Hamka Suppos
Hamka Suppos
Hamka Suppos
I. FORMULA ASLI
II. MASTER FORMULA
Nama Produk
Jumlah Produk
No. Registrasi
No. Batch
: OPII PULVIS
: BESEPIUM SUPPOSITORIA REKTAL
: 6 Suppositoria @ 1 Strip
: DNL 1320100153 A1
: D 320111
PABRIK
PT. BELEVEN FARMA
NAMA PRODUK
BESEPIUM SUPPOSITORIA
REKTAL
Dibuat Oleh
Kelas B.11
Disetujui Oleh
Kode Bahan
Master
Formula
Suppositoria
Nama Bahan
Opium Z.A
Opium Pulvis
100 mg
600 mg
Alpa Z.T
Alpa Tocoferol
1 mg
6 mg
Ol. C Z.T
Oleum Cacao
1889 mg
1139 mg
Tanggal
Produk
Opium
diperoleh
dengan
cara
pengeringan
dari
tumbuhan
Papaver
somniverum yaitu dari jenis album de candoile yang mengandung tidak kurang dari
9,5% morfin.
Telah digunakan sebagai obat pada beberapa Negara, pada penelitian yang
bernama Sertuner pada taun 1817 telah diketahui bahwa obat ini termasuk golonga
alkaloid.
3. Menurut Farmakologi dan Terapi Edisi V Hal 210
Analgesic opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Opium yang berasal dari getah Papaver somniverum mengandung sekitar 20 jenis
alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain dan papaverin. Analgesik opioid terutama
digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga
memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain.
4. Menurut At a Glance Farmakologi Medis Edisi V hal 64
Analgesic opioid adalah obat yang menyerupai opioid endogen dan
menyebabkan aktifitas reseptor opioid yang memanjang. Hal tersebut menyebabkan
analgesia, depresi nafas, euphoria dan sedasi.
b. Oleum Cacao ( Zat Tambahan )
1. Menurut Lachman 3, hal 1168
Minyak coklat merupakan basis suppositoria yang paling banyak digunakan,
minyak coklat seringkali digunakan dalam resep-resep pencampuran bahan-bahan
obat bila basisnya tidak dinyatakan apa-apa. Sebagian besar minyak coklat
memenuhi persyratan basis ideal, karena minyak ini tidak berbahaya , lunak, tidak
reaktif, serta meleleh pada teperatur tubuh.
2. Menurut C. Ansel Edisi IV Hal 582
Oleum Cacao, USP, Didefinisikan sebagai lemak yang diperoleh dari biji
Theobroma cacao yang dipanggang. Karena oleum cacao meleleh antara 300C
Sampai 360C. Merupaka basis suppositoria yang ideal, yang dapat melumer pada
suhu tubuh tetapi tetap dapat bertahan sebagai bentuk padat pada suhu kamar
biasa.
3. Menurut Goeswin Agoes, hal 338
Minyak coklat berupa padatan berwarna kuning putih berbau coklat, terdiri atas
campuran ester gliseril stearat, palmitat, oleat dan asam lemak lainnya. Keuntungan
basis oleum cacao :
a) Rentang suhu lebur antara 300C 360C (sehingga berbentuk padat pada
temperature kamar dan melebur pada suhu tubuh)
b) Segera melebur jika dihangatkan dan cepat kembali ke keadaan awal jika dibiarkan
mendingin.
c) Dapat tercampur dengan banyak kompenen.
d) Cukup menyenangka dan tidak merangsang.
4. Menurut Farmakope Belanda, hal 380
Minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan panas dari biji yang
dipanggang dari Theobroma cacao, yang telah dihilangkan kulir bijinya. Benda putih
kekuning-kuningan yang berbau coklat dan rasany halus, yang pada suhu dibawah
250C menjadi rapuh tetapi diatasnya menjadi lunak atau cair.
c. Tocoferol (Bahan Oksidan)
1. Menurut Excipient Edisi VI, hal 31
Alpa tocoferol mempunyai nilai dalam lemak atau basis lemak produk
farmaseutica dan normal digunakan dalam konsentrasi antara 0,001% - 0,05%.
2. Menurut Lachman 3, hal 1191
Umumnya penelitian keliru tentang istilah keasaman lemak dan ketengikan.
Adanya asam-asam lemah bebas dalam jumlah besar belum tentu menunjukan
ketengikan atau produk seperti itu dapat menjadi tengik. Ketengikan disebabkan
autoksidasi.
3. Menurut Obat-obat penting, hal 233
Vitamin E dalam membrane sel memegang peranan khusus, yaitu pada
perlindungan terhadap kerusakan otot selama gerakan tubuh dan olahraga. Pada
semua proses metabolism tubuh terutama dengan reaksi oksigen membentuk
molekul-molekul dengan electron dikulit luarnya zat zat ini dinaakan radikal bebas.
4. Menurut RPS 18th, Hal 1008
Alpa tocoferol sebagai sutu oksidan yang mempunyai kekuatan oksidan yang
besar. Oleu cacao adalah lemak tak jenuh yang pada penyimpanan dapat mejadi
coklat
muda
kekuningan
khas
aromatik,
agak rapuh.
:iSukar
larut
mudah
dalam
eter
P,
bentuk
asetat,
warna
tokoferol
dingin.
etanol
kuning
dapat
lemak,
(95%)
kloroform
P,
P,
dalam
eter
minyak
an
tidak
berasa,
berbau
-tokoferol
berupa
bau
khas
dalam
dan
tidak
kekuningan,
dalam
larut
merah
rapat,
rasa
tanah.
Suhu lebur
: 310C 340C
Khasiat
: zat tambahan
c. -Tokoferol ( Depkes RI edisi III, hal 606)
Nama resmi
: TOCOPHEROLUM
Nama lain
: Tokoferol, Vitamin E
Rumus molekul
: C24H50O2
Berat molekul
: 430,372
Pemerian
:
praktis
tidak
atau
tembus cahaya.
Kegunaan
: Narkotikum
Dosis maksimum
: Sekali 200 mg, sehari 500 mg
b. Oleum cacao (Depkes RI edisi III, hal 453)
Nama resmi
: OLEUM CACAO
Nama lain
: lemak coklat
Pemerian
:ilemak
padat,
putih
Kelarutan
mengandung
dan
minyak
-toseovena,
kental
kehijauan
terbentuk
pada
jernih,
dan
suhu
Kelarutan
tidak
larut
Ilarutan
dalam
alkali;
(95%)
P,
aseton
P,
air,
sukar
larut
dalam
dan
larut
dalam
dalam
eter
dalam
etanol
P,
dalam
minyak
nabati;
Inkampabilitas
Khasiat
Ranges
Stabilitas
hal 32)
: Antioksidan dan vitamin E
: 0,001-0,05 % (Excipient Edisi V hal 31)
:ITokoferol
teroksidasi
lambat
dalam
atmosfer,
perak
trimers,
oksigen
dan
tokoferol
edisi
garam
hasil
V,
oksidasi
tokoperoksida,
tokoperoquinoni
danitocophyrandquinon,
dimasukkan
dengan
baik
atau
sebagai antioksidan.
FARMAKOLOGI OPIUM PULVIS
1. Farmakodinamika ( Farmakologi dan Terapi edisi V, hal 213)
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid
yang terutama didapatkan di SSP dan medulas pinalis yang berperan pada transmisi
dan modulasi nyeri. Ketiga jenis reseptor utama yaitu Muh, Delta, dan Kappa banyak
didapatkan pada kornudorsalis, medulaspinalis. Reseptor didapatkan baik pada
saraf yang mentransmisi nyeri di medulaspinalis. Pemberian angonis opioid
kemedulaspinalis akan menimbulkan analgesia setempat , sedangkan efek samping
sistemik karena pengaruh supraspinal minimal. Opioid yang diberikan secara
sistemik umumnya bekerja baik pada tingkat spinal maupun supraspinal sehingga
meningkatkan khasiat analgesiknya.
2. Farmakokinetika
Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan intravena sama cepat,
sedangkan setelah suntikan subcutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbedabeda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagai morfin mengalami konyugasi
dengan asam glukoronat dihepar , sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan
10% tidak diketahui nasibnya. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal.
= 100 mg
Per batch
= 100 mg x 6
= 600 mg
b. - tokoferol 0,05%
Per dosis
= 2 gram
= x 2.000 mg
= 1 mg
Per batch
= 1 mg x 6
= 6 mg
Per batch
= 2.000 mg ( 600 mg + 6 mg )
= 2.000 mg 606 mg
= 1.139 mg
= 1,139 gram
Untuk - Tokoferol
1 kapsul
1 mg
67,1 mg
= 100 UI
= 1,49
= 100 UI
= 50 mg
6t
= 3355 mg
t
= 559.7
1 kapsul dileburkan dalam 558,7 mg basis dari 559,7 memasang timbangan 50 mg.
VIII.
ETIKET
Komposiosi :
100 mg
Qs
Indikasi :Untuk menurunkan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik monoploid, berguna
untuk menghentikan diare berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus.
No. Reg
: DNL 1320010I53A1
MAKASSAR-INDONESIA
BESEPIUM
OPII PULVIS 100 mg
IX.
BROSUR
BESEPIUM Rektal
Opii Pulvis 100 mg
Suppositoria Rektal
Komposisi :
Tiap Suppositoria mengandung
Opii Pulvis
100 mg
Zat Tambahan
Qs
Indikasi :
Untuk menurunkan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik monoploid,berguna untuk
menghentikan diare berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus.
Kontra indikasi :
Depresi Pernafasan akut, alkoholisme akut, pening-pening dan tekanan otak atau depresi otak
Efek Samping :
Menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita. Reaksi alergi dapat timbul gejala seperti urtikorid eksantem,
dermatitis kontak dan bersin
Perhatian :
Basahi sebelum dipakai
Dosis :
dewasa : 1 suppositoria dalam sehari
No. Reg. : DNL 1320100153A1
No. Bets : B 201011
Simpan pada suhu 250C-300C
Jauhkan dari jangkauan anak-anak
Diproduksi oleh:
PT BELEVEN Farma
Makassar-Indonesia
HARUS DENGAN
RESEP DOKTER
DAFTAR PUSTAKA
C, Ansel, Howard, 2008 Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi . UI-press
Jakarta
Dirjen Pom 1979 Farmakope Indonesia Edisi III . Depkes RI : Jakarta
Dirjen Pom 1995 Farmakope Indonesia Edisi IV . Depkes RI : Jakarta
Ganiswarna, Sulistio 2008 Farmakologi dan Terapi Edisi IV . FKUI :
Jakarta
Gennaro, alfonso 1990 Remingtons Pharmaceutical
Sciences 1 Maek
Publishing Company : Gasion
Hoanijay, tan 2006 Obat-obat Penting . Clex Media Compotindo :
Jakarta
Hardjasaputra, purwanto 2008 Daftar Obat Indonesia . Pt. Mulia Purna
Jaya Terbit : Jakarta
ra Flava
FORMUA ASLI
Suppositoria Analgetik-Antipiretik
A. RANCANGAN FORMULA
Tiap 3 g mengandung
Aspirin
21,66 %
5
%
tokoferol
0,05 %
Ol. Cacao
76,17 %
B. MASTER FORMULA
Nama Produk
: SUPAS Suppositoria
Nama Pabrik
: PT. PRABE
Tanggal Formulasi
: 06 Februari 2015
Tanggal Produksi
: 09 Februari 2015
No. Reg
: DKL 1500100353 A1
No. Batch
: B 001003
Jumlah Produk
:2
Tanggal Produksi
09 Februari 2015
No.Reg : DKL
Asisten
1500100353 A1
No. Batch : B 001003
Nama Bahan
Kegunaan
Dosis
Batch
001-AS
Aspirin
002-CF
Cera Flava
003- T
tokoferol
004-OC
Ol. Cacao
Zat Aktif
Pengeras
Antioksidan
Basis
21,66 %
5%
0,05 %
76,17 %
1,3 g
0,3 g
0,003 g
4,57 g
C. STUDI PREFORMULASI
a. Uraian sifat fisika-kimia
- Alasan Pemilihan zat aktif
Asam salisilat sangat iritatif, sehingga hanya digunakan sebagai obat luar. Derivatnya
yang dapat dipakai secara sistemik adalah ester salisilat dari asam organik dengan substitusi
pada gugus hidroksil misalnya asetosal. Sehingga zat aktif yang digunakan yaitu Asetosal.
(Farmakologi terapi : 234)
Aksi sistemik sering digunakan sebagai tempat absorpsi. Obat yang digunakan
melalui rektum dalam bentuk suppositoria untuk mendapatkan efek sistemiknya terdiri dari
aspirin untuk aktivitas analgetik dan antipiretik. (Ansel: 578)
Adapun alasan pemilihan konsentrasi zat aktif yaitu aspirin dapat diberikan secara
rektal dengan supositoria. Diulang setiap 4 sampai 6 jam sesuai dengan kebutuhan klinis,
untuk maksimal 4 g sehari. Dosis sebagai supositoria adalah 450-900 mg setiap 4 jam sampai
maksimal 3,6 g sehari (Martindale 36: 23 ) dan suppositoria rektum zat aktif aspirin dalam
satu suppositoria 65, 130, 162, 195, 325, 650, 975 mg dan 1,3 g. Sehingga zat aktif yang
-
digunakan yaitu 650 mg sesuai dengan dosis suppositoria menurut mantindal.(Ansel : 593)
Alasan pemilihan basis Oleum Cacao
Faktor fisika kimia dari obat dan basis suppositoria mencakum mengenai sifatsifatnya seperti kelarutan relatif obat lemak dan air serta ukuran partikel dari obat yang
menyebar. Faktor fisika kimia basis melengkapi kemampuannya melebur, melunak, atau
melarut pada suhu tubuh, pada ukuran partikel untuk obat dalam suppositoria yang tidak larut
maka ukuran partikelnya akan mempengaruhi jumlah obat yang dilepaskan dan melarut untuk
absorpsi. Penelitian saat ini menuntukkan bahwa aspirin yang dibuat dalam basis oleum
cacao, melarut dalam sirkulasi rektum lebih cepat dan diaabsorpsi serta diekskresi lebih cepat
bila dalam ukuran partikel kecil. Basis ini juga merupakan basis yang akan mudah melepas
zat aktif kedalam cairan mukosa. Dimana oleum cacao yang melebur pada suhu 30 36
(Ansel : 580)
Alasan penambahan tokofero
Uraian Bahan
rutan
asam.
: Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P, larut dalam kloroform P dan
mpabilitas
dalam eter P.
: Dapat membentuk basa untuk massa pucat ketika triturated dengan asetanilida,
acetophenetidin, antipyrine, aminopyrine, methenamine, fenolatausalol, serbuk yang
mengandung aspirin dengan garam alkali.seperti natrium bikarbonat dapat menjadi gummi
pada kontak dengan kelembapan atmosfir karena solusi parsial dan idrlisis selanjutnya
aspirin. Hidrolisis juga terjadi dalam campuran dengan garam yang mengandung air kristal.
Larutan alkali asetat dan sitrat, serta alkali sendiri, melarutkan obat ini tetapi solusi yang
dihaslkan menghidrolisis cepat membentuk garam asam asetat dan salisislat. Gula dan
litas
impanan
s
iat
an
gliserin telah terbukti menghambat komposisi. Sangan lambat membebaskan kalium asam
hidriodic atau natrium iodida. Oksidasi selanjutnya oleh udara menghasilkan iodium bebas.
:: Dalam wadah tertutup baik
: Sekali 1 gram sehari 8 gram
: Analgetikum, Antipiretikum
tokoferol (Exp : 31)
Nama Resmi
: TOCOPHEROLUM
Nama Lain
: Tokoferol, vitamin E
Rumus Molekul
: C29H50O2
Berat Molekul
: 430,72
: Alpha tokoferol merupakan produk alami. Tidak berwarna atau kuning-coklat, kental,
tan
cairan berminyak.
: Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol (95 %) P, larut dalam kloroform P dan
pabilitas
dalam eter P.
: Tokoferol tidak kompatibel dengan peroksida dan ion logam, terutama besi, tembaga, dan
as
mpanan
an
tan
an
tan
as
:Ketika lilin yang dipanaskan diatas 1508 esterifikasi terjasi dengan akibat penurunan nilai
asam dan elefasi titik lebur. Lilin kuning stail bila disiman dalam wadah tertutup atau
terlindung dari cahaya
Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup baik
Khasiat
: Zat tambahan (pengeras suppositoria).
b. Uraian farmakologi
- Aspirin (Martindale 36 Hal 20-25)
1. Indikasi
Antipiretik, Dosis salisilat untuk dewasa ialah 325 mg-650 mg, diberikan secara oral
tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 15-20 mg/kgBB, diberikan tiap 4-6 jam. Berdasarkan asosiasi
penggunaan aspirin dengan Sindroma Reye, aspirin dikonsentrasikan sebagai antipiretik pada
anak di bawah 12 tahun.
Analgesik, salisilat bermanfaat untuk mengobati nyeri tidak spesifik misalnya sakit
kepala, nyeri sendi, nyeri haid, neuralgia dan mialgia. Dosis sama seperti pada penggunaan
untuk antipiretik.
