Makalah Komplikasi Hemodialisa
Makalah Komplikasi Hemodialisa
Makalah Komplikasi Hemodialisa
KOMPLIKASI HEMODIALISA
(Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes, S. Bio, CCD)
Disusun Oleh :
Kelompok 1
S1 Teknobiomedik (2014)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hemodialisa merupakan proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah
buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau
pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (DR. Nursalam M.
Nurs, 2006). Haemodialysis adalah pengeluaran zat sisa metabolisme seperti ureum dan
zat beracun lainnya, dengan mengalirkan darah lewat alat dializer yang berisi membrane
yang selektif-permeabel dimana melalui membrane tersebut fusi zat-zat yang tidak
dikehendaki terjadi. Haemodialysa dilakukan pada keadaan gagal ginjal dan beberapa
bentuk keracunan (Christin Brooker, 2001). Hemodialisa adalah suatu prosedur dimana
darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh
yang disebut dialyzer. Prosedur ini memerlukan jalan masuk ke aliran darah. Untuk
memenuhi kebutuhan ini, maka dibuat suatu hubungan buatan diantara arteri dan vena
(fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (www.medicastore.com) .
Hemodialisa dapat membantu pasien dalam beberapa kegunaan, yaitu
menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
Hemodialisa juga dapat berfungsi untuk menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan
cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat. Berfungsi juga
dalam meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal. Serta
hemodialisa dapat menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan
yang lain. Namun, dibalik banyaknya kegunaan hemodialisa , hemodialisa juga dapat
memberikan beberapa dampak atau komplikasi tertentuyaitu kram otot, hipotensi,
aritmia, sindrom ketidakseimbangan dialisa, hipoksemia, perdarahan, gangguan
pencernaan,pembekuan darah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa penyebab seorang pasien melakukan hemodialisa?
2. Bagaimana gejala yang dialami seorang pasien sehingga ia harus melakukan
hemodialisa?
3. Bagaimana posisi seorang pasien untuk mengurangi gejala yang dirasakan oleh
seorang pasien saat melakukan hemodialisa?
4. Bagaimana pencegahan agar kita tidak diharuskan untuk melakukan hemodialisa?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui penyebab dari seorang pasien yang melakukan hemodialisa
2. Mengetahui gejala yang dialami seorang pasien sehingga ia harus melakukan
hemodialisa
3. Mengetahui posisi seorang pasien untuk mengurangi gejala yang dirasakan oleh
seorang pasien saat melakukan hemodialisa
Hemodialisa | 2
4. Mengetahui cara untuk menjaga kesehatan sehingga tida diharuskan untuk melakukan
hemodialisa
Hemodialisa | 3
BAB II
PEMBAHASAN
Beberapa komplikasi yang diakibatkan hemodialisa diantaranya adalah
2.1 Sakit kepala (Headache)
Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit yang dapat
menunjukkan penyakit organic (neurologi atau penyakit lain), respon stress, vasodilatasi
(migren), tegangan otot rangka (sakit kepala tegang), atau kombinasi respon tersebut
(Smeltzer, et al, 2008). Daugirdas, Blake dan Ing (2007) serta Teta (2007) menyebutkan
bahwa frekwensi sakit kepala saat dialysis (dialysis headache) adalah 5% dari
keseluruhan prosedur hemodialisis. Sebuah penelitian di Italia tahun 1999 menunjukkan
bahwa 70% pasien hemodialisis mengeluh sakit kepala. Sebanyak 57,5% pasien
mengalami intradialysis headache. Penelitian menunjukkan bahwa migren akibat
gangguan vaskuler dan tension headache adalah dua tipe sakit kepala yang dialami oleh
pasien saat hemodialisis (Antoniazzi, Bigal, Bordini, Tepper dan Speciali, 2003).
Patogenesis dialysis headache belum diketahui dengan pasti. Walaupun
demikian hipertensi selama hemodialisis bisa menjadi penyebab. Bana, et al (2008,
dalam Incekara, Kutluhan, Demir & Seze, 2008) melaporkan bahwa ada korelasi antara
beratnya hipertensi dengan dialysis headache. Kecepatan UFR yang tinggi, pemindahan
cairan dan elektrolit dalam jumlah besar juga meningkatkan insiden dialysis headache
(Incekara, et al, 2008; Goksan, Savrun & Erthan, 2004). Sakit kepala juga terjadi akibat
Disequilibrium Syndrome, dan pengaruh bradykinin serta nitric oxide (NO) yang
meningkatkan plasma darah selama dialisis (Antoniazzi & Corrado, 2007; Thomas,
2003).
