Civil Society Dan Multikulturalisme
Civil Society Dan Multikulturalisme
Civil Society Dan Multikulturalisme
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wacana tentang hakikat manusia sebagai makhluk sosial tidak
banyak didiskusikan, kecuali oleh sedikit filsuf. Ibnu Sina, misalnya,
hanya membahas hakikat masyarakat sebagai jembatan menuju
filsafatnya tentang kenabian.1 Sebelumnya, al-Farabi, telah membahas
hakikat masyarakat dalam teorinya tentang negara utama.2 Mengkaji
hakikat masyarakat, di tengah kelangkaannya dalam kajian Filsafat
Islam,
menjadi
menyempurnakan
menarik
untuk
pengetahuan
dari
dilakukan,
Filsafat
selain
Islam,
juga
untuk
untuk
dengan
membangun
peradaban,
ada
sebuah
fenomena
gerakan.
Kemudian
wacana
tentang
pendidikan
2 Ahmad Baso, Islam dan Civil Society di Indonesia: dari Konservatisme menuju Kritik
dalam Tashwirul Afkar, No. 7, 2000, 18-19.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Civil Society
Istilah civil society adalah istilah yang tren dikalangan para pengamat proses
demokrasi di Indonesia. Konsep civil society dalam pandangan Muhammad AS. Hikam
dapat dirunut akar intelektualnya pada empat pemikiran. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Pemikiran yang memandang civil society sebagai sistem kenegaraan.
2. Pemikiran yang menganggap civil society sebagai antitesa terhadap negara.
3. Pemikiran yang menyatakan civil society sebagai sebuah elemen ideologi
kels
dominan.
4. Pemikiran yang mengandung civil society sebagai kekuatan penyeimbang bagi
kekuatan Negara.
Dalam konteks Indonesia, wacana civil society sering diungkapkan dengan istilah
yang berbeda. Nurcholish Madjid, Azyumardi Azra, dan Mulyadhi Kartanegara
misalnya, telah menggunakan tema masyarakat madani untuk menyebut istilah civil
society. Adapun Mansour Fakih lebih suka menggunakan istilah masyarakat sipil,
sebagai istilah yang lebih mengena bagi terjemahan dari civil society.
Persoalan-persoalan seperti demokrasi, hubungan antara warga negara dan negara,
hak asasi manusia, pluralisme, lingkungan hidup, perburuan, kewanitaan, dan lain-lain
sebagainya merupakan beberapa persoalan kemanusiaan yang bersifat universal. Semua
itu, menurut Amin Abdullah, perlu dimasukan kedalam wilayah pemikiran keagamaan,
karena kalam atau teologi bukan melulu berarti ilmu tentang ketuhanan, melainkan lebih
dari itu, secara akademik ilmiah, kalam juga harus berbicara tentang wilayah kesadaran
eksistensial manusia.3
Civil Society memiliki karakteristik antara lain :
1. Free Public Sphere, adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana
mengemukakan pendapat.
2. Demokratis, adalah satu entitas yang menjadi penegak wacana Civil Society, dimana
dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya.
3 Muhammad Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman
Kontemporer, Cet. I, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 20.
3. Toleran, adalah pengembangan dari Civil Society untuk menunjukkan aktivitas yang
dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, adalah pentalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban,
bahkan pluralisme merupakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check
and balance).
5. Keadilan sosial, adalah untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang
proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam segala aspek
kehidupan.4
Civil Society pada satu pihak berarti juga masyarakat madani, yang terinspirasi
oleh kehidupan Rasul Muhammad di kota Madinah.Untuk mendukung pernyataan ini,
Azyumardi Azra dengan mengikut sertakan pemikir cendekiawan dan pengamat politik
muslim, tentang kesesuian ajaran-ajaran Islam dengan masyarakat madani (Civil
Society). Pada intinya disepakati bahwa Islam mendorong penciptaan masyarakat
madani. Nabi Muhammad sendiri telah mencontohkan secara aktual perwujudan
masyarakat madani itu, ketika mendirikan dan memimpin negara Madinah. Fakta ini
tidak hanya dalam piagam (konstitusi) Madinah, namun juga pergantian nama dari
Yastrib menjadi Madinah, yang tentu saja merupakan salah satu Cognote istilah
Madani.5
Demikian juga kesamaan arti antara Civil Society dengan masyarakat madani, yang
di klaim oleh kelompok Islam modernis di Indonesia. 6 Lebih lanjut dikatakan masyarakat
madani telah muncul sejak jaman Nabi SAW. dan diyakini mampu melenyapkan sekatsekat primordial yang pada waktu itu sangat tidak mungkin untuk dihilangkan.
