0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
143 tayangan25 halaman

Lapsus - Morfea - Linggar Dwi Cahya

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 25

LAPORAN KASUS

SKLERODERMA/MORFEA

Dosen Pembimbing:

dr. Buih Amartiwi, Sp.KK

dr. Diana Tri Ratnasari, SpKK

Oleh:

LINGGAR DWI CAHYANINGRUM

SMF ILMU KULIT DAN KELAMIN

RS SITI KHODIJAH SEPANJANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2022
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

SKLERODERMA/MORFEA

Telah disetujui hasil analisis kasus untuk memenuhi persyaratan


Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Malang
April 2022

Pembimbing Pembimbing

dr. Diana Tri Ratnasari, Sp. KK dr. Buih Amartiwi, Sp. KK

Mengetahui,
Ketua SMF Ilmu Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang

dr. Buih Amartiwi, Sp. KK

KATA PENGANTAR

2
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat
serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para
sahabatnya. Syukur Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang
berjudul “ Tinea pedis dengan infeksi sekunder”.

Dalam penyelesaian laporan kasus ini penulis ingin mengucapkan terima


kasih yang tak terhingga kepada :

1. dr. Diana Tri Ratnasari, Sp. KK

2. dr. Buih Amartiwi, Sp. KK

3. Seluruh tenaga medis maupun non-medis RS Siti Khodijah Sepanjang


khususnya bagian instalasi kulit dan kelamin

Laporan Kasus dan Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
kerendahan hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran
dan kritik yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat menambah wawasan
dan bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sepanjang, April 2022

Penulis

DAFTAR ISI

3
LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................2
KATA PENGANTAR...................................................................................................3
BAB 1 Tinjauan Pustaka...............................................................................................1
1.1 Pendahuluan...................................................................................................................1
1.2 Definisi...........................................................................................................................1
1.3 Epidemiologi..................................................................................................................1
1.4 Etiologi...........................................................................................................................2
1.5 Patogenesis.....................................................................................................................2
1.6 Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik......................................................................3
1.7 Diagnosis........................................................................................................................5
1.8 Diagnosis Banding.........................................................................................................6
1.9 Komplikasi...................................................................................................................10
1.10 Pengobatan.................................................................................................................10
1.11 Prognosis....................................................................................................................13
BAB 2 LAPORAN KASUS........................................................................................15
BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................20
KESIMPULAN...........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................24

4
BAB 1

Tinjauan Pustaka

1.1 Pendahuluan

Skleroderma adalah penyakit yang cukup langka terjadi. Kata skleroderma


berasal dari bahasa Yunani yaitu sclero berarti keras dan derma berarti kulit.
Skleroderma merupakan penyakit kronis yang menyerang jaringan ikat, dan
diklasifikasikan sebagai salah satu penyakit rematik autoimun (Mort, 2010). Menurut
Scleroderma Foundation, skleroderma adalah sekelompok penyakit yang
menyebabkan kulit dan organ internal menjadi keras dan ketat.

Skleroderma merupakan penyakit autoimun dimana sistem imun tubuh


menyerang jaringannya sendiri. Peran normal dari sistem imun untuk melindungi
tubuh dari penyerang asing seperti virus. Pada gangguan autoimun, tubuh tidak bisa
membedakan benda asing dari jaringannya sendiri. Saat sel imun menyerang jaringan
tubuhnya sendiri, terjadi kerusakan dan inflamasi.

Pada beberapa kasus, skleroderma memberi dampak hanya pada


kulit. Akan tetapi, ada juga yang berdampak pada struktur luar kulit
seperti pembuluh darah, organ internal, dan saluran pencernaan.
Salah satu tanda dan gejala yang ditemukan pada penderita
skleroderma adalah adanya sindroma CREST (Calcinosis, fenomena
Raynaud, disfungsi esofagus, sklerodaktili, dan telengiektasis)
(Mort, 2010). Akibat munculnya tanda dan gejala di atas menimbulkan
beberapa permasalahan diantaranya impairment berupa adanya nyeri
pada pada kedua tangan; adanya kekakuan pada sendi wrist,
interphalang medial dan distal sehingga menyebabkan terjadinya
keterbatasan lingkup gerak pada sendi wrist dan fingers; dan adanya
penurunan kekuatan otot telapak tangan dan otot-otot jari. Selain
itu, terjadi keterbatasan saat pasien melakukan aktifitas fungsional
seperti menggenggam; bersalaman; dan mengangkat barang, dan adanya

1
keterbatasan saat beraktifitas dan bersosialisasi di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Pada permasalahan tersebut, sebagai upaya
penanganan penyakit ini, selain pemberian obat-obatan, pemberian
tindakan intervensi fisioterapi juga berperan penting untuk
meminimalisir keluhan yang dialami penderita dan mencegah terjadinya
komplikasi dari penyakit tersebut. Modalitas fisioterapi yang
diberikan adalah micro wave diathermy yang digunakan untuk
mengurangi nyeri, menormalisasi tonus otot, meningkatkan perbaikan
jaringan dan sebagai preeliminary exercise. Serta modalitas terapi
latihan yang bertujuan untuk mengurangi spasme dan nyeri,
meningkatkan kekuatan otot, dan meningkatkan lingkup gerak sendi.
Terapi latihan diantaranya berupa relaxed and forced passive
exercise, free and resisted active exercise, dan hold relax.

1.2 Definisi

Morfea adalah penyakit autoimun kronis yang ditandai oleh sklerosis pada kulit. Morfea,
dikenal juga sebagai skleroderma lokalisata, merupakan kondisi fibrosis yang terbatas pada
kulit, jaringan subkutan, tulang di bawahnya dan jika mengenai bagian wajah dan kepala,
sistem saraf pusat jarang terkena. Skleroderma merupakan istilah yang luas digunakan dan
terkadang membingungkan untuk menggambarkan tipe gangguan fibrosis. Klasifikasi sklero-
derma digunakan untuk menentukan tipe penyakit.
Secara umum, skleroderma dibagi dalam dua kelompok besar: skleroderma lokalisata/morfea
dan skleroderma sistemik/sklerosis sistemik (SS).
Morfea biasanya hanya terbatas pada kelainan kulit dan jarang melibatkan sistemik.
Sebaliknya, sklerosis sistemik melibatkan berbagai sistem
organ selain di kulit, dan dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas yang cukup besar.

1.3 Epidemiologi

2
Studi epidemologi melaporkan insidens morfea 0,4-2,7/100.000 orang. Semua

varian dapat terjadi pada semua usia. Skleroderma linear lebih sering terjadi pada

anak-anak, dan muncul pada dekade pertama atau kedua, sedangkan generalisata

lebih sering terjadi pada orang dewasa dan biasanya terjadi pada usia remaja.2-4

Frekuensi relatif varian morfologi yang berbeda tidak jelas, dan dapat ditemukan

pada tingkat yang berbeda. Pada orang dewasa yang terkena, 35% - 65% jenis morfea

plak, 8% - 9% jenis morfea generelisata, 6% - 46% skleroderma linear, 3,5% en coup

de sabre dan Parry-Romberg syndrome

1.4 Etiologi

Penyebab morrfea tidak diketahui. Sejumlah penelitian in vitro telah menunjukkan


kelainan pada fibroblas dari pasien dengan morfea

1.5 Patogenesis

Beberapa bukti dan relevansi untuk ciri khas patogenesis Morfea dijelaskan

berikut ini:

 Disfungsi Vaskuler : Disfungsi endotel secara klinis tercermin dalam

adanya “Raynaud Phenomens” dan perubahan yang terlihat pada

capillaroscopy (lesi kuku). Terdapat laporan kecenderungan hiperplasia

pericyte pada dinding dan peningkatan kepadatan kapiler pada lesi morfea.

 Autoimun : Autoimun kemungkinan terlibat dalam patogenesis

karena adanya autoantibodi pada proporsi pasien morfoea.

3
Cytokines : Peningkatan tingkat serum molekul adhesi Adrenium Vaskular

Molekul-1 (VCAM-1), Molekul Sel Intraselular Molekul-1 (ICAM-1) dan E-Selectin

pada pasien morfea

1.6 Klasifikasi dan Gejala Klinis Morfea

Klasifikasi yang paling banyak digunakan dalam literatur adalah Klasifikasi

Klinik Mayo (dalam bentuknya yang disederhanakan), karena objektivitas dan

kelengkapannya. 15 Menurut klasifikasi ini, ada lima kelompok Morfea, yaitu:

 Plaque morfea,

 Generalized morfea,

 Bullous morfea,

 Linear morfea

 Deep morfhea4.

2.5.1 Plaque Morfea

Bentuk Morfea yang paling sering pada orang dewasa adalah Plaque Morfea,

yang berbentuk lingkaran dan biasanya terbatas pada dermis. Paling sering di

badan dan ekstremitas proksimal. Pada fase awal, Gambaran halo violet

yang khas dapat dilihat di sekitar plak ("cincin ungu")4.

4
Gambar 2.1 Plaque Morphea di badan4

2.5.2 Generalized Morphea

Pada Generalized Morphea didapatkan gambaran plak indurasi dengan

perubahan pigmen7.

Gambar 2.2 Generalized Morphea7

2.5.3 Bullous Morphea

Morphea Bullous adalah bentuk langka morfea yang ditandai dengan

munculnya bullae atau erosi pada plak morphea4.

2.5.4 Linear Scleroderma

LScs adalah bentuk Morfea yang langka dan menarik, yang pertama kali

dijelaskan oleh Addison pada tahun 1854. Morfea Ini memiliki jalur

progresif yang perlahan dan umumnya terbatas pada Separuh Wajah. Lesi

5
LScs sering dimulai dengan kontraksi dan kekakuan pada daerah yang

terkena, membentuk alur tertekan pada daerah parietal dan meluas ke kulit

kepala, mengembangkan area alopesia linier. Dapat meluas ke daerah

hidung, bibir bagian atas dan kadang kala ke gingiva. Lidah ipsilateral

mungkin bersifat atrofi dan jarak dan arah gigi bisa berubah. Rahang

mungkin terlibat dan tulang tengkorak mungkin akan terpengaruh. Dalam

kasus deformitas rahang, hal itu dapat menyebabkan oklusi gigi yang buruk,

implantasi gigi yang buruk, atrofi akar gigi dan penampilan bentuk gigi yang

tidak teratur4.

Gambar 2.3 Linear Scleroderma4

2.5.5 Deep Morphea

Deep Morphea (Morphea Profunda) adalah subtipe yang jarang terjadi

pada populasi orang dewasa dan anak-anak. Bagian bawah ekstremitas

sering terpengaruh secara bentuknya menjadi Asimetris, di mana sklerosis

dapat menyebabkan kontraktur dan menyebabkan atrofi subkutan5.

6
Gambar 2.4 Deep Morphea5

Banyak pasien dengan generalized morphe dan linier scleroderma pada awalnya

didiagnosis dengan skleroderma lokalisata/, tetapi berkembang menjadi Skleroderma

sistemik. Karena itu, pasien yang awalnya hadir dengan beberapa plak (yang mungkin

setuju dengan terapi lokal) harus diikuti perkembangannya secara intensif. Jika

terdapat pasien dengan jenis morphea seperti ini, terapi harus dilakukan kemudian

ditujukan untuk mencegah perkembangan lebih lanjut

1.6 Pemeriksaan Penunjang Morphea

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan Autoantibodi

Autoantibodi yang paling umum ditemukan adalah antinuclear antibody

(ANA) yaitu sebesar 46-80 % dari seluruh pasien, biasanya dengan susunan

homogenous immunofluorescence. Umumnya, pasien dengan morfea

7
generalisata memiliki antibodi positif dengan frekuwensi yang lebih tinggi

dibanding jenis morfea lainnya3.

b. Pemeriksaan Darah Lengkap

Eosinofilia darah telah ditemukan pada 6 - 50 % pasien Morphea. Tingkat

eosinofilia tampak berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Penurunan kadar

eosinofilia dapat terjadi bersamaan dengan penurunan aktivitas lesi kulit. dan

tingkat sedimentasi eritrosit meningkat pada 25 %3.

2. Pemeriksaan Histopatologi

Lesi awal mungkin tidak memiliki perubahan histologis yang jelas atau

spesifik. Terdapat Vacuolisasi dan penghancuran sel endothelial dengan

reduplikasi lamina basalis. Khusunya, pada lesi indurasi terlihat sebagai tepi

persegi (Squared-off edge) pada spesimen biopsi. Infiltrat inflamasi superfisial

dan dalam terkadang terlihat. Lesi yang sangat awal dapat menunjukkan infiltrasi

inflamasi pada dermis dalam dan jaringan subkutan. Limfosit, makrofag, sel

plasma, eosinofil, dan sel mast juga terlihat. Deposisi glikosaminoglikan dapat

dideteksi pada tahap awal LS. Lesi selanjutnya menunjukkan peningkatan

kolagen dan matriks, yang pada awalnya di dermis bawah dengan ekstensi lebih

banyak terjadi karena peradangan semakin berkurang. . Lesi yang lebih lanjut

menunjukkan tingkat atrofi epidermal3.

8
Gambar 2.5 Histopatologi Morphea3

1.7 Diagnosis

Diagnosis

Diagnosis morphea biasanya dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik

dan palpasi lesi. Munculnya lesi berubah seiring waktu. Lesi paling awal adalah plak

eritematosa dengan sedikit indurasi, bentuknya ditentukan oleh subtipe. Dalam kasus

generalized morphea, lesi dapat tampak sebagai8.

Pemeriksaan histopatologis spesimen biopsi kulit biasanya tidak perlu untuk


diagnosis morphea; Namun, mungkin sangat membantu dalam kasus atipikal.
Selain itu, penilitian baru-baru ini melibatkan pemeriksaan histopatologi
sebagai bantuan dalam pengambilan keputusan terapeutik

1.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Morphea yaitu3 :

a. Systemic sclerosis (scleroderma)

Sklerosis sistemik, yang juga disebut skleroderma, adalah penyakit

rematik yang dimediasi kekebalan tubuh yang ditandai oleh fibrosis pada kulit

9
dan organ dalam dan vaskulopati. Meskipun sklerosis sistemik jarang terjadi,

ia memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi9.

b. Eosinophilic fasciiti

Eosinophilic fasciitis (EF, juga dikenal sebagai Shulman Syndrome), yang sering
dianggap sebagai bagian spektrum morfea. Namun ada perbedaan pada gambaran
histopatologi

1.10 Pengobatan

Pada Kebanyakan Kasus, lesi morphea menjadi inaktif secara spontan

dan pada kasus yang lebuh berat dapat menyebabkan fibrosis/sklerosis

irreversibel dari kulit dan jaringan subkutan. Pengobatan ditujukan pada

komponen peradangan, pelepasan sitokin, dan aktivasi dari deposit kolagen.

Banyak terapi yang telah digunakan pada pengobatan morphea dengan

keberhasilan yang bervariasi. Pada bentuk lokal dapat dilakukan operasi

bedah plastik atau injeksi triamsinolon acetonid intralesi, dengan dosis

1mg/lokasi suntikan, maksimal 10 lokasi suntikan. Pengobatan topikal dengan

salep kortikosteroid (Triamsinolon, betametason, dll) dapat mencegah

meluasnya lesi. Perlu emolien dan sunscreen.Fototerapi juga dapat digunakan

untuk pengobatan. Beberapa studi telah menunjukkan perkembangan pada

mayoritas pasien morphea menggunakan psoralen dan sinar ultraviolet A,

broad band ultraviolet A (UVA), atau fototerapi UVAI 3. Obat vasodilatasi

(calcium-channel blocker, antagonis reseptor angiotensin II, nitrat topikal, dan

prostanoid) tetap menjadi andalan terapi medis untuk fenomena Raynaud.

Antioksidan, seperti vitamin C, telah digunakan. Baik sildenafil (Viagra) dan

10
iloprostik intravena atau inhalasi bermanfaat dalam pengobatan hipertensi

pulmonal dan fenomena Raynaud. Oral L-arginine telah memperbaiki

nekrosis jari pada beberapa pasien dengan fenomena Raynaud.

Meskipun pengobatan yang efektif tersedia untuk mencegah komplikasi menjadi

skleroderma sistemik, Terapi fisik juga penting yang menekankan berbagai

gerakan untuk semua persendian dan juga mulut untuk mencegah terjadinya

kontraktur. Perbaikan spontan dapat terlihat pada beberapa anak dan pada

beberapa kasus skleroderma lokal. Paparan dingin harus dihindari, dan juga

menghentikan penggunaan rokok . Di antara pasien dengan skleroderma, perokok

3–4 kali lebih mungkin dapat meningkatkan komplikasi menjadi skleroderma

sistemik

1.11 Prognosis

Terlepas dari kehadiran umum autoantibodi serum, Morphea biasanya tidak

memiliki keterlibatan sistemik scleroderma, walaupun terkadang tumpang tindih

dengan gangguan jaringan ikat lainnya yangpernah dilaporkan. Sebagian besar

kasus morphea self limited, dengan aktivitas klinis terlihat rata-rata 3 sampai 5

tahun. Beberapa pasien mungkin memiliki reaktivasi lesi yang tampaknya tidak

aktif

11
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Penderita

Nama :

Jenis Kelamin :

Usia :

Tempat/Tgl Lahir :-

Alamat :

Pendidikan :

Pekerjaan :

Agama :-

Status : sudah menikah

2.2 Anamnesis

2.2.1 Keluhan Utama

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu : -

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

12
Tidak ada yang mengalami penyakit serupa

2.2.5 Riwayat Sosial – Ekonomi:

Riwayat Alergi: -

2.3 Pemeriksaan Fisik

2.3.1. Status Generalis

Keadaan Umum :-

Kesadaran :-

Berat Badan :-

Tinggi Badan :-

Tekanan darah : -/-

Nadi :-

Suhu :-

RR :-

Kepala :-

Leher :-

Thorax : Cor : -

: pulmo :-

Abdomen :-

Ekstremitas :-

2.3.2 Status Dermatologis

Foto Kasus :

13
2.4 Pemeriksaan Penunjang

Tidak Dilakukan

2.5 Resume

Pasien Tn. X usia 27 tahun, pasien mengatakan gatal-gatal sejak 3 minggu ini.

Awalnya di selangkangan lalu 2 minggu kemudian menyebar ke area

lengan,bercak juga semakin membesar. Tidak nyeri. Demam tidak ada., belum

pernah diberi obat.tidak ada riwayat alergi , keluarga tidak memiliki penyakit

serupa.

Regio antebrachi terdapat makula dengan tepi aktif berbatas tegas bentukan central

healing

Regio inguinalis terdapat makula hiperpigmentasi berbatas tegas dengan tepi tidak

teratur

2.6 Diagnosis

2.7 Diagnosis Banding

2.8 Planing

2.8.1 Planing Diagnosis

- KOH

14
-Kultur

2.8.2 Planing Terapi

a. Medikamentosa

■ Terbinafine 250 mg/hari selama 2 sampai 4 minggu

■ Salep miconazole 2x1 selama 4 minggu

b. Non medikamentosa

pengurangan keringat dan peningkatan penguapan dari area cruris adalah

tindakan profilaksis yang penting. Area tersebut harus dijaga sekering mungkin

dengan mengenakan pakaian dalam dan celana yang longgar.

2.8.3 Planing Monitoring

- Tanda Tanda Vital

- Keluhan Pasien

- Sifat Efloresensi

- hasil Lab

2.8.4 Edukasi

1. Menjelaskan pada pasien penyakit ini disebabkan Jamur

2. Menjaga kebersihan badan

3. Tidak perlu memakai pakaian berlapis saat di area panas,karena akan

memicu lembap

4. Menggangti pakaian setelah mandi atau jika berkeringat

5. Minum obat dengan teratur agar dapat pulih

2.10 Prognosis

Jika diagnosis dini, serta pengobatan tepat dan adequate Dubia ad bonam

15
16
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien, Tn. X umur 27 tahun pekerjaan tukang batu, pasien datang dengan

keluhan gatal-gatal sejak 3 minggu ini pada kedua lengan dan kedua selangkangan.

Awalnya di selangkangan lalu 2 minggu kemudian menyebar ke area lengan,bercak

juga semakin membesar. Bercak tidak nyeri. Demam tidak ada.belum pernah diberi

obat.tidak ada riwayat alergi , keluarga tidak memiliki penyakit serupa.

Efloresensi tampak Regio antebrachi terdapat makula hipopigmentasi dengan tepi

aktif berbatas tegas bentukan central healing. Regio inguinalis terdapat makula

hiperpigmentasi berbatas tegas dengan tepi tidak teratur.

Berdasarkan gambaran klinis tersebut, diagnosis pasien adalah tinea corporis

pada lengan dan tinea cruris pada selangkangan. Tinea corporis merupakan infeksi

dermatofita superfisial pada kulit gundul/tidak berambut kecuali telapak tangan,

telapak kaki, dan selangkangan, sementara Tinea cruris adalah dermatofitosis pada

selangkangan, genitalia, area kemaluan, serta kulit perineum dan perianal. Tinea

corporis paling sering terjadi pada anak-anak pasca pubertas dan dewasa muda,

sementara Tinea cruris pria lebih sering terkena daripada wanita, mengenai daerah

lipat paha. Faktor lain yaitu berada di daerah tropis dimana Indonesia merupakan

daerah tropis dan lembab yang mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur,

juga pemakaian celana yang ketat dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan

peningkatan suhu dan kelembaban yang akan memudahkan infeksi. Tinea corporis

17
paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum, T. tonsurans, dan Kanis

mikrosporum. Gambaran klinis tinea corporis berupa plak berbatas tegas,, oval atau

melingkar, eritematosa ringan, bersisik, dengan bagian tepi lesi lebih jelas tanda

peradangannya daripada bagian tengah, bagian tengah lesi terkadang bersih(central

healing), sementara pada tinea cruris gambaran klinisnya berupa plak annular

berbatas tegas dengan tepi bersisik yang menjulur dari lipatan inguinal ke paha

bagian dalam, seringkali secara bilateral. pada pasien ini bagian lengan di dd dengan

psoriasis vulgaris, perbedaannuya pada psoriasis predileksi pada anggota tubuh

extenosr seperti lutut, siku, dan punggung, sementara dd pada bagian selangkangan

yaitu eritrasma, perbedaannya yaitu pada eritrasma warna lesi lebih merah dan pada

pemeriksaan wood lamp akan didapatkan flourosensi merah coral. Pemeriksaan

penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan KOH dan biakan jamur, pada

tinea corporis dan cruris ditemukan adanya hifa bersepta. Penatalaksanaan berupa

terapi farmakologi dan non-farmakologi. Tinea corporis dan tinea cruris yang

ditatalaksana dengan baik akan memberi prognosis yang baik. Pada pasien ini di

berikan Terbinafine 250 mg/hari 2 sampai 4 minggu dan salep miconazole 2x1

selama 4 minggu. Kontrol 2-4 minggu lagi. Jika keadaan klinis baik, pemeriksaan

KOH negatif, maka obat dilanjutkan 1 minggu, kemudian baru obat dihentikan.

Edukasi untuk pasien ini yaitu menjaga area lipatan-lipatan tubuh tetap kering agar

tidak terjadi kekambuhan, menyarankan pasien untuk mandi minimal 2 kali sehari,

tidak memakai sabun badan antiseptik setiap mandi, dan mengganti pakaian setiap

mandi, dan juga menganjurkan pasien untuk melanjutkan kebiasaan baiknya, yaitu

menjaga kebersihan pribadi. Prognosis tinea pedis adalah dubia ad bonam, namun

18
perlu keteraturan minum obat, dan pencegahan terhadap faktor pemicu terjadinya

tinea corporis dan tinea cruris untuk kesembuhan pasien dan mecegah kekambuhan

pasien.

19
KESIMPULAN

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Farida T. Skleroderma Lokalisata : Laporan Dua Kasus. 2013. Makassar:

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Hasanuddin/RSUP

Dr. Wahidin Sudirohusodo p. 36-41s

2. Anna GP, Agniezka KB. Systemic Involvmet in Localized

Sclerodeerma/Morphea. 2015. Polandia: Clinics in Dermatology.

3. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. 2012.

Chapter 62 Morphea. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th

Edition. United States of America: The McGrow-Hill Company. 2008: p.

1346–1366.

4. Mariana FC, Ricardo R. Localized Scleroderma: Clinical Spectrum and

Therapeutic Update. 2015. Brazil: Anai Brasileiros de Dermatologia

5. Mertens J, Marieke MBS, Roger MT, et al. Morphea and Eosinophilic

Fasciitis: An Update. 2017. Netherlands: Departement of Dermatology,

Radboud University Medical Center.

6. Tony B, Stephen B, Neil C, C Griffiths. Chapter 51 The ‘Connective Tissue

Disease. In: Rook’s Textbook of Dermatology, 8th Edition. United Kingdom:

Willey Blackwell. 2016: pp.51.64-51.76

7. James WD, Berger TG, Elston DM. Scleroderma . In: Andrew’s Diseases Of

The Skin Clinical Dermatology, 11st Edition. British: Saunders Elsevier.

20011: p. 168-174

21

Anda mungkin juga menyukai