2. Dosis
Aspirin dapat diberikan secara rektal dengan supositoria. Dosis lisan biasa aspirin
sebagai analgesik dan antipiretik adalah 300-900 mg, diulang setiap 4 sampai 6 jam sesuai
dengan kebutuhan klinis, untuk maksimal 4 g sehari. Dosis sebagai supositoria adalah 450900 mg setiap 4 jam sampai maksimal 3,6 g sehari. (Martindale : 23)
3. Mekanisme kerja
Aspirin adalah asam organik lemah yang unik diantara OAINS, yaitu aspirin
mengasetilasi secara ireversibel (sehingga menginaktifkan) siklooginase. OAINS lainnya,
termasuk salisilat, merupakan penghambat siklooksigenase reversibel. Aspirin di-deasetilasi
secara cepat oleh esterase dalam tubuh yang menghasilkan salisilat, yang berefek ati
inflamasi, antipireti, dan analgesik. Efek antipiretik dan antiinflamasi salisilat terutama
dihasilkan karena penghambatan sintesis prostaglandin termoreguasi pada hipotalamus dan
lokasi target perifer lebih lanjut, dengan menurunkan sintesis prostaglandin, salisilat juga
mencegah sensitisasi reseptor nyeri terhadap rangsangan mekanis dan kimia. Aspirin juga
dapat menekan rangsangan nyeri pada area subkorteks (talamus dan hipotalamus).
Kerja analgesik : Prostaglandin E2 (PEG2) diduga menyebabkan sensitisasi ujung saraf
terhadap kerja bradikin, histamin, dan mediator kimiawi lainnya yang dilepaskan secara lokal
oleh proses inflamasi. Oleh sebab itu, dengan menurunkan sistensis PEG 2, aspirin dan OAINS
lainnya menekan sensasi nyeri. Salisilat digunakan terutama untuk penataalksanaan nyeri
dengan intensitas rendah hingga sedang yang berasal dari gangguan muskuloskeleton dan
bukan yang berasal dari viseral. Kombinasi opioid dan OAINS efektif dalam penekanaan
nyeri yang disebabkan oleh keganasan. Diflunisal bersifat tiga hingga empat kali lipat lebih
kuat dari pada aspirin sebagai analgesik dan agen antiinflamasi, tetapi obat tersebut tidak
memiliki antipiretik.
Kerja antipiretik : demam terjadi bila titik pengaturan pusat, termoregulasi dalam
hipotalamus anterior meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh sintesis
PEG2, yang
dirangsang ketika suatu agen penghasil demam endogen (pirogen), seperti sitokin, dilepaskan
dari sel darah putih diaktifkan oleh infeksi, hipersensitivitas, keganasan, atau inflamasi.
Salisilat menurunkan suhu tubuh pada pasien demam melalui peggangguan sintesis dan
pelepasan PEG2. Aspirin mengatur ulag termostat menjadi normal dan menurunkan secara
cepat suhu tubuh pasien demam dengan meninggkatkan penghilangan panas sebagai akibat
dari vasodilatasi perifer dan berkeringat. Aspirin tidak memiliki efek terhadap suhu tubuh
normal. Diflunisol tidak menurunkan demam karena tidak melewati sawar darah otak.
(Farmakologi ulasan bergambar ed 4 : 598-599)
4. Farmakokinetik
Aspirin dan salisilat lainnya diserap cepat dari saluran pencernaan bila diambil secara
lisan, dan penyerapan setelah dosis dubur dapat diandalkan. Aspirin dan lainnya salisilat juga
dapat diserap melalui kulit. Setelah dosis oral, penyerapan aspirin non-terionisasi terjadi
dalam lambung dan usus. Beberapa aspirin dihidrolisis menjadi salisilat dalam dinding usus.
(Martindale 36 : 23)
5. Farmakodinamik
Salisilat, khususnya asetosal merupakan obat yang banyak digunakan sebagai analgesik,
antipiretik dan anti-inflamasi. Aspirin dosis terapi bekerja cepat dari efektif sebagai
antipiretik. Dosis toksik obat ini justru memperlihatkan efek piretik sehingga pada keracunan
berat ddemam dan hiperhidrosis. Untuk memperoleh efek anti-inflamasi yang baik kadar
plasma perlu dierhatikan antara 250-300 L. Kadar ini tercapai dengan dosis aspirin oral 4
gram per hari untuk orang dewasa. (Farmakologi dan Terapi Ed 5 : 234)
6. Aturan pakai
4 x sehari tiap 6 jam. Dimasukkan kedalam rektum. (Martindale : 23)
7. Cara penggunaan
Aspirin dan salisilat lainnya memiliki analgesik, anti-inflamasi, dan sifat antipiretik;
mereka bertindak sebagai inhibitor enzim siklooksigenase, yang menghasilkan langsung
penghambatan biosintesis prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Dan dapat
diberikan secara rektal dengan suppositoria. (Martindale : 23)
8. Perhatian
Suppositoria berbasis oleum cacao harus disimpan pada suhu dibawah 30 dan lebih
baik di simpan dalam lemari es. (Ansel:592)
9. Interaksi
Beberapa efek aspirin pada gastrointestinal saluran yang ditingkatkan oleh alkohol.
Penggunaan senyawa emas dengan aspirin dapat memperburuk kerusakan hati yang diinduksi
aspirin. (Martindal : 23)
c. Dasar pemilihan bentuk sediaan
Umumnya suppositoria rektum panjangnya
kedua ujungnya tajam. Beberapa suppositoria untuk rektum diantaranya ada yang berbentuk
seperti peluru, terpedo, atau jari-jari kecil, tergantuk kepada bobot jenis bahan obat dan basis
yang digunakan, beratnyapn berbeda-beda. (Ansel : 576)
d. Dasar pemilihan wadah
Suppositoria yang diolah dengan basis oleum caccao biasanya dibungkus terpisahpisah atau dipisahkan satu sama lainnya pada celah-celah dalam kotak untuk mencegah
terjadinya hubungan antar supppositoria tersebut dan mencegah perekatan, sebenarnya
kebanyakn suppositoria yang terdapt dipasaran terbungkus dengan aluminium voil atau bahan
lastik satu persatu. Beberapa diantaranya dikemas dalam strip kontinyu berisi suppositoria
yang dipisahkan dengan merobek lubang-lubang yang terdapat diantara suppositoria tersebut.
Suppositoria ini dikemas dalam kotak dorong atau dalam kotak plastik. (Ansel : 592)
D. Perhitungan
Perhitungan Bahan
Aspirin
= x 3 = 0,65 g
= 0,65 g x 2 = 1,3 g
Cera flava
= x 3 = 0,15 g
= 0,15 g x 2 = 0,3 g
- tokoferol
= x 3 = 0,0015 g
= 0,0015 g x 2 = 0,003 g
Oleum Cacao =
Perhitungan nilai tukar
Aspirin
= 0,65 g x 2 = 1,3 g
Berat Suppositoria
=3x2
=6g
Oleum cacao yang ditambahkan sebanyak
= 1,3 g x 1,1 = 1,43
= 6 g 1,43 = 4,57 ( dalam dua suppo)
= 4,57 / 2 = 2,285 g (satu suppo)
E. Metode kerja
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
agak dingin.
Ditimbang alfa tokoferor 0,003 g dicampur dengan bahan lan hingga homogen
Dicetak dalam ccetakan suppo
Dimasukkan dalam wadah
Masukkan dalam kulkas
Disusun oleh
Selfia Mona Peggystia
11.094
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan tekhnologi, perkembangan di dunia
farmasi pun tak ketinggalan. Semakin hari semakin banyak jenis dan ragam penyakit yang
muncul. Perkembangan pengobatan pun terus di kembangkan. Berbagai macam bentuk
sediaan obat, baik itu liquid, solid dan semisolid telah dikembangkan oleh ahli farmasi dan
industri.
Ahli farmasi mengembangkan obat untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat, yang
bertujuan untuk memberikan efek terapi obat, dosis yang sesuai untuk di konsumsi oleh
masyarakat. Selain itu, sediaan semisolid digunakan untuk pemakaian luar seperti krim,
salep, gel, pasta dan suppositoria yang digunakan melalui rektum. Kelebihan dari sediaan
semisolid ini yaitu, mudah dibawa, mudah pada pengabsorbsiannya. Juga untuk memberikan
perlindungan pengobatan terhadap kulit tubuh.
Berbagai macam bentuk sediaan semisolid memiliki kekurangan, salah satu
diantaranya yaitu mudah di tumbuhi mikroba. Untuk meminimalisir kekurangan tersebut,
para ahli farmasis harus bisa memformulasikan dan memproduksi sediaan secara tepat.
Dengan demikian, farmasis harus mengetahui langkah-langkah yang tepat untuk
meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan. Dengan cara melakukan, menentukan
formulasi dengan benar dan memperhatikan konsentrasi serta karakteristik bahan yang
digunakan dan dikombinasikan dengan baik dan benar.
1.2 Tujuan
Mengetahui langkah-langkah cara pembuatan sediaan suppositoria yang baik dan tepat.
1.3 Manfaat
Dapat memahami langkah-langkah dalam pembuatan sediaan suppositoria.
Untuk dapat mengaplikasikan di dunia kerja.
Untuk menambah wawasan dan ketrampilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Suppositoria
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, berbentuk torpedo,
dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh. (Moh. Anief. 1997)
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui
rectal, vagina atau uretra. (Farmakope Indonesia Edisi IV)
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk
torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh. ( Farmakope Indonesia Edisi
III)
Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu tubuh,
digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai dengan maksud
penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo. (Formularium Nasional)
Jadi, suppositoria dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan padat yang berbentuk torpedo
yang biasanya digunakan melalui rectum dan dapat juga melalui lubang di area tubuh,
sediaan ini ditujukan pada pasien yang mudah muntah, tidak sadar atau butuh penanganan
cepat.
2.2 Macam-macam Suppositoria
a. Suppositoria untuk rectum (rectal)
Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan. Biasanya
suppositoria rektum panjangnya 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk silinder dan kedua
ujungnya tajam. Bentuk suppositoria rektum antara lain bentuk peluru, torpedo atau jari-jari
kecil, tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut
USP sebesar 2 g untuk yang menggunakan basis oleum cacao (Ansel, 2005).
b. Suppositoria untuk vagina (vaginal)
Suppositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau
seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g, apabila basisnya oleum cacao.
c. Suppositoria untuk saluran urin (uretra)
Suppositoria untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya rampiung seperti
pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin
pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang 140 mm, walaupun ukuran ini masih
bervariasi satu dengan yang lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao beratnya 4 g.
Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya dari ukuran untuk pria,
panjang 70 mm dan beratnya 2 g, inipun bila oleum cacao sebagai basisnya.
Persyaratan Supositoria
Sediaan supositoria memiliki persyaratan sebagai berikut:
1. Supositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit pada suhu tubuh atau melarut
(persyaratan kerja obat).
2. Pembebasan dan responsi obat yang baik.
3. Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan, pewarnaan,
penegerasan, kemantapan bentuk, daya patah yang baik, dan stabilitas yang memadai
dari bahan obat).
4. Daya serap terhadap cairan lipofil dan hidrofil.
2.5 Basis supositoria
Sediaan supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan melebur, melarut
dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan peranan penting. Maka dari itu
basis supositoria harus memenuhi syarat utama, yaitu basis harus selalu padat dalam suhu
ruangan dan akan melebur maupun melunak dengan mudah pada suhu tubuh sehingga zat
aktif atau obat yang dikandungnya dapat melarut dan didispersikan merata kemudian
menghasilkan efek terapi lokal maupun sistemik. Basis supositoria yang ideal juga harus
mempunyai beberapa sifat seperti berikut:
1. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
2. Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
3. Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau serta pemisahan
obat.
4. Kadar air mencukupi.
5. Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan penyabunan harus
diketahui jelas.
2.5.1 Persayaratan Basis Suppositoria
1. Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini dapat disebabkan
oleh massa yang tidak fisiologis ataupun tengik, terlalu keras, juga oleh kasarnya bahan obat
yang diracik).
2. Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat).
3. Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil).
4. Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat berlangsung cepat
dalam cetakan, kontraksibilitas baik, mencegah pendinginan mendaak dalam cetakan).
5. Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih (ini dikarenakan
untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan, khususnya pada suhu tinggi sehingga tetap
stabil).
2.5.2 Macam-macam Basis Suppositoria
1. Basis berlemak, contohnya: oleum cacao.
2. Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak: campuran tween dengan gliserin laurat.
3. Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya: gliserin-gelatin, PEG (polietien
glikol).
2.5.3 Bahan Dasar Supositoria
1. Bahan dasar berlemak: oleum cacao
Lemak coklat merupakan trigliserida berwarna kekuninagan, memiliki bau yang khas dan
bersifat polimorf (mempunyai banyak bentuk krital). Jika dipanaskan pada suhu sektiras
30C akan mulai mencair dan biasanya meleleh sekitar 34-35C, sedangkan dibawah 30C
berupa massa semipadat. Jika suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan mencair
sempurna seperti minyak dan akan kehilangan semua inti kristal menstabil.
Keuntungan oleum cacao:
a. Dapat melebur pada suhu tubuh.
b. Dapat memadat pada suhu kamar.
Kerugian oleum cacao:
a. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran).
b. Titik leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang turun apabila ditambahkan dengan
bahan tertentu.
c. Meleleh pada udara yang panas.
2. PEG (Polietilenglikol)
PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul antara 300-6000.
Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000 (carbowax 1000), PEG 1500
(carbowax 1500), PEG 4000 (carbowax 4000), dan PEG 6000 (carbowax 6000). PEG di
bawah 1000 berbentuk cair, sedangkan di atas 1000 berbentuk padat lunak seperti malam.
Formula PEG yang dipakai sebagai berikut:
1. Bahan dasar tidak berair: PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96% (75%).
2. Bahan dasar berair: PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua+obat 20%.
Titik lebur PEG antara 35-63C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi larut dalam cairan
sekresi tubuh.
Keuntungan menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Tidak mengiritasi atau merangsang.
2. Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan dengan oleum cacao.
3. Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh.
Kerugian jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga timbul rasa yang
menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan supositoria ke dalam air
dahulu sebelum digunakan.
2. Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat pelepasan obat.
Pembuatan supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan bahan dasar, lalu
dituangkan ke dalam cetakan seperti pembuatan supositoria dengan bahan dasar lemak
coklat.
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi Absobsi Obat per Rektal
Rektum mengandung sedikit cairan dengan PH 7,2 dan kapasitas dapar rendah. Epitel
rektum sifatnya berlipoid (berlemak) maka diutamakan permeabel terhadap obat yang tidak
terionisasi (obat yang mudah larut lemak).
2.7 Nilai Tukar
Nilai tukar adalah nilai yang digunakan untuk mengurangi kadar zat aktif. Tujuan dari
pengurangan zat aktif adalah meminimalisir over dosis yang ditimbulkan. Karena zat aktif
yang tertera pada literature merupakan kadar zat aktif yang digunakan secara oral, maka pada
penggunaan untuk rectal kadar zat aktif harus dikurangi. Hal ini berkaitan dengan proses
farmakokinetik di dalam tubuh. Untuk obat-obat oral prosesnya melalui ADME sedangkan
untuk obat-obat lokal (suppo) prosesnya tidak melalui ADME melainkan langsung diserap
oleh permukaan mukosa rectal, kemudian masuk ke pembuluh darah selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah. Oleh karena itu, jika zat aktif masih menggunakan dosis oral, maka
dikhawatirkan terjadi over dosis pada pasien.
Pada pembuatan supositoria menggunakan cetakan, volume supositoria harus tetap.
Tetapi, bobotnya beragam tergantung pada jumlah dan bobot jenis yang dapat diabaikan,
misalnya ekstrak belladonea dan garam alkaloid.
Nilai tukar dimaksudkan untuk mengetahui bobot minyak cokelat yang mempunyai volume
yang sama dengan 1g obat. Berikut adalah tabel nilai tukar:
Nama Obat
Acidum boricum
Garam alkaloid
Bismuth subgallas
Ichtammolum
Tanninum
Aethylis aminobenzoas
Aminoplhylinum
Bismuth subnitras
Sulfonamidum
Zinci oxydum
Dalam praktik, nilai tukar beberapa obat adalah 0.7 kecuali untuk garam Bismuth dan
Zincy Oxydum. Untuk larutan nilai tukarnya dianggap satu. Bila supositoria mengandung
obat atau zat padat yang banyak, pengisian pada cetakan berkurang dan jika dipenuhi dengan
campuran massa, akan diperoleh jumlah obat yang melebihi dosis. Oleh sebab itu, untuk
membuat supositoria yang sesuai dapat dilakukan dengan cara menggunakan perhitungan
nilai tukar.
2.8 Uji Bahan Aktif
1. Titik lebur
Titik lebur adalah suhu di mana zat yang kita uji pertama kali melebur atau meleleh
seluruhnya yang ditunjukan pada saat fase padat cepat hilang. Dalam analisa farmasi titik
lebur untuk menetapkan karakteristik senyawa dan identifikasi adanya pengotor. Untuk uji
titik lebur di butuhkan alat pengukuran titik lebur yaitu, Melting Point Apparatus (MPA) alat
ini digunakan untuk melihat atau mengukur besarnya titik lebur suatu zat.
2. Bobot jenis
Bobot jenis adalah perbandingan bobot jenis udara pada suhu 25
terhadap bobot
air dengan volume dan suhu yang sama. Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh
dengan membagi bobot jenis dengan bobot air dalam piknometer. Lalu dinyatakan lain dalam
monografi keduanya ditetapkan pada suhu 25
digunakan untuk:
Mengetahui kepekaan suatu zat
Mengetahui kemurniaan suatu zat
Mengetahui jenis zat
Piknometer untuk menentukan bobot jenis zat padat dan zat cair. Zat padat berbeda
dengan zat cair, zat padat memiliki pori dan rongga sehingga berat jenis tidak dapat
terdefinisi dengan jelas. Berat jenis sejati merupakan berat jenis yang dihitung tanpa pori atau
rongga ruang. Sedangkan berat jenis nyata merupakan berat jenis yang di hitung sekaligus
degan porinya sehingga
nyata <
sejati.
