LP Perioperatif Sectio Caesarea

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

A.

Konsep Dasar Sectio Caesarea


1. Pengertian
Sectio Caesarea adalah suatu pembedahan guna
melahirkan anak lewat insisi pada dinding abdomen dan uterus
(Oxorn & William, 2010).
Menurut Amru Sofian (2012) Sectio caesarea adalah suatu
cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding
uterus melalui dinding depan perut (Amin & Hardhi, 2013).
Seksio Sesarea (SC) adalah proses persalinan dengan
melalui pembedahan di mana irisan dilakukan di perut ibu
(laparatomi) dan rahim (histerektomi) untuk mengeluarkan bayi.
Seksio Sesarea umumnya dilakukan ketika proses persalinan
normal melalui vagina tidak memungkinkan karena beresiko
kepada komplikasi medis lainya (Purwoastuti, Dkk, 2015).
Dari beberapa pengertian tentang sectio caesarea diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa sectio caesarea adalah suatu
tindakan pembedahan yang tujuannya untuk mengeluarkan janin
dengan cara melakukan sayatan pada dinding abdomen dan
dinding uterus.
2. Klasifikasi operasi Seksio Sesarea (SC)
Ada beberapa jenis Seksio Sesarea (SC), yaitu diantaranya :
a. Jenis klasik yaitu dengan melakukan sayatan vertikal
sehingga memungkinkan ruangan yang lebih besar untuk
jalan keluar bayi. Akan tetapi jenis ini sudah sangat jarang
dilakukan saat ini karena sangat beresiko terhadap terjadinya
komplikasi.
b. Sayatan mendatar di bagian atas dari kandung kemih sangat
umum dilakukan pada masa sekarang ini. Metode ini
meminimalkan risiko terjadinya perdarahan dan cepat
penyembuhanya.
c. Histerektomi caesar yaitu bedah caesar diikuti dengan
pengankatan rahim. Hal ini dilakukan dalam kasus-kasus di
mana pendarahan yang sulit tertangani atau ketika plasenta
tidak dapat dipisahkan dari rahim.
d. Bentuk lain dari Seksio Sesarea (SC) seperti extraperitoneal
CS atau Porro CS (Purwoastuti, Dkk, 2015).

3. Etiologi
Menurut Amin & Hardhi (2013), etiologi sectio caesarea ada
dua yaitu sebagai berikut :
a. Etiologi yang berasal dari ibu
Yaitu pada primigravida dengan kelainan letak, primi paratua
disertai kelainan letak ada, dispoporsi sefalo pelvik (dispoporsi
janin/panggul), ada sejarah kehamilan dan persalinan yang
buruk, terdapat kesempitan panggul, placenta previa terutama
pada primigravida, solusio placenta tingkat I-II, komplikasi
kehamilan yaitu preeklamsi-eklamsi, atas permintaan,
kehamilan yang disertai penyakit (jantung, DN), gangguan
perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri dan
sebagainya).
b. Etiologi yang berasal dari janin
Fetal distress/gawat janin, mal presentasi dan mal posisi
kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan
kecil, kegagalan persalinan vakum atau forseps ektraksi.

