100% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
145 tayangan96 halaman

3D Analyze-Digital Elevation Model Digit PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 96

LAPORAN PRAKTIKUM

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Dosen Pengampu : Drs.Rudi Hartono, M.Si

Acara IV

3D Analyze dan Digital Elevation Model Titik Tinggi Kota Malang

Disusun Oleh :

Nama Mahasiswa : Muhammad Raad Assidiqy

NIM : 130721616013

Offering : L/PGEO 2013

Asisten Praktikum : 1. Dedi Kurniawan

2. Nabilah Faasicha Mardlotillah

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GEOGRAFI

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

APRIL 2016
ACARA IV

3D Analyze dan Digital Elevation Model Titik Tinggi Kota Malang

I. TUJUAN
1. Mahasiswa dapat memahami fungsi 3D analysis dan Spatial Analyst Tools yang
berbasis interpolation dan berbasis surface menggunakan ArcMap 10.1.
2. Mahasiswa dapat melakukan fungsi spatial interpolation termasuk didalamnya
adalah Kriging, IDW, Natural Neighbor, Spline, dan Trend pada titik tinggi kota
malang menggunakan ArcMap 10.1.
3. Mahasiswa dapat melakukan fungsi spatial surface termasuk didalamnya Slope,
Aspect, Hillshade, dan Viewshed pada titik tinggi kota malang menggunakan
ArcMap 10.1.
4. Mahasiswa dapat melakukan fungsi Data Management termasuk didalamnya
pembuatan data TIN menggunakan data titik tinggi kota malang melalui fungsi
dalam ArcMap 10.1.
5. Mahasiswa dapat menghasilkan grafik profil (profile graphs) dan line of sight pada
titik tinggi kota malang dan data TIN menggunakan ArcMap 10.1.
6. Mahasiswa mampu melakukan dan memahami fungsi kenampakan 3D pada data
TIN hasil management data titik tinggi kota malang menggunakan ArcScene 10.1.
II. ALAT DAN BAHAN
A. ALAT
1) Laptop HP Pavilion G4 AMD A4-3305M APU with Radeon HD Graphics.
2) ArcGIS ArcMap 10.1
3) ArcGIS ArcScene 10.1
4) Microsoft Word 2016
B. BAHAN
1) Titik Tinggi Kota Malang (berdasarkan turunan digitasi citra ataupun data
lainnya yang mendukung elevasi)
2) Titik Pengamatan Kota Malang
3) Data TIN
III. DASAR TEORI
Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang
selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang
digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff,
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 2
1989). BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir dari
perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang didesain
untuk memperoleh, menyimpan,memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan
menampilkan semua bentuk informasi yang berefernsi geografi. Sedangkan menurut
ESRI, SIG Suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data
geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk
menangkap, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan, meng analisis, dan menampilkan data dalam suatu informasi
berbasis geografis (ESRI, 1990).
SIG merupakan perangkat yang selalu diasosiasikan dengan sistem yang berbasis
komputer, meskipun pada praktiknya SIG akan dikerjakan secara manual (seperti halnya
proses digitasi maupun databases), SIG yang berbasis komputer akan sangat membantu
ketika data geografis merupakan data yang besar (dalam jumlah dan ukuran) dan terdiri
dari banyak tema yang saling berkaitan (GIS konsorsium Aceh Nias, 2007:7).
Sedangkan SIG berbasis manual cenderung digunakan sebagai input fungsi koreksi
terhadap output yang dihasilkan oleh SIG berbasi computer.
SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan dan menggabungkan
berbagai jenis dan kualitas data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya,
menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG
merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan
lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Terdapat dua
bentuk komponen data spasial yang penting kaitannya dengan SIG, yaitu:
Informasi lokasi atau informasi spasial. Contoh yang umum adalah informasi lintang
dan bujur, termasuk diantaranya informasi datum dan proyeksi. Contoh lain dari
informasi spasial yang bisa digunakan untuk mengidentifikasikan lokasi misalnya adalah
Kode Pos.
Informasi deskriptif (atribut) atau informasi non spasial. Suatu lokalitas bisa
mempunyai beberapa atribut atau properti yang berkaitan dengannya; contohnya jenis
vegetasi, populasi, pendapatan per tahun (Purwantara, 2010:5). Sehingga aplikasi SIG
dimungkinkan untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend,
pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi
lainnya.
Salah satu perangkat lunak yang digunakan untuk membantu dalam pengolahan
data spasial dalam sistem informasi geografis adalah ArcGIS. ArcGIS adalah salah satu
software yang dikembangkan oleh ESRI (Environment Science & Research Institute)

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 3


yang merupakan kompilasi fungsi-fungsi dari berbagai macam software GIS yang
berbeda seperti GIS desktop, server, dan GIS berbasis web. Software ini mulai dirilis
oleh ESRI pada tahun 2000. Produk utama dari ArcGIS adalah ArcGIS desktop, dimana
ArcGIS desktop merupakan software GIS professional yang komperhensif dan
dikelompokkan atas tiga komponen yaitu: ArcView (komponen yang fokus ke
penggunaan data yang komperhensif, pemetaan dan alaisis), ArcEditor (lebih fokus ke
arah editing data spasial) dan ArcInfo (lebih lengkap dengan menyajikan fungsi-fungsi
GIS termasuk untuk keperluan analisis geoprosesing).
ArcMap merupakan aplikasi utama yang digunakan dalan ArcGIS yang
digunakan untuk mengolah (membuat (create), menampilkan (viewing), memilih
(query), editing, composing dan publishing) peta. ArcMap merupakan aplikasi pembuat
peta yang komperhensif di dalam sistem ArcGIS desktop. Dalam operasinya, ArcMap
akan menawarkan dua tipe map-view: view data geografis (spasial) dan view halaman
layout. Pada tipe view yang pertama, ArcMap akan memfasilitasi para penggunanya
untuk bekerja dengan layers geografis untuk memberi simbol, dianalisis, dikompilasi ke
dalam dataset SIG. Tipe view ini merupakan window dimana dataset (layers)
dimunculkan di dalam batas-batas spasial yang ditentukan.
Sementara itu, pada tipe view kedua, ArcMap akan menyediakan fasilitas untuk
bekerja dengan halaman-halaman peta yang berisi elemen-elemen peta (seperti halnya
simbol skala, legenda, simbol arah utara, dan peta referensi) yang juga dimunculkan di
dalam tipe view data geografis. Hanya saja, pada tipe view yang terakhir ini, ArcMap
digunakan untuk menyusun peta dalam wujud halaman-halaman yang siap dicetak atau
dipublikasikan.
Peta merupakan catatan hasil observasi dan pengukuran informasi keruangan
keadaan muka bumi yang digambarkan dalam peta dapat digunakan untuk berbagai
keperluan, dan data dalam peta hanya dapat diungkap kembali secara visual. Data yang
dimasukkan dalam peta dapat berupa titik, garis atau bidang/polygon dan pada umumnya
diikat dan ditentukan oleh letak secara sistem koordinat, dalam beberapa jenis peta
ditambah dengan ikatan ketinggian.
Analisis keruangan dapat dilakukan dengan cara tumpang susun/overlay
beberapa peta, untuk keperluan tersebut harus dibuat beberapa peta transparan dengan
skala yang sama, dengan cara ini dapat diperoleh peta gabungan yang bersifat padu
(integrated). Setiap data dan informasi pada sistem overlay terikat oleh lokasi masing-
masing, sehingga keterpaduan analisis juga terikat oleh lokasi tersebut. Pelaksanaan
overlay dengan cara manual memerlukan waktu yang lama dan sulit, sehingga ada

