Referat Aspek Medikolegal Bayi Tabung
Referat Aspek Medikolegal Bayi Tabung
Referat Aspek Medikolegal Bayi Tabung
PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi dan biomedis telah
membuka jalan untuk potensi keuntungan yang sangat besar bagi pengobatan dan
bagi manusia pada umumnya. Seiring dengan perkembangan ini, telah muncul
banyak isu etik dan legal yang pada awalnya belum terpikirkan. Salah satu
perkembangan teknologi yang cukup banyak mengundang isu etik dan legal di
dalamnya adalah teknologi dalam bidang reproduksi.
Infertilitas adalah suatu kondisi dimana pasangan suami-istri belum mampu
memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2-3 kali
seminggu dalam kurun waktu 1 tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi
dalam bentuk apapun. Menurut WHO dari seluruh dunia sekitar 50-80 juta pasangan
suami istri mempunyai masalah dengan infertilitasnya, dan diperkirakan sekitar
duajuta pasangan infertil baru akan muncul tiap tahunnya dan terus meningkat.
Terdapat kenyataan bahwa kira-kira 10% dari pasangan suami istri tidak
dikaruniai keturunan (infertil), sedangkan cara adopsi yang digunakan untuk
mengatasi persoalan tersebut makin diperkecil kemungkinannya. Penyebab infertilitas
ini, kira-kira 40% karena kelainan pada pria, 15% karena kelainan pada leher rahim,
10% karena kelainan pada rahim, 30% karena kelainan pada saluran telur dan
kelainan peritoneal, 20% karena kelainan pada ovarium dan 5% karena hal lain, dan
kejadian totalnya melebihi 100%, karena pada kira-kira 35% pasangan suami istri
terdapat kelainan yang multipel.1
Dengan makin berkembang dan majunya ilmu dan teknologi kedokteran,
sebagian penyebab infertilitas tersebut dapat diatasi dengan pengobatan maupun
operasi, sedang infertilitas yang disebabkan kegagalan inseminasi, pembuahan,
fertilisasi, kehamilan, persalinan dan kelahiran hidup normal, ternyata dapat diatasi
dengan cara buatan (artifisial). Cara-cara tersebut antara lain artificial insemination,
artificial conception, in vitro fertilization/IVF, dan embryo transfer/embryo
transplant.
Oleh karena hampir belum ada peraturan yang universal, beberapa masalah
hukum dapat muncul dari teknologi reproduksi yang telah disebutkan diatas,
diantaranya menyangkut pelaksananya (dokter, peneliti, ilmuwan), suami, istri, donor
sperma, donor ovum, ibu pengganti (surrogate mother), dan bayi yang dilahirkan
melalui proses tersebut.
Dengan mengetahui aspek-aspek medikolegal yang terkait dengan inseminasi
buatan, diharapkan tenaga medis khususnya pada bidang forensik mampu mengaitkan
suatu masalah di bidang medis dengan aspek hukum yang berlaku di Indonesia.
Adanya keterkaitan ini dapat membantu membuat suatu kausalitas forensik yang
mendukung kesimpulan forensik yang diperlukan dalam penegakan hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bayi Tabung dalam Sudut Pandang Medis
2.1.1 Definisi
Bayi tabung atau dalam bahasa kedokteran disebut In Vitro Fertilization
(IVF) merupakan suatu upaya memperoleh kehamilan dengan jalan
mempertemukan sel sperma dan sel telur dalam suatu wadah khusus. Pada
kondisi normal, pertemuan ini berlangsung di dalam saluran tuba rahim.
Dalam proses bayi tabung proses ini berlangsung di laboratorium dan
dilaksanakan oleh tenaga medis sampai menghasilkan suatu embrio dan
ditanamkan ke dalam rahim wanita yang mengikuti program bayi tabung
tersebut.
bahwa
pengelolaan
infertilitas
telah
dilakukan
selengkapnya.
2. Pemilihan protokol stimulasi
a. Tanpa stimulasi : siklus haid normal + hCG ( human chorionic
gonadotropin)
b. Clomiphene Citrat ( CC ) + hCG
c. hMG ( human Menopausal Gonadotropin ) + hCG
d. CC + hMG + hCG
e. FSH ( follicle stimulating hormone ) Murni
+ hCG
+ hMG + hCG
+ CC + hCG
+ hMG + CC + hCG
Kini
dan
aliran
listrik
dibedakan
secara
cermat
dari
fertilisasi
yang
abnormal
morfologinya.
Embrio
yang
terpilih
kemudian
2.1.3 Risiko
Beberapa risiko dalam proses konsepsi buatan antara lain sebagai berikut :
Oosit istri tidak berhasil dibuahi oleh sperma suami sehingga dengan
sendirinya tidak akan terjadi fertilisasi (zigot) yang akan dipindahkan
kedalam istri.
memiliki risiko melukai bagian dalam sel telur, yang berfungsi pada
pembelahan sel dan pembagian kromosom.
3. Keberhasilan masih belum mencapai 100 %, Di Rumah Sakit Harapan
Kita, tingkat keberhasilannya 50 %, sedangkan di RSCM sebesar 3040 %.
4. Memerlukan waktu yang cukup lama.
5. Biaya mahal, berkisar antara 34-60 juta rupiah.
6. Tidak bisa sekali melakukan proses langsung jadi, tetapi besar
kemungkinan untuk di lakukan pengulangan.
Adapun keuntungan prosedur bayi tabung adalah memberikan peluang
kehamilan kepada pasangan suami istri yang sebelumnya mengalami
infertilitas.
Faktor- faktor yang sering menyebabkan kegagalan bayi tabung yaitu:
1. Sel Telur yang tumbuh tidak ada / tidak mencukupi.
2. Tidak terjadi pembuahan
3. Embrio tidak menempel dinding rahim
4. Keguguran.
2.2. Kerangka Hukum dan Kebijakan yang Mengatur Bayi Tabung
1. UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127 menyebutkan bahwa upaya
kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami
istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.72/Menkes/Per/II/1999
tentang
tidak dapat dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menjamin status anak tersebut
sebagai anak sah dari pasangan suami isteri tersebut.
Surrogate Mother
Surrogate mother adalah seorang wanita yang mengadakan perjanjian
(gestational agreement) dengan pasangan suami isteri dimana dalam perjanjian
tersebut si wanita bersedia mengandung benih dari pasangan suami isteri infertil
tersebut dengan suatu imbalan tertentu. Di Indonesia, peraturan mengenai bayi
tabung diatur secara umum dalam pasal 16 UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 72 / Menkes / Per / II / 1999
tentang Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan yang telah dijelaskan di
atas. Dari kedua peraturan tersebut dengan jelas dikatakan bahwa praktek
surrogacy dilarang pelaksanaannya di Indonesia. Hal ini dipertegas dengan
adanya sanksi pidana yang dapat dikenakan bagi yang melakukan prosedur
tersebut seperti yang diatur dalam UU No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
pasal 82 ayat 2a, yang menyebutkan, Barang siapa yang dengan sengaja
melakukan upaya kehamilan di luar cara alami yang tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat 2, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Akan tetapi, jika si pasangan suami isteri
melakukan prosedur surrogacy di luar negeri yang mengizinkan praktek tersebut
dan kemudian anak yang lahir dari prosedur surrogacy tersebut dibawa ke
Indonesia, maka akan menimbulkan permasalahan hukum mengenai status anak
tersebut. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai
status anak yang lahir dari prosedur surrogacy, dan tidak ada peraturan yang
dapat mengakomodasi apabila terjadi konflik.
3. Pelaksanaan
Untuk teknis pelaksanaannya, telah dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di
Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Departemen
Kesehatan RI tahun 2000, yang menyatakan bahwa:
1.
2.
3.
Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari 3,
boleh dipindahkan 4 embrio dalam keadaan:
a) Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru lahir.
b) Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya
dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal.
c) Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4.
5.
6.
7.
8.
Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh dibiakkan
in vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu impan beku).
9.
10. Dilarang melakukan fertilisasi trans spesies, kecuali fertilisasi trans spesies
tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas
pada manusia. Setiap hibrid yang terjadi akibat fretilisasi trans spesies harus
diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel.
4. Status Anak Hasil Bayi Tabung
Penetapan seorang anak sebagai anak sah adalah berdasarkan pada pasal 42
UU no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Untuk membuktikan secara hukum
bahwa seorang anak adalah anak sah dari pasangan suami isteri, yang
dibutuhkan adalah sebuah akta kelahiran dari anak tersebut. Akta tersebut
berisi nama, hari, tanggal, kota anak tersebut lahir dan nama kedua orang tua
dari anak tersebut. Karena anak hasil inseminasi buatan merupakan anak sah,
maka hak dan kewajiban dari anak yang dilahirkan dengan menggunakan
program inseminasi buatan sama dengan anak yang tidak menggunakan
program inseminasi buatan. Sehingga anak hasil inseminasi buatan dalam
hukum waris termasuk kedalam ahli waris golongan I yang diatur dalam pasal
852 KUH Perdata.
Menurut situasinya, tinjauan dari segi hukum perdata terhadap bayi
tabung di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Jika benihnya berasal dari suami istri
Jika benihnya berasal dari suami istri, maka dilakukan proses fertilisasi invitro
transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim istri maka anak tersebut
baik secara biologis maupun yuridis mempunyai status sebagai anak sah dari
pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya.
Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya
telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari
perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun
jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas
suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas
suami ibunya. Dasar hukumnya adalah pasal 255 KUHPer.
Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain (surrogate
mother) yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah
dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar
hukumnya adalah pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUHPer. Dalam hal
ini suami dari istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak
sahnya melalui tes golongan darah atau tes DNA. Biasanya dilakukan
perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai
sah secara perdata, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUHPer.
b. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
Jika suami mandul dan istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi invitro
dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur istri akan dibuahi dengan
sperma dari donor di dalam cawan petri dan setelah terjadi pembuahan
diimplantasikan ke dalam rahim istri. Anak yang dilahirkan memiliki status
anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya
sepanjang si suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan
darah atau tes DNA. Dasar hukumnya adalah pasal 250 KUHPer.
Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain (surrogate
mother) yang bersuami, maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari
pasangan penghamil tersebut. Dasar hukumnya adalah pasal 42 UU No.
1/1974 dan ps. 250 KUHPer.
c. Jika semua benihnya dari donor
Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada
perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang
terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah
dari pasangan suami istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan
yang terikat dalam perkawinan yang sah.
Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut
memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat
perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya
secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya
maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Bayi tabung atau dalam bahasa kedokteran disebut In Vitro Fertilization (IVF)
merupakan suatu upaya memperoleh kehamilan dengan jalan mempertemukan sel
sperma dan sel telur dalam suatu wadah khusus. Kerangka hukum dan kebijakan yang
mengatur bayi tabung telah diatur dalam UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127
dan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.72/Menkes/Per/II/1999
tentang
perundang-undangan
Indonesia
yang
berguna
dalam
memberikan
pertimbangan pada calon orang tua bayi tabung tidak hanya dari segi medis
melainkan juga dari aspek hukum.
2. Bagi calon orang tua bayi tabung agar mengetahui dan memahami syarat,
prosedur, manfaat dan risiko dari prosedur bayi tabung dari aspek medis dan
hukum secara menyeluruh sehingga pelaksanaan dan status anak hasil bayi
tabung nantinya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
3.