Cetakan suppositoria terbuat dari besi yang dilapisi nikel atau logam lainnya, namun
ada juga yang terbuat dari plastik. Cetakan ini mudah dibuka secara longitudinal untuk
mengeluarkan supositoria. Untuk mengatasi massa yang hilang karena melekat pada cetakan,
supositoria harus dibuat berlebih (10%), dan sebelum digunakan cetakan harus dibasahi
lebih dahulu dengan parafin cair atau minyak lemak, atau spiritus sapotanus (Soft Soap
Liniment) agar sediaan tidak melekat pada cetakan. Namun, spiritus sapotanus tidak boleh
digunakan untuk supositoria yang mengandung garam logam karena akan bereaksi dengan
sabunnya dan sebagai pengganti digunakan oleum recini dalam etanol. Khusus supositoria
dengan bahan dasar PEG dan Tween bahan pelicin cetakan tidak diperlukan, karena bahan
dasar tersebut dapat mengerut sehingga mudah dilepas dari cetakan pada proses pendinginan.
Metode pembuatan supositoria dibagi menjadi 3 yaitu:
a.
Dengan tangan
Yaitu dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah dicampur homogen dan
mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian
diaduk dengan bahan-bahan aktif dengan menggunakan mortir dan stamper, sampai diperoleh
massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian massa digulung menjadi suatu
batang silinder dengan garis tengah dan panjang yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat
mencegah pelekatan pada tangan. Batang silinder dipotong dan salah satu ujungnya
diruncingkan.
b.
Dengan mencetak kompresi
Hal ini dilakukan dengan mengempa parutan massa dingin menjadi suatu bentuk yang
dikehendaki. Suatu roda tangan berputar menekan suatu piston pada massa suppositoria yang
diisikan dalam silinder, sehingga massa terdorong kedalam cetakan.
c.
Dengan mencetak tuang
Pertama-tama bahan basis dilelehkan, sebaiknya diatas penangas air atau penangas uap
untuk menghindari pemanasan setempat yang berlebihan, kemudian bahan-bahan aktif
diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya. Akhirnya massa dituang kedalam cetakan logam
yang telah didinginkan, yang umumnya dilapisi krom atau nikel.
2.10 Pengemasan Supositoria
a. Supositoria gliserin dan supositoria gelatin gliserin umumnya dikemas dalam wadah gelas
ditutup rapat supaya mencegah perubahan kelembapan dalam isi supositoria.
b. Supositoria yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya dibungkus terpisah-pisah atau
dipisahkan satu sama lain pada celah-celah dalam kotak untuk mencegah perekatan.
c. Supositoria dengan kandungan obat yang sedikit lebih pekat biasnya dibungkus satu per satu
dalam bahan tidak tembus cahaya seperti lembaran metal (alumunium foil).
2.11Evaluasi Sediaan
Bentuk
Bentuk suppositoria juga perlu diperhatikan karena jika dari bentuknya tidak seperti
sediaan suppositoria pada umunya, maka seseorang yang tidak tahu akan mengira bahwa
sediaan tersebut bukanlah obat. Untuk itu, bentuk juga sangat mendukung karena akan
memberikan keyakinan pada pasien bahwa sediaa tersebut adalah suppositoria. Selain itu,
suppositoria merupakan sediaan padat yang mempunyai bentuk torpedo.
3.
hancur dalam tubuh. Cara uji waktu hancur dengan dimasukkan dalam air yang di set sama
dengan suhu tubuh manusia, kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu
hancurnya 15 menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit. Jika melebihi syarat
diatas maka sediaan tersebut belum memenuhi syarat untuk digunakan dalam tubuh.
Mengapa menggunakan media air? Dikarenakan sebagian besar tubuh manusia mengandung
cairan.
4.
Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot tiap sediaan sudah sama
atau belum, jika belum maka perlu dicatat. Keseragaman bobot akan mempengaruhi terhadap
kemurnian suatu sediaan karena dikhawatirkan zat lain yang ikut tercampur. Caranya dengan
ditimbang saksama 10 suppositoria, satu persatu kemudian dihitung berat rata-ratanya. Dari
hasil penetapan kadar, yang diperoleh dalam masing-masing monografi, hitung jumlah zat
aktif dari masing-masing 10 suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen.
Jika terdapat sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka suppositoria tersebut tidak
memenuhi syarat dalam keseragaman bobot. Karena keseragaman bobot dilakukan untuk
mengetahui kandungan yang terdapat dalam masing-masing suppositoria tersebut sama dan
dapat memberikan efek terapi yang sama pula.
Keterangan :
X = jumlah obat dalam tubuh
Doral
F = fraksi dosis oral yang mencapai peredaran darah sistemik dalam bentuk aktif.
= bioavailabilitas absolute obat oral
Co= kadar plasma atau serum pada waktu T = 0 (ekstrapolasi garis eliminasi ke t = 0 )
Besarnya Vd ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh, kemampuan molekul obat
memasuki berbagai kompartemen tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan
dengan berbagai jaringan. Obat yang tertimbun dalam jaringan mempunyai kadar dalam
plasma yang rendah sekali sedangkan Vd nya besar (misalnya, digoksin). Untuk obat yang
terikat dengan kuat pada protein plasma mempunyai kadar plasma yang cukup tinggi dan
mempunyai Vd yang kecil (misalnya, warfarin, tolbutamid dan salisilat).
2.12Monografi
Monografi bahan dalam pembuatan sediaan supositorian adalah sebagai berikut:
1. Aminophyllinum, Teofilin Etilendiamin (FI IV hal 90)
Pemerian: butir atau serbuk putih atau agak kekuningan, bau ammonia lemah, rasa pahit.
Jika dibiarkan di udara terbuka, perlahan-lahan kehilangan etilenadiamina dan menyerap
karbon dioksida dengan melepaskan teofilin. Larutan bersifat basa terhadap kertas lakmus.
Kelarutan: tidak larut dalam etanol dan dalam eter. Larutan 1 g dalam 25 air menghasilkan
larutan jernih, larutan 1 g dalam 5 ml air menghablur jika didiamkan dan larut kembali jika
ditambah sedikit etilenadiamina.
Khasiat: obat asma.
2 Bisakodil, Bisacodylum (FI IV hal 144)
Pemerian: serbuk hablur, putih sampai hampir putih, terutama terdiri dari partikel dengan
diameter terpanjang lebih kecil dari 50 m.
Kelarutan: praktis tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, dan dalam benzene, agak
sukar larut dalam etanol dan dalam methanol, sukar larut dalam eter.
Khasiat: obat laksativum atau memperlancar BAB.
3. Oleum Cacao (FI-III hal 453)
Lemak coklat adalahcoklat padat yang diperoleh dengan pemerasan panas biji Theo Broma
Cacao L. yang telah dikupas/ dipanggang.
Pemerian: lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatic, rasa khas lemak agak rapuh.
Kelarutan: sukar larut dalam etanol (95 %)P, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter P
dan dalam eter minyak tanah P.
Suhu lebur: 310 340 C.
Khasiat: zat tambahan.
2.13 Alasan Pemilihan Bahan
a. Amynophyllinum
Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk mengobati asma, zat aktif ini dibuat dalam bentuk
suppositoria karena untuk asma membutuhkan penanganan yang cepat. Efek terapi yang
diberikan jika sediaan dalam bentuk suppositoria lebih cepat daripada dalam bentuk oral.
Sediaan dalam bentuk oral, kerja obatnya harus melalui absorbsi terlebih dahulu, sedangkan
sediaan suppositoria tidak melalui absorbsi sehingga efek terapi yang diberikan akan lebih
cepat.
b. Oleum Cacao
Oleum Cacao berdaya guna dalam melepaskan zat aktif daripada yang lain, karena
mempunyai titik lebur pada suhu 31-34. Dibuat dalam bentuk suppositoria ditujukan untuk
melebur pada suhu tubuh, karena oleum cacao digunakan sebagai bahan dasar suppo yang
ketambahan zat aktif, jadi titik leburnya akan menjadi 35-37. Obat yang larut dalam air
yang dicampur dengan oleum cacao, pada umumnya memberi hasil pelepasan yang baik.
(Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi: 581). Pada bahan tambahan oleum cacao ini dilebihkan
10% pada basisnya, sebab basis saat dileburkan selain melebur juga menguap, sehingga
berkurang. Selain itu saat di dinginkan basis akan menyusut dan berkurang oleh karena itu
harus dilebihkan 10% pada basisnya.
c. Bisakodil
Sebagai bahan aktif yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa nyeri pada buang air besar.
Dibuat dalam bentuk suppositoria karena bentuk sediaan ini akan membantu memberikan
efek terapi yang lebih cepat dari pada dalam bentuk oral. Sediaan dalam bentuk oral, kerja
obat harus melalui absorbsi terlebih dahulu, sedangkan sediaan suppositoria tidak melalui
absorbsi sehingga efek terapi yang diberikan akan lebih cepat.
2.14 Cara pemberian
Pemberian obat dengan sediaan suppositoria dengan memasukkan obat melalui anus
atau rektum dalam bentuk suppositoria
Petunjuk pemakaian: cuci tangan sampai bersih, buka pembungkus suppositoria, kemudian
tidur dengan posisi miring. Supositoria dimasukkan ke rektum dengan cara bagian ujung
supositoria didorong dengan ujung jari, kira-kira -1 inci pada bayi dan 1 inci pada dewasa,
bila perlu ujung supositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan. Untuk nyeri dan
demam satu supositoria diberikan setiap 46 jam jika diperlukan. Gunakan supositoria ini 15
menit setelah buang air besar atau tahan pengeluaran air besar selama 30 menit setelah
pemakaian supositoria.
Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan hubungi dokter jika sakit
berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anak-anak. Jika tertelan atau terjadi over
dosis segera hubungi dokter (Monson, 200
BAB III
METODOLOGI KERJA
250 mg
qs
II
S 2 dd 1 supp
Resep 2 (FORNAS, 51) Obat untuk Sembelit
R/ Bisacodil
5 mg
Oleum Cacao
qs
Aminophyllinum
Nilai tukar : 0,86
Amino yang diperlukan
Berat suppo
Nilai tukar
lemak yg dibutuhkan (ol. Cacao)
Tambahan lemak (ol.cacao)10%
Jadi, tambahan lemak (ol.cacao)
= 2 x 0,25 g = 0,5 g
=2x2g=4g
= 0,5 g x 0,86 = 0,43 g
= 4 g 0,43g = 3.57 g
= 10/100 x 3.57 g = 0.357 g
= 3.57 g + 0.357 g = 3.927 g
b. Bisacodil
= 10 mg x 2 = 20 mg = 0,02 g
Nilai tukar
= 0,7 x 0,02 g = 0,014 g
Bisacodil yg diperlukan
= 0,014 g = 14 mg
Pengenceran bisacodil
Missal penambahan 300 mg SL =
84 mg
Bisacodil = 50 mg
SL
= 250 mg
Jadi sisa pengenceran = 300 mg 84 mg = 216 mg
Karena bisacodil yg diperlukan 14 mg,
Maka 84 mg 14 mg = 70 mg
Berat suppo = 2 g x 2 = 4 g
Lemak yg dibutuhkan = 4 g 0,014 g = 3,986 g
Tambahan lemak (10%) =
x 3,986 g = 0,3986 g
Jadi tambahan lemak menjadi = 3,986 + 0,3986 = 4,3846 g
3.3 Alat & Bahan
Alat:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
Aminofillin
Oleum cacao
Bisakodil
Alumunium foil
Saccharum Lactis
Resep 2 (Bisakodil)
1.
2.
Dibersihkan alat.
3.
Disetarakan timbangan.
4.
5.
Ditimbang ol.cacao 4,3846 g dengan cawan porselen di timbangan kasar, lalu dileburkan
diatas penangas. Setelah melebur, diangkat.
6.
Dimasukkan bisakodil kedalam cawan porselen yang berisi leburan ol.cacao, diaduk rata.
7.
8.
9.
10. Disiapkan alumunium foil sebagai pembungkus supositoria, setelah mengeras dikeluakan
supositoria dari cetakan lalu dibungkus dengan alumunium foil.
11. Dimasukkan kedalam plastic klip kedan beri etiket biru.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Uji Homogenitas
1. Diambil tiga 3 titik bagian suppo (atas-tengah-bawah atau kanan-tengah-kiri).
2. Masing-masing bagian diletakkan pada kaca objek kemudian diamati dibawah mikroskop.
3. Cara selanjutnya dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.
Uji Keseragaman Bentuk dan Ukuran
1. Diambil suppositoria yang sudah di buat.
2. Diamati satu dengan yang lainnya bentuk dan ukurannya sesuai standar supo (berbentuk
torpedo).
Uji Waktu Hancur
1. Supo dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh manusia, selama 3 menit.
Uji Keseragaman Bobot
1. Timbang suppo satu persatu dan hitung rata-ratanya.
2. Hitung persen kelebihan masing-masing suppo terhadap bobot rata-ratanya. Keseragaman/
variasi bobot yang didapat tidak boleh lebih dari 5% (Anonim b, 1995).
Uji Kerapuhan
1. Supositoria dipotong horizontal. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian
yang melebar, dengan jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar.
2. Kemudian diberi beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan jari atau
batang yang dimasukkan ke dalam tabung.
4.2 Pembahasan
Dalam praktikum ini, dibuat sediaan suppositoria. Dimana pada pembuatan ini, ada
dua resep yang dibuat. Pembuatan resep pertama, yang dilakukan adalah menimbang bahan.
Setelah itu dioleskan paraffin dalam cetakan suppo, dilebur oleum cacao hingga berbentuk
seperti massa krim. Masukkan aminophyllin kedalam hasil leburan, aduk ad homogen.
Dituang dalam cetakan suppo, dibiarkan dingin dahulu, kemudian dimasukkan kedalam
kulkas agar memadat. Dilepaskan suppo dalam cetakan, bungkus dengan alumunium foil
yang sudah disiapkan, masukkan kedalam plastik dan diberi etiket.
Pembuatan resep kedua, yang pertama dilakukan menimbang semua bahan. Oleum
cacao dileburkan diatas penangas, diangkat. Kemudian bisakodil dimasukkan ke dalam
cawan porselen yang berisi oleum cacao, diaduk merata. Dituang sediaan kedalam cetakan
suppo yang sudah diolesi dengan paraffin. Dimasukkan kedalam kulkas agar memadat,
kemudian tunggu beberapa saat. Keluarkan suppo dari cetakan, kemudian bungkus dengan
alumunium foil, masukkan kedalam plastik, diberi etiket. Kedua sediaan suppo yang dibuat
memenuhi syarat, karena pada cara pembuatan sudah benar dan tepat sehingga sediaan
menjadi bagus dan tidak rusak.
Aksi sistemik
Untuk efek sistemik, membran mukosa rektum dan vagina memungkinkan absorbsi
dan kebanyakan obat yang dapat larut walaupun rektum sering digunakan sebagai
tempat absorbsi secara sistemik, vagina tidak sering digunakan untuk tujuan ini.
Untuk mendapatkan efek sistemik, atau pemakian melalui rektum mempunyai
beberapa kelebihan dari pada pemakian secara oral, yaitu :
1)
Obat yang rusak atau tidak dibuat tidak aktif oleh pH atau aktifitas enzim dan
lambung.
2) Obat yang merangsang lambung dapat diberikan tanpa menimbulkan rangsangan.
3) Merupakan cara yang efektif dalam perawatan pasien yang suka muntah, dan lain
sebagainya.
b. Menurut Lachman hal 1184 1186
1. Suppositoria untuk efek sistemik
Pemilihan basis suppositoria yang mungkin dikehendaki harus dibuat misalnya
dengan memilih basis-basis yang disarankan. Avaibilitas dan harga basis
suppositoria harus diperhitungkan sebelum pengerjaan formulasi digunakan.
TUGAS PENDAHULUAN
I. PENGERTIAN SUPPOSITORIA
a. Menurut FI edisi III hal 32
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya
berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu tubuh.
b. Menurut FI edisi IV hal 16
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot bentuk, yang
diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau
melarut pada suhu tubuh.
c. Menurut RPS 18 th hal 1609
Suppositoria adalah bentuk sediaan padat yang memiliki berat dan bentuk
yang bervariasi, biasanya penggobatan dilakukan dengan dimasukan dalam rektum,
vagina dan uretra. Setelah pemasukan suppositoria akan menjadi lembut atau lunak,
melebur dalam cairan pencernaan.
d. Menurut Parrot hal 382
j.
cairan tubuh.
Menurut Dom Hoover hal 163
Suppositoria adalah sediaan obat padat dengan berbagai ukuran dan bentuk
yang penggunaanya dengan diselipkan kedalam bagian tubuh biasanya melalui
Suppositoria adalah sediaan padat yang diberikan melalui bagian tubuh yakni
vagina, rektum, atau uretra.
II. BENTUK-BENTUK SUPPOSITORIA DAN UKURANNYA
a. Menurut RPS 18 th hal 1609
1. Suppositoria rektal
USP membuat Suppositoria rektal untuk dewasa, runcing pada salah satu atau
kedua ujungnya, biasanya berbobot 2 gram. Untuk anak dari suppositoria dewasa.
Obat ini memberikan efek sistemik seperti sedatif, penenang dan analgesia
dilakukan secara suppositoria rektal. Bagaimanapun penggunaanya secara tungggal
mungkin sebagai penggobatan pada sembelit. Dibagi dalam beberapa tahap berat 2
gram dibuat suppositoria rektal biasanya digunakan basis Oleum Cacao ketika basis
yang lainya digunakan berat mungkin besar atau lebih 2 gram.