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 4


kesalahan sukar untuk dikontrol. Keterbatasan peta baik dalam pembuatan, penyimpanan
maupun pemanfaatan serta pembaharuan peta, menyebabkan manusia mencari upaya
agar data yang diperlukan dapat dengan mudah didapat dan gambaran keruangannya
dapat diperoleh dengan jelas. Kemajuan teknologi dalam memadukan penimbunan
(storage) dan pengayaan data keruangan tidak dapat memenuhi keinginan para ahli/pakar
dalam berbagai bidang. Perkembangan komputer dalam bidang digital dapat memadukan
bukan saja penimbunan, dan pengayaan data, tapi juga manipulasinya. Pemanfaatan
digital memungkinkan dilakukannya penanganan data dalam jumlah besar, penayangan
dan manipulasinya sehingga digunakan untuk perencanaan dan pengambilan keputusan.
Digital Elevation Model (DEM) adalah data digital yang terdiri atas beberapa
bahan seperti data lapangan, termasuk didalamnya adalah ketinggian yang mana
mencakup interval-interval tertentu dalam suatu rentangan tertentu. DEM secara meluas
digunakan untuk berbagai tujuan kaitannya dengan aplikasi Sistem Informasi Geografi
seperti penelitian tertentu, komersial, industry, bahkan untuk militer seperti pada radar.
Sedangkan pada realitanya, geografi menempatkan DEM sebagai bahan pendamping
analisis geomorfologi, permodelan iklim dan hidrologi, hingga analisis bentangan lahan.
Kesemuanya menitik beratkan pada elevasi yang dimiliki oleh data DEM dan
selanjutnya dilakukan analisis yang jauh lebih mendalam, kenapa data tersebut
berbentuk seperti itu dan dikaitkan dengan bidang ilmu atau kajian lainnya yang saling
terkait. A digital elevation model (DEM) is a digital file consisting of terrain elevations
for ground positions at regularly spaced horizontal intervals (Murayama, 2011:3).
Pemanfaatan data DEM juga terkait dengan kebutuhan mengenai suatu
kelembagaan tertentu. Biasanya pemanfaatan data DEM mencakup kedalam bidang ilmu
atau kajian klimatik, air, kehidupan alam liar, geologi, hidrologi, teknologi informasi
geografi, geomorfologi dan analisis dalam dunia pendidikan. Sehingga secara personal
maupun institusional, penggunaan data DEM sangat luas, termasuk dalam kajian ilmu
murni maupun kajian ilmu pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut, Sulebak
menyebutkan “In the academe or a research institution, DEM is used primarily as
an input or as a data source itself in studies along the fields of climate impact
studies, water & wildlife management, geological & hydrological modeling,
geographic information technology, geomorphology & landscape analysis, mapping
purposes, & educational programs (Sulebak, 2000).
3D memiliki beberapa terminology dalam kaitannya permodelan 3 dimensi suatu
bahan tertentu, yaitu DEM (Digital Elevation Models), DTM (Digital Terrain Models),
DSM (Digital Surface Models), dan DHM (Digital Height Models). Perbedaan diantara

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 5


keempat terminology dalam analisis 3D terletak kepada fungsinya. DTM dan DSM
termasuk kedalam satu kelas yang sama dalam analisis DEM. DEM atau disebut sebagai
Digital Elevation Model merupakan terminology awal dalam penyebutan istilah umum
mengenai grid berdasarkan suatu ketinggian tertentu. Kedua bentuk produknya, yaitu
DTM dan DSM memiliki terminology yang berbeda satu sama lain. DTM atau Digital
Terrain Model merupakan analisis permodel ketinggian tanah. Sedangkan DSM atau
Digital Surface Model merupakan analisis permodelan mengenai ketinggian tanah
lengkap dengan penutup lahannya. Sejalan dengan hal tersebut, DHM berjalan
beriringan dengan keduanya sebagai analisis permodelan penutup lahan pada suatu
wilayah.
DEM apabila ditinjau melalui sumbernya berasal berdasarkan skala tertentu,
yaitu global, regional, dan local. Pada skala global (dengan nama GTOPO30 dan SRTM
30) memiliki kekuatan resolusi sebesar 900m, sehingga sangat memungkinkan
melakukan analisis permodelan baik DTM maupun DSM dalam skala yang cukup luas
dan dengan tingkat detail lebih rendah. Pada skala regional atau kawasan (dengan nama
SRTM 3 arc, SRTM arc 1, dan ASTER DEM) memiki kekuatan resolusi sebesar masing
masing 90m, 30m, dan 30m. sedangkan untuk skala local (dengan nama
PHOTOGRAMMETRY dan LASER DEM) biasanya dihasilkan melalui kerja lapangan
oleh deskriptornya sehingga tingkat detail data juga sangat tinggi.
Secara spesifik, data GTOPO30 dan SRTM 30 diciptakan berdasarkan
homogennya peta topografi. Sehingga kualitas yang dihasilkan juga sangat bervariasi
dan tidak konsekuen. Keduanya diambil melalui proses yang disebut sebagai radar
interferometry, yang mana merupakan sumber baru yang dapat memangkas biaya jauh
lebih tinggi, sehingga biasanya data ini diberikan secara gratis. Lain halnya dengan data
SRTM 3 arc, SRTM arc 1, dan ASTER DEM yang mana memiliki resolusi yang lebih
baik yaitu 90m dan 30m, diperoleh dari radar interferometry yang dikaitkan dengan
pesawat ulang alik. Karena resolusinya yang cukup baik, yaitu 90m dan 30m, maka
khusus untuk 90m dapat diperoleh secara gratis, sedangkan untuk resolusi 30m
dikenakan biaya sebesar setengah dollar setiap 1km persegi dari data yang dibutuhkan.
Untuk data ketiga, yaitu PHOTOGRAMMETRY dan LASER DEM dengan resolusi
super tinggi, yaitu 1m maka merupakan data DEM yang sangat mahal untuk diperoleh.
Hal ini dikarenakan selain resolusinya yang sangat baik, baik ground maupun objeknya
diambil secara bersamaan yang akan menambah detail data yang dihasilkan. Produknya
pun dapat digunakan sebagai analisis yang jauh lebih luas dan antar bidang seperti
pemetaan bencana. Maka dapat dikalkulasikan sebesar 300 dollar setiap 1km perseginya.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 6


IV. CARA KERJA

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 7


V. LANGKAH KERJA
a) Langkah Awal Persiapan
1. Pastikan laptop atau computer yang akan digunakan telah terinstall
dengan ArcGIS for Desktop versi 10.1 atau versi yang jauh lebih baru,
termasuk didalamnya adalah ArcMap, ArcCatalog, ArcScene, ArcGlobe,
dan ArcGIS Administrator.
2. Pastikan telah memiliki data titik tinggi kota malang yang akan
digunakan sebagai data dasar analisis.
3. Buka ArcGIS ArcMap 10.1 untuk melakukan fungsi spasial analisis, Start
> ArcGIS > ArcMap 10.1.
4. Sambungkan system folder Geodatabase dengan folder yang hendak
digunakan sebagai home folder tempat menyimpan atau mengambil data,
semisal folder://D (Klik kanan pada folder yang diinginkan > new>
folder, atau bisa menggunakan cara connect to folder> pilih folder yang
diinginkan). Sambungkan dengan keempat data yang diperlukan dalam
proses spasial analisis Melakukan adding data sebagai bahan analisis,
yaitu titik tinggi kota malang dengan cara Klik kiri pada tool Add
Data>tambahkan data diatas dengan cara memilih datanya>klik kiri add.
5. Setelah data yang dibutuhkan ditambahkan dalam layer ArcMap 10.1,
langkah selanjutnya adalah melakukan penyesuaian system koordinat
yang digunakan agar dalam penentuan koordinat dan grid layout tidak
terjadi kesalahan. Caranya adalah klik kanan pada wujud layer yang
sedang terbuka (upayakan semua layer aktif)>klik kiri atau pilih pada
menu data frame properties>setelah muncul windows data frame
properties, masuk pada sub bagian General>ganti setting pada display
yang awal mulanya adalah decimal degrees menjadi meters>lalu klik
pada coordinate system, dan ganti menjadi WGS1984>klik pada ok.
6. Layer sudah siap dilakukan proses analisis.
7. Lakukan save.
b) Raster Interpolation
1. Pada dasarnya untuk melakukan analisis spasial pada ArcGIS terdapat
dua fungsi utama, yaitu dapat melalui 3D analyst tools dan spatial analyst
tools khususnya bagian raster interpolation atupun interpolation. Langkah
pertama karena system ArcGIS terkadang menggunakan crack licensed
maka extension belum aktif, maka kita perlu mengaktifkan seluruh

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 8


extension untuk dapat melakukan spatial analysis. Klik kiri pada
customize>pilih extension>centang keseluruhan menu extension>close.
2. Setelah extension diaktifkan secara menyeluruh, system ArcGIS akan
mendeteksi salah satu dari spatial analyst merupakan suatu bentuk
kesalahan system akibat licensed yang kurang benar. Maka pertama-tama
untuk mengatisipasi hal tersebut, klik kiri pada arctoolbox>pilih 3D
analyst tools>klik kiri dua kali>pilih raster interpolation>klik kiri dua
kali>pilih Kriging.
3. Setelah kotak dialog keluhan ESRI muncul akibat fake licensed, maka
pilih don’t send.
4. Buka kembali ArcMap dan ulangi langkah menambahkan data titik tinggi
kota malang.
5. Setelah data terbuka, kembali buka Arctoolbox. Hal yang berbeda dari
langkah sebelumnya adalah memilih spatial analyst tools, bukan 3D
analyst tools. Caranya klik kiri spatial analyst tools>klik kiri dua
kali>pilih interpolation>klik kiri dua kali>pilih kriging.
6. Setelah terbuka kotak dialog kriging, pada input point features masukkan
data titik tinggi kota malang. Caranya klik kiri input point features, pilih
titik tinggi kota malang. Selanjutnya ganti Z value field yang semula
didasarkan pada object ID menjadi Elevation.
7. Hal yang perlu dilakukan dan dicermati adalah tempat untuk data luaran
hasil kriging harus diatur mengarah ke folder connections D:// atau C://
secara global bukan ke folder spesifik, karena dapat mengakibatkan error
proses analisis spasial krigingnya.
8. Setelah mengatur tempat luaran hasil kriging, maka klik ok untuk
melanjutkan proses kriging.
9. Jangan lupa menamai hasil luaran dengan DEM_Kriging.
10. Setelah proses kriging selesai, lanjutkan kepada proses IDW, Natural
Neighbor, Spline, dan Trend dengan cara yang benar-benar sama dengan
cara mengerjakan DEM_Kriging.
11. Setelah kelimanya selesai, jalankan proses saving dokumen dengan
menamainya sebagai 3D Analis.
12. Untuk melihat nilai dari hasil luaran baik Kriging, IDW, Natural
Neighbor, Spline, dan Trend, maka dapat dilakukan cara sederhana yaitu,
klik kanan layer masing-masing DEMnya (sebagai contoh

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 9


DEM_Kriging)>pilih properties (atau dapat dilakukan klik dua kali saja
pada layer>pilih pada sub menu symbology>ganti pada bagian show:
yang awalnya menggunakan system klasifikasi, menjadi stretched. Catat
dan printscreen hasil nilai yang dimiliki masing masing layer DEM
tersebut.
13. Jalankan langkah melihat nilai tersebut kepada DEM_IDW,
DEM_Natural, DEM_Spline dan DEM_Trend.
14. Setelah proses Raster Interpolation selesai dan nilai sudah diketahui
semuanya lengkap dengan printscreennya, maka jalankan proses save.
c) Analisis Surface
1. Analisis surface pada dasarnya terdiri dari 4 proses, yaitu analisis slope,
analisis Aspect, analisis Hillshade, dan analisis Viewshed.
2. Untuk analisis slope, langkah pertama adalah membuka arctoolbox
dengan cara klik kiri arctoolbox>pilih spatial analyst tools>klik kiri dua
kali>pilih surface>klik kiri dua kali>pilih slope.
3. Setelah kotak dialog slope muncul, pada input raster masukkan data DEM
kriging yang sudah dibuat pada langkah raster interpolation sebelumnya.
4. Pada proses penyimpanan atur kepada mengarah ke folder connections
D:// atau C:// secara global bukan ke folder spesifik yang mana disatukan
dengan folder penyimpanan sebelumnya.
5. Proses slope tersebut dilakukan untuk tiga layer, yaitu Kriging, IDW, dan
Natural Neighbor. Untuk IDW maka menggunakan DEM_IDW,
sedangkan untuk Natural Neighbor maka menggunakan DEM_Natural.
6. Setelah ketiga proses analisis slope selesai, maka jalankan proses save.
7. Untuk analisis Aspect, langkah pertama adalah membuka arctoolbox
dengan cara klik kiri arctoolbox>pilih spatial analyst tools>klik kiri dua
kali>pilih surface>klik kiri dua kali>pilih Aspect.
8. Setelah kotak dialog Aspect muncul, pada input raster masukkan data
DEM kriging yang sudah dibuat pada langkah raster interpolation
sebelumnya.
9. Pada proses penyimpanan atur kepada mengarah ke folder connections
D:// atau C:// secara global bukan ke folder spesifik yang mana disatukan
dengan folder penyimpanan sebelumnya.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 10


10. Proses Aspect tersebut dilakukan untuk tiga layer, yaitu Kriging, IDW,
dan Natural Neighbor. Untuk IDW maka menggunakan DEM_IDW,
sedangkan untuk Natural Neighbor maka menggunakan DEM_Natural.
11. Setelah ketiga proses analisis Aspect selesai, maka jalankan proses save.
12. Untuk analisis Hillshade, langkah pertama adalah membuka arctoolbox
dengan cara klik kiri arctoolbox>pilih spatial analyst tools>klik kiri dua
kali>pilih surface>klik kiri dua kali>pilih Hillshade.
13. Setelah kotak dialog Hillshade muncul, pada input raster masukkan data
DEM kriging yang sudah dibuat pada langkah raster interpolation
sebelumnya.
14. Pada proses penyimpanan atur kepada mengarah ke folder connections
D:// atau C:// secara global bukan ke folder spesifik yang mana disatukan
dengan folder penyimpanan sebelumnya.
15. Proses Hillshade tersebut dilakukan untuk tiga layer, yaitu Kriging, IDW,
dan Natural Neighbor. Untuk IDW maka menggunakan DEM_IDW,
sedangkan untuk Natural Neighbor maka menggunakan DEM_Natural.
16. Setelah ketiga proses analisis Hillshade selesai, maka jalankan proses
save.
17. Khusus untuk analisis Viewshed, diperlukan pembuatan titik pandang
terlebih dahulu dengan cara membuat shapefile yang baru melalui input
fungsi catalog yang ada dalam ArcMap tanpa melalui ArcCatalog.
Pertama-tama klik catalog disebelah kiri layar ArcMap>pilih folder
dimana data global disimpan atau satukan>lalu klik kanan pada folder
tersebut>pilih new>pilih shapefile>klik kiri.
18. Setelah kotak dialog shapefile muncul, pada kolom name, berikan nama
titik_pengamatan, sedangkan pada typenya pilih pada point. Pengaturan
selanjutnya adalah input koordinat, maka disesuaikan dengan Projected
Coordinate System UTM 49S>lalu klik ok.
19. Setelah hasilnya pembuatan shapefile muncul, maka klik pada
editor>pilih start editing>klik kiri. Lalu klik kiri pada editor
kembali>pilih editing windows>pilih start editing>klik kiri.
20. Apabila sudah muncul start editing layer yang aktif, maka hanya centang
salah satu DEM murni (misal DEM Kriging) lalu lakukan creating
features di sembarang tempat yang ingin ditetapkan sebagai titik
pengamatan.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 11


21. Setelah selesai, klik pada editor>pilih save edit>klik kiri.
22. Langkah selanjutnya adalah analisis viewshed. Untuk analisis Viewshed,
langkah pertama adalah membuka arctoolbox dengan cara klik kiri
arctoolbox>pilih spatial analyst tools>klik kiri dua kali>pilih
surface>klik kiri dua kali>pilih viewshed.
23. Setelah dialog kotak Viewshed keluar, maka pilih pada input rasternya
dengan salah satu DEM yang jelas misal DEM Kriging dan untuk input
polylinenya dipilih titik_pengamatan yang sudah dibuat.
24. Untuk hasil luaran dapat disetting seperti penyimpanan-penyimpanan
langkah sebelumnya dan dinamai sebagai viewshed>lalu klik ok.
25. Setelah proses viewshed selesai maka akan terlihat jarak pandang Visible
dan not Visible.
26. Jalankan proses save.
d) Data Management
1. Untuk analisis Data Management, langkah pertama adalah membuka
arctoolbox dengan cara klik kiri arctoolbox>pilih 3D analyst tools>klik
kiri dua kali>pilih data management>klik kiri dua kali>pilih TIN>klik
kiri dua kali>pilih create TIN>klik kiri dua kali.
2. Setelah kotak dialog muncul, maka untuk input data pilih titik tinggi kota
malang.
3. Untuk coordinate system menggunakan projected coordinate system
WGS1984 UTM49S.
4. Sedangkan untuk output didimpan bersamaan dengan analisis-analisis 3D
sebelumnya, baik interpolation maupun surface dengan dinamai sebagai
TIN_kotamlg.
5. Setelah semua diatur, maka jalankan proses pembuatan data TIN>klik ok.
6. Apabila proses pembuatan TIN telah selesai, maka jalankan proses
saving.
e) Profile Graphs
1. Langkah selanjutnya setelah pembuatan Profile Graphs atau grafik profil
dari data TIN yang sudah dibuat pada analisis data management
sebelumnya.
2. Profile graphs memungkinkan interpreter melihat penampang melintang
dari kawasan kajian yang diteliti sehingga mengetahui profilnyan secara
utuh berdasarkan sampel.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 12


