Ilmu Asbab Al Nuzul
Ilmu Asbab Al Nuzul
Ilmu Asbab Al Nuzul
: AYU REHANA
NPM
: 1502090117
PRODI
: HESy B
BAB 3
ILMU ASBAB AL-NUZUL
Asbabal-Nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan
turunnya ayat Al-Quran yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu
terjadi.
2. Menurut Subhi Salih bahwa Asbab al-Nuzul adalah:
Asbab al-Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab satu ayat atau beberapa ayat AlQuran yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau
sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi.
3. Sedangkan Manna Al-Qaththan mengatakan bahwa Asbab al-Nuzul adalah peristiwaperistiwa yang menyebabkan turunnya Al-Quran, berkenaan dengannya suatu peristiwa
itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi.
4. Selanjutnya menurut pendapat yang lain juga mengatakan bahwa Asbab al-Nuzul adalah
kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Quran, dalam rangka
menjawab, menjelaskan, dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian
terebut.
Dari beberapa pendapat di atas memberikan pemahaman bahwa sebab turunnya suatu
ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau
beberapa ayat turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau
memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
Persoalan mengenai apakah seluruh ayat Al-Quran memiliki Asbab al-Nuzul atau
tidak, ternyata telah menjadi bahan kontroversi di antara para ulama. Sebagian ulama
berpendapat bahwa tidak semua ayat Al-Quran memiliki Asbab al-Nuzul. Pendapat tersebut
hampir menjadi kesepakatan para ulama. Akan tetapi, sebagian berpendapat sebagian ulama
menganggap bahwa semua ayat Al-Quran memiliki sebab-sebab yang melatarbelakangi
turunnya ayat. Pendapat ini melihat kesejarahan Arabia pra-Quran pada masa turunnya AlQuran merupakan latar belakang makro Al-Quran, sedangkan riwayat-riwayat Asbab alNuzul merupakan latar belakang mikronya.
Cara ini digunakan bila salah satu versi riwayat Asbab al-Nuzul itu tidak
menggunakan redaksi sharih (pasti). Umpamanya riwayat Asbab al-Nuzul yang
menceritakan kasus seorang lelaki yang menggauli istrinya dari belakang.
c. Mengambil versi riwayat yang shahih (valid)
Cara ini digunakan apabila seluruh riwayat itu menggunakan redaksi sharih (pasti),
tetapi kualitas salah satu tidak sahih.
Sedangkan terhadap variasi riwayat Asbab al-Nuzul dalam satu ayat yang versinya
berkualitas, para ulama mengemukakan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengambil versi riwayat yang shahih
Cara ini diambil bila terdapat dua versi riwayat tentang Asbab al-Nuzul satu ayat,
yang salah satu versi berkualitas shahih, sedangkan yang lainnya tidak.
b. Melakukan studi selektif (tarjih)
Langkah ini diambil bila kedua versi Asbab al-Nuzul yang berbeda-beda itu
kualitasnya sama-sama shahih, seperti Asbab al-Nuzul yang berkaitan dengan
turunnya ayat tentang ruh. Sebagai contoh, versi Asbab al Nuzul yang dikeluarkan
oleh al-Bukhari dari Ibn Masud mengatakan:
Aku berjalan bersama Rasulullah di Madinah aam beliau dalam keadaan bertekan
pada pelepah kurma. Ketika beliau melewati sekelompok orang yahudi. Sebagian
dari mereka berkata kepada sebagian yang lainnya. Alangkah baiknya bila kalian
menanyakan sesuatu kepadanya (Muhammad).kemudian mereka berkata, Ya
Muhammad, terangkan kepada kami tentang ruh. Nabi berdiri sejenak sambil
mengangkat kepala, (saat itu pun) aku tahu bahwa beliau sedang menerima wahyu.
Dan beliau pun membacanya. Katakanlah, permasalahan ruh adalah sebagian dari
urusan Tuhanku. Dan tidak diberikan kepada kamu ilmu, kecuali sedikit saja.