4. Patofisiologi
SC merupakan tindakan untuk melahirkan bay dengan berat
di atas 500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih
utuh. Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul,
disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, palcenta previa dll, untuk
ibu. Sedangkan unutk janin adalah gawat janin. Janin besar dan
letak lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adptasi
post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan.
Akibat kurang informasi dariaspek fisiologis yaitu produk oxitosin
yang tidak adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya
sedikit, luka dari insisi akan menjadi post de entris bagi kuman.
Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan perawatan luka
dengan prinsip steril. Nyeri muncul gangguan tidur karena insisi
yang mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anastesi
bisa bersifat regional dan umum. Namun anastesi umum lebih
banyak pengaruhnya terhadap janin maupun ibu, anastesi umum
menyebabkan bayi lahir dalam keadaan upnoe yang tidak dapat
diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati. Sedangkan
pengaruhnya bagi ibu yaitu atonia uteri sehingga darah banyak
yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan napas
yang tidak efektif akibat sekret yang berlebihan karen kerja otot
napas silia yang menutup. Anastesi ini juga mempengaruhi
saluran pencernaan degan menurunkan mobilitas usus.
Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk
lambung akan terjaid proses penghancuran dengan bantuan
peristaltik usus. Kemudian diserap untuk metabolisme sehingga
tubuh memperoleh energi. Akibat dari mobilitas yang menurun
maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung
akan menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun.
Maka pasien sangat beresiko terhadap aspirasi dehingga perlu
dipasang pipa andotrakeal. Selain itu motilitas yang menurun juga
berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu konstipasi
(Winkjosastro, 2009).
5. Komplikasi
Menurut Sarwono Prawirohardjo (2011) komplikasi yang
mungkin timbul dalam Post Seksio Sesarea (SC) :
a. Syok
Peristiwa ini terjadi karena insufisiensi akut dari sistem
sirkulasi dengan akibat sel-sel jaringan tidak mendapat zat-zat
makanan dan O2 dengan akibat terjadi kematian nya.
Penyebab-penyebab syok adalah: hemoragi merupakan
penyebab terbanyak dan harus selalu dipikirkan bila terjadi
pada 24 jam pertama pascabedah, sepsis, neurogenik dan
kardiogenik, atau kombinasi antara berbagai sebab tersebut.
Gejala-gejalanya ialah nadi dan pernafasan meningkat, tensi
menurun, oliguri, penderita gelisah, eksteremitas dan muka
dingin, serta warna kulit keabu-abuan. Dalam hal ini sangat
penting untuk membuat diagnosis sedini mungkin yang
dikenal dengan sistem peringatan dini (early warning system),
karena jika terlambat, perubahanya sudah tidak dapat
dipengaruhi lagi.
b. Gangguan Saluran Kemih
Pada operasi ada kemungkinan terjadi retensio urinae.
Pengeluaran air seni perlu diukur, jika air seni yang
dikeluarkan jauh berkurang, ada kemungkinan oliguri atau
retensio urinae. Pemeriksaan abdomen seringkali dapat
menentukan adanya retensi. Apabila daya upaya supaya
penderita dapat berkemih tidak berhasil, maka terpaksa
dilakukan kateterisasi.
c. Infeksi Saluran Kemih
Kemungkinan infeksi saluran kemih selalu ada, terutama pada
penderita-penderita yang untuk salah satu sebab dikateter.
Penderita menderita panas dan seringkali menderita nyeri
pada saat berkemih, dan pemeriksaan air seni (yang
dikeluarkan dengan kateter atau sebagai midstream urine)
mengandung leukosit dalam kelompok. Hal ini dapat segera
diketahui dengan meningkatnya leukosit esterase.
d. Distensi Perut
Pada pasca laparatomi tidak jarang perut agak kembung akan
tetapi,setelah flatus keluar, keadaan perut menjadi normal.
Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa distensi bertambah,
terdapat timpani diatas perut pada periksa ketok, serta
penderita merasa mual dan muntah.
e. Infeksi puerperal
Pada komplikasi ini biasanya bersifat ringan, seperti kenaikan
suhu selama beberapa hari dalam masa nifas, bersifat berat
seperti Tromboflebitis, peritonitis, sepsis dan lainya.
f. Terbukanya Luka Operasi Eviserasi
Sebab-sebab terbukanya luka operasi pasca pembedahan
ialah luka tidak dijahit dengan sempurna, distensi perut, batuk
atau muntah keras, serta mengalami infeksi.