3. Langkah pertama adalah pengaktifan toolbar 3D analyst. Klik pada
customize>pilih toolbar>klik kiri>pilih 3D analyst>setelah keluar
toolbarnya atur dan tata secara rapi dibawah toolbar lainnya.
4. Setelah mengatur toolbar, maka aktifkan layer TIN saja, dan matikan
layer lainnya yang tidak penting. Klik kanan sub menu layer>pilih turn
off all layer>lalu aktifkan layer TIN saja.
5. Setelah itu klik interpolate line pada 3D analyst toolbar dan mulai
lakukan penetapan atau pengambilan garis penampang melintangnya.
Sebaiknya penetapan garis mewakili atau mencakup seluruh kalsifikasi
dalam data TIN sehingga diambil atau ditetapkan garisnya membelah
secara diagonal data TIN yaitu dari titik pojok ke titik pojok.
6. Caranya, klik kiri pada screen TIN>lalu tarik kearah pojok lainnyasecara
diagonal>lalu klik kiri dua kali untuk mengunci interpolate linenya.
7. Setelah interpolate line terkunci, pilih profile graphs pada 3D analyst
tools untuk menampakkan kenampakan melintangnya.
8. Printscreen kesemuanya dan secara spesifik kenampakan penampangnya.
9. Jalankan proses save.
f) Line of Sight
1. Pembuatan line of sight sebenarnya hampir sama dengan pembuatan titik
pengamatan, namun bedanya adalah pada asumsinya, line of sight lebih
ditekankan pada satu pandang garis lurus, sedangkan titik pengamatan
memungkinkan memandang ke seluruh arah.
2. Pembuatan line of sight pada dasarnya caranya hampir sama dengan
pembuatan profile graphs.
3. Langkah pertama klik pada line of sight yang ada pada 3D analyst
toolbar, lalu abaikan kotak dialog kecil yang muncul.
4. Tetapkan pengambilan garis sama persis dengan pengambilan garis pada
profile graphs namun jangan tumpang tindih, namun berada
disampingnya tepat atau sejajar dengan panjang yang sama.
5. Caranya, klik kiri pada screen TIN>lalu tarik kearah pojok lainnyasecara
diagonal>lalu klik kiri dua kali untuk mengunci line of sightnya.
6. Lalu setelah terbentuk garisnya, klik pada profile graphs untuk melihat
hasil jadinya.
7. Printscreen kesemuanya dan secara spesifik kenampakan penampangnya.
8. Jalankan proses save.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 13


g) Analisis 3D
1. Setelah ketiga proses analisis selesai, baik analisis raster interpolation,
analisis raster surface, maupun analisis data management selesai, maka
proses selanjutnya adalah analisis kenampakan 3D.
2. Data yang diperlukan dalam analisis 3D adalah luaran dari proses analisis
data management, yaitu data TIN.
3. Data TIN dimungkinkan dibuat kenampakan 3D karena mengandung
input elevasi dengan pembagian kelas ketinggiannya.
4. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuka program
ArcScene 10.1 dengan cara klik Start > pilih ArcGIS > pilih ArcScene
10.1>klik kiri.
5. Setelah kotak dialog pembentukan dokumen baru terbuka, maka pilih
close atau ok.
6. Langkah selanjutnya adalah menambahkan file TIN yang sudah dibuat
pada analisis data management sebelumnya dengan cara klik add
data>pilih folder dimana menyimpan keseluruhan hasil analisis>pilih file
TIN>klik ok.
7. Setelah file TIN berhasil dibuka, maka kenampakan tidak akan jauh
berbeda dengan yang ada di ArcMap sebelumnya, maka untuk membuat
kenampakan surface 3D perlu dilakukan penyesuaian atau adjusting base
height berdasarkan klasifikasi kelas ketinggian yang ada dalam data
tersebut.
8. Caranya adalah dengan klik kanan pada layer TIN>pilih properties>pilih
sub menu base heights.
9. Penyesuaian base height disini harus diperhatikan adalah tidak boleh
terlalu besar ataupun terlalu kecil. Maka pada elevation of features ganti
angka dari 1.0000 menjadi 15.0000.
10. Setelah kenampakan TIN 3D terbentuk, maka hal yang perlu dipahami
kembali bahwa kenampakan 3D memerlukan penyesuaian agar lebih
halus pada klasifikasinya. Maka klik kanan kembali pada layer TIN yang
sudah dilakukan penyesuaian base height>pilih properties>pilih sub menu
symbology.
11. Sesuaikan klasifikasi ketinggian yang awalnya hanya 9, rubah menjadi 32
klasifikasi agar jauh lebih halus kenampakannya.
12. Setelah dirubah, klik ok.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 14


13. Jalankan proses save bersamaan dengan folder yang ditetapkan sebagai
luaran analisis-analisis sebelumnya.
VI. HASIL PRAKTIKUM (Terlampir)
1. Printscreen Digital Elevation Model (Kriging, Spline, IDW, Trend, dan Natural
Neighbor). Halaman 70-77.
2. Nilai Digital Elevation Model (Kriging, Spline, IDW, Trend, dan Natural
Neighbor). Halaman 70-77
3. Printscreen Digital Surface Models Slope (Kriging, IDW, dan Natural Neighbor).
Halaman 78-82.
4. Nilai Digital Surface Models Slope (Kriging, IDW, dan Natural Neighbor).
Halaman 78-82.
5. Printscreen Digital Surface Models Aspect (Kriging, IDW, dan Natural
Neighbor). Halaman 83-87.
6. Nilai Digital Surface Models Aspect (Kriging, IDW, dan Natural). Halaman 83-
87.
7. Printscreen Digital Surface Models Hillshade (Kriging, IDW, dan Natural
Neighbor). Halaman 88-91.
8. Nilai Digital Surface Models Hillshade (Kriging, IDW, dan Natural Neighbor).
Halaman 88-91.
9. Printscreen Digital Surface Models Viewshed. Halaman 92.
10. Printscreen Data Management (TIN). Halaman 93.
11. Printscreen Grafik Profil (Profile Graphs). Halaman 94.
12. Printscreen Line of Sight. Halaman 95.
13. Printscreen Kenampakan 3D. Halaman 96.
VII. PEMBAHASAN
Praktikum Sistem Informasi Geografi acara keempat dengan judul 3D Analyst
dan Digital Elevation Model Titik Tinggi Kota Malang kali ini menggunakan system
ArcGIS khususnya ArcMap dan ArcScene versi 10.1. Pada keenam rangkaian proses
pengolahan data tersebut memiliki fungsi atau tujuan-tujuan yang berbeda. Terbagi atas
6 proses utama dalam pengolahan data, yaitu analisis Raster Interpolation, analisis
Surface, analisis Data Management, analisis Profile Graphs, analisis Line of Sight, dan
analisis 3D. berdasarkan penggolongannya maka dapat dikategorikan atas 4 jenis proses,
yaitu analisis raster interpolation sebagai Digital Elevation Model (DEM), analisis
surface sebagai Digital Surface Model (DSM), data management, profile graphs, line of
sight, dan analisis 3D sebagai Digital Terrain Model (DTM).

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 15


Namun pada intinya analisis dalam acara keempat ini hanya menekankan pada
pembuatan data DEM saja. DEM sejatinya merupakan serangkaian dataset geospasial
yang mengandung nilai ketinggian hasil sampling menurut metode rectangular grid.
DEM yang selanjutnya dapat digunakan sebagai analisis permukaan atau Terrain
analysis (DTM), visualisasi 3D, permodelan hidrologi dan lain sebagainya. DEM dapat
berupa dalam beberapa format, meskipun dapat dikonversi kedalam bentuk raster dataset
melalui beberapa proses. Sehingga dapat dikonklusikan, DEM adalah data primer yang
nantinya digunakan untuk analisis berbagai data lainnya dalam praktikum keempat ini,
yaitu surface, data management, profile graphs, line of sight, dan analisis 3D.
Secara spesifik, dibawah ini akan dijelaskan dibawah ini berdasarkan temuan
yang ada dalam praktikum acara keempat SIG.
Analisis Raster Interpolation (Digital Elevation Model-DEM)
Analisis raster interpolation terdiri atas beberapa metode, yaitu metode kriging,
IDW, Spline, Natural Neighbor, dan Trend. Kelimanya tidak digunakan dalam masing-
masing analisis lainnya, namun hanya terbatas pada Kriging, IDW dan Natural Neighbor
saja.
Kriging
Kriging merupakan prosedur analisis geostatistikal lanjut dalam praktikum
keempat yang menitiberatkan terhadap generalisasi dan estimasi suatu bentukan berbasis
ketinggian berdasarkan data sebaran titik atau point ketinggian dengan nilai Z atau nilai
ketinggian. Kriging mencakup pengenalan ranah spasial terhadap fenomena realita yang
direpresentasikan kedalam nilai Z. hampir keseluruhannya cocok diaplikasikan ketika
terdapat korelasi jarak spasial maupun direksional yang biasanya digunakan dalam ilmu
tanah dan geologi.
Secara global, kriging menginterpolasi data raster surface dari point
menggunakan metode kriging atau estimasi bantukan. Kriging merupakan prosesor
berbasis intesif proses dengan fungsi eksekusi terhadap jumlah point yang digunakan
dalam analisis kriging tersebut. Nilai yang rendah terkait diantara hasil variasi luaran,
prediksi raster data mengindikasikan jumlah derajat yang besar nilainya. Nilai yang
tinggi menunjukkan data memerlukan titik point lagi. Kriging secara umum
mengasumiskan bahwa terdapat komponen structural yang ada dalam variasi trend dari
satu lokasi ke lokasi yang lainnya.
Parameter yang jauh lebih mendalam memungkinkan control program yang
digunakan dalam kriging. Biasanya ukuran jeda bawaan diatur untuk default dalam hasil
luaran ukuran cell. Untuk jarak utama, secara bagian akan dikalkulasikan apabila tidak

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 16


ada spesifikasi tertentu. Hasil luaran lainnya bervariasi berdasarkan raster cellnya.
Mengasumsi kesalahan bentuk dari kriging yang mana terdistribusi secara normal dalam
data luarannya, terdapat sekitar 95.5 persen probabilitas actual nilai Z yang secara
langsung dapat memprediksi nilai raster, baik plus atau minus.
IDW
IDW merupakan metode yang harusnya digunakan ketika terdapat seperangkat
point yang mengandung data yang mencukupi untuk analisis lingkungan. IDW
mengestimasikan nilai cell melalui merata-ratakan nilai dari sampel data point dari
masing-masing proses cell tersebut. Terdapat dua karakteristik IDW, yaitu semakin
dekat point-point kepada tengah dari cell yang diestimasikan, maka akan memengaruhi
ketebalan dari rata-rata prosesnya termasuk didalamnya nilai tersebut. Namun semakin
jauh jaraknya maka semakin tidak berpengaruh terhadap nilai hasil akhir.
IDW dalam analisis praktikum keempat menginterpolasi data raster melalui
point dan teknik membalikkan jaraknya. Hasil luarannya menggunakan IDW berupa cell
yang memiliki rata-rata yang terbatas dalam hal jarak dan nilai untuk dapat diinterpolasi
dan tidak dapat diubah. Meskipun begitu data tersebut tidak dapat digunakan untuk
membuat ridge atau lembah apabila tidak dilakukan sampling sebelumnya. Hasil yang
terbaik dengan IDW diperoleh dari terpenuhinya variasi terhadap simulasi datanya. Jika
sampling yang dilakukan terhadap space input data, yang mana hasilnya tidak
mencukupi kebutuhan data surface. Pengaruhnya secara langsung adalah munculnya
bentuk nilai yang terinterpolasi dalam bentuk isotropic.
Tools IDW memiliki sebanyak 45 juta input point, sehingga apabila input yang
dilakukan melebihi 45 juta point maka tools akan gagal mengeksekusi data titik tinggi
tersebut. Jika kita memiliki analisis geostatikal, maka kita memungkinkan untuk
memproses dataset yang jauh lebih besar, dan selain itu input feature data harus
mengandung lebih dari satu field yang valid.
Spline
Spline merupakan metode interpolasi yang mengestimasikan nilai menggunakan
fungsi matematika dengan meminimalisasi keseluruhan bentukan. Hasilnya adalah
bentukan yang halus yang melebihi input data yang dilakukan sebelumnya. Secara
konseptual proses ini seperti membelokkan sebuah karet, sehingga dapat melampaui
point yang ditentukan ketika meminimalisir total lengkungan dari bentukannya. Spline
apabila ditinjau dari pengertiannya diatas maka dapat digunakan sebagai alat untuk
memprediksi bukit dan lembah dalam suatu data serta merupakan sebuah metode terbaik
untuk merepresentasikan fenomena seperti temperature.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 17


Spline juga merupakan analisis raster surface menggunakan teknik
pembengkokan dua dimensi, yang menghasilkan data raster yang lebih halus termasuk
dalam input pointnya. Fungsi regularized dari tipe Spline biasanya menyebabkan hasil
luaran yang lebih halus dibandingkan fungsi Tension. Fungsi regularized, nilai yang
lebih tinggi akan menyebabkan ketebalan parameter data yang lebih halus dibandingkan
dengan permukannya. Nilai yang dimasukkan dalam parameternya harus sama atau lebih
kecil daripada 0. Biasanya nilainya antara 0, 0.001, 0.01, 0.1 dan 0.5. sedangkan fungsi
Tension, nilai yang dimasukkan yang mana lebih tinggi dengan tujuan mempertebal
hasil luarannya akan menyebabkan hasil yang lebih kasar, namun permukaannya lebih
seragam dengan control point. Nilai yang dimasukkan dalam parameternya harus sama
atau lebih kecil daripada 0. Biasanya nilainya antara 0, 1, 5, dan 10. Semakin besar nilai
dari “Number of Point” maka semakin halus hasil luarannya.
Natural Neighbor
Natural Neighbor merupakan model interpolasi yang menitikberatkan pada
kenampakan real berdasarkan yang ada di lapangan. Sehingga array data ketinggian akan
nampak seperti melengkung dan jauh lebih halus dibandingkan dengan analisis IDW.
Apabila dalam analisis Kriging, IDW, Spline, dan Trend yang cenderung hanya
menunjukkan kawasan berdasarkan point itu berada, namun khusus dalam analisis
Natural Neighbor, permodelan elevasi ditunjukkan meskipun tidak sejelas dalam data
TIN.
Jika dalam pusat parameter cell dari data output raster bergabung kedalam input
point, maka nilainya akan berubah kedalam 0. Jika input point bergabung menjadi satu
dengan cell perimeter dan input data, maka cell akan tetap tidak memiliki data. Tool ini
memiliki batasan point, yaitu sebesar 15 juta input point, sehingga apabila input data
melebihi 15 juta point, maka tidak akan dapat diproses. Hal ini dapat dihindari dengan
memproses area yang akan dikerjakan pada beberapa sisi dan membentuk mosaic yang
menghasilkan raster dataset yang lebih besar. Tindakan ini akan membuat satu sama lain
tumpeng tindih setiap sisinya. Sehingga dengan hasil itu, kita dapat menggunakan terrain
dataset untuk dapat menyimpan berjuta-juta point pengukuran. Namun dengan syarat
bahwa penggunakan system koordinat adalah bentuk projected coordinate system
dibandingkan geographic coordinate system.
Penggunaan data Natural Neighbor dalam praktikum kali ini adalah pada
dasarnya digunakan sebagai pengganti dataset TIN. Namun hal itu akan diperlukan
apabila memang analisis TIN tidak dapat dilakukan. Karena bentukannya antara data
TIN dengan data Natural Neighbor memiliki kesamaan array data. Tipe data TIN

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 18


memiliki data yang jauh lebih baik dari segi cell dan jenis elevasinya, maka dari itu
untuk data primernya adalah analisis TIN, sedangkan untuk sekunder menggunakan data
natural neighbor untuk analisis 3D.

Trend
Trend adalah analisis interpolasi yang menggunakan basis seperti penggunaan
kelompok tertentu, karena memang dalam analisis ini menggunakan array of point
berdasarkan ketinggiannya masing masing dalam analisisnya. Apabila dalam analisis
lainnya ditekankan pada masing-masing data yang dimiliki, namun dalam analisis trend,
data kembali digolongkan secara semi vertical dalam interval elevasi yang sudah
ditekankan dan bukan bukan secara alur mengikuti pola dimana titik point yang
memiliki data ketinggian, namun diakumulasikan secara merata seperti interpolasi data
homogeny.
Sesuai dengan peningkatan polynomial, permukaan menjadi cocok secara
progresif dan lebih kompleks. Polynomial yang lebih tinggi tidak selalu akan
memberikan keakuratan pada surfacenya, namun tergantung pada datanya. Beberapa
input dataset mempunyai beberapa kesamaan koordinat X dan Y. Jika nilai dari point
memiliki kesamaan lokasi, maka keduanya atau ketiganya digolongkan sebagai duplikasi
dan tidak memiliki dampak terhadap hasil luarannya. Jika nilainya memiliki perbedaan,
maka dianggap sebagai data yang kebetulan sama. Variasi tools interpolasi akan
menyebabkan perbedaan kondisi luaran data yang akan dihasilkan, sebagai contohnya,
data yang kebetulan sama atribut point nya memerlukan kalkulasi tertentu, sedangkan
dalam analisis lainnya penggunaan point paling akhir sangat dimungkinkan. Hal tersebut
akan dapat menyebabkan beberapa lokasi pada data raster keluaran memiliki nilai yang
berbeda daripada yang dapat kita prediksi. Solusinya adalah dengan menyiapkan data
dengan cara menghapus data yang kebetulan sama tadi.
Analisis Surface (Digital Surface Model-DSM)
Analisis surface dalam praktikum kali ini tercakup beberapa aspek utama, yaitu
slope, aspect, hillshade, dan viewshed. Keempatnya memiliki perbedaan dalam hal hasil
luarannya, dan proses pembuatannya. Dibawah ini akan dijabarkan secara detail
mengenai keempat aspek tersebut, baik mengenai hasil maupun hal-hal yang spesifik
ditemukan dalam praktikum keempat.
Slope
Slope pada umumnya dalam system informasi geografi banyak dikaitkan
sebagai analisis Slope and Orientation Indicators. Slope and Orientation Indicators

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 19


sebenarnya secara manual merupakan kalkulasi dari titik pertama yang ada pada
permukaan. Slope dalam analisis ArcGIS diwujudkan dalam rumus SQL berupa:
SLOPE=SQRT(SQR(-Z4+Z6)/2R)+SQR((Z2-Z8)/2R)). Fungsi SQL tersebut digunakan
untuk membentuk kesan slope, karena pada dasarnya semuanya adalah flat, dan tanpa
adanya arahannya. Untuk arahan secara manual dapat dilakukan input fungsi SQL
berupa ORIENTATION=ARCTAN(-Z2+Z8)/(Z4-Z6).

Slope dalam spatial analyst digunakan sebagai intifikator slope (termasuk


didalamnya gradient, atau maksimum nilai Z) dari setiap cell yang ada dalam raster
permukaan atau raster surface. Analisis slope pada intinya digunakan untuk mengkoreksi
kalkulasi slope ketika nilai Z dalam permukaan yang diekspresikan terhadap perbedaan
X dan Y unit. Rentangan nilai dari keluarannya atau produknya adalah tergantung pada
pengukuran unit permukaan. Untuk rentangan derajat, ukuran slope dinyatakan antara
nilai 0 hingga 90 derajat, sedangkan peningkatan persentase dapat dilihat berdasarkan
asumsi ini:
0 = infinity atau flat
45 = 100%
Pada praktikum keempat, slope pada ketiga aspek, yaitu Kriging, IDW dan
Natural Neighbor memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Karena ketiganya
memiliki karakteristik kerapatan yang berbeda-beda. Untuk data DEM Kriging yang
dilakukan analisis slope jauh lebih kasar, karena rasternya memiliki gap yang jauh lebih
besar, hal itulah yang menyebabkan detail slopenya lebih rendah, sedangkan untuk data
IDW karena gap rasternya lebih rendah, maka detail slope akan lebih baik. DEM IDW
terlihat lebih halus.
Aspect
Aspect adalah analisis SIG yang berfungsi untuk mengidentifikasi arah
kelerengan bagian bawah dari perubahan maksimal setiap cell terdekat. Aspect
diturunkan dari data raster surface. Aspect bisa diidentifikasi sebagai arah lereng, yang
hasilnya berupa arah kemiringan lereng. Pada praktikum diatas, pembuatan data aspect
juga memiliki perbedaan yang cukup signifikan, karena datanya berasal dari DEM, maka

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 20


kerapatan cell akan berpengaruh terhadap hasil luarannya yang jauh lebih rapat dengan
urutan IDW, Kriging dan Natural Neighbor.
Arah maksimum dari aspect berasal dari perubahan nilai Z dalam setiap cell
dalam data permukaan. Bentuk ekspresi dari Aspect dinyatakan dalam derajat 0 hingga
359.9, dan diukur searah jarum jam dari direction utara atau arah utara. Input cell dalam
data rasternya yang flat dengan lereng nol atau datar. Hasilnya dalam analisis
menggunakan data DEM antara Kriging, IDW dan Natural Neighbor ketiganya memiliki
beberapa perbedaan, untuk data Kriging, kompleksitasnya secara clockwise
menunjukkan perbedaan bahwa IDW merupakan aspect yang sangat kompleks
dibandingkan dengan dua data DEM lainnya.
Hillshade
Hillshade merupakan analisis yang mengakumulasikan bayangan atau kawasan
teduh akibat adanya bidang elevasi tertentu. Pada hakikatnya setiap bentukan yang
memiliki elevasi cenderung tinggi akan menyebabkan bias dan bayangan akibat sorotan
sudut pencahayaan atau penyinaran. Hillshade biasanya digunakan sebagai analisis
morfologi, karena lebih mempertegas satuan bentuk lahan. Biasanya untuk titik pandang
global hillshade adalah sebesar 315°

Secara basis, antara analisis bayangan dengan radiasi dalam penggambaran dan
permodelannya. Untuk radiasi proses permodelan mencakup fase bias dari bentukan
yang terkena penyinaran atau sorotan. Sehingga daerah tercover jauh lebih besar
dibandingkan dengan analisis shading atau hillshade. Untuk hillshade, karena hanya
mempertimbangkan aspek bayangannya saja, maka tidak mengakumulasi bias. Namun
secara umum kedua analisis ini digunakan dalam prediksi insolasi dan cakupan
penyinaran matahari.
Titik pandang hillshade dalam praktikum kali ini terbagi atas 3 titik utama, yaitu
sudut kanan bawah, tengah dan sudut kiri atas data DEMnya. Hal ini ditunjukkan
sebagai bayangannya atau shade cenderung sedikit menyebar kearah sudut kiri bawah

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 21


dan sudut kanan atas seperti guratan-guratan atau igir. Sudut dalam ArcGIS mengambil
secara diagonal sebesar 315° kearah yang berkebalikan atau reverse. Analisis hillshade
ini memungkinkan interpreter untuk mengetahui sudut datang matahari, progress dan
sudut datang penyinaran matahari saat pengambilan gambar citra, estimasi insolasi
matahari, daerah jatuhan hujan, serta arah pergerakan angin.
Viewshed
Viewshed merupakan analisis surface yang menitik beratkan terhadap
prosentase pandang interpreter pada suatu titik yang sudah ditentukan sebelumnya.
Namun memang pada dasarnya suatu titik pandang akan menghasilkan suatu bagian
yang dapat dipandang (visible) dan bagian yang tidak dapat dipandang (not visible).
Lebih mudah dikatakan bahwa viewshed adalah analisis visibility. Menurut Echole
Politechnique, viewshed atau visibility analysis adalah The visibility analysis, or
Viewshed analysis, considers one central point of view and determines the extent of the
visible area over the DEM (Echole Politechnique, 2005:17).
Sebagai analisisnya dapat diperhatikan pada gambar berikut ini:

Maka dapat dilihat pada gambar diatas bahwa dari satu titik pandang tertentu, maka
terdapat bagian yang tidak dapat dijangkau melalui view point yang sudah ditentukan,
yaitu pada bagian belakang bentukan atau permukaan yang tinggi. Sehingga dapat
diasumsikan bahwa apabila kita menentukan titik yang sangat tinggi, maka yang terjadi
adalah jumlah visibility yang dapat nampak adalah akan jauh lebih besar, namun
cenderung terkelompok, namun juga jumlah non visibility akan mengelompok.
Meskipun jumlah visibility lebih besar, sebarannya cenderung rendah, dan pada bagian
shadenya tetap tidak dapat terjangkau, kecuali view pointnya pada ketinggian yang
ekstrim (extremely high cone), maka prespektif akan dapat secara penuh terakumulasi.
Sedangkan apabila kita menentukan titik tidak terlampau tinggi, maka jumlah visibility
akan lebih sedikit, namun sebarannya cenderung lebih banyak karena banyak titik yang
cenderung miss atau tidak nampak.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 22


Perbedaan tersebut terlihat jelas dari perbedaan penetapan kedua titik, titik
pertama lebih rendah, yaitu pada ketinggian 457.917 hingga 489.32, maka jumlah non
visibility akan lebih besar. Sedangkan dibawahnya, penentuan titik view di interval
tertinggi, yaitu pada ketinggian 646.337-677.74, maka jumlah visibilitynya meningkat
dan non visibilitynya sedikit, namun mengelompok.
Data Management (Triangular Irregular Network-TIN)
TIN adalah serangkaian segitiga yang tidak tumpang tindih dihitung dari titik
ruang yang tak beraturan dengan koordinat x,y,dan nilai z yang menyajikan data elevasi.
Data disimpan dalam suatu himpunan atau topologi yang berhubungan antara segitiga
dengan segitiga didekatnya yang digabungkan dengan tiga titik segitiga yang dikenal
dengan facet (Laurini and Thompson, 1992 dalam El-Sheimy, 1999 dalam Rahman,
2011).
TIN dapat dibuat dengan menggunakan data garis/vektor yang mempunyai z
value (nilai elevasi). TIN dibangun oleh suatu set bentuk segitiga. Masing-masing node
segitiga akan terhubung sehingga akan membentuk surface. Komponen penyusun TIN
adalah nodes, garis/tepi, segitiga, hull polygon dan topologi.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 23


Profile Graphs
Profile graphs merupakan analisis yang didasarkan pada data TIN (Triangular
Irregular Network) yang telah dibuat dalam analisis Data Management. Profile graphs
merupakan representasi dari sampling semua kenampakan. Profile graphs memiliki
kesamaan dengan apa yang biasanya disebut sebagai penampang melintang dalam kajian
geologi pada peta geologi atau geomorfologi. Namun perbedaannya penampang
melintang dalam pengambilan sampel data yang digunakan sebagai profilingnya adalah
baik secara vertical, maupun horizontal. Namun dalam profile graphs analisis elevasi ini
menitik beratkan atau menggunakan data secara horizontal saja. Asumsinya adalah,
apabila ketinggian berubah-ubah, maka profile graphs akan berubah berdasarkan
ketinggian surface saja, bukan secara vertical juga. Sehingga kesimpulannya adalah,
kenampakan profile graphs akan seperti penghubungan diagram batang pada bagian
atasnya saja dan seperti garis yang menunjukkan perubahan nilainya saja.
Line of Sight
Berbeda latar belakang dengan profile graphs, line of sight hampir sama dengan
titik pengamatan. Bedanya adalah, untuk titik pengamatan, basicnya adalah seperti
penggunaan tower atau Menara pengamatan, sehingga memungkinkan untuk satu
cakupan kawasan tertentu untuk dapat terlihat maupun tidak terlihat. Sedangkan untuk
line of sight, kenampakannya seperti profile graphs, namun menunjukkan adanya jalur
pengamatan satu arah, dengan kemungkinan terlihat melalui garis yang sudah
ditetapkan, entah itu terlihat justru dibawahnya ataupun diatasnya.
Kekurangan dari line of sight adalah, bentuk atau bagian dari yang tidak terlihat
akan muncul pada bagian-bagian daerah tinggi khususnya bagian punggung atau bagian
belakang dari dataran tinggi tersebut. Maka apabila data yang dianalisis banyak
mengakumulasi point-point yang memiliki elevasi yang cenderung terjal (dalam artian
berbukit atau bergunung) maka akan semakin banyak bagian yang tidak terlihat akibat
bayangan atau punggungan dari dataran tinggi tersebut.
3D Analyst (Digital Terrain Model-DTM)
3D analyst merupakan langkah final dari beberapa analisis sebelumnya, karena
analisis ini hanya menghasilkan satu produk utama berupa permodelan permukaan
berdasarkan data ketinggian yang sudah dikonversikan kedalam seperangkat raster
elevasi menggunakan data management atau manajemen data berupa TIN. TIN sendiri
pada dasarnya merupakan bentuk triangulasi data dari beragam data ketinggian yang
dalam praktikum kali ini menggunakan data titik tinggi kota malang. System
permodelan ini dimaksudkan agar bentukan digital hasil analisis data titik tinggi kota

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 24


malang dapat secara representative terhadap bentukan permukaan lenmgkap dengan
ketinggiannya di lapangan. Karena memang konsep permodelan harus representative
terhadap data riil lapangan (secara kontekstual disebut sebagai miniature).
Pada langkah 3D analyst berupa pembuatan Digital Terrain Model atau DTM
titik tinggi kota malang mencakup dua hal, yaitu penyesuaian dasar ketinggian produk,
dan penyesuaian klasifikasi ketinggian atau elevasi untuk meminimalisir kasarnya atau
terjalnya tampilan data. Untuk penyesuaian dasar ketinggian produk atau base height,
dilakukan dengan cara menaikkan atau menurunkan value base height dari seperangkat
data TIN yang sudah dibuat dengan tujuan agar kenampakan datanya tidak flat atau
datar. Penyesuaian peningkatan base height yang terlalu tinggi atau terlalu besar akan
menyebabkan kenampakan permodelan menjadi sangat terjal karena kenampakan yang
justru tidak natural, misalkan pada base ketinggian paling tinggi atau summit akan
cenderung sangat lancip dan membentuk conical, sedangkan bagian paling rendah justru
tidak terlihat kenampakan kontur ketinggiannya.
Keadaan sebaliknya apabila base height yang diatur dan disesuaikan terlalu
rendah atau terlalu kecil valuenya, maka akan menyebabkan kenampakan justru tidak
terlihat atau cenderung flat. Base height bawaan untuk flat adalah 1.0000, sedangkan
apabila settimg dibawah value tersebut maka kenampakannya justru tidak akan
sempurna atau justru hanya flat. Untuk base height terbaik berdasarkan beberapa
percobaan yang sudah dilakukan adalah antara skala 15.0000 hingga 18.0000. Value ini
mengakomodir ketinggian yang tidak terlalu mencolok apabila ditinjau dari segi
klasifikasinya. Karena memang kawasan kota malang memiliki ketinggian maksimal
sebesar 677.74, sehingga apabila diberikan base height diatas 18.0000, maka
kenampakannya akan terlalu mencolok, seperti asumsi bahwa kota malang titik
tertingginya berubah diatas 677.74.
Penetapan base height ini bukanlah tanpa dasar, karena apabila ditilik kembali,
kawasan kota malang tidak terlampau memiliki corak topografi yang begitu jelas
berbeda, hanya terdiri atas plain atau cliff saja. Berbeda dengan kabupaten malang yang
memiliki aksen topografi yang sangat jelas, mulai dari titik terendahnya berupa laut,
hingga titik tertingginya berupa puncak gunung. Maka akan lebih pas apabila di
kabupaten malang diberikan nilai base height yang cukup tinggi agar bisa
merepresentasikan ketegasan ketinggian puncaknya yang diatas 3000mdpl, dan elevasi
terendahnya yang mencapai dibawah 0mdpl. Sedangkan untuk kota malang karena
memang berupa dataran saja dengan ketinggian maksimal 677.74, diberikan aksen yang
terlalu tinggi, maka akan menyebabkan aspek representative terhadap permodelan 3D

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 25


menjadi berkurang, dan aspek lain yang terpengaruh secara langsung adalah aspek
estetika.
Fungsi kedua dari analisis 3D adalah penyesuaian atau penghalusan hasil
permodelan permukaannya berdasarkan system klasifikasi. Sebelumnya atau awalnya,
data menunjukkan system klasifikasi ketinggian atau elevasi didasarkan pada 9
klasifikasi utama dengan interval ketinggian tertentu, mulai dari titik tertinggi hingga
titik terendahnya. Hal tersebut apabila dikonversikan kedalam permodelan 3D akan
menyebabkan kurang halusnya topografi yang muncul. Sedangkan aspek yang ditinjau
dari segi permodelan topografi adalah fase proses perubahan ketinggian itu sendiri
secara detail, dengan representasi warna yang bergradasi. Penetapan 9 klasifikasi
tersebut apabila dimodelkan menyebabkan kurangnya gradasi warna yang berdampak
langsung terhadap aksen topografi yang sedikit kaku.
Penyesuaian penggunaan klasifikasi dalam ArcScene mencakup hingga kepada
32 klasifikasi atau interval elevasi berdasarkan input data yang digunakan dalam proses
analisis 3Dnya. Pembentukan permodelan tersebut apabila semakin banyak maka akan
semakin memperhalus tampilan dan semakin memberikan detail data yang baik. Gradasi
warna yang ditampilkan juga akan jelas dan tidak terlalu kaku. Sebagai tambahan
pemikiran bahwa apabila semakin sedikit klasifikasi ketinggian yang digunakan, maka
akan semakin menambah titik-titik tinggi yang sebenarnya lebih dekat kepada interval
yang diatasnya, maka akan tetap dianggap kedalam interval bawaan, begitu pula
sebaliknya. Sehingga dengan penambahan interval atau klasifikasi akan mengakomodir
permasalahan tersebut. Klasifikasi pada praktikum kali ini ditambahkan dari 9 menjadi
32 kelas elevasi.
Secara global, dalam praktikum acara keempat Sistem Informasi Geografi dapat
diakomodir beberapa permasalahan yang berada diluar analisis utama, baik
permasalahan proses maupun permasalahan mengenai hasilnya. Beberapa masalah dan
hal-hal yang dapat ditemukan dalam proses analisis 3D adalah:
1. Pada proses awal melakukan setting mengenai program ArcMap, maka
yang perlu dilakukan untuk mengaktifkan extension tools analisis 3D.
hal tersebut perlu dilakukan agar pada saat melakukan analisis
menggunakan Arctoolbox tidak mengalami error, karena sebagian besar
program yang digunakan adalah fake atau bajakan.
2. Penggunaan folder global untuk penyimpanan hasil luaran analisis
seperti DEM, DSM, TIN, maupun DTM agar tidak mengalami error
atau corrupt data seperti berubahnya titik tingginya.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 26


3. Selain itu, penggunaan antara spatial analyst tools ataupun 3D analyst
tools perlu diperhatikan saat setelah dilakukan setting extension.
Penggunaan tools pertama setelah setting extension akan menyebabkan
tools tersebut selamanya tidak bisa digunakan. Maka harus diperhatikan
menggunakan tool awal yang mana terlebih dahulu atau tool yang
paling lengkap.
4. Data yang digunakan untuk analisis 3D dalam praktikum keempat harus
mengandung nilai Z yang benar, termasuk sebaran elevation pointnya.
Hal ini dikarenakan terdapat beberapa kasus bahwa data yang
digunakan mengalami kerancuan, maka akan menyebabkan proses
image tidak sempurna, seperti cenderung mengelompok dan tidak
tersebar.
5. Perlu diingat bahwa dalam proses pembentukan data DEM, penamaan
hasil luaran yang terlalu panjang akan menyebabkan proses gagal,
termasuk titik pointnya menjadi rancu.
6. Layer yang aktif pada saat pembuatan berbagai analisis, termasuk DEM,
DSM, TIN, dan DTM perlu diperhatikan. Data yang digunakan untuk
analisis lanjutan adalah hanya data DEM, dan tidak menggunakan data
DSM. Apabila hal itu dilakukan, maka akan terjadi bentukan yang
salah.
7. Pembuatan viewshed memerlukan pembuatan titik pandang. Pada saat
membuat titik pandang maka diusahakan untuk tidak terlampau dibawah
atau pada elevasi yang rendah. Hal ini akan menyebabkan visibilitas
menjadi rendah dan tampilan menjadi buruk. Selain itu data yang
digunakan haruslah berbasis elevasi, seperti kriging, IDW, dan natural.
8. Pemerian koordinat pada saat pembuatan titik pandang juga mesti
diperhatikan. Karena data yang digunakan menggunakan standar
koordinat projected coordinate system, maka tidak bisa kita gunakan
geographic coordinate system. Apabila hal itu terjadi maka yang terjadi
adalah pada saat pembuatan viewshed karena coordinat berbeda, maka
bisa saja visual viewshed mengalami kemelencengan.
9. Pada saat pembuatan grafik profile dan line of sight, hal yang perlu
diperhatikan adalah pembuatan garis harus mewakili seluruh ketinggian
dan interval elevasi yang diklasifikasikan dalam data. Sehingga hasilnya
jauh lebih representative dibandingkan apabila pengambilan sampel

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 27


secara asal-asalan saja. Selain itu, pemberian kedua garis, antara grafik
profile dan line of sight tidak bisa saling tumpeng tindih, namun harus
sejajar agar tidak membuat kerancuan analisisnya.
10. Hal yang perlu dipahami adalah karena sebagian besar laptop dengan
prosesor AMD merupakan laptop dengan vendor pesaing intel, maka
terdapat hal-hal yang mungkin menjadi kendalanya, yaitu salah satunya
adalah pembuatan 3D pada software ArcScene. AMD merupakan
prosesor yang memiliki kualitas grafis lebih tinggi dibandingkan dengan
intel, serta kecepatan yang jauh lebih baik. Namun karena kartu
grafisnya memiliki pipeline yang lebih pendek, maka transfer data lebih
lambat pada komponen grafis atau VGA AMD. Sehingga sebagian
besar laptop dengan komponen proses AMD dan VGA AMD tidak
dapat melakukan pembuatan 3D modelling di ArcScene. Solusi yang
dapat ditawarkan berkaitan dengan masalah ini adalah melakukan re-
identified terhadap kartu grafis AMD melalui uninstalling catalyst HD
graphic. Sehingga kartu grafis akan hanya bekerja sebagai komponen
penyusun kualitas gambar, bukan bekerja dibawah perintah VGA intu
sendiri (catalyst). Namun hal ini akan terlalu beresiko terhadap
kegagalan analisis 3D lainnya, karena proses tersebut memang harus
didukung kinerja kartu grafis. Solusi yang diambil oleh penyusun
laporan adalah menggunakan laptop rekan sekelas untuk melakukan
analisis pembentukan kenampakan 3D. oleh karena itu, akan terdapat
perbedaan hasil screenshot pada kenampakan 3D (mohon diperhatikan
kembali).
11. Pembuatan kenampakan 3D harus didukung dengan adanya system
klasifikasi elevasi, yang mana harus lebih halus kontur atau gradasinya.
Maka hal yang harus dilakukan adalah penambahan klasifikasi
ketinggian dari 9 menjadi 32 agar gradasi warna lebih halus, dan data
yang dipaparkan menjadi lebih detail.
VIII. KESIMPULAN
3D analyst merupakan analisis berbasis bidang tiga dimensi yang menggunakan
input data berupa titik tinggi ketinggian turunan dari data citra maupun data lainnya
yang mendukung akumulasi dan pembuatan titik point elevasi. Data yang digunakan
dalam analisis 3D apabila diluar proses tersebut harus menggunakan data yang
mempunyai nilai-Z. analisis tersebut secara langsung dapat dilakukan dalam program

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 28


ArcGIS menggunakan Spatial Analyst Tools, khususnya interpolation, surface, data
management, dan pembuatan 3D. Semua analisis tercakup dan terbagi dalam dua
program ArcGIS, baik ArcMap maupun ArcScene.
Spatial interpolation dilakukan dalam rangka pembuatan data DEM, yaitu
Digital Elevation Model, yang mencakup beberapa metode Kriging, IDW, Natural
Neighbor, Spline, dan Trend. Kelima metode tersebut memiliki hasil luaran yang
cenderung berbeda-beda baik dari segi kualitas kerapatan cellnya. Semua pembentukan
data Digital Elevation Model atau DEM dilakukan dengan menggunakan program
Fungsi spatial surface memiliki sedikit perbedaan dengan analisis interpolation.
Spatial surface terdiri atas empat metode analisis yaitu Slope untuk analisis perbedaan
kelerengan, Aspect untuk analisis arah kemiringan lereng, Hillshade untuk analisis range
bayangan akibat perbukitan, serta viewshed untuk analisis pembuatan titik pandang.
Keempatnya dilakukan berdasarkan pembuatan data DEM sebelumnya, namun hanya
mencakup Kriging, IDW dan Natural Neighbor saja.
Data management dalam proses analisis 3D ini dalam rangka untuk membuat
data yang berbasis ketinggian atau elevasi dengan nama TIN atau Triangular Irregular
Network. Turunan data TIN ini sangat penting untuk dapat dilakukan karena
menyangkut analisis-analisis berikutnya, seperti grafik profile, line of sight, dan
pembentukan DTM. Semua pembentukan data TIN didasarkan pada data titik-titik
ketinggian kota malang melalui fungsi create TIN dalam ArcMap 10.1.
Sejalan dengan proses pembuatan data TIN, grafik profil dan line of sight dibuat
untuk melihat bagaimana bentukan suatu lahan berdasarkan ketinggian dan sejauh mana
suatu pandangan dalam suatu bentukan lahan tertentu yang terdampak secara langsung
akibat ketinggian. Grafik profil sangat mirip dengan konsep penampang melintang pada
peta geologi, hanya saja grafik profil mengakumulasi data surface, buka kedalaman.
Data utama dalam proses pembuatan tersebut didasarkan pada data TIN, karena data
tersebut sudah mengakumulasi titik ketinggian dengan attribute Z dalam ArcMap 10.1.
Pembentukan kenampakan 3D atau DTM merupakan langkah terakhir dalam
analisis 3D, yang menggunakan basis software yang berbeda, yaitu ArcScene.
Pembuatannya mememrlukan data yang mencakup titik point elevasi dan nilai Z, yaitu
data TIN. Penggunaan data TIN dimaksudkan agar base height dalam data yang semula
flat dapat diubah sehingga kenampakan 3D terbentuk. Selain itu penetapan penggunaan
klasifikasi sangat berpengaruh terhadap luarannya.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 29


IX. DAFTAR PUSTAKA
Aronoff, Stan. 1989. Geographic Information System a Management Persepective.
Ottawa-Canada:WDL Publication.
Echole Politechnique. 2005. Digital Elevation Models Principles, Sources and Analysis.
Perancis: Laboratorie de Systemes D’Information Geographique University
Federal of Lusane.
ESRI. 1990. ArcView. Redlands, USA: Environmental Systems Research Institute, Inc.
GIS Konsorsium Aceh Nias. 2007. Modul Pelatihan ArcGIS Tingkat Dasar. Banda
Aceh: GIS Consortium Aceh Nias.
Murayama, Yuji. 2011. Creating a Digital Elevation Model (DEM): A GIS lecture
tutorial. Jepang: Univsersity of Tsukuba.
Purwantara, Suhadi dan Dyah Respati Suryo Sumunar. 2010. Modul Praktikum Sistem
Informasi Geografis. Yogyakarta: LAB FIS UNY.
Puturuhu, Ferad. Aplikasi Sistem Informasi Geografi Untuk Evaluasi Penggunaan Lahan
Terhadap Arahan Pemanfaatannya Di DAS Waijari (Jurnal Ilmu Tanah dan
Lingkungan Vol. 9 No. 1 (2009) p: 13-19). Program studi Ilmu tanah Fakultas
Pertanian Universitas Pattimura.
Rahman, Abdur. 2011. Penuntun Praktikum Inderaja dan Sistim Informasi Geografis
Perairan: Analisis Rawan Banjir (Studi Kasus di Kabupaten Barito Kuala).
Banjarbaru. Universitas Lambung Mangkurat.
Sulebak, J.R. 2000. Applications of digital elevation models. DYNAMAP “White
Paper”. SINTEF.

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 30


X. LAMPIRAN LANGKAH KERJA

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 31


Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 32
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 33
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 34
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 35
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 36
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 37
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 38
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 39
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 40
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 41
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 42
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 43
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 44
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 45
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 46
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 47
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 48
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 49
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 50
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 51
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 52
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 53
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 54
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 55
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 56
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 57
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 58
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 59
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 60
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 61
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 62
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 63
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 64
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 65
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 66
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 67
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 68
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 69
XI. LAMPIRAN HASIL PRAKTIKUM

Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 70


Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 71
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 72
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 73
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 74
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 75
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 76
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 77
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 78
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 79
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 80
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 81
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 82
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 83
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 84
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 85
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 86
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 87
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 88
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 89
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 90
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 91
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 92
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 93
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 94
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 95
Laporan Praktikum Sistem Informasi Geografi – Muhammad Raad Assidiqy 96

Anda mungkin juga menyukai