Dalam versi Asbab al-Nuzul yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Turmudzi dari Ibn
Abbas disebutkan:
Al-Quran turun pada zaman Rasulullah Saw. Oleh karena itu tidak boleh ada jalan lain
untuk mengetahui sebab-sebab turunnya selain berdasarkan periwayatan (Pentransmisian)
yang benar dari orang-orang yang melihat dan mendengar langsung turunnya ayat Al-Quran.
Ulama salaf sangatlah keras dan ketat dalam menerima berbagai riwayat yang berkaitan
dengan Asbab al-Nuzul. Ketetatan mereka itu dititikberatkan pada seleksi pribadi si pembawa
riwayat (rawi), sumber riwayat (isnad), dan redaksi berita (matan).
Akan tetapi, sikap kekritisan mereka tidak dikenakan terhadap materi Asbab al-Nuzul
yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi. Mereka berasumsi bahwa apa yang dikatakan sahabat
Nabi, yang tidak masuk akal dalam pangan penukilan dan pendengaran, maka dapat
dipastikan bahwa ia mendengar ijtihadnya sendiri.
Berkaitan dengan Asbab al-Nuzul, ucapan seorang tabi tidak dipandang sebagai hadits
marfu, kecuali bila diperkuat oleh hadits mursal lainnya, yang diriwayatkan oleh salah
seorang imam tafsir yang dipastikan mendengar hadits dari Nabi.
BAB 4
ILMU NASIKH MANSUKH
Secara umum maqashid al-tasyri adalah untuk kemaslahatan manusia. Dalam proses
pengimplementasiannya kepada manusia tidak dapat dielakkan dari adanya proses nasakh
mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu yang diganti dengan hukum yang sesuai
dengan realitas khidupan pada zaman, waktu dan kemaslahatan manusia, proses tersebut
dikenal dengan nasikh mansukh.
Proses nasikh mansukh terjadi karena Al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur
sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Untuk mengetahui Al-Quran dengan baik maka
harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-Quran. Hal ini seperti yang dikemukakan
oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi bahwa, Seseorang tidak akan dapat menafsirkan Al-Quran
dengan baik tanpa mengetahui nasakh mansukh.
A. Pengertian
Ulama berbeda pendapat tentang bagaimana cara menghadapi ayat-ayat yang sepintas
menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari itulah munculnya pembahasan tentang nasakh
mansukh dalam Al-Quran.
Nasakh mansukh dalam Al-Quran diungkap sebanyak empat kali, yakni dalam surah
Al-Baqarah ayat 106:
Artinya: ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?.
Al-Araf ayat 154:
Artinya: sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh (Taurat)
itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut
kepada Tuhannya.
Al-Hajj ayat 52:
Artinya: dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula)
seorang Nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan
godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh
syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana
Al-Jatsiyah ayat 29
Artinya: (Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan terhadapmu
dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan".
Untuk mengtahui ada tidaknya nasikh mansukh dalam Al-Quran, maka perlu dipahamis
secara mendetail pengertian ilmu nasikh mansukh baik secara bahasa maupun istilah.
1. Pengertian Nasakh Secara Bahasa
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai makna nasakh secara
etimologi. Karena memang kata tersebut memiliki makna yang lebih dari satu. Nasakh dapat
berarti al-Izalah artinya menghilangkan atau meniadakan.
Kata nasakh juga berarti Al-Tahwil artinya pengalihan. Seperti, pengalihan bagian
harta warisan. Maksudnya perpindahan harta warisan dari seseorang kepada orang lain. Kata
nasakh juga berarti Al-Tabdil artinya mengganti atau menukar sesuatu dengan yang lain.
Selanjutnya kata nasakh juga berarti al-Naql artinya menyalin, memindahkan atau
mengutip apa yang ada dalam buku.