2. Suppositoria vaginal
USP membuat Suppositoria vaginal biasanya bentuk bundar atau oval dengan berat
5 gram. Obat untuk vaginal tersedia dalam berbagai bentuk psikis. Misalnya krim
cair yang berasal dari konsep dasar Suppositoria.
3. Suppositoria uretra
Biasanya dibuat bagian tidak didefenisikan dengan jelas, baik tentang bobot, ukuran,
nilai tradisional berasal dari lemak coklat sebagai basis, bentuk silindrisnya sebagai
berikut diameter 55mm, panjang untuk wanita 50 mm, berat 2 gram untuk wanita
dan pria 4 gram.
b. Ansel hal 576-577
1. Suppositoria rektal
Berbentuk silindris dan kedua ujungnya tajam, peluru, torpedo atau jari-jari kecil.
Ukuran panjangnya 32 mm (1,5 inchi). Amerika menetapkan beratnya 2 gram
untuk orang dewasa bila oleum cacao yang digunakan sebagai vasis. Sedangkan
untuk bayi dan anak-anak ukuran dan beratnya dari ukuran dan berat orang
dewasa, bentuknya kira-kira seperti pensil.
2. Suppositoria vagina
Biasanya berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut sesuai dengan kompendik
resmi, beratnya 5 gram, apabila basisnya oleum cacao, sebab lagi tergantung pada
macam basis dan masing-masing pabrik yang membuatnya.
3. Suppositoria uretra (Bougie)
Bentuk ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukan kedalam lambung
urine/saluran urine pria atau wanita 1 garis tengah 3-6 mm dengan panjang 140
mm. Walaupun ukuran ini masih bervariasi antar yang satu dengan yang lain apabila
basisnya dari oleum cacao, maka beratnya 4 gram untuk wanita panjang dan
beratnya dari ukuran untuk pria. Panjang kurang lebih 78 mm dan beratnya 2
gram inipun bila oleum cacao sebagai basisnya.
c. Dom Hoover hal 163
1. Suppositoria rektal
Biasanya berbentuk silinder, bulat atau terpedo, bentuk silinder berdiameter dari
jarak dasar dan biasanya mengecil pada ujungnya dan bentuk ini meruncing setelah
dimasukan kedalam rektum, memiliki ukuran yang bervariasi untuk dewasa berat
normalnya 2 gram, sedangkan untuk anak-anak kurang dari 2 gram.
2. Suppositoria vagina
Bentuk oval biasanya beratnya berkisar 5 gram, tetapi tergantung dari produksinya.
Obat ini dimetabolisme didalam vagina dimaksudkan untuk efek lokal dan efek
sistemik.
3. Suppositoria uretra
Memiliki tiga rute dalam kerjanya, rute ini menghsilkan aksi lokal, biasanya denga
anti injeksi, suppositoria ini panjang dan bulat, panjangnya sekitar 60 mm dan
diameternya 4,5 mm.
d. Parrot hal 382
1. Suppositoria rektal
Bentunya kerucut atau silindris dan lonjong, rektal suppo beratnya 1,2 gram, panjang
30 mm, berdiameter 10 mm.
2. Suppositoria vagina
Berbentuk bundar atau oval, beratnya bervariasi dari 3 9 gram.
e. Dom Martin hal 844 845
1. Vagina Suppositoria
Berbentuk globular dan ukuran berat sekitar 5 gram contoh komersil adalah
besarnya bervariasi sesuai dengan bentuk dan ukurannya. Penggunaan dari
Suppositoria vaginal adalah biasanya dimaksudkan untuk memperoleh efek lokal.
Zat aktif yang mana merupakan kebiasaan dalam cara memasukan pada keadaan
infeksi. Walaupun rute ini hampir setiap digunakan untuk absorbsi sistemik dari obat
ini menjaga pikiran bahwa absorbsi sistemik dapat terjadi.
2. Uretra Suppositoria
Seperti rute dari suppositoria dalam United states adalah lewat uretra. Sebagai
mana dengan suppositoria vagina, rute dibatasi untuk obat aksi lokal biasanya untuk
obat anti infeksi pada keadaan ini, basis untuk Suppositoria uretra adalah PEG dan
cairan gliserin dan gelatin. Suppositoria ini adalah runcing, berbentuk batang, ukuran
tubuh 5 mm dengan panjang diameter dan panjang 60 mm.
f. Menurut FI edisi IV hal 16 17
1. Suppositoria rektal
Untuk dewasa berbentuk lonjong pada satu atau kedua ujungnya dan biasanya
berbobot 2 gram.
2. Suppositoria vaginal
Umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan berbobot 5 gram.
g. Menurut Lachman hal. 564
Suppositoria rektal untuk dewasa berbobot sekitar 2 gram dan biasanya
diruncingkan bentuk torpedo. Suppositoria anak-anak berbobot sekitar 1 gram dan
menyerupai bentuk torpedo. Suppositoria anak-anak berbobot sekitar 1 gram dan
mempunyai ukuran kecil.
Suppositoria vaginal berbobot sekitar 3 sampai 5 gram dan biasanya dicetak
globular atau bentuk oval atau dikempa sebagai tablet menjadi bentuk kerucut atau
adifikasi.
Suppositoria uretra kadang disebut bougies, berbentuk pensil dan dituliskan
untuk maksud tertentu. Suppositoria uretra untuk pria berbobot sekitar 4 gram
tiapnya dan panjangnya 100-150 mm, untuk wanita 2 gram tiapnya dan biasanya 6075 mm.
III.
lambung.
2) Obat yang merangsang lambung dapat diberikan tanpa menimbulkan rangsangan.
3) Merupakan cara yang efektif dalam perawatan pasien yang suka muntah, dan lain
sebagainya.
b. Menurut Lachman hal 1184 1186
1. Suppositoria untuk efek sistemik
Pemilihan basis suppositoria yang mungkin dikehendaki harus dibuat misalnya
dengan memilih basis-basis yang disarankan. Avaibilitas dan harga basis
suppositoria harus diperhitungkan sebelum pengerjaan formulasi digunakan.
2. Suppositoria untuk efek lokal
Obat-obat yang dimaksudkan untuk efek lokal umumnya tidak diabsorbsi misalnya
obat-obat untuk wasir, anastetik lokal, antipiretik, basis-basis, yang digunakan untuk
obat ini sebenarnya tidak diabsorbsi. Lambat meleleh dan lambat melepaskan obat-
obat sistemik. Efek lokal umumnya terjadi terjadi dalam waktu jam (30 menit)
paling sedikit empat.
c. Menurut Dom Hoover hal 167
1. Aksi lokal
Obat-obat pada pemakian dubur biasanya ditujukan pada pengobatan heporoid.
Sekarang seperti pruritus, infeksi bakteri, dan suppositoria digunakan untuk berbagai
keadaan radang kronik dan biasanya efek sediaan suppositoria rektal dimaksudkan
untuk aksi lokal meliputi anestesi lokal, adstrigen, antiseptik, dan lain-lain.
2. Aksi sistemik
Rektum merupakan jalur untuk peredaran obat-obat dengan aksi sistemik, terjadi
suplai darah dan difusi yang lambat dari obat melalui rektal dan adsorbsi obat.
d. Menurut Scovilles hal 968
Suppositoria tidak hanya digunakan untuk aksi lokal, tetapi juga memberikan
obat untuk menghasilkan efek sistemik ketika bahan obat dihasilkan dalam betuk
suppositoria diabsorbsi secara lambat dan menghasilkan aksi terapeutik lebih
panjang masa waktunya. Contoh bahan yang diberikan secara rektal untuk aksi
sistemik termasuk sulfanamid, merkurium dan opium antispasmodik seperti
aminophylin dan pelicin lebih disukai kombinasi dari aksi lokal obat, sulfonomida
untuk mencegah formasi pelicin dari organisme kolon.
IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
a. Menurut Ansel hal 579
1. Faktor Fisiologi
Rectum manusia panjangnya 15 30 cm. Pada waktu kosong, rectum hanya berisi
2 3 ml cairan mukosa yang inert. Dalam keaadan istirahat, rectum tidak ada
gerakan vili dan microvili pada mukosa rectum. Akan tetapi terdapat vaskularisasi
adsorbsi obat dan rectum adalah kandungan kolon, jalur sirkulasi dan pH serta tidak
adanya kemampuan mendapat cairan rectum.
a) Kandungan Kolon
Apabila diinginkan efek sistemik dari suppositoria yang mengandung obat absorbsi
yang lebih besar, lebih banyak terjadi pada rectum yang kosong dan rectum yang
dikembungkan oleh fases ternyata obat lebih mengabsorbsi dimana tidak ada fases.
b) Jalur Sirkulasi
Obat yang diabsorbsi melalui rectum tidak seperti obat yang diabsorbsi setelah
pemberian secara oral. Tidak melalui sirkulasi porta, sewaktu didalam perjalanan
sirkulasi yang lazim. Dalam hal ini obat dimungkinkan dihancurkan didalam hati.
c) pH
Tidak adanya kemampuan mendapat dari cairan rektum karena cairan rectum pada
dasarnya pada pH 7 8 dan kemampuan mendapat tidak ada, maka bentuk obat
yang digunakan lazimnya secara kimia tidak berubah oleh lingkungan rectum.
2. Faktor Fisika Kimia
a) Kelarutan lemak air
Suatu obat lifofil yang terdapat dalam suatu basis.
Suppositoria berlemak dengan konsistensi rendah memiliki
kecenderungan yang kurang untuk melepaskan diri dari kedalam cairan
sekelilingnya. Dibandingkan jika tidak ada bahan hidrofilik pada bahan/basis
berlemak dalam batas-batas untuk mendekati jenuhnya.
b) Ukuran Partikel
Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah larut dan lebih besar kemungkinan
untuk lebih cepat diabsorbsi.
c) Sifat basis
Basis harus mampu mencair, melunak atau melarut supaya pelepasan kandungan
obatnya untuk diabsorbsi. Apa bila terjadi interaksiantara basis dengan lelehan
lepas, maka adsorbsi akan terganggu atau malah dicegah.
1. Faktor fisiologis
1) Sirkulasi darah
Sejumlah obat tidak dapat dibiarkan secara oral oleh karena obat-obat tersebut
dipengaruhi oleh getah pencernaan atau aktivitas terapeutiknya diubah oleh hati
setelah diabsorbsi. Setelah obat diabsorbsi dari usus halus akan dibawah oleh vena
porta hepatika ke hati. Hati mengubah sebagian besar obat yang sama dapat
diabsorbsi dalam daerah anarektal dengan nilai terapeutiknya masih dipertahankan.
Vena hemoroid yang lebih atas tidak berhubung dengan porta yang menuju hati.
Dilaporkan bahwa lebih separuh 50-70% obat yang diberikan secara rektal
tarabsorbsi secara langsung ke dalam sirkulasi umum.
2) pH
Mempunyai peranan dalam mengendapkan laju absorbsi obat yang berarti schaneler
melaporkan bahwa kolon tikus mempunyai pH kira-kira 6,3 suatu pH yang sedikit
lebih asam dari semula. Hal ini mengakibatkan obat-obat yang terlarut menentukan
pH di daerah anorectal. Schaneler mengatakan bahwa asam dan basa yang lebih
akan lebih lemah , akan lebih mudah terionisasi.
3) Keadaan fisiologi kolon
Jumlah dan sifat kimia cairan-cairan dan padatan-padatan yang ada mempengaruhi
absorbsi obat. Jika kandungan dubur banyak diabsorbsi obat akan lambat.
4) Keadaan membran mukosa rectal
Dinding membran diselubungi oleh lapisan mukosa yang relatif kontinyu/tebal yang
bertindak sebagai penghalang mekanik untuk jalannya obat melalui pori-pori dimana
terjadi absorbsi melalui usus kecil dan usus besar hampir tidak berbeda dengan obat
yang diabsorbsi obat melalui usus kecil dan besar , rasanya tidak memungkinkan
suatu obat yang telah melewati usus kecil dan akan diabsorbsi secara bermakna
melalui kolon.
2. Faktor fisika-kimia
Urutan peristiwa menuju absorbsi obat melalui daerah anorectal adalah obat dalam
pembawa masuk dalam obat dalam cairan hal ini cairan kolon kemudian diabsorbsi
oleh mukosa rectal. Agar obat dapat diabsorbsi obat tersebut harus dilepas dari
Dalam pemilihan tipe dari basis suppositoria yang digunakan untuk banyak bahan
partikel terapeutik. Faktor kelarutan lemah air harus dipertimbangkan karena
berhubungan dengan pelepasan dan intensitas lokal. Umumnya obat larut minyak
dicampurkan dalam basis berminyak sehingga laju adsorbsi kurang lebih
dibandingkan dengan bila berada dalam basis yang larut air. Obat-obat yang larut
minyak cenderung untuk melarut sebagian didalam minyak dengan menghasilkan
dari pencairan suppositoria dan memiliki tundensi yang minimal untuk keluar dari
medium cairan dan sekresi mukosa dan tempat dimana dan akan diabsorbsi. Obatobat yang larut cenderung untuk melewati lebih cepat dari fase minyak menuju fase
air. Oleh karena itu bila kecepatan opset aksi adalah cepat, maka kelarutan dalam
air dan obat dalam basis dari minyak harus diseleksi.
V. ALASAN PENAMBAHAN BAHAN
a. Menurut Parrot hal 382
Berdasarkan keaadan pasien, yaitu pada pasien yang tidak dapat menelan obat
secara oral dan lainya.
b. Menurut Ansel hal 578
Dalam berbagai obat terdapat bahan yang dirusak oleh lambung sehingga tidak
dapat memberi efek.
c. Menurut Ansel 579 581
Bahan obat yang masuk tidak mengalami metabolisme dihati.
d. Menurut Lachman hal 1148 1149
1. Sediaan Suppositoria memberikan lebih cepat.
2. Sediaan ini mengiritasi saluran pencernaan.
VI. PEMBAGIAN BASIS
a. Menurut Ansel hal 582 589
1. Basis berminyak atau berlemak
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai, karena pada dasarnya
olium cacao termasuk kelompok ini, utama dan kelompok ketiga merupakan
golongan basis-basis lainya. Diantara bahan berminyak atau berlemak lainya yang
biasa digunakan sebagai basis Suppositoria. Macam-macam asam lemak yang
dihidrogenesis dari minyak nabati seperti minyak palem dan minyak biji kapas, juga
kumpulan basis lemak yang mengandung gabungan minyak gliserin dan asam
lemak dengan berat molekul tinggi, seperti asam palmitat dan asam stearat,
mungkin ditemukan dalam basisi Suppositoria berlemak. Campuran yang dimikian
seperti gliserol dan monostearat merupakan contoh dari kelompok ini.
2. Basis yang larut dalam air dan basis yang bercampur dengan air. Air merupakan
kumpulan yang penting dari kelompok ini adalah gelatin dan gliserin dan basis
policahenilikol, basis gelatin, gliserin paling sering digunakan dalam pembuatan
Suppositoria vagina dimana memang diharapkan efek setempat yang cukup lama
usus.
3. Basis lainya
Dalam kelompok basis ini termasuk campuran bahan bersifat seperti lemak yang
larut dalam air dan bercampur dengan air, bahan-bahan ini mungkin memebentuk
zat kimia atau campuraan fisika.beberapa diantaranya berebentuk emulsi, umumnya
dan tipe air dalam minyak atau mungkin dapat menyebar dalam cairan besar. Salah
satu dari bahan ini adalah polioksil 40 starat suatu zat aktif pada permukaan
digunakan dalam sejumlah basis Suppositoria dalam perdaganggan.
b. Menurut R. Voight hal 283
1. Minyak coklat
Diperoleh dari pergeseran biji masak tanpa bungkus dan telah disegrasi dati
Theobroma cacao. Lemak coklat bersifat netral secara kimia dan fisiologi
sertabanyak digunakan, mengingat daerah suburnya (31-34C) pada suhu kamar,
bentuk lemak coklat mantap. Mentega coklat merupakan campuran trigliserol, kirakira 78% adalah gliserol-1-palmiat-2-oleat-3-stearat, gliserol-1-3-stearat-2-oleat, dan
gliserol-3-palmiat-2-oleat, sisanya adalah komposisi berbagai campuran trigliserol.
Suppositoria coklat memeiliki tampak luas yang menarik, cepat lebur pada suhu
tubuh.
2. Lemak keras
Lemak keras ini terdiri atas campuran mono-di-dan trigliserida asam-asam lemak
jenuh C80H21COOH sampai C10H10COOH. Untuk membuat digunakan lemak
tumbuhan dari
tumbuhan yang tinggi. Produk semi sintetik ini didominasi oleh asam lemak
berwarna putih, mudah patah, tidak berbau, tidak terasa dan tidak memiliki
kecenderungan yang amat rendah untuk menjadi tengik (angka oli paling tinggi 3,
angka iod untuk lemak coklat 35 39 ). Harga viskositas leburan lemak coklat
terletak sedikit lebih tinggi daripada lemak keras, massanya padat larut air, melebar
pada suhu 33,5 35,5 C.
3. Polietilenglikol C massa melebur suhu tinggi (larut air)
Kelarutan Polietilenglikol berdasarkan atas pembentukan jembatan hidrogen antara
oksigen eter dengan molekul air. Polietilenglikol yang melebur jauh diatas suhu
tubuh. Harus larut dalam air usus yang terdistribusi diatas 16 20 cm panjang
rectum. Massa Polietilenglikol dengan daerah lebar rendah (47 49 C) dan
terlarutkan yang paling baik dimiliki oleh komposisi campuran Polietilenglikol 1000
(Suppositoria) dengan PEG 4000 (Suppogen 0).
4. Gliserol-Gelatin (Massa clastin larut air)
Gelatin adalah makromolekul amfoter (protein) yang dibangun dari asam amino.
Asam aminonya adalah glikol, alanin, sifat gelatin dibawah titik isoelektrisnya atau
kation aktif diatasnya bersifat anion aktif. Gelatin mengembang dalam air, larut
dalam pemanasan dan membentuk gel elastis.
c. Menurut Scovilles hal 371
1. Theobroma 0,1 (Lemak Cacao)
Basis ini sering digunakan untuk Suppositoria rectal, berasal dari tanaman
Theobroma cacao atau tanaman coklat, lemak coklat kering. Pada temperatur
biasa (suhu kamar), tetapi mencair pada suhu 86 F (30-35 C). Ketika lemak coklat
meleleh atau meleleh kemudian memadat, titik lelehnya berada beberapa derajat
dibawah normal dan suhu proses pmenjadi tengik, mencair ketika bercampur
dengan cairan tubuh.
2. Polietilenglikol
efek sistemik.
Pada dosis yang sedikit pada rektum menghasilkan penyerapan dari bahan-bahan
yang dapat larut dengan efek yang masuk lambung ke dalam sirkulasi vena.
Obat dalam bentuk sediaaan ini sangat berguna dalam keadaan dimana obat tidak
dapat ditoleransi dengan mulut sebab pasien menjadi lemah atau muntah dengan
untuk diabsorbsi dan sifat basis suppo yang dimaksudkan untuk obat-obat sistemik
efek lokal umumnya terjadi dengan bentuk/waktu setengah jam sampai sedikit 4 jam.
4. Menurut RPS hal 14
Kecuali bila terpaksa dan diperlukan untuk hal-hal tersebut untuk pemberian obat
-
dalam sentuk suppositoria untuk mendapat efek sistemik kurang merugikan karena :
Absorbsi obat dari suppositoria tidak konsisten
Cairan dalam rectum relatif sedikit dibandingkan dengan cairan saluran cerna
(lambung dan usus) kekurangan cairan dalam rectum menghambat proses
4. Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (dengan ini pembentukan yang
cepat dan massa dalam pembentukan kontrasibilitas yang baik , pencegah suatu
pendingin es dalam pembentuk.
5. Interval yang rendah antara titik lebur mengalir dengan titik lebur jernih.
6. Viskositas yang memadat (pengurangan lebih lanjut dari sedimentasi bahan obat
tersuspensi, tinggi ketetapan tekanan)
7. Sebaiknya suppositoria dalam beberapa menit melebur pada suhu tubuh atau
melarut (persyaratan untuk kerja obat)
8. Pembebasan obat yang baik dan reabsorbsinya.
9. Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan pewarnaan,
pengerasan, ketetapan bentuk dan daya patah yang baik).
c. Menurut Lachman , hal 1168
1. Telah mencapai kesetimbangan kristalivitas dimana komponen mencair dalam
temperatur rectum (360C)
2. Tidak toksik dan tidak mengiritasi jaringan yang peka dan meradang
3. Dapat bercampur dengan berbagai jenis obat.
4. Basis suppositoria tersebut tidak mempunyai bentuk meta stabil (tidak berubah
5.
6.
7.
8.
kedalamnya.
9. Stabil pada penyimpanan maksudnya warna, bau dan pola pelepasan obat
10. Tidak mempunyai efek obat
11. Dapat dibuat suppositoria dengan tangan mesin kompressi atau akstruksi
d. Menurut RPS 18th hal 1610
1. Basis compatible dengan beberapa obat.
2. Meleleh atau tidak larut dalam cairan rektal.
3. Harus stabil pada penyimpanan tidak harus mengikat tapi melepas atau absorbsi
obat.
4. Tidak beracun dan tidak teriritasi dalam membran mukosa
5. Cepat bercampur dengan berbagai macam obat.
e. Menurut Ansel , hal 581
Basis selalu padat dalam suhu ruangan tetapi akan melunak , melebur atau melarut
mudah pada suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat sepenuhnya
didapat setelah dimaksukkan.
f. Menurut FI edisi III 32
Bahan dasar harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh.
diisikan ke dalam suatu corong pengisi dimana massa tersebut secara kontinyu
dicampur dan dijaga pada temperatur konstan.
b. Menurut Ansel hal 585
1. Pembuatan dengan cara cetak
Langkah-langkah dengan cara percetakan termasuk :
- Melebur basis
- Mencampur bahan obat yang diinginkan
- Menuang hasil leburan ke dalam cetakan
- Membiarkan leburan menjadi dingin dan membuat menjadi suppositoria
- Melepaskan suppositoria
2. Pembuatan dengan Cara Kompressi
- Suppositoria dapat dibuat juga dengan massa yang terdiri dari campuran basis
dengan bahan obatnya dalam cetakan khususnya memakai alat mesin pembuat
suppositoria dan bahan lainnya. Dalam formula dicampur/diaduk dengan baik.
Pergeseran pada proses menjadikan suppositoria lembek seperti kental pasta.
Proses
kompressi
khususnya
cocok
untuk
pembuatan
suppositoria
yang
mengandung bahan obat yang mengandung sebagian besar bahan yang tidak larut
-
dalam basis.
Dalam pembuatan suppo dengan media kompressi adonan suppositoria dimasukkan
ke dalam sebuah selinder yang kemudian ditutup dengan cara menekan salah satu
ujung secara mekanis atau dengan memutarkan rodanya maka adonan tadi
terdorong keluar pada ujung lainnya dan masuk ke dalam celah-celah cetakan ketika
cetakan terisi penuh. Sebuah lempeng yang bergerak di ujung bagian belakang
cetakan dilepaskan dan pada saat tambahan tekanan diberikan kepada adonan
yang ada dalam selinder. Suppositoria yang telah dibentuk tadi akan lepas dari
cetakan.
Pembuatan secara menggulung dan membentuk tangan. Dengan tangan terdapat
cetakan suppositoria dalam macam-macam ukuran dan bentuk. Pengolahan
suppositoria dengan tangan oleh ahli farmasi sekarang rasanya hampir tidak perlu
dilakukan lagi. Namun demikian melihat dan membentuk suppositoria dengan
tangan merupakan bagian dari sejumlah seni para ahli farmasi.
sudah selesai seandainya pembentukan point (titik) ketika silinder telah dipotong
sejumlah pot organ yang tepat dengan spatula, atau dibeberapa kasus bahkan
dengan pembentukannya dengan jari-jari untuk memproduksi sebuah titik yang
dibulatkan.
2. Pengempaan Suppositoria Cetak (Lebur) Metode Preparat
Suppositoria ini juga menghindari panas massa suppositoria, seperti campuran
minyak dan obat theobroma yang menciut, dipaksa kesebuah cetakan dibawah
tekanan menggunakan alat pemeras yang dioperasikan oleh roda-roda massa
dipaksa kepembukaan cetakan, tekanan dilepaskan. Cetakan pada sebuah mesin
pengempaan dingin berskala besar dioperasikan secara hedrolik. Jaket air untuk
pendinginan dan tekanan diterapkan melalui seber (pengisap) untuk memadatkan
atau memampatkan massa menjadi pembukaan cetakan.
d. Menurut R. Voight hal 291-293
Menurut teknik pembuatannya maka dibedakan antara cara tuang dan cara cetak.
a. Cara Tuang
Terjadi paling sering untuk penggunaan setelah massa dilebur dan disatukan dengan
bahan obat maka, mereka dituang dalam pembentuk untuk menjamin suatu
pembekuan yang cepat dan untuk mengurang satu sedimentasi dan bahan obat
lebih lanjut. Mak pada peleburan massa diperhatikan bahwa suhu tidak boleh naik
terlalu tinggi dan yidak dijumpai leburan jernih, seharusnya banyak dari massa pada
penuangan sedapat mungkin menunjukkan visikositas tinggi dan memiliki suatu
suhu, yang terletak hanya sedikit diatas titik bekunya. Itu dicapai melalui pemanasan
yang sangat berhati-hati (misalnya dengan penyinar infra merah) penting atau
bahwa dengan ini massa diaduk intensif secara tetap. Pada penuangan sebaliknya
terdapat satu campuran sejenis krim artinya didalam massa sebaliknya terdapat
bahan yang melebur pendampingan. Metode ini dinyatakan sebagai cara dileburkan
dan lebur jernih, yang hanya dapat diperlukan pada penggabungan besar-besaran
adalah lebih disuka, penanganan dari penggabungan suppositoria kecil-kecilan
diambil tuang tunggal artinya setiap lubang pembentuk suppositoria diisikan berturutturut. Pada pembuatan semi industri berlangsung suatu pengisian serempak seluruh
lubang dari pembentuk dengan menggunakan perlengkapan berbentuk corong uang
cocok sehingga dikatakan suatu ruang massa.
b. Cara Cetak
Pada cara cetak dikerjakan dengan dasar
suppositoria
terparut,
dengan
dicampurkan bahan obat yang diserbuk halus, materi awal yang disiapkan
sedemikian diisikan dalam sebuah pencetak suppositori (misalnya pencetak
suppositoria universal) dengan menggunakan sebuah torak, yang digunakan melalui
sebuah pembuka kecil menjadi bentuknya. Diindustri, peralatan cetak yang
digunakan bekerja dengan 10 Mpa (100 cc). Massa suppositoria yang telah dikenal
yang umum diperdagangkan semuanya lebih atau kurang cocok untuk pembuatan
dari
pembuatan
suppositoria
cetak.
Jika
dijumpai
kesulitan,
maka
untuk
EVALUASI SUPPOSITORIA
Menurut Lachman hal 1191-1194
1. Uji Kisaran Leleh
Uji ini disebut juga uji kesaran meleleh makro dan uji merupakan salah satu ukuran
waktu yang diperlukan suppositoria untuk meleleh sempurna bila dicelupkan dalam
penangas air dengan temperatur tetap (37 0C). Sebaiknya uji kisaran meleleh mikro
adalah kisaran leleh yang diukur dalam pipa kapiler hanya untuk basis lemak.
2. Uji Pencahar atau uji waktu melunak dari suppositoria rektal suatu modifikasi yang
dikembangkan oleh Krowezyasku adalah uji suppositoria akhir lain yang berguna. Uji
tersebut terdiri dari pipa U yang sebagian dicelupkan kedalam penangas air yang
bertemperatur konstan. Penyempitan pada satu menahan suppositoria tersebut
pada tempatnya dalam pipa.
3. Uji Kehancuran
pada permukaan dan kekerasan basis. Basis dengan suhu tetes yang jelas dalam
zat padat dan rentang temperatur pendek terbukti rapuh jika meleleh terlalu cepat.
4. Angka Hidroksil
Angka hidroksil merupakan suatu ukuran posisi yang tidak diesterifikasi pada
molekul-molekul gliserida dan mencerminkan kandungan monogliserida dan
diglerisida suatu basis lemak, angka ini menunjukkan miligram KOH yang akan
menetraksir asam asetat yang digunakan untuk mengesetilasi 1 gram lemak.
5. Titik Memadat
Harga ini meramalkan waktu yang dibutuhkan oleh basis untuk menjadi padat dan
besar adalah cetakan. Pertama-tama sebaiknya diatas penangas air atau penangas
uap untuk menghindari pemanasan setempat yang berlebihan. Kemudian bahanbahan aktif diemulsikan atau disuspensikan ke dalamnya.
6. Mesin Pencetak Otomatis
Pelaksanaan pencetakan (penuangan, pendinginan dan pemindahan) dapat
dilakukan dengan mesin. Seluruh pengisian, pengeluaran dan pembersihan cetakan,
semua dijalankan secara otomatis produksi suatu mesin putar khusus berkisar
antara 3500 sampai 6000 suppositoria per jam.
b. Menurut Ansel hal 585
1. Dengan cara mencetak
Pada dasarnya langkah-langkah dalam metode percetakan termasuk :
- Melebur basis
- Mencampurkan bahan obat yang digunakan
- Menuang hasil leburan ke dalam cetakan
- Membiarkan leburan menjadi dingin dan mengental menjadi suppositoria
- Melepaskan suppositoria dengan oleum cacao, gelatin, gliserin, polieleglikol dan
basis suppositoria lainnya yang cocok dibuat dengan cara mencetak.
2. Dengan Cara Kompressi
Suppossitoria dapat juga dibuat dengan menekan massa yang terdiri dari, campuran
basis dengan bahan obatnya dalam cetakan khusus memahami obat/mesin
pembuat suppositoria. Dalam pembuatan dengan cara kompressi dalam cetakan.
Basis suppositoria dan bahan lainnya dalam formula dicampurkan atau diaduk
dengan baik, penggeseran pada proses tersebut menjadikan suppositoria lembek
seperti kentalnya pasta.
3. Secara Menggulung dan Membentuk dengan Tangan
FARMASI
28.12.12
SUPPOSITORIA
I. DEFINISI
Menurut Farmakope Indonesia ed. IV suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan
bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut
pada suhu tubuh. (FI ed.IV hal 1 6)
Suppositoria vaginal (ovula) umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan berbobot lebih kurang 5 g,
dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air atau yang dapat bercampur dalam air, seperti polietilen
glikol atau gelatin tergliserinasi.
I I . __ T E O R I S E D I A A N
Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat, sebagai pembawa zat terapetik
yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar suppositoria yang umum digunakan adalah lemak
coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot
molekul, dan ester asam lemak polietilen glikol.
Bahan dasar suppositoria yang digunakan sangat berpengaruh pada pelepasan zat terapetik. Lemak
coklat cepat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan dengan cairan tubuh, oleh karena itu
menghambat difusi obat yang larut dalam lemak pada tempat diobati. Polietilen glikol adalah bahan
dasar yang sesuai untuk beberapa antiseptik. Jika diharapkan bekerja secara sistemik, lebih baik
menggunakan bentuk ionik dari pada nonionik, agar diperoleh ketersediaan hayati yang maksimum.
Meskipun obat bentuk nonionik dapat dilepas dari bahan dasar yang dapat bercampur dengan air,
seperti gelatin tergliserinasi dan polietilen glikol, bahan dasar ini cenderung sangat lambat larut
sehingga menghambat pelepasan. Bahan pembawa berminyak seperti lemak coklat jarang digunakan
dalam sediaan vagina, karena membentuk residu yang tidak dapat diserap, Sedangkan gelatin
tergliserinasi jarang digunakan melalui rektal karena disolusinya lambat. Lemak coklat dan
penggantinya (lemak keras) lebih baik untuk menghilangkan iritasi, seperti pada sediaan untuk
hemoroid internal.
a. Suppositoria Lemak Coklat
Suppositoria dengan bahan dasar lemak coklat dapat dibuat dengan mencampur bahan obat yang
dihaluskan ke dalam minyak padat pada suhu kamar dan massa yang dihasilkan dibuat dalam bentuk
sesuai, atau dibuat dengan minyak dalam keadaan lebur dan membiarkan suspensi yang dihasilkan
menjadi dingin di dalam cetakan. Sejumlah zat pengeras yang sesuai dapat ditambahkan untuk
mencegah kecenderungan beberapa obat, (seperti kloralhidrat dan fenol) melunakkan bahan dasar.
Yang penting, suppositoria meleleh pada suhu tubuh.
Perkiraan bobot suppositoria yang dibuat dengan lemak coklat, dijelaskan dibawah ini. Suppositoria
yang dibuat dari bahan dasar lain, bobotnya lebih berat dari pada bobot yang disebutkan dibawah ini.
Suppositoria rektal. Suppositoria rektal untuk dewasa berbentuk lonjong pada satu atau kedua
ujungnya dan biasanya berbobot lebih kurang 2 g.
Suppositoria vaginal. Umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan berbobot lebih kurang 5 g,
dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air atau yang dapat bercampur dalam air, seperti polietilen
glikol atau gelatin tergliserinasi. Ukuran berkisar, panjang 1,25 1,5 inchi dan diameter 5/8 inchi
1. Tujuan penggunaan (ovula)
Biasanya digunakan untuk lokal dengan efek sebagai antiseptik, kontrasepsi, anastetik lokal, dan
pengobatan penyakit infeksi seperti trichomonal, bakteri dan monilial.
2. Absorpsi Vagina
Absorpsi sediaan vaginal terjadi secara pasif melalui mukosa. Proses absorpsi dipengaruhi oleh
fisiologi, pH, dan kelarutan dan kontanta partisi obat. Permukaan vagina dilapisi oleh lapisan film air
(aqueous film) yang volume, pH dan komposisinya dipengaruhi oleh umur, siklus menstruasi, dan
lokasi. pH vagina meningkat secara gradien yaitu pH 4 untuk anterior formix dan pH 5 di dekat
cervix. Pada umumnya ovula digunakan untuk efek lokal. Tapi beberapa penelitian menunjukkan ada
beberapa obat yang dapat berdifusi melalui mukosa dan masuk dalam peredaran darah. Sebagai
contoh, kadar propanolol dalam plasma untuk sediaan ovula lebih besar dibandingkan dengan rute
oral pada dosis yang sama.(Husas, Pharmaceutical Dispensing, hal. 117)
Suppositoria dengan bahan lemak coklat harus disimpan dalam wadah tertutup baik, sebaiknya pada
suhu dibawah 30 derajat (suhu kamar terkendali).
b. Pengganti Lemak Coklat
Suppositoria dengan bahan dasar jenis lemak, dapat dibuat dari berbagai minyak nabati, seperti
minyak kelapa atau minyak kelapa sawit yang dimodifikasi dengan esterifikasi, hidrogenasi, dan
fraksionasi hingga diperoleh berbagai komposisi dan suhu lebur (misalnya minyak nabati
terhidrogenasi dan lemak padat). Produk ini dapat dirancang sedemikian hingga dapat mengurangi
terjadinya ketengikan. Selain itu sifat yang diinginkan seperti interval yang sempit antara suhu
melebur dan suhu memadat dan jarak lebur juga dapat dirancang umtuk penyesuaian berbagai
formulasi dan keadaan iklim.
c. Suppositoria Gelatin Tergliserinasi
Bahan obat dapat dicampur ke dalam bahan dasar gelatin tergliserinasi, dengan menambahkan
sejumlah tertentu kepada bahan pembawa yang terdiri dari lebih kurang 70 bagian gliserin, 20 bagian
gelatin dan 10 bagian air. Suppositoria ini harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, sebaiknya pada
suhu dibawah 35 derajat.
d. Suppositoria dengan Bahan Dasar Polietilen Glikol
Beberapa kombinasi polietilen glikol mempunyai suhu lebur lebih tinggi dari suhu badan telah
digunakan sebagi bahan dasar suppositoria. Karena pelepasan dari bahan dasar lebih ditentukan oleh
disolusi dari pada pelelehan, maka massalah dalam pembuatan dan penyimpanan jauh lebih sedikit
dibanding massalah yang disebabkan oleh jenis pembawa yang melebur. Tetapi polietilen glikol
dengan kadar tinggi dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat pelepasan. Pada
etiket suppositoria polietilen glikol harus tertera petunjuk basahi dengan air sebelum digunakan,
meskipun dapat disimpan tanpa pendinginan, suppositoria ini harus dikemas dalam wadah tertutup
rapat.
e. Suppositoria dengan Bahan Dasar Surfaktan
f.
Beberapa surfaktan nonionik dengan sifat kimia mendekati polietilen glikol dapat digunakan sebagai
bahan pembawa suppositoria. Contoh surfaktan ini adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan
dan polioksietilen stearat. Surfaktan ini dapat digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan
pembawa suppositoria lain untuk memperoleh rentang suhu lebur yang lebar dan konsistensi. Salah
satu keuntungan utama pembawa ini adalah dapat terdispersi dalam air. Tetapi harus hati-hati dalam
penggunaan surfaktan, karena dapat meningkatkan kecepatan absorpsi obat atau dapat berinteraksi
dengan molekul obat yang menyebabkan penurunan aktivitas terapetik.
Suppositoria Kempa atau Suppositoria Sisipan Suppositoria vaginal dapat dibuat dengan cara
mengempa massa serbuk menjadi bentuk yang sesuai. Dapat juga dengan cara pengkapsulan dalam
gelatin lunak.
(FI ed. IV hal 16-17)
A. TUJUAN PENGGUNAAN
1. Efek Lokal
Pada umumnya digunakan untuk pengobatan wasir, konsipasi, infeksi dubur. Zat aktif yang biasa
digunakan:
Anastetik lokal (benzokain, tetrakain)
Adstringen (ZnO, Bi-subgalat, Bi-subnitrat)
Vasokonstriktor (efedrin HCL)
Analgesik (turunan salisilat)
Emollient (balsam peru untuk wasir)
Konstipasi (glisin bisakodil)
Antibiotika untuk infeksi
2. Efek Sistemik
Meringankan penyakit asma (teofilin, efedrin, amonifilin)
Analgetik dan antiinflamasi (turunan salisilat, parasetamol)
Anti arthritis, radang persendian (fenilbutason, indometasin)
Hipnotik & sedatif (turunan barbiturat)
Trankuilizer dan anti emetik (fenotiazin, klorpromazin)
Khemoterapetik (antibiotik, sulfonamida)
(Lachman, Teory and Practice of Industrial Pharmacy, hal 565)
B. KARAKTERISASI DOSIS
Umumnya dosis pada pemberian rektal besarnya 1 ,5-2 kali atau lebih dosis oral kecuali untuk obatobat keras. Dosis yang benar tergantung pada kecepatan pelepasan obat dari suppo. Ini berarti basis
suppo dan jumlah obat harus dipertimbangkan secara bersamaan. Karena pembawa dapat merubah
kecepatan absorbsi obat jumlah obat yang diberikan dalam suppo tergantung pada pembawa dan sifat
fisikokimia obat. Bobot suppo untuk orang dewasa sekitar 2 gram sedangkan untuk anak-anak sekitar
1 gram.
(Lachman, Teory and Practice of Industrial Pharmacy, 564).
C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ABSORPSI REKTAL
PEMBERIAN PER REKTAL (Farmasetika 2 Biofarmasi)
Dapat mengurangi pengaruh pH lambung, enzim lambung (yang merusak ZA), mencegah inaktivasi
ZA yang sudah diserap ke peredaran darah oleh hati (bahan yang terserap di bag. akhir usus langsung
menuju vena cava dan sebagian besar oleh vena haemoroidales superior menuju vena porta dan hati)
dilakukan bila pemberian per oral tidak mungkin, baik karena sifat obat sendiri maupun keadaan
penderita (menghindari obat dimuntahkan, pasien koma, dll)
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINETIKA PRE DISPOSISI ZA
Penghancuran Sediaan
Suhu rektum kurang lebih 37 oC, suppo melebur 32,6-37,6 oC (36,5 oC).
Jarak lebur maksimal 10 menit.
Setelah peleburan, suppo akan menjadi massa kental yang melapisi permukaan mukosa, hal yang
berpengaruh pada massa tsb antara lain : konsistensi (massa yg lebih lunak--pelepasan lebih cepat),
kekentalan setelah peleburan (kekentalan meningkat--laju pelepasan ZA menurun), kemampuan pecah
(zat pembawa kental--memperlambat pelepasan, untuk meningkatkan pelepasan suppo lemak dapat
ditambah surfaktan HLB 4-9.
Transfer ZA dalam cairan rektum
Sifat ZA dalam suppo (ZA teremulsi tidak memberikan efek ke pelepasan karena ZA terlarut dalam
air yg teremulsi dalam fase lemak, ZA yg lipofil menggunakan basis hidrofil)
kelarutan ZA
koefisien partisi dalam fase lemak dan cairan rektum
ukuran partikel ZA ( partikel kecil--kekentalan meningkat---transfer ZA menurun)
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINETIKA PENYERAPAN ZA YG AKAN DIBERIKAN
PER REKTUM
kedudukan suppo setelah pemakaian
waktu tinggal suppo dalam rektum
pH cairan rektum (penyerapan terjadi dalam mekanisme transpor pasif yang tergantung pada
koefisien partisi, pKa ZA, dan pH cairan rektum)
konsentrasi ZA dalam cairan rektum(semakin tinggi konsentrasi ZA-laju penyerapan ZA m-).
FAKTOR PATOLOGIS YANG MEMPENGARUHI PENYERAPAN MELALUI REKTUM
pasien demam---penyerapan lebih baik bila ZA dalam basis lemak
pasien gangguan transisi saluran cerna dan diare--tidak boleh pengobatan sistemik rektum
harus diberikan setelah rektum dibersihkan
lebih disukai pada subjek berpuasa.
Dosis obat yang digunakan melalui rektum mungkin lebih besar atau lebih kecil daripada obat yang
dipakai secara oral, tergantung kepada faktor-faktor seperti keadaan tubuh pasien, sifat fisika kimia
obat dan kemampuan obat melewati penghalang fisiologi untuk absorpsi dan sifat basis suppositoria
serta kemampuannya melepaskan obat supaya siap untuk diabsorpsi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi absorpsi obat dalam rektum pada pemberian obat dalam bentuk suppositoria yaitu :
i)
Faktor fisiologis
Antara lain ada tidaknya feses dalam rektum, sirkulasi darah di rektum, beberapa kondisi patologik
seperti diare sehingga terjadi dehidrasi pada tubuh, pH cairan rektal, juga selaput lendir pada dinding
rektum. Untuk memberikan efek yang optimal rektum harus dikosongkan dulu. Cairan rektal memiliki
kapasitas dapar yang rendah, sehingga pH cairan rektal sangat dipengaruhi pH zat aktif yang ada
melarut. Bila diatur pH kritis untuk memperoleh efisiensi absorpsi yang optimal maka dibutuhkan
penambahan dapar ke dalam formula. Selaput lendir bisa menghambat absorpsi terutama bila selaput
lendir tersebut kental dan tebal. Penempatan suppositoria di dalam rektum, bila terlalu dalam akan
menuju vena hemoroidal atas.
ii) Faktor fisikokimia
Antara lain koefisien partisi lemak-air dari zat aktif, kecepatan hancurnya basis, kecepatan disolusi zat
aktif dalam cairan rektal, keadaan zat aktif dalam suppositoria (jika terlarut, maka dalam basis
biasanya proses pelepasan dan disolusi zat aktif menjadi lebih lambat), kelarutan zat aktif dalam
cairan rektal, ukuran partikel zat aktif.
iii) Adanya zat tambahan khusus ke dalam basis
Misalnya surfaktan, dapat merubah tegangan permukaan selaput mukosa pada rektal sehingga
absorpsi zat berkhasiat menjadi lebih baik. Surfaktan dapat memperbesar kelarutan suatu zat
berkhasiat sehingga diabsorpsi lebih cepat, tapi juga dapat membentuk suatu kompleks senyawa baru
yang lambat diabsorpsi.
iv) Faktor aliran darah
Makin banyak pembuluh darah di sekitar suppositoria maka absorpsi obat akan semakin cepat. Tetapi
luas permukaan absorpsi terbatas di daerah kolon dan tidak ada perbedaan luas permukaan yang
mencolok di daerah kolon, baik di pinggir, di tengah maupun di dalam daerah kolon. Setelah obat
diabsorpsi dari usus halus obat dialirkan melalui vena porta hepatika ke hati. Hati memetabolisme
obat tersebut, dapat berupa modifikasi atau mengurangi efek obat tersebut. di lain pihak jumlah yang
lebih banyak dari obat yang sama dengan di atas akan diabsorpsi melalui anorektal. Vena haemoroid
halus yang mengelilingi kolon dan rektum masuk vena kava inferior sehingga tidak masuk ke hati.
Vena haemoroid menuju ke vena porta dan bermuara di hati. Tetapi lebih dari setengah pemberian
melalui rektal diabsorpsi langsung ke sirkulasi tubuh. Sirkulasi limfa juga membantu absorpsi obat
melalui rektal dan mengalihkannya dari hati. Rektal tidak mempunyai daya kapasitas buffer. Menurut
Schumber, asam dan basa lemah lebih cepat diabsorpsi daripada asam / basa kuat dan yang terionisasi
kuat lainnya.
(Lachman, Teory and Practice of Industrial Pharmacy, 565-568)
D. BASIS SUPPOSITORIA
Basis suppositoria mempunyai peranan penting dalam pelepasan obat yang dikandungnya. Salah satu
syarat utama basis suppositoria adalah selalu padat dalam suhu ruangan tetapi segera melunak,
melebur atau melarut pada suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat tersedia sepenuhnya,
segera setelah pemakaian (H.C. Ansel, 1990, hal 375).
Menurut Farmakope Indonesia IV, basis suppositoria yang umum digunakan adalah lemak coklat,
gelatin tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran polietilenglikol (PEG) dengan berbagai
bobot molekul dan ester asam lemak polietilen glikol. Basis suppositoria yang digunakan sangat
berpengaruh pada pelepasan zat terapeutik (FI IV,hlm.16).
Yang perlu diperhatikan untuk basis suppositoria adalah :
a. Asal dan komposisi kimia
b. Jarak lebur/leleh
c. Solid-Fat Index (SFI)
d. Bilangan hidroksil
e. Titik pemadatan
f. Bilangan penyabunan (saponifikasi)
g. Bilangan iodida
h. Bilangan air (jumlah air yang dapat diserap dalam 100 g lemak)
i. Bilangan asam
(Lachman, Teory and Practice of Industrial Pharmacy, 568-569)
Syarat basis yang ideal antara lain :
a. melebur pada temperatur rektal
b. tidak toksik, tidak menimbulkan iritasi dan sensitisasi
c. dapat bercampur (kompatibel) dengan berbagai obat
d. tidak berbentuk metastabil
e. mudah dilepas dari cetakan
f. memiliki sifat pembasahan dan emulsifikasi
g. bilangan airnya tinggi
h. stabil secara fisika dan kimia selama penyimpanan
i. dapat dibentuk dengan tangan, mesin, kompresi atau ekstrusi
Jika basis adalah lemak, ada persyaratan tambahan sebagai berikut :
Bilangan asam < 0,2
Bilangan penyabunan 200 - 245
Bilangan iodine < 7
Interval antara titik lebur dan titik pemadatan kecil (kurva SFI tajam)
(Lachman, teory and Practice of Industrial Pharmacy, 575)
Tipe basis suppositoria berdasarkan karakteristik fisik yaitu (H. C. Ansel, 1990 hal 376) :
a. Basis suppositoria yang meleleh (Basis berlemak)
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai, terdiri dari oleum cacao, dan
macam-macam asam lemak yang dihidrogenasi dari minyak nabati seperti minyak palem dan
minyak biji kapas.
2.
3.
4.
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
karena gliserin yang higroskopis. Oleh karena itu, saat akan dipakai, suppo harus dibasahi terlebih
dahulu dengan air.
Polietilen glikol (PEG) merupakan polimer dari etilen oksida dan air, dibuat menjadi bermacammacam panjang rantai, berat molekul dan sifat fisik. Polietilen glikol tersedia dalam berbagai macam
berat molekul mulai dari 200 sampai 8000. PEG yang umum digunakan adalah PEG 200, 400, 600,
1000, 1500, 1540, 3350, 4000, 6000 dan 8000. Pemberian nomor menunjukkan berat molekul ratarata dari masing-masing polimernya. Polietilen glikol yang memiliki berat molekul rata-rata 200, 400,
600 berupa cairan bening tidak berwarna dan yang mempunyai berat molekul rata-rata lebih dari 1000
berupa lilin putih, padat dan kekerasannya bertambah dengan bertambahnya berat molekul. Basis
polietilen glikol dapat dicampur dalam berbagai perbandingan dengan cara melebur, dengan memakai
dua jenis PEG atau lebih untuk memperoleh basis suppo dengan konsistensi dan karakteristik yang
diinginkan. PEG menyebabkan pelepasan lebih lambat dan memiliki titik leleh lebih tinggi daripada
suhu tubuh. Penyimpanan PEG tidak perlu di kulkas dan dapat dalam penggunaan dapat dimasukkan
secara perlahan tanpa kuatir suppo akan meleleh di tangan (hal yang umum terjadi pada basis lemak).
(Ansel, hal 377)
Contoh formula basis (Lachman, 578)
a. PEG 1000 96%, PEG 4000 4%
b. PEG 1000 75%, PEG 4000 25%
Basis a) memiliki titik leleh rendah, sehingga membutuhkan tempat dingin untuk penyimpanan,
terutama pada musim panas. Basis ini berguna jika kita ingin disintegrasi yang cepat. Sedangkan basis
b) lebih tahan panas daripada basis a) sehingga dapat disimpan pada suhu yang lebih tinggi. Basis ini
berguna jika kita ingin pelepasan zat yang lambat. (Lachman, 578)
Suppositoria dengan polietilen glikol tidak melebur ketika terkena suhu tubuh, tetapi
perlahanlahan melarut dalam cairan tubuh. Oleh karena itu basis ini tidak perlu diformulasi
supaya melebur pada suhu tubuh. Jadi boleh saja dalam pengerjaannya, menyiapkan
suppositoria dengan campuran PEG yang mempunyai titik lebur lebih tinggi daripada suhu
tubuh.
Keuntungannya, tidak memungkinkan perlambatan pelepasan obat dari basis begitu suppo
dimasukkan, tetapi juga menyebabkan penyimpanan dapat dilakukan di luar lemari es dan
tidak rusak bila terkena udara panas. Suppo dengan basis PEG harus dicelupkan ke dalam air
untuk mencegah rangsangan pada membran mukosa dan rasa menyengat, terutama pada
kadar air dalam basis yang kurang dari 20%. (Ansel hal 377)
PEG Titik Leleh (C)
1000
37
40
1500
44
48
1540
40
48
4000
50
58
6000
55
63
(HOPE, ed.IV p. 455)
a.
b.
c.
d.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Mudah penanganannya
Tidak dapat digunakan untuk zat-zat yang rusak oleh pH di rektum (materi kuliah)
II I. FORMULASI SUPPOSITORIA
A. METODE PEMBUATAN (Lachman, 580)
Suppo dapat dibuat dengan beberapa metode yaitu pencetakan dengan tangan, pencetakan kompresi,
dan pencetakan dengan penuangan.
1. Pencetakan dengan tangan (manual)
Pencetakan dengan tangan (manual) merupakan metode paling sederhana, praktis dan ekonomis untuk
memproduksi sejumlah kecil suppositoria. Caranya dengan menggerus bahan pembawa / basis sedikit
demi sedikit dengan zat aktif, di dalam mortir hingga homogen. Kemudian massa suppositoria yang
mengandung zat aktif digulung menjadi bentuk silinder lalu dipotong-potong sesuai diameter dan
panjangnya. Zat aktif dicampurkan dalam bentuk serbuk halus atau dilarutkan dalam air. Untuk
mencegah melekatnya bahan pembawa pada tangan, dapat digunakan talk.
2. Pencetakan dengan kompresi / cetak kempa / cold compression
Pada pencetakan dengan kompresi, suppositoria dibuat dengan mencetak massa yang dingin ke dalam
cetakan dengan bentuk yang diinginkan. Alat kompresi ini terdapat dalam berbagai kapasitas yaitu 1,2
dan 5 g. Dengan metode kompresi, dihasilkan suppositoria yang lebih baik dibandingkan cara
pertama, karena metode ini dapat mencegah sedimentasi padatan yang larut dalam bahan pembawa
suppositoria. Umumnya metode ini digunakan dalam skala besar produksi dan digunakan untuk
membuat suppositoria dengan pembawa lemak coklat / oleum cacao. Beberapa basis yang dapat
digunakan adalah campuran PEG 1450 heksametriol-1,2,6 6% dan 12% polietilen oksida 4000.
