FULDFK

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

Tapak Tilas FULDFK

FULDFK (Forum Ukhuwah Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran Indonesia)


dilahirkan melalui deklarasi bersama yang di hadiri 109 delegasi dari 29 Lembaga
Dakwah Fakultas Kedokteran se-Indonesia di Jatinangor pada 4 Muharram 1426 atau
bertepatan dengan 13 Februari 2013. FULDFK lahir dari ide dan kepedulian LDFK di
Indonesia, untuk membentuk wadah silaturahim, kontemplasi ide, kesatuan arah gerak,
kepedulian untuk saling menyehatkan tiap-tiap LDFK, dan memasifkan dakwah profesi
kedokteran.

Tabel Sejarah Tahapan Pertemuan sampai Lahirnya FULDFK

Sebelum di deklarasikan, pembentukan FULDFK di dahului oleh 3 kali koordinasi dan


silaturahim para ADK (Aktifis Dakwah Kampus) dari perwakilan LDFK-LDFK di
Indonesia dalam Forum Nasional (FORNAS). Pra FORNAS di adakan di Yogyakarta
pada 5-6 Mei 2001, FORNAS pertama dilaksanakan di Surabaya pada 20-22
September 2002, dan FORNAS kedua diselenggarakan di Jakarta pada 31 Juli-1
Agustus 2004. Barulah setelah melewati rangkaian 3 kali silaturahim, kontemplasi ide
dan inisiatif, maka diselenggarakanlah MUNAS (Musyawarah Nasional) pertama
FULDFK di Jatinangor pada 10-13 Februari 2005. Di mana pada tanggal 13 Februari
inilah di deklarasikan lahirnya FULDFK (Forum Ukhuwah Lembaga Dakwah Fakultas
Kedokteran Indonesia) sekaligus di pilih sebagai Ketua Umum, yakni dr. Pukovisa
Prawiroharjo.

Pada Pra Fornas (5-6 Mei 2001) di UGM, Yogyakarta, pertemuan ini dihadiri oleh 8
LDFK (Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran) yaitu :
1. LDFK Univ. Syah Kuala , Banda Aceh
2. Forum Studi Islam SM FKUI, Jakarta
3. LDFK UNPAD, Bandung
4. Keluarga Muslim Cendekia Medika (Kalam) UGM, Yogyakarta
5. LDFK Univ. Sebelas Maret, (UNS), Solo
6. LDFK Univ.Airlangga, Surabaya
7. LDFK UNEJ, Jember
8. LDFK UNIBRAW, Malang

Ketua FULDFK dari masa ke masa:


1. dr. Pukovisa Prawiroharjo, Sp. S (FK UI, Jakarta)
2. dr. Zul Efendi, Sp. JP (FK UNPAD, Bandung)
3. dr. Lettu. Abdul Ghafur (FK UNAIR, Surabaya)
4. dr. Ali Reza (FK Univ. Yarsi, Jakarta)
5. dr. M. Anang Eko Fachruddin (FK UNDIP, Semarang)
6. dr. Radietya Alvarabie,ST (FK UNSOED, Purwokerto)
7. dr. Nesta Enggra (FK UNPAD, Bandung)
8. Yasjudan Rastrama, S. Ked (FK UNS, Solo)
Latar Belakang terbentuk FULDFK pada awalnya :
1. Posisi mahasiswa kedokteran yang strategis dalam medan dakwah
2. Kompleksnya permasalahan dakwah di Fakultas Kedokteran
3. Berbagai persamaan baik dalam metode dakwah maupun permasalahan yang ada
antar LDFK
4. Tantangan dan hambatan, berbagai permasalahan nasional dan internasional yang
berkaitan dengan kesehatan dan profesi kedokteran yang harus disikapi bersama.
5. Kurangnya kerjasama antar LDFK

Hasil dari Pertemuan ke 8 LDFK tersebut berhasil menyepakati Visi dan Misi, yakni:
Visi : Menjalin Ukhuwah, mengembangkan dakwah, mewujudkan Indonesia Islami
Misi :
1. Menjadi sarana memperkuat ukhuwah Lembaga Dakwah FK dan berbagi
pengalaman khususnya dalam dakwah pada jalur kesehatan
2. Mewujudkan fungsi pelayanan kesehatan terhadap umat
3. Mengembangkan kultur profesional dan wadah sosialisasi kedokteran Islam
4. Menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga yang ada baik lembaga medis
maupun non medis dalam skala nasional dna internasional
5. Terlibat aktif merespon dan membentuk opini umat yang berkaitan dengan masalah
kesehatan