Dialysis headache dapat menimbulkan ketidaknyamanan, meningkatkan
kecemasan dan menurunkan curah jantung. Komplikasi ini dapat dicegah dengan
menurunkan interdialytic weight gain, menghitung UFR dengan tepat berdasarkan berat
badan, mengatur Qb dan menghindari pemakaian dialiser dengan luas permukaan besar
(Kallenbach et al, 2005). Bila saat hemodialisis pasien mengalami sakit kepala, perawat
dapat menurunkan UFR, Qb dan TMP serta memberikan Acetaminophen (Daugirdas,
Blake & Ing, 2007)
Penyebab :
a. Tekanan darah naik
b. Ketakutan
Pengaturan untuk mengurangi sakit kepala saat hemodialisa :
Hemodialisa | 4
a. Kecilkan kecepatan aliran darah
b. Observasi tanda-tanda vital
c. Jika tensi tinggi, beritahu dokter
d. Jika keluhan sudah berkurang, jalankan program dialisis kembali seperti semula
e. Mencari penyebab sakit kepala, cairan dialisat, minum kopi, atau ada masalah.
Pencegahan sakit kepala saat hemodialisa :
a. Anjurkan pasien untuk mengurangi minum kopi
b. Memberikan kedekatan pasien untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi
2.2 Mual dan muntah
Nausea atau mual adalah perasaan ketidaknyamanan di tenggorokan dan atau
perut yang bisa menyebabkan terjadinya muntah (NCI, 2000). Frekuensi mual dan
muntah saat hemodialisis adalah 5-15% dari keseluruhan hemodialisis (Barkan, et al,
2006; Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Sementara itu penelitian pada 227 pasien di
Pakistan tahun 1997-1998 menunjukkan bahwa mual dan muntah dialami 2% pasien
(Ahmad, et al, 2002).
Mual dan muntah saat hemodialisis kemungkinan dipengaruhi beberapa hal
yaitu lamanya waktu hemodialisis, perubahan homeostasis selama hemodialisis,
banyaknya ureum yang dikeluarkan dan atau besarnya ultrafiltrasi (Holley, Berns & Post,
2007). Gangguan keseimbangan dialysis (Dialysis Disequilibrium Syndrome) akibat
ultrafiltrasi yang berlebihan dan hemolisis juga bisa menyebabkan mual dan muntah saat
hemodialisis (Thomas, 2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007). Thomas (2003) lebih lanjut
menyebutkan mual dan muntah juga berhubungan dengan hipotensi. Mual dan muntah
bisa terjadi sebelum atau setelah hipotensi. Ketidaknyamanan akibat nyeri yang terjadi
selama hemodialisis juga bisa mencetuskan mual.
Mekanisme mual dan muntah terjadi karena sel enterocromaffin pada mukosa
gastrointestinal melepaskan serotonin sebagai respon terhadap adanya substansi yang ada
dalam oral atau parenteral. Rasa tidak nyaman akibat perubahan homeostasis dan
timbulnya rasa nyeri saat hemodialisis juga akan merangsang mual. Stimulasi kimia
akibat pelepasan serotonin dan rasa tidak nyaman akan merangsang chemoreceptor
trigger zone (CTZ) sebagai pusat muntah (Corwin, 2008). Selanjutnya pusat muntah
mengaktifkan impuls somatic dan viseral yang kemudian mempengaruhi organ target
yaitu otot abdomen, esofagus dan diafragma (Sherwood, 1999).
Mual dan muntah dapat mengganggu aktifitas pasien, menyebabkan dehidrasi,
ketidakseimbangan elektrolit dan kelelahan, meningkatkan rasa tidak nyaman,
meningkatkan resiko perlukaan mukosa gastrointestinal serta resiko perdarahan. Mual
Hemodialisa | 5
muntah juga akan menimbulkan masalah psikologis yaitu meningkatkan kecemasan dan
depresi, menimbulkan koping tidak efektif, meningkatkan ketidakberdayaan dan tidak
kooperatif dengan terapi. Sehingga mual dan muntah saat hemodialisis perlu dicegah dan
diatasi. Tindakan pencegahan mual dan muntah saat hemodialisis dapat dilakukan
perawat dengan menghitung UFR secara tepat, menggunakan dialisat bicarbonat,
mengatur suhu dialisat secara tepat. Jika mual dan muntah sudah terjadi perawat dapat
melakukan berbagai tindakan untuk mencegah komplikasi yang lebih berat dengan cara:
memberikan infus NaCl 0,9% bolus dan menurunkan UFR, Qb, TMP dan memberikan
anti emetik (Kallenbach, et al, 2005; Thomas, 2003; Daugirdas, Blake & Ing, 2007).
Penyebab :
a. Ketakutan
b. Reaksi obat
c. Hipotensi
Pengaturan untuk mengurangi mual dan muntah saat hemodialisa :
a. Kecilkan kecepatan aliran darah
b. Kecilkan UFR
c. Berikan kantong plastik
d. Bantu kebutuhan pasien
e. Observasi tanda-tanda vital selama proses dialisis berlangsung
f. Jika tensi turun, guyur 100 cc NaCl 0,9% sesuai keadaan umum pasien
g. Jika keadaan sudah membaik, program dialisis diatur secara bertahap
h. Kolaborasi dokter jika tidak ada perbaikan.