3. Pencetakan dengan penuangan / cetak tuang / fusion
Metode pencetakan dengan penuangan sering juga digunakan untuk pembuatan skala industri. Teknik
ini juga sering disebut sebagai teknik pelelehan. Cara ini dapat dipakai untuk membuat suppositoria
dengan hampir semua pembawa. Cetakannya dapat digunakan untuk membuat 6 - 600 suppositoria.
Pada dasarnya langkah-langkah dalam metode ini ialah melelehkan bahan pembawa dalam penangas
air hingga homogen, membasahi cetakan dengan lubrikan untuk mencegah melekatnya suppositoria
pada dinding cetakan, menuang hasil leburan menjadi suppo, selanjutnya pendinginan bertahap (pada
awalnya di suhu kamar, lalu pada lemari pendingin bersuhu 7-10 0C, lalu melepaskan suppo dari
cetakan. Cetakan yang umum digunakan sekarang terbuat dari baj a tahan karat, aluminium, tembaga
atau plastik.
Cetakan yang dipisah dalam sekat-sekat, umumnya dapat dibuka secara membujur. Pada waktu
leburan dituangkan cetakan ditutup dan kemudian dibuka lagi saat akan mengeluarkan suppositoria
yang sudah dingin. Tergantung pada formulasinya, cetakan suppo mungkin memerlukan lubrikan
sebelum leburan dimasukkan ke dalamnya, supaya memudahkan terlepasnya suppo dari cetakan.
Bahan-bahan yang mungkin menimbulkan iritasi terhadap membran mukosa seharusnya tidak
digunakan sebagai lubrikan (Sylvia Nurendah, skripsi)
Metode yang sering digunakan pada pembuatan suppositoria baik skala kecil maupun skala industri
adalah pencetakan dengan penuangan (Ansel, 378)
B. PENDEKATAN FORMULASI
1. Apakah untuk tujuan sistemik atau lokal?
2. Di mana lokasi pemberian suppositoria? Rektal, vaginal, atau uretral?
3. Bagaimana efek yang diinginkan? Cepat atau lambat?
1. Suppositoria untuk tujuan sistemik
Basis yang digunakan tersedia dan ekonomis.
Zat aktif harus terdispersi baik dalam basis dan dapat lepas dengan baik (pada kecepatan yang
diinginkan) dalam cairan tubuh di sekitar suppositoria.
Jika zat aktif larut air, gunakan basis lemak dengan kadar air rendah.
Jika zat aktif larut lemak, gunakan basis larut air. Dapat ditambahkan surfaktan untuk mempertinggi
kelarutannya.
Untuk meningkatkan homogenitas zat aktif dalam basis sebaiknya digunakan pelarut yang
melarutkan zat aktif atau zat aktif dihaluskan sebelum dicampur dengan basis yang meleleh.
Zat aktif yang larut sedikit dalam air atau pelarut lain yang tercampur dalam basis, dilarutkan
dulu sebelum dicampur dengan basis.
Zat aktif yang langsung dapat dicampur dengan basis, terlebih dahulu digerus halus sehingga 100 %
dapat melewati ayakan 100 mesh.
2. Suppositoria untuk efek lokal
Untuk hemoroid, anestetika lokal dan antiseptik (tidak untuk diabsorbsi).
Basis tidak diabsorpsi, melebur dan melepaskan obat secara perlahan-lahan.
Basis harus dapat melepas sejumlah obat yang memadai dalam 1/2 jam, dan meleleh seluruhnya
dengan melepas semua obat antara 4-6 jam agar terjadi efek lokal dalam kisaran waktu tersebut.
Pilih basis untuk efek lokal
Obat harus didistribusikan secara homogen dalam basis suppositoria.
(Lachman, Theory and Practice of Industrial Pharmacy 3rd ed, 582-583)
C. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM FORMULASI
1. Pemilihan Obat / Zat Aktif
Suatu zat aktif dapat dberikan dalam bentuk suppositoria jika:
a. Dapat diabsorpsi dengan cukup melalui mukosa rektal untuk mencapai kadar terapeutik dalam
darah (absorpsi dapat ditingkatkan dengan bahan pembantu).
b. Absorpsi zat aktif melalui rute oral buruk atau menyebabkan iritasi mukosa saluran
pencernaan, atau zat aktif berupa antibiotik yang dapat mengganggu keseimbangan flora
normal usus.
c. Zat aktif berupa polipeptida kecil yang dapat mengalami proses enzimatis pada saluran
pencernaan bagian atas (sehingga tidak berguna jika diberikan melalui rute oral).
a.
Bahan yang dipilih tidak teroksidasi saat terpapar udara, kelembapan atau cahaya.
Karakteristik basis yang menentukan selama penggunaan:
a. Pelepasan
Pemilihan basis yang tepat memberikan penghantaran bahan aktif yang optimal ke tempat target.
b. Toleransi
Suppositoria akhir toksisitasnya harus minimal, dan tidak menyebabkan iritasi jaringan mukosa rektal
yang sensitif.
Kriteria pemilihan basis berdasarkan karakteristik fisikokimianya:
a. Jarak lebur
Spesifikasi suhu lebur basis suppositoria (terutama basis lemak) dinyatakan dalam jarak lebur
daripada suatu titik lebur. Hal ini karena terdapat suatu rentang suhu antara bentuk stabil dan tidak
stabil, suatu hasil dari polimorfisme bahan tersebut. Penambahan cairan ke dalam basis umumnya
cenderung menurunkan suhu leleh suppositoria, sehingga disarankan penggunaan basis dengan suhu
leleh lebih tinggi. Sedangkan, penambahan sejumlah besar serbuk fine akan meningkatkan viskositas
produk, sehingga diperlukan basis dengan suhu leleh yang lebih rendah.
b. Bilangan iodin
Rancidifikasi (oksidasi) basis suppositoria dapat menjadi massalah. Karena sensitivitas dari jaringan
mukosa rektal, dan potensinya terpapar lelehan basis suppositoria, maka antioksidan berpotensi
mengiritasi tidak dianjurkan digunakan dalam suppositoria. Untuk mencegah penggunaan antioksidan,
sebaiknya digunakan basis dengan bilangan iodin < 3 (dan lebih diutamakan < 1).
c. Indeks hidroksil
Bahan yang memiliki indeks hidroksil rendah juga memberikan stabilitas yang lebih baik dalam kasus
dimana zat aktif sensitif terhadap adanya radikal hidroksil.
3. Pemilihan bahan pembantu yang dapat meningkatkan homogenitas produk, kelarutan, dll
Bahan pembantu digunakan untuk:
a. Meningkatkan penggabungan (inkorporasi) dari serbuk zat aktif
Peningkatan jumlah serbuk zat aktif dapat mengganggu integritas suppositoria dengan menyebabkan
peningkatan viskositas lelehan, sehingga menghambat alirannya ke dalam cetakan. Ajuvan yang
digunakan untuk mengatasi hal ini yaitu: Mg karbonat, minyak netral (gliserida asam lemak jenuh C-8
hingga C-12 dengan viskositas rendah) 10 % dari bobot suppositoria, dan air (1 2 %).
b. Meningkatkan hidrofilisitas
Penambahan bahan peningkat hidrofilisitas digunakan untuk mempercepat disolusi suppositoria di
rektum, sehingga meningkatkan absorpsi, jika digunakan dengan konsentrasi rendah. Tetapi, jika
digunakan dalam konsentrasi besar, bahan ini malah menurunkan absorpsi. Bahan peningkat
hidrofilisitas juga dapat menyebabkan iritasi lokal.
Contoh bahan ini yaitu:
1. surfaktan anionik, misalnya: garam empedu, Ca oleat, setil stearil alkohol plus 10 % Na alkil sulfat,
Na dioktilsulfosuksinat, Na lauril sulfat (1 %), Na stearat (1 %), dan trietanol amin stearat (3 5 %);
2. surfaktan nonionik dan amfoterik, misalnya: ester asam lemak dari sorbitan (Span & Arlacel), ester
asam lemak dari sorbitan teretoksilasi (Tween), ester dan eter teretoksilasi (polietilenglikol 400
miristat, Myrj, eter polietilenglikol dari alkohol lemak), minyak natural termodifikasi (Labrafil
M2273, Cremophor EL, lesitin, kolesterol);
3. gliserida parsial, misalnya: mono- dan digliserida mengandung asam lemak tergliserolisasi (Atmul
84), mono- dan digliserida (gliserin monostearat dan gliserin monooleat), monogliserida asam stearat
dan palmitat, mono- dan digliserida dari asam palmitat dan stearat.
c. Meningkatkan viskositas
Pengaturan viskositas dari lelehan suppositoria selama pendinginan merupakan titik kritis untuk
mencegah sedimentasi. Bahan yang digunakan yaitu: asam lemak dan derivatnya (Al monostearat,
gliseril monostearat, & asam stearat), alkohol lemak (setil, miristat dan stearil alkohol), serbuk inert
(bentonit & silika koloidal).
d. Mengubah suhu leleh
Contoh bahan yang digunakan: asam lemak dan derivatnya (gliserol stearat dan asam stearat), alkohol
lemak (setil alkohol dan setil stearat alkohol), hidrokarbon (parafin), dan malam (malam lebah, setil
alkohol, dan malam carnauba).
Aspirin yang dibutuhkan (dibuat dengan ditambah 1 buah suppo untuk cadangan) = 13 x 0,3 g = 3,9
g
Oleum cacao teoritis yang dibutuhkan untuk membuat suppo (basis saja tanpa ZA) = 13 x 2 g = 26 g
10 %
1%
@2g
1,1
0,81
Jika diminta membuat 6 buah Suppositoria maka umumnya dibuat berlebih, misalnya 8 buah. Langkah
pengerjaan :
1. Buat dan timbang 8 Suppositoria yang terbuat dari oleum cacao saja, misal diperoleh bobot total
8
Suppositoria adalah 16, 8 g. Maka bobot rata-rata 1 Suppositoria adalah 16,8 / 8 = 8
2. Zat aktif ditimbang :
10% x 8 x 2,1 g = 1,68 g
Fenobarbital : 1% x 8 x 2,1 g = 0,168 g
3. Dihitung kesetaraan zat aktif dengan oleum cacao :
Aminofilin menggantikan : 1,68 / 1,1 = 1,53 g oleum cacao
Fenobarbital menggantikan : 1,68 / 0,81 = 0,14 g oleum cacao
4. Jumlah total oleum cacao yang ditimbang : 16,8 g (1,53+0,14) = 15,13 g
5. Buat 8 Suppositoria yang terdiri dari oleum cacao dan bahan obat kemudian lakukan evaluasi
terhadapnya dan serahkan 6 Suppositoria yang baik.
2. Replacement Factor (Lachman,585) / Nilai Tukar (IMO, hal 161)
Replacement factor [faktor penggantian dosis (f)] adalah jumlah basis yang dapat digantikan oleh
bahan obat. Nilai tukar dimaksudkan untuk mengetahui berat lemak (oleum cacao) yang mempunyai
besar volume yang sama dengan 1 gram bahan aktif obat.
Jika f = 0,81 berarti bahwa 0,81 g basis dapat digantikan oleh 1 g bahan obat. f dapat diturunkan dari
persamaan berikut :
(E - G)
f = 100 x ------------ + 1
(G x X)
E
: Berat Suppositoria yang hanya terdiri dari basis
G
: Berat Suppositoria dengan zat aktif x % X : % bahan obat
G.X
: Jumlah bahan obat dalam Suppositoria
Contoh :
Supositoria mengandung 100 mg fenobarbital, menggunakan oleum cacao sebagai basis.
Bobot supo mengandung 100% ol.cacao = 2 g
Berapa bobot supo yang mengandung 100 mg fenobarbital ?
Jawab :
Karena mengandung 100 mg fenobarbital dalam sekitar 2 g, maka % fenobarbital dalam sediaan supo
adalah (100 / 2000) mg x 100% = 5%
Bilangan pengganti fenobarbital, f = 0,81
(E - G)
f = 100 x ------------ + 1
(G x X)
(2- G)
0,81 = 100 x ------------ + 1
( G x 5)
-0,19 = 200 100G
5G
-0,19 = 40 20G G = 2,0095 g
Jadi bobot supo dengan 100 mg fenobarbital = 2,0095 g
Dalam perhitungan apabila diketahui maka f dapat langsung dikalikan dengan jumlah bahan obat.
Obat-obat yang umum dibuat dalam sediaan Suppositoria, bila dibandingkan dengan oleum cacao
yang memiliki f = 1, memiliki faktor pengganti seperti dalam tabel berikut ini :
Asam borat
Faktor pengganti
0,67
Fenobarbital
0,81
Hg protein ringan
0,61
Balsam Peru
0,83
Bismuth subgallat
0,37
Bismuth subnitrat
0,33
Camphora
1,49
Malam putih atau malam kuning
1,0
Spermaseti
1,0
Kloral hidrat
0,67
Kinin hidroklorida
0,83
Serbuk daun digitalis
0,61
Ichthammol
0,91
Minyak jarak
1,0
Fenol
0,9
Prokain hidroklorida
0,8
Resorsin
0,71
Salol
0,71
Sulfanilamida
0,6
Sulfatiazol
0,62
Teofilin Na asetat
0,6
Zink oksida
0,15 - 0,25
(Lachman,585)
Untuk bahan aktif larutan nilai tukarnya adalah 1. (IMO, hal 164)
3. Displacement Value
Adalah jumlah zat aktif yang dapat menggantikan oleum cacao.
Contoh perhitungan :
Buat dan timbang 6 Suppo oleum cacao tanpa bahan obat, misalnya diperoleh bobot 6,0g.
4.
Bilangan pengganti adalah bilangan yang menyatakan jumlah basis yang digantikan oleh zat
aktif, dikarenakan perbedaan BJ antara zat aktif dan basis.
Misal, akan dibuat suppo dengan 10% zat aktif, cara penetapan bilangan pengganti :
a
Suppo basis :
buat basis suppo dan tuang dalam cetakan
biarkan suppo basis di suhu kamar sampai memadat sempurna
sempurnakan pemadatan pada suhu dingin (4oC) selama 30 menit
keluarkan suppo basis dari cetakan dan tibang, misalnya didapat 2 gram
b Suppo dengan 10% zat aktif :
buat lelehan basis suppo (90%)
timbang 10% zat aktif dan masukkan ke dalam lelehan basis suppo yang sudah turun suhunya sampai
nilai tertentu bergantung stabilitas zat aktif
aduk sampai zat aktif terdispersi rata dalam basis
tuang ke dalam campuran dan biarkan memadat seperti pada prosedur a.
keluarkan suppo dan timbang, misalnya didapat 2,2 gram
c
Perhitungan :
bobot suppo 100% basis = 2 g
bobot suppo 10% zat aktif = 2,2 g
Jadi bobot zat aktif dalam suppo = 0,1 x 2,2 = 0,22 g
bobot basis dalam suppo 10% zat aktif = 2,2 0,22 = 1,98 g
Bobot basis yang digantikan oleh 0,22 g zat aktif = 2 1,98 = 0,02 g basis
Bobot basis yang digantikan oleh 1 g zat aktif
= 0,02 / 0,22 = 0,09 g basis
Jadi bilangan pengganti zat aktif = 0,09
V. P E M B U A TA N
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Suppositoria, sbb:
1. Penyiapan cetakan
Cetakan dikalibrasi, caranya : Siapkan cetakan supo dengan kondisi kering dan bersih. Buat
lelehan basis supo 6-12 supo. Tuang lelehan, dinginkan dan rapikan. Keluarkan supo dari cetakan dan
timbang. Hitung bobot rata-rata supo. Bobot rata-rata ioni sebagai nilai kalibrasi untuk cetakan
tertentu.
Cetakan sebaiknya dilubrikasi. Cetakan yang baru masih memiliki permukaan yang mengkilat
dan dapat melepaskan suppositoria secara cepat, tetapi setelah beberapa kali pemakaian dapat timbul
goresan yang dapat menghambat pelepasan suppositoria dari cetakan. Penggunaan lubrikan sesedikit
mungkin untuk melapisi semua bagian cetakan tertutup, jika berlebihan dapat menyebabkan
deformasi supo, jika kurang dapat menyebabkan kesulitan pengeluaran supo dari cetakan.
Lubrikan yang digunakan tidak bercampur (immisibel) dengan basis. Untuk basis larut air,
digunakan minyak mineral (contoh : parafin cair). Untuk basis larut lemak, digunakan gliserin, air,
air-gliserin, atau PEG 400.
Teknik lain untuk memudahkan pengeluaran suppositoria akhir dari cetakan adalah dengan
mendinginkan cetakan sebentar di freezer setelah suppositoria membeku pada suhu kamar.
Kontraksi tambahan dapat melepaskan suppositoria lebih mudah dari permukaan logam.
2. Pembuatan basis supo
Pemanasan berlebihan harus dihindari dan basis yang telah dilelehkan dituang ke dalam cetakan
pada suhu sedikit di atas titik pembekuan untuk:
Suhu pelehan basis oleum cacao 34-35 oC, jika dipanaskan melebihi suhu ini menyebabkan
pembentukan bentuk (tidak stabil), jika dipanaskan kurang dari suhu ini menyebabkan ol.cacao sulit
ditangani dan lengket di cetakan.
PEG merupakan basis yang sangat stabil pada suhu tinggi, pelelehan biasanya pada suhu 60 oC.
3. Penyiapan zat aktif
Zat aktif sebaiknya digerus menjadi ukuran yang homogen, halus, dan dapat menjamin distribusi
yang merata dalam basis.