Struktur Organisasi
FULDFK memiliki struktur organisasi berdasarkan anatomis dan fungsional. Pembagian
anatomis berdasarkan pembagian wilayah serta pusat dan Dewan Penasehat. Adapun,
pembagian fungsional berdasarkan fungsi-fungsi yang dikembangkan di FULDFK saat
ini, seperti Informasi dan Teknologi (IT), fungsi Kehumasan, Pemberdayaan LDFK
(pada Kepengurusan dr. Radietya Alvarabie berganti nama dan bertambah fungsi
menjadi Dept. P&K (Pengembangan LDFK dan Kaderisasi), Finansial, KKIA, Keputrian
(pada awalnya digabungkan dengan Pembedayaan LDFK, pada kepengurusan dr.
Radietya Alvarabie di launching menjadi Departemen Kemuslimahan) dan sebagainya
yang diaplikasikan dalam bentuk departemen pusat dan wilayah.
Kepengurusan di pusat disebut dengan Dewan Eksekutif Pusat (DEP), sedangkan
untuk wilayah disebut Dewan Eksekutif Wilayah (DEW). Adapula Dewan Penasehat
Organisasi (DPO). DEP dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Nasional sedangkan
DEW dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Wilayah. DEP terdiri dari Ketua Umum,
Sekretaris Umum, Bendaharan Umum, Ketua-Ketua Departemen Pusat, dan Ketua
Wilayah. DEW terdiri dari Ketua Wilayah, Sekretaris Wilayah, Bendahara Wilayah, dan
Ketua-Ketua Departemen Wilayah .
Struktur wilayah
Wilayah FULDFK dibagi menjadi 5 yaitu:
1. Wilayah 1 : Sumatera
2. Wilayah 2 : Kalimantan, Sulawesi
3. Wilayah 3 : Banten, Jakarta, Jawa Barat
4. Wilayah 4 : Jawa Tengah dan Yogyakarta
5. Wilayah 5 : Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur
Catatan : Papua dan Maluku berada dibawah tanggung jawab DEP saat itu, namun di
Kepengurusan dr. Radietya Alvarabie, Maluku dan Papua mulai di masukkan di DEW 5
di bawah kepemimpinan dr. Gamal Albinsaid (Ketua DEW 5).
Tujuan : Memberikan pelayanan kepada ummat dalam bidang sosial kesehatan dan
mensosialisasikan FULDFK

Saat ini, FULDFK memiliki visi: Memperjuangkan Islam demi kemashlatan umat yang
berbasis kompetensi. Untuk mencapai visi tersebut FULDFK mempunyai 7 misi yakni:
1. Memperkuat ukhuwah Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran se-Indonesia.
2. Mendorong Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran di Indonesia untuk lebih
profesional dan mapan.
3. Mempersiapkan mahasiswa muslim fakultas kedokteran menuju dakwah profesi.
4. Advokasi terhadap kepentingan dakwah dalam bidang kesehatan.
5. Berperan aktif merespon dan membentuk opini masyarakat yang berkaitan dengan
masalah kesehatan.
6. Mensosialisasikan Kedokteran Islam kepada masyarakat.
7. Menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga yang ada baik medis maupun non
medis dalam skala nasional maupun internasional.
Ada 5 peran strategis keberadaan FULDFK, yaitu:
1. Sebagai Wadah Silaturahim,
2. Kontemplasi Ide,
3. Kesatuan Arah Gerak
4. Saling Menyehatkan Tiap-tiap LDFK
5. Memasifkan Dakwah Profesi Kedokteran
Posisi FULDFK- LDFK- dan Mahasiswa Muslim FK