Pencegahan mual dan muntah saat hemodialisa :
a. Anjurkan pasien untuk membatasi jumlah cairan yang masuk dengan cairan yang
keluar.
b. Observasi tanda-tanda vital selama dialisis berlangsung.
2.3 Demam disertai menggigil
Demam selama hemodialisis sebagai peningkatan suhu tubuh selama
hemodialisis lebih dari 0.5 C atau suhu rektal atau aksila selama dialisis lebih dari 38
C. Mayoritas (70%) reaksi febris berhubungan dengan infeksi akses vaskuler,
perkemihan dan pernafasan. Demam selama hemodialisis juga berhubungan dengan jenis
dialisat yang digunakan dan reaksi hipersensitifitas (FMCNA, 2007; Daugirdas, Blake &
Ing, 2007). Selama prosedur hemodialisis perubahan suhu dialisat juga dapat
meningkatkan atau menurunkan suhu tubuh. Suhu dialisat yang tinggi (lebih dari 37,5
C) bisa menyebabkan demam. Sementara itu suhu dialisat yang terlalu dingin (34-
Hemodialisa | 6
35.5C) dapat menyebabkan perubahan kardiovaskuler,menyebabkan vasokonstriksi dan
menggigil.
Penyebab :
a. Reaksi pirogen
b. Reaksi transfusi
c. Kontaminasi bakteri pada sirkulasi darah
Pengaturan untuk mengurangi demam saat hemodialisa :
a. Observasi tanda-tanda vital
b. Berikan selimut
c. Kolaborasi dokter
d. Mencari penyebab demam
Pencegahan demam saat hemodialisa :
a Memberikan edukasi tentang perawatan akses vaskuler,
b Memantau tanda infeksi
c Mengatur suhu dialisat dengan tepat.
2.4 Nyeri Dada
Frekuensi nyeri dada saat hemodialisis adalah 2-5% dari keseluruhan
hemodialisis (Holley, Berns & Post, 2007; Daugirdas, Blake & Ing, 2007; Teta, 2008).
Lebih lanjut Daugirdas, Blake dan Ing (2008) menyebutkan bahwa nyeri dada hebat saat
hemodialisis frekwensinya adalah 1-4%. Nyeri dada saat hemodialisis dapat terjadi pada
pasien akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena penarikan
cairan (Kallenbach, et al,2005). Perubahan dalam volume darah menyebabkan terjadinya
penurunan aliran darah miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard.
Penyebab :
a Minum obat jantung
b Program HD terlalu cepat
Pengaturan untuk mengurangi nyeri dada saat hemodialisa :
a Kecilkan kecepatan aliran darah
c Kolaborasi dokter
Pencegahan nyeri dada saat hemodialisa :
Hemodialisa | 7
Gatal atau pruritus merupakan keluhan yang paling sering terjadi pada pasien
hemodialisis. Hampir 60-80% pasien yang menjalani dialisis (baik hemodialisis maupun
dialisis peritoneal) mengeluhkan pruritus. Pruritus terjadi setidaknya 3 periode dalam
waktu 2 minggu yang menimbulkan gangguan, atau rasa gatal yang terjadi lebih dari 6
bulan secara teratur. Pruritus umumnya dialami sekitar 6 bulan setelah awal dialisis dan
biasanya makin meningkat dengan lamanya pasien menjalani dialisis. Kejadian pruritus
tidak berhubungan dengan usia, jenis kelamin, suku atau penyakit penyerta. Pruritus bisa
dikeluhkan setiap saat (konstan), atau hilang timbul (episodik). Beberapa pasien
mengeluhkan pruritus di bagian tubuh tertentu (terlokalisasi), sementara yang lain di
seluruh tubuh (menyeluruh). Bila terlokalisasi, biasanya di lengan atas dan punggung
bagian atas. Meskipun telah dilakukan penelitian, penyebab yang jelas ataupun terapi
yang tepat belum diketahui.
ETIOLOGI
Uremia merupakan penyebab metabolik pruritus yang paling sering. Faktor
yang mengeksaserbasi pruritus termasuk panas, waktu malam hari (nighttime), kulit
kering dan keringat. Penyebab pruritus pada penyakit ginjal tidak jelas dan dapat
multifaktorial. Sejumlah faktor diketahui menyebabkan pruritus uremik namun etiologi
spesifik pada umumnya belum diketahui pasti. Beberapa kasus pruritus lebih berat
selama atau setelah dialisis dan dapat berupa reaksi alergi terhadap heparin, eritropoietin,
formaldehid, atau asetat. Pada pasien tersebut, penggunaan gamma raysterilized
dialiser, diskontinuasi penggunaan formaldehid, mengganti cairan dialisat bikarbonat dan
penggunaan dialisat rendah kalsium dan magnesium dapat menghilangkan rasa gatal.