Maksimum zat aktif / zat tambahan lain yang boleh dimasukkan ke dalam basis adalah 30%.
Lebih dari 30% menyebabkan kerapuhan supo.
4. pencampuran dan penuangan
Zat aktif dapat langsung dicampurkan ke dalam lelehan basis, atau dibasahkan dulu sebelum
dimasukkan.
Waktu pencampuran harus diperhatikan sampai diperoleh distribusi zat aktif yang homogen.
Pencampuran yang terlalu lama dapat menyebabkan penguraian zat aktif atau basis.
Campuran dalam lelehan kemudian dituang pada suhu kamar sampai cetakan terpenuhi
sempurna agar tidak terjadi lapisan-lapisan dalam supo. Cetakan dingin tidak digunakan karena
menyebabkan fraktur. Hindarkan gelembung udara terjerat dalam lelehan.
5. pendinginan dan penyempurnaan
Lelehan dibiarkan dalam suhu kamar 15-30 menit diikuti dengan pendinginan tambahan di
lemari es selama 30 menit.
Pembuatan dan penuangan Suppositoria dengan cara leburan :
Panaskan dengan suhu serendah mungkin basis yang telah ditimbang hingga melebur di atas
penangas air dengan menggunakan mangkok porselin berbibir dan memiliki tempat pegangan
2. Bahan obat dicampur dengan sebagian lelehan basis, bila sudah bercampur baik tambahkan dengan
diaduk bersama sisa leburan basis yang telah mendingin / hampir mengental. Untuk bahan yang
menguap atau terganggu oleh pemanasan dicampur dengan diaduk pada suhu tertentu yang dapat
menjamin kestabilan bahan.
3. Agar hasil cetakan lebih baik, cetakan didinginkan dahulu di lemari es sebelum penuangan campuran
ke dalam cetakan
4.
Apabila berat jenis zat aktif yang tidak larut basis lebih besar dari berat jenis basis sehingga dapat
menyebabkan pengendapan, maka ketika pencampuran dan penuangan ke lubang cetakan dilakukan
pengadukan terus-menerus.
5. Penuangan campuran dilakukan sedikit diatas titik (suhu) pengendapan (tidak dalam kondisi
terlalu cair), untuk mencegah presipitasi zat yang tidak larut dalam basis ke ujung suppositoria.
6. Penuangan dilakukan secara kontinu agar suppositoria tidak pecah akibat terjadinya lapisanlapisan.
7.
Penuangan dilakukan secara berlebihan pada permukaan cetakan / hingga meluap untuk menutup
semua rongga pada permukaan secara sempurna. Sisa luapan dapat dibersihkan dari permukaan
cetakan setelah Suppositoria membeku.
(Ansel, 381)
VI. PENG EMA SAN D A N PEN YIMPAN AN
A. Pengemasan
Suppositoria gliserin dan gelatin umumnya dikemas dalam wadah gelas ditutup rapat supaya
mencegah perubahan kelembapan suppositoria.
1.
Suppo yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya dibungkus terpisah-pisah atau dipisahkan satu
sama lainnya pada ceah-celah dalam kotak untuk mencegah terjadinya kontak antar suppo tersebut
dan mencegah perekatan.
Suppo dengan kandungan obat yang peka terhadap cahaya dibungkus satu persatu dalam bahan tidak
tembus cahaya seperti lembaran logam (alufoil). Sebenarnya kebanyakan suppositoria yang terdapat
di pasaran dibungkus dengan alufoil atau bahan plastik satu per satu. Beberapa di antaranya dikemas
dalam strip kontinu berisi suppositoria yang dipisahkan dengan merobek lubang-lubang yang terdapat
di antara suppositoria tersebut. Suppo ini biasa juga dikemas dalam kotak dorong (slide box) atau dalam
kotak plastik. (Howard. C. Ansel, 1990,hal. 385.)
Suppo yang berbasis gliserin dan gelatin tergliserinasi sebaiknya dikemas dalam wadah botol
bermulut lebar dan tertutup rapat. Suppo berbasis oleum cacao dan polimer PEG biasanya masingmasing suppo dikemas dalam kotak kardus yang dilapisi bahan kedap air. Suppo dapat dikemas rapat
dengan kertas logam atau wadah berlapis kertas lilin. Suppo yang mengandung bahan mudah
menguap seperti fenol dan mentol harus dikemas dalam wadah kaca yang tertutup rapat. (HUSAS
Pharmaceutical dispensing, ed. 5, hal. 126)
Labelling
Label sediaan harus mengandung:
1. Nama dan jumlah senyawa aktif yang terkandung.
2. Sediaan tidak boleh ditelan.
3. Tanggal sediaan tidak boleh digunakan lagi.
4. Kondisi penyimpanan sediaan.
(BP 2002, hal.1895)
Petunjuk penyimpanan dalam ruangan dingin disampaikan kepada pasien. (HUSAS Pharmaceutical
dispensing, ed. 5, hal. 126)
B. Penyimpanan
Karena suppo umumnya dipengaruhi panas, maka perlu menjaga dalam tempat dingin.
Suppo yang basisnya oleum cacao harus disimpan di bawah 30 0F (-1,1C) dan akan lebih baik
apabila disimpan di dalam lemari es.
Suppo yang basisnya gelatin gliserin baik sekali bila disimpan di bawah 35 0F (1,6C).
Suppo dengan basis polietilen glikol mungkin dapat disimpan pada suhu ruang biasa tanpa
pendinginan.
Suppo yang disimpan dalam lingkungan yang kelembapan nisbinya tinggi mungkin akan menarik uap
air dan cenderung menjadi seperti spon, sebaliknya bila disimpan dalam tempat yang kering sekali
mungkin akan kehilangan kelembapannya sehingga akan menjadi rapuh. (Howard. C. Ansel, 1990,
hal. 385.)
V I I . E VA L U A S I S U P P O S I T O R I A
1. Appearance
Tes ini lebih ditekankan pada distribusi zat berkhasiat di dalam basis suppo. Suppo dibelah secara
longitudinal kemudian dibuat secara visual pada bagian internal dan bagian eksternal dan harus
nampak seragam. Penampakan permukaan serta warna dapat digunakan untuk mengevaluasi
ketidakadaan:
celah
lubang
eksudasi
pengembangan lemak
hidrostatis air dalam alat tersebut kira-kira nol ketika pipa tersebut mulai kempis. Suppositoria akan
sampai pada level tertentu (lihat gambar pada buku) dan waktu tersebut diukur untuk suppositoria
meleleh dengan sempurna dalam pipa tersebut. (Leon Lachman, 1990, hal. 586)
c. Pelelehan dan Pemadatan
Pembebasan senyawa aktif dari basisnya adalah fungsi langsung dari suhu melelehnya. Untuk
mendapatkan efek terapetik yang ideal dari sediaan ini maka pemahaman yang baik terhadap faktorfaktor dalam pembuatan sediaan, pada saat pelelehan (atau fusion) dan pemadatan, akan menentukan
bioavailabilitas optimum dari sediaan akhir. Metode yang umum digunakan:
tabung kapiler terbuka
tabung U
titik jatuh
(Pharmaceutical Dosage Form Disperse System Vol. 2, Herbert A. Lieberman, 1989, h. 555)
6. Keseragaman Kandungan
Diambil tidak kurang 30 suppo lalu ditetapkan kadar 10 satuan satu per satu. Kecuali dinyatakan lain,
persyaratannya adalah kadar dalam rentang 85,0%-115,0% dari yang tertera pada etiket dam
simpangan baku relatif kurang dari atau sama dengan 6,0%.
Jika satu satuan berada di luar rentang tersebut, tapi dalam rentang 75,0%-125,0% dari yang tertera
dalam etiket, atau simpangan baku relatif lebih besar dari 6,0%, atau jika kedua kondisi tidak
dipenuhi, dilakukan uji 20 satuan tambahan. Persyaratan dipenuhi jika tidak lebih dari satu satuan dari
30 terletak di luar rentang 85,0%-115,0% dari yang tertera pada etiket dan tidak ada satuan terletak di
luar rentang 75,0%-125,0% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif dari 30 satuan
sediaan tidak lebih dari 7,8%. (FI ed.IV hal 999-1000)
7. Penentuan Waktu Pelembekan dari Suppositoria Lipofilik
(Softening time determination of lipophilic suppositories)
Uji ini dilakukan untuk menentukan waktu yang dibutuhkan sediaan di dalam air sampai sediaan
melembek hingga sediaan tidak mempunyai ketegaran / ketahanan saat berat tertentu diberikan.
Metode ini dapat menggunakan beberapa alat. (BP 2002, A332)
8. Metode Uji Disolusi Sediaan Suppositoria
Belum ada metode atau desain alat yang dijadikan standar untuk digunakan dalam laboratorium
farmasi. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi disolusi farmasi dari sediaan suppositoria: pengaruh
surfaktan dan kelarutan, pengaruh viskositas, zat tambahan dan ukuran partikel zat aktif. (Abdou,
Dissolution, Bioavalability and Bioequivalence; TA A 673 Leon Lachman, 1990,hal. 567)
V I I I . C O N TOH - C O N TO H S U P P O D I P U S TAK A
1. Suppositoria aminofilin ( Fornas, HC Ansel,593 )
2. Suppositoria aspirin (HC Ansel, 593)
3. Suppositoria bibaza / anusol ( Fornas )
4. Suppositoria bisakodil ( BP 2002 hal. 1895; Fornas )
5. Suppositoria klorpromazin ( BP 2002 hal. 1895)
6. Suppositoria etamifilin ( BP 2001)
7. Suppositoria flurbiprofen ( BP 2002 hal. 1895)
8. Suppositoria gliserol ( BP 2002 hal. 1895)
9. Suppositoria indometasin ( BP 2002 hal. 1895)
10. Suppositoria metronidazol ( BP 2002 hal. 1895)
11. Suppositoria morfin ( BP 2002 hal. 1895)
12. Suppositoria naproxen ( BP 2002 hal. 1895)
13. Suppositoria parasetamol ( BP 2002 hal. 1895)
14. Suppositoria pentazosin ( BP 2002 hal. 1895)
IX. FORMULA D I PUSTAKA
1. Suppositoria Aminofilin (Fornas hal 21)
R/ Aminofilin
250 mg
Suppo dasar yang cocok
q.s.
2.
Balsamum Peruvianum
125 mg
Acidum Boricum
360 mg
Zincoxydum
360 mg
Ultramarinum
3,4 mg
Cera flava
100 mg
Oleum cacao hingga
2,6 g
3. Suppositoria Bisakodil (Fornas hal 51)
R/ Bisakodil
10 mg
Suppo dasar yang cocok
q.s
NOTE: Jika tidak dinyatakan lain, sebagai suppo dasar digunakan lemak coklat dan untuk memperoleh
massa suppo yang baik, sebagian lemak coklat dapat diganti dengan malam putih dalam jumlah yang
sesuai. Suppo yang dibuat dengan menggunakan suppo dasar lemak coklat berbobot antara 1-2 g
(Fornas hal 333)
(FORMULA NO. 4 S/D 10 DARI PUSTAKA BPC 1973 HAL. 796-798)
4. Suppositoria Bismuth Subgalat
R/ Bismuth Subgalat
200 mg
Resorsinol
60 mg
ZnO
120 mg
Castor oil
60 mg
Theobroma oil/basis lemak lain hingga 1 g
Bilangan Pengganti (BP): 1 g theobroma oil setara dengan 3 g bismuth subgalat
5 g ZnO
1 g Castor oil
1,5 g resorsinol
5. Suppositoria Chlorpromazine
R/ Chlorpromazine
100 mg
Minyak nabati terhidrogenasi/basis yang cocok
6. Suppositoria Cinchocaine
R/ Cinchocaine Hidroklorida
11 mg
Theobroma oil/basis lemak
BP: 1 g Theobroma oil setara dengan 1,5 g Cinchocaine Hidroklorida
7. Suppositoria Hamamelis
R/ Ekstrak kering Hamamelis
200 mg
Theobroma oil/basis lemak yang cocok
BP: 1 g theobroma oil setara dengan 1,5 g ekstrak kering Hamamelis
8. Suppositoria Hamamelis dan ZnO
R/ Ekstrak kering Hamamelis
200 mg
ZnO
600 mg
Theobroma oil / basis lemak yang cocok hingga 2 g
9. Suppositoria Hidrokortison
R/ Hidrokortison/Hidrokortisaon asetat
25 mg
Theobroma oil/basis lemak yang cocok
BP : 1 g Theobroma oil setara dengan 1,5 g hidrokortison / hidrokortison asetat
10. Suppositoria Morphine
R/ Morfin hidroklorida/morfin sulfat
15 atau 30 atau 60 mg Theobroma oil / basis lemak yang
cocok
NOTE: Theobroma oil dapat diganti dengan basis lain yang cocok seperti palm kemel oil
terfraksionasi atau minyak nabati terhidrogenasi lain yang cocok, dimana titik leleh suppo tidak lebih
dari 37 0C. Jika suppo digunakan pada negara tropis dan subtropis, titik leleh basis dapat ditingkatkan
dengan penambahan white beeswax atau basis yang memiliki titik leleh lebih tinggi. Penggunaan
suppo gliserol sebagai basis terbatas karena gelatin inkompatibel dengan tanin. (BPC 1973 hal. 795)
(FORMULA NO. 11 S/D 20 DARI PUSTAKA LACHMAN PHARMACEUTICAL DOSAGE FORMS
DISPERSE SYTEM HAL 563)
A. Analgesik, antipiretik
11. R/ Aspirin
500 mg
Novata B
1500 mg
12. R/ Parasetamol
Kodein Fosfat
Aspirin
Witepsol H35 hingga
200 mg
20 mg
150 mg
2000 mg
B. Bronkopulmonari, Antitusif
13. R/ Prophythenazone
1250 mg
Theofilin
310 mg
Kafein
625 mg
Efedrin HCl
310 mg
Atropin metilbromida
1 mg
Witepsol H15
hingga 2000 mg
14. R/ Theofilin
400 mg
Fenobarbital
20 mg
Suppocire AML
1580 mg
C. Antibiotik
15. R/ Terramycin
Suppocire M
200 mg
1800 mg
D. Kardiovaskular
16. R/ Serbuk daun Digitalis
50 mg
Theobromin Sodium Salisilat
250 mg
Witepsol S55
hingga 2000 mg
17. R/ Phenylethylbarbituric acid
50 mg
Ekstrak Beladon
40 mg
Laktosa
40 mg
Gliserol 78%
80 mg
Witepsol
hingga 2000 mg
E. Antihemorrhoidal
18. R/ Benzokain
50 mg
Metanol
20 mg
Resorcin
10 mg
ZnO
300 mg
Hamamelis (ekstrak cair)
50 mg
Witepsol
hingga 2000 mg
19. R/ Anhydrous Bismuth Oxide
23 mg
Resorsinol
23 mg
Bismuth subgalat
53 mg
Bismuth oxyiodide
1 mg
ZnO
278 mg
Asam borat
477 mg
Peruvian balsam
Suppocire
46 mg
1899 mg
2. Karakteristik permukaan
Penting dalam transfer zat aktif dari 1 fasa
ke fasa lain.
Zat aktif harus tersebar pada batas
permukaan basis dan cairan rektum (hindari
agglomerat).
Homogenitas zat aktif dalam supositoria.
Penambahan surfaktan terhadap zat aktif
hidrofob untuk menyediakan obat dalam
keadaan terlarut siap diabsorpsi.
3. Ukuran partikel
Penting dalam pencegahan sedimentasi
selama atau setelah pembuatan supositoria
(z.a < 150 um sedimentasi).
4. Jumlah zat aktif
@ Jumlah partikel meningkat agglomerasi
@ Penggunaan suspending agent
meningkatkan viskositas
@ Zat aktif dengan ukuran partikel kecil
menghasilkan bioavailabilitas tinggi
Zat tambahan
Untuk memperbaiki kualitas
Peningkat viskositas: koloid silikon dioksida (1-2%),
Al-monostearat (1-2%), lechitin
Plastisizer: setil alkohol, propilen glikol, antioksidan
Surfaktan: peningkat absorpsi
Pembuatan supositoria
Tiga (3) metode pembuatan:
1. Pencetakan (molding)
2. Kompresi
3. Hand rolling and shaping
1.metode pencetakan (molding)
Merupakan proses panas/fusion
Keuntungan:
Penampilannya elegan
Tidak membutuhkan skill yang tinggi
Kerugian:
Panas
Peralatan: membutuhkan cetakan
Memerlukan penghitungan khusus
3. Uji kekerasan
Metoda untuk mengukur kerapuhan supositoria. Uji
dilakukan dengan menempatkan supositoria pada platform
600 g. Selang interval 1 menit dilakukan penambahan pelat
200 g. Penambahan berat total hingga supositoria retak
menggambarkan kekerasan/kekuatan supositoria
4. Uji waktu hancur
Uji ini menentukan waktu supositoria melunak atau hancur
saat ditempatkan dalam medium cair.
Kriteria penerimaan:
Terlarut sempurna.
Komponen supositoria terpisah: lelehan basis lemak
mengapung di permukaan medium, komponen larut medium
dan zat tidak larut yang berada di dasar wadah medium.
Supositoria melunak dan berubah dari bentuk awalnya
tanpa terjadi pemisahan komponen secara sempurna.
Tidak ada residu yang tersisa pada alat perforasi uji,
kalaupun ada berupa massa lunak yang tidak mempunyai
inti padat
Masalah khusus dalam formulasi
Air dalam suppositoria
Higroskopisitas
Inkompatibilitas
Viskositas
Kerapuhan
Densitas
Volume kontraksi
Lubrikan
Faktor bilangan pengganti