6. Penatalaksanaan Pada Ibu Post Seksio Sesaria (SC)


Setelah pasca operasi, ada hal-hal yang perlu diperhatikan
karena pada tahap ini ibu sangat rentang terhadap infeksi akibat
perlukaan karena persalinan. Dengan memberikan asuhan dan
pemantauan khusus pada ibu pasca operasi maka kemungkinan
terjadinya infeksi pada klien lebih rendah.
a. Pemberian cairan intravena. Kebutuhan cairan intravena,
termasuk darah selama dan setelah seksio sangat
bervariasi.cairan yang diberikan secara intravena terdiri dari
larutan Ringer Laktat atau larutan sejenis dan Dekstrosa 5%
dalam air. Biasanya diberikan dalam 1-2 liter cairan yang
mengandung elektrolit seimbang selama dan segera setelah
operasi.
b. Ruang pemulihan. Di ruang pemulihan, jumlah perdarahan
dari vagina harus dipantau dengan ketat, dan fundus harus
sering diperiksa dengan palpasi, dengan palpasi untuk
memastikan bahwa uterus tetap berkontraksi kuat. Balutan
tebal dengan banyak plester dapat mengganggu palpasi dan
pemijatan fundus serta menimbulkan rasa tidak nyaman
kemudiaan saat plester, dan mungkin kulit diangkat. Ibu
didorong untuk bernapas dalam dan batuk. Setelah ibu sadar
penuh, perdarahan minimal, tekanan darah memuaskan, dan
aliran urine paling tidak 30 ml per jam, pasien dapat
dipulangkan ke kamarnya.
c. Pemberian analgesik (Anti nyeri). Untuk ibu dengan ukuran
tubuh rata-rata, diberikan meperidin 75 mg, atau morfin 10
mg secara intramuskulus sampai sesering tiap 3 jam untuk
menghilangkan rasa nyaman. Jika bertubuh kecil, mungkin
diperlukan meperidin 50 mg atau jika besar, 100 mg. Suatu
antiemetik (misalnya prometazin 25 mg) biasanya diberikan
betsama narkotik. Metode pemberian analgetik lainya
misalnya pemberian narkotik epidural pasca partum atau
analgesik yang dikontrol oleh pasien sedang dievaluasi
dengan hasil awal yang menjajikan.
d. Tanda Vital. Tekanan darah, nadi, jumlah urin, dan fundus
uteri diperiksa paling tidak setiap jam selama 4 jam. Setiap
kelainan dilaporkan. Setelah itu, selama 24 jam pertama, hal-
hal diatas bersamaan dengan suhu, diperiksa setiap 4 jam.
e. Terapi Cairan Dan Makanan. Secara umum, 3 liter cairan,
termasuk Ringer Laktat seyogianya adekuat untuk
pembedahan dan 24 jam pertama sesudahnya. Namun, jika
pengeluarna urine kurang dari 30 ml per jam, pasien harus
segera dievaluasi kembali. Penyebab oligouria dapat
beragam mulai dari pengeluaran darah yang tidak diketahui
sampai efek antidiuretik infus oksitosin.
Jika tidak terjadi manipulasi intra-abdomen yang ekstensi
atau sepsis, ibu yang seyogiyanya mampu menerima cairan
per oral sehari setelah pembedahan.
Jika tidak mampu, cairan intravena dilanjutkan atau
diulang. Pada hari kedua setalah pembedahan , sebagian
besar ibu dapat menerima makan biasa.
f. Kandung Kemih Dan Usus. Kateter umunya dapat dilepas
dari kandung kemih 12 jam setelah operasi atau, yang lebih
menyenangkan, pagi hari setelah operasi. Kemampuan ibu
mengosongkan kandung kemihnya sebelum terjadi peregangan yang
berlebihan harus dipantau seperti pada persalinan pervaginam. Bising
usus biasanya tidak terdengar pada hari pertama pembedahan, samar-
samar pada hari kedua, dan aktif pada hari ketiga. Pada hari kedua dan