Reaksi eksematosa terhadap cairan antiseptik, sarung tangan karet atau komponen jarum
punksi, jarum punksi atau cellophane sebaiknya juga dipertimbangkan.
Penyebab pruritus lain termasuk di antaranya adalah hiperparatiroid sekunder,
dry skin (disebabkan atrofi kelenjar keringat), hiperfosfatemia dengan meningkatnya
deposit kalsium-fosfat di kulit dan peningkatan produk kalsium-fosfat, dialisis inadekuat,
meningkatnya kadar 2- mikroglobulin, anemia (atau manifestasi dei siensi
eritropoietin), neuropati perifer, kadar alumunium dan magnesium yang tinggi,
peningkatan sel mast, xerosis, anemia defisiensi besi, hipervitaminosis A dan disfungsi
imun.
Patoi siologi pruritus pada pasien dialisis masih belum diketahui. Keluhan
pruritus diperkirakan berhubungan dengan pelepasan histamine dari sel mast di kulit.
Persepsi pruritus dibawa oleh sistem saraf pusat melalui jalur neural yang berhubungan
Hemodialisa | 8
dengan reseptor opioid. Namun, mekanisme uremia menginduksi pruritus belum
diketahui jelas, mungkin karena disekuilibrium metabolik. Menarik diperhatikan bahwa
pruritus tidak terjadi pada pasien gagal ginjal akut, sehingga kadar blood urea nitrogen
(BUN) dan kreatinin bukan menjadi penyebab satu-satunya pruritus.
Berikut ini beberapa mekanisme yang menyebabkan pruritus:
Xerosis
Xerosis merupakan masalah kulit yang sering terjadi (60% - 90%) pada pasien
dialisis yang memicu terjadinya pruritus uremia. Xerosis atau dry skin akibat
atrofi kelenjar sebasea, gangguan fungsi sekresi eksternal, dan gangguan
hidrasi stratum korneum. Skin dryness pada pasien dialisis yang pruritus
mempunyai hidrasi lebih rendah dibandingkan pasien dialisis tanpa
keluhanpruritus (Morton et al)
Berkurangnya eliminasi transepidermal faktor pruritogenik
Secara teori, akumulasi senyawa pruritogenik yang tidak terdiaisis dapat
menimbulkan efek sensasi gatal di saraf pusat ataupun di reseptor. Senyawa
pruritogenik di antaranya vitamin A, hormon paratiroid dan histamin yang
berpotensi menimbulkan pruritus. Namun tidak ada bukti yang mendukung
bahwa senyawa-senyawa tersebut menyebabkan pruritus uremik. Kadar
plasma vitamin A meningkat pada pasien dialisis, tetapi tidak ada hubungan
antara kadar plasma vitamin A dengan derajat pruritus; bahkan autopsi
menunjukkan bahwa kadar vitamin A di organ-organ tubuh sama atau lebih
rendah pada pasien uremia dibandingkan pasien yang tidak uremia. Senyawa
pruritogenik lain adalah interleukin-1, yang dikeluarkan setelah kontak antara
plasma dengan membran hemodialisis yang bioinkompatibel. Interleukin-1
mempunyai efek proinl amasi di kulit dan secara teori dapat menyebabkan rasa
gatal. Stale-Backdahl menyatakan hipotesa bahwa pruritus uremik dapat
disebabkan oleh proliferasi abnormal serabut saraf sensorik yang dikenal
sebagai neuropati uremik. Stale menemukan serabut saraf dan saraf terminal
tersebar di lapisan epidermis pasien dialisis. Namun, laporan terbaru
menyatakan tidak ada perbedaan distribusi serabut saraf sensorik enolase-
positip antara pasien normal dengan pasien uremik. Marker inflamasi seperti
C-reactive protein dan interleukin-6 dilaporkan juga meningkat pada pasien
pruritus uremik.
Hiperparatiroid
Hiperparatiroid dapat menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan
dapat menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium dan magnesium di kulit.
Hemodialisa | 9
Namun, tidak semua pasien hiperparatiroid berat mengalami pruritus. Suatu
studi pernah melaporkan pruritus dapat hilang sama sekali setelah tindakan
paratiroidektomi. Lebih lanjut diketahui tidak ada hubungan antara kadar PTH
(parathyroid hormone) plasma dengan proliferasi sel dermal, juga tidak ada
perbedaan jumlah sel mast atau kadar PTH antara pasien dengan atau tanpa
pruritus.
Hiperkalsemia
Hiperfosfatemia
Peningkatan kadar histamin
Histamin, basoi l, trombosit, dan sel mast peritoneal serta bronkial telah
dikenal sebagai pemicu rasa gatal pada kulit yang alergi. Pelepasan histamin
dipicu oleh substansi P, neurotransmiter yang terlibat dalam sensasi rasa gatal.
Kadar histamin yang meningkat telah dilaporkan pada pasien uremia, namun
hubungan antara kadar histamin dengan derajat pruritus masih belum jelas.
Reaksi l akibat histamin sangat sedikit pada pasien uremia dibandingkan
pasien normal, dan antagonis histamin biasanya tidak efektif mengurangi
pruritus uremik. Jadi, sangat tidak mungkin bahwa histamin berperan sebagai
patogen utama pruritus.
Peningkatan kadar serotonin (5-hidroksi-triptamin [5-HT3]) Masih menjadi
perdebatan dalam terjadinya pruritus uremik.
Peningkatan proliferasi sel mast di kulit Pada pasien uremia, jumlah sel mast
dermis meningkat, dan kadar histamin dan triptase plasma lebih tinggi pada
pasien dengan pruritus uremik berat.
Neuropati sensorik uremik
Pruritus uremik merupakan sensasi gatal dari neuropati dan neurogenik.
Pruritus ditransmisikan melalui serabut C di kulit. Stimulan serabut C meliputi
sitokin, histamin, serotonin, prostaglandin, neuropeptida, dan enzim. Sensasi
gatal neuropati dapat berasal dari kerusakan sistem saraf di sepanjang jalur
aferen, contohnya neuralgia post herpetik dan infeksi HIV. Sensasi gatal yang
berasal dari sentral tanpa kerusakan neuron diistilahkan sebagai neurogenik,
contohnya kolestasis dan pemakaian opioid eksogen. Pada nyeri neurogenik,
dijumpai peningkatan tonus opioidergik akibat akumulasi opioid endogen.
Stahle-Backdahl menyatakan bahwa pruritus uremik dapat disebabkan oleh
proliferasi abnormal serabut saraf sensorik. Studi lain atas 24 pasien uremik
dan 10 subjek normal menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara kedua
kelompok dalam distribusi serabut saraf, namun diketahui terjadi pengurangan
jumlah serabut saraf terminal kulit pada pasien uremik sehingga inervasi kulit
Hemodialisa | 10
secara nonspesik berubah pada kebanyakan pasien gagal ginjal kronik,
mungkin akibat neuropati yang terjadi.
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Pruritus sering dirasakan di seluruh tubuh paling dominan di punggung. Pruritus
biasanya makin dikeluhkan selama dialisis dan seperempat pasien mempunyai keluhan
saat dan pada akhir dialisis. Pruritus uremik merupakan diagnosis eksklusi sehingga
penyebab pruritus lain pada pasien yang menjalani dialisis harus dieksklusi terlebih
dahulu. Biopsi kulit pada pasien pruritus uremik biasanya tidak memuaskan. Ekskoriasi
akibat garukan berulang dapat menyebabkan kondisi dermatologi lain seperti likhen
simpleks, prurigo nodularis dan papula keratotik (folikulitis perforatif ) dan
hiperkeratosis folikular.
TERAPI
Penyebab pruritus uremik pada pasien penyakit ginjal kronik dan dialisis yang
mirip kelainan kulit primer (seperti urtikaria, psoriasis, dermatitis atopik), penyakit hepar
(seperti hepatitis), dan kelainan endokrin (seperti hipotiroid, diabetes mellitus) sebaiknya
dieksklusi terlebih dahulu. Pruritus biasanya mempengaruhi pola tidur pasien dan status
psikologis, sehingga sebaiknya diterapi dengan adekuat.
Terapi definitif pasien dialisis dengan pruritus uremik yang berat adalah
transplantasi ginjal. Penelitian sebelumnya melaporkan pruritus umum hilang setelah
transplantasi ginjal. Bagi pasien yang tidak dapat melakukan transplantasi atau masih
menunggu, pengobatan yang berhubungan ataupuntidak berhubungan dengan prosedur
dialisis dapat meringankan keluhan pruritus.
Pengobatan tersebut di antaranya :
Mengoptimalkan dosis dialisis (adekuasi hemodialisis):
Terapi dialisis yang optimal akan memperbaiki dialisis dan status nutrisi
pasien yang selanjutnya akan mengurangi prevalensi dan derajat keparahan
pruritus uremik. Penggunaan membran hemodialisis yang biokompatibel juga
mempunyai efek menguntungkan. Kontrol konsentrasi plasma kalsium dan
fosfor yang adekuat dengan penggunaan konsentrasi dialisat rendah kalsium
dan magnesium dalam jangka pendek akan mengurangi keluhan keluhan
pruritus.