Masyarakat yang dibentuk oleh Nabi merupakan manivestasi dari keinginan untuk
4 Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCe
UIN, 2003), 247-250.
6 Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society, (Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama, 2002), 3
7 Ibid, 3-4
pihak mana pun, termasuk pemerintah, yang berhak memaksakan kehendak dan
kemauannya sendiri.
Kehadiran wacana masyarakat madani di dunia Muslim pada akhir abad ke-20
dan awal abad ke-21 telah mengisi kelangkaan kajian filsafat sosial dalam Filsafat Islam.
Fenomena ini mendorong suatu penelitian yang mempertanyakan apa masyarakat
madani dan apa kontribusinya bagi filsafat pendidikan. Melalui penelitian historis, data
dikumpulkan dengan metode dokumentasi dan dianalisis dengan metode analisis domain
dan metode reflektif. Penelitian menemukan bahwa masyarakat madani secara institusi
adalah lawan dari masyarakat alami (barbar dan primitif), bukan lawan masyarakat
agama, yang bertanggungjawab membangun tata sosial dan menjaga kepentingan umum,
dan dibangun di atas sekumpulan nilai-nilai dasar.
Perangkat nilai dasar itu mencakup keadaban, penghargaan terhadap perbedaan,
manajemen konflik dan kontrol sosial secara damai, otonomi dan kemandirian, serta
solidaritas sosial. Karena itu, hubungan sosial dalam masyarakat madani dilakukan
dengan mengakui hak-hak individu dan komunal, menghargai persamaan manusia dan
peningkatan martabatnya, hidup berdampingan penuh toleransi dan solidaritas,
menghargai perbedaan dan mengelola konflik secara damai melalui dialog, tanpa klaim
kebenaran dan diskriminasi, mengawasi jalannya administrasi publik dan menjaga
pemerintahan yang akuntabel, serta mengatur urusan-urusan publik secara otonom dan
mandiri, melampaui batas-batas kesukuan melalui hukum tertulis dan konvensi.
Kontribusi wacana terhadap filsafat pendidikan adalah bahwa pendidikan itu pada
hakikatnya mewarisi nilai-nilai dasar Islam kepada warga masyarakat agar mereka
berkembang menjadi masyarakat Muslim yang beradab yang pada gilirannya
bertanggungjawab juga untuk membangun tata sosial yang otonom dan mandiri dan
menjaga kepentingan umum, penuh solidaritas sosial.
B. Civil Society di Indonesia
Perkenalan istilah Civil Society di Indonesia di import oleh Arief Budiman dari
Australia, kemudian berkembang menjadi wacana di seminar-seminar nasional di tahuntahun 80-an dan 90-an. Kepolitikan Orde Baru oleh Abd Aziz Thaba diklasifikasikan
dalam tiga kategori, ketika dihadapkan dengan kebijakan Islam. Pertama : hubungan
identik dengan demokratisasi-lebih didorong oleh Euforia politik setelah tertindas selama
lebih 30 tahun. Hampir seluruh partai tidak menawarkan hakekat demokrasi dan
pemulihan ekonomi, tapi mereka terlibat dalam polemik dan kontra versi karena egoisme
dan provinsialisme politik para elite. Sikap merasa benar sendiri, kurang toleran, kurang
menghormati visi dan, persepsi politik pihak lain. Kenyataan ini tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip Civility (keadaban) yang merupakan karakter utama masyarakat madani,
lebih lanjut Azra mengungkapkan sampai dengan tahun 1999
peristiwa-peristiwa
kerusuhan yang terjadi di Ambon, Sambas, Irian Jaya dan Aceh merupakan bukti
Viability dan ketidakpuasan politik penguasa sebelumnya.14
Dari kajian-kajian tersebut di atas tentang Civil Society masih sebatas wacana,
secara aplikatip masih harus menunggu waktu (entah kapan) dapat berpijak di bumi
nusantara ini. Memang satu pihak dalam internal ormas keagamaan sebagian karakter
Civil Society ini sudah teraplikasikan, misalnya musyawarah dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Namun ketika berhadapan dengan negara maka Civil Society masih menjadi
renungan kita bersama.