ketiga pasca operasi, dapat timbul nyeri gas akibat gerakan usus yang
tidak terkoordinasi. Supositoria rektum biasanya dapat memicu
defekasi, jika tidak ibu harus diberi anema.
g. Ambulasi. Umumnya, sehari setelah pembedahan, pasien
harus turun sebentar dari tempat tidur dengan bantuan paling tidak dua
kali. Lama waktu ambulasi Post Seksio Sesarea (SC) dengan general
anastesi dan regional anastesi cenderung sama. Selisih rata-rata lama
waktu ambulasi dini hanya 2 jam 40 menit (Umi Solikhah, 2011).
h. Pemeriksaan Laboratorium. Hematokrit secara rutin diukur
pada pagi hari setelah pembedahan. Hemotokrit diperiksa lebih dini jika
terjadi pengeluaran darah berlebihan atau terjadi oliguria atau tanda-
tanda yang lain yang mengisyaratkan hipovolemia. Jika hematokrit
menurun secara signifikan dari kadar praoperasi, pemeriksaan diulang,
dan dilakukan penelitian untuk menentukan penyebab penurunan
tersebut. jika hematokrit yang rendah itu tetap stabil, ibu yang
bersangkutan tersebut dapat pulang tanpa kesulitan. Jika kecil
kemungkinanya terjadi pengeluarn darah lebih kanjut, terapi besi untuk
memperbaiki gangguan hematologik lebih dianjurkan dari pada
transfusi.
i. Perawatan Payudara. Menyusui dapat dimulai sehari setelah
pembedahan. Jika ibu yang bersangkutan memilih untuk tidak menyusui
karena ada hal lain, maka pemakaian penyangga payudara yang tidak
menekan biasanya dapat mengurangi rasa tidak nyaman.
j. Pemulangan Dari Rumah Sakit. Ibu dapat dipulangkan
dengan aman pada hari keempat atau kelima pasca
persalinan, kecuali jika terjadi penyulit selama Masa Nifas.
Aktifitas ibu selama minggu berikutnya harus dibatasi pada
perawatan diri dan bayinya dengan bantuan. Evaluasi pasca
salin perta sebaliknya dilakukan tinga minggu setelah
persalinan, bukan 6 minggu seperti cara tradisional.
k. Pemberian Antimikroba Profilaksis. Suatu Penelitian
mengevaluasi intervensi terapi pada kelompok perempuan
nulipara beresiko tinggi yang menjalani seksio sesarea akibat
disproporsi sefalopelvik. Karena frekuensi infeksi panggul
adalah 85%, menganggap bahwa pemberian antimikroba
adalah pengobatan dan bukan profilaksis. Mereka mengamati
bahwa pemberian penisil ditambah gentamisin atau
sefamandol saja segera setelah tali pusat dijepit dan diikuti
dua pemebrian dosis dan obat yang sama dengan interval 6
jam menyebabkan penurunan drastis morbiditas akibat
infeksi.
Saat ini peneliti hanya memberikan dosis tunggal yaitu
antimikroba spektrum luas, misalnya sefalosporin atau penisil
spektrum luas. Regimen ini terbukti sama efektif, dan
pemilihan anti mikroba harus mempertimbangkan
beberapa hal, yaitu: alergi pasien, ketersediaan obat, biaya
dan kebiasaan dokter memakai obat yang bersangkutan
(Norman,dkk 2011).
Setelah memberikan Asuhan pada Ibu Post Seesarea
(SC) maka tentunya bidan dapat menolong ibu dengan baik
mengingat kembali pengalaman bedah sesar dengan
menimbulkan rasa puas tersendiri dan keberhasilan
pencapaian asuhan kebidanan yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan setiap ibu, dapat membuat perbedaan dalam
mengalami dan mengingat peristiwa penting ini (Baston
Helen dan Hall Jenifer 2011:166).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Perioperatif Pada Sectio