Mengangkat hukum syari (menghapuskan) hukum syara dengan dalil hukum (kitab)
syara yang lain.
Misalnya, dikeluarkannya hukum syari dengan berdasarkan kitab syara dari seseorang
karena dia mati atau gila. Contoh tentang hukum waris yang dinasakhkan oleh hukum
wasiat ibu bapak dan karib kerabat. Masalah tersebut terdapat dalam surah al-Nisa ayat 11
Artinya: diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Contoh lain, menurut ulama mutaqaddimin, adalah terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat
183 yang berbunyi:
Artinya: ....sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,
Ayat tersebut yang dinasakh oleh surat Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:
Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteriisteri kamu...
Dengan demikian, tampak dengan gamblang bahwa ulama mutaqaddimin memberikan
batasan pengertian bahwa nasakh adalah sebagai dalil syari yang ditetapkan kemudian.
Jadi tidak hanya bagi ketentuan hukum yang mencabut dan membatalkan ketentuan
(hukum) yang sudah berlaku sebelumnya atau mengubah ketentuan hukum yang sudah
dinyatakan pertama berakhir masa berlakunya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan
berlaku terus menerus. Pengertian nasakh menurut kelompok ini mencakup pengertian
pembatasan (qayyad) terhadap pengertian bebas (mutaallaq), pengkhususan terhadap
yang umum, pengecualian, syarat, dan sifat. Ini berlaku mulai abad kesatu sampai abad
ketiga hijriyah.
Ada diantaranya mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang
ditetapkan oleh suatu kondisi tertenu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain
akibat adanya kondisi lain. Sebagai contoh, tentang peristiwa sabar untuk menahan diri
pada periode Mekah di saat kaum Muslimin lemah dianggap telah dinasakh oleh perintah
atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam
merupakan bagian dari pengertian nasakh.
b. Mutaakhirin
Pengertian nasakh menurut ulama mutaakhirin diantaranya adalah sebagaimana
diungkapkan Quraish Shihab: Nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya pemberlakuan
hukum yang terdahulu hingga ketentuan hukum yang ada yang ditetapkan berakhir.
Dari pengertian yang dikemukakan Quraish Shihab di atas dapat disimpulkan bahwa
dalam nasakh diperlukan syarat sebagai berikut:
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara
b. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab Syari yang datang lebih kemudian
dari kitab yang hukumnya mansukh.
c. Kitab yang mansukh hukumnya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
Adapun manfaat nasakh mansukh adalah agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi
kacau dan kabur.
3. Pengertian Nasikh
Menurut bahasa nasikh berarti sesuatu yang menghapuskan, menghilangkan, atau yang
memindahkan atau yang mengutip/ menyalin serta mengubah dan mengganti. Jadi hampir
sama dengan pengertian nasakh menurut bahasa seperti yang telah diterangkan di atas.
Bedanya, nasakh itu kata masdar. Sedangkan nasikh ini isim dan fail sehingga berarti
pelakunya.
Pengertian nasikh menurut istilah ada dua macam:
a. Nasikh ialah hukum syara atau dalil syara yang menghapuskan/ mengubah hukum/ dalil
syara yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang di
bawahnya. Nasikh yang tersebut di atas itu adalah tidak menurut arti yang hakiki,
melainkan secara majas atau menurut arti pinjaman atau alasan.
b. Nasikh itu ialah Allah Swt. Artinya, bahwa sebenarnya yang menghapus dan mengganti
hukum-hukum syara itu pada hakikatnya ialah Allah Swt. Tidak ada yang lain sebab
dalam hukum syara itu hanya dari Allah Swt tidak dari yang lain, dan juga tidak diubah
atau diganti oleh yang lain, hal ini sesuai dengan keterangan Al-Quran.