2.6 Pendarahan AV shunt setelah dialisis
AV-shunt adalah penyambungan pembuluh darah vena dan arteri dengan tujuan
untuk memperbesar aliran darah vena supaya dapat digunakan untuk keperluan
hemodialisis. Pembuluh darah yang digunakan adalah pembuluh darah besar, biasanya
dari lengan di pergelangan tangan atau dari lengan dekat siku. Pada pembuluh darah
yang dilakukan shunt maka vena nya akan melebar bisa 3 sampai 4 kali lipat dan volume
Hemodialisa | 11
darah yang mengalirinya semakin besar. Teknik Penyambungan atau Anastomosis Pada
AV Shunt dibagi menjadi:
a. Side ( sisi ) to End ( ujung ) adalah teknik penyambungan dengan
menyambungkan pembuluh darah vena yang dipotong dengan sisi
pembuluh darah arteri. Teknik ini merupakan teknik yang paling sering
dilakukan, karena aliran darah pada vena yang menuju ke jantung
mempunyai volume terbesar dan mencegah terjadinya hipertensi vena,
selain itu teknik ini juga dapat mencegah pembengkakan
b. Side ( sisi ) to side (sisi ) adalah teknik penyambungan dengan
menyambungkan sisi pembuluh darah vena dengan sisi pembuluh darah
arteri. Keuntungan side to side adalah memberikan suplai darah yang lebih
baik ke distal dan ada lebih dari satu vena yang dapat digunakan sebagai
akses HD.
c. End ( ujung ) to End ( ujung ) adalah teknik penyambungan dengan
menyambungkan pembuluh darah vena yang dipotong dengan pembuluh
darah arteri yang juga dipotong
d. End ( ujung ) to side ( sisi ) adalah teknik penyambungan dengan
menyambungkan pembuluh darah arteri yang dipotong dengan sisi
pembuluh darah vena.
Waktu terbaik untuk AV Shunt adalah pada masa awal setelah penderita
dinyatakan menderita gagal ginjal tahap akhir. Keuntungannya adalah untuk
memudahkan melakukan operasi karena pembuluh darah belum terkena trauma
penusukan dan komplikasi lain dari penyakit yang menyertai gagal ginjal seperti
penyakit yang menyebabkan terjadinya arterosklerosis atau hiperplasia sel pembuluh
darah. Salah satu komplikasi dari proses ini adalah pendarahan setelah hemodialisis.
Penyebab dari pendarahan ini adalah :
a. Biasanya terjadi karena trauma insisi jaringan
b. Jika perdaran menimbulkan pembengkakan yang hebat dimungkinkan
karena kebocoran anatomosis tapi sangat jarang
c. Jika perdarahan hanya rembes atau sedikit dimungkinkan dari jaringan kutis
atau subkutis.
d. Waktu pembekuan darah lama
e. Dosis heparin berlebihan
Pendarahan ini dapat dicegah dengan beberapa cara diantaranya:
a. Bekas tusukan AV Shunt tidak boleh digaruk-garuk / dipijat
b. Hindari penusukan pada bekas tusukan dialisis sebelumnya
Hemodialisa | 12
c. Dengan persiapan pembuluh darah yang baik angka keberhasilan tindakan
ini akan lebih baik, lengan yang akan dioperasi jangan ditusuk atau
dipasang infus dan jika diperlukan dilatih untuk melebarkan vena dengan
bantuan tensimeter dengan tekanan 30 mm Hg.
d. Pasien harus rajin berlatih buka tutup kepalan tangan agar aliran vena cepat
meningkat. Tangan harus diposiiskan seenak mungkin, elevasi tak
diperlukan karena elevasi dapat menyebabkan iskemia tangan.
2.7 Kram Otot
Kram otot merupakan kontraksi otot yang memendek atau kontraksi
sekumpulan otot yang terjadi secara mendadak dan singkat, yang biasanya menimbulkan
nyeri. Otot yang mengalami kram sulit untuk menjadi rileks kembali. Bisa dalam
hitungan menit bahkan jam untuk meregangkan otot yang kram itu. Kontraksinya sendiri
dapat terjadi dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit. Selain itu, kram otot
seringkali dapat menimbulkan keluhan nyeri.
Penyebab :
a Penarikan cairan dibawah berat badan standar
b Penarikan cairan terlalu cepat
c Berat badan naik lebih dari 1 kg/hari
Pengaturan untuk mengurangi kram otot saat hemodialisa :
a Kecilkan kecepatan aliran darah
b Masage pada daerah yang kram
c Beri obat gosok
d Kompress air hangat
e Observasi tanda-tanda vital
f Kalau perlu kolaborasi dokter
Pencegahan kram otot saat hemodialisa :
a Jangan menarik cairan telalu cepat
b Anjurkan pasien untuk membatasi intake cairan
2.8 Dialiser Leak / Bocor
Yaitu sobeknya membran kapiler dialiser sehingga darah keluar dari
kompartemen darah, masuk ke kompartemen dialisat. Dialiser merupakan ginjal buatan.