13 Ibid, 298
umumnya kepada perbedaan pendapat dan tradisi pemilihan terbuka untuk menentukan
pimpinan, membuat keputusan-keputusan dan menetapkan kebijakan-kebijakan.
Pendidikan yang berbasiskan masyarakat (community-based education), adalah
dengan ikut sertanya masyarakat di dalam penyelenggaraan dan pengelolaan
pendidikannya, maka pendidikan tersebut betul-betul berakar di dalam masyarakat dan di
dalam kebudayaan. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan yang berfungsi
untuk membudayakan nilai-nilai masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi fungsinya
dan semestinya hal ini dijadikan sinyal positif bagi manajemen pendidikan Islam, bahwa
peluang mengelola hubungan lembaga pendidikan Islam dengan masyarakat semakin
luas. Kontribusi wacana terhadap filsafat pendidikan adalah bahwa pendidikan itu pada
hakikatnya mewarisi nilai-nilai dasar Islam kepada warga masyarakat agar mereka
berkembang menjadi masyarakat Muslim yang beradab yang pada gilirannya
bertanggungjawab juga untuk membangun tata sosial yang otonom dan mandiri dan
menjaga kepentingan umum, penuh solidaritas sosial.
Dalam era reformasi dewasa ini dan sejalan dengan gelombang demokratisasi di
dunia dan di Indonesia maka kita berbicara mengenai tuntutan hak rakyat termasuk
pendidikan. Demokrasi hanya akan lahir dan berkembang apabila rakyat diberdayakan
dan masyarakat ikut serta di dalam memberdayakan diri sendiri. Apabila kita berbicara
mengenai pendidikan Islam maka kita akan membicarakan mengenai pesantren dan
madrasah. Menurut para pakar pendidikan Islam pesantren yang telah hidup dan berada
di dalam budaya Indonesia sejak jaman prasejarah yang kemudian dilanjutkan pada masa
Hindu-Budha dan diteruskan pada masa kebudayaan Islam. Madrasah adalah bentuk
pendidikan klasikal yang masuk ke Indonesia sejalan dengan arus modernisasi Islam.
Pesantren adalah suatu sistem kehidupan yang lahir dan dibesarkan dalam suatu
masyarakat. Pesantren telah lahir di dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh sebab itu
pesantren sebenarnya dikelola oleh masyarakat yang memilikinya. Meskipun di dalam
perkembangannya pengelolaan pesantren banyak ditentukan oleh para kiai sebagai
pemiliknya, namun tidak dapat disangkal bahwa kehidupan pesantren telah ditopang dan
dibesarkan oleh masyarakat yang memilikinya. Apabila dewasa ini kita berbicara
mengenai inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola oleh
masyarakat (community-based management (CBM). Sudah tentu prinsip-prinsip
manajemen modern perlu diterapkan di dalam pola pendidikan yang berdasarkan
manajemen masyarakat.
Apabila kita teliti kekuatan dari pendidikan pesantren dan
madrasah
justru
disitulah
pula
terletak
kelemahannya.
Dalam
10
perlu
disesuaikan
agar
lebih
peka
menyerap
dan
Sebagai
ilustrasi
bagaimana
lahir
dan
pendidikan
dalam
kaitan
dengan
pembinaan
sistem
11
ruangan
yang
terbuka
bagi
pengembangan
inovasi
dan
antara
lembaga
pendidikan
dengan
masyarakat
yang
memperoleh
berdiri
sendiri-sendiri.
Memang
ada
usaha
atau
mundur.
Dengan
adanya
keinginan
masyarakat
untuk
madrasah.
Dengan
networking
tersebut
juga
dapat
akan
pemanfaatan
sangat
berguna
di
sumber-sumber
dalam
belajar
pengelolaan
sehingga
termasuk
sumber-sumber
dibangun
suatu
kerja
sama
dengan
pendidikan
tinggi
No.
22
tahun
1999
kepengurusan
pendidikan
yang
lebih
dekat
kepada
kebutuhan
masa
bagi
menyempurnakan
kita
untuk
lebih
pengalaman-pengalaman
mengembangkan
pengelolaan
dan
otonomi
17 Prof. Samsul Arifin, M.Si. Studi Agama, PerspektifSosial dan Isu-Isu Kontemporer,
(Malang. Universitas Muhammadiyah Malang. 2009), 67
14
21 Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, dalam Makalah yang
diseminarkan pada Simposium International ke-3, (Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002), 1
15
kedua:
pendidikan
multikultural
berorientasi
kepada
kemanusiaan,
termasuk
negara
yang
mencoba
memperbaiki
ini
menempatkan
memperhatikan
semua
pokok-pokok
agama
tentang
secara
sejajar.
Dengan
multikulturalisme
dan
jelas
bahwa
multikulturalisme
perlu
dikembangkan
di
16
dan
menghormati
hak-hak
sipil,
termasuk
hak-hak
posisi
negara
Indonesia
sebagai
negara
religius
yang
kenyataan
dimaksudkan
untuk
akan
saling
kebenaran
mengenal
islam.
dan
Dialog
saling
tersebut
menimba
masyarakat.
Berbagai
pihak
kemudian
menyuarakan
17
Indonesia
bisa
hidup
berdampingan
walau
banyak
18
Nilai multikultural
Nilai multikultural
Berprinsip pada
perspektif Barat
Demokrasi, kesetaraan
perspektif Islam
Al-Musyawarah,
demokrasi, kesetaraan
dan keadilan
dan keadilan
Berorientasi pada
Kemanusiaan,
al-
kemanusiaan,
kebersamaan, dan
kebersamaan dan
kedamaian
al-salam
kedamaian
Mengembangkan sikap
Toleransi, empati,
Al-taaddudiyat, al-
simpati,
tanawwu,
menghargai keragaman
al-tasamuh, al-rahmah,
alafw dan al-ihsan
populer dengan sebutan Piagam Madinah. Piagam ini menetapkan seluruh pendidikan
Madinah memeroleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan.
Pendidikan masih diyakini sebagai wahana transformasi social. Kepercayaan yang
demikian berlanjut pada upaya pemharuan dalam ruang lingkup pendidikan dalam
membangun wawasan multikultural bukanlah hal yang mudah, terlebih dikalangan
pemeluk agama yang boleh dikatakan masih terlalu sempit dan menyesakkan dada dalam
keagamaan mereka. Untuk itu upaya menanamkan kesadaran multikulturalis harus
dimulai sejak dini mungkin. Memberikan pandanagn yang lebih mengarah pada sikap
toleransi, ramah terhadap perbedaan melaui institusi pendidikan sangatlah efektif.
Tentunya langkah ini memuat berbagai macam tindakan yang berimplikasi pada berbagai
macam orientasi dalam lingkup pendidikan. Dan dalam hal ini juga perlu didukung
kesadaran para tenaga didik untuk lebih kreatif dan jangan sampai terjebak pada pola
penyampaian materi keagamaan yang cenderung mengarah pada kesadaran negativedistruktif dan violence.
Ada beberapa orientasi dalam rangka membagun wawasan multikulturalisme
dalam lingkup pendidikan berbasis keagamaan. Pertama adalah orientasi muatan, dalam
hal ini pada hakekatnya adalah menerjemahkan pandangan dunia pluralistic dan
multikulturalistik kedalam praktik dan teori pendidikan. Kedua, pendekatan kontributif.
Adalah pendidikan paling sedikit keterlibatannya dalam revolusi pendidikan, terutama
pendidikan multikultural. Pendelatan ini dilakukan dengan cara menyeleksi teks-teks
wajib atau anjuran dengan aktifitas tertentu seperti hari libur.
Ketiga, Pendekatan aditif, dalam program berorientasi muatan ini mengambil
bentuk penambahan muatan-miuatan, konsep-konsep, tema-tema dan perspektif ke dalam
kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya. Keempat, pendekatan transformative, yang
secara actual perupaya merubah struktur kurikulum dalam mendorong siswa-siswa untuk
melihat dan meninjau kembali konsep-konsep,tema-tema dan problem-problem lama,
kemudian memperbaharui pemahaman dari berbagai perspektif dari sudut pandang etnik.
Dengan demikian cukup memberikan ruang kreatifitas bagi peserta didik untuk
beragumentasi berdasarkan pandangan suku budaya dan tata nilai yang berbeda sehingga
menjadi proses latihan untuk menjadi berbeda dan merasa nyaman.
Kelima, pendekatan aksi social. Pendekatan ini tidak hanya menekankan pada sisi
pemahaman siswa terhadap isu-isu, tema-tema tetapi siswa mampu secara professional
dilatih untuk memecahkan masalah dengan kemampuan yang dimilikinya. Orientasi
siswa, siswa mejadi orientasi terpenting, karena pada hakekatnya siswa merupakan
21
subyek sekaligus obyek pendidikan. Seorang siswa akan mendengar, mengamati dan
mempelajari apa yang di dengar, di lihat dan diperagakan orang dewasa. Termasuk apa
yang diperagakan seorang guru, akan membawa pada pengendapan sikap melalui
pembiasaan dan latihan. Disini siswa sudah mulai dikenalkan kepada keragaman dalam
lingkungan sekolah, termasuk keragaman aliran keagamaan ataupun sekte dalam agama.
Sebagai langkah awal adalah bagaimana seorang pendidik mengevaluasi awal
menyangkut pemahaman dan pengetahuan pruralitas keyakinan, aliran, latar belakang
social, ras dan budaya, sehingga memudahkan bagi seorang pengajar untuk lebih bisa
memperlakukan dan mengamati secara jelas perilaku masing- masing siswa yang
memiliki latar belakang yang berbeda. Para siswa juga dilatih untuk dapat bisa hidup
berdampingan dengan nyaman bersama teman yang berbeda. Dengan melalui pembuatan
kelompok belajar yang berbeda latar belakang, ras, agama, budaya, dan social. Jika
dalam proses penyampaian materi pelajaran dalam pembelajaran mencerminkan suatu
praktik-praktik keagamaan.
Muatan social, adalah tidak hanya kemudian selesai dalam ranah pendidikan dalam
pengertian institusi pendidikan semata, penguasaan atas pemahaman multikulturalisme
dan terbatas pada penguatan kemampuan akademik dengan penguasaan wacana dan
pengetahuan tersebut. Tetapi membangun wawasan multikultural mampu berdampak dan
memberi pengaruh pada perilaku toleransi atas perbedaan cultural, ras, agama dan
berbagai macam ragam perbedaan yang akan terjadi dalam setiap perjumpaan social
yang tidak hanya terbatas pada lingkungan pendidikan dalam arti sempit, tetapi dalam
pengertian yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada lingkungan pendidikan dalam arti
institusi pendidikan baik formal atau non formal. Selain itu juga perlu dibangun
kesadaran untuk mendialokan perbedaan lewat forum- forum bebas dengan penuh
kearifan menuju perdamaian dan kedamaian.
Dengan usaha diatas, membangun kesadaran yang multikulturalis tidak hanya
berhenti pada sebatas toleransi, memandang perbedaan itu sebagai suatu sikap toleransi
tetapi juga adanya sikap yang lebih apresiatif terhadap upaya memajukan dan
mengembangkan budaya lainnya.
22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian makalah tersebut maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
Bahwa Civil Society berasal dari Eropa Barat dan menyebar ke
penjuru negara-negara lain dengan respon sosial politik yang berbeda,
namun
mempunyai
kesamaan
tujuan
yaitu
pemberdayaan
pluralisme,
terjalinnya
keseimbangan
antara
Prospek
Civil Society di
Indonesia,
kemungkinan
kecil
keseluruhan.
Dengan
kedekatannya
kepada
masyarakat
24
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
2011.
Pendidikan
Islam
Multikultural
di
Pesantren,
Samsul,
2009.
Studi
Agama,
PerspektifSosial
dan
Isu-Isu
Ahmad,
2000.
Islam
dan
Civil
Society
di
Indonesia:
dari
Pelajar)
Naim, Ngainun, 2008. Pendidikan Multikultural, Konsep dan Aplikasi,
(Yogyakarta: ArRuzz Media Group)
Prasetyo,
26