4.9 Vektor Kloning pada Manusia
Vektor untuk melakukan kloning pada sel-sel mamalia juga
dikonstruksi atas dasar genom virus. Salah satu diantaranya yang telah
cukup lama dikenal adalah SV40, yang menginfeksi berbagai spesies
mamalia. Genom SV40 panjangnya hanya 5,2 kb. Genom ini mengalami
kesulitan dalam pengepakan sehingga pemanfaatan SV40 untuk
mentransfer fragmenfragmen besar menjadi terbatas. Vektor lainnya

adalah Retrovirus, mempunyai genom berupa RNA untai tungaal yang


ditranskripsi balik menjad DNA untai ganda setelah terjadi infeksi. DNA
ini kemudian terintegrasi dengan stabil ke dalam genom sel mamalia
inang sehingga retrovirus telah digunakan sebagai vektor dalam terapi
gen. Retrovirus mempunyai beberapa promoter yang kuat.
II.1.3.5 TRANSFER DNA
Transfer molekul DNA rekombinan ke dalam sel merupakan tahap yang
penting pada teknologi DNA rekombinan. Beberapa spesies bakteri yang
sering digunakan dalam industri bioteknologi antara lain adalah Bacillus
subtilis, Eschericia coli, Saccharomyces cerevisiae. (Radji, M., 2011)
Proses transfer DNA rekombinan kedalam sel hospes tergantung pada
jenis vektor yang digunakan. Beberapa cara transfer DNA adalah:
1. Transformasi
Teknik ini digunakan apabila vektor yang dipakai adalah plasmid DNA.
Dapat ditransformasikan kedalam sel inang dengan cara:
a. Induksi kimia menggunakan perlakuan kejut panas kejut panas (heat
shock) dengan CaCl2 pada suhu 42oC dalam waktu 90 detik. Adanya ion
Ca2+ dapat menyebabkan perubahan permeabilitas dinding sel bakteri
sehingga plasmid DNA rekombinan yang berada dalam biakan sel
bakteri akan masuk kedalam sel bakteri yang dinding selnya lebih
permeabel. (Radji, M., 2011)
b. Elektroporasi
Permeabilitas dinding sel bakteri dapat ditingkatkan dengan cara
menempatkan sel bakteri kedalam medan listrik yang kuat. DNA dan sel
bakteri dimasukkan bersama-sama dalam kuvet khusus yang kemudian
ditempatkan dibawah medan listrik (1,8 kv), dalam waktu yang sangat
singkat sekitar 4-5 detik. Dibawah medan listrik ini dinding sel bakteri
dipaksa terbuka dengan sendirinya, sehingga DNA dapat masuk kedalam
sel bakteri kedalam lubang yang terbentuk tersebut. Teknik ini dapat
menyebabkan sebagian besar sel bakteri mati, namun sel yang bertahan
hidup akan menerima DNA. Dewasa ini elektroporasi sering digunakan
untuk transfer DNA karena prosesnya lebih cepat. (Radji, M., 2011)
c. Konjugasi

Proses ini umumnya terjadi secara alamiah diantras sel bakteri melalui
pili bakteri. Pada transfer DNA melalui konjugasi diperlukan jenis
plasmid khusus yang disebut dengan plasmid konjugatif. Apabila sel
bakteri memiliki plasmid tersebut (sel donor) bertemu dengan bakteri
yang tidak memiliki plasmid (sel penerima), maka akan terjadi agregasi
sel dari keduanya. Pada saat itu akan terjadi transfer plasmid dari sel
donor ke dalam sel penerima. (Radji, M., 2011)
Manipulasi terhadap plasmid konjugatif dapat dilakukan untuk
membuat plasmid konjugatif membawa molekul DNA rekombinan yang
dikehendaki sehingga dapat ditransfer kepada sel bakteri lain melalui
kontak antar sel bakteri. Salah satu cara teknik konjugasi khusus yang
berhasil dilakukan adalahh teknik konjugasi menggunakan bakteri
Agrobacterium tumefaciens yang mengandung plasmid konjugatif yang
disebut dengan plasmid Ti (Tumor inducing). (Radji, M., 2011)
2. Transfeksi
Transfer DNA melalui proses ini apabila vektor yang digunakan adalh virus
bakteriofag. DNA rekombinan yang akan ditransfer dikemas terlebih dahulu
dalam kapsid bakteriofag, kemudian diinfeksikan kedalam sel penerima.
Proses transfer DNA melalui transfeksi ini menyerupai proses infeksi oleh
virus yang terjadi secara alamiah. Replikasi dan propagasi akan
meningkatkan jumlah DNA rekombinan. (Radji, M., 2011)
3. Mikroinjeksi
Teknik ini digunakan untuk mentransfer DNA secara langsung kedalam sel
menggunakan jarum suntik yang merukuran sangat kecil atau mikro.
Umumnya teknik ini digunakan untuk mentransfer DNA kedalam sel hewan
atau sel tanaman, karena sel tersebut berukuran relative lebih besar daripada
sel bakteri. DNA rekombinan yang akan ditransfer diinjeksikan lengsung
kedalam nucleus sel penerima. (Radji, M., 2011) 4. Mikroprojektil Teknik
ini umumnya digunakan untuk mentransfer DNA kedalam sel atau jaringan
tanaman. Partikel DNA ditembakkan langsung dengan suatu alat penembak
khusus langsung kedalam sel tanaman. Dewasa ini terdapat berbagai jenis

alat penembak gen, salah satu jenisnya antara lain adalah pistol penembak
gen. (Radji, M., 2011)
II.1.3.6 KULTUR SEL
Kultur sel berperan penting dalam bidang rekayasa genetika dan
bioteknologi. Teknik pengembangbiakan sel, baik sel prokariot maupun sel
eukariot mendapatkan perhatian utama karena kultur sel merupakan sumber
produk biologis atau mediator dari berbagai reaksi biokonversi. (Radji, M.,
2011)
Kendala utama yang sering dijumpai adalah bahwa teknk kultur sel
dalam skala laboratorium tidak selalu langsung dapat diekstrapolasikan
menjadi kultur dalam skala industry. Kultivasi sel pada skala besar
memerlukan proses yang lebih rumit dan canggih dibandingkan dengan kultur
sel skala kecil. (Radji, M., 2011)

II.1.3.6.1 Kultur Mikroorganisme


Beberapa jenis mikroorganisme seringkali digunakan dalam
produksi senyawa rekombinan melalui teknologi rekayasa genetika.
Sistem biologi ini lebih diminati karena lebih mudah dan lebih aman
untuk diproduksi, baik dalam skala laboratorium maupun dalam skala
industry. Umumnya mikroorganisme yang paling sering digunakan adalah
Eschericia coli dan Saccharomyces cerevisiae. (Radji, M., 2011)
Mikroorganisme umumnya dapat dibiakkan pada media perbenihan
cair atau media perbenihan padat yang mengandung agar. Proses
pertumbuhan mikroorganisme dalam kondisi media perbenihan tersebut,
jumlah sel secara bertahap akan menurun setelah mencapai pertumbuhan
yang stabil, karena selain nutrisi dalam media perbenihan menipis juga
karena

akumulasi

metabolit

mikroorganisme

dapat

menghambat

pertumbuhan. Dengan demikian pada kondisi tersebut pertumbuhan


mikroorganisme akan berhenti setelah mencapai waktu tertentu. (Radji,
M., 2011)
Salah