4. Pengertian Mansukh
Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah ataupun
disalin/ dinukil, sedangkan menurut istilah para ulama. Mansukh adalah hukum syara yang
diambil dari dalil syara yang pertama yang belum diubah dengan dibatalkan dan digantikan
dengan hukum dari dalil syara baru yang akan datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah ketentuan hukum syara pertama yang telah
diubah dan digantikan dengan yang baru. Karena, adanya perubahan situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
Artinya: Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah
dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezki yang telah diberikan Allah kepada
mereka ? dan adalah Allah Maha mengetahui Keadaan mereka.
3. Adanya dalil baru yang menghapus ini setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang
pertama. Maksudnya, antara dalil yang menetapkan hukum dengan dalilnya yang
menghapuskannya itu harus ada tenggang waktu beberapa saat setelah dalil pertama itu
datang dan berlaku, baru kemudian datang dalil baru yang mengubah dan
menggantikannya.
4. Antara dua dalil nasikh dan mansukh atau antara dalil I dan dalil II itu harus ada
pertentangan yang nyata yang betul-betul kontradiktif dan paradok, sehingga benar-benar
tidak dapat dikompromikan/ditemukan, sebab nasakh itu adalah keadaan yang terpaksa
sebagai jalan keluar/pemecahan masalah yang kontras yang tidak dapat diatasi, kecuali
dengan ketentuan baru yang baru datang.
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
3. Nasakh tilawah hukumnya tetap. Maksudnya adalah ayatnya telah dinasakh dan
hukumnya masih ada. Misalnya ayat rajam yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin)
sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika
kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Artinya: Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
b. Nasakh Al-Quran dengan Sunnah Naskh Al-Quran bi Al-Sunnah).
Terbagi menjadi dua:
1) Nasakh Al-Quran dengan Sunnah Ahad
2) Nasakh Al-Quran dengan Sunnah Mutawatir
c. Nasakh Sunnah dengan Al-Quran (Nasakh Sunnah bi Al-Quran)
Nasakh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunah diganti dengan
hukum yang didasarkan dengan Al-Quran. Nasakh jenis ini diperbolehkan oleh
Jumhur Ulama tetapi ditolak oleh Imam Syafii. Menurutnya apa yang ditetapkan
Sunnah tentu didukung dengan ayat Al-Quran. Ini karena antara Al-Quran dan alSunnah harus sejalan dan tidak bertentangan.
Contoh: berpuasa wajib pada hari Asy-Syura yang ditetapkan berdasarkan sunnah
riwayat Bukhari-Muslim dari Asiyah r.a.
d. Nasakh Sunnah dengan Sunnah (Nasakhal-Sunnah bial-Sunnah). Yaitu hukum yang
ditetapkan berdasarkan dalil sunnah dinasakh dengan dalil sunnah pula, terdiri dari:
1) Nasakh Mutawatir dengan Mutawatir
2) Nasakh Ahad dengan Ahad
3) Nasakh Ahad dengan Mutawatir
4) Nasakh Mutawatir dengan Ahad
......
Artinya: .... kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. Al-Nisa : 82)
Kesimpulan ayat di atas mengandung prinsip yang diyakini kebenarannya oleh setiap
muslim namun mereka berbeda pendapat dalam menghadapi ayat-ayat Al-Quran yang secara
Zahir menunjukkan kontradiksi.
Ada dua pendapat ulama yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Nasakh secara Logika Bukan secara Syara
Nasakh dapat terjadi menurut logika, tetapi tidak secara syara. Apabila ada ayat yang
secara sepintas dinilai kontradiksi tidak diselesaikan dengan jalan nasakh, tapi dengan
jalan takhshish. Bagi ulama yang menolak nasakh beranggapan bahwa pembatalan hukum
yang telah diturunkan Allah adalah mustahil.
2. Nasakh secara logika dan syara
Sebagai alternatif dalam menghadapi ayat yang kelihatannya memiliki kontradiksi, maka
di antara ulama ada yang mengakui adanya nasakh dan mansukh dalam Al-Quran.
Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama.