0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
82 tayangan52 halaman

Bahasa Indinesia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 52

KATA PENGANTAR

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Disadari ataupun tidak, sesungguhnya manusia memiliki naluri dan watak berpolitik, watak
untuk mengatur, mempengaruhi, dan menghegemoni orang lain. Berpolitik merupakan
aktualisasi diri dalam ranah publik sebagai bukti bahwa dirinya memiliki kekuatan yang
dapat didarmabaktikan kepada bangsa dan negara atau kepada masyarakat luas. Selain itu
berpolitik juga panggilan dari ajaran Islam, salah satunya untuk melakukan dakwah amar
makruf nahi munkar. Tidaklah herakan kalau dalam bentangan sejarah yang panjang, sejak
Rasulullah Muhammad saw, khulafaurrasyidin, Umayyah (661-750) sampai Abbasiyah (750-
1258) diwarnai kejayaan dalam bidang politik, karena kemampuannya melakukan ekspansi
atau futuhat[1] ke negara-negara atau daerah lain.[2] Selain itu, karena persoalan politik
juga, perpecahan, peperangan dan pertumpahan darah di tubuh umat Islam tidak dapat
dielakkan. Perang jamal antara menantu dan mertua (Ali bin Abi Thalib dengan ‘Aisyah),
perang siffin antara khalifah dengan gubernur (Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyyah)
sebagai bukti sejarah yang sulit dibantah. Peristiwa politik ini sebagai bahan analisis
orientalis, yang berkesimpulan bahwa berkembangnya Islam karena perang, berarti umat
Islam suka menumpahkan darah. Hal ini diperkuat perilaku politik negara-negara Islam yang
tidak dapat bersatu, malah berperang sesama negara Islam, misalnya Iran-Irak, Iran-Kuwait.
Juga konflik sesama gerakan politik di Timur Tengah,[3] misalnya antara Hamas dan
Fatah di Palestina. Bahkan lahirnya aliran teologi Islam juga berawal dari masalah
politik,[4] sehingga sesungguhnya Islam tidak dapat dilepaskan dari politik. Tidak hanya itu,
munculnya hadis palsu yang dibuat oleh orang-orang muslim atau non-muslim, karena
didorong oleh motif-motif politik,[5] misalnya hadis di bawah ini:

‫ﻚﺘﻌﻴﺷ ﻲﻴﺤﻤﻟو ﻚﺘﻌﻴﺸﻟو ﻚﻠهﻷو ﻚﻳﺪﻟاﻮﻟو ﻚﺘﻳرﺬﻟو ﻚﻟ ﺮﻔﻏ ﷲا نإ ﻲﻠﻋ ﺎﻳ‬

“Wahai ‘Ali, sesungguhnya Allah telah mengampuni kamu, keturunanmu, orang tuamu,
keluargamu, pengikutmu,dan orang-orang yang menghidupkan syi’ahmu”

Inilah kenyataan sejarah kalau Islam tidak dapat dilepaskan dari politik, dan umat Islam
pernah “babak belur dalam sejarah”, bahkan “berdarah-darah”. Namun juga harus adil dalam
meletakkan Islam dalam sejarah peradaban, yakni dengan cara melahirkan kesepakatan atau
tahkim/arbitrase. Mereka yang tidak setuju terhadap arbitrase ini keluar dari pihak Ali dan
membentuk kelompok Khawarij, yang menghalalkan darah orang-orang yang terlibat
dalam arbitrase.

Islam diletakkan sebagai agama yang mencerahkan, membangun peradaban yang anggun dan
suka kedamaian, sebagaimana makna yang terkandung dalam kata “ ‫ ” ﻢﻠﺳأ – ﺎﻣﻼﺳإ – ﻢﻠﺴﻳ‬itu
sendiri, yang bermakna keselamatan, kedamaian, dan penyerahan. Islam hadir membebaskan
umat masia dari belenggu sejarah, peradaban dan belenggu kultural, tradisi dan adat istiadat
seperti pada zaman jahiliyah. Dari dua pemikiran yang ekstrim ini maka lahirlah pemikiran
tengah, mengambil sebagian pemikiran kanan dan sebagian pemikiran kiri. Maka kalau
dipetakan pemikiran hubungan agama dan politik[6] ini ada tiga, dan terus mewarnai dalam
jagat pemikiran politik Islam, bahkan sampai pada tataran praksis. Ketiga pola pemikiran
tersebut adalah; pertama, mereka yang memisahkan antara politik dan agama, keduanya
berada dalam wilayah yang berbeda, agama adalah urusan ukhrawi dan politik urusan dunia.
Pola inilah yang disebut dengan sekularisme (tokohnya: Thaha Husein dan Ali Abd.Raziq), di
Indonesia Gus Dur. Kedua, mereka yang menyatakan bahwa antara agama dan politik adalah
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, integralistik, karena agama tidak hanya
berhubungan dengan ukhrawi saja, melainkan juga mengatur kehidupan di dunia.[7]
Kesempurnaan Islam diyakini oleh umat Islam, karena Islam mengatur kehidupan secara
menyeluruh dan diterapkan dalam keluarga, ekonomi dan politik, yang lebih dikenal dengan
3 D (dien, dunya dan daulah). Untuk itulah realisasinya harus diciptakan negara Islam, yakni
sebuah negara ideologis yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Islam yang lengkap.[8]
Tokoh yang masuk dalam kelompok ini adalah Hasan al-Banna, Sayyid Quthb dan Rasyid
Ridha, sementara tokoh Indonesia adalah M. Natsir,[9] Hasyim Asy’ari, dan belakangan
tokoh-tokoh yang bergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia.
Ketiga, mereka yang menyatakan bahwa Islam hanya mengatur prinsip-prinsip dan etika
politik saja, bersifat simbiotik, karena Islam tidak mengatur sistem dan bentuk negara, dan
sistem pemerintahan. Tokohnya, Muhammad Husain Haikal,[10] kalau tokoh Indonesia
adalah Syafii Ma’arif dan Amien Rais.

Berpijak dari ketiga pemikiran di atas maka kami terpanggil untuk menyusun makalah yang
berjudul “Pada Peradaban Islam Masa Khulafaurrasyidin” .

1. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penyusunan makalah ini
adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perkembangan peradaban Islam pada masa khulafaurrasyidin?


2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan peradaban Islam pada masa
khulafaurrasyidin berkembang dengan dengan pesat?
3. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan ummat Islam dalam mengatasi konflik-konflik
yang terjadi pada masa khulafaurrasyidin?
BAB II

PEMBAHASAN

PERADABAN ISLAM MASA KHULAFAUR RASYIDIN

1. A. PERADABAN ISLAM MASA KHALIFAH ABU BAKAR

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW status sebagai Rasulullah tidak dapat diganti oleh
siapapun (khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), tetapi kedudukan beliau yang kedua sebagai
pimpinan kaum muslimin mesti segera ada gantinya. Orang itulah yang dinamakan
“Khalifah” artinya yang menggantikan Nabi menjadi kepala kaum muslimin (pimpinan
komunitas Islam) dalam memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan melestarikan hukum-
hukum Agama Islam. Dialah yang menegakkan keadilan yang selalu berdiri diatas kebenaran.

Maka setelah Nabi Muhammad SAW wafat, pemuka-pemuka Islam segera bermusyawarah
untuk mencari pengganti Rasulullah SAW. Setelah terjadi perdebatan sengit antara kaum
Anshar dan kaum Muhajirin, akhirnya terpilihlah sahabat Abu Bakar sebagai Khalifah,
artinya pengganti Rasul SAW yang kemudian disingkat menjadi Khalifah atau Amirul
Mu’minin.

Keputusan Rasulullah SAW yang tidak menunjuk penggantinya sebelum beliau wafat dan
menyerahkan pada forum musyawarah para sahabat merupakan produk budaya Islam yang
mengajarkan bagaimana cara mengendalikan negara dan pemerintah secara bijaksana
dan demokratis.[11] Terpilihnya Abu Bakar sebagai Khalifah yang pertama dalam
ketatanegaraan Islam merupakan salah satu refleksi dari konsep politik Islam.

Abu Bakar menerima jabatan Khalifah pada saat sejarah Islam dalam keadaan krisis dan
gawat. Yaitu timbulnya perpecahan, munculnya para nabi palsu dan terjadinya berbagai
pemberontakan yang mengancam eksistensi negeri Islam yang masih baru. Memang
pengangkatan Abu Bakar berdasarkan keputusan bersama (musyawarah di balai Tsaqifah
Bani Sa’idah) akan tetapi yang menjadi sumber utama kekacauan ialah wafatnya nabi
dianggap sebagai terputusnya ikatan dengan Islam, bahkan dijadikan persepsi bahwa Islam
telah berakhir.

Abu Bakar bukan hanya dikatakan sebagai Khalifah, namun juga sebagai penyelamat Islam
dari kehancuran karena beliau telah berhasil mengembalikan ummat Islam yang telah
bercerai berai setelah wafatnya Rasulullah SAW. Disamping itu beliau juga berhasil
memperluas wilayah kekuasaan Islam. Jadi dapat disimpulkan bahwa letak peradaban pada
masa Abu Bakar adalah dalam masalah agama (penyelamat dan penegak agama Islam dari
kehancuran serta perluasan wilayah) melalui sistem pemerintahan (kekhalifahan) Islam.

Akan tetapi konsep kekhalifahan dikalangan Syi’ah masih ditentang. Menurut Syi’ah
kekhalifahan adalah warisan terhadap Ali dan kerabatnya, bukan pemilihan sebagaimana
terjadi pada Abu Bakar. Terlepas dari perbedaan interpretasi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa konsep kekhalifahan adalah produk budaya dibidang politik yang orisinil dari
peradaban Islam. Sebab ketika itu tidak ada lembaga manapun yang memakai konsep
kekhalifahan.

Menurut Fachruddin, Abu Bakar terpilih untuk memimpim kaum Muslimin setelah
Rasulullah disebabkan beberapa hal:

1. Dekat dengan Rasulullah baik dari ilmunya maupun persahabatannya.


2. Sahabat yang sangat dipercaya oleh Rasulullah.
3. Dipercaya oleh rakyat, sehingga beliau mendapat gelar As–Siddiq, orang yang sangat
dipercaya.
4. Seorang yang dermawan.
5. Abu Bakar adalah sahabat yang diperintah Rasulullah SAW menjadi Imam Shalat
jama’ah.
6. Abu Bakar adalah termasuk orang yang pertama memeluk Islam.[12]

1. Biografi

Abu Bakar As-Shidiq adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang mempunyai
nama lengkap Abdullah Abi Quhafah At-Tamimi. Pada zaman pra Islam ia bernama Abu
Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi SAW. menjadi Abdullah. Beliau lahir pada tahun 573
M, dan wafat pada tanggal 23 Jumadil akhir tahun 13 H bertepatan dengan bulan Agustus 634
M, dalam usianya 63 tahun, usianya lebih muda dari Nabi SAW 3 tahun. Diberi julukan Abu
Bakar atau pelopor pagi hari, karena beliau termasuk orang laki-laki yang masuk Islam
pertama kali. Sedangkan gelar As-Shidiq diperoleh karena beliau senantiasa membenarkan
semua hal yang dibawa Nabi SAW terutama pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj.

Setelah masuk Islam, beliau menjadi anggota yang paling menonjol dalam jamaah Islam
setelah Nabi SAW. Beliau terkenal karena keteguhan pendirian, kekuatan iman, dan
kebijakan pendapatnya. Beliau pernah diangkat sebagai panglima perang oleh Nabi SAW.,
agar ia mendampingi Nabi untuk bertukar pendapat atau berunding.

Pekerjaan pokoknya adalah berniaga, sejak zaman jahiliyah sampai setelah diangkat menjadi
Khalifah. Sehingga pada suatu hari beliau ditegur oleh Umar ketika akan pergi ke pasar
seperti biasanya : “Jika engkau masih sibuk dengan perniagaanmu, siapa yang akan
melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan?”. Jawab Abu Bakar : “Jadi dengan apa saya mesti
memberi makan keluarga saya? “. Lalu diputuskan untuk menggaji Khalifah dari baitul mal
sekedar mencukupi kebutuhan sehari-hari dalam taraf yang amat sederhana.

Abu Bakar adalah putra dari keluarga bangsawan yang terhormat di Makkah. Semasa kecil
dia merupakan lambang kesucian dan ketulusan hati serta kemuliaan akhlaknya, sehingga
setiap orang mencintainya. Ketika Nabi SAW mengajak manusia memeluk agama Islam, Abu
Bakar merupakan orang pertama dari kalangan pemuda yang menanggapi seruan Rasulullah,
sehingga Nabi SAW memberinya gelar “Ash-Siddiq”.

Pengabdian Abu Bakar untuk Islam sangatlah besar. Ia menyerahkan semua harta bendanya
demi kepentingan Islam. Ia selalu mendampingi Rasulullah dalam mengemban misi Islam
sampai Nabi SAW wafat. Waktu itu sebagian penduduk Arabia telah masuk Islam, sehingga
masyarakat Muslim yang “masih bayi” itu dihadapkan pada wujud krisis konstitusional.
Sebab beliau tidak menunjuk penggantinya,bahkan tidak membentuk dewan majlis dari
garis-garis suku yang ada. Pada akhirnya timbul tiga golongan yang memperselisihkan
tonggak kekhalifahan.

2. Peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah

Memang diakui oleh seluruh sejarawan bahwa Rasulullah yang wafat tahun 11 H, tidak
meninggalkan wasiat tentang orang yang akan penggantikannya. Oleh karena itu, setelah
rasulullah SAW wafat para sahabat segera berkumpul untuk bermusyawarah di suatu tempat
yaitu Tsaqifah Bani Sa’idah guna memilih pengganti Rasulullah (Khalifah) memimpin
ummat Islam. Musyawarah itu secara spontanitas diprakarsai oleh kaum Anshor. Sikap
mereka itu menunjukkan bahwa mereka lebih memiliki kesadaran politik dari pada yang
lain, dalam memikirkan siapa pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam.

Dalam pertemuan itu mereka mengalami kesulitan bahkan hampir terjadi perpecahan diantara
golongan, karena masing-masing kaum mengajukan calon pemimpin dari golongannya
sendiri-sendiri. Pihak Anshar mencalonkan Sa’ad bin Ubaidah, dengan alasan mereka yang
menolong Nabi ketika keadaan di Makkah genting. Kaum Muhajirin menginginkan supaya
pengganti Nabi SAW dipilih dari kelompok mereka, sebab muhajirinlah yang telah
merasakan pahit getirnya perjuangan dalam Islam sejak awal mula Islam. Sedang dipihak
lain terdapat sekelompok orang yang menghendaki Ali Bin Abi Thalib, karena jasa-jasa dan
kedudukannya selaku menantu Rasulullah SAW. Hingga peristiwa tersebut diketahui Umar.
Ia kemudian pergi ke kediaman nabi dan mengutus seseorang untuk menemui Abu Bakar.
Kemudian keduanya berangkat dan diperjalanan bertemu dengan Ubaidah bin Jarroh.
Setibanya di balai Bani Sa’idah, mereka mendapatkan dua golongan besar kaum Anshor dan
Muhajirin bersitegang.

Dengan tenang Abu Bakar berdiri di tengah-tengah mereka, kemudian berpidato yang isinya
merinci kembali jasa kaum Anshor bagi tujuan Islam. Disisi lain ia menekankan pula anugrah
dari Allah yang memberi keistimewaan kepada kaum Muhajirin yang telah mengikuti
Muhammad sebagai Nabi dan menerima Islam lebih awal dan rela hidup menderita bersama
Nabi. Tetapi pidato Abu Bakar itu tidak dapat meredam situasi yang sedang tegang. Kedua
kelompok masih tetap pada pendiriannya. Kemudia Abu Ubaidah mengajak kaum Anshor
agar bersikap toleransi, begitu juga Basyir bin Sa’ad dari Khazraj (Anshor) agar kita tidak
memperpanjang perselisihan ini. Akhirnya situasi dapat sedikit terkendali.

Disela-sela ketegangan itu kaum Anshor masih menyarankan bahwa harus ada dua kelompok.
Hal itu berarti kepecahan kesatuan Islam, akhirnya dengan resiko apapun Abu Bakar tampil
ke depan dan berkata “Saya akan menyetujui salah seorang yang kalian pilih diantara kedua
orang ini” yakni tidak bisa lebih mengutamakan kami sendiri dari pada anda dalam hal ini”,
situasi menjadi lebih kacau lagi, kemudia Umar berbicara untuk mendukung Abu Bakar dan
mengangkat setia kepadanya. Dia tidak memerlukan waktu lama untuk menyakinkan kaum
Anshor dan yang lain, bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling patut di Madinah untuk
menjadi penerus pertama dari Nabi Muhammad SAW.

Sesudah argumentasi demi argumentasi dilontarkan, musyawarah secara bulat menunjuk Abu
Bakar untuk menjabat Khalifah dengan gelar “Amirul Mu’minin”. Dengan semangat
Islamiyyah terpilihlah Abu Bakar . Dia adalah orang yang ideal, karena sejak mula pertama
Islam diturunkan menjadi pendamping Nabi, dialah sahabat yang paling memahami risalah
Rasul. Disamping itu beliau juga pernah menggantikan Rasulullah sebagai imam pada saat
Rasulullah sakit.
Setelah mereka sepakat dengan gagasan Umar, sekelompok demi sekelompok maju kedepan
dan bersama-sama membaiat Abu Bakar sebagai Khalifah. Baiat tersebut dinamakan baiat
tsaqifah karena bertempat di balai Tsaqifah Bani Sa’idah. Pertemuan politik itu berlagsung
hangat, terbuka dan demokratis.[13]

Pertemua politik itu merupakan peristiwa sejarah yang penting bagi umat Islam. Sesuatu
yang megikat mereka tetap dalam satu kepemimpinan pemerintahan. Dan terpilihnya Abu
Bakar menjadi Khalifah pertama, menjadi dasar terbentuknya sistem pemerintahan Khalifah
dalam Islam.[14]

3. Sistem Politik Islam Masa Khalifah Abu Bakar

Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah (pengganti Nabi) sebagaimana dijelaskan pada
peristiwa Tsaqifah Bani Sa’idah, merupakan bukti bahwa Abu Bakar menjadi Khalifah bukan
atas kehendaknya sendiri, tetapi hasil dari musyawarah mufakat umat Islam. Denga
terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah, maka mulailah beliau menjalankan
kekhalifahannya, baik sebagai pemimpin umat maupun sebagai pemimpin pemerintahan.
Adapun sistem politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral”, jadi kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun demikian dalam
memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk
bermusyawarah.