Tujuan Berdirinya FULDFK


Saat ini di Indonesia terdapat 73 Fakultas Kedokteran, dan dengan hampir 50
diantaranya Alhamdulillah sudah memiliki LDFK yang mempunyai tujuan utama yang
sama yaitu menjadikan Agama Allah sebagai ruh utama di ranah dakwah profesi
kedokteran. Sehingga diharapkan kelak setiap lulusan Fakultas Kedokteran
menggenggam dengan teguh akidahnya dalam bidang keprofesian yang ia tekuni.
Kondisi setiap LDFK di Indonesia tidaklah sama, ada yang sudah sangat mapan ada
juga yang baru berdiri bahkan ada yang masih berjuang untuk mendirikan LDFK. Maka
disinilah peran strategis FULDFK dalam menyehatkan LDFK-LDFK yang ada. LDFK
yang sudah mapan bisa berbagi kiat-kiatnya pada LDFK yang baru terbentuk, bahkan
LDFK yang mapan sampai menjalankan program visitasi dan memasukkan upaya
penyehatan LDFK yang belum mapan, kedalam program kerja yang harus mereka
capai. Dalam proses ini FULDFK terutama Departemen P&K (Pengembangan LDFK
dan Kaderisasi) sebagai penanggungjawabnya, dan progresnya terus dilaporkan dalam
setiap pertemuan FULDFK juga tentunya kepada Ketua Umum, sehingga
kontinuitasnya dapat terjaga.
Silaturahim antar keluarga besar FULDFK dapat melalui perjumpaan langsung berbagai
macam kegiatan FULDFK baik dalam tingkat Wilayah ataupun Nasional. Hampir dalam
setiap tender nasional ataupun wilayah selalu ada waktu untuk sharing LDFK. Hal ini
bermanfaat guna memperkuat kelindan ukhuwah dan saling berkontemplasi untuk
problem solving antar LDFK serta menumbuh-suburkan inisiatif-inisiatif segar untuk
program kerja dan strategi yang lebih masif. Sedangkan di dunia maya ada Net Meeting
berupa Forum Mas’ul, Forum Kadep Kaderisasi, Forum Syiar, Net Meeting pengurus
Dewan Eksekutif Pusat (DEP), Dewan Eksekutif Wilayah (DEW), dan Dewan
Penasehat Organisasi (DPO). Hal ini dilakukan FULDFK untuk memfasilitiasi Pengurus
FULDFK dan LDFK agar bisa berbagi manfaat dan agar bisa saling memahami kondisi
di luar LDFK-nya, mengkontemplasikan ide, karena sudah menjadi keharusan setiap
muslim itu bersatu, berpegang teguh pada tali agama Allah dan menjadi nikmat yang
tak ternilai harganya bahwa setiap muslim itu bersaudara. Terikat dalam satu akidah,
visi, dan ranah keprofesian yang sama. Silaturahim inilah obat utama bagi segala
permasalahan yang ada. Agar bisa saling menumpu dan beramal jama’i.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi
jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali-Imran
: 103)

Manfaat FULDFK bagi LDFK se – Indonesia


Urgensi FULDFK berikutnya adalah sebagai wadah penyehatan dan standarisasi LDFK.
Dikarenakan banyaknya fakultas kedokteran yang baru terbentuk dan maka perlu
diperjuangkan adanya LDFK yang baru. Tentu sudah menjadi tugas FULDFK untuk
membantu dari proses pelahiran sampai pemapanannya. Selain itu ternyata bukan
hanya LDFK yang baru yang masih belum mapan, LDFK yang sudah lama berdiripun
ternyata masih banyak yang perlu terus digenjot untuk tetap masif bergerak.
LDFK sebagai sebuah lembaga dan organisasi haruslah mapan. Tidak hanya sekedar
memiliki struktur dan program kerja. LDFK haruslah mempunyai arah gerak dan standar
kerja yang hanif. Sebab LDFK mapan akan memungkinkan kegiatan kaderisasi,
pembinaan, syiar, finansial mandiri, administrasi dan kesemuanya berlangsung dengan
baik, yang berarti dakwah islam di Fakultas Kedokteran akan lebih efektif dan lebih
efisien. Sehingga lebih banyak mahasiswa maupun lingkungan kampus yang terpapar
dengan dakwah islam dengan kualitas penyampaian dan muatan materi yang lebih
baik. Melalui hal ini amat diharapkan terlahir lulusan fakultas kedokteran yang
menyadari kemuliaan agamanya dan mengembanya sebagai ruh dalam menjalankan
profesinya.
Selain itu, masyarakat kampus selain mahasiswa, baik Dosen dan Karyawan, bahkan
jajaran Dekan danRektorat, juga merupakan objek dakwah kita, sebab merekalah para
pendidik calon-calon dokter yang juga pemegang kebijakan kampus. Jalinan hubungan
yang baik dengan mereka, sudah merupakan bentuk dakwah, berikutnya libatkanlah
mereka dalam setiap kegiatan LDFK, paparkan program kerja kita, jadilah organisasi
yang transparan dan akuntabel, serta profesional. Dukungan mereka amat besar
dampaknya bagi sehatnya sebuah LDFK. Hubungan baik ini juga menjadi warisan bagi
penerus-penerus kita, juga agar kebijakan kampus dan pola perkuliahan tidak
berbenturan dengan nilai dan syariat Islam. Ini adalah cita-cita besar dan amat mulia
yang tentu diperlukan keseriusan dan usaha yang besar dari setiap LDFK di Indonesia
untuk mewujudkannya. InsyaAllah hal ini bisa terwujud dengan baiknya koordinasi
FULDFK-LDFK. Profesionalisme dalam dakwah ini sesuai dengan firman Allah SWT

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-
orang yang beruntung.” (QS. Ali-Imran :104)

FULDFK sebagai sebuah wadah bagi LDFK-LDFK di Indonesia, juga amat berperan
meningkatkan Bargain atau nilai tawar. Nilai tawar di sini maksudnya adalah jika ada
suatu isu yang perlu ditanggapi terkait kebijakan publik dan isu yang muncul di
masyarakat, maka FULDFK sebagai persatuan seluruh LDFK di Indonesia, memiliki
bargain yang lebih kuat dalam memberi tanggapan maupun tuntutan, dibandingkan
hanya 1 LDFK saja yang memberi tanggapan atau pernyataan atas suatu isu. Contoh
isue yang pernah masuk dalam kajian FULDFK adalah pelarangan jilbab di OK,
pelarangan foto ijazah dengan menggunakan jilbab, advokasi pendirian LDFK, isu
tentang tembakau, dan masih banyak lagi. Persatuan LDFK dengan wadah LDFK itu
menjadi suatu hal yang sangat penting sebagai bargain kita di tingkat nasional. Semoga
kita termasuk orang-orang dengan perkataan yang terbaik, sebagaiamana difirmankan
oleh Allah SWT :

Sejarah terbentuknya FULDFK salah satunya dilatarbelakangi oleh sistem pendidikan


kedokteran yang sayangnya sebagianya berseberangan dengan nilai-nilai Islam.
Contohnya; dilarangnya penggunaan jilbab di ruang operasi (OK: Operatie Kamer).
Selain itu juga masifnya gerakan dakwah dari umat beragama lain dan kesibukan dunia
kedokteran yang menjadikan orang-orang yang bergelut di dalamnya menjadi
teralienasi dari nilai Islam, yang seharusnya menjadi nilai tertinggi dan ruh utama dalam
segala aktifitas profesi mereka. Berangkat dari kepedulian inilah FULDFK berdiri.
Kita sadari betul bahwa keberadaan LDFK amat penting. Tentu saja masing-masing
LDFK sudah memiliki strateginya sendiri-sendiri berdasarkan lingkungan kampus yang
jadi medan dakwah mereka. FULDFK hadir untuk proyek visi yang lebih luas dari itu.
FULDFK memiliki jargon: “Berukhuwah Menjawab Tantangan”. Dari sini FULDFK
mengajak seluruh LDFK di Indonesia untuk bergabung dalam satu barisan dakwah
profesi kedokteran, untuk meng-counter segala tantangan dan isu yang muncul yang
berseberangan dengan nilai keislaman terutama dalam lingkup dunia profesi
kedokteran.
Permasalahan Tembakau, Jilbab, Rokok Herbal, KB (Keluarga Berencana), Kebijakan
terkait penanganan HIV, ATM kondom, tidak bisa kita diamkan begitu saja, atau kita
serahkan sepenuhnya ke masing-masing LDFK untuk menyuarakan di kampus masing-
masing. Kita perlu suatu Forum Bersama. Agar arah gerak kita seiring, agar masyarakat
tercerahkan, dan agar seluruh LDFK aware dan bersepadu dalam satu komitmen, juga
agar bargaining position kita kuat dan menggema di ranah nasional. Konkritnya,
FULDFK pernah menjalin kerja sama dengan ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa
Kedokteran Indonesia) saat hari Anti Tembakau Nasional, saat itu KKIA (Kajian
Kedokteran Islam dan Advokasi) dibagi menjadi 2 divisi: KKI dan Kajian Strategis dan
Advokasi. Divisi Advokasi yang diketuai dr. Sitti Fatmah Rumalean, berandil besar
dalam proyek ini. Alhamdulillah kita bisa memberikan pernyataan sikap kita di level
nasional terkait kebijakan tembakau. FULDFK sebagai sebuah Lembaga bertaraf
Nasional yang mempunyai ruh dakwah profesi kedokteran, harus sadar
mengedepankan betul bahwa pernyataan sikap yang kita berikan dan program-program
kerja yang kita usung, bersih dari kepentingan politik manapun, dan murni berangkat
dari pandangan dan pertimbangan seorang dokter muslim, yang muda, taqwa, dan
cendekia. Insya Allah.

Hari ini atas keberkahan dari Allah, terutama sejak Kepengurusan dr. Lettu. Abdul
Ghafur, FULDFK menjalin kerja sama dengan FIMA (Federation of Islamic Medical
Association) dan WAMY (World Assembly of Moslem Youth) serta melibatkan IIMA
(Indonesia Islamic Medical Association) yang saat itu Prof. dr. Salamun Sastra, Sp. M
menjabat sebagai Sekjendnya. Konkritnya kala itu Kepengurusan FULDFK beserta
IIMA menyelenggarakan FIMA Camp di Bogor, Indonesia, program ini diketuai oleh dr.
Ali Reza. Alhamdulillah jalinan silaturahim dengan FIMA terus terjalin, baik di
kepengurusan dr. Ali Reza (selaku Ketua Umum berikutnya), dr. M. Anang Eko
Fachruddin, dr. Radietya Alvarabie, dr. Nesta Enggra, sampai sekarang. Saat ini
FULDFK adalah student chapter resmi dari IIMA. Inilah gerbang kesempatan FULDFK
menjalin kerja sama dan silaturahim dengan saudara-saudara kita dokter muslim dari
segenap penjuru dunia. Saling berkontemplasi, menguatkan, dan menyadarkan bahwa
perjuangan dakwah Islam pada profesi kedokteran ini juga sedang terjadi di belahan
dunia lain.
Selain dengan FIMA, FULDFK juga menjalin kerja sama dengan BSMI (Bulan Sabit
Merah Indonesia) yang saat itu diketuai oleh dr. Basuki Supartono, Sp. OT, MER-C
(Medical Emergency Rescue Committee) saat itu sebagai Ketua Presidiumnya adalah
dr. Jose Rizal Jurnalis, Sp. OT. FULDFK juga berandil besar dalam pembentukan dan
pembangunan Rumah Sakit Pusat Kanker Indonesia- Malaysia, melalui koordinasi
dengan Ustadz. Salim A. Fillah, dr. Radietya Alvarabie, dan Yasjudan Rastrama, S.Ked.
FULDFK juga menjajaki kerjasama dengan saudara-saudara kita dari TNI dengan
menyusun buku tentang ‘Penanganan HIV dari sudut pandang Islam sebagai pengokoh
Pertahanan Negara’, bersama dr. Kol. Flora Eka Sari, Sp. P, dan dr. Radietya
Alvarabie.

Sistem Kaderisasi FULDFK


Sebagai sebuah organisasi FULDFK tentunya memiliki sistem kaderisasi. Kaderisasi di
sini berlaku baik bagi pengurus di tingkat wilayah, maupun di tingkat pusat (nasional).
Selain itu kaderisasi di sini juga membahas tentang upaya pembentukkan dan
pengembangan setiap LDFK di Indonesia. Di kepengurusan dr. M. Anang Eko
Fachruddin di-launching lah sebuah pilot project yakni MMLC (Moslem Managerial and
Leadership Camp), sebagai upaya kaderisasi dan pelatihan kepemimpinan bagi
pengurus FULDFK yang di laksanakan di FK UNJANI, Cimahi.
Bersamaan dengan MMLC perdana inilah dilaksanakan Pra MUNAS FULDFK di FK
UNJANI. Dalam Pra MUNAS ini di bahas dan dirumuskan beberapa keputusan yang
akan diajukan pada MUNAS FULDFK tahun 2010 di UNMUL, Samarinda. Poin-poin
utamanya di antaranya:
1. FULDFK harus memiliki sarana pelatihan bagi pengurusnya dalam upaya pemasifan
kaderisasi. Konkritnya melalui MMLC
2. FULDFK harus memiliki Badan Hukum, dalam rangka bargaining position FULDFK di
ranah nasional
3. Rentang kepengurusan FULDFK yang awalnya Februari ke Februari akan
disesuaikan dengan Kalender Pemerintah, yakni November ke November
4. Melakukan Upaya Pendataan dan Pembentukkan Forum Alumni
5. Membentuk standar tata kerja seluruh Tender dan Program Kerja Nasional
Atas dasar 5 hal inilah, kepengurusan FULDFK berikutnya, yakni di masa
Kepemimpinan dr. Radietya Alvarabie, menjabat selama 1 tahun 9 bulan, terkait
beberapa targetan FULDFK yang ingin dicapai. Beberapa perbedaan besar yang akan
berpengaruh terhadap langkah FULDFK ke depan, di antaranya:
1. Kalender kerja FULDFK berubah menjadi November ke November
2. Terbentuknya FULDFK yang berbadan hukum
3. Tersusunnya Standar Tata Kerja bagi setiap Tender dan Program Kerja Nasional
4. MMLC terdiri dari 2 tahapan, MMLC Wilayah yang dilaksanakan di DEW untuk
membina para calon pengurus DEW dan MMLC Nasional, guna menempa bakal calon
pengurus DEP
5. Lahirnya Departemen Kemuslimahan, terlepas dari DPL (Departemen
Pemberdayaan LDFK)
6. DPL berubah menjadi Departemen P&K (Pemberdayaan LDFK dan Kaderisasi). Jadi
Kaderisasi yang dimaksud di sini adalah perorangan (tingkat wilayah dan nasional)
serta lembaga, yakni LDFK dalam bentuk pemberdayaan (baik pendirian maupun
pengembangan)
7. Departemen KKIA (Kajian Kedokteran Islam dan Advokasi) memiliki 2 Divisi, yakni
Divisi KKI dan Divisi Kajstrad (Kajian Strategis dan Advokasi)
8. Departemen HUMAS FULDFK menjadi 2 Divisi, yakni: Eksterna dan Interna, pada
Divisi Eksterna, di kepengurusan ini di susun Prosedur Tetap (Protap) tanggap bencana
yang di bawahi Divisi Eksterna HUMAS FULDFK.
9. Di susunnya materi Kemuslimahan Nasional dan dituangkan dalam 1 Program Kerja
Nasional baru yakni Semusnas (Seminar Kemuslimahan Nasional)
10. Memulainya penyusunan draft Forum Alumni serta RMDFK (Risalah Manajemen
Dakwah FK Nasional) sebagai panduan dakwah profesi kedokteran di tingkat LDFK,
Wilayah, dan Nasional.

Cascade Kaderisasi Pengurus FULDFK

Kekhususan Dakwah Kampus Kedokteran


Kekhasan dakwah kampus kedokteran terletak dari variasinya yang sangat beragam,
yang satu-padu membentuk konsep keislaman yang utuh. Dakwah di kampus
kedokteran bisa mengangkat berbagai aspek dalam mendalami suatu dimensi
keislaman. Dimensi-dimensi itu diantaranya :
1. Aqidah: Meningkatkan pemahaman tauhid dan keimanan melalui ilmu kedokteran
a. Mengemukakan berbagai isyarat kedokteran dan kesehatan dalam Al-quran/ Hadits
b. Mengungkap hikmah setiap ibadah, serta perintah dan larangan Allah dari segi medis
c. Mencari ibrah dari peristiwa di bidang medis yang terjadi dalam keseharian
2. Akhlaq: Menyempurnakan etika, sikap, dan perilaku dokter muslim
a. Menjadi shalih secara pribadi dan social
b. Menerapkan etika kedokteran islami
c. Memiliki etos kerja dokter muslim
3. Fiqh: Aplikasi syari’ah dalam praktik kedokteran
a. Mengkaji penerapan syariat islam dalam dunia kedokteran]
b. Melakukan pengkajian hukum islam yang masih kontroversi dalam bidang
kedokteran kontemporer
4. Shirah: Refleksi sejarah perkembangan kedokteran islam
a. Mengkaji praktek kedokteran pada masa nabi&sahabat
b. Membahas profil para dokter muslim pada masa kejayaan islam untuk
menumbuhkan motivasi
c. Mencari solusi peningkatan mutu berkesinambungan dunia kedokteran dengan
bercermin pada shirah
5. Kafa’ah: Meningkatkan kualitas kompetensi dokter muslim
a. Meningkatkan kompetensi non-medis (komunikator, pemimpin masyarakat, manajer,
pembuat keputusan, pengayom, berjiwa peneliti)
b. Meningkatkan penguasan kompetensi dalam hal keilmuan&tindakan di bidang medis
c. Menyuplai motivasi untuk berprestasi dalam bidang kedokteran/kesehatan

Pengembangan Dakwah Berbasis Kedokteran


Dalam perjalanannya, masing-masing dimensi ini pun dapat terus dikembangkan baik
itu melalui kajian ilmiah, studi literatur, maupun penelitian. Desain penelitian yang dipilih
pun berdasarkan paradigma dan jenis dimensi apa yang sedang dikembangkan. Dalam
buku Research Design sebagai Worldview terdapat beberapa paradigma yang
melandasi cara berpikir dari seorang individu. Paradigma ini biasanya akan
menentukan kecenderungan topik, dimensi, dan masalah apa yang akan diteliti, dan
desain penelitian seperti apa yang akan dipilihnya. Tidak semua masalah penelitian
menarik bagi setiap orang. Dan paradigma adalah faktor yang akhirnya seringkali
memberikan influence dan guidance dalam penentuan hal ini. Dalam Research Design,
Cresswell membahas 4 paradigma utama yang biasanya digunakan dan dimiliki oleh
berbagai peneliti, yaitu post positivis, naturalis-konstruktivis, advokasi-partisipatori, dan
pragmatis.
Paradigma post positivis seringkali dikenal sebagai dasar dari munculnya metodologi
ilmiah. Peneliti yang menggunakan paradigma ini cenderung untuk memandang ilmu
pengetahuan sebagai hal yang eksak dan harus dapat diukur (bersifat kuantitatif).
Tujuan utama dari penelitian yang dilakukan dengan menggunakan paradigma ini
adalah pembuktian teori atau hipotesis, yang biasanya hampir selalu menggunakan
statistik sebagai senjata utama. Berbeda halnya dengan paradigma kedua, yakni
naturalis/konstruktivis, yang memandang dunia dan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu
yang apa adanya. Para peneliti konstruktivis selalu berusaha menangkap makna dari
setiap peristiwa yang terjadi, dan tidak bergantung pada frekuensi munculnya masalah
tersebut. Oleh karena itu, desain penelitian yang biasanya dilakukan oleh para peneliti
konstruktivis adalah kualitatif.
Paradigma yang ketiga dan keempat, biasanya memiliki kesamaan dalam hal desain
penelitian yang dipilih, yakni mixed method, metode gabungan antara kualitatif dan
kuantitatif. Desain ini dipilih karena masalah yang menarik bagi mereka hanya dapat
diselesaikan melalui penelitian yang lebih mendalam tentang masalah tersebut. Data
kualitatif tidak cukup kuat, dan data kuantitatif terlalu kering. Para peneliti partisipatori
menginginkan keterlibatan banyak orang dalam menyelesaikan masalah , sekaligus
berupaya melakukan advokasi dengan menggunakan hasil penelitiannya. Sedangkan
peneliti pragmatis memiliki mindset bahwa kondisi saat ini dibentuk dari tindakan-
tindakan yang dilakukan masa lalu, bukan sekedar teori. Oleh karena itu, setiap
aktivitas ilmiah, termasuk penelitian, harus diarahkan untuk mencari solusi dan
menghasilkan rekomendasi tindakan konkret yang harus dilakukan untuk
menyelesaikan masalah yang ada.
Dalam upaya pengembangan dan revitalisasi kedokteran islami juga memerlukan
kolaborasi yang seimbang antara para penganut dari keempat paradigma yang ada.
Paradigma ini dapat berfungsi untuk mengembangkan kelima dimensi yang telah
disebutkan sebelumnya yaitu akidah, akhlak, fiqih, shirah, dan kafaah. Pengembangan
kelima aspek tersebut dapat digarap menggunakan paradigma yang berbeda-beda,
yang sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Perkara-perkara aqidah dan sebagian kafa’ah dapat digali oleh peneliti yang memiliki
paradigma post positivis. Kita membutuhkan banyak penelitian kuantitatif untuk
memverifikasi “hipotesis” yang bertebaran di hadits dan quran mengenai metode dan
praktek pengobatan yang direkomendasikan dalam islam. Meskipun istilah “hipotesis”
sebetulnya kurang tepat, karena yang tercantum dalam quran dan hadits sejatinya
sudah pasti benarnya. Apalagi quran, kebenarannya absolut. Jadi, mungkin istilah yang
lebih tepat adalah bukan membuktikan hipotesis, tapi lebih kepada melakukan upaya
justifikasi duniawi terhadap statement dari Allah dan Rasul.
Kedua, masalah shirah. Kita membutuhkan peneliti yang memiliki paradigma naturalis-
konstruktivis untuk dapat melakukan penelitian kualitatif yang mengekplorasi dan
menggali pemahaman mengenai bagaimana praktek-praktek kedokteran di masa
kejayaan islam dulu, agar dapat kita terapkan ulang di masa sekarang. Studi dokumen,
strategi penelitian etnografi, indepth interview dengan berbagai narasumber perlu
dilakukan untuk membentuk konstruksi yang utuh mengenai gambaran para dokter
muslim jagoan di masa keemasan kedokteran islam. Jika prinsip-prinsip utamanya
masih relevan, maka tentu sangat salah jika kita tidak meneladani dan menerapkan
prinsip-prinsip tersebut pada masa kini.
Ketiga, perkara akhlak juga merupakan perkara yang butuh pengembangan melalui
peneliti yang memiliki paradigma yang berbeda lagi. Peneliti bermindset partisipatoris
dibutuhkan untuk konteks ini, karena yang dikaji adalah soal perilaku. Untuk
mengembangkan kajian mengenai akhlak dalam kedokteran Islam, peneliti
berparadigma partisipatoris akan mengembangkan berbagai penelitian dengan desain
mixed method. Hasil dari penelitian ini harus mampu menggali secara mendalam akhlak
seperti apa yang baik untuk diterapkan dalam praktik kedokteran islam, sekaligus
mendedahkan bukti-bukti bahwa implementasi akhlak yang demikian akan memberikan
manfaat. Pola seperti ini sangat penting untuk melakukan advokasi dan promosi sosial
kepada para stakeholder praktik Kedokteran Islam. Bukan hanya dokter, akhlak atau
perilaku para petugas medis, perawat, manajemen Rumah Sakit, bahkan pasien
sekalipun perlu dimodifikasi agar praktik kedokteran yang benar-benar 100% sesuai
syariah dapat berjalan.
Terakhir, masalah fiqih dan sebagian perkara kafa’ah membutuhkan intervensi dari para
peneliti berparadigma pragmatis. Para peneliti ini berorientasi kepada tindakan, solusi,
langkah konkret untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Perdebatan dalam standar
kompetensi praktisi kedokteran islam serta halal-haram suatu praktik kedokteran perlu
diselesaikan secara to the point, melalui penelitian mixed method dengan berbagai
strategi yang ada. Strategi transformatif dengan penggunaan theoretical lens yang
sesuai bisa menjadi pilihan, karena kerangka ushul fiqih tetap harus digunakan. Atau
ketika kita menyikapi perbedaan yang ada, strategi ala triangulasi konkuren harus
digunakan untuk melakukan kroscek antara berbagai sumber yang ada, mulai dari para
ahli fiqih hingga dokumen-dokumen yang relevan (hadits, asbabul wurud, quran, dan
lain sebagainya) sehingga didapatkan hukum mana yang lebih kuat dan lebih sesuai
untuk diterapkan.

Anda mungkin juga menyukai