Caesarea
1. Pengertian
Keperawatan perioperatif istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan
dengan pengalaman pembedahan pasien. Istilah perioperatif
adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga fase
pengalaman pembedahan, yaitu pra operasi, intra operasi, dan
pasca operasi. Masing-masing fase dimulai pada waktu tertentu
dan berakhir pada waktu tertentu pula dengan urutan peristiwa
yang membentuk pengalaman bedah dan masing-masing
mencakup rentang perilaku dan dan aktivitas keperawatan yang
luas yang dilakukan oleh perawat dengan menggunakan proses
keperawatan dan standar praktik keperawatan. Di samping itu,
kegiatan perawat perioperatif juga memerlukan dukungan dari
tim kesehatan lain yangb berkompeten dalam perawatan pasien
sehingga kepuasan pasien dapat tercapi sebagai suatu bentuk
pelayanan prima
2. Pre Operatif
Perawatan pre operatif merupakan tahap pertama dari
perawatan perioperatif yang dimulai sejak pasien diterima masuk
di ruang terima pasien dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke
meja operasi untuk dilakukan tindakan pembedahan.
Persiapan pembedahan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yang
meliputi persiapan psikologi baik pasien maupun keluarga dan
persiapan fisiologi (khusus pasien).
a. Persiapan Psikologi
Terkadang pasien dan keluarga yang akan menjalani
operasi emosinya tidak stabil. Hal ini dapat disebabkan
karena :
1) Takut akan perasaan sakit, narcosa atau hasilnya.
2) Keadaan sosial ekonomi dari keluarga.
Penyuluhan merupakan fungsi penting dari perawat pada
fase pra bedah dan dapat mengurangi cemas pasien. Hal-hal
dibawah ini penyuluhan yang dapat diberikan kepada pasien
pra bedah.
Informasi yang dapat membantu pasien dan
keluarganya sebelum operasi :
1) Pemeriksaan-pemeriksaan sebelum operasi (alasan
persiapan).
2) Hal-hal yang rutin sebelum operasi.
3) Alat-alat khusus yang diperlukan
4) Pengiriman ke ruang bedah.
5) Ruang pemulihan.
6) Kemungkinan pengobatan-pengobatan setelah operasi :
a) Perlu peningkatan mobilitas sedini mungkin.
b) Perlu kebebasan saluran nafas.
c) Antisipasi pengobatan.
d) Bernafas dalam dan latihan batuk
e) Latihan kaki
f) Mobilitas
g) Membantu kenyamanan
b. Persiapan Fisiologi
1) Diet
8 jam menjelang operasi pasien tidak diperbolehkan
makan, 4 jam sebelum operasi pasien tidak
diperbolehkan minum, (puasa) pada operasi dengan
anaesthesi umum.Pada pasien dengan anaesthesi lokal
atau spinal anaesthesi makanan ringan diperbolehkan.
Bahaya yang sering terjadi akibat makan/minum
sebelum pembedahan antara lain :
a. Aspirasi pada saat pembedahan
b. Mengotori meja operasi.
c. Mengganggu jalannya operasi.
2) Persiapan perut
Pemberian leuknol/lavement sebelum operasi dilakukan
pada bedah saluran pencernaan atau pelvis daerah
periferal. Untuk pembedahan pada saluran pencernaan
dilakukan 2 kali yaitu pada waktu sore dan pagi hari
menjelang operasi.
Maksud dari pemberian lavement antara lain :
a) Mencegah cidera kolon
b) Memungkinkan visualisasi yang lebih baik pada
daerah yang akan dioperasi.
c) Mencegah konstipasi.
d) Mencegah infeksi.
3) Persiapan kulit
Daerah yang akan dioperasi harus bebas dari rambut.
Pencukuran dilakukan pada waktu malam menjelang
operasi. Rambut pubis dicukur bila perlu saja, lemak dan
kotoran harus terbebas dari daerah kulit yang akan
dioperasi. Luas daerah yang dicukur sekurang-
kurangnya 10-20 cm2.
4) Hasil pemeriksaan
Meliputi hasil laboratorium, foto roentgen, ECG, USG
dan lain-lain.
5) Persetujuan operasi / informed consent
Izin tertulis dari pasien / keluarga harus tersedia.
Persetujuan bisa didapat dari keluarga dekat yaitu suami
/ istri, anak tertua, orang tua dan keluarga terdekat.
Pada kasus gawat darurat ahli bedah mempunyai
wewenang untuk melaksanakan operasi tanpa surat izin
tertulis dari pasien atau keluarga, setelah dilakukan
berbagai usaha untuk mendapat kontak dengan anggota
keluarga pada sisa waktu yang masih mungkin.
c. Persiapan Akhir Sebelum Operasi Di Kamar Operasi (Serah
terima dengan perawat OK)
Untuk melindungi pasien dari kesalahan identifikasi atau
cidera perlu dilakukan hal tersebut di bawah ini :
1) Cek daerah kulit / persiapan kulit dan persiapan perut
(lavement).
2) Cek gelang identitas / identifikasi pasien.
3) Lepas tusuk konde dan wig dan tutup kepala / peci.
4) Lepas perhiasan
5) Bersihkan cat kuku.
6) Kontak lensa harus dilepas dan diamankan.
7) Protesa (gigi palsu, mata palsu) harus dilepas.
8) Alat pendengaran boleh terpasang bila pasien kurang /
ada gangguan pendengaran.
9) Kaus kaki anti emboli perlu dipasang pada pasien yang
beresiko terhadap tromboplebitis.
10) Kandung kencing harus sudah kosong.
11) Status pasien beserta hasil-hasil pemeriksaan harus
dicek meliputi :
a) Catatan tentang persiapan kulit.
b) Tanda-tanda vital (suhu, nadi, respirasi, TN).
c) Pemberian premedikasi.
d) Pengobatan rutin.
e) Data antropometri (BB, TB)
f) Informed Consent
g) Pemeriksan laboratorium.
d. Pengkajian Keperawatan Pra Bedah
1) Data subyektif
a) Pengetahuan dan pengalaman terdahulu.
b) Kesiapan Psikologis Menghadapi Bedah
c) Status Fisiologi
2) Data objektif
a) Pola berbicara : mengulang-ulang tema, perubahan
topik tentang perasaan (cemas), kemampuan
berbahasa Inggris.
b) Tingkat interaksi dengan orang lain.
c) Perilaku : gerakan tangan yang hebat, gelisah,
mundur dari aktifitas yang sibuk (cemas).
d) Tinggi dan berat badan.
e) Gejala vital.
f) Penginderaan : kemampuan penglihatan dan
pendengaran.
g) Kulit : turgor, terdapat lesi, merah atau bintik-bintik.
h) Mulut : gigi palsu, kondisi gigi dan selaput lendir.
i) Thorak : bunyi nafas (terdapat, sisanya) pemekaran
dada, kemampuan bernafas dengan diafragma,
bunyi jantung (garis dasar untuk perbandingan
pada pasca bedah).
j) Ekstremitas : kekuatan otot (terutama) kaki,
karakteristik nadi perifer sebelum bedah vaskuler
atau tubuh.
k) Kemampuan motor : adalah keterbatasan berjalan,
duduk, atau bergerak di tempat duduk, koordinasi
waktu berjalan.
3) Masalah keperawatan yang lazim muncul
a) Takut
b) Cemas
c) Resiko infeksi
d) Resiko injury
e) Kurang pengetahuan

3. Intra Operatif
Prinsip Tindakan Keperawatan Selama Pelaksanaan Operasi.
a. Persiapan Psikologis Pasien
b. Pengaturan Posisi
Posisi diberikan perawat akan mempengaruhi rasa nyaman
pasien dan keadaan psikologis pasien.
Faktor yang penting untuk diperhatikan dalam pengaturan
posisi pasien adalah :
1) Letak bagian tubuh yang akan dioperasi.
2) Umur dan ukuran tubuh pasien.
3) Tipe anaesthesia yang digunakan.
4) Sakit yang mungkin dirasakan oleh pasien bila ada
pergerakan (arthritis).
Prinsip-prinsip didalam pengaturan posisi pasien :
1) Atur posisi pasien dalam posisi yang nyaman.
2) Sedapat mungkin jaga privasi pasien, buka area yang
akan dibedah dan kakinya ditutup dengan duk.
3) Amankan pasien diatas meja operasi dengan lilitan
sabuk yang baik yang biasanya dililitkan diatas lutut.
Saraf, otot dan tulang dilindungi untuk menjaga
kerusakan saraf dan jaringan.
4) Jaga pernafasan dan sirkulasi vaskuler pasien tetap
adekuat, untuk meyakinkan terjadinya pertukaran
udara.
5) Hindari tekanan pada dada atau bagain tubuh tertentu,
karena tekanan dapat menyebabkan perlambatan
sirkulasi darah yang merupakan faktor predisposisi
terjadinya thrombus.
6) Jangan ijinkan ekstremitas pasien terayun diluar meja
operasi karena hal ini dapat melemahkan sirkulasi dan
menyebabkan terjadinya kerusakan otot.
7) Hindari penggunaan ikatan yang berlebihan pada otot
pasien.
8) Yakinkan bahwa sirkulasi pasien tidak berhenti
ditangan atau di lengan.
9) Untuk posisi litotomi, naikkan dan turunkan kedua
ekstremitas bawah secara bersamaan untuk menjaga
agar lutut tidak mengalami dislokasi.
c. Membersihkan dan Menyiapkan Kulit.
d. Penutupan Daerah Steril
e. Mempertahankan Surgical Asepsis
f. Menjaga Suhu Tubuh Pasien dari Kehilangan Panas Tubuh
g. Monitor dari Malignant Hyperthermia
h. Penutupan luka pembedahan
i. Perawatan Drainase
j. Pengangkatan Pasien Ke Ruang Pemulihan, ICU atau
PACU.

Pengkajian
a. Sebelum dilakukan operasi
1) Pengkajian psikososial
a) Perasaan takut / cemas
b) Keadaan emosi pasien
2) Pengkajian fisik
a) Tanda vital : TN, N, R, Suhu.
b) Sistem integumentum : pucat, sianosis, adakah
penyakit kulit di area badan
c) Sistem Kardiovaskuler : Apakah ada gangguan pada
sisitem cardio?, validasi apakah pasien menderita
penyakit jantung?, kebiasaan minum obat jantung
sebelum operasi, kebiasaan merokok, kebiasaan
minum alkohol, oedema, irama dan frekwensi
jantung, pucat.
d) Sistem pernafasan : apakah pasien bernafas
teratur?, batuk secara tiba-tiba di kamar operasi
e) Sistem gastrointestinal : apakah pasien diare?
f) Sistem reproduksi : apakah pasien wanita
mengalami menstruasi?
g) Sistem saraf : kesadaran
h) Validasi persiapan fisik pasien :
- Apakah pasien puasa ?
- Lavement ?
- Kapter ?
- Perhiasan ?
- Make up ?
- Scheren / cukur bulu pubis ?
- Pakaian pasien / perlengkapan operasi ?
- Validasi apakah pasien alaergi terhadap obat ?
b. Selama pelaksanaan operasi
Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi
pasien yang diberi anaesthesi total adalah yang bersifat fisik
saja, sedangkan pada pasien yang diberi anaesthesi lokal
ditambah dengan pengkajian psikososial.
Secara garis besar hal-hal yang perlu dikaji adalah :
1) Pengkajian mental
Bila pasien diberi anaesthesi lokal dan pasien masih
sadar / terjaga maka sebaiknya perawat menjelaskan
prosedur yang sedang dilakukan terhadapnya dan
memberi dukungan agar pasien tidak cemas/takut
menghadapi prosedur tersebut.
2) Pengkajian fisik
a) Tanda-tanda vital
Bila terjadi ketidaknormalan tanda-tanda vital dari
pasien maka perawat harus memberitahukan
ketidaknormalan tersebut kepada ahli bedah.
b) Tranfusi
Monitor flabot transfusi sudah habis apa belum. Bila
hampir habis segera diganti dan juga dilakukan
observasi jalannya aliran transfusi.
c) Infus
Monitor flabot infuse sudah habis apa belum. Bila
hampir habis harus segera diganti dan juga
dilakukan observasi jalannya aliran infuse.
d) Pengeluaran urine
Normalnya pasien akan mengeluarkan urin sebanyak
1 cc/kg BB/jam.

Masalah keperawatan yang lazim muncul


Diagnosa keperawatan yang mungkin sering muncul pada
pasien selama pelaksanaan operasi adalah sebagai berikut :
a. Cemas
b. Resiko perlukaan/injury
c. Resiko penurunan volume cairan tubuh
d. Resiko infeksi
e. Kerusakan integritas kulit

4. Pasca Operatif
a. Pengkajian awal
1) Status respirasi
• Kebersihan jalan nafas
• Kedalaman pernafasan
• Kecepatan dan sifat pernafasan
• Bunyi nafas
2) Status sirkulatori
• Nadi
• Tekanan darah
• Suhu
• Warna kulit
3) Status neurologis ; tingkat kesadaran
4) Balutan
• Keadaan drain
• Terdapat pipa yang harus disambung dengan sistem
drainage
5) Kenyamanan
• Terdapat nyeri
• Mual
• Muntah
6) Keselamatan
• Diperlukan penghalang samping tempat tidur
• Kabel panggil yang mudah dijangkau
• Alat pemantau dapat dipasang dan mudah dijangkau
7) Perawatan
• Cairan infus, kecepatan, jumlah cairan, kelancaran
cairan.
• Sistem drainage : bentuk kelancaran pipa, hubungan
dengan alat penampung, sifat dan jumlah drainage.
8) Nyeri
• Waktu
• Tempat
• Frekwensi
• Kualitas
• Faktor yang memperberat dan memperingan
b. Data subjektif
Pasien hendakanya ditanya mengenai gejala-gejala
ketidaknyamanan setelah ditempatkan ditempat tidur dengan
posisi tubuh yang menunjang. Pertanyaan-pertanyaan yang
langsung misalnya :”Bagaimana perasaan anda?”, dapat
memperlihatkan data mula dan nyeri tanpa memfokuskan
pada daerah yang spesifik, dimana tidak ada keluhan.
Penginderaan rasa nyeri sering kali meningkat pada waktu
ini akibat pemindahan dari brankard ke tempat tidur. Sangat
penting untuk mengetahui lokasi, bentuk serangan dan
perubahan intensitas rasa nyeri, dan bukan menyangka
bahwa nyeri berasal dari torehan.
Mual jarang timbul setelah pasca anaesthesi baru. Sangat
besar kemungkinan terjadi mual bila perut mengalami
manipulasi yang ekstensif pada waktu prosedur bedah atau
telah mendapat narkotika yang cukup banyak.
c. Data objektif
1) Sistem Respiratori
2) Status sirkulatori
3) Tingkat Kesadaran
4) Balutan
5) Posisi tubuh
6) Status Urinari / eksresi.
d. Pengkajian Psikososial
Yang perlu diperhatikan : umur, prosedur pembedahan, efek
samping dari prosedur pembedahan dan pengobatan, body
image dan pola/gaya hidup. Juga tanda fisik yang
menandakan kecemasan termasuk denyut nadi, tekanan
darah, dan kecepatan respirasi serta ekspresi wajah.
e. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berdasarkan pada prosedur
pembedahan, riwayat medis, dan manifestasi klinik post
operasi.
Pemeriksaan laboratorium lab post operasi secara umum
anatara lain :
1) Analisa serum dan elektrolit, glukosa dan pemeriksaaan
darah lengkap.
2) Pemeriksaann urine sekitar setiap 4 jam untuk klien
dengan resiko dehidrasi dan insufisisensi ginjal.
f. Masalah Keperawatan Yang Lazim Muncul
1) Diagnosa Umum
a) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
efek samping dari anaesthesi.
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
luka post operasi.
c) Nyeri akut berhubungan dengan proses
pembedahan.
d) Resiko injury berhubungan dengan kelemahan fisik,
efek anaesthesi, obat-obatan (penenang,
analgesik) dan imobil terlalu lama.
2) Diagnosa Tambahan
a) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan peningkatan produksi sekret.
b) Resiko retensi urine berhubungan dengan
anaesthesi, bedah pelvis, dan kurang gerak.
c) Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah
memahami informasi.
d) Cemas berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan tentang prosedur pembedahan.
e) Nausea berhubungan dengan efek anaesthesi,
narkotika, ketidaseimbangan elektrolit.
f) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri
g) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan anoreksia, lemah, nyeri, mual.

Anda mungkin juga menyukai