Kompartemen dialisat merupakan cairan pencuci, adalah cairan yang membantu
mengeluarkan sampah dan kelebihan air dari tubuh.
1. Blood alarm
Hemodialisa | 13
1. Segera mengganti dialiser yang bocor
Dialiser baru
Klem 2 buah
Heparin
Spuit 1 cc
NaCl 0,9%
Ember
Dekatkan alat-alat disamping pasien
Pompa aliran darah dimatikan.
Klem kanula arteri, ADL
Klem infus dibuka, pompa aliran darah dijalankan
Pada buble trap VBL bening lalu pompa darah dimatikan
Klem kanula VBL
Siapkan dialiser baru (priming)
Klem AV BL yang dekat ke dialiser, dilepaskan 2 sisi dari dialiser, kemudian
dipasangkan ke dialiser baru, selang dialisat disambung ke dialiser dan dialiser lama
dibuang.
Darah dialirkan kembali ke dalam sirkulasi ekstrakorporeal dengan cara membuka
semua klem kecuali klem infus, posisi dialiser dalam keadaan terbalik sambil
mengontrol udara dari sirkulasi korporeal (AVBL diaiser)
Bila AVBL sudah bebas udara, posisi dialise dikembalikan ke posisi semula (merah di
atas)
Berikan ekstra heparin 2000 ui
Memberitahu pasien bahwa penggantian dialiser sudah selsai.
Mengukur tanda-tanda vital
2.9 Hipotensi
Hemodialisa | 14
pressure) >10 mmHg yang disertai dengan keluhan klinis / simptomatis, sedang literatur
lainmenyebutkan penurunan tekanan darah sistolik saja.
Saat tekanan darah pasien menurun, keluhan yang umum timbul adalah pasien
merasa pusing, kepala terasa ringan, mual, atau kram otot. Gejala klinis yang dapat
diamati adalah penurunan tekanan darah, muntah, kesadaran pasien menurun atau
menjadi gelisah, tangan dan kaki lembab dan dingin dengan nadi yang kecil dan cepat,
pasien berkeringat. Pada penurunan tekanan darah yang berat, gejala yang timbul adalah
sesuai dengan gambaran klinis iskemia organ-organ yang terkena (jantung dan otak)
seperti nyeri dada, kejang, koma dan lain-lain.
2. stroke
3. iskemia mesenterik
Hemodialisa | 15
berpengaruh pada pemeliharaan stabilitas hemodinamik saat hemodialisa. Ketiga faktor
tersebut adalah :
2. konstriksi dari pembuluh darah tepi (arteri kecil dan arteriol) untuk
meningkatkan resistensi vaskuler sistemik
Seorang pasien yang memiliki gangguanpada salah satu faktor di atas dapat
mengalami hipotensi saat hemodialisa jika :
1. status pasien
b. wanita
a. Diabetes Mellitus
c. infeksi, sepsis
Hemodialisa | 16
a. status Nutrisi kurang dan Hipoalbuminemia
c. Anemia berat
e. Dehidrasi
4. tindakan hemodialisa
1. pada pasien
c. pemberian oksigen
3. tindakan hemodialisa
Hemodialisa | 17
b. menurunkan Laju Aliran Darah (QB; Blood Flow) tetapi sebagian
besar sumber literatur menyatakan bahwa menurunkan QB tidak
banyak membawa manfaat dan justru dapat menurunkan klirens /
adekuasi hemodialisa meningkatkan konsentrasi Natrium dalam
dialisat (sampai dengan 148 meq/L) kemudian diturunkan sampai 135
meq/L
4. jika usaha-usaha di atas gagal dan pasien setiap sesi hemodialisa selalu
mengalami hipotensi, maka pasien dianjurkan beralih ke dialisis peritoneal
(CAPD).
a. edukasi pasien
Hemodialisa | 18
2. persiapan sebelum hemodialisa
3. tindakan hemodialisa
Hemodialisa | 19
a. evaluasi keluhan pasien secara berkala
o Heparin
o Spuit 1cc
o NaCl 0,9%
o Kapas Alkohol
Hemodialisa | 20
HD diprogram kembali
Berikan heparin 1000ui/jam (dibilas)
b. Bila dializer beku seluruhnya / beku sebagian tapi tidak teratasi dengan
cara di atas, maka dializer harus diganti.
Pengkajian:
Penatalaksanaan:
2) Berikan oksigen
7) Sambungan-sambungan dikencangkan
Hemodialisa | 21
8) Menghilangkan udara dari sirkulasi ekstrakorporal
11) Dokumentasikan
Sistem tertutup
Buble trap jangan terlalu rendah (terisi bagian)
Pasang detector udara
Sambungan-sambungan dikencangkan
Pada waktu mengakhiri HD harus hati-hati, apabila mempergunakan udara
sebagai pendorong darah masuk ke dalam tubuh.
2.12 Hipertensi
Keluhan dan gejala hipertensi saat hemodialisa
Pada umumnya tidak ditemukan gejala klinis saat seorang pasien yang
menjalani hemodialisa mengalami kenaikan tekanan darah yang akut. Diagnosis
ditegakkan atas dasar pengukuran tekanan darah serta membandingkannya dengan
tekanan darah sebelum hemodialisa pada tempat pengukuran yang sama.
Akibat hipertensi saat hemodialisa
Kenaikan tekanan darah yang timbul saat pasien menjalani hemodialisa
meningkatkan kemungkinan kejadian penyakit kardiovaskuler; pasien dapat mengalami
infark miokard akut, stroke atau kebutaan yang akut.
Penyebab hipertensi saat hemodialisa
Penyebab hipertensi saat hemodialisa pada umumnya adalah
1. Overestimasi berat badan kering, berat badan kering yang diperkirakan jauh
lebih rendah daripada berat badan pasien sesungguhnya
2. Uf yang melebihi kapasitas pasien
3. Stimulasi simpatis
4. Penurunan kadar kalium saat pasien menjalani hemodialisa, yang dapat
merangsang renin
5. Kenaikan kadar calcium yang berfluktuasi
6. Penggunaan penyekat beta adrenergis
7. Penggunaan esa
8. Terbuangnya obat antihipertensi saat hemodialisa
9. Dan lain-lain
Hal-hal tersebut di atas dapat menyebabkan hipertensi saat hemodialisa secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama atau berurutan, sebagai contoh uf yang dilakukan
dalam jumlah besar dan dalam waktu pendek, atau uf yang melebihi berat badan kering
Hemodialisa | 22
pasien akan merangsang simpatis, menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah dan
menaikkan tekanan darah.
Tatalaksana hipertensi saat hemodialisa
Tatalaksana hipertensi saat hemodialisa sebenarnya lebih ditekankan pada
pencegahan, karena sebagian besar penyebab hipertensi saat hemodialisa lebih terkait
pada tatalaksana pasien sehari-hari. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain :
1. Membatasi asupan garam: diet rendah garam dengan asupan natrium <
2g/hari
2. Membatasi asupan air untuk mencegah kenaikan berat badan interdialitik
3. Menggunakan obat-obat antihipertensi yang tidak terdialisis, serta
mempunyai efek kerja vasodilatasi maupun menghambat renin
4. Edukasi pasien untuk selalu minum obat antihipertensi secara teratur
5. Tindakan saat pasien menjalani hemodialisa, meliputi :
a. Menciptakan rasa nyaman dan tenang pada pasien
b. Menggunakan dialisat rendah natrium
c. Memperpanjang lama hemodialisa
d. Mengurangi laju uf
e. Pada situasi tertentu, bisa dipertimbangkan pemberian obat
antihipertensi
Pada umumnya disepakati bahwa target tekanan darah yang sebaiknya dicapai
sebelum dialisis <140/90 mmhg, dan sesudah dialisis adalah <130/80 mmhg, atau
secara keseluruhan map <99 mmhg. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah tekanan
darah yang terlalu rendah juga dapat menyebabkan hipotensi saat hemodialisa.
Hemodialisa | 23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hemodialisa dapat membantu pasien dalam beberapa kegunaan, yaitu
menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
Hemodialisa juga dapat berfungsi untuk menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan
cairan tubuh yang seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat. Berfungsi juga
dalam meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.
Namun disisi lain, hemodialisa dapat memberikan komplikasi pada pasien yang
mengalaminya diantaranya yaitu sakit kepala, mual, demam, nyeri dada, gatal-gatal,
pendarahan AV shunt, kram otot, dialiser leak, hipotensi, dialisis beku, emboli udara,
serta hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyani M, Ganji M-R, Samadi N, Khamesan B, Daneshpazhooh M. Pruritus in
hemodialysis patients, BMC Dermatology 2005, 5:7.
Ali Ihsan Gunal, Goksel Ozalp, Tahir Kurtulus Yoldas, Servin Yesil Gunal, Ercan
Kirciman and Huseyin Celiker, Gabapentin therapy for pruritus in
haemodialysis patients: a randomized,
Atieh Makhlough, Topical Capsaicin Therapy for Uremic Pruritus in Patients on
Hemodialysis, Iranian J. f Kidney Dis. 2010, 4:2.
Julia RN, Dirk ME. Dermatologic Manifestations of Renal Disease,
http://emedicine.medscape. com/article/1094846.
Mettang T, Weisshaar E. Pruritus: Control of Itch in Patients Undergoing Dialysis, 2012
SkinThearpyLetter,Last modii ed: Thursday, 21-Jun-2012 16:53:26.
Narita I, Iguchi S, Omori K, Gejyo F. Uremic pruritus in chronic hemodialysis patients,
J.Nephrol 2008; 21: 161-5.
Hemodialisa | 24