satu

cara

untuk

mengatasi

penurunan

pertumbuhan

mikroorganisme yang sedang dibiakkan, telah dikembangkan suatu

metode yang mampu terus-menerus dapat dibiakkan sel mikroorganisme


yaitu

dengan

menambahkan

medium

perbenihan

segar

secara

berkesinambungan. Kemudian sel yang telah tumbuh dan metabolitnya


dialirkan keluar bejana perbenihan, melalui pipa khusus yang dapat diatur
waktu alirnya. Dengan cara tersebut, akan dapat dibuat situasi dimana sel
mikroorganisme dapat terus-menerus dibiakkan. Metode kultivasi ini
disebut dengan metode continuous culture. Namun demikian sebagian
besar industry bioteknologi masih menggunakan metode kultur di dalam
tangki tanpa aliran masuk medium segar dan aliran keluar biakan
mikroorganisme. Metode klutur statis ini disebut dengan batch culture.
(Radji, M., 2011)
Pertumbuhan bakteri terdiri dari beberapa fase yaitu, fase lag, fase
log (eksponensial), fase pertumbuhan tetap (stasioner), dan fase
penurunan/ kematian sel. (Radji, M., 2011)
Dalam rekayasa genetika, fase eksponensial merupakan fase yang
sangat penting karena pada fase ini, sebagian besar mikroorganisme
mensintesis metabolit sekunder. (Radji, M., 2011)
Efektifitas dan efisiensi metode kultur sangat penting dalam
pembutan sediaan farmasi berbasis rekayasa genetika. Oleh sebab itu
dalam kultivasi mikroorganisme seringkali diupayakan agar fase lag dapat
berlangsung sesingkat mungkin dan mengupayakan untuk menunda agar
biakan tidak cepat masuk pada fase pertumbuhan tetap. Untuk tujuan yang
pertama biasanya diupayakan dengan cara memasukkan sejumlah
inokulum yang tepat yang telah dilakukan prekultur, sehingga inokulum
dapat beradaptasi secara optimal dengan volume medium perbenihan yang
ada dalam tangki kultur. Sedangkan untuk tujuan kedua dapat diupayakan
dengan berbagai macam cara, salah satunya yang berhasil adalah dengan
cara menambahkan kembali medium segar tepat pada waktu akhir fase
eksponensial. (Radji, M., 2011)
Teknik penambahan medium segar pada akhir fase eksponensial ini
disebut dengan feed batch culture. Untuk mencapai pertumbuhan
mikroorganisme yang optimal, tidak hanya harus memberikanmedium
perbenihan dengan nutrisi yang sesuai, tetapi juga harus diperhatikan
beberapa factor penting lainnya yaitu kondisi pH medium, oksigen dan

suhu inkubasi. Selain itu dalam kultur ini harus bebas

dari

mokroorganisme lainnya. (Freshney, R.I., 2005; Radji, M., 2011)


II.1.3.6.2 Kultur Sel Hewan
Sel hewan dapat diisolasi dari berbagai jaringan tertentu setelah
dipapar dengan enzim protease atau tripsin. Sel yang telah didapat tersebut
apabila dimasukkan kedalam tabung kultur yang mengandung medium
perbenihan cair yang sesuai, maka sel akan tumbuh. Sel hewan yang
diperoleh tersebut dikenal dengan kultur primer, tidak dapat bertahan lama
dan akan mati dalam perbenihan artificial, sehingga sel primer ini tidak
banyak digunakan dalam bidang rekayasa genetika. (Freshney, R.I., 2005;
Radji, M., 2011)
Namun ada beberapa jenis sel hewan, memiliki sifat immortal,
sehingga dapat tumbuh secara terus menerus didalam media perbenihan
artifisial. Sel yang disebut dengan continuous cell lines ini dapat hidup
selama beberapa bulan bahkan selama bertahun-tahun sepanjang
dilakukan kultur ulang menggunakan medium segar secara berkala. Sel
yang mampu hidup secara terus menerus tersebut biasanya didapatkan dari
jaringan hewan

yang mengalami malignansi (sel kanker), sehingga

bersifat immortal dan dapat berkembang dengan cepat. (Freshney, R.I.,


2005; Radji, M., 2011)
Keberhasilan kultur sel hewan secara in vitro sangat tergantung
tidak saja pada nutrisi medium perbenihan yang sesuai, tapi juga pada
adanya factor pertumbuhan dan hormone. Medium harus mengadung
larutan buffer dengan pH larutan yang sesuai (sekitar 7,0) dan larutan
harus isotonis. Kultivasi sel hewan lebih rumit dibandingkan kultivasi sel
mikroorganisme. Beberapa jenis kultur sel hewan, telah diproduksi secara
komersial dan aman untuk dimanfaatkan dalam penelitian rekayasa
genetika. (Freshney, R.I., 2005; Radji, M., 2011)
II.1.3.6.3 Kultur Sel Tumbuhan
Tanaman merupakan sumber penting untuk mendapatkan senyawa
bioaktif yang dapat digunakan sebagai obat atau bahan baku obat.
Berbagai senyawa aktif telah berhasil diekstraksi dari tanaman atau bagian
tertentu dari tanaman, akan tetapi hasilnya hanya dalam jumlah yang

sangat sedikit. Hal ini telah memacu para peneliti untuk mencari
alternative lain untuk memproduksi senyawa aktif yang terkandung dalam
bagian tumbuhan agar dapat dihasilkan senyawa dalam jumlah yang
cukup besar untuk diproduksi secara komersial. (Radji, M., 2011)
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencoba memproduksi
senyawa aktif yang berasal dari tanaman melalui kultur sel tanaman.
Namun upaya tersebut tidak mudah, terutama jika dibiakkan dalam skala
besar. (Radji, M., 2011)

Gambar 7.

Skema kloning, proses dimulai dari transfer gen kedalam


plasmid hingga kultivasi sel host

II.1.3.7 SEKUENSING DNA


Teknik sekuensing DNA mulai dikembangkan pada tahun 1970-an dan
telah menjadi hal rutin dalam penelitian biologi molekular pada dekade
berikutnya berkat dua metode yang dikembangkan secara independen namun
hampir bersamaan oleh tim Walter Gilbert diAmerika Serikat dan tim
Frederick Sanger di Inggris sehingga kedua ilmuwan tersebut mendapatkan
Penghargaan Nobel Kimia pada tahun 1980. Selanjutnya, metode Sanger
menjadi lebih umum digunakan dan berhasil diautomatisasi pada pertengahan

1980-an. Sejak tahun 1995, berbagai proyek genom yang bertujuan


menentukan sekuens keseluruhan DNA pada banyak organisme telah
diselesaikan, termasuk Proyek Genom Manusia. Sekuensing DNA seluruh
genom semakin terjangkau dan cepat dilakukan berkat pengembangan
sejumlah teknik sekuensing generasi berikutnya mulai tahun 2000-an.
(Muladno, 2010)
Pada mulanya, sekuensing DNA dilakukan dengan mentranskripsikannya ke dalam bentuk RNA terlebih dahulu karena metode sekuensing RNA
telah ditemukan sebelumnya. Pada tahun 1965, Robert Holley dan timnya dari
Cornell University di New York, Amerika Serikat, mempublikasikan sekuens
tRNA alanin dari khamir yang terdiri atas 77 nukleotida. Sekuensing tRNA
tersebut membutuhkan waktu 7 tahun dan hasilnya merupakan sekuens
molekul asam nukleat yang pertama kali dipublikasikan. Sekuens DNA yang
pertama kali dipublikasikan adalah DNA sepanjang 12 nukleotida dari suatu
virus, yaitu bakteriofag lambda, pada tahun 1971, yang ditentukan dengan cara
serupa oleh Ray Wu dan Ellen Taylor, keduanya juga dari Cornell University.
(Muladno, 2010)
Pada tahun 1975, Frederick Sanger dan Alan Coulson dari laboratorium
biologi molekular Medical Research Council Inggris di Cambridge
mempublikasikan metode sekuensing DNA secara langsung yang disebut
teknik plusminus. Dengan teknik tersebut, tim mereka berhasil melakukan
sekuensing DNA sebagian besar genom bakteriofag X174 sepanjang 5.375
nukleotida yang dipublikasikan pada Februari 1977. Pada bulan yang sama,
metode sekuensing DNA yang dicetuskan Allan Maxam dan Walter Gilbert
dari Harvard University di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat,
dipublikasikan.
Sejak pertengahan tahun 1980-an, metode Sanger menjadi lebih umum
digunakan. Pada tahun 1986, tim Leroy Hood di California Institute of
Technology dan Applied Biosystems berhasil membuat mesin sekuensing
DNA automatis berdasarkan metode Sanger. (Muladno, 2010)
Sekuensing DNA atau pengurutan DNA adalah proses atau teknik
penentuan urutan basa nukleotida pada suatu molekul DNA. Urutan tersebut
dikenal sebagai sekuens DNA, yang merupakan informasi paling mendasar
suatu gen atau genom karena mengandung instruksi yang dibutuhkan untuk

pembentukan tubuh makhluk hidup. Sekuensing DNA dapat dimanfaatkan


untuk menentukan identitas maupun fungsi gen atau fragmen DNA lainnya
dengan cara membandingkan sekuens-nya dengan sekuens DNA lain yang
sudah diketahui. Teknik ini digunakan dalam riset dasar biologi maupun
berbagai bidang terapan seperti kedokteran, bioteknologi, forensik, dan
antropologi.
Sekuens DNA menyandikan informasi yang diperlukan bagi makhluk
hidup untuk melangsungkan hidup dan berkembang biak. Dengan demikian,
penentuan sekuens DNA berguna di dalam ilmu pengetahuan 'murni' mengenai
mengapa dan bagaimana makhluk hidup dapat hidup, selain berguna dalam
penerapan praktis. Karena DNA merupakan ciri kunci makhluk hidup,
pengetahuan akan sekuens DNA dapat berguna dalam penelitianbiologi
manapun. Sebagai contoh, dalam ilmu pengobatan sekuensing DNA dapat
digunakan untuk mengidentifikasi, mendiagnosis, dan mengembangkan
pengobatan penyakit genetik. Demikian pula halnya, penelitian pada agen
penyebab penyakit (patogen) dapat membuka jalan bagi pengobatan penyakit
menular. Bioteknologi, yang dapat pula memanfaatkan sekuensing DNA,
merupakan bidang yang berkembang pesat dan berpotensi menghasilkan
banyak barang dan jasa berguna. Pengetahuan akan sekuens DNA berguna
untuk mengetahui sekuens asam amino yang disandikan oleh gen.
Karena RNA dibentuk dengan transkripsi dari DNA, informasi yang
dikandung RNA juga terdapat di dalam DNA cetakannya sehingga sekuensing
DNA cetakan tersebut sudah cukup untuk membaca informasi pada RNA.
Namun demikian, sekuensing RNAdibutuhkan khususnya pada eukariota,
karena molekul RNA eukariota tidak selalu sebanding dengan DNA
cetakannya karena pemotongan intron setelah proses transkripsi. (Muladno,
2010)
Metode Maxam-Gilbert
Metode ini mulanya cukup populer karena dapat langsung menggunakan
DNA hasil pemurnian, sedangkan metode Sanger pada waktu itu memerlukan
kloning

untuk

membentuk

DNA

untai

tunggal.

Seiring

dengan

dikembangkannya metode terminasi rantai, metode sekuensing Maxam-Gilbert

menjadi tidak populer karena kerumitan teknisnya, digunakannya bahan kimia


berbahaya, dan kesulitan dalam scale-up.
Pada metode ini fragmen-fragmen DNA yang akan disekuens harus
dilabeli pada salah satu ujungnya, biasanya menggunakan fosfat radioaktif
atau suatu nukleotida pada ujung 3. Metode maxam-Gilbert dapat diterapkan
baik untuk DNA untai ganda maupun DNA untai tunggal dan melibatkan
pemotongan basa spesifik yang dilakukan dalam dua tahap.Molekul DNA
terlebih

dahulu

piperidin.pengaturan

dipotong-potong
masa

inkubasi

secara
atau

parsial

konsentrasi

menggunakan
piperidin

akan

menghasilkan fragmen-fragmen DNA yang bermacam-macam ukurannya.


Selanjutnya, basa dimodifikasi menggunakan bahan-bahan kimia tertentu.
dimetilsulfat (DMS) akan memetilasi basa G, asam format menyerang A dan
G, hidrazin akan menghidrolisis C dan T, tetapi garam yang tinggi akan
menghalangi reaksi T sehingga hanya bekerja pada C. Dengan demikian, akan
dihasilkan empat macam fragmen, masing-masing dengan ujung G, ujung A
atau G, ujung C atau T, dan ujung C. Dari hasil dapat diketahui sekuens
fragmen DNA yang dipelajari atas dasar laju migrasi masing-masing pita.
Lajur kedua berisi fragmen-fragmen yang salah satu ujungnya adalah A atau
G. Untuk memastikannya harus dilihat pita-pita pada lajur pertama. Jika pada
lajur kedua terdapat pita-pita yang posisi migrasinya sama dengan posisi
migrasi pada lajur pertama, maka dapat dipastikan bahwa pita-pita tersebut
merupakan fragmen yang salah satu ujungnya adalah G. Sisanya adalah pitapita yang merupakan fragmen dengan basa A pada salah satu ujungnya. Cara
yang sama dapat kita gunakan untuk memastikan pita-pita pada lajur ketiga,
yaitu dengan membandingkannya dengan pita-pita pada lajur keempat.
(Muladno, 2010)
Seperti halnya pada elektroforesis gel agarosa, laju migrasi pita
menggambarkan ukuran fragmen. Makin kecil ukuran fragmen, makin cepat
migrasinya. Dengan demikian, ukuran fragmen pada contoh tersebut di atas
dapat diurutkan atas dasar laju/posisi migrasinya. Jadi, kalau diurutkan dari
yang terkecil hingga yang terbesar, hasilnya adalah fragmen-fragmen dengan
ujung TTGCCCCGCGTGGCGCAAAGG. Inilah sekuens fragmen DNA yang
dipelajari. (Muladno, 2010)

Metode Sanger
Gel sekuensing metode Sanger yang telah dilabel radioaktif. Dewasa ini
metode sekuensing Maxam-Gilbert sudah sangat jarang digunakan karena ada
metode lain yang jauh lebih praktis, yaitu metode dideoksi yang
dikembangkan oleh A. Sanger dan kawan-kawan pada tahun 1977 juga.
Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah satu subunit
enzim DNA polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua sifat tersebut
adalah kemampuannya untuk menyintesis DNA dengan adanya dNTP dan
ketidakmampuannya untuk membedakan dNTP dengan ddNTP. Jika molekul
dNTP hanya kehilangan gugus hidroksil (OH) pada atom C nomor 2 gula
pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi nukleotida juga mengalami kehilangan
gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga tidak dapat membentuk ikatan
fosfodiester. Artinya, jika ddNTP disambungkan oleh fragmen klenow dengan
suatu molekul DNA, maka polimerisasi lebih lanjut tidak akan terjadi atau
terhenti. Basa yang terdapat pada ujung molekul DNA ini dengan sendirinya
adalah basa yang dibawa oleh molekul ddNTP.
Dengan dasar pemikiran itu sekuensing DNA menggunakan metode
dideoksi dilakukan pada empat reaksi yang terpisah. Keempat reaksi ini berisi
dNTP sehingga polimerisasi DNA dapat berlangsung. Namun, pada masingmasing reaksi juga ditambahkan sedikit ddNTP sehingga kadang-kadang
polimerisasi akan terhenti di tempat -tempat tertentu sesuai dengan ddNTP
yang ditambahkan. Jadi, di dalam tiap reaksi akan dihasilkan sejumlah
fragmen DNA yang ukurannya bervariasi tetapi ujung 3nya selalu berakhir
dengan basa yang sama. Sebagai contoh, dalam reaksi yang mengandung
ddATP akan diperoleh fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran yang
semuanya mempunyai basa A pada ujung 3nya.
Pada Gambar 13.2 diberikan sebuah contoh sekuensing sebuah fragmen
DNA. Tabung ddATP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran tiga dan tujuh
basa; tabung ddCTP menghasilkan tiga fragmen dengan ukuran satu, dua, dan
empat basa; tabung ddGTP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran lima
dan sembilan basa; tabung ddTTP menghasilkan dua fragmen dengan ukuran
enam dan delapan basa. Di depan (arah 5) tiap fragmen ini sebenarnya
terdapat primer, yang berfungsi sebagai prekursor reaksi polimerisasi sekaligus

untuk

kontrol

hasil

sekuensing

karena

urutan

basa

primer

telah

diketahui. (Muladno, 2010)


Untuk melihat ukuran fragmen-fragmen hasil sekuensing tersebut
dilakukan elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid sehingga akan terjadi
perbedaan migrasi sesuai dengan ukurannya masing-masing. Setelah
ukurannya diketahui, dilakukan pengurutan fragmen mulai dari yang paling
pendek hingga yang paling panjang, yaitu fragmen dengan ujung C (satu basa)
hingga fragmen dengan ujung G (sembilan basa). Dengan demikian, hasil
sekuensing yang diperoleh adalah CCACGTATG. Urutan basa DNA yang
dicari adalah urutan yang komplementer dengan hasil sekuensing ini, yaitu
GGTGCATAC.
Seiring dengan perkembangannya, kini terdapat beberapa macam metode
sekuensing terminasi rantai yang berbeda satu sama lain terutama dalam hal
pendeteksian fragmen DNA hasil reaksi sekuensing. (Muladno, 2010)

Gambar 8. Skema Metode Sanger


Metode Sanger asli
Pada metode yang asli, urutan nukleotida DNA tertentu dapat
disimpulkan dengan membuat secara paralel empat reaksi perpanjangan rantai
menggunakan salah satu dari empat jenis basa pemutus rantai pada masingmasing reaksi. Fragmen-fragmen DNA yang kemudian terbentuk dideteksi

dengan menandai (labelling) primer yang digunakan dengan fosfor radioaktif


sebelum reaksi sekuensing dilangsungkan. Keempat hasil reaksi tersebut
kemudian dielektroforesis pada empat lajur yang saling bersebelahan pada gel
poliakrilamida.
Hasil pengembangan metode ini menggunakan empat macam primer
yang ditandai dengan pewarna berpendar (fluorescent dye). Hal ini memiliki
kelebihan karena tidak menggunakan bahan radioaktif; selain menambah
keamanan dan kecepatan, keempat hasil reaksi dapat dicampur dan
dielektroforesis pada satu lajur pada gel. Metode ini dikenal sebagai metode
dye primer sequencing. (Muladno, 2010)
Sekuensing dye terminator
Cara lain pelabelan primer adalah dengan melabel pemutus rantainya,
lazim disebut metode sekuensing dye terminator. Keunggulan cara ini adalah
bahwa seluruh proses sekuensing dapat dilakukan dalam satu reaksi,
dibandingkan

dengan

empat

penggunaan primer berlabel.

reaksi
Pada

terpisah
cara

yang

tersebut,

diperlukan

pada

masing-masing

dideoksinukleotida pemutus rantai ditandai dengan pewarna fluoresens, yang


berpendar pada panjang gelombang yang berbeda-beda. Cara ini lebih mudah
dan lebih cepat dibandingkan penggunaan primer berwarna, namun dapat
menimbulkan ketidaksamaan tinggi kurva atau puncak (peak) yang disebabkan
oleh ketidaksamaan penggabungan pemutus rantai berwarna berukuran besar
pada pertumbuhan DNA (ketidaksamaan tersebut bergantung pada DNA
cetakan). Masalah tersebut telah dapat dikurangi secara nyata dengan
penggunaan macam-macam enzim dan pewarna baru yang meminimalkan
perbedaan dalam penggabungan.
Metode ini kini digunakan pada sebagian besar usaha reaksi sekuensing
karena lebih sederhana dan lebih murah. Primer-primer yang digunakan tidak
perlu dilabel secara terpisah (yang bisa jadi cukup mahal untuk primer yang
dibuat untuk sekali pakai), walaupun hal tersebut tidak terlalu bermasalah
dalam penggunaan universal primer. (Muladno, 2010)
Automatisasi dan penyiapan sampel

Mesin sekuensing DNA automatis modern mampu mengurutkan 384


sampel berlabel fluoresens sekaligus dalam sekali batch (elektroforesis) yang
dapat dilakukan sampai 24 kali sehari. Hal tersebut hanya mencakup proses
pemisahan dan proses pembacaan kurva; reaksi sekuensing, pembersihan, dan
pelarutan ulang dalam larutan penyangga yang sesuai harus dilakukan secara
terpisah. (Muladno, 2010)
Untuk memperoleh hasil reaksi berlabel yang dapat dideteksi dari DNA
cetakan, metode "sekuensing daur" (cycle sequencing) paling lazim dilakukan.
Dalam metode ini dilakukan berturut-turut penempelan primer (primer
annealing), ekstensi oleh polimerase DNA, dan denaturasi (peleburan
atau melting) untai-untai DNA cetakan secara berulang-ulang (2540 putaran).
Kelebihan utama sekuensing daur adalah lebih efisiennya penggunaan pereaksi
sekuensing yang mahal (BigDye) dan mampunya mengurutkan templat dengan
struktur sekunder tertentu seperti hairpin loop atau daerah kaya-GC. Setiap
tahap pada sekuensing daur ditempuh dengan mengubah temperatur reaksi
menggunakan mesin pendaur panas (thermal cycler) PCR. Cara tersebut
didasarkan pada fakta bahwa dua untai DNA yang komplementer akan saling
menempel (berhibridisasi) pada temperatur rendah dan berpisah (terdenaturasi)
pada temperatur tinggi. Hal penting lain yang memungkinkan cara tersebut
adalah penggunaan enzim DNA polimerase dari organisme termofilik
(organisme yang hidup di lingkungan bertemperatur tinggi), yang tidak mudah
terurai pada temperatur tinggi yang digunakan pada cara tersebut (>95C).
(Muladno, 2010)
Sekuensing generasi berikutnya
Pyrosequencing
Pyrosequencing adalah teknik pemetaan DNA yang berdasarkan deteksi
terhadap pirofosfat (PPi) yang dilepaskan selama sintesis DNA. Teknik ini
memanfaatkan reaksi enzimatik yang dikatalisis oleh ATP sulfurilase dan
luciferase

untuk

pirofosfat

inorganik

penambahan nukleotida. (Muladno, 2010)


Sekuensing DNA skala besar

yang

dilepaskan

selama

Metode sekuensing DNA yang kini ada hanya dapat merunut sepotong
pendek DNA sekaligus. Contohnya, mesin sekuensing modern yang
menggunakan metode Sanger hanya dapat mencakup paling banyak sekitar
1000 pasang basa setiap sekuensing. Keterbatasan ini disebabkan oleh
probabilitas terminasi rantai yang menurun secara geometris seiring dengan
bertambahnya panjang rantai, selain keterbatasan fisik ukuran dan resolusi gel.
Sekuens DNA dengan ukuran jauh lebih besar kerap kali dibutuhkan.
Sebagai contoh,genom bakteri sederhana dapat mengandung jutaan pasang
basa, sedangkan genom manusia terdiri atas lebih dari 3 milyar pasang basa.
Berbagai strategi telah dikembangkan untuk sekuensing DNA skala besar,
termasuk strategi primer walking dan shotgun sequencing. Kedua strategi
tersebut melibatkan pembacaan banyak bagian DNA dengan metode Sanger
dan selanjutnya menyusun hasil pembacaan tersebut menjadi sekuens yang
runut. Masing-masing strategi memiliki kelemahan sendiri dalam hal
kecepatan dan ketepatan; sebagai contoh, metode shotgun sequencing
merupakan metode yang paling praktis untuk sekuensing genom ukuran besar,
namun proses penyusunannya rumit dan rentan kesalahan. (Sirica, 1996;
Muladno, 2010)
Data sekuens bermutu tinggi lebih mudah didapatkan bila DNA
bersangkutan dimurnikan dari pencemar yang mungkin terdapat pada sampel
dan diamplifikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan metode reaksi berantai
polimerase bila primer yang dibutuhkan untuk mencakup seluruh daerah yang
diinginkan cukup praktis dibuat. Cara lainnya adalah dengan kloning DNA
sampel menggunakan vektor bakteri, yaitu memanfaatkan bakteri untuk
"menumbuhkan" salinan DNA yang diinginkan sebanyak beberapa ribu pasang
basa sekaligus. Biasanya proyek-proyek sekuensing DNA skala besar memiliki
persediaan pustaka hasil kloning semacam itu. (Sirica, 1996; Muladno, 2010)

Gambar 9. Skema teknik kromosom berjalan

II.2

IDENTIFIKASI SEKUENS YANG TELAH TERKODEKAN


II.2.1 Teknik Hibridisasi
Dalam biologi molekular, hibridisasi adalah pembentukan ikatan dupleks
stabil antara dua rangkaian nukleotida yang saling komplementer melalu
perpasangan basa N. Hibridisasi dapat menunjukkan suatu keseragaman sekuens.
Pasangan DNADNA, DNARNA, atau RNARNA dapat terbentuk melalui
proses ini.
Hibridisasi DNADNA (Hibridisasi Southern) terbentuk dalam Southern
blotting sedangkan hibridisasi DNARNA (Hibridisasi Northern) terbentuk
dalam Northern blotting.
1. Hibridisasi Southern
Hibridisasi Southern adalah proses perpasangan antara DNA yang menjadi
sasaran dan DNA pelacak. Hibridisasi southern biasa digunakan untuk
melacak adanya DNA yang sesuai dengan pelacak, misalnya untuk mengetahui
integrasi transgen di dalam organisme transgenik.
Berdasarkan prinsipnya, hibridisasi southern dapat dibagi ke dalam 4
tahap, yaitu :
(1) Fiksasi DNA di membran (nitroselulosa atau nilon)
(2) Pelabelan pelacak
(3) Prehibridisasi dan hibridisasi
(4) Deteksi hasil hibridisasi
Fiksasi DNA di membran dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu
(1) Penetesan DNA (dot blot) langsung di membran
(2) Fiksasi DNA bakteri replika (plasmid rekombinan) di membran
(3) Fiksasi DNA fage rekombinan dari satu replika plak di membran
(4) Transfer DNA dari gel agarose (yang sebelumnya telah dimigrasikan
dengan elektroforesis) ke membran.
Membran

yang

dipergunakan

untuk

memfiksasi

DNA biasanya

menggunakan membran nilon karena lebih kuat daripada membran


nitroselulosa. Dot blot dan hibridisasi terhadap DNA replika hanya dapat
digunakan untuk mendeteksi keberadaan DNA tetapi tidak dapat mengetahui
ukurannya. Sebaliknya, hibridisasi southern terhadap DNA yang difiksasi ke

membran dengan cara transfer melalui metode southern (southern blotting)


dapat diketahui ukuran DNA targetnya (Suharsono dan Widyastuti, 2006).
Pelacak dapat diperbanyak melalui beberapa metode sebagai berikut :
perbanyakan plasmid yang dilanjutkan dengan isolasi fragment DNA yang
diinginkan melalui elusi atau dengan PCR dengan menggunakan primer yang
spesifik. Berbagai bahan dan cara telah dikembangkan untuk melabel pelacak.
Pada dasarnya bahan untuk melabel DNA pelacak dapat dibagi ke dalam dua
kelompok, yaitu (1) bahan radioaktif (radioisotop) seperti 32P, 33P, 3H; dan
(2) bahan non radioaktif seperti digoxigenin, biotin, ECL, dan alkalin fosfatase
(AlkPhos). Radioisotop sangat sensitif untuk digunakan dalam hibridisasi
southern, tetapi membutuhkan fasilitas yang canggih dan keamanan yang
harus dijaga dengan ketat. Oleh karena itu, pemilihan bahan nonradioisotop
menjadi sangat menarik karena dampak lingkungannya lebih ringan
dibandingkan

dengan

sensitifitasnya

lebih

menggunakan
rendah

bahan

dibandingkan

radioisotop

dengan

bahan

walaupun
radioisotop

(Suharsono dan Widyastuti, 2006).


Hibridisasi southern dibentuk dalam Southern Blotting. Southern Blotting
atau Blot Southern merupakan proses perpindahan fragmen DNA yang
terpisah secara elektroforesis dari gel ke membran. Metode ini diambil dari
nama penemunya yaitu Edward M. Southern. Prinsipnya adalah kapilaritas,
dimana bufer yang merupakan fase gerak diasumsikan akan membawa
fragmen DNA dari gel ke membran. Karena muatan DNA negatif sedangkan
muatan membran positif maka fragmen DNA akan menempel (blot) pada
membran. Membran yang digunakan pada proses blot southern adalah
membran nitroselulosa.

Gambar 10. Skema Teknik Southern Blot


2. Hibridisasi Nothern
Northern Blot atau RNA Blot dikenalkan pertama kali pada tahun
1977, dua tahun setelah teknik Southern Blot. Sebenarnya secara umum teknik
ini mirip dengan Southern Blot. Yang membedakan adalah sampel yang
digunakan, yaitu RNA. Dan yang perlu diingat adalah pada umumnya RNA
lebih mudah terdegradasi, sehingga sebisa mungkin tangan kita tidak
bersentuhan langsung dengan sampel RNA. Maka dari itulah, saat bekerja
Northern Blot diharuskan memakai kaos tangan, bahkan masker. Teknik ini
digunakan untuk melihat ekspresi (transkripsi) suatu mRNA (gen) pada organ
atau jaringan tertentu, seperti daun, bunga, biji, batang, dan lain sebagainya.
Hibridisasi northern merupakan modifikasi dari hibridisasi southern.
Namun, target dari hibridisasi northern adalah RNA yang telah dipisahkan
dengan elektroforesis gel agrosa menggunakan pelacak DNA berlabel.
Hibridisasi northern dibentuk dalam Northern Blotting. Northern Blotting
merupakan teknik yang digunakan dalam penelitian biologi molekuler untuk
mempelajari ekspresi gen dengan deteksi RNA (mRNA atau terisolasi) dalam
sampel. Flow diagram menguraikan prosedur umum untuk deteksi RNA oleh
utara blotting.
Nothern blotting adalah untuk mengamati kontrol selular atas struktur dan
fungsi dengan menentukan tingkat ekspresi gen tertentu selama diferensiasi,
morfogenesis, serta kondisi tidak normal atau sakit. Northern blotting
melibatkan penggunaan elektroforesis untuk sampel RNA yang terpisah
dengan ukuran dan deteksi dengan probe hibridisasi melengkapi sebagian atau
seluruh urutan target. 'Blot Utara' istilah sebenarnya mengacu khusus untuk
transfer kapiler dari RNA dari gel elektroforesis ke membran blotting.
Namun, seluruh proses sering disebut sebagai Northern blotting. Teknik
blot Utara dikembangkan pada tahun 1977 oleh James Alwine, David Kemp,
dan George Stark di Stanford University blotting Utara mengambil nama dari
kesamaannya dengan teknik blotting pertama, Southern blot, nama untuk
biologi Edwin Southern. Perbedaan utama adalah bahwa RNA, bukan DNA,
dianalisis di blot utara. (Suharsono dan Widyastuti, 2006).

Gambar 11. Skema teknik Northern Blot


II.2.1.1. PROSES HIBRIDISASI
1. Southern Blotting
Tahap awal dari metode Blot Southern adalah pendigestian DNA
dengan enzim restriksi endonuklease sehingga terbentuk fragmenfragmen DNA yang lebih kecil. Kemudian DNA dipisahkan sesuai
ukuran dengan elektroforesis agarosa. Setelah DNA terpisah, dilakukan
pemindahan DNA ke membran nitroselulosa, tahap ini disebut dengan
tahap blotting.
Membran nitroselulosa diletakkan pada bagian atas dari gel
agarosa. Pada teknik blotting dengan menggunakan vakum, membran
diletakkan pada bagian bawah gel. Tekanan diberikan secara merata
pada gel untuk memastikan terjadi kontak antara gel dengan membran.
Proses transfer berlangsung dengan memanfaatkan daya kapilaritas.
Setelah DNA ditransfer ke gel, membran nitroselulosa dipanaskan
dengan suhu tinggi (60oC-100oC) kemudian membran diberi radiasi UV
agar terbentuk ikatan kovalen dan permanen antara pita-pita DNA
dengan membran. Lalu, membran dicampur dengan probe (pelacak)
yang telah dilabel radioaktif, tetapi dapat juga digunakan label
nonradioaktif yang dapat berpendar. Probe yang digunakan adalah
DNA utas tunggal yang memiliki sekuen yang akan dideteksi. Probe
diinkubasi dengan membran agar dapat berhibridisasi dengan DNA
yang ada pada membran.

Setelah proses hibridisasi, probe yang tidak terikat dicuci dari


membran sehingga yang tinggal hanya probe yang hibrid dengan DNA
di membran. Pola hibridisasi kemudian dideteksi dengan visualisasi
pada film X-ray melalui autoradiografi. (Suharsono dan Widyastuti,
2006)
2. Northern Blotting
Tahapan umum northern blot :
a) Isolasi RNA
Dapat dilakukan dengan cara :
Lisis membran Seluler
Penghambatan aktivitas ribonuklease
Deproteinasi
Recovery intact RNA
b) Denaturasi dan elektroforesis gel agarosa
Dapat dilakukan dengan cara : Formaldehida biasa digunakan secara
tradisional sebagai denaturan, meskipun sistem glyoxal memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan formaldehida
c) Transfer ke support solid dan imobilisasi
Dapat dilakukan dengan cara :
RNA ditransfer ke membran nilon bermuatan positif dan
kemudian bergerak selama hibridisasi berikutnya.
Metode berteknologi rendah terbaik untuk transfer agarosa adalah
dengan elusi, pasif sedikit basa, ke bawah.
Prosedur ini, dibandingkan dengan mentransfer ke atas, jauh
lebih cepat dan karena itu menghasilkan pita-pita yang lebih ketat
dan sinyal yang lebih. Atau, cara transfer yang tersedia secara
komersial aktif (electroblotter, semidry electroblotter, vakum
tinta, tinta tekanan, dll) dapat digunakan.
Setelah RNA ditransfer, membran harus segera disiapkan untuk
Crosslink RNA. Hal ini dapat dilakukan oleh sinar ultraviolet
(metode yang disukai) atau dengan dipanggang.
d) Prehybridization dan hibridisasi dengan probe
Prehybridization
Prehybridisasi atau memblokir, diperlukan

sebelum

menyelidiki hibridisasi untuk mencegah probe dari lapisan

membran. Blocking yang baik diperlukan untuk meminimalkan


masalah background.
Hibridisasi Probes
Dapat dilakukan dengan cara :
1) Hibridisasi asam nukleat mensyaratkan bahwa probe ini
melengkapi semua, atau sebagian, dari urutan mRNA target.
2) Secara
umum,
ukuran
minimum
untuk
probe
untukmemastikan spesifisitas adalah sekitar dua puluh lima
basa, memberikan bahwa ada kecocokan lengkap antara
urutanprobe dan urutan dari mRNA target,
3) Ada
dua
bentuk
utama
probe
pendekatantradisional
komplementer

yang

(cDNA).Atau,

hibridisasi,

menggunakan
anti-sense

DNA

oligonukleotida

(umumnya30-40 basa) dapat dirancang dari data urutan dan


disintesis.
4) Oligonukleotida, seperti cDNA, adalah molekul DNA yang
tetapi 'riboprobes' basa RNA nya dapat digunakan.
5) Riboprobes dapat meningkatkan sensitivitas dibandingkan
dengan probe DNA, tetapi mereka kurang stabil dalam arti
menjadi subyek dengan kerusakan oleh RNA.
Beberapa hal yang membedakan dengan Southern blotting adalah:
1. RNA jauh lebih rentan terhadap degradasi dibanding DNA, oleh
karena itu elektroforesis dilakukan dalam bufer yang mengandung
zat kimia yang bersifat melindungi (biasanya formaldehid)
2. RNA sudah berupa untai tunggal dan membutuhkan kondisi
denaturasi yang lebih ringan.
3. RNA biasanya berukuran tertentu sehingga tidak memelukan
digesti enzim untuk memperoleh pola pita. Kedua prosedur sangat
mirip karena setelah elektroforesis RNA juga ditransfer ke
membran melalui difusi kapilaritas. Biasanya sinar UVdigunakan
untuk mengikat (crosslink) RNA pada membran sehingga tidak
bergerak (imobilisasi). (Suharsono dan Widyastuti, 2006)
II.2.1.2. STRATEGI HIBRIDISASI
Prinsip dari strategi hibridisasi adalah terjadinya pasangan secara
tepat antara dua untai DNA yang komplemen. Komponen utama dari

strategi hibridisasi ada tiga, diantaranya DNA pelacak, DNA target, dan
deteksi sinyal. Tahapan dari strategi hibridisasi, diantaranya :
1. Terjadinya pasangan secara tepat antara dua untai DNA yang
komplemen
2. Penambahan DNA pelacak untai tunggal yang telah berlabel pada
kondisi tertentu (suhu dan konsentrasi ion) supaya terjadi pasangan
antara DNA target dan pelacak;
3. Pencucian untuk menghilangkan kelebihan pelacak yang tidak
menempel pada DNA target yang spesifik;
4. Deteksi adanya hibrid antara DNA target dan pelacak

Gambar 12. Skema proses hibridisasi


II.2.1.2. APLIKASI HIBRIDISASI
Teknik Southern Blot telah digunakan dalam berbagai aplikasi di
bidang kesehatan maupun pada rekayasa genetika. Salah satunya
digunakan untuk menganalisis sistem major histokompatibilitas pada tikus
dan menganalisis penyusunan klon dari gen T-cell receptor penyakit luka
yang diakibatkan oleh mikosis dari fungoides. Diterapkan dalam :
1. Mencari informasi letak suatu fragmen DNA dalam genom
2. Analisis transkipsi dan regulasi DNA
3. Deteksi penyakit genetik dan sidik jari DNA
Northern blot digunakan untuk mempelajari pola ekspresi dari jenis
tertentu molekul RNA sebagai perbandingan relatif antara set sampel yang

berbeda dari RNA. Ini pada dasarnya adalah kombinasi dari denaturasi
RNA elektroforesis gel, dan sebuah pewarnaan. (Suharsono dan
Widyastuti, 2006)
II.2.2 HTF Islands
HTF islands, yang teriri dari kluster situs HpaII yang tidak termetilasi,
terdapat pada sekitar 1 persen dari genom vertebrata. Genom mamalia yang
haploid, mengandung sekitar 30.000 dari islands ini, dan masing-masing island
biasanya memiliki panjang sekitar 1 hingga 2 kb. Setiap island terdiri dari Cp-G
yang kaya akan unatian dari DNA (pengenalan situs dari Hpa II adalah CCGG),
dan banyak telah ditemukan berkaitan dengan gen, terutama pada ujung 5 dari
rantai gen.
Sebuah strategi untuk isolasi klon genom mengandung HTF islands
digunakan untuk mencari gen Cystic Fibrosis. Untuk mengisolasi klon yang
diambil dari wilayah kaya CpG non metilasi, sebuah vektor cosmid dibuat
menggunakan enzim restriksi pemotong yang langka, yang sensitif untuk
metilasi. DNA genom yang digunakan untuk menyusun data, diisolasi dari sel
hibrid ang membawa bagian dari gen manusia di mana gen Cystic Fibrosis telah
terpetakan. DNA tersebut kemudian dihancurkan menggunakan enzim Hind III
dan Xma III, yang akan mengenali sekuens CGGCCG. Dan fragmen DNA akhir
akan difraksionasi dan ligasi ke dalam vektor cosmid yang telah dipersiapkan
dengan menggunakan penghancuran dari Hind III dan Not I, yang menghasilkan
ujung kompatibel dengan yang dihasilkan oleh Xma III. Klon yang mengandung
sekuens manusia kemudian diisolasi dengan cara skreening dengann DNA
manusia yang terlabel. (Sirica, 1996)
II.2.3 Exon Trapping
Teknik lain untuk identifikasi dari wilayah pengkodean dari gen DNA yang
terklon disebut juga exon trapping. Teknik ini menggunakan peralatan pemotong
RNA yang sangat spesifik dari sel eukariotik untuk mengidentifikasi sekuens klon
yang mengandung exon. Untuk melakukan prosedur ini, gen DNA yang terklon
akan dihancurkan dengan satu atau lebih dari enzim restriksi, fraksionasi, dan
ligasi ke dalam vektor exon trapping. Vektor ini secara dasar adalah sebuah
plasmid atau vektor klon fag yang telah dimodifikasi dengan penambahan dari

unit transkripsi eukaryotik. Meskipun struktur persisnya bervariasi antara vektor