Sedang kebijaksanaan politik yang diilakukan Abu Bakar dalam mengemban


kekhalifahannya yaitu:

1. Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum
Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika beliau masih hidup.
Sebenarnya dikalangan sahabat termasuk Umar bin Khatab banyak yang tidak setuju
dengan kebijaksanaan Khalifah ini. Alasan mereka, karena dalam negeri sendiri pada
saat itu timbul gejala kemunafikan dan kemurtadan yang merambah untuk
menghancurkan Islam dari dalam. Tetapi Abu Bakar tetap mengirim pasukan Usamah
untuk menyerbu Romawi, sebab menurutnya hal itu merupakan perintah Nabi SAW.

Pengiriman pasukan Usamah ke Romawi di bumi Syam pada saat itu merupakan langkah
politik yang sangat strategis dan membawa dampak positif bagi pemerintahan Islam, yaitu
meskipun negara Islam dalam keadaan tegang akan tetapi muncul interprestasi dipihak lawan,
bahwa kekuatan Islam cukup tangguh. Sehingga para pemberontak menjadi gentar,
disamping itu juga dapat mengalihkan perhatian umat Islam dari perselisihan yang bersifat
intern.[15]

1. Timbulnya kemunafikan dan kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa
setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka segala perjanjian dengan Nabi menjadi
terputus. Adapun orang murtad pada waktu itu ada dua yaitu :
1. Mereka yang mengaku nabi dan pengikutnya, termasuk di dalamnya orang
yang meninggalkan sholat, zakat dan kembali melakukan kebiasaan jahiliyah.
2. Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui
kewajiban zakat dan mengeluarkannya.

Dalam menghadapi kemunafikan dan kemurtadan ini, Abu Bakar tetap pada prinsipnya yaitu
memerangi mereka sampai tuntas.
1. Mengembangkan wilayah Islam keluar Arab. Ini ditujukan ke Syiria dan Persia.

Untuk perluasan Islam ke Syiria yang dikuasai Romawi (Kaisar Heraklius), Abu Bakar
menugaskan 4 panglima perang yaitu Yazid bin Abu Sufyan ditempatkan di Damaskus, Abu
Ubaidah di Homs, Amir bin Ash di Palestina dan Surahbil bin Hasanah di Yordan.

Usaha tersebut diperkuat oleh kedatangan Khalid bin Walid dan pasukannya serta

Mutsannah bin Haritsah, yang sebelumnya Khalid telah berhasil mengadakan perluasan ke
beberapa daerah di Irak dan Persia.[16] Dalam peperangan melawan Persia disebut sebagai
“pertempuran berantai”. Hal ini karena perlawanan dari Persia yang beruntun dan membawa
banyak korban.

Adapun kebijakan di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah:

1. a. Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah

Apabila terjadi suatu perkara, Abu Bakar selalu mencari hukumnya dalam kitab Allah. Jika
beliau tidak memperolehnya maka beliau mempelajari bagaimana Rasul bertindak dalam
suatu perkara. Dan jika tidak ditemukannya apa yang dicari, beliaupun mengumpulkan
tokoh-tokoh yang terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah. Apapun yang diputuskan
mereka setelah pembahasan, diskusi, dan penelitian, beliaupun menjadikannya sebagai suatu
keputusan dan suatu peraturan.

1. b. Amanat Baitul Mal

Para sahabat Nabi beranggapan bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat
kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan
pengeluaran sesuatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at.
Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul Mal untuk mencapai
tujuan-tujuan pribadi.

1. c. Konsep Pemerintahan

Politik dalam pemerintahan Abu Bakar telah beliau jelaskan sendiri kepada rakyat banyak
dalam sebuah pidatonya : “Wahai manusia ! Aku telah diangkat untuk mengendalikan
urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantara kamu. Maka jikalau aku dapat
menunaikan tugasku dengan baik, maka bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku salah,
maka luruskanlah ! orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat
mengambil hak daripadanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat
sampai aku dapat mengembalikan hak kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku
selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tiada mematuhi Allah dan
Rasul-Nya, kamu tidaklah perlu mentaatiku.

1. d. Kekuasaan Undang-undang

Abu Bakar tidak pernah menempatkan diri beliau diatas undang-undang. Beliau juga tidak
pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang- undang.
Dan mereka itu dihadapan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum
Muslim maupun non Muslim.
4. Penyelesaian Kaum Riddat

Kekhalifahan Abu Bakar yang begitu singkat sangat disibukkan dengan peperangan. Dalam
pertempuran itu tidak hanya melawan musuh-musuh Islam dari luar, tetapi juga dari dalam.
Hal ini terjadi karena ada sekelompok orang yang memancangkan panji pemberontakan
terhadap negara Islam di Madinah dan meninggalkan Islam (murtad) setelah Rasulullah
wafat.

Gerakan riddat (gerakan belot agama), bermula menjelang Nabi Muhammad jatuh sakit.
Ketika tersiar berita kemangkatan Nabi Muhammad, maka gerakan belot agama itu meluas di
wilayah bagian tengah, wilayah bagian timur, wilayah bagian selatan sampai ke

Madinah Al-Munawarah serta Makkah Al-Mukaramah itu sudah berada dalam keadaan
terkepung. Kenyataan itu yang dihadapi Khalifah Abu Bakar.

Gerakan riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang mengaku dirinya Nabi, guna
menyaingi Nabi Muhammad SAW, yaitu: Musailamah, Thulhah, Aswad Al-Insa.
Musailamah berasal dari suku bangsa Bani Hanifah di Arabia Tengah, Tulaiha seorang
kepala suku Bani Asad, Sajah seorang wanita KRISTEN dari Bani Yarbu yang
menikah dengan Musailamah.[17] Masing-masing orang tersebut berupaya meluaskan
pengikutnya dan membelakangi agama Islam.

Para nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati orang-orang Islam dengan
membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minum-
minuman keras, berjudi, mengurangi sholat lima waktu menjadi tiga, puasa Ramadhan
dihapus, pengubah pembayaran zakat yang wajib menjadi suka rela dan meniadakan batasan
dalam perkawinan.

Dalam gerakannya Aswad dan kawan-kawannya berusaha menguasai dan mempengaruhi


masyarakat Islam, dengan mengerahkan pasukan untuk masuk ke daerah- daerah. Akhirnya
pasukan riddatpun berhasil menyebar kedaerah-daerah, diantaranya: Bahrain, Oman Mahara
dan Hadramaut. Para panglima kaum riddat semakin gencar melaksanakan misinya.

Akan tetapi Khalifah Abu Bakar tidak tinggal diam, beliau berusaha untuk memadamkan dan
menumpas gerakan kaum riddat. Dengan sigap Khalifah Abu Bakar membentuk sebelas
pasukan dan menyerahkan al-liwak (panji pasukan) kepada masing- masing pasukan. Di
samping itu, setiap pasukan dibekali al-mansyurat (pengumuman) yang harus disampaikan
pada suku-suku Arab yang melibatkan dirinya dalam gerakan riddat. Kandungan isinya
memanggil kembali kepada jalan yang benar. Jikalau masih berkeras kepala, maka barulah
dihadapi dengan kekerasan.

Gerakan itu dikenal sebagai gerakan murtad dibawah komando para nabi palsu antara
lain, Aswad Insa yang menghimpun serdadu dengan jumlah besar di Yaman, Musailamah
berasal dari suku bangsa Bani Hanifah di Arabia Tengah, Tulaiha seorang kepala suku Bani
Asad, Sajah seorang wanita KRISTEN dari Bani Yarbu yang menikah dengan
Musaylamah.[18]

Para nabi palsu tersebut pada umumnya menarik hati orang-orang Islam dengan
membebaskan prinsip-prinsip moralis dan upacara keagamaan seperti membolehkan minum-
minuman keras, berjudi, mengurangi sholat lima waktu menjadi tiga puasa Ramadhan
dihapus, penghibah pembayaran zakat dijadikan suka rela dan meniadakan batasan dalam
pekawinan.

Abu Bakar sebagai seorang Khalifah, tidak mendiamkan kejadian itu terus berlanjut. Beliau
memandang gerakan murtad itu sebagai bahaya besar, kemudian beliau menghimpun para
prajurit Madinah dan membagi mereka atas sebelas batalian dengan komando masing-masing
panglima dan ditugaskan keberbagai tempat di Arabia. Abu Bakar menginstruksikan agar
mengajak mereka kembali pada Islam, jika menolak maka harus perangi.

Beberapa dari suku itu tunduk tanpa peperangan, sementara yang lainnya tidak mau
menyerah, bahkan mengobarkan api peperangan. Oleh karena itu pecahlah peperangan
melawan mereka, dalam hal ini Kholid bin Walid yang diberi tugas untuk menundukan
Tulaiha, dalam perang Buzaka berhasil dengan cemerlang. Sedangkan Musailamah seorang
penuntut kenabian yang paling kuat, Abu Bakar mengirim Ikrimah dan Surabil. Akan tetapi
mereka gagal menundukan Musailamah, kemudia Abu Bakar mengutus Kholid untuk
melawan nabi palsu dari Yaman itu. Dalam pertempuran itu Kholid dapat
mengahacurkan pasukan Musailamah dan membunuh dalam taman yang berdinding
tinggi, sehingga taman disebut “taman maut”.[19]

Adapaun nabi palsu yang lainnya termasuk Tulaihah dan Sajah serta kepala suku yang
murtad, kembali masuk Islam. Dengan demikian, dalam waktu satu tahun semua perang
Islam diberkahi dengan keberhasilan. Abu Bakar dengan para panglimanya menghancurkan
semua kekuatan pengacau dan kaum murtad. Oleh karena itu, beliau tidak hanya disebut
sebagai Khalifah umat Islam, tetapi juga sebagai penyelamat Islam dari kekacauan dan
kehancuran bahkan telah menjadikan Islam sebagai agama Dunia.

Keberhasilan perang melawan kelompok riddat membuat Islam memperoleh kembali


kesetiaan dari seluruh Jazirah Arabia. Selain itu, menurut Nasir kemenangan tersebut dapat
menunjukkan bahwa:

1) Kebenaran akan menang;

2) Menunjukkan akan keutamaan kekuatan moral atas kekuatan material;

3) Dapat menggetarkan musuh Islam dan membuktikan bahwa Islam mempunyai cukup
kekuatan untuk melawan para musuh-musuhnya;

4) Umat Islam diyakinkan akan keunggulan Islam dan kekuatan moral yang menjadi
sifatnya.[20]

Begitulah usaha Khalifah Abu Bakar, dengan perjuangan yang gigih, penuh kesabaran,
kebijakan dan ketegasan, akhirnya Khalifah Abu Bakar berhasil memberantas kaum riddat,
selanjutnya berakhirlah gerakan kaum riddat di belahan semenanjung Arabia, dan
semuanya menyatakan dirinya kembali sebagai pemeluk agama Islam yang setia.

E. Catatan Simpul

Khalifah Abu Bakar dalam masa yang singkat telah berhasil memadamkan kerusuhan oleh
kaum riddat yang demikian luasnya dan memulihkan kembali ketertiban dan keamanan
diseluruh semenanjung Arabia. Selanjutkan membebaskan lembah Mesopotamia yang
didiami suku-suku Arab. Disamping itu, Jasa beliau yang amat besar bagi kepentingan agama
Islam adalah beliau memerintahkan mengumpulkan naskah- naskah setiap ayat-ayat Al-
Qur’an dari simpanan Al-Kuttab, yakni para penulis (sekretaris) yang pernah ditunjuk oleh
Nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya, dan menyimpan keseluruhan naskah di rumah
janda Nabi SAW, yakni Siti Hafshah.

Tidak lebih dari dua tahun, Khalifah Abu Bakar mampu menegakkan tiang-tiang agama
Islam, termasuk diluar jazirah Arab yang begitu luas. Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar
berlangsung hanya 2 tahun 3 bulan 11 hari. Masa tersebut merupakan waktu yang paling
singkat bila dibandingkan dengan kepemimpinan Khalifah-Khalifah penerusnya. Meski
demikian beliau dapat disebut sebagai penyelamat dan penegak agama Allah di muka bumi.
Dengan sikap kebijaksanaannya sebagai kepala negara dan ke-tawadhu’an- nya kepada Allah
serta agamanya, beliau dapat menghancurkan musuh-musuh yang merongrong agama Islam
bahkan dapat memperluas wilayah Islam keluar Arabia.

Adapun kesuksesan yang diraih Khalifah Abu Bakar selama memimpin pemerintahan Islam
dapat dirinci sebagai berikut:

1. Perhatian Abu Bakar ditujukan untuk melaksanakan keinginan nabi, yang hampir
tidak terlaksana, yaitu mengirimkan suatu ekspedisi dibawah pimpinan Usamah
keperbatasan Syiria. Meskipun hal itu dikecam oleh sahabat-sahabat yang lain, karena
kondisi dalam negara pada saat itu masih labil. Akhirnya pasukan itu diberangkatkan,
dan dalam tempo beberapa hari Usamah kembali dari Syiria dengan membawa
kemenangan yang gemilang.
2. Keahlian Khalifah Abu Bakar dalam menghancurkan gerakan kaum riddat, sehingga
gerakan tersebut dapat dimusnahkan dan dalam waktu satu tahun kekuasaan Islam
pulih kembali. Setelah peristiwa tersebut solidaritas Islam terpelihara dengan baik dan
kemenangan atas suku yang memberontak memberi jalan bagi perkembangan Islam.
Keberhasilan tersebut juga memberi harapan dan keberanian baru untuk menghadapi
kekuatan Bizantium dan Sasania.
3. Ketelitian Khalifah Abu Bakar dalam menangani orang-orang yang menolak
membayar zakat. Beliau memutuskan untuk memberantas dan menundukkan
kelompok tersebut dengan serangan yang gencar sehingga sebagian mereka menyerah
dan kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya. Dengan demikian Islam dapat
diselamatkan dan zakat mulai mengalir lagi dari dalam maupun dari luar negeri.
4. Melakukan pengembangan wilayah Islam keluar Arabia. Untuk itu, Abu Bakar
membentuk kekuatan dibawah komando Kholid bin Walid yang dikirim ke Irak dan
Persia. Ekspedisi ini membuahkan hasil yang gemilang. Selanjutnya memusatkan
serangan ke Syiria yang diduduki bangsa Romawi. Hal ini didasarkan secara
ekonomis Syiria merupakan wilayah yang penting bagi Arabia, karena eksistensi
Arabia bergantung pada perdagangan dengan Syiria. Sehingga penaklukan ke wilayah
Syiria penting bagi umat Islam. Tetapi kemenangan secara mutlak belum terwujud
sampai Abu Bakar meninggal Dunia pada hari Kamis, tanggal 22 Jumadil Akhir, 13 H
atau 23 Agustus 634 M.[21]

Dari penjelasan yang terurai diatas, dapat disimpulkan bahwasan Khalifah Abu Bakar Al–
Shiddiq adalah seorang pemimpin yang tegas, adil dan bijaksana. Selama hayat hingga masa-
masa menjadi Khalifah, Abu Bakar dapat dijadikan teladan dalam kesederhanaan,kerendahan
hati, kehati-hatian, dan kelemah lembutan pada saat dia kaya dan memiliki jabatan yang
tinggi. Ini terbukti dengan keberhasilan beliau dalam menghadapi dan mengatasi berbagai
kerumitan yang terjadi pada masa pemerintahannya tersebut. Beliau tidak mengutamakan
pribadi dan sanak kerabatnya, melainkan mengutamakan kepentingan rakyat dan juga
mengutamakan masyarakat/ demokrasi dalam mengambil suatu keputusan.

Akhirnya perlu dipahami bahwa suatu kehidupan dakwah senantiasa penuh dengan
tantangan. Sebagai seorang Muslim hendaklah menghadapinya dengan tanpa putus asa,
penuh kesabaran, kebijakan dan ketentraman hati, juga memohon kepada-Nya serta lebih
mempererat ukhuwah Islamiyyah, agar tercipta suatu tatanan masyarakat yang aman, damai,
sentosa dan sejahtera dengan persatuan dan kesatuan yang kokoh.

B. ISLAM MASA KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB

Umar bin Khatab adalah keturunan Quraisy dari suku Bani Ady. Suku Bani Ady terkenal
sebagai suku yang terpandang mulia dan berkedudukan tinggi pada masa Jahiliah. Umar
bekerja sebagai saudagar. Beliau juga sebagai duta penghubung ketika terjadi suatu masalah
antara kaumnya dengan suku Arab lain. Sebelum masuk Islam beliau adalah orang yang
paling keras menentang Islam, tetapi setelah beliau masuk Islam dia pulalah yang paling
depan dalam membela Islam tanpa rasa takut dan gentar.[22]

1. Biografi

Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil Uzza bin Ribaah bin
Abdullah bin Qarth bin Razaah bin Adiy bin Kaab. Ibunya adalah Hantamah binti Hasyim
bin Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Mahzum. Ia berasal dari suku Adiy, suatu suku
dalam bangsa Quraisy yang terpandang mulia, megah dan berkedudukan tinggi. Dia
dilahirkan 14 tahun sesudah kelahiran Nabi, tapi ada juga yang berpendapat bahwa ia
dilahirkan 4 tahun sebelum perang Pijar.[23]

Sebelum masuk Islam, dia adalah seorang orator yang ulung, pegulat tangguh, dan selalu
diminta sebagai wakil sukunya bila menghadapi konflik dengan suku Arab yang lainnya.
Terkenal sebagai orang yang sangat pemberani dalam menentang Islam, punya ketabahan dan
kemauan keras, tidak mengenal bingung dan ragu.[24]

Ia masuk Islam setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran yang dibaca oleh adiknya (Fatimah
binti Khattab), padahal ketika itu ia hendak membunuhnya karena mengikuti ajaran Nabi.
Dengan masuknya Umar kedalam Islam, maka terjawablah doa Nabi yang meminta agar
Islam dikuatkan dengan salah satu dari dua Umar (Umar bin Khattab atau Amr bin Hisyam)
dan sebagai suatu kemenangan yang nyata bagi Islam.[25]

Sebelum Khalifah Abu Bakar wafat, beliau telah menunjuk Umar sebagai pengganti
posisinya dengan meminta pendapat dari tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan sahabat
seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman, dan Tolhah bin Ubaidillah (Hasan, 1989:38). Masa
pemerintahan Umar bin Khatab berlangsung selama 10 tahun 6 bulan, yaitu dari tahun 13
H/634M sampai tahun 23H/644M. Beliau wafat pada usia 64 tahun. Selama masa
pemerintahannya oleh Khalifah Umar dimanfaatkan untuk menyebarkan ajaran Islam dan
memperluas kekuasaan ke seluruh semenanjung Arab.[26]

Ia meninggal pada tahun 644 M karena ditikam oleh Fairuz (Abu Lukluk), budak Mughirah
bin Abu Sufyan dari perang Nahrrawain yang sebelumnya adalah bangsawan Persia. Menurut
Suaib alasan pembunuhan politik pertama kali dalam sejarah Islam adalah adanya rasa
syu’ubiyah (fanatisme) yang berlebihan pada bangsa Persia dalam dirinya.[27]

Sebelum meninggal, Umar mengangkat Dewan Presidium untuk memilih Khalifah pengganti
dari salah satu anggotanya. Mereka adalah Usman, Ali, Tholhah, Zubair, Saad bin Abi
Waqash dan Abdurrahman bin Auf. Sedangkan anaknya (Abdullah bin Umar), ikut dalam
dewan tersebut, tapi tidak dapat dipilih, hanya memberi pendapat saja. Akhirnya, Usmanlah
yang terpilih setelah terjadi perdebatan yang sengit antar anggotanya.[28]

2. Ahlul Hall Wal ‘Aqdi

Secara etimologi, ahlul hall wal aqdi adalah lembaga penengah dan pemberi fatwa.
Sedangkan menurut terminologi, adalah wakil-wakil rakyat yang duduk sebagai anggota
majelis syura, yang terdiri dari alim ulama dan kaum cerdik pandai (cendekiawan) yang
menjadi pemimpin-pemimpin rakyat dan dipilih atas mereka.

Dinamakan ahlul hall wal aqdi untuk menekankan wewenang mereka guna menghapuskan
dan membatalkan. Penjelasan tentangnya merupakan deskripsi umum saja, karena dalam
pemerintahan Islam, badan ini belum dapat dilaksanakan. [29]

Anggota dewan ini terpilih karena dua hal yaitu: pertama, mereka yang telah mengabdi
dalam Dunia politik, militer, dan misi Islam, selama 8 sampai dengan 10 tahun. kedua,
orang-orang yang terkemuka dalam hal keluasan wawasan dan dalamnya pengetahuan
tentang yurisprudensi dan Quran.[30]

Dalam masa pemerintahannya, Umar telah membentuk lembaga-lembaga yang disebut


juga dengan ahlul hall wal aqdi, di antaranya adalah:

1. Majelis Syura (Diwan Penasihat), ada tiga bentuk :


1. Dewan Penasihat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal,
antara lain Ali, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin
Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah dan Zubair.
2. Dewan Penasihat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin)
dan pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan umum.
3. Dewan antara Penasihat Tinggi dan Umum. Beranggotakan para sahabat
(Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah
khusus.
4. Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam.
5. Nidzamul Maly (Departemen Keuangan) mengatur masalah keuangan
dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fai’ dan lain-lain.
6. Nidzamul Idary (Departemen Administrasi), bertujuan untuk memudahkan
pelayanan kepada masyarakat, di antaranya adalah diwanul jund yang
bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
7. Departemen Kepolisian dan Penjaga yang bertugas memelihara
keamanan dalam negara.
8. Departemen Pendidikan dan lain-lain.[31]

Pada masa Umar, badan-badan tersebut belumlah terbentuk secara resmi, dalam arti secara de
jure belum terbentuk, tapi secara de facto telah dijalankan tugas-tugas badan tersebut.
Meskipun demikian, dalam menjalankan roda pemerintahannya, Umar senantiasa mengajak
musyawarah para sahabatnya.[32]

3. Perluasan Wilayah

Ketika para pembangkang di dalam negeri telah dikikis habis oleh Khalifah Abu Bakar dan
era penaklukan militer telah dimulai, maka Umar menganggap bahwa tugas utamanya adalah
mensukseskan ekspedisi yang dirintis oleh pendahulunya. Belum lagi genap satu tahun
memerintah, Umar telah menorehkan tinta emas dalam sejarah perluasan wilayah kekuasaan
Islam. Pada tahun 635 M, Damascus, Ibu kota Syuriah, telah ia tundukkan. Setahun kemudian
seluruh wilayah Syuriah jatuh ke tangan kaum muslimin, setelah pertempuran hebat di
lembah Yarmuk di sebelah timur anak sungai Yordania.

Keberhasilan pasukan Islam dalam penaklukan Syuriah di masa Khalifah Umar tidak lepas
dari rentetan penaklukan pada masa sebelumnya. Khalifah Abu Bakar telah mengirim
pasukan besar dibawah pimpinan Abu Ubaidah Ibn al-Jarrah ke front Syuriah. Ketika
pasukan itu terdesak, Abu Bakar memerintahkan Khalid Ibn al-Walid yang sedang dikirim
untuk memimpin pasukan ke front Irak, untuk membantu pasukan di Syuriah. Dengan
gerakan cepat, Khalid bersama pasukannya menyeberangi gurun pasir luas ke arah Syuriah.
Ia bersama Abu Ubaidah mendesak pasukan Romawi. Dalam keadaan genting itu,
wafatlah Abu Bakar dan diganti oleh Umar bin al-Khattab.

Khalifah yang baru itu mempunyai kebijaksanaan lain. Khalid yang dipercaya untuk
memimpin pasukan di masa Abu Bakar, diberhentikan oleh Umar dan diganti oleh Abu
Ubaidah Ibn al-Jarrah. Hal itu tidak diberitahukan kepada pasukan hingga selesai perang,
dengan maksud supaya tidak merusak konsentrasi dalam menghadapi musuh. Damascus jatuh
ke tangan kaum muslimin setelah dikepung selama tujuh hari. Pasukan Muslim yang
dipimpin oleh Abu Ubaidah itu melanjutkan penaklukan ke Hamah, Qinisrun, Laziqiyah dan
Aleppo. Surahbil dan ‘Amr bersama pasukannya meneruskan penaklukan atas Baysan dan
Jerussalem di Palestina. Kota suci dan kiblat pertama bagi umat Islam itu dikepung oleh
pasukan Muslim selama empat bulan. Akhirnya kota itu dapat ditaklukkan dengan syarat
harus Khalifah Umar sendiri yang menerima “kunci kota” itu dari Uskup Agung
Shoporonius, karena kekhawatiran mereka terhadap pasukan Muslim yang akan
menghancurkan gereja-gereja.[33]

Dari Syuriah, laskar kaum muslimin melanjutkan langkah ke Mesir dan membuat
kemenangan-kemenangan di wilayah Afrika Utara. Bangsa Romawi telah menguasai Mesir
sejak tahun 30 SM. Dan menjadikan wilayah subur itu sebagai sumber pemasok gandum
terpenting bagi Romawi. Berbagai macam pajak naik sehingga menimbulkan kekacauan di
negeri yang pernah diperintah oleh raja Fir’aun itu. ‘Amr bin Ash meminta izin Khalifah
Umar untuk menyerang wilayah itu, tetapi Khalifah masih ragu-ragu karena pasukan Islam
masih terpencar dibeberapa front pertempuran. Akhirnya, permintaan itu dikabulkan juga
oleh Khalifah dengan mengirim 4000 tentara ke Mesir untuk membantu ekspedisi itu. Tahun
18 H, pasukan muslimin mencapai kota Aris dan mendudukinya tanpa perlawanan.
Kemudian menundukkan Poelisium (Al-Farama), pelabuhan di pantai Laut Tengah yang
merupakan pintu gerbang ke Mesir. Satu bulan kota itu dikepung oleh pasukan kaum
muslimin dan dapat ditaklukkan pada tahun 19 H. Satu demi satu kota-kota di Mesir
ditaklukkan oleh pasukan muslimin. Kota Babylonia juga dapat ditundukkan pada tahun 20
H, setelah tujuh bulan terkepung.
Iskandariah (ibu kota Mesir) dikepung selama empat bulan sebelum ditaklukkan oleh
pasukan Islam di bawah pimpinan Ubaidah Ibn as-Samit yang dikirim oleh Khalifah dari
Madinah sebagai bantuan pasukan ‘Amr bin Ash yang sudah berada di front peperangan
Mesir. Cyrus menandatangani perjanjian damai dengan kaum muslimin. Dengan jatuhnya
Iskandariah ini, maka sempurnalah penaklukan atas Mesir. Ibu kota negeri itu
dipindahkan ke kota Fusthat yang dibangun oleh Amr bin Ash pada tahun 20 H. Dengan
Syuriah sebagai basis, gerak maju pasukan ke Armenia , Mesopotamia bagian utara, Georgia,
dan Azerbaijan menjadi terbuka.

Demikian juga dengan serangan-serangan terhadap Asia Kecil yang dilakukan selama
bertahun-tahun. Seperti halnya perang Yarmuk yang menentukan nasib Syuriah, perang
Qadisia pada tahun 637 M, menentukan masa depan Persia. Khalifah Umar mengirim
pasukan di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqash untuk menundukkan kota itu.
Kemenangan yang diraih di daerah itu membuka jalan bagi gerakan maju tentara Muslim ke
dataran Eufrat dan Tigris. Setelah dikepung selama 2 bulan, Yazdagrid III, raja Persia
melarikan diri. Pasukan Islam kemudian mengepung Nahawan dan menundukkan Ahwaz
tahun 22 H. Pada tahun itu pula, seluruh Persia sempurna berada dalam kekuasaan Islam,
sesudah pertempuran sengit di Nahawan. Isfahan juga ditaklukan. Demikian juga dengan
Jurjan (Georgia) dan Tabristan, Azerbaijan. Orang-orang Persia yang jumlahnya jauh lebih
besar dari pada tentara Islam, yaitu 6 dibanding 1, menderita kerugian besar. Kaum
muslimin menyebut sukses ini dengan “kemenangan dari segala kemenangan” (fathul
futuh).[34]

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekuasaan Islam pada masa itu meliputi
Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, Mesir dan sebagian besar Persia.

4. Pengembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik

Periode kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan “abad emas” Islam dalam segala
zaman. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap
kemampuannya, terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa,
tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri
sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Ilahiyah (syariat)
sebagai code (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru dibentuk. Maka tidak
heran jika ada yang mengatakan bahwa beliaulah pendiri daulah islamiyah (tanpa
mengabaikan jasa-jasa Khalifah sebelumnya).

Banyak metode yang digunakan Umar dalam melakukan perluasan wilayah, sehingga musuh
mau menerima Islam karena perlakuan adil kaum Muslim. Di situlah letak kekuatan
politik terjadi. Dari usahanya, pasukan kaum Muslim mendapatkan gaji dari hasil rampasan
sesuai dengan hukum Islam. Untuk mengurusi masalah ini, telah dibentuk Diwanul Jund.[35]
Sedangkan untuk pegawai biasa, di samping menerima gaji tetap (rawatib), juga menerima
tunjangan (al-itha’). Khusus untuk Amr bin Ash, Umar menggajinya sebesar 200 dinar
mengingat jasanya yang besar dalam ekspansi. Dan untuk Imar bin Yasar, diberi 60 dinar
disamping tunjangan (al-jizyaat) karena hanya sebagai kepala daerah (al-amil).

Dalam rangka desentralisasi kekuasaan, pemimpin pemerintahan pusat tetap


dipegang oleh Khalifah Umar bin Khattab. Sedangkan di propinsi, ditunjuk Gubernur
(oramg Islam) sebagai pembantu Khalifah untuk menjalankan roda pemerintahan. Di
antaranya adalah :
1. Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syiria, dengan ibukota Damaskus.
2. Nafi’ bin Abu Harits, Gubernur Hijaz, dengan ibu kota Mekkah.
3. Abu Musa Al Asy’ary, Gubernur Iran, dengan ibu kota Basrah.
4. Mughirah bin Su’bah, Gubernur Irak, dengan ibu kota Kufah.
5. Amr bin Ash, Gubernur Mesir, dengan ibu kota Fustat.
6. Alqamah bin Majaz, Gubernur Palestina, dengan ibu kotai Jerussalem.
7. Umair bin Said, Gubernur jazirah Mesopotamia, dengan ibu kota Hims.
8. Khalid bin Walid, Gubernur di Syiria Utara dan Asia Kecil.
9. Khalifah sebagai penguasa pusat di Madinah.[36]

Tentang ghanimah, harta yang didapat dari hasil perang Islam setelah mendapat kemenangan,
dibagi sesuai dengan syariat Islam yang berlaku. Setelah dipisahkan dari as- salb, ghanimah
dimasukkan ke baitul maal. Bahkan ketika itu, peran diwanul jund, sangat berarti dalam
mengelola harta tersebut, tidak seperti zaman Nabi yang membagi menurut ijtihad beliau.[37]

Khalifah Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau juga memperbaiki
dan mengadakan perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang perlu direvisi dan dirubah.
Umpamanya aturan yang telah berjalan tentang sistem pertanahan, bahwa kaum muslimin
diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang. Umar
mengubah peraturan ini, tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya semula,
tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (al-kharaj). Umar juga meninjau kembali
bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada orang-orang yang dijinaki hatinya (al-
muallafatu qulubuhum).[38]

Di samping itu, Umar juga mengadakan “dinas malam” yang nantinya mengilhami
dibentuknya as-syurthah pada masa kekhalifahan Ali. Disamping itu Nidzamul Qadhi
(departemen kehakiman) telah dibentuk, dengan hakim yang sangat terkenal yaitu Ali bin
Abu Thalib. Dalam masyarakat, yang sebelumnya terdapat penggolongan masyarakat
berdasarkan kasta, setelah Islam datang, tidak ada lagi istilah kasta tersebut (thabaqatus
sya’by). Kedudukan wanita sangat diperhatikan dalam semua aspek kehidupan. Istana dan
makanan Khalifah dikelola sesederhana mungkin. Terhadap golongan minoritas (Yahudi-
Nasrani), diberikan kebebasan menjalankan perintah agamanya. Tidak ada perbedaan
kaya-miskin. Hal ini menunjukkan realisasi ajaran Islam telah nampak pada masa Umar.

Mengenai ilmu keislaman pada saat itu berkembang dengan pesat. Para ulama menyebarkan
ke kota-kota yang berbeda, baik untuk mencari ilmu maupun mengajarkannya kepada
muslimin yang lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan sebelum Islam datang, dimana
penduduk Arab, terutama Badui, merupakan masyarakat yang terbelakang dalam masalah
ilmu pengetahuan. Buta huruf dan buta ilmu adalah sebuah fenomena yang biasa.

Di samping ilmu pengetahuan, seni bangunan, baik itu bangunan sipil (imarah madaniyah),
bangunan agama (imarah diniyah), ataupun bangunan militer (imarah harbiyah), mengalami
kemajuan yang cukup pesat pula.

Kota-kota gudang ilmu, di antaranya adalah Basrah, Hijaz, Syam, dan Kuffah seakan menjadi
idola ulama dalam menggali keberagaman dan kedalaman ilmu pengetahuan.

Ahli-ahli kebudayaan membagi ilmu Islam menjadi 3 kelompok, yait :


1. Al ulumul islamiyah atau al adabul islamiyah atau al ulumun naqliyah atau al ulumus
syariat yang meliputi ilmu-ilmu Quran, hadis, kebahasaan (lughat), fikih, dan sejarah
(tarikh).
2. Al adabul arabiyah atau al adabul jahiliyah yang meliputi syair dan khitabah (retorika)
yang sebelumnya memang telah ada, tapi mengalami kemajuan pesat pada masa
permulaan Islam.
3. Al ulumul aqliyah yang meliputi psikologi, kedokteran, tehnik, falak, dan filsafat.

Pada saat itu, para ulama berlomba-lomba menyusun berbagai ilmu pengetahuan karena:

1. Mereka mengalami kesulitan memahami Al Qur’an .


2. Sering terjadi perkosaan terhadap hukum
3. Dibutuhkan dalam istimbath (pengambilan) hukum d. Kesukaran dalam membaca Al
Qur’an.

Oleh karena itulah, banyak orang yang berasumsi bahwa kebangkitan Arab masa itu didorong
oleh kebangkitan Islam dalam menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Apabila ada orang
menyebut, “ilmu pengetahuan Arab”, pada masa permulaan Islam, berarti itu adalah “ilmu
pengetahuan Islam”.

5. Catatan Simpul

Konsep Khalifah pada zaman Umar masih tetap berjalan melalui proses pemilihan, kendati
Khalifah sebelumnya (Abu Bakar) telah menunjuk Khalifah penerusntya. Hal penting
yang perlu dicatat dari pemerintahan Khalifah Umar diantaranya adalah :

1. a. Munculnya Pemerintahan Arab

Berkat jasa Khalifah Abu Bakar, seluruh jazirah telah berada dibawah pemerintahan Islam
bahkan pernah memasuki wilayah Byzantium Syria tetapi mengalami kegagalan. Kemudian
pada zaman Khalifah Umar, Islam baru bisa dikembangkan ke wilayah Persia dan
Byzantium. Dalam waktu singkat Persia dan Byzantium telah di kuasai oleh Islam, dan
menyusul Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Romawi. Masuknya Islam ke wilayah Persia,
Irak dan Byzantium berarti kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa Persia yang sejak dulu
memang terlibat sentimen permusuhan. karena itulah pemerintahan Khalifah Umar disebut
pemerintahan Arab.[39]

Kemenangan bangsa Arab terhadap bangsa Persia merupakan pukulan berat bagi Persia, baik
secara ekonomi maupun dilihat dari sudut politik. Sebab ketika itu Persia termasuk bangsa
besar sehingga ketika jatuh ke tangan Arab, mereka kehilangan kedudukan sebagai raja dan
seluruh harta kekayaannya dikuasai oleh pemerintahan Arab.

Oleh karena itu, sebagai puncak kebencian dari orang Persia, mereka mengirim pembunuh
bayaran untuk membunuh Khalifah Umar. Pada saat usai sholat Subuh, Kholifah Umar
dibunuh oleh pembunuh bayaran bangsa Persia yang bernama Abu Lu’lu’ah, seorang
budak yang dibawa oleh Al–Mughirah dari Irak.[40] Pembunuhan yang dilakukan oleh
budak dari Persia tersebut menunjukkan rasa ketidak puasan orang–orang Persia terhadap
orang Arab yang telah menundukkan negara dan kebesaran kekaisaran Persia. Karena
sebelum Islam datang Persia lebih maju dari pada bangsa Arab.
1. b. Pembangunan Kota Baru

Khalifah Umar terkenal sebagai Khalifah yang berani dan dermawan. Oleh karena itu, setiap
beliau berhasil mengusai pusat kerajaan, beliau tidak menempati pusat kerajaan yang telah
ada, akan tetapi ia lebih suka membangun daerah baru yang jauh dari kota dan cocok untuk
peternakan sebagai pusat dari kerajaan baru yang telah ia taklukkan. Berdasarkan konsep
pemikiran tersebut Khalifah Umar mendirikan kota Basrah pada tahun 16 H, Kufah pada
tahun 17 H dan Fustat pada tahun 19 H sekarang menjadi Kairo Kuno.[41]

Adapun cara Khalifah Umar dalam mendirikan kota baru adalah pertama membangun Masjid
dan pengadaan air minum baru kemudian kantor pemerintahan. Dari sinilah daerah tersebut
berangsur–angsur menjadi kota dan sebagai pusat kebudayaan dan pengembangan
ilmu pengetahuan dengan masjid sebagai sentralnya. Hal ini terbukti sampai sekarang
Kufah, Basrah dan Kairo menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Dunia Islam. Oleh karena itu,
daerah tersebut banyak didatangi oleh bangsa lain seperti: Cina dan Bangsa Eropa.

