MH Tipe MB - RFT
MH Tipe MB - RFT
MH Tipe MB - RFT
Tutorial Klinik
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Oleh :
Ayu Ambarsari
Noerwanty Yustitiana Ridwan
Hendry Purwanto
Sari Hestiyarini
Pembimbing :
dr. Agnes Kartini, Sp. KK
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun
yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan
istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini
sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 18741,2.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai
kulit, saluran pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009
telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu
dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun
1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta
dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun telah
dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan
motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala
tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma
terhadap penyakit kusta3 Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah
dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab,
pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun dapat
juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan testis
dan sendi-sendi.1
2.2. Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai
dengan target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi
pada daerah tropis dan subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara,
Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia, India, Indonesia, Nepal, Nogeria,
Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak dimulai adanya MDT
pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar
di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa
Barat, Sulawesi Selaran, dan Irian Jaya.2,3
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan
perbandingan 2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun,
jarang terjadi pada bayi.1
2.3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat
obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram
positif dengan ukuran 3 8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol.
Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dn sel Schwann, replikasi yang
lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat
ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson. Mycobacterium leprae dapat
bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak dapat dikultur secara in
vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik pada
jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, bilik
mata depan, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang
hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.1-3
Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik,
memiliki kerentanan lepra dalam darah, kemiskinan (malnutrisi), dan kontak
dengan affected armadillos.1
2.4. Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT :tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti :tuberkuloid indefinite
BT :borderline tuberculoid
BB :mid borderline
BL :borderline lepromatous
Li :lepromatosa indefinite
LL :lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil.
Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar,
yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline
atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah
tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT
maupun LL.2
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks
biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB
kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping.2
Table 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 ) 1
PB
MB
- > 5 lesi
- Distribusi lebih simetris
- Hilangnya sensasi kurang
jelas
2. Kerusakan saraf
(menyebabkan
hilangnya sensasi/
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf
yang terkena)
2.5. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. leprae dalam tubuh masih belum diketahui
dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering
adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan
melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit tergantung pada faktor
imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu yang rendah, waktu
regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraseluer yang terutama terdapat
pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel
Schwann di jaringan saraf. Bila M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh
akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan system imunitas seluler dengan
demikian makrofag idak mampumenghancurkan kuman, sehingga kumandapat
bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT, kemampuan fungsi imunitas seluler tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kumat
difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak
aktif, dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini
tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan
menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya.
Sel Scwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di
samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivitas. Akibatnya aktivitas regenerasi
saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.4
2.6. Diagnosis
Dianosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda cardinal (tanda
utama), yaitu :4
1. Bercak kulit yang mati rasa.
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total tau sebagian saja terhadap rasa
raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi.
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa disertai gangguan
fungsi saraf yang terkena, yaitu :
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa.
b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis.
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, edema, pertumbuhan rambut
terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam.
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada
bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, paling sedikit harus ditemukan satu
tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan maka kita hanya dapat
mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah
3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.
Gambaran klinis penderita kusta berbeda antartipe, namun dalam
pemberian terapi, tipe kusta disederhanakan menjadi tipe pausibasiler (PB) dan
multibasiler (MB). Adapun gambaran klinis penyakit kusta ini disajikan dalam
table berikut.
Tabel 2. Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta PB
SIFAT
Lesi :
Bentuk
Jumlah
TT
BT
Makula dibatasi
dibatasi infiltrat
infiltrat
Beberapa, atau
I
Hanya makula
Satu atau beberapa
Asimetris
Masih asimetris
Variasi
Permukaan
Kering bersisik
Kering bersisik
Batas
Jelas
Jelas
Jelas/tidak
Anestesia
Tak Jelas
BTA :
Lesi kulit
Negatif
Negatif/positif 1
Biasanya negatif
Sekret hidung
Tes
Biasanya Negatif
Positif lemah
Negatif
Positi lemah sampai
Lepromin
negatif
LL
BL
Makula, Infiltrat
Makula, Plakat,
Plakat, Dome
Papul
Shaped (Kubah),
Tidak terhitung,
Jumlah
BB
Punched Out
Sukar dihitung,
Dapat dihitung,
kulit sehat
sehat
Asimetris
Distribusi
Simetris
Hampir simetris
Agak Kasar/berkilat
Permukaan
Halus Berkilat
Halus Berkilat
Agak Jelas
Batas
Tidak Jelas
Agak Jelas
Lebih Jelas
Anestesia
BTA :
Tak Jelas
Lesi kulit
Banyak
Agak Banyak
Sekret hidung
Tes
Biasanya Negatif
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
Lepromin
pemeriksa).
Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dan jari-jari
lainnya.
Bila
penderita
dapat
melakukannya,
minta
ia
menahan
kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya, dan kemudian ibu jari
pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking.
Penilaian :
Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh dan jari
lainnya berarti sudah lumpuh.
Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa berarti
lemah.
Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongan pemeriksa, ibu jari bisa
maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa, berarti masih kuat.
- Pemeriksaan fungsi Saraf Medianus (Kekuatan otot Ibu Jari)
Penilaian:
Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat.
Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah.
Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh.
-Pemeriksaan fungsi Saraf Radialis (Pergelangan tangan)
Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan kanan
penderita.
Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan kanan yang terkepal ke
atas.
Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi (ke atas) lalu dengan tangan
kanan pemeriksa menekan tangan penderita ke bawah ke arah fleksi.
Penilaian:
Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat.
Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah.
Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh (pergelangan tangan tidak bisa
ditegakkan ke atas).
-Pemeriksaan fungsi Saraf peroneus communis (Saraf Poplitea Lateralis)
Dalam keadaan duduk, penderita diminta mengangkat ujung kaki dengan
tumit tetap terletak di lantai/ekstensi maksimal (seperti berjalan dengan
tumit).
Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa
dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita ke bawah/lantai.
Penilaian:
Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah.
Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh (ujung kaki tidak bisa ditegakkan ke
atas).
2.8. Pemeriksaan Penunjang1
1.
Pemeriksaaan Bakterioskopik
10
Pemeriksaan Histopatologi
11
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS
nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,
makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak
dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang
disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan
M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak
dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan. 1
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat
campuran unsur unsur tersebut.
3.
Pemeriksaan Serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
12
4.
Tes Lepromin
Merupakan tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi
Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila
terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)
pada tuberkolosis.
2.9. Pengobatan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan pengobatan penderita.7
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi
atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif
dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk
sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson adalah anemia hemolitik,
skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan vertigo.7
Klofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.
Klofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K
ATPase. Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare,
nyeri lambung.7
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik.7
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus
untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn
13
Ofloxacin
Minocyclin
Dewasa
600 mg
400 mg
100 mg
(50-70 kg)
Anak
300 mg
200 mg
50 mg
(5-14 th)
Pausibasiler dengan lesi 2 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan
selama (6-9) bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From
Treatment) yaitu berhenti minum obat.1,7
Tabel 5. Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
14
Rifampicin
Dapson
600 mg/bulan
Diminum di depan
rumah
Dewasa
petugas kesehatan
Anak-anak
450 mg/bulan
50 mg/hari diminum
(10-14 th)
Diminum di depan
di rumah
petugas kesehatan
Multibasiler (BB, BL, LL) dengan lesi > 5. Lama pengobatan 12 dosis ini
bisa diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,
dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat.1,7
Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB
selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.1,7
Tabel 6. Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
Dewasa
Rifampicin
Dapson
Klofazimin
600 mg/bulan
100 mg/hari
300 mg/bulan
diminum di depan
diminum di rumah
diminum di depan
petugas kesehatan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
50 mg/hari diminum
150 mg/bulan
diminum di depan
di rumah
diminum di depan
petugas
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50
mg selang sehari
diminum di rumah
15
16
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi
lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja
sudah cukup 4.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang
melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak
pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum
(ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau
plakat, ukuran bermacam-macam, pada umumnya kecil, terdistribusi bilateral dan
simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat
pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri,
pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise.
Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi,
testis, dan limfe. 4
Tabel 7. Perbedaan Reaksi Kusta Tipe I dan Tipe II 1,4
No.
1
Gejala/tanda
Kondisi umum
Tipe I (reversal)
Baik atau demam ringan
Peradangan di
kulit
Waktu terjadi
4
5
Tipe kusta
Saraf
Keterkaitan organ
PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
Hampir tidak ada
Tipe II (ENL)
Buruk, disertai malaise dan
febris
Timbul nodul kemerahan,
lunak, dan nyeri tekan.
Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi).
Setelah pengobatan yang
lama, umumnya > 6 bulan.
MB
Dapat terjadi
lain
Faktor pencetus
Melahirkan
Obat yang
kekebalan tubuh
lainnya
kehamilan
Tabel 8. Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 1,4
No.
1.
Gejala /
Tanda
Kulit
2.
Saraf tepi
3.
Keadaan
umum
Keterlibatan
organ lain
4.
Tipe I
Ringan
Berat
Bercak :
Bercak :
merah, tebal, merah, tebal,
panas, nyeri.
panas, nyeri
yang semakin
parah sampai
pecah.
Nyeri pada
Nyeri pada
perabaan (-)
perabaan (+)
Demam (-)
Demam (+)
-
Tipe II
Ringan
Berat
Nodul : merah, Nodul : merah,
panas, nyeri.
panas, nyeri
yang semakin
parah sampai
pecah.
Nyeri pada
perabaan (-)
Demam (+)
Nyeri pada
perabaan (+)
Demam (+)
2.10. Prognosis
Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa
pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang
menjadi TT. Sementara yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif.
Gejala yang timbul sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi. BT, BB, BL,
LLs bisa berkembang menjadi lebih buruk upgrade, sementara BT, BB dan BL
yang downgrading akan dapat sembuh sendiri. BL, LLs, dan LLp bisa
berkembang mejadi ENL.1,4-5
18
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis
3.1.1. Identitas Pasien
Nama Pasien
: Ny. Rohana
Usia
: 43 tahun
Alamat
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan Terakhir
: SD
Status Pernikahan
: Menikah
19
: tampak sehat
Kesadaran
: composmentis, E4V5M6
Tanda-Tanda Vital
Frekuensi nadi
: 110 x/menit
Tekanan Darah
: 110/80 mmHg
Frekuensi napas
: 24
Suhu aksiler
: 36,8 C
x/menit
Kepala / Leher
Edema pre orbita (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (+), refleks cahaya (+/+).
Thoraks
20
Jantung
Perkusi Batas kiri : ICS V linea midclavicula sinistra. Batas kanan : ICS
IV linea para sternalis dextra.
Auskultasi S1S2 tunggal, reguler, bising jantung (-)
Pulmo
Inspeksi bentuk dada normal, pergerakan nafas dinding kiri dan kanan
tampak simetris.
Abdomen
Perkusi timpani.
Ektremitas
CTR < 2, akral hangat, paresis (-), atropi otot (-).
N. Aurikularis Magnus
N. Ulnaris
21
N. Paroneus Lateralis
dan sinistra.
Pemeriksaan sensorik pada reflek kornea pasien +/+.
Fungsi Motorik
Otot abduktor digiti minimi (saraf ulnaris) gerakan motorik normal.
Otot abduktor policis brevis (saraf median) gerakan motorik normal.
Otot ektensor carpi radialis longus, ektensor carpi radialis brevis, ektensor
carpi ulnaris, ektensor digitorum (saraf radialis) gerakan motorik
normal.
Saraf common peroneal gerakan motorik normal.
Saraf posterior tibial gerakan motorik normal.
22
hasil
pemeriksaan
: bonam.
: dubia at bonam.
: dubia at bonam.
23
BAB IV
PEMBAHASAN
Tutorial kasus dilakukan terhadap pasien wanita berusia 43 tahun, yang
datang dengan keluhan utama berupa kontrol pengobatan kusta. Pada pasien ini
ditegakkan diagnosis Morbus Hansen tipe Multibasiler MB Release from
Treatment (RFT), berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisiknya.
Dari data pasien yang diperoleh melalui anamnesis, diketahui bahwa pasien
adalah seorang wanita yang berusia 43 tahun. Menurut kepustakaan, kusta lebih
banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan 2:1,
dengan insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun.1 Walaupun pada
kasus ini, penderita adalah seorang wanita, tidak menutup kemungkinan bahwa
penyakit kusta dapat mengenai wanita.
Diagnosis kusta pada pasien ini, salah satunya diperoleh melalui anamnesis,
yang mana sebelum menjalani pengobatan pasien mengeluhkan timbulnya bercakbercak berwarna putih pada lengan bawah kanannya. Awal mulanya bercak
tersebut tidak terlalu besar dan hanya berjumlah 1 buah, namun kelamaan menjadi
semakin besar dan berjumlah menjadi 3 buah. Bercak-bercak ini pun kemudian
ditemukan oleh pasien pada lengan bawah kiri, kedua tungkai bawah, serta pada
wajahnya. Pasien pun mengeluhkan bahwa dulunya bercak ini terasa panas dan
nyeri, serta ia merasakan bahwa kedua tangan dan kakinya sering terasa
kebas/baal. Menurut kepustakaan, kusta adalah penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae, yang dapat menyerang saraf tepi
(primer), kulit, dan organ tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat. 1,4-6 Kelainan
pada saraf tepi dapat bersifat sensorik, motorik dan otonomik. Sensorik biasanya
berupa hipoestesi ataupun anstesi pada lesi kulit yang terserang, dapat pula
anastesia yang simetris pada kedua tangan dan kaki (gloves and stocking
anaestesia). Kelainan motorik dapat berupa kelemahan pada ektremitas atas,
bawah, otot wajah dan otot mata. Kelainan saraf otonom menyebabkan lesi yang
terserang tampak lebih kering karena mengenai kelenjar keringat. Pada kulit,
kelainannya dapat berupa bercak hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi, yang
dirasakan oleh pasien sebagai sebagai daerah yang mati rasa/tebal.1,4-6
24
25
terdistribusi lebih simetris.4 Dari gambaran klinis lesi pada pasien ini, diagnosis
kusta tipe multibasiler dapat disimpulkan.
Pemeriksaan fisik yang lain, yang dilakukan pada pasien ini ialah
pemeriksaan terhadap penebalan saraf tepi, pemeriksaan pada fungsi sensorik dan
motorik. Hasil pemeriksaannya adalah dalam batas normal, yakni tidak ada
penebalan pada saraf tepi yang diperiksa, tidak ada kelainan sensibilitas rasa raba
dan nyeri pada lokasi bercak, serta fungsi motorik pasien baik. Temuan ini
mungkin terkait dengan pengobatan yang telah dilakukan oleh pasien.
Pemeriksaan penunjang pada pasien ini telah dilakukan 1 tahun lalu untuk
menunjang penegakkan diagnosis. Hasil dari pemeriksaan didapatkan indeks
bakteri (IB) 3+ dan indeks morfologi (IM) 74%. Berdasarkan kepustakaan, IB
merupakan penilaian terhadap kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan
nonsolid pada sebuah sediaan. Sedangkan IM merupakan penilaian untuk
memperkirakan proporsi kuman yang hidup diantara seluruh kuman. Adapun
manfaat dari pemeriksaan bakterioskopik ini ialah untuk membantu menegakkan
diagnosa penyakit, membantu menentukan tipe kusta (dimana pada tipe PB
pemeriksaan bakterioskopik cenderung menunjukkan hasil negatif, sedangkan
pada tipe MB cenderung menunjukkan hasil positif), menilai respon pengobatan,
menilai end-point pengobatan pada pasien MB, dan membantu menentukan
prognosis.7 Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang ini, diagnosis kusta tipe MB
dapat ditegakkan.
Pada pasien ini, pemeriksaan bakterioskopik ulang diusulkan untuk
mengetahui respon pengobatan serta menentukan tatalaksana selanjutnya. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan yang telah dijelaskan sebelumnya.1 Tes fungsi hati dan
ginjal pun diusulkan pada pasien ini, mengingat rejimen MDT-MB bersifat
hepatotoksik, serta nefrotoksik.
Penatalaksanaan pada pasien ini, dapat ditindaklanjuti berdasarkan
gejala klinis serta pemeriksaan bakterioskopis.1 Pada pasien ini, keluhankeluhan yang ada sebelum pengobatan dirasakan telah menghilang serta tidak
ada lagi lesi-lesi baru yang timbul, dan pemeriksaan bakterioskopik pun
diusulkan pada pasien ini. Penatalaksanaan selanjutnya, tergantung pada hasil
pemeriksaan bakterioskopik. Apabila pada pemeriksaan bakterioskopik
hasilnya masih positif, maka terapi regimen MDT-MB tetap dilanjutkan,
26
27
BAB V
PENUTUP
Seorang wanita berusia 43 tahun datang dengan keluhan utama kontrol
pengobatan kusta. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta hasil
pemeriksaan penunjang sebelumnya ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah
MH tipe MB RFT. Untuk penatalaksaanaan selanjutnya pada pasien ini, akan
dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang yang diusulkan.
Secara umum, penegakan diagnosis, alur penatalaksanaan sudah sesuai
dengan literatur yang ada. Prognosis
28
DAFTAR PUSTAKA
1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi.
Kusta. Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88
2. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007; 66571
3. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008; 1789-96
4. Amirudin Dali M., Hakim Zainal, Darwis Emil. Diagnosis penyakit Kusta.
Dalam : Emmy S. Sjamsoe-Dili, Menaldi L. Sri, Ismiarto P. Srie, Nilasari
Hanny. (ed). Kusta Edisi II. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2003.
5. Amiruddin MD. Ilmu Penyakit Kusta. Makassar: Penerbit Hasanuddin
University Press. 2003; 101-13.
6. Murtiastutik Dwi, Ervianti Evy, Agusni Indropo, Suyoso Sunarso. (ed).
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi II. Surabaya : Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair. 2011; 43-56.
7. S. Soebono Hardyanto, Suhariyanto Bambang. Pengobatan Penyakit Kusta.
Dalam : Emmy S. Sjamsoe-Dili, Menaldi L. Sri, Ismiarto P. Srie, Nilasari
Hanny. (ed). Kusta Edisi II. Balai Penerbit FKUI : Jakarta. 2003.
29
LAMPIRAN FOTO
30