tersebut, unit transkripsi ini akan selalu melibatkan adanya intron yang memiliki
enzim restriksi situs pengenalan ke dalam gen DNA terklon yang diinsersikan.
Sejak exon trapping dikenalkan, sejumlah modifikasi dari teknik ini telah
dilaporkan. Yakni meliputi metode untuk pengurangan frekuensi dari positif palsu
dan juga negatif palsu dan juga meningkatkan kompleksitas dari DNA yang dapat
dilakukan skreen untuk exon. Penggunaan vektor lambda phage telah digunakan
untuk melakukan exon trapping yanng meliputi seluruh gen manusia. Dengan
melakukan skreen menggunakan probe yang sesuai, klon yang merepresentasikan
wilayah subkromosomal tertentu dapat diisolasikan dengan data ini. Klon ini
kemudian dapat dianalisa secara individual dengan keberadaan exon, dengan
transfeksi ke dalam sel eukaryotik. (Sirica, 1996)
II.3 MODEL BINATANG COBA UNTUK PENYAKIT GENETIK MANUSIA
Binatang coba merupakan alat eksperimen yang sangat berharga sepanjang
sejarah ilmu pengetahuan biologi. Selain digunakan untuk mempelajari berbagai proses
ilmiah yang terjadi secara biologis, binatang coba juga membantu untuk memahami
proses patologis dari penyakit manusia. Pendekatan untuk menggunakan model
binatang coba tikus dalam kelainan keturunan dibagi menjadi 4 tipe:
1. Pemilihan tikus yang berdasarkan analisa fenotipe setelah pemaparan mutasi
dengan proses yang secara penuh acak
2. Pemilihan tikus yang berdasarkan fenotipe patologis dominan yang dihasilkan
dari ekspresi akibat transgen yang diintegrasikan pada tempat yang acak
3. Enchancer trapping atau Gene Trapping, pemilihan tikus berdasarkan seleksi
mutasi yang telah menginterupsi pengkodean atau elemen regulasi dari gen
yang belum teriidentifikasi sebelum dilakukannya analisa fenotipe
4. Gene targeting, pemilihan tikus berdasarkan seleksi akan mutasi yang telah
ditargetkan pada gen tertentu yang dilakukan sebelum analisa fenotipe.

II.3.1. Model Binatang Coba dari seleksi fenotipe setelah mutagenesis acak
Sejumlah binatang coba tikus dengan penyakit manusia dipilih berdasarkan
seleksi fenotipe yang membawa fenotipe yang diakibatkan proses acak (Gambar 6).
Pada beberapa kasus, mutasi ini muncul secara spontan, sedangkan pada beberapa
kasus muncul akibat dari usaha para peneliti untuk secara sengaja merubah gen
tikus. Namun pada seluruh kasus, tikus yang termutasi tersebut diseleksi
berdasarkan pada kenyataan dimana menampilkan fenotipe yang memiliki
kesamaan dari penyakit manusia. (Sirica, 1996)

Gambar 13. Pembuatan model binatang coba dengan mutagenesis acak


II.3.2. Model binatang coba ekspresi akibat mutasi dari transgen
Model binatang coba tikus yang memiliki kelainan keturunan dominan
dihasilkan dari ekspresi sebuah transgen yang telah diinsersikan secara acak ke
dalam gen tikus setelah injeksi pronuklear. Salah satu contoh cara ini adalah
prosuksi dari model binatang coba tikus untuk penyakit keturunan osteogenesis

imperfecta tipe II. Pada manusia, penyakit ini telah ditemukan berkaitan dengan
substitusi dari residu kolagen tunggal dari 1 . Ketika gen mutan kolagen 1 ke
dalam substitusi spesifik glysin telah dibuat untuk memasukkannya ke dalam gen
tikus melalui injeksi pronuklear, hasil dari tikus transgenik menunjukkan fenotipe
dominan letal yang memiliki karakteristik penyakit manusia. Pada contoh lain dari
teknik ini, seeksor tikus menghasilkan sel sabit hemoglobin yang dihasilkan dari
injeksi pronuklear dari gen globin alpha dan beta dari manusia. Tikus tersebut
kemudian dikawinkan dan secara alami menghasilkan tikus dengan thalasemia
untuk menurunkan tingkat hemoglobin dari tikus. Tikus tersebut menunjukkan
beberapa gejala dari anemia sel sabit, termasuk bentukan sabit dari sel darah merah
sehingga terjadi deoksigenasi. (Sirica, 1996)

Gambar 14. Pembuatan model binatang coba ekspresi akibat mutasi dari transgen
II.3.3. Model Binatang Coba dengan melakukan Enchancer Trapping atau Gene
Trapping
Hanya 5 hingga 10 persen dari mutasi insersional pada tikus dapat
menghasilkan fenotipe yang dapat terlihat. Hal ini, dikarenakan, fakta bahwa

umumnya gen mamalia terdiri dari sekuens intergenik. Diperkirakan bahwa


sebagian besar dari mutasi insersional acak tidak menginterupsi gen, sehingga tidak
memberikan efek pada fenotipe. Namun, kedua metode telah dikembangkan untuk
meningkatkan efisiensi dari mutagenesis insersional dengan memilih tikus di mana
DNA eksogenusnya telah diinsersikan ke dalam bagian regulator atau pengkodean
dari gen. Teknik ini bergantung pada vektor yang mengandung gen penanda yang
hanya terekspresi jika diintegrasikan di dalam atau dekat dengan gen endogenus.
Pada salah satu teknik tersebut, disebut juga enhancer trapping (Gambar 8),
sebuah penanda gen lacZ dikendalikan dengan sebuah promoter lemah, sehingga
hanya akan menampilkan ekspresi yang efisien jika terintegrasi pada elemen
regulasi gen. Teknik ini secara umum cukup efisien sehingga transgen hanya dapat
diintroduksikan pada embrio tikus dengan infeksi retroviral atau injeksi pronuklear.
Embrio yanng membawa mutasi insersional digunakan untuk menghasilkan
deretan tikus, dan analisa genetik yang rinci dilakukan hanya pada deretan tikus
yang menunjukkan kadar tinggi dari ekspresi -galaktosidase dari penanda gen.
Metode ini memiliki kekurangan yakni insersi dari DNA eksogenus yang dekat
dengan elemen regulatorr bisa jadi tidak mempengaruhi fungsi dari gen yang
berkaitan.. Masalah ini dapat diatasi dengan teknik lain.
Teknik lain untuk mengatasi hal diatas, disebut gene trapping atau promotoer
trapping (Gambar 8), juga bergantung pada ekspresi dari gen penanda untuk
memilih tipe yang khusus dari kejadian insersi, namun pada kasus ini, seleksi
dilakukan pada kejadian di mana penanda telah secara nyata diinsersikan ke dalam
wilayah pengkodean dari gen. Hal ini dilakukan dengan menggunakan vektor yang
di dalamnya situs potongan donor atau resipien telah terlokasikan bersambungan
dengan gen penanda, sehingga penanda memberikan ekspresi hanya pada kasus di
mana integrasi terjadi di dalam wilayah pengkodean dari gen. Teknik ini memiliki
kekurangan yakni relatif kecil persentasinya dari kejadian insersional akan
memberikan ekspresi dari gen penanda. Pada kenyataannya, frekuensi relatif
rendah tersebut yang dihasilkan dari insersi produktif, pada umumnya membuat
teknik ini terlalu tidak efisien untuk dilakukan dengan injeksi pronuclear ataupun
infeksi retroviral pada embrio tikus, melainkan seleksi dari mutasi insersional yang
menghasilkan ekspresi penanda gen telah dibawa sebelum dihasilkannya deretan
tikus yang membawa mutasi ini. Hal ini dicapai dengan menghasilkan vektor genetrapping ke dalamsel Embryonic Stem (ES). (Sirica, 1996)

Sel ES adalah deretan sel stem yang pluripoten yang diambil dari embrio
tikus yang dikultur secara in vivo pada saat fase perkembangan blastocyst. Derean
sel ES didapat dengan memindahkan blastocyst ke dalam piringan kultur jaringan
yang dibibitkan dengan menggunakan lapisan feeder dari fibroblast embrionik
primer atau firoblast embrionik yang telah terbentuk. Pada kondisi ini, embrio akan
terus berkembang, menetas dari zona pellucida dan melekat pada lapisan feeder.
Begitu sel trophectoderm telah menyebar, massa bagian dalam dari sel-sel tersebut
akan tereksposi dengan lapisan feeder dan mulai berproliferasi, membentuk
segumpalan kecil dari sel. Sel-sel ini, yang secara normal akan tumbuh dan
berkembang secara normal sebagai embrio dapat dipisahkan dari sel-sel
trophectodermnya dan diperluas. Setelah beberapa minggu, pertumbuhan dari
kultur, sel-sel ini seringkali mencapai titik di mana dapaat dipropaagasikan
menggunakan teknik kultur jaringan. Dengan kondisi kultur jaringan yang sesuai,
sebuah deretan sel ES yang terbentuk dengan teknik ini dapat dijaga pada keadaan
pluripoten, belum terdiferensiasi, dan keadaan euploid.
Kepentingan utama dari sel ES ini dalam riset biologis adalah fakta bahwa
sel-sel tersebut dapat dikultur dan dimanipulasi secara in vitro dengan cara yang
serupa pada sel kultur jaringan lainnya. Namun, ketika dikembalikan pada
blastocyst untuk perkembangan selanjutnya in vivo, mereka dapat memberikan
peningkatan pada chimera fertil yang dapat menyebarkan gen sel ES yang secara
potensial dapat digunakan ke dalam gen untuk seluruh tikus. Keunggulan dari rute
transgenesis ini adalah kejadian genetik yang langka, seperti gene trapping, dapaat
diidentifikasi dalam kultur dan diisolasi sebelum dimasukkan ke dalam embrio.
(Sirica, 1996)
Untuk melakukan gene trapping, vektor nya pertama-tama dimasukkan ke
dalam sel ES. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, termasuk injeksi
mikro, infeksi retroviral, atau elektroporasi. Sel-sel ES yang tertransfeksi kemudian
dibiarkan bertumbuh dan membelah di dalam kultur, di mana seleksi untuk
ekspresi dari gen penanda yang diinsersikan dilaksanakan. Vektor gene trapping
dapat melibatkan penanda, seperti contohnya gen resisten neomycin, yang
melibatkan sejumlah besar dari sel ES untuk dilakukan skreen atas ekspresi
penanda berdasarkan tingkat survavibilitas pada sebuah media penumbuh tertentu.
Seleksi dari sel ES memberikan ekspresi dari gen penanda lacZ dengan pengurutan
sel teraktivasi fluorescence telah dilaporkan. Begitu sel klon ES memberikan

ekspresi gen penanda dan telah teridentifikasi, selanjutnya dapat diinjeksikan ke


dalam blastocyst untuk menghasilkan deretan tikus yang membawa mutasi
insersional yang sama. Menurut hasil penelitian dikatakan bahwa dapat dihasilkan
melebihi 1/3 deretan tikus yang sesuai harapan, dengan menggunakan metoe ini
yang menganndung gen inaktivasi.
Namun teknik ini memiliki kelemahan yakni gen inaktivasi tidak dapat
dipilih sebelum eksperimen. Padahal hal ini merupakan hal yang penting untuk
studi dari kelainan keturunan. Oleh karena itu, karena penyakit baru
mengakibatkan mutasi telah teridentifikasi dalam manusia, hal ini menjadi
keinginan untuk dapat menghasilkan tikus yag mengandung mutasi berkaitan
secepat mungkin, daripada hanya berharap pada mutasi serupa yang akan
kemudian diproduksi melalui gene trapping. Sebagai tambahan, gene trapping
tidak diperbolehkan memasukkan mutasi subtle, seperti yang bertanggung jawab
atas anemia sel sabit. (Sirica, 1996)

Gambar 14. Pembuatan model binatang coba dengan Enhancer Trapping atau Gene Trapping
II.3.4. Model Binatang Coba dengan melakukan Gene Targeting
Perkembangan di bidang ilmu rekombinasi homolog dan manipulasi sel ES
telah membuat menjadi mungkin untuk merubah sebuah situs yang terseleksi
dalam gen tikus dengan menghapus sekuens endogenus, menginsersikan DNA
eksogen ataupun penggantian sekuens endogenus dengan eksogenus DNA.
Keunggulan dari teknik ini (Gene Targeting) berawal dari fakta bahwa dapat
digunakan untuk memodifikasi atau menginaktivasi dari elemen fungsional yang
ada sebelumnya pada lokasi yang tepat dalam gen tikus. Gene Targeting
memberikan alat yang kuat untuk analisa in vivo dari fenomena biologis yang
kompleks, termasuk banyak penyakit genetik, yang saat ini sulit atau tidak
mungkin untuk dilakukan in vitro.

Untuk menghasilkan deretan tikus yang membawa mutasi yang tertarget,


mutasi yang diinginkan pertama-tama dimasukkan ke dalam gen tikus pada deretan
sel ES dengan rekombinasi homolog. Sel ES yang tertarget kemudian akan
digunakan untuk membuat deretan tikus yang membawa mutasi yang diinginkan.
(Sirica, 1996)

Gambar 15. Pembuatan model binatang coba dengan Gene Trapping

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Khairul. Laporan Praktikum Rekayasa Genetika Laporan III (DNA Rekombinan).
Program Studi Bioteknologi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 2010
Buletin Konservasi Biodiversitas Raja4 Vol. 2 No. 11. 2013. Enzim Restriksi. FPPK UNIPA.
(diakses

dari

http://ibcraja4.org/assets/file/Buletin6November2013.pdf

pada

14

September 2014 pukul 18.09 WIB)


Freshney, R. I. (n.d.). Culture of Animal Cells; A Manual of Basic Technique. Wiley. 10.
Berg, H. C. (2003). E. coli in Motion. Springer: USA.

Hirma, Ratna Dwi., Hariyati., dan Yuniati, Afrina. 2008. Pemotongan Molekul DNA
Menggunakan Enzim Restriksi Endonuklease dan Pengukuran Besarnya Pasangan
Basa

dari

Fragmen

yang

Terpotong.

(diakses

dari

https://23bios1unsoed.files.wordpress.com/ 2008/11/k04-td-04-b1j006019.pdf pada 11


September 2014 pukul 19.01 WIB)
Howe, Christopher. 2007. Gene Cloning and Manipulation. New York: Cambridge University
Press
Jamsari, Yusniwati, dan Syukriani, Lily.nd.Bahan Ajar Rekayasa Genetika. (diakses dari
http://faperta.unand.ac.id/deposit/BahanAjarRekayasaGenetika.pdf pada 12 September
pukul 21.00 WIB)
Kayser, O., dan Muller, R.H. (2004). Pharmaceutical Biotechnology; Drug Discovery and
Clinical Applications. Willey-VCH: German.
Muladno. (2010). Teknologi rekayasa Genetika. IPB Press: Bogor.
Np.nd.DNA

Ligase.

(diakses

dari

http://www.biochem.umd.edu/biochem/kahn/

molmachines/replication/DNA%20Ligase.htm pada 13 September 2014 pukul 20.00


WIB)
Old, R.W., dan Primrose, S.B. (2003). Prinsip-prinsip Manipulasi Gen; Pengantar Rekayasa
Genetika (penterjemah: Herawati Susilo). UI Press: Jakarta.
Oswald, Nick.2007.The Basics: How Does DNA Ligase Work?. (diakses dari
http://bitesizebio.com/10279/the-basics-how-does-dna-ligation-work/ pada 13 september
2014 pukul 19.35 WIB)
Primrose. Principles of Gene Manipulation 6 Edition. Blackwell Science. UK. 2001
Primrose. Sandy B., Twyman, Richard M., dan Old, Robert W. 2001. Principle of Gene
Manipulation 6th edition. Blackwell Science Ltd.
Radji, M. (2011). Rekayasa Genetika; Pengantar untuk Profesi Kesehatan. Sagung Seto:
Jakarta. 5. Sudjadi. (2008). Bioteknologi Kesehatan. Kanisius: Yogyakarta.
Sirica, Alphonse E., 1996. Cellular and Molecular Pathogenesis. LippincotRaven Publishers. Philadelphia. Page 462-499.
Sudjadi, Prof., Drs,., Apt., MS., Ph.D. 2008. Bioteknologi Kesehatan.
Yogyakarta : Kanisius
Suharsono dan Widyastuti, Utut. 2006. Pelatihan Singkat Teknik Dasar
Pengklonan

Gen.

Pusat

Penelitian

Sumberdaya

Hayati

dan

Bioteknologi Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat


IPB dengan DIKTI DIKNAS, Bogor.
Sumastri.2005.Rekayasa Genetika.Bandung. (diakses dari http://www.p4tkipa.net/modul/
Tahun2005/SMK/Biologi/Rekayasa%20Genetika.pdf pada 12 September 2014 pukul
20.15 WIB)
Thermo Science. (2009). Thermo Scientific Pierce Cell Lysis Technical Handbook; Featuring
Cell Lysis Reagent and Detergents, Ver.2.
Walsh, G. (2007). Pharmaceutical Biotechnology; Concepts and Application. Wiley: England.
Watson, J. D., Tooze, J., dan Kurtz., D. (2003). DNA Rekombinan (penterjemah: Wisnu
Gunarso). Erlangga: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai