Chapter 13 Epm
Chapter 13 Epm
Chapter 13 Epm
SYLABUS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
PT = T x Va
dimana :
PT = Daya Dorong, dlm. satuan kWatt
T = Gaya Dorong, dlm. satuan kN
Va = Kecepatan advanced aliran fluida di bagian Buritan kapal [m/det]
= Vs ( 1 w ); yangmana w adalah wake fraction (fraksi arus ikut)
PD = 2QDnP
dimana :
PD = Daya Yang Disalurkan, dlm. satuan kWatt
QD = Torsi Baling-baling kondisi dibelakang badan kapal, dlm. satuan
kNm
nP = Putaran Baling-balin, dlm. satuan rps
PE
PB
PT
PD
R
T
Perhitungan-perhitungan yang
sering digunakan dalam
mendapatkan efisiensi
lambung adalah sebagai
berikut :
Karena ada dua kondisi tersebut, maka muncul suatu rasio efisiensi yaitu yang
dikenal dengan sebutan Efisiensi Relative-Rotative, hRR ; yang merupakan
perbandingan antara Efisiensi Baling-baling pada kondisi di belakang kapal
dengan Efisiensi Balingbaling pada kondisi di air terbuka, sebagai berikut ;
Yangmana PB-CSR adalah daya output dari motor penggerak pada kondisi Continues Service
Rating (CSR), yaitu daya motor pada kondisi 80 - 85% dari Maximum Continues Rating
(MCR)-nya. Arti phisiknya, daya yang dibutuhkan oleh kapal agar mampu beroperasi dengan
kecepatan servis VS adalah cukup diatasi oleh 80 - 85% daya motor (engine rated power) dan
pada kisaran 100% putaran motor (engine rated speed).
Sehingga untuk menentukan besarnya daya motor yang harus di-instal di kapal, adalah
seperti yang ditunjukkan oleh persamaan sebagai berikut ;
dimana :
D adalah massa jenis fluida (Kg/m3);
CT adalah koefisien tahanan total kapal;
S merupakan luasan permukaan basah dari badan kapal (m2).
Selanjutnya, jika unsur VS pada Pers. (19) ini juga disubstitusikan dengan Pers.
(8), diperoleh model persamaan gaya dorong kapal (TSHIP) adalah sebagai berikut
;
1.000
0.800
KT,KQ,Eff
0.600
0.400
0.200
0.000
0.000
0.100
0.200
0.300
0.400
0.500
0.600
-0.200
0.700
0.800
0.900
J
KT
10KQ
Eff
1.000
1.100
Jika ditambahkan untuk kebutuhan Hull Service Margin; yaitu kebutuhan yang
dikarenakan dalam perhitungan perencanaan, yang mana analisanya dikondisikan
untuk ideal conditions, antara lain :
1. perfect surfaces pada lambung dan baling-baling kapal
2. calm wind & seas, maka perlu ditambahkan allowances sebesar 20% dari
nilai KT tersebut. Dan notasinya pun ditambahkan sub-script SM, yang artinya
adalah service-margins.
Langkah
berikutnya
adalah
dengan membuat tabulasi dari
Pers. (27) dan Pers. (28).
Harga J diambil dari Diagram
Openwater Test baling-baling
yang akan digunakan pada kapal,
yaitu
dari
angka
terendah
bergerak secara gradual ke angka
tertingginya. Kemudian, hasil
tabulasi tersebut di-plot-kan pada
Diagram
Openwater
Test
balingbaling tersebut seperti yang
di-ilustrasi-kan pada gambargambar berikut ini,
Pada Gambar 6 terlihat bentuk interaksi dari kinerja propeller pada kondisi di
belakang badan kapal, yangmana pada Kurva [1] merupakan trendline koefisien
propeller thrust untuk trial conditions. Dan dengan melihat keadaan kurva J [2],
diperoleh harga koefisien propeller torque, KQ pada kondisi trial. Sedangkan, Kurva
[3] adalah trendline dari propeller thrust coefficient pada kondisi hull service margin
dan dengan menarik kurva J [4] sedemikian hingga melewati titik KT-SM, maka
diperoleh koefisien torsi baling-baling, KQ-SM, pada kondisi hull service margin.
Selanjutnya, kedua angka KQ dan KQ-SM inilah yang digunakan untuk menentukan
karakteristik beban propeller (propeller load characteristics).
0.6
KT,KQ,Eff
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1.1
J
KT Trial
KT Margin
KT
10KQ
Eff
Tahap yang pertama adalah energy dari fuel (bahan bakar), seperti yang
ditunjukkan pada Pers. (35) sebagai berikut ;
PENG = mfuel Cf (35)
dimana :
PENG
= Engine Power (Daya Motor Penggerak)
Mfuel
= mass fuel rate (Laju Aliran Bahan Bakar)
Cf
= Calorific Value of Fuel (Nilai Kalor Bahan Bakar)
Pers. (35) merepresentasikan bahwa besarnya engine power adalah proporsional
dengan banyaknya jumlah bahan bakar yang disuplai ke engine. Sedangkan,
jumlah dari bahan bakar yang disuplai adalah tergantung pada pengaturan diengine fuel setting (fuel stroke position).
Di tahap yang kedua (Combustion Process), engine power dapat dinyatakan
sebagai berikut :
PENG = bmep x L x A x n
(36)
bmep
L
A
n
Dari Pers. (36) terlihat bahwa besarnya engine power sangat tergantung dari
besarnya bmep yang terjadi pada engine, karena harga L, A, dan n pada suatu
engine adalah sudah tetap. Sehingga dengan kata lain, besarnya engine power
adalah proporsional dengan nilai dari bmep yang terjadi.
Tahap yang ketiga adalah engine power yang diukur dengan metode pengereman
di engine test bed, yang mana merupakan power output dari engine seperti yang
ditunjukkan pada Pers. (37) sebagai berikut ;
PENG = QENG x nENG
dimana :
QEng = Engine Torque
nEng = Engine Speed
(37)
Berdasarkan Pers. (37) tampak bahwa perubahan yang signifikan dari engine
power hanya dapat dilakukan dengan merubah nilai dari engine torque-nya.
Masing-masing variabel potensial pada Pers. (35), Pers. (36), dan Pers. (37)
memiliki keterikatan dan pengaruh secara proporsional, sehingga kondisi tersebut
dapat disederhanakan sebagai berikut ;
Artinya Nilai Engine Torque (QEng) akan secara signifikan berubah, apabila pada
proses pembakaran didalam silinder terjadi perubahan harga Brake Mean Effective
Pressure (bmep). Dan perubahan harga bmep tergantung pada jumlah Mass Fuel
Rate ( mfuel) yang disuplai ke engine.
Hubungan engine torque dan engine speed dapat diilustrasikan seperti gambar
berikut ini,
Pada engine speed, n, adalah merupakan titik operasi putaran motor penggerak
yang sesuai dengan kondisi beban propeller, sebab, daya yang dihasilkan oleh
motor penggerak adalah sama dengan daya yang diabsorb oleh propeller, P.
Hal ini tentunya akan memberikan konsekuensi yang optimal terhadap pemakaian
konsumsi bahan bakar dari motor penggerak kapal terhadap kecepatan servis
kapal yang diinginkan.
Seperti diketahui bersama bahwa di kapal yang dapat dilihat adalah indikator
engine speed (rpm, atau rps) dan kecepatan kapal (knots, atau Nmile/hour).
Sehingga penetapan putaran operasi dari motor penggerak, merupakan kunci
kesuksesan dalam operasional sistem propulsi kapal secara keseluruhan.
(a) REDUCING FUEL SUPPLIED TO ENGINE
Penurunan bahan bakar (fuel) yang disuplai ke engine akan menyebabkan
turunnya bmep, dan tentunya akan menurunkan engine torque. Perubahan pada
engine torque inilah yang selanjutnya dipakai untuk menentukan besaran putaran
engine dengan cara men-set posisi engine throttles (fuel stroke position) untuk
kebutuhan operasional kapal, sebagai berikut ;
1 - S (Slow Ahead)
2 - H (Half Ahead)
3 - F (Full Ahead)
Gambar 13 memberikan ilustrasi beberapa kondisi matching points antara kurvakurva torsi motor penggerak terhadap kurva beban propeller. Terlihat titik
perpotongan antara kurva engine torque [1] dan kurva propeller load yang mana
menghasilkan titik operasi {P1 & N1}; Yaitu bilamana kapal diinginkan bergerak
dengan kecepatan yang relatif rendah (slow ahead), seperti misalnya kondisi
daerah perairan terbatas.
Matching points
{P2 & N2} dan {P3 & N3}
dibutuhkan untuk
mendukung dan
memenuhi tingkat
operasional kapal,
bilamana dikehendaki
peningkatan kecepatan
servis kapal.
Jika matching point untuk pitch yang tepat adalah pada titik
operasi {P1 & N1}, maka kondisi pitch yang tidak tepat untuk kurva
beban propeller terjadi seperti kurva [2] dan kurva [3]. Kurva [2]
menunjukkan karakteristik beban propeller untuk kondisi pitch
yang terlalu rendah (light propeller load), sedangkan kurva [3]
menunjukkan karakteristik beban propeller untuk kondisi pitch
yang terlalu tinggi (heavy propeller).
Dari Gambar 14 terlihat bahwa ketika beban propeller bertambah
(heavy propeller) akibat pitch yang terlalu tinggi, maka trend
beban cenderung bergeser naik. Kemudian titik potong kurva
beban propeller tersebut dengan kurva maximum engine torque,
cenderung bergeser sedemikian hingga putaran engine turun
hingga titik N3. Kondisi seperti ini adalah sangat tidak
menguntungkan untuk operasi engine, seakan-akan engine
beroperasi dalam kondisi over load.
Demikian juga sebaliknya, ketika beban propeller lebih ringan
akibat pengambilanpitch yang terlalu rendah. Maka beban
propeller yang terjadi akan bergeser turun, sehingga putaran
engine akan naik hingga N2. Kondisi ini pun tentunya akan
merusak engine, karena engine seakan-akan beroperasi dalam
kondisi over speed.
Ketika kapal masih dalam kondisi baru (clean hull, smooth, etc), kondisi
kurva beban propeller seperti yang digambarkan pada kurva [1]. Dan saat
itu jika engine di-running dengan engine torque seperti digambarkan oleh
kurva [1], maka design speed untuk kapal sudah dapat dicapai pada
kondisi engine speed, N1.
Namun, saat lambung kapal sudah banyak ditempeli oleh binatangbinatang laut maka tahanan kapal akan berubah seperti yang ditunjukkan
oleh kurva .
Bila engine dirunning tetap seperti yang ditunjukkan oleh kurva [2], maka
engine speed akan turun dari N1 ke N2. Dan tentu sebagai konsekuensi
adalah kecepatan servis kapal akan mengalami penurunan juga. Akan
tetapi, bila engine masih memiliki margin yang cukup sedemikian hingga
kurva engine torque dapat dinaikkan seperti yang digambarkan oleh kurva
[1], maka engine speed dapat dipertahankan pada N1. Sehingga kondisi
operasional kapal tidak terganggu (kecepatan servis kapal masih mampu
dipertahankan).
Sebagai catatan bahwa kondisi operasi kurva [2] adalah masih berada
pada 90% rated bmep (atau, pada 85-90% rated power at 100% rated
speed).
2. ENGINE RATING
Apabila engine di-rated pada 10.000 kW, artinya adalah, Daya sebesar 10.000 kW
disuplai oleh engine ke propeller. Walaupun demikian, perlu diketahui juga bahwa
pada kondisi yang bagaimana engine tersebut mampu memproduksi daya
sebesar 10.000 kW tersebut. Misalnya, bagaimana keadaan dari lingkungan
ruangan saat engine di-rated, dan bagaimana pula harga dari putaran poros.
Kemudian, bagaimana seorang marine engineer ini menentukan service rating
power.
Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan didalam penentuan engine
rating tersebut, antara lain :
Rated Power
Rated Torque
Rated Speed
Rated Brake Mean Effective Pressure
Dimana seperti telah ditulis pada persamaan sebelumnya, bahwa ;
Jika engine dioperasikan pada ambient conditions yang tidak standar, maka
engine rating harus dimodifikasi (misalnya dioperasikan pada daerah tropis).
Ada beberapa standar yang diikuti (lihat Tabel 1), dan langkah-langkah yang
diambil guna pemodifikasian dari engine rating dengan mempertimbangkan
ambient operating conditions saat service adalah dikenal dengan istilah DERATING.
OPERATING MARGINS
Ratio ini harus dihitung dengan seluruh pertimbangan teknis, meliputi kondisi
lingkungan, tipe bahan bakar, dan koreksi-koreksi yang digunakan. Dan jika terjadi
kondisi engine & Propeller match yang seperti ditunjukkan pada region (1) dalam
Gambar 18, maka salah satu langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut :
Propeller replaced (diganti),
Re-pitched,
Tips cropped (potong bagian tip dari daun propeller).
Engine & Propeller Matching adalah sangat esensial, tidak hanya pertimbangan
terhadap alasan ekonomisnya saja. Akan tetapi juga untuk menghindari kerusakan
dari Engine. Beban thermal dari engine tergantung pada bmep dan posisi titik
operasi pada kurva [6] dari Gambar 18 tentang Speed Power Map, yang mana
menyajikan kemungkinan kecepatan terendah untuk suatu nilai bmep yang
diberikan. Untuk memperoleh kondisi kerja yang optimum, maka titik-titik operasi
engine untuk continuous service sebaiknya berada dalam Range [1] (Gambar 18).
Engine boleh dioperasikan dalam Range [2], namun hanya untuk periode yang
terbatas. Jika Engine di-set pada kondisi CSR adalah 85% power pada nominal
speed. Dan ketika kelebihan daya tersebut kemudian dibutuhkan, maka putaran
engine dapat dinaikkan hingga;
103% dari nominal speed-nya, selama continuous operation.
108% dari nominal speed-nya, untuk periode sekitar 1 jam selama trials run.
Dan ini hanya dapat dilakukan jika shafting bukan menjadi sumber getaran torsional
yang tidak dapat diijinkan.
100.4803
Power %
L2
L3
L4
40
80
90
100
110
RPM %
Series1
Series2
Series3
Series4
%Margin
%Trial
DERATING
Merupakan metode tradisional untuk menurunkan SFOC, dengan cara memilih titik
MCR tertentu yang lebih rendah dari titik nominal MCR sepanjang garis vertical
konstan dari layout diagram dibawah ini.
Kerugian metode ini adalah engine akan menghasilkan tenaga propulsi yang lebih
rendah.
ENGINE-PROPELLER MATCHING
Oleh :
Ir. Surjo W. Adji, M.Sc CEng. FIMarEST
MULTIHULLS
CONVENTIONAL CATAMARAN
STILLETO
(M-SHIP)
BALI CRUISE
docking
di PT. PAL 2003
Dimana :
W = displacement kapal
CV = coefficient speed
Cfo = friction coefficient
V = viscositas kinematis (m2/dt)
l = mean wetted length beam ratio
b = lebar kapal
b = deadrise angle
t = trim angle
PC
= propulsive coefficient
The design of a
52ft. Aerorig cruising catamaran
SWATH
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Introduction to SWATH
SWATH Development
Performance Comparison with other craft
SWATH Design Trends
SWATH Modelling
Application of SWATH
a. Semi Submerged Catamaran (SSC)
b. Military Application
c. Passenger Vessels
d. Research Vessel/Oceanographic Vessel
1. Introduction to SWATH
Small waterplane area twin hull
(SWATH) is a twin-hull ship design
that minimizes hull volume in the
surface area of the sea. By
minimizing hull volume in the sea's
surface, where wave energy is
located, the vessel becomes very
stable, even in high seas and at high
speeds. The bulk of the displacement
necessary to keep the ship afloat is
located beneath the waves, where it
is
affected design
by wave
action, large,
as
Thelesstwin-hull
provides
broad decks and a stable
wave excitation
drops
exponentially
platform.
The main
disadvantages
to the SWATH hull form are that
with are
depth.
Placing
the majority
of
they
more
expensive
than conventional
catamarans, require a
the ship'scontrol
displacement
undera the
complex
system, have
deeper draft than catamarans and
waves is similar
concept
to
mono-hulled
ships, in and
a higher
maintenance requirement.
Buoyancy
The buoyancy of a SWATH ship is provided by two submarine hulls
connected to the upper platform by twin narrow struts from each of
the submarine hulls. This mature technology used by the military and
for deep-sea research ships. Until now, it has not been available in a
private yacht. Very simply the hull form reduces the upward forces
on the vessel as the wave passes through. The biggest advantage
comes in a beam sea because the technology significantly reduces the
2. SWATH Development
5. SWATH Modelling
914 T - OPV
6. Application of SWATH
Specifications
Hull Form: : Aluminum
Length (feet): 123
Beam (feet): 60
Max speed: 27 knots
Megayacht: With the good seakeeping, over 4714 square feet of main
deck and over 3370 square feet of upper deck, the Cloud X could be
The Planet - The Type 751 Planet of the German Navy is the most
modern naval research ship within NATO. It was built as SWATH
design in order to reduce the hull volume and to increase the ship's
stability - particularly in high seas and at high speed. It is used for
geophysics and naval technology trials and research. While
technically not armed, it is equipped with torpedo launch capability.
Also other weapons systems can be installed for weapon trials.
Displacement: 3,500 tonnes (3,445 long tons)
Length: 73 m (239 ft 6 in)
With twin gas turbine engines, twin water jets, and a streamlined
hull, Sea Fighter is capable of speeds of 50 knots (90 km/h) and
greater. It is designed to be a sea frame that can carry
interchangeable mission modules resembling shipping containers.
These modules allow it to be easily reconfigured to meet a variety
of mission requirements. The mission modules are easily loaded
and stored on Sea Fighter's inner deck.
The basic design has a displacement of 1,100 tons while measuring
73 m long and 22 m broad. Power is provided by a CODOG
arrangement comprising two MTU 595 diesel engines and two
LM2500 gas turbines. Diesel power is used for cruising while the
turbines provide high power output for high speed operation. The
two gas turbines power the vessels twin water jets, drawing water
from the bottom stern of each hull and powering it through large
Sea Shadow has a SWATH hull design. Below the water are
submerged twin hulls, each with a propeller, aft stabilizer, and inboard
canard. The portion of the ship above water is connected to the hulls
via the two angled struts. The SWATH design helps the ship remain
stable even in very rough water of up to sea state 6 (wave height of 18
feet (5.5 m) or "very rough" sea).
Sea Shadow was revealed to the public in 1993, and was housed at the
San Diego Naval Station until September 2006, when it was relocated
with the HMB-1 to the Suisun Bay Reserve Fleet in Benicia, CA. The
vessels are available for donation to a maritime museum. The Sea
FINISH