1. c. Lembaga Perpajakan

Ketika wilayah kekuasaan Islam telah meliputi wilayah Persia, Irak dan Syria serta Mesir
sudah barang tentu yang menjadi persoalan adalah pembiayaan , baik yang menyangkut biaya
rutin pemerintah maupun biaya tentara yang terus berjuang menyebarkan Islam ke wilayah
tetangga lainnya. Oleh karena itu, dalam kontek ini Ibnu Khadim mengatakan bahwa institusi
perpajakan merupakan kebutuhan bagi kekuasaan raja yang mengatur pemasukan dan
pengeluaran.[42]

Sebenarnya konsep perpajakan secara dasar berawal dari keinginan Umar untuk mengatur
kekayaan untuk kepentingan rakyat. Kemudian secara tehnis beliau banyak memperoleh
masukan dari orang bekas kerajaan Persia, sebab ketika itu Raja Persia telah mengenal
konsep perpajakan yang disebut sijil, yaitu daftar seluruh pendapatan dan pengeluaran
diserahkan dengan teliti kepada negara. Berdasarkan konsep inilah Umar menugaskan stafnya
untuk mendaftar pembukuan dan menyusun kategori pembayaran pajak.

C. PERADABAN ISLAM PADA MASA KHALIFAH USTMAN BIN AFFAN

Diantara Khulafaurrasyidin adalah Ustman Ibnu Affan (Khalifah ketiga) yang memerintah
umat Islam paling lama dibandingkan ketiga Khalifah lainnya. Ia memerintah selama 12
tahun. Dalam pemerintahannya, sejarah mencatat telah banyak kemajuan dalam berbagai
aspek yang dicapai untuk umat Islam. Akan tetapi juga tidak sedikit polemik yang terjadi
di akhir pemerintahannya.

Pada masa Khalifah Ustman, konsep kekhalifaan sudah mulai mundur, dalam arti interest
politik disekitar Khalifah mulai banyak diwarnai oleh dinamika kepentingan suku dan
perbedaan interpretasi konsep kepemimpinan dalam Islam. Ketika itu sebenarnya Umar
telah memilih jalan demokratis dalam menentukan penggantinya. Akan tetapi beliau berada
dalam pada posisi dilematis, ia diminta oleh sebagian sahabat untuk menunjukkan
penggantinya. Maka jalan keluar yang ditempuh Khalifah Umar adalah memilih formatur 6
orangyang terdiri dari: Ustman bin Affan, Ali Ibnu Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Ibnu
Awwam, Sa’ad Ibnu Abi Waqqas dan Abdurrahman Ibnu Auf.[43] (Syalaby, 1
Kemudian formatur sepakat memilih Ustman sebagai Khalifah.
Terpilihnya Ustman sebagai Khalifah ternyata melahirkan perpecahan dikalangan
pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari persaingan kesukuan antara
bani Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah yang memang bersaing sejak zaman pra
Islam. Oleh karena itu, ketika Ustman terpilih masyarakat menjadi dua golongan, yaitu
golongan pengikut Bani Ummayyah, pendukung Ustman dan golongan Bani Hasyim
pendukung Ali. Perpecahan itu semakin memuncak dipenghujung pemerintahan Ustman,
yang menjadi simbol perpecahan kelompok elite yang menyebabkan disintegrasi masyarakat
Islam pada masa berikutnya.

1. Biografi

Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay al-
Quraisyi. Nabi sangat mengaguminya karena ia adalah orang yang sederhana, shaleh dan
dermawan. Ia dikenal dengan sebutan Abu Abdullah. Ia dilahirkan pada tahun 573 M di
Makkah dari pasangan suami isteri Affan dan Arwa. Beliau merupakan salah satu keturunan
dari keluarga besar Bani Umayyah suku Quraisyi. Sejak kecil, ia dikenal dengan kecerdasan,
kejujuran dan keshalehannya sehingga Rasulullah SAW sangat mengaguminya. Oleh
karena itu, ia memberikan kesempatan untuk menikahi dua putri Nabi secara berurutan,
yaitu setelah putri Nabi yang satu meninggal Dunia.[44]

Ustman bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Berawal dari kedekatannya dengan Abu
Bakar, beliau dengan sepenuh hati masuk Islam bersama sahabatnya Thalhah bin
Ubaidillah. Meskipun masuk Islamnya mendapat tantangan dari pamannya yang bernama
Hakim, ia tetap pada pendiriannya. Karena pilihan agamanya tersebut, Hakim sempat
menyiksa Ustman bin Affan dengan siksaan yang amat pedih. Siksaan terus berlangsung
hingga datang seruan Nabi Muhammad SAW agar orang-orang Islam berhijrah ke
Habsyi.[45]

Di kalangan bangsa Arab ia tergolong konglomerat, tetapi perilakunya sederhana. Selama


tinggal di Madinah, ia memperlihatkan komitmen sosialnya yang tinggi pada Islam. Seluruh
hidupnya diabdikan untuk syiar agama Islam dan seluruh kekayaannya didermakan untuk
kepentingan umat Islam. Ia menyumbangkan 950 ekor unta dan 50 ekor kuda serta 1000
dirham dalam perang Tabuk, Juga membeli mata air dari orang Romawi dengan harga 20.000
dirham guna diwakafkan bagi kepentingan umat Islam.[46]

Selama pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Ustman menjadi pejabat yang amat
dipercaya yaitu sebagai anggota dewan inti yang selalu diminta pendapatnya tentang
masalah-masalah kenegaraan, misalnya masalah pengangkatan Umar sebagai pengganti Abu
Bakar.

Ustman bin Affan menjabat Khalifah pada usia 70 tahun hingga usia 82 tahun. Adalah
Khalifah yang paling lama memerintah dibanding ketiga Khalifah lainnya. Ia memerintah
Dunia Islam selama 12 tahun (24–36 H/644–656 M). Dalam pemerintahannya, banyak
kemajuan yang telah dicapainya, disamping tidak sedikit pula polemik dan kesan negatif
yang terjadi di akhir pemerintahannya. Secara dramatik bahkan muncul pendapat dan
argumen bahwa Khalifah Ustman melakukan penyimpangan terhadap ajaran Islam, sihingga
ia dianggap tidak layak menyandang gelar Khalifah ar-Rasyidin. Sebab selama menjadi
Khalifah, ia diasumsikan banyak melakukan nepotisme dan prilaku menyimpang lainnya.

2. Proses Kekhalifahan Ustman bin Affan


Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, tepatnya ketika beliau sakit dibentuklah dewan
musyawarah yang terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqas,
Thalha bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Abdur Rahman bin Auf. Salah seorang putra
Umar, Abdullah ditambahkan pada komisi di atas tetapi hanya punya hak pilih dan tidak
berhak dipilih.[47]

Dewan tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas pokok
menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam memerintah
umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali
kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya indikasi disintegrasi.

Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada yang lebih
menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari mereka sebagai
pengganti Umar. Tidaklah heran bila dalam sidang terjadi tarik ulur pendapat yang sangat
alot, walau pada akhirnya, mereka memutuskan Ustman bin Affan sebagai Khalifah setelah
Umar nin Khattab. Diantara kelima calon hanya Tholhah yang sedang tidak berada di
Madinah ketika terjadi pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil inisiatif untuk
menyelenggarakan musyawarah pemilihan Khalifah pengganti Umar. Ia meminta pendapat
masing-masing nominasi. Saat itu, Zubair dan Ali mendukung Ustman. Sedangkan

Ustman sendiri mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya terhadap Ustman.
Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar lainnya.
Akhirnya suara mayoritas menghendaki dan mendukung Ustman. Lalu ia dinyatakan resmi
sebagai Khalifah melalui sumpah, dan baiat seluruh umat Islam. Pemilihan itu berlangsung
pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik pada awal Muharram 24 H atau
644 M. Ketika Tholhah kembali ke Madinah Ustman memintanya menduduki jabatannya,
tetapi Tholhah menolaknya seraya menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan
Khalifah Ustman bin Affan berdasarkan suara mayoritas.[48]

Dalam sejarahnya kemudian, tarik ulur perbedaan pendapat tersebut mengandung banyak
interpretasi. Misalnya, dikatakan bahwa dalam pemilihan Khalifah Ustman ditemui beberapa
kecurangan, dan sebenarnya yang pantas menduduki kursi Khalifah setelah umar adalah
Ali bin Abi Thalib. Keberhasilan Ustman bin Affan menjadi Khalifah ditentukan oleh
peran lima tokoh yaitu Umar bin Khattab, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas,
Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Mereka ini masuk Islam secara kolektif
atas pengaruh Abu Bakar as-Shiddiq.

Dengan demikian, bila dewan itu dipetakan dapat ditemukan dua kekuatan yang bersaing,
yaitu poros Abu Bakar dan Umar yang pro Ustman dengan poros Ali. Kini penganut
Syi’ah berpendapat bahwa terbentuknya dewan musyawarah dengan 6 anggota tersebut
merupakan “taktik politik” pro Ustman yang ingin agar Ustman menjadi Khalifah.[49]

Pendapat ini sangat menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, bila dihadapkan pada
pertanyaan: sebenarnya dewan tersebut mewakili siapa, dan apa dasar representasinya
menentukan 6 anggota ?.

3. Perluasan Wilayah

Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang
membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan oleh pendukung-
pendukung pemerintahan yang lama atau dengan perkataan lain pamong praja dari
pemerintahan lama (pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke daerah kekuasaan Islam)
ingin hendak mengembalikan kekuasaannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaisar
Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat Persia agar melakukan perlawanan
terhadap penguasa Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil
memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri
Persia lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan
Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam.

Adapun daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan Islam


adalah Khurosan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama
Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurosan dan
sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku kalah dan
meminta damai. Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil menguasai Khurazan.

Adapun tentang Iskandariyah, bermula dari kedatangan kaisar Konstan II dari Roma Timur
atau Bizantium yang menyerang Iskandariyah dengan mendadak, sehingga pasukan Islam
tidak dapat menguasai serangan. Panglima Abdullah bin Abi Sarroh yang menjadi wali di
daerah tersebut meminta pada Khalifah Utsman untuk mengangkat kembali panglima Amru
bin ‘Ash yang telah diberhentikan untuk menangani masalah di Iskandariyah. Abdullah bin
Abi Sarroh memandang panglima Amru bin ‘Ash lebih cakap dalam memimpin perang dan
namanya sangat disegani oleh pikak lawan. Permohonan tersebut dikabulkan, setelah itu
terjadilah perpecahan dan menyebabkan tewasnya panglima di pihak lawan.

Selain itu, Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus Salman Robiah Al-Baini untuk
berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi yang
menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat menguasai
Armenia. Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin
Sa‘ad bin Abi Zarrah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai
Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil
menguasai Asia kecil dan Cyprus.[50]

Dimasa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam kekuasaan Islam
antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian Selatan negeri Nubah, Armenia dan beberapa
bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri
Balkh (Baktria), Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan.

Jadi Enam tahun pertama pemerintahan Ustman bin Affan ditandai dengan perluasan
kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah
sampai pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas
pada Asia kecil dan negeri Cyprus. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil
dan Cyprus bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya
pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.[51]

4. Pembangunan Angkatan Laut

Pembangunan angkatan laut bermula dari adanya rencana Khalifah Ustman untuk mengirim
pasukan ke Afrika, Mesir, Cyprus dan Konstatinopel Cyprus. Untuk sampai ke daerah
tersebut harus melalui lautan. Oleh karena itu atas dasar usul Gubernur di daerah, Ustman
pun menyetujui pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan sarana yang
memadai.[52]

Pada saat itu, Mu’awiyah, Gubernur di Syiria harus menghadapi serangan-serangan Angkatan
Laut Romawi di daerah-daerah pesisir provinsinya. Untuk itu, ia mengajukan permohonan
kepada Khalifah Utsman untuk membangun angkatan laut dan dikabulkan oleh Khalifah.
Sejak itu Muawiyah berhasil menyerbu Romawi.

Mengenai pembangunan armada itu sendiri, Muawiyah tidaklah membutuhkan tenaga asing
sepenuhnya, karena bangsa Kopti, begitupun juga penduduk pantai Levant yang berdarah
Punikia itu, ramai-ramai menyediakan dirinya untuk membuat dan memperkuat armada
tersebut. Itulah pembangunan armada yang pertama dalam sejarah Dunia Islam.

Selain itu, Keberangkatan pasukan ke Cyprus yang melalui lautan, juga mendesak ummat
Islam agar membangun armada angkatan laut. Pada saat itu, pasukan di pimpin oleh Abdullah
bin Qusay Al-Harisy yang ditunjuk sebagai Amirul Bahr atau panglima Angkatan Laut.
Istilah ini kemudian diganti menjadi Admiral atau Laksamana. Ketika sampai di Amuria dan
Cyprus pasukan Islam mendapat perlawanan yang sengit, tetapi semuanya dapat diatasi
hingga sampai di kota Konstatinopel dapat dikuasai pula.

Di samping itu, serangan yang dilakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir melalui laut juga
memaksa ummat Islam agar segara mendirikan angkatan laut. Bahkan pada tahun 646 M,
bangsa Romawi telah menduduki Alexandria dengan penyerangan dari laut.

Penyerangan itu mengakibatkan jatuhya Mesir ke tangan kekuasan bangsa Romawi. Atas
perintah Khalifah Ustman, Amr bin Ash dapat mengalahkan bala tentara bangsa Romawi
dengan armada laut yang besar pada tahun 651 M di Mesir.[53]

Berawal dari sinilah Khalifah Ustman bin Affan perlu diingat sebagai Khalifah pertama kali
yang mempunyai angkatan laut yang cukup tangguh dan dapat membahayakan
kekuatan lawan.

5. Pendewanan Mushaf Ustmani

Penyebaran Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah, sehinga
perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qiro‘at dari qori‘ yang sampai
pada mereka. Sebagian orang Muslim merasa puas karena perbedaan tersebut disandarkan
pada Rasullullah SAW. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak menimbulkan keraguan
kepada generasi berikutnya yang tidak secara langsung bertemu Rasullullah.

Ketika terjadi perang di Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, diantara orang yang
ikut menyerbu kedua tempat tersebut adalah Hudzaifah bin Aliaman. Ia melihat banyak
perbedaan dalam cara membaca Al-Qur‘an. Sebagian bacaan itu tercampur dengan kesalahan
tetapi masing-masing berbekal dan mempertahankan bacaannya. Bahkan mereka saling
mengkafirkan. Melihat hal tersebut beliau melaporkannya kepada Khalifah Ustman. Para
sahabat amat khawatir kalau perbedaan tersebut akan membawa perpecahan dan
penyimpangan pada kaum muslimin. Mereka sepakat menyalin lembaran pertama yang
telah di lakukan oleh Khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh istri Rasulullah, Siti Hafsah
dan menyatukan umat Islam dengan satu bacaan yang tetap pada satu huruf.[54]
Selanjutnya Ustman mengirim surat pada Hafsah yang isinya kirimkanlah pada kami
lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami akan menyalinnya dalam bentuk
mushaf dan setelah selesai akan kami kembalikan kepada anda. Kemudian Hafsah
mengirimkannya kepada Ustman. Ustman memerintahkan para sahabat yang antara lain:
Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Sa‘ad Ibn Al-‘Ash dan Abdurahman Ibnu Harist Ibn
Hisyam, untuk menyalin mushaf yang telah dipinjam. Khalifah Ustman berpesan kepada
kaum Quraisy bila anda berbeda pendapat tentang hal Al-Qur‘an maka tulislah dengan
ucapan lisan Quraisy karena Al-Qur‘an diturunkan di kaum Quraisy. Setelah mereka
menyalin ke dalam beberapa mushaf Khalifah Ustman mengembalikan lembaran mushaf asli
kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushaf yang yang telah di salinnya ke seluruh
daerah dan memerintahkan agar semua bentuk lembaran mushaf yang lain dibakar.[55]

Al-Mushaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah Islam supaya disalin
kembali dan supaya dipedomani, satu buah disimpan di Madinah untuk Khalifah Ustman
sendiri dan mushaf ini disebut mushaf Al-Imam dan dikenal dengan mushaf Ustmani.[56]

Jadi langkah pengumpulan mushaf ini merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan
Khalifah Ustman bin Affan yakni dengan meneruskan jejak Khalifah pendahulunya untuk
menyusun dan mengkodifikasikan ayat-ayat al-Qur an dalam sebuah mushaf. Karena selama
pemerintahan Ustman, banyak sekali bacaan dan versi al-Qur’an di berbagai wilayah
kekuasaan Islam yang disesuaikan dengan bahasa daerah masing- masing. Dengan
dibantu oleh Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat yang lain, Khalifah berusaha menghimpun
kembali ayat-ayat al-Qur an yang outentik berdasarkan salinan Kitab Suci yang terdapat pada
Siti Hafsah, salah seorang isteri Nabi yang telah dicek kembali oleh para ahli dan huffadz dari
berbagai kabilah yang sebelumnya telah dikumpulkan.[57]

Keinginan Khalifah Ustman agar kitab al-Qur’an tidak mempunyai banyak versi bacaan
dan bentuknya tercapai setelah kitab yang berdasarkan pada dialek masing-masing

kabilah semua dibakar, dan yang tersisa hanyalah mushaf yang telah disesuaikan dengan
naskah al-Qur’an aslinya. Hal tersebut sesuai dengan keinginan Nabi Muhammad SAW yang
menghendaki adanya penyusunan al-Qur’an secara standar.[58]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif pengumpulan mushaf oleh Khalifah Abu
Bakar dan Khalifah Ustman berbeda. Pengumpulam mushaf yang dilakukan oleh Khalifah
Abu Bakar dikarenakan adanya kekhawatiran akan hilangnya Al-Qur‘an karena banyak
huffadz yang meninggal karena peperangan, sedangkan motif Khalifah Ustman karena
banyaknya perbedaan bacaan yang dikhawatirkan timbul perbedaan.[59]

6. Konflik dan Kemelut Politik Islam

Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa awal pemerintahannya,


beliau berhasil memerintahan Islam dengan baik sehingga Islam mengalami kemajuan dan
kemakmuran dengan pesat. Namun pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul
perasaan tak puas dan kecewa umat Islam terhadapnya. Khalifah Ustman adalah pemimpin
yang sangat sederhana, berhati lembut dan sangat shaleh, sehingga kepemimpinan beliau
dimanfaatkan oleh sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayah untuk menjadi
pemimpin di daerah-daerah.

Oleh karena itu, orang-orang menuduh Khalifah Ustman melakukan nepotisme, dengan
mengatakan bahwa beliau menguntungkan sanak saudaranya Bani Umayyah, dengan jabatan
tinggi dan kekayaannya. Mereka juga menuduh pejabat-pejabat Umayyah suka menindas
dan menyalahkan harta baitul maal. Disamping itu Khalifah Utsman dituduh sebagai
orang yang boros mengeluarkan belanja, dan kebanyakan diberikan kepada kaum
kerabatnya sehingga hampir semuanya menjadi orang kaya.

Dalam kenyataannya, menurut Mufradi (1997:62) satu persatu kepemimpinan di daerah-


daerah kekuasaan Islam diduduki oleh keluarga Khalifah Ustman. Adapun pejabat- pejabat
yang diangkat Ustman antara lain:

1. Abdullah bin Sa‘ad (saudara susuan Ustman) sebagai wali Mesir menggantikan Amru
bin Ash.
2. Abdullah bin Amir bin Khuraiz sebagai wali Basrah menggantikan Abu Musa Al-
Asyari.
3. Walid bin Uqbah bin Abi Muis (saudara susuan Ustman) sebagai wali Kufah
menggantikan Sa‘ad bin Abi Waqos.
4. Marwan bin Hakam (keluarga Ustman ) sebagai sekretaris Khalifah Ustman.[60]

Pengangkatan pejabat di kalangan keluarga oleh Khalifah Ustman telah menimbulkan protes
keras di daerah dan menganggap Ustman telah melakukan nepotisme. Menurut Ali
(1997:125), protes orang dengan tuduhan nepotisme tidaklah beralasan karena pribadi
Ustman itu bersih. Pengangkatan kerabat oleh Ustman bukan tanpa pertimbangan. Hal ini
ditunjukkan oleh jasa yang dibuat oleh Abdullah bin Sa‘ad dalam melawan pasukan
Romawi di Afrika Utara dan juga keberhasilannya dalam mendirikan angkatan laut. Ini
menunjukkan Abdullah bin Sa’ad adalah orang yang cerdas dan cakap, sehingga pantas
menggantikan Amr ibn ‘Ash yang sudah lanjut usia. Hal lain ditunjukkan ketika diketahui
Walid bin Uqbah melakukan pelanggaran berupa mabuk-mabukkan, ia dihukum cambuk dan
diganti oleh Sarad bin Ash. Hal tersebut tidak akan dilakukan oleh Ustman, kalau beliau
hanya menginginkan kerabatnya duduk di pemerintahan.[61]

Situasi politik di akhir masa pemerintahan Ustman benar-benar semakin mencekam bahkan
usaha-usaha yang bertujuan baik untuk kamaslahatan umat disalahfahami dan melahirkan
perlawanan dari masyarakat. Misalnya kodifikasi al-Qur’an dengan tujuan supaya tidak
terjadi kesimpangsiuran telah mengundang kecaman melebihi dari apa yang tidak diduga.
Lawan-lawan politiknya menuduh Ustman bahwa ia sama sekali tidak punya otoritas untuk
menetapkan edisi al-Qur’an yang ia bukukan. Mereka mendakwa Ustman secara tidak benar
telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilikinya.[62]

Tentang tuduhan pemborosan uang negara antara lain pembangunan rumah mewah lengkap
dengan peralatan untuk Ustman, istrinya dan anak-anaknya ditolak keras oleh Ustman.
Demikian pula terhadap tuduhan keji tentang pemborosan dan korupsi uang negara untuk
dibagi-bagikan pada saudaranya. Tuduhan lain terhadap Ustman yaitu mengambil harta baitul
maal adalah tidak benar, karena beliau dan keluarga hanya makan dari hasil gajinya saja.
Semua tuduhan tersebut di bantah oleh Ustman sendiri:
“Ketika kendali pemerintahan dipercaya kepadaku, aku adalah pemilik unta dan kambing
paling besar di Arab. Sekarang aku tidak mempunyai kambing atau unta lagi, kecuali dua
ekor unta untuk menunaikan haji. Demi Allah tidak ada kota yang aku kenakan pajak
di luar kemampuan penduduknya sehingga aku dapat disalahkan. Dan apapun yang telah aku
ambil dari rakyat aku gunakan untuk kesejahteraan mereka sendiri.[63]

Penyebab utama dari semua protes terhadap Khalifah Ustman adalah diangkatnya Marwan
ibnu Hakam, karena pada dasarnya dialah yang menjalankan semua roda pemerintahan,
sedangkan Ustman hanya menyandang gelar Khalifah.

Rasa tidak puas memuncak ketika pemberontak dari Kufah dan Basrah bertemu dan
bergabung dengan pemberontak dari Mesir. Wakil-wakil mereka menuntut diangkatnya
Muhammad Ibnu Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir. Tuntutan dikabulkan dan mereka
kembali. Akan tetapi di tengah perjalanan mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan
khusus yang isinya bahwa wakil-wakil itu harus dibunuh ketika sampai di Mesir. Yang
menulis surat tersebut menurut mereka adalah Marwan ibn Hakam.

Mereka meminta Khalifah Ustman menyerahkan Marwan, tetapi ditolak oleh Khalifah. Ali
bin Abi Tholib mencoba mendamaikan tapi pemberontak berhasil mengepung rumah Ustman
dan membunuh Khalifah yang tua itu ketika membaca al-Qur’an pada 35 H/17 Juni 656 M.
Pembunuhan ini menimbulkan berbagai gejolak pada tahun-tahun berikutnya, sehingga
bermula dari kejadian ini dikenal sebutan al-bab al-maftukh (terbukanya pintu bagi perang
saudara).

Menurut ahli sejarah berkebangsaan Jerman Mr. Welhausen “Pembunuhan Ustman yang
bermotif politik itu lebih berpengaruh terhadap lembaran sejarah Islam dibandingkan dengan
sejarah-sejarah Islam yang lainnya. Kesatuan umat Islam yang baru terbentuk oleh dua
Khalifah pendahulunya mulai sirna dan keruwetan muncul di tengah-tengah umat Islam.
Selanjutnya masyarakat Muslim terpecah menjadi dua golongan yaitu Umaiyah dan
Hasyimiyah. Golongan Umaiyah menuntut pembalasan atas darah Ustman sepanjang
pemerintahan Ali hingga terbentuknya Dinasti Umaiyah”.

Ibnu Saba’, nama lengkapnya Abdullah bin Saba’, adalah seorang Yahudi dari Yaman yang
masuk Islam. Ia merupakan provokator yang berada di balik pemberontakan terhadap
Khalifah Ustman bin Affan. Ibnu Saba’ melakukan semuanya itu didasarkan motivasi
dirinya untuk meruntuhkan dasar-dasar Islam yang telah dipegang teguh oleh umat Islam.
Niatnya masuk Islam hanyalah sebagai kedok belaka untuk merongrong kewibawaan
pemerintahan Khalifah Ustman, sehingga muncullah kerusuhan yang terjadi di berbagai
wilayah kekuasaan Islam di antaranya adalah Fustat (Kairo), Kufah, Basrah, dan
Madinah.[64]

Selain faktor dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu Saba’), dalam internal kekhalifahan
Ustman bin Affan terdapat konfrontasi lama yang mencuat kembali. Permasalahan tersebut
semata-mata berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Sedangkan
Ustman sendiri merupakan salah satu anggota dari keluarga besar Bani Umayyah. Pada
konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu berada di atas Bani Umayyah terutama pada
masalah-masalah perpolitikan orang-orang Quraisy.[65] (

Lemahnya karakter kepemimpinan Ustman menjadikan kekuatan dan kekuasaanya semakin


terancam. Artinya, pribadi Ustman bin Affan yang sederhana dan berhati lembut membuat
para pemberontak lebih leluasa dalam melakukan provokasi dan kerusuhan di wilayah
kekuasaan Islam. Sikap sederhana dan lemah lembut dalam ilmu politik sebenarnya
kurang relevan diterapkan, apalagi pada saat itu kondisi pemerintahan dalam saat-saat kritis.
Dan lagi-lagi pada beberapa kasus, Ustman bin Affan begitu mudah memaafkan orang lain,
meskipun pada kenyataannya orang tersebut adalah termasuk kelompok yang memerangi dan
sangat tidak suka dengan beliau.

7. Catatan Simpul

Khalifah Utsman adalah orang yang berhati mulia, sabar dan dermawan terutama untuk
kepentingan jihad Islam. Usaha Khalifah Utsman dalam meluaskan wilayah Islam sangatlah
banyak, diantaranya merebut daerah Iskandariyah dan Khurosan sehingga muncullah suatu
usaha untuk membuat armada laut.

Hal lain yang berhasil dilakukan oleh Khalifah Ustman dan sangat bermanfaat bagi Umat
sepanjang masa adalah menyusun Mushaf al-Quran yang dikumpulkannya dari istri Nabi
Muhammad SAW yaitu Siti Hafsah.

D. PERADABAN ISLAM MASA KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB

1. Biografi

Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah Amirul Mukminin keempat yang dikenal sebagai orang
yang alim, cerdas dan taat beragama. Beliau juga saudara sepupu Nabi SAW (anak paman
Nabi, Abu Thalib), yang jadi menantu Nabi SAW, suami dari putri Rasulullah yang bernama
Fathimah. Fathimah adalah satu-satunya putri Rasulullah yang ada serta mempunyai
keturunan. Dari pihak Fathimah inilah Rasulullah mempunyai keturunan sampai sekarang.

Khalifah Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan
anak-anak. Nabi Muhammad SAW, semenjak kecil diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib,
kemudian setelah kakeknya meninggal di asuh oleh pamannya Abu Thalib. Karena hasrat
hendak menolong dan membalas jasa kepada pamannya, maka Ali di asuh Nabi SAW dan
di didik. Pengetahuannya dalam agama Islam amat luas. Karena dekatnya dengan
Rasulullah, beliau termasuk orang yang banyak meriwayatkan Hadits Nabi.
Keberaniannya juga masyhur dan hampir di seluruh peperangan yang dipimpin
Rasulullah, Ali senantiasa berada di barisan muka.

Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, beliau selalu mengajak Ali untuk
memusyawarahkan masalah-masalah penting. Begitu pula Umar bin Khathab tidak
mengambil kebijaksanaan atau melakukan tindakan tanpa musyawarah dengan Ali.
Utsmanpun pada masa permulaan jabatannya dalam banyak perkara selalu mengajak Ali
dalam permusyawaratan. Demikian pula, Ali juga tampil membela Utsman ketika
berhadapan dengan pemberontak.[66]

2. Pembaiatan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Dalam pemilihan Khalifah terdapat perbedaan pendapat antara pemilihan Abu bakar,
Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Ketika kedua pemilihan Khalifah terdahulu (Khalifah Abu
Bakar dan Khalifah Ustman ibn Affan), meskipun mula-mula terdapat sejumlah orang yang
menentang, tetapi setelah calon terpilih dan diputuskan menjadi Khalifah, semua orang
menerimanya dan ikut berbaiat serta menyatakan kesetiaannya. Namun lain halnya ketika
pemilihannya Ali bin Abi Thalib, justru sebaliknya.

Setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, masyarakat beramai-ramai datang dan membaiat
Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Beliau diangkat melalui pemilihan dan pertemuan
terbuka. Akan tetapi suasana pada saat itu sedang kacau, karena hanya ada beberapa tokoh
senior masyarakat Islam yang tinggal di Madinah. Sehingga keabsahan pengangkatan Ali bin
Abi Thalib ditolak oleh sebagian masyarakat termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meskipun
hal itu terjadi, Ali masih menjadi Khalifah dalam pemerintahan Islam.

Pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah di karenakan
beberapa hal yaitu bahwa orang yang tidak menyukai Ali diangkat menjadi Khalifah,
bukanlah rakyat umum yang terbanyak. Akan tetapi golongan kecil (keluarga Umaiyyah)
yaitu keluarga yang selama ini telah hidup bergelimang harta selama pemerintahan Khalifah
Ustman. Mereka menentang Ali karena khawatir kekayaan dan kesenangan mereka akan
hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan oleh Ali. Adapun rakyat terbanyak,
mereka menantikan kepemimpinan Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Beliau
akan dijadikan tempat berlindung melepaskan diri dari penderitaan yang mereka alami.[67]
(Syalaby, 1997:283).

3. Permasalahan Masa Ali bin Abi Thalib

Tidak berfungsinya konsep kekhalifahan pada masa Ali ibn Abi Thalib, pertama disebabkan
karena pembunuhan terhadap Khalifah Ustman masih misterius, tidak diketahui siapa
pembunuhnya. Karena itu ada dugaan bahwa yang membunuh adalah kelompok Ali. Keadaan
ini oleh sebagian pendapat dipolitisir untuk mempertajam pertentangan kesukuan antara Bani
Hasyim (Ali) dengan Bani Umayyah (Ustman).

Kedua, elite pemerintahan khususnya dari kalangan Gubenur Syiria tidak menginginkan Ali
tampil sebagai Khalifah. Sebab Ali yang alim dan zuhud itu sudah barang tentu tidak suka
melihat gubenurnya yang berorientasi pada kemewahan Dunia. Dengan kata lain munculnya
Ali sebagai Khalifah akan merugikan orang elite Islam yang cinta pada kedudukan dan
kekuasaan. Sedangkan rakyat memimpikan kualitas kepemimpinan seperti pada zaman
Khalifah sebelumnya. Berdasarkan skenario inilah muncul konsep pemboikotan
terhadap Ali sebagai Khalifah.

Pemerintahan Ali adalah pemerintahan yang mencoba mendasarkan pada dasar-dasar hukum
agama Islam. Hal tersebut terlihat ketika Ali hendak mengembalikan umat kepada

kehidupan seperti zaman Rasulullah, dimana orang-orang bekerja dan berjihad semata- mata
karena Allah. Disamping itu fakta sejarah juga menunjukkan adanya klaim bahwa Ali adalah
seorang pemuda yang cerdas, berani dan mempunyai pengetahuan agama yang dalam, hal ini
juga diakui Rasulullah lewat Hadist beliau yang berbunyi: “aku adalah bagaikan kota ilmu
dan Ali adalah pintunya”

Dengan pemahaman yang dalam tentang agama Islam maka langkah pertama yang ia lakukan
setelah menjabat menjadi Khalifah, antara lain yaitu mengganti seluruh Gubernur/wali-wali
daerah yang dulu diangkat Ustman secara nepotisme dan mencabut kembali segala fasilitas
yang diberikan Ustman pada familinya. Karena hal tersebut bertentangan dengan ajaran
agama yang memerintahkan agar berlaku adil kepada siapa saja.
Sementara itu sejak awal berlangsungnya proses pemilihan, pembai’atan, sampai pada
saat Ali menjabat sebagai Khalifah ia terus saja dihadapkan pada suasana politik yang rumit
karena banyaknya rongrongan dari berbagai pihak yang bermaksud menjatuhkan
kekhalifahan Ali. Adapun alasan pihak-pihak yang merongrong kekhalifahan Ali adalah:

1. Sebagian kaum muslimin memandang bahwa menyerahkan kursi Khalifah kepada Ali
berarti penyerahannya turun-temurun kepada Bani Hasyim.
2. Jika pemerintahan dipegang Ali maka dikhawatirkan tipe kepemimpinan Ali akan
sama dengan tipe kepemimpinan Umar Ibn Khatab yang terkenal jujur, keras dan
disiplin. Sehingga orang-orang yang pada masa Ustman merasakan kesenangan hidup
enggan untuk melepas kesenangan tersebut.[68]

Selain adanya pihak-pihak yang tidak menyukainya, Ali juga direpotkan dengan gencarnya
desakan yang menuntut penuntasan tragedi pembunuhan Ustman, yang ternyata mereka
tidak sekedar mendesak bahkan akhirnya mereka menyatakan perang dengan Ali dan
merongrongnya selama Ali belum mengabulkan tuntutannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka banyak orang-orang yang tidak menyukai Ali. Akan
tetapi tidak ada orang yang ingin diangkat sebagai Khalifah, karena Ali masih ada. Maka
setelah memperhatikan situasi yang sulit pada waktu itu dapatlah diambil kesimpulam
bahwa pembaiatan Ali sebagai Khalifah tidaklah dilakukan kaum Muslim dengan sepenuh
hati, terutama bani Umayyah, yang akhirnya mereka mempelopori orang- orang agar tidak
menyetujui Ali.

4. Kebijaksanaan Politik Ali bin Abi Thalib

Menurut Thabani yang dikutip oleh Syalaby setelah Ali dibaiat menjadi Khalifah, ia
mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal yaitu:

1. Memecat kepala daerah angkatan Ustman dan menggantikan dengan gubenur baru.
2. Mengambil kembali tanah yang dibagi–bagikan Ustman kepada famili–familinya dan
kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah.[69]

Menanggapi kebijakan yang dilakukan okleh Ali tersebut, ada yang berpendapat bahwa
kebijaksanaan Ali itu terlalu radikal dan kurang persuasive, sehingga menimbulkan
perlawanan politik dari gubenur khususnya gubenur Syiria (Bani Ummayyah) yang tidak mau
tunduk pada Khalifah Ali, terbukti ia menolak kehadiran gubenur yang baru diangkat Ali.

Penulis memandang bahwa tindakan politik Ali yang radikal itu kendati strategis tapi tidak
taktis, sebab pada masa Khalifah Ustman konflik etnis antara Bani Ummayyah dan Bani
Hasyim sudah ada, terbukti ketika Ustman terbunuh secara misterius Bani Ummayyah
mengeksploitasi tuduhan pada Ali, karena didasari Bani Umayyah yang memang ambisi
menjadi Khalifah.

Semestinya gerakan radikal Ali untuk mengusir elite Bani Umayyah dilakukan secara
bertahap, sebab walau bagaimanapun elite baru yang telah lama berkuasa seperti
Muawiyah sulit ditundukkan, sedangkan Ali yang mengandalkan idealisme dan dukungan
masyarakat bawah beberapa kelompok tua terlalu intelektual tapi kurang pengalaman dalam
menyelesaikan konflik dalam pemerintahan, sehingga dengan demikian yang muncul dalam
pemerintahan bukan integrasi tetapi disintegrasi yang ditandai dengan lahirnya perang
saudara yang pertama kali dalam Islam, yakni perang jamal.

5. Perang Jamal

Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun
dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat
Gubernur yang diangkat oleh Khalifah Ustman. Beliau yakin bahwa pemberontakan-
pemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu beliau juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan oleh Ustman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali sistem distrtibusi pajak tahunan
diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin
Khatthab.[70]

Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali, kemudian


pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan. Diantaranya adalah
pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan keluarga
Usman sendiri dengan alasan:

1. Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman.


2. Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah
baru. Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan
hak pemimpin yang berada di Madinah saja.[71]

Namun karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga permintaan mereka
merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat. Seperti yang telah
ditulis para sejarawan suasana politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan
dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan mengakui Ali
menjabat sebagai Khalifah keempat.

Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan serius
yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur dan menguatkan kembali posisinya
sebagai Khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi.[72] Setelah itu baru
melakukan pengusutan atas pembunuhan Ustman. Namun sejak tahun 35 H/656 M,
tahun pengangkatan Ali sebagai Khalifah sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga
memperlihatkan sikap yang pasti untuk menegakkan hukum syariat Islam terhadap para
pembunuh Ustman. Sehingga Siti Aisyah bergabung dengan Tolhah dan Zubair
menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk menuntut balas atas kematian Ustman. Setelah
dirasa mempunyai kekuatan yang besar Siti Aisyah dan pasukannya memutuskan
menyerang pasukan Ali di Kufah, yang sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan untuk
menghadapi tantangan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya ingin
menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka
mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut
ditolak.

Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang selanjutnya dikenal dengan
“Perang Jamal”. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair.
Pertempuran inilah yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh
kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih berpengalaman
dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami kekalahan, Aisyah tetap
dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul Mu’minin. Bahkan setelah pertempuran
usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk Aisyah. Dan keesokan harinya
Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang dikawal oleh saudaranya sendiri,
Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah terjadinya perang jamal yang merupakan
perang pertama antara sesama umat Islam dalam sejarah Islam.

6. Perang Shiffin

Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dari Gubernur


di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa
kehilangan kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan
keluarga dekat Ustman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Ali mengadili
pembunuh Ustman. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Ustman.
Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali.[73]

Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantung jubah
Ustman yang berlumuran darah bersama potongan jari janda almarhum dimimbar masjid.
Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Dengan adanya
peristiwa tersebut pihak umum berpendapat bahwa Khalifah Ali yang bertanggung jawab atas
pembunuhan Ustman.

Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, Khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju ke Syiria
utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arus sungai
tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyyah dan pihak Muawiyyah tidak mengijinkan
pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Khalifah Ali mengirim utusan pada
Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyah menolak.
Akhirnya Khalifah Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al Nahki dan
dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak Ali,
mereka ini tetap mengijinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.

Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanan didataran
siffin, dan Khalifah Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai.
Beliau mengirim utusan dibawah pimpinan panglima Basyir Ibn Amru untuk melangsungkan
perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 M mereka mencapai
persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara dan masing-masing pihak
akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.

Sebenarnya hal ini sangat merugikan Khalifah Ali karena akan mengurangi semangat tempur
tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar kekuatannya. Namun sebagai Khalifah ia
terikat oleh ketetapan firman Allah surat al-hujurat ayat 9 dan surat Nisa’ ayat 59. Dengan
mengenali prinsip-prinsip hukum Islam itu maka dapat di fahami mengapa Khalifah Ali
menempuh jalan damai dahulu. Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak untuk
mengangkat bai’at Ali dan sebaliknya menuntut Ali mengangkat bai’at terhadap dirinya.
Maka bulan saffar 37H/685 M terjadilah perang siffin dengan kekuatan 95 000 orang dari
pihak Ali dan 85 000 orang dari pihak Mu’awiyah. Pada saat perang, Imar Ibn Yasir (orang
pertama yang masuk Islam di kota Makkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan
ini membangkitklan semangat tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga
banyak korban pada pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al Nahki berhasil menebas
pemegang panji- panji perang pihak Mu’awiyah dan merebutnya. Bila panji perang jatuh
pada pihak lawan maka akan melumpuhkan semangat tempur. Pada saat terdesak itulah pihak
Mu’awiyah, Amru Ibn Ash memerintahkan mengangkat al-mushaf pada ujung tombak dan
berseru marilah kita bertahkim kepada kitabullah. Namun pada saat itu Khalifah
Ali memerintahkan untuk tetap berperang karena beliau tahu itu hanya tipu muslihat musuh.
Tapi sebagian besar tentaranya berhenti berperang dan berkata jikalau mereka telah meminta
bertahkim kepada kitabullah apakah pantas untuk tidak menerimanya, bahkan diantara
panglima pasukannya Mus’ar Ibn Fuka al Tamimi mengancam: “Hai Ali , mari berserah
kepada kitabullah jikalau anda menolak maka kami akan berbuat terhadap anda seperti apa
yang kami perbuat pada Usman”[74]

Akhirnya Khalifah Ali terpaksa tunduk karena beliau menghadapi orang-orang sendiri.
Sejarah mencatat korban yang tewas dalam perang ini 35.000 orang dari pihak Ali dan 45.000
orang dari pihak Mu’awiyah.

Peperangan ini diakhiri dengan takhkim (arbitrase). Akan tetapi hal itu tidak dapat
menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tiga
golongan.[75] Diantara ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikut Mu’awiyah dan
Khawarij (orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya, diujung masa
pemerintahan Ali, Umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.

7. Perang Nahrawan

Setelah terjadi tahkim sebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Khalifah yang
menerima arbitrase karena itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenal
dengan nama Khawarij. Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa:

1. Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta pengikutnya adalah kelompok kufur karena
telah mempermainkan nama Allah dan kitab Allah dalam perang siffin, maka mereka
wajib di basmi.
2. Ali dan pihak-pihak yang mendukung terbentuknya majlis tahkim adalah ragu
terhadap kebenaran yang telah diperjuangkan , padahal banyak korban yang jatuh
untuk membelanya. Untuk itu Ali telah melakukan dosa besar.
3. Dan yang membenarkan pembentukan majlis tahkim adalah mengembangkan bid’ah
dan membasmi kaum bid’ah adalah kewajiban setiap Muslim.
4. Pemuka kelompok ini adalah Abdullah Ibn Wahhab al Rasibi. Sebenarnya Khalifah
Ali tidak ingin memerangi kelompok Khawarij tapi karena kelompok ini keterlaluan
dalam bersikap diantaranya membunuh keluarga shahabat Abdullah Ibn Habbab
dengan sadis sekali hanya karena menolak untuk menyatakan ke empat Khalifah
sepeningggal nabi adalah kufur, selain itu mereka juga membunuh utusan yang
diutus oleh Khalifah Ali.
5. Khalifah Ali menggerakkan pasukannya dan kedua pasukan bertemu pada suatu
tempat bernama Nahrawan, terletak dipinggir sungai tigris (al dajlah).

Sebelum perang diumumkan, Khalifah Ali masih punya harapan untuk menyadarkan kaum
Khawarij. Dan dia memberikan amnesti bersyarat yang berbunyi: barang siapa pulang
kembakli ke Kufah, akan memperoleh jaminan keamanan. Sejarah mencatat setelah itu 500
orang diantara mereka ber-iktijal sebagian pulang ke Kufah dan sebagian lagi pindah ke
pihak Ali sehingga kelompok Khawarij tinggal 1.800 orang.[76]

Dengan begitu pecahlah perang Nahrawan, korban berjatuhan dari pihak Ali karena
keberanian kelompok Khawarij sangatlah terkenal, walaupun demikian kemenangan
berada dipihak Ali dan tokoh/pemuka Khawarij, Mus’ar al Tamimi, Abdullah Ibn Wahab
tewas dalam peperangan ini.

Golongan Khawarij ( orang-orang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib) yang
bermarkas di Nahrawain benar-benar merepotkan Ali sehingga memberikan kesempatan pada
pihak Mu’awayah untuk memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampu merebut
Mesir. Akibatnya sangat fatal pada pihak Ali. Tentara Ali semakin lemah, sementara
kekuatan Mua’wiyah bertambah besar, keberhasilan Mu’awiyah mengambil posisi Mesir
berarti merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak Ali.

8. Pengangkatan Hasan Ibn Ali dan ‘Am al-jama’ah

Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib tidak pernah mengalami keadaan stabil. Tak ubahnya
beliau sebagai seorang yang menambal kain usang, jangankan menjadi baik justru
sebaliknya bertambah sobek dan rusak.

Pada saat Ali bin Abi Thalib bersiap-siap hendak mengirim bala tentaranya sekali lagi untuk
memerangi Mu’awiyah, muncullah suatu komplotan untuk mengakhiri hidup Ali bin Abi
Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ‘Amr bin al ‘Ash yang dianggapnya penipu pada
peristiwa takhkim (arbitrase).

Mereka adalah dari golongan Khawarij yang mengutus Abdur Rahman bin Muljam ke Kufah
untuk membunuh Khalifah Ali, Barak bin Abdillah untuk membunuh Mu’awiyah di Syam
dan ‘Amr bin Bakr al Tamimi untuk membunuh ‘Amr bin al ‘Ash di Mesir.[77] Akan tetapi
ketiga pembunuh itu hanyalah Ibnu Muljam yang berhasil menjalankan misinya yaitu
membunuh Khalifah Ali pada tanggal 20 Ramadlan 40 H(660 M). Kemudian Ibnu Muljam
berhasil ditangkap dan akhirnya dibunuh juga.

Dengan berpulangnya Ali bin Abi Thalib ke rahmatullah kedudukannya sebagai


Khalifah digantikan dan dijabat oleh anaknya yaitu Hasan Ibnu Ali bin Abi Thalib selama
beberapa bulan. Namun karena Hasan ternyata lemah sementara Mu’awiyah bin Abi
Sufyan bertambah kuat, maka Hasan bin Ali membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat
mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik dibawah pimpinan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada tahun 41 H (661 M) merupakan tahun persatuan,
yang dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama’ah (‘Am al Jama’ah).

Dengan demikian berakhirlah apa yang disebut dengan masa khulafa’ al rasyidin dan
dimulailah kekuasaan Bani Umaiyyah dalam sejarah politik Islam.[78]

Hasan Ibn Ali adalah putra sulung Ali bin Abi Thalib ra. Ia diangkat beramai-ramai sebagai
Khalifah oleh orang-orang Kufah setelah ayahnya wafat. Orang-orang yang setia pada Ali
turut berpartisipasi dalam pemilihan Hasan dan juga menerimanya sebagai Khalifah yang
baru. Tidak ada bukti yang menyatakan pertentangan terhadap penobatan Hasan. Sedangkan
pemilihan Hasan sebagai Khalifah dilakukan secara spontan oleh sebagian besar rakyat Irak.
Adapun alasan penunjukan Hasan sebagai Khalifah adalah:

1. Pada saat itu hampir semua sahabat istimewa Rasulullah dikalangan kaum muhajirin
telah meninggal, demikian juga anggota elit terkemuka dalam masyarakat Islam telah
wafat.
2. Rakyat Makkah dan Madinah tidak akan menerima Mu’awiyah menjadi pemimpin
mereka. Karena bapaknya, Abu sofyan dianggap telah menentang Rasulullah semasa
hidupnya.[79]

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Hasan memperoleh dukungan yang besar dari
rakyatnya, karena pada waktu itu yang menjadi rival dari Hasan adalah Mu’awiyah putra Abu
sufyan dan Hindun yang mempunyai reputasi buruk dimata rakyat Irak. Selanjutnya antara
keduanya terjadi ketegangan yang mereka lakukan dengan cara korespondensi. Salah satu
surat Hasan yang penting yang di tujukan kepada Mu’awiyah mengatakan bahwa: “dirinya
lebih berhak atas Khalifah ketimbang Mu’awiyah dimata Allah dan semua insan yang
mengetahui”. Dan jawaban Mu’awiyyah intinya adalah: Mu’awiyah tidak mengingkari
kedudukan tinggi Hasan dalam hubungannya dengan Rasulullah dan kedudukannnya dalam
Islam. Tetapi ia mengklaim bahwa Hasan bukan kriteria pemimpin masyarakat. Bahwa
persoalan kepemimpinan adalah kepentingan negara dan masyarakat, sehingga perlu
pemisahan yang jelas antara prinsip politik dan religius. Itulah jawaban dari Mu’awiyah yang
mengandung gagasan pembentukan pemisahan antara kepemimpinan negara dan agama.

Pimpinan negara hanya mengurusi pemerintahan sedangkan pimpinan agama khusus


mengurusi masalah-masalah agama. Sehingga pada waktunya, masyarakat Muslim
menempatkan kepemimpinan religius dan totalitas masyarakat (jama’ah) sebagai penjaga
agama dan eksponen al-quran dan hadist, yang masih dalam otoritas negara sebagai
pengikat.[80]

Adapun mengenai proses pengunduran diri Hasan sebagai Khalifah dan menyerahkannya
pada Mu’awiyah terdapat versi yang berbeda. Pengunduran diri Hasan menurut Thabari
dalam Jafri. (1995:211-212) menyebutkan:

1. Bahwa Khalifah akan dikembalikan kepada Hasan setelah Muawiyah mati.


2. Bahwa Hasan akan menerima lima juta dirham tiap tahun dari kantong negara.
3. Bahwa Hasan akan menerima pendapatan tahunan dari Darabjirk.
4. Bahwa rakyat akan dijamin untuk saling damai.[81]

Kemudian Muawiyah menyetujui syarat-syarat Hasan tersebut dan meminta Hasan


menuliskannya sendiri pada blanko kosong. Lalu Hasan menjawab: mengenai uang,
Mu’awiyah tak dapat hanya menyerahkan persoalan padaku, karena masalah itun merupakan
masalah Muslim (masyarakat). Sedangkan masalah Khalifah dia tak tertarik lagi. Berikut ini
syarat damai Hasan bin Ali kepada Muawiyah:

1. Bahwa Mu’awiyah harus memerintah menurut kitab Allah, sunnah rasulullah dan
perangai khulafaur rasyidin.
2. Bahwa Muawiyah untuk selanjutnya akan menyerahkan jabatan Khalifah kepada
syura kaum muslimin.
3. Bahwa rakyat akan dibiarkan damai di bumi Allah.
4. Bahwa para sahabat dan pengikut Ali akan di jamin aman dan damai. Ini adalah
persetujuan dan perjanjian sesuai yang di buat dengan nama Allah.
5. Bahwa tidak ada gangguan secara rahasia atau terbuka akan ditimpakan kepada
Hasan bin Ali atau saudaranya Husain ataupun terhadap seorang dari keluarga
rasulullah.
Demikian perjanjian penyerahan kekhalifahan dibuat. Namun pengunduran diri Hasan
tidak disenangi para pendukungnya yang telah mendukung dirinya dan ayahnya sebelumnya,
terlebih lagi karena kebencian mereka atas dominasi Syiria. Adapun sebab umum
pengunduran diri Hasan didorong karena sifat cinta damai, tidak menyetujui politik dan
perselisihan dan hasrat menghindari tumpah darah lebih banyak.

9. Catatan Simpul

Pembaiatan Ali sebagai Khalifah sebenarnya merupakan simbol ketidak mapanan konsep
Khalifah sebagai instrumen legitimasi kepemimpinan Islam. Dalam arti lembaga musyawarah
untuk memilih pemimpin yang disebut lembaga kekhalifahan belum diakui oleh para elite
politik itu sendiri. Sehingga kekhalifahan Ali dapat diguncang oleh kelompok opposisi
yang berambisi menjadi Khalifah atau Amirul Mukminin.

Ketika Ali menjadi Khalifah ada dua kelompok oposisi yang menentang kekhalifahan Ali,
yaitu kelompok oposisi yang dipimpin oleh Abdullah Ibnu Zubair ( anak angkat Siti Aisyah )
dan kelompok oposisi yang dipimpin oleh gubenur Syria, yaitu Muawiyah Ibnu Sufyan.
Kelompok oposisi pimpinan Abdullah Ibnu Zubair melahirkan perang yang populer dengan
sebutan perang Jamal, karena dalam perang tersebut terlibat Siti Aisyah dengan mengendarai
unta yang berdiri dipihak oposisi. Mengapa Aisyah dalam perang tersebut berada dipihak
oposisi. Hal tersebut semata–mata karena kuatnya exploitasi Abdullah Ibnu Zubair atas
ambisinya untuk menjadi Khalifah setelah Ali terguling. Yang secara kebetulan Aisyah pada
saat itu sedang menaruh kecurigaan pada kelompok Ali tentang siapa yang membunuh
Khalifah Ustman. Kondisi yang demikian inilah dimanfaatkan oleh Abdullah bin Zubair.

Kelompok oposisi pimpinan Mu’awiyah, gubenur Syiria melahirkan peperangan yang


terkenal dengan sebutan Perang Shiffin. Perang tersebut diakhiri dengan genjatan senjata,
mengangkat Mushaf Al–Qur’an. Peperangan ini terjadi tidak disebabkan oleh interest politik
pribadi Mu’awiyah, tetapi juga disebabkan oleh konflik etnis yang bersifat laten zaman
sebelum Islam, yaitu antara Bani Ummayyah dan Bani Hasyim. Sebenarnya Ali telah
berusaha menghindari terjadinya peperangan. Akan tetapi pendukung Ali sendiri tanpa
instruksi beliau, memulainya sehingga pecahlah perang yang sangat merugikan integrasi
Islam itu.

Kekalahan Ali dalam diplomasi perang tersebut, menyebabkan Dunia Islam diperintah
berdasarkan sistem monarchi, yaitu suksesi kepemimpinan yang berdasarkan turun- temurun.
Disamping itu, kekalahan Ali dalam perangan tersebut, menyebabkan lahirnya golongan
Syi’ah, dengan doktrin, bahwa hanya Ali dan keturunannyalah yang berhak menjadi
Khalifah.

BAB III

PENUTUP

1. A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas maka yang menjadi kesimpulan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. perkembangan peradaban Islam pada masa khulafaurrasyidin mengalami kemajuan


yang pesat, hal tersebut ditandai dengan pembanguan di berbagai bidang. Misalnya :
perluasan wilayah kekuasaan, pertahanan militer, pembangunan armada angkatan
laut, pembentukan lembaga baitul mal, pembangunan sarana ibadah, pembukuan al
qur’an, pengembangan ilmu pengetahuan, dan lain-lain.
2. ummat islam betul-betul masih berpegang kepada tali agama Allah yang lurus. Dalam
artian ajaran islam dijadikan sebagai dasar negara. Apa yang diperintahkan oleh
agama diyakini sebagai kebenaran mutlak dan mereka tidak ragu terhadap ajaran
islam itu sendiri. Amirul mukminin sebagai pelopor secara langsung daripada
penegakkan syariat islam itu. Ajaran Islam menjadi ruh dari pada perjuangan mereka.
3. disamping perkembangan peradaban islam yg pesat pada masa khulafaurrasyidin, juga
terdapat banyak hambatan, yaitu :
1. Munculnya nabi-nabi palsu setelah pasca meninggalnya Rasulullah saw,
2. Munculnya kelompok-kelompok pemberontakan baik dari luar islam terlebih
dari dalam islam itu sendiri.
3. Terjadinya perpecahan kaum muslimin yang dipicu oleh kelompok-kelompok
tertentu yang berkeimginan menduduki posisi kekhalifaan, akhirnya orang-
orang islam pada masa itu saling membunuh antara satu dengan yang lainnya,
dan salah satu tokoh yang terkenal berambisi merebut kekuasaan adalah
Mu’awiah & Zubair, dan masih banyak lagi yg lainnya yg berambisi untuk
menjadi khalifah.
4. Usaha-usaha yang dilakukan ummat Islam dalam mengatasi hambatan-
hambatan yang terjadi pada masa khulafaurrasyidin yatu :
1. Para nabi palsu dibasmi, baik dengan cara damai, bagi kelompok yang
tidak mengindahkan ultimatum dari kahalifah maka jalan terakhir
adalah dibasmi dengan cara diperangi.
2. dalam mengatasi pemberontak juga ditempuh dua cara yaitu perjanjian
damai dan perang, namun usaha yang dulakukan dalam mengatasi
masalah ini didak berhasil, hingga akhirnya Ali bin abu thalib
meninggal terbunuh. Justru situasi kembali damai ketika hasan ibnu
Ali menyerahkan tahta kepemimpinan kepada Mu’awiah yang sangat
berambisi menjadi pemimpin kaum muslimin. Dengan penyerahan
kekuasaan itu, maka berakhirlah pemerintahan khulafaurrasyidin.

1. B. Saran

Kami berharap setelah kita mempelajari pembahasan makalah ini , kita sebagai ummat islam
akhir zaman bisa mangambil teladan dalam membangkitkan kembali peradaban islam dengan
tetap konsisten terhadap akidah kita. Dan kami juga menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kritikan dan masukan yang
konstruktif dari berbagai pihak sangat kami harapkan agar dalam penyusunan makalah
selanjutnya akan semakin mendekati kebenaran.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulah, Taufik, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban,
Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Arif, Muhammad. 2011. “Pengantar Kajian Sejarah”. Bandung: Yrama Widya.

Anwar Rosihan H. 1962.”Ajaran Dan Sejarah Islam Untuk Anda”. Jakarta: Pustaka Jaya.

Kuntowijoyo. 1995. “Pengantar Ilmu Sejarah”. Yogyakarta.: Bentang

Maulana Muhammad Sa’ad al Kandhalawi, 2004, Muntakhab Ahadits: Tuntunan Sifat- sifat
Mulia Para Sahabat Nabi SAW, Pustaka Ramadhan: Jakarta.

Sjamsudin, Helius. 2007. “Metodologi Sejarah”. Yogyakarta: Ombak.

Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Yatim Badri, Dr. (1997). Sejarah Peradaban Islam: dirasah Islamiah II. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.h. 35.

Khalid Amru, 2007. Jejak Para Khalifah.AQWAM:Solo

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA KHALIFAH AR-


RASYIDIN

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA KHALIFAH AR-RASYIDIN

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Pada umumnya setiap penulisan ulang mengenai Sejarah Peradaban Islam pada masa-masa
khulafaurrasyidin ataupun sejarah-sejarah lain adalah terbuka dan milik semua orang. Asalkan bisa
memahami dan bisa mengaplikasikannya secara sistematis dan inofatif.
Tema besar penulisan makalah ini akan lebih banyak menelusuri mengenai akar-akar Sejarah
Peradaban Islam pada masa Khulafaurrasyidin. Karena nilai-nilai positif Sejarah Peradaban
Khulafaurrasyidin tidak lagi dijadikan teladan oleh orang-orang Islam.
Fenomena yang sangat menyedihkan, mayoritas orang-orang Islam saat ini lebih banyak mengadobsi
budaya/peradaban orang-orang non muslim. semua itu merupakan cerminan bagi potret
perkembangan di masing-masing kawasan Dunia Islam yang terus menerus menunjukkan
dinamikanya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperkaya nuansa dan pengembangan wawasan
dalam studi Sejarah Peradaban Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Secara garis besar pembuatan makalah kami ini akan membahas tentang:
1. Mengurai/menguak kembali tentang sejarah peradaban pada masa khulafaurrasyidin.
2. Proses-proses kebijakan pada kepemimpinan para khulafaurrasyidin
3. Kontribusi-kontribusi khulafaurrasyidin yang disumbangkan pada islam dan masyarakat

BAB II
PEMBAHASAN

A. KHULAFAURRASYIDIN
1. Pengertian Khulafaurrasyidin
Kata khulafaurrasyidin itu berasal dari bahasa arab yang terdiri dari kata khulafa dan rasyidin,
khulafa’ itu menunjukkan banyak khalifah, bila satu di sebut khalifah, yang mempunyai arti
pemimpin dalam arti orang yanng mengganti kedudukan rasullah SAW sesudah wafat melindungi
agama dan siasat (politik) keduniaan agar setiap orang menepati apa yang telah ditentukan oleh
batas-batanya dalam melaksanakan hukum-hukum syariat agama islam.
Adapun kata Arrasyidin itu berarti arif dan bijaksana. Jadi khulafaurrasyidin mempunyai arti
pemimpim yang bijaksana sesudah nabi muhammad wafat. Para khulafaurrasyidin itu adalah
pemimpin yang arif dan bijaksana. Mereka tiu terdiri dari para sahabat nabi muhammad SAW yang
berkualitas tinggi dan baik adapun sifat-sifat yang dimiliki khulafaurrasyidin sebagai berikut:
a. Arif dan bijaksana
b. Berilmu yang luas dan mendalam
c. Berani bertindak
d. Berkemauan yang keras
e. Berwibawa
f. Belas kasihan dan kasih sayang
g. Berilmu agama yang amat luas serta melaksanakan hukum-hukum islam.
Para sahabat yang disebut khulafaurrasyidin terdiri dari empat orang khalifah yaitu:
1 . Abubakar Shidik khalifah yang pertama (11 – 13 H = 632 – 634 M)
2 . Umar bin Khattab khalifah yang kedua (13 – 23 H = 634 – 644 M)
3 . Usman bin Affan khalifah yang ketiga (23 – 35 H = 644 – 656 M)
4 . Ali bin Abi Thalib khalifah yang keempat (35 – 40 H = 656 – 661 M)
2. Tugas-tugas khulafaurrasyidin
Tugas rasulullah SAW. Meliputi dua hal, yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan. Para khalifah
hanya menggantikan rasulullah dalam tugas kenegaraan, yaitu sebagai kepala negara, kepala
pemerintahan, dan pemimpin umat.
Tugas beliau sebagai nabi dan rasul tidak digantikan oleh siapapun, karena tugas kenabian yang
diembannya itu bersifat khusus atas pemilihan langsung oleh Allah SWT.di samping itu, beliau adalah
nabi dan rasul terakhir. Tidak ada nabi dan rasul yang diangkat setelah beliau wafat. Sebagaimana
firman Allah dalam Qs. Al Ahzab 40.
َ َ ُ َ
ََ‫ل َولكِنَُ ِلكم َِرﺟا مِ نَ ابََاﺃ َحدَ ُُ ُم َح َّمدَ َماكَان‬ ُ ‫َّلاِ َر‬
ََ ‫سو‬ َّ
َ َّ ‫َّلاُ نََ َُ َوكَا النبِيِينََ ت َََم َوخَا‬ ُ
َ َّ ‫عل ََِمُُِ بِكل‬
َ ‫شَيء‬

Artinya:
“ Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia
rasulullah dan penutup Nabi-nabi, dan adalah allah adalah maha mengetahui segala sesuatu.”
Masa kekhalifaan kurang lebih selama 30 tahun. Waktu yang sekian lama itu Islam meluas ke daerah
syam, Irak, Palestina, Mesir, Sudan dan beberapa daerah di Benua Afrika.
Panglima perang pada masa khulafaurrasyidin yang ter kenal diantaranya ialah Khalid bin Walid, Abu
Ubaidah, Amr bin Ash, Mutsanna bin Haritsah Sa’ad bin Abu Waqqosh.

B. KHALIFAH ABU BAKAR SHIDIK


1. Silsilah dan Kepribadian Abu Bakar
Sebelum masuk Islam, Abu Bakar bernama Abdul Ka’bah. Setelah Abu Bakar masuk Islam namanya
diganti oleh Rasulullah menjadi Abdullah. Dan nama Abu Bakar itu pemberian dari kaum muslimin,
karena beliau segera masuk Islam. Dan juga mendapat gelar As-Shiddiq (yang membenarkan).
Abu Bakar lahir pada tahun 573 M, dua tahun setelah penyerbuan pasukan bergajah untuk
menghancurkan Ka’bah yang dipimpin oleh Abrahah dari Yaman.dengan demikian baliau dua tahun
lebih muda dari Nabi SAW. Karena Nabi lahir pada tahun gajah, yaitu 571 M. Abu Bakar putra dari
Usman (Abu Quhafah) bin Umar bin Ka’ab bin Said bin Taimi bin Murrah bin Ka’ab bin Luayyi bin
Ghalib bin Fahrin Attaimi dari Suku Qurais.
Perihal perawakan Abu Bakar, menurut riwayat putrinya, Siti Aisyah (Ummul Mukminin) bahwa
kulitnya putih, badannya kurus, pipinya tipis, mukanya kurus, matanya cekung, dan keningnya
menjorok ke depan.
Perihal Akhlaqnya, menurut Ibnu Hisyam beliau terkenal sebagai seorang pemurah, peramah, pndai
bergaul dan suka menolong.
Abu Bakar juga mempunyai sifat sabar, berani, tegas, dan bijaksana. Karena kesabarannya banyak
sahabat masuk Islam karena ajakannya, seperti: Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin
Ubaidillah, Saad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud,
dan Arqom bin Abil Arqom.

2. Proses Peralihan Kepemimpinan


Berita wafatnya rasulullah menggemparkan umat islam. Sebagian mereka tidak mempercayai berita
itu, kere dalam shalat subuh sebelum itu, bekiau hadir di masjid. Berita itu dianggap desas-desus
untuk mengacaukan kaum muslimin. Umar bim Khattab sendiri termasuk orang yang tidak
mempercayainya.
Sesudah mendengar berita itu, Abu Bakar langsung masuk kerumah rasulullah dan menyaksikan
rasulullah telah terbujur ditunggui oleh Aisyah, Ali bin Abi Thalib serta beberapa orang kerabat dekat
beliau, ucapan Abu Bakar ketika melihat jenazah rasulullah, “Alangkah baiknya anda hidup dan
alangkah baiknya pula ketika anda wafat”, Abu Bakar dibai’at sebagai khalifah pertama pada tahun
11 H atau 632 M, setelah kaum muhajirin dan anshar membai’at, Abu Bakar kemudian berpidato
sebagai berikuat:
“Wahai manusia! Saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang
yang terbaik diantara kalian, maka jika aku menjalankan tugasku denga baik, ikutilah aku. Tetapi jika
aku berbuat salah maka luruskanlah, hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah
dan rasulnya.tetapi apabila aku tidak taat kepada Allah dan rasulnya maka kalian tidak perlu
menaatiku.

3. Langkah-langkah kebijakan Abu Bakar


Sebelum rasulullah wafat, beliau telah menyiapkan sepasukan tentara di bawah pimpinan Usamah
bin Zaid. tetapi sebelum tentara Usamah jadi berangkat beliau telah wafat. sebagian sahabat ada
yang mengusulkan kepada Abu Bakar agar beliau membatalkan pasukan tentara usamah yang
diperintahkan rasulullah itu dan dikirim saja untuk memerangi oramg-orang yang murtad.
Oleh karena itu beliau menjawab ”Demi Allah” saya tidak akan menurunakan bendera yang telah
dipasang oleh rasulullah. disamping itu sebagian sahabat ada yang mengusulkan agar melepas
usamah dari jabatannya itu kepada orang lain yang lebih tua dari padanya. Abu Bakar sangat marah
mendengar berita itu lalu berkata ”saya tidak akan menurunkan dia karena rasulullah SAW sudah
mengangkat dia sebagai tentara.
Maka berangkatlah tentara itu menyerang benteng musuh serta membawa harta rampasan dan
kembali ne Madinah denga kemenangan.
Di antara pesan-pesan Abu Bakar kepada para prajurit yang berperang dan benar-benar bijaksana
itu: ”jangan kamu khianat, janganlah kamu durhaka, janganlah kamu aniaya, janganlah membunuh
anak-anak kecil dan orang tua. jangan ,erusak pohon yang berbuah, membunuh binatang kambing,
unta, dan lembu kecuali dimakan dagingnya.”
Setelah rasulullah wafat, muncullah kesulitan-kesulitan yang dihadapi umat islam dibawah pimpinan
Abu Bakar, diantaranya yang terpenting adalah menghadapi orang-orang yang mengaku nabi,
menghadapi orang-orang murtad, dan orang-orang yang membangkang tidak mau membayar pajak.
1. Menumpas nabi palsu
Ada empat orang yang menamakan dirinya sebagai nabi. padahal islam mengajarkan bahwa Nabi
muhammad SAW adalah nabi akhiruzzaman. keempat yang mengaku nabi itu adalah nabi palasu.
yaitu Musailamah Al kazab dari bani hanifah di yamamah, Sajah tamimiyah dari bani tamim, Al
aswad Al Anshi dari yaman dan tulaihah bin khuwailid dari bani asad di Nejed.
Adanya nabi-nabi palsu itu pasti membahayakan kehidupan agama dan negara islam. khalifah Abu
Bakar menugaskan pasukan islam untuk menumpas mereka dan pengikut-pengikutnya, penumpasan
itu ’berhasil dengan gemilang dibawah pimpinan panglima Khalid bin Walid. Musailamah dibunuh
oleh Washy, Al Aswad dibunuh oleh istrinya sendiri, Tulaihah dan Sajad lari dan menyembunyikan
diri.
2. Memberantas kaum murtad
Berita wafatnya rasulullah SAW, berakibat menggoyahkan iman bagi orang-orang islam yang masih
tipis imannya, banyak orang menyatakan dirinya keluar dari Islam (murtad). tidak mau shalat dan
tidak lagi membayar zakat. bahkan ada sementara daerah-daerah memisahkan dari dengan
pemerintahan pusat di madinah, sedangkan daerah-daerah yang masih setia adalah Madinah,
Mekah dan thaif.Abu Bakar berunding dengan para sahabat yang lain dalam menghadapi para kaum
murtad itu. mereka sepakat menyeru agar bertaubat, jika tidak mau sadar, mereka akan dihadapi
dengan menggunakan kekerasan.
Tetapi usaha lemah lembut dari pemerintahan Islam di Madinah itu mereka abaikan, kaum murtad
didukung oleh kekuatan besar kurang lebih 40.000 orang. muslimin menghadapi mereka dengan
pasukan yang besar pula, Abu Bakar mengirim ekspedisi dibawah pimpinan Ikhrimah bin Abu Jahal,
Syurahbil bin Hasnah, Amru bin Ash, dan khalid bin Walid.
Tindakan tegas kaum muslimiin itu dapat melumpuhkan kekuatan kaum murtad, sehingga mereka
kembali mentaati perintah syariat Islam.Abu Bakar berhasil dalam usaha ini, sehingga wilayah Islam
utuh kembali.
3. Menghadapi kaum yang ingkar zakat
Banyak diantara kaum muslimin yang pemahaman mereka, terhadap hukum Islam belum mendalam
dan imannya masih tipis, mereka beanggapan bahwa kewajiban berzakat hanya semata-mata untuk
nabi. karena nabi telah wafat, maka bebaslah mereka dari kewajiban untuk berzakat.padahal zakat
adalah salah satu rukun Islam yang harus ditegakkan.
Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat menghadapi kaum ingkar zakat itu. meskipun
keputusan musyawarah itu tidak bulat, Abu Bakar tetap teguh pada pendiriannya bahwa kewajiban
zakat harus dilaksanakan. mereka yang membangkang harus diperangi. sebelum pasukan muslimin
dikerahkan, Abu Bakar terlebih dahulu mengirimkan surat kepada pembangkang agar kembali ke
Islam. namun sebagian besar mereka tetap bersikeras, karena itu pasukan muslimin pun dikerahkan
dan dalam waktu yang relatif singkat pasukan Abu Bakar telah berhasil dengan gemilang.
Dengan berhasilnya kaum muslimin ini, keadaan negara Arab kembali tenang, dan suasana umat
Islam pun kembali damai.seluruh kabilah taat kembali membayar zakat sebagaimana pada masa
rasulullah SAW.

4. Mengumpulkan ayat-ayat Al-Qu’an


Akibat peperangan yang sering dialami oleh kaum muslimin, banyak penghafal Al-Qur’an (huffadz)
yang gugur sebagai syuhada dalam pertempuran. Jumlahnya tidak kurang dari 70 orang sahabat.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran dikalangan umat Islam serta kecemasan dihati Umar bin Khattab
akan kehilangan ayat suci Al-Qur’an itu. Maka dinasehatkan kepada Abu Bakar agar ayat-ayt Qur’an
dikumpulkan.
Atas saran-saran dari Umar bin Khattab pada awal 13 H Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit
untuk mengumpulkan ayat-ayat Qur’an menjadi Mushaf. Mengingat dahulu berserakan dalam dada
penghafal, bahkan ada yang ditulis di atas batu, pada kain, tulang dan sebagainya.

5. khalifah Abu Bakar wafat


Pada saat pertempuran di Ajnadain negeri syam berlangsung, khalifah Abu Bakar menderita sakit.
sebelum wafat, beliau telah berwasiat kepada para sahabatnya, bahwa khalifah pengganti setelah
dirinya adalah umar bin Khattab. hal ini dilakukan guna menghindari perpecahan diantara kaum
muslimin.
Beberapa saat setelah Abu Bakar wafat, para sahabat langsung mengadakan musyawarah untuk
menentukan khakifah selanjutnya. telah disepakati dengan bulat oleh umat Islam bahwa Umar bin
Khattab yang menjabat sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar. piagam penetapan itu ditulis
sendiri oleh Abu Bakar sebelum wafat.
Setelah pemerintahan 2 tahun 3 bulan 10 hari (11 – 13 / 632 – 634 M),khalifah Abu Bakar wafat pada
tanggal 21 jumadil Akhir tahun 13 H / 22 Agustus 634 Masehi.

C. KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB


1. Silsilah dan Kepribadian Umar bin Khattab
Umar bin khattab lahir di Mekkah pada tahun 583 M, dua belas tahun lebih muda dari Rasulullah,
ayahnya bernama khattab bin Nufail bin Abd Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Rizal bin Abd
bin Kaab bin Luayyah. Sedangkan ibunya bernama Khattamah binti Hisyam bin Mughiroh Al
Makhzumi.
Umar juga termasuk kelurga dari keturunan Bani Suku Ady (Bani Ady). Suku yang sangat terpandang
dan berkedudukan tinggi dikalangan orang-orang Qurais sebelum Islam.
Umar memiliki postur tubuh yang tegap dan kuat, wataknya keras, pemberani dan tidak mengenal
gentar, pandai berkelahi, siapapun musuh yang berhadapan dengannya akan bertekuk lutut. Ia
memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memperkirakan hal-hal yang akan terjadi dimasa yang
akan datang, tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih.
Beberapa keunggulan yang dimiliki Umar, membuat kedudukannya semakin dihormati dikalangan
masyarakat Arab, sehingga kaum Qurais memberi gelar ”Singa padang pasir”, dan karena kecerdasan
dan kecepatan dalam berfikirnya, ia dijuluki ”Abu Faiz”.
Itulah sebabnya pada saat-saat awal penyiaran Islam, Rasulullah SAW bedoa kepada Allah,
”Allahumma Aizzul Islam bi Umaraini” artinya: ”Ya Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah satu
dari dua Umar” yang dimaksud dua Umar oleh Rasulullah SAW adalah Umar bin Khattab dan Amru
bin Hisyam (nama asli Abu Jahal)

2. Proses Pemilihan Umar Menjadi khalifah


Ketika Abu Bakar merasa dirinya sudah tua dan ajalnya sudah dekat.yang terlintas difikirannya
adalah siapa yang akan menggantikannya sebagai khalifah kelak. Abu Bakar minta pendapat kepada
para tokoh sahabat seperti Usman bin Affan, Ali bin Abithalib, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin
Ubaidillah, Usaid bin Khudur.mereka menyetujui usulan Abu Bakar bahwa Umar bin Khattab akan
diangkat sebagai penggantinya. Setelah Abu Bakar wafat, para sahabat membai’at Umar sebagai
khalifah.

3. Langkah-langkah Kebijakan Umar bin Khattab


Usaha Umar bin Khattab lebih luas di bandingkan dengan usaha Abu Bakar. karena meliputi usaha
meneruskan ekspansi dan penyiaran Islam ke Syiria dan Persia yang diteruskan ke Mesir. dalam
bidang kenegaraan, khalifah membentuk dewan-dewan pemerintah serta mengatur tatatertib
kehidupan masyarakat Islam.
Dengan demikian pemerintahan Umar lebih maju diantara keempat zaman khulafaurrasyidin.
diantara usaha-usaha Umar gelombang ekspansi Islam ialah melalui peperangan yang sangat sengit
seperti:
perang cadesia (16 H=636 M)
panglima perang pada waktu itu adalah Saat bin Abi Waqosbeserta pasukannya sebanyak 8.500
orang untuk menghadapi tentara persia sebanyak 30.000 yang dipimpin oleh panglima Rustam.
pasukan Islam menang dan pada ahir pertempuran berhasil menangkap putri Kisra Yaz Dajrid.
Penaklukan Persia
Perluasan penyiaran Islam ke Persia sudah dimulai oleh Khalid bin Walid pada masa Khalifah Abu
Bakar, kemudian dilanjutkan oleh Umar. Tetapi dalam usahanya itu tidak sedikit tantangan yang
dihadapinya bahkan sampai menjadi peperangan.
Ibu kota Madinah jatuh (18 H=636 M)
Madinah merupakan ibu kota Persia. Setelah kota itu dikepung selama 2 bulan maka jatuhlah
ketangan Islam. Raja Kisra Yaz Dajrid III meninggalkan Istana dan melarikan diri ke Nahawan. Di
Nahawan. Yaz dajrid III berhasil mengumpulkan tentara sebanyak 150.000 orang, semua kekuatan
dipusatkan disana. Oleh karena itu Khalifah Umar mengirim bantuan pasukan kepada Saad bin Abi
Waqos.
Perang nahawan (21 H=642 M)
Disinilah puncak pertempuran di Persia, perang itu berakhir dengan kemenangan pasukan Islam.
Karena dahsyatnya pertempuran itu , dalam sejarah dikenal dengan sebutan Fathul Futuh, artinya
pembuka lembar kemenangan.
Persia jatuh ketangan Islam (31 H=652 M)
Setelah Nahawan dikuasai, mudahlah pasujkan Islam menaklukkan daerah-daerah lain di Persia. Raja
Yaz Dajrid III terus melarikan diri ke timurmenuju perbatasan Persia. Tetapi malang bagi Kisra belum
sampai ketempat yang dituju dia mati terbunuh. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan
Khalifah Usman bin Affan(31 H=652 M).
Dengan tewasnya Raja Kisra berarti jatuhlah negeri Persia ketangan kaum Muslimin. Dengan
demikian terbuktilah ramalan Rasulullah SAW, dengan kisahnya sebagai berikut: pernah terjadi
(tahun 6H) dimana seorang Raja Persia mengoyak-ngoyak surat dariku, sebaliknya kelak negeri
Persia akan dikoyak-koyak dan dikuasai kaum Muslimin.

4. Identifikasi Lembaga-lembaga Pemerintah


Pada masa khalifah Umar bin Khattab ekspansi Islam meliputi daerah Arabia, syiria, Mesir, dan
Persia. Karena wilayah Islam bertambah luas maka Umar berusaha mengadakan penyusunan
pemerintah Islam dan peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
1. susunan kekuasaan
Susunan kekuasaan masa khalifah Umar terdiri dari :
Kholifah (Amiril Mukminin), berkedudukan di ibu kota Madinah yang mempunyai wewenang
kekuasaan.
Wali (Gubernur,), berkedudukan di ibu kota Propensi yang mempunyi kekuasaan atas seluruh
wiyalayah Propensi.
2. Tugas pokok pejabat
Tugas pokok pejabat, mulai dari kholifah, wali beserta bawahannya bertanggung jawab atas maju
mundurnya Agama islam dan Negara. Disamping itu mereka juga sebagai imam shalat lima waktu di
masjid.
3. membentuk dewan-dewan Negara
Guna menertipkan jalannya administrasi pemerintahan, Kholifah Umar membentuk dewan-dewan
Negara
Dewan perbendaharaan Negara
Bertugas mengatur dan menyimpan uang serta mengatur pemasukan dan pengeluaran uang negara,
termasuk juga mencetak mata uang Negara.
Dewan tentara
Bertugas mengatur ketertiban tentara, termsuk memberi gaji, seragam/atribut, mengusahakan
senjata dan membentuk pasukan penjaga tapal batas wilayah negara.
Dewan pembentuk Undang-undang
Bertugas membuat Undang-undang dan peraturan yang mengatur toko-toko, pasar, mengawasi
timbangan, takaran, dan mengatur pos informasi dan komonikasi.
Dewan kehakiman
Bertukas dan menjaga dan menegakkan keadilan, agar tidak ada orang yang berbuat sewenang-
wenang terhadap orang lain. Hakim yang termashur adalah Ali bin Abi Thalib.

5. Mencanangkan Almanak Hijriah


khalifah bin Umar bin Khattab menetapkan perhitungan tahun baru, yaitu tahun hijriayah yang
dimulai dari hijrahnya Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah (16 Juli 622 M). Saat itulah
dimulainya tahun hijriayah yang pertama.
Disamping itu, Khalifah Umar menetapkan lambang bulan sabit sebagai lambang negara. Hal ini
diilhami oleh bendera pasukan khusus Rasulullah SAW yang menggambarkan bulan sabit.
Karya-karya besar Khalifah Umar yang lain adalah mendirikan Baitul Mal, membangun dan
merenovasi masjid-masjid, seperti masjid haram (Mekah), masjid Nabwi ( Madinah ), Masjidil Aqsa
dan masjid Umar ( Yerussalem ), dan masjid Amru bin ash (Fusthtf-Mesir). Memperluas wilayah-
wilayah islam seperti, Romawi (13 H=634 M),Damaskus (14H=635 M), Baitul Makdis–Syiriah (18
H=639 M), Mesir 19 H=640 M), Babilon (20 H 641 M), Nahawan–Persia (21 H=642 M), dan
Iskandariah (22 H=643 M).

6. Keberanian Umar Memberantas Kebatilan


perang di Syam belum selesai, bahkan perang itu makin berkecamuk, Khalifah Umar bin Khattab
segera mengambil langkah-langkah tertentu. “ kirimakan surat ini kepada Khalid bin Walid !” titah
Kholifah pada pembantunya. “kalu boleh takhu, apa isinya ?’ tanya Malik bin zafila salah seorang
pembantunya.
“baiklah, engkau boleh tahu isi surat itu, aku memberitahukan bahwa Kholifah Abu Bakar telah wafat
dan aku kini sebagai penggantinya. Kedua, pimpimpina ke syam diambil alih oleh panglima Abu
Ubaidah. Sementara itu Khalid bin Walid segera kembali menghadapku” tegas umar menegaskan.”
Mengapa bisa seperti itu ? bukankah Kholid bin Walid seoran panglima yang gagah dan berani ?
dialah panglima perang yang sering mendapatkan kemenangan, ia selau patuh pada perintah
Khalifah,” tanya Malik bin Zafila.
“memang benar, saya juga mengetahui kegagahan dan keberanian Khalid, wajar ia mendapat pujian
dan sanjungan dari pencintanya. Akan tetapi ada suatu hal yang mungkin kalian tidak tahu atau tidak
setuju bila kukatakan,” sahut Kholifah Umura
“Mengapa ? ada apa dengannya ?”
“dalam dirinya ada sifat kejam. Aku melihat sendiri tingkah lakunya ketika memerangi kaum murtad
yang telah ditawan dan meminta perlindungan kepada kita, ternyata Khalid bin Walid tidak mau
mengampuninya aku juga memandang dari segi lain.ingatlah kini Islam masih berkembang. Aku
khawatir orang luar memandang Islam ditegakkan dengan perang dan pedang. Mereka tentu akan
berbalik membenci Islam. Dan tentu saj orang-orang munafik akan memanfaatkan kelemahan
seperti itu,” tegas khalifah Umar menjelaskan secara terus terang.
Demikianlah keberanian Umar dalam menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan. Itulah
sebabnya, Khalifah Umar diberi gelar “Al Faruq” artinya pembenar, maksudnya orang yang
membedakan dengan tegas antara kebatilan dan kebenaran.
7.Khalifah Umar bin Khattab Wafat
Umar bin Khattab adalah profil seorang pemimpin yang suksek dan sahabat rasulullah yang sejati.
Kesuksesannya dalam mengibarkan panji-panji Islam mengundang rasa dengki di hati orang yang
memusuhinya, salah satunya adalah Abu Lu’luah.;
Abu Lu’luah berhasil membunuh Khalifah Umar ketika beliau siap-siap memulai shalat subuh. Abu
Lu’luah merasa dendam kepada Umar karena beliau dianggap sebagai penyebab lennyapnya
kerajaan persia di muka bumi. Abu Lu’luah adalah seorang dari bangasa persia.
Khalifah Umar pulang kerahmatullah pada tanggal 26 Dzul Hijjah 23 H/3 November 644 M dalam
usia 63 tahun. Beliau memegang amanat sebagai khalifah selama 10 tahun 6 bulan (13-23 H=634-
644 M).
Atas persetujuan Siti Aisyah istri rasulullah Jenazah beliau dimakamkan berjajar dengan makam
Rasulullah dan makam Abu Bakar. Demikianlah riwayat seorang khalifah yang bijaksana itu dengan
meninggalkan jasa-jasa besar yang wajib kita lanjutkan.

D. KHALIFAH USMAN BIN AFFAN


1. Silsilah dan Kepribadian Usman bin Affan
Usman bin di lahirkan 5 tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Yaitu pada 576 M di kota
thoiaf, kota yang palinga subur di antara kota –kota lainnya ditanah hijaz. Usman seorang saudagar
yang berhsil karena tekun lemah lembut dan pemurah.sejak usia belia dia sudah berniaga ke Negeri
syam, daerah jajahan Romawi. Keahliannya berdagang berkat didikan ayahnya sendiri, sehingga
menjadi seirang saudagar yang kaya raya.
Setelah menginjak dewasa, Usman menjadi saudagar yang kaya, dermawan, berbudi luhur, bersikap
jujur, dan teguh hati serta berprasangka halus. Dengan pribadi yang demikian Usman termasuk
orang yang mempunyai kedudukan yang terhormat dan mulia di dalam masyarakat Qurais.
Sifat mulia Usman meningkat setelah ia memeluk agama Islam. Sewaktu Nabi kekurangan dana
dalam perang tabuk (9H=631M) melawan pasukan Byzantium (Romawi timur) Abu Bakar
menyerahkan seluruh hartanya (40.000 dirham), Umar bin Khattab menyerahkan separuh hartanya,
Asmi bin Abdi menyumbangkan 70 goni kurma, Usman bin Affan menanggung 1/3 dari keseluruhan
biaya pasukan besar itu dengan menyerahkan 90 ekor kuda, serta uang tunai 1.000 dinar = 10.000
dirham.

2. Proses Pemilihan Usman Sebagai Khalifah


Sebelum khalifah Umar wafat, beliau sempat berwasiat dan menunjuk tim yang terdiri dari 6 orang
sahabat terkemuka, sekaligus telah dijamin Nabi masuk surga, sebagai calon ganti kekhalifaannya.
Keenam orang tersebut adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib, Abdurrahman bin Auf, Thalhah
bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Sa’ad bin Abi Waqash.
Kepada tim, Umar menganjurkan agar putranya, Abdullah bin Umar ikut sebagai peserta
musyawarah dan tidak boleh dipilih menjadi khalifah.awalnya hasil musyawarah yang diketuai oleh
Abdurrahman bin Auf menunjukkan bahwa suara pada posisi seimbang, antara Ali dan Usman.
Karena Usman lebih tua, Abdurrahman menetapkan Usman bin Affan sebagai khalifah.
Ketetapan itu disetujui oleh anggota tim dengan berbagai pertimbangan yang matang. Disamping
Usman sebagai salah seorang sahabat yang terdekat dengan Nabi, beliau juga seorang Assabiqunal
Awwalun yang terkenal kaya dan dermawan, jiwa dan hartanya dikorbankan demi kejayaan Islam.
Usman bin Affan dibaiat sebagai khalifah pada tahun 23 H/644 M.
3. Jasa Usman dalam Pembukuan Mushaf
pada masa Usman terjadi perluasan wilayh kekuasaan Islam sampai pada wilayah Afrika. Asia dan
Eropa. Kaum muslimin terpencar ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam tersebut. Karena mereka
berasal dari berbagai bangsa yang berbeda, maka sering terjadi perbedaan dalam membaca Al-
Qur’an, keadaan ini mendorong perlunya satu jenis Al-Qur’an yang dijadikan pedoman untuk semua
kaum muslimin.
Untuk maksud tersebut Khalifah Usman akan membukukan dan menggandakan Al-Qur’an.
Lembaran-lembaran syst Al-Qur’an yang telah dikumpulakan pada masa Abu Bakar dan disimpan
oleh hafsah, diminta oleh Usman. Ia kemudian membentuk panitia penulisan kembali ayat Al-Qur’an,
yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota: Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin Ash,
dan Abdurrahman bin Harits.
Tugas panitia ini adalah menyalin kembali lembaran-lembaran buku Al-Qur’an yang telah telah
menjadi buku ini disebut Al-Mushaf. Panitia menggandakan sebanyak 5 buah. Empat diantaranya
dikirim ke Mekkah, Syiria, Basrah, dan Kufah. Sedang satu buah ditinggal di Madinah, yang disebut
Mushaf Usmani atau Mushah Al Imami.

4. Usman bin Affan Wafat


Khalifah Usman bin Affan banyak mengambil keluarganya, Bani Umayyah untuk menduduki
pemerintahan. Pengawasan pada pejabat yang kurang. Khalifah Usman umurnya telah lanjut,
sehingga pengaturan pemerintahan hanya dilakukan oleh pembantu-pembantu dekat dan familinya
sendiri.
Keluhan masyarakat tidak disampaikan kepada Khalifah. Keadaan ini menimbulkan keresahan dan
protes dari masyarakat mesir dan kufah. Mereka datang ke Madinah untuk menyampaikan protes
mereka. Sebagian masyarakat Madinah juga ikut bergabung dengan mereka , karena kurang
mendapat perhatian yang memuaskan, protes itu berubah menjadi pemberontakan.
Suasana yang panas ini dimanfaatkan oleh Abdullah bin Saba’ (munafiq Yahudi) untuk meniupkan
fitnah dan mengobarkan permusuhan dikalangan umat Islam. Ahirnya Hamran bin sadan Asy Syaqie
menyelinap ke ruang khusus rumah Usman.ia menikamnya dari belakang, ketika Usman sedang
berpuasa dan tengah menela’ah kandungan isi Al-Qur’an.
Peristiwa itu terjadi pada 18 Dzulhijjah 34 H (656 M). Usman menjadi khalifah selama 12 tahun, dan
wafat dalam usia 82 tahun. Sifatnya yang lemah lembut dan berhati sosial telah meninggalkan jasa
yang tidak sedikit untuk kepentingan Islam, antara lain:
Menyempurnkan pembukuan Al-Qur’an
Merenovasi bangunan Masjid Nabawi di Madinah
Membentuk angkatan laut atas usul Muawiyah bin Abu Sofyan
Membangun gedung-gedung pengadilan, yang semula masjid-masjid
Menompasm pemberontakan-pemberontakn seperti di Khurasan dan Iskandariyah  Membagi
wilayah Islam menjadi 10 Propinsi yang dipimpin oleh seorang Amir/Wali/Gubernur, meliputi Al
Jund-Abdullah bin Rabi’ah, Basrah-Abu Musa bin Abdullah, Damaskus-Muawiyah bin Abu Sofyan,
Emese-Umar bin Sa’ad, Bahrain-Usman bin Abil Ash, sha’a-Ja’la bin Munabbik, Taif-Sufyan bin
Abdullah, Mesir-Amr bin Ash, Mekkah-Nafi’ bin Abdul Maris, dan Kuwait-Mughiroh bin Sya’bah.
Ekspansi Islam, meliputi: Armenia, Tripoli, Thabaristan, Harah, Barkoh, Kabul, Ghanzah dan
Turkistan.

E. KHALIFAH ALI BIN ABI THOLIB


1. Silsilah dan Kepribadian Ali bin Abi Tholib
Ali bin Abi tholib lahir pada tahun 603 Mdisamping ka’bah kota Mekkah, lebih muda 32 tahun dari
Nabi Muhammad SAW.Ali termasuk keturunan Bani Hasyim.
Abu tholib memberi nama Ali dengan Haidarah, mengenang kakeknya yang bernama Asad. Haidarah
dan Asad dalam Bahasa Arabartinya singa. Sedang Nabi Muhammad memberi nama “ALI” yang
menakutkan musuh-musuhnya.
Pada usia 6 tahun, Ali bin Abi Tholib diasuh oleh Nabi Muhammad sebagaimana Nabi diasuh oleh
ayahnya, Abu tholib. Karena mendapat didikan dan asuhan langsung dari Nabi Muhammad SAW,
maka Ali tumbuh sebagai anak yang berbudi luhur, cerdik, pemberani, pintar dalam berbicara dan
berpengetahuan luas.
Gelar-gelar yang disandang oleh Ali antara lain:
“Babul Ilmu” gelar dari Rasulullah yang artinya karena beliau termasuk orang yang banyak
meriwayatkan hadist  Zulfikar karena pedangnya yang bermata,juga disebut “Asadullah” (singa
Allah) dua dan setiap Rasulullah memimpin peperangan Ali selalu ada dibarisan depan dan
memperole kemenangan.  “Karramallahu Wajhahu” gelar dari Rasulullah yang artinya wajahnya
dimuliakan oleh Allah, karena sejak kecil beliau dikenal kesalehannya dan kebersihan jiwanya. 
“Imamul masakin” (pemimpin orang-orang miskin), karena beliau selalu belas kasih kepada orang-
orang miskin, beliau selalu mendahulukan kepentingan orang-orang fakir, miskin dan yatim.
Meskipun ia sendiri sangat membutuhkan.  Ali termasuk salah satu seorang dari tiga tokoh yang
didalamnya bercermin kepribadian Rasulullah SAW. Mereka itu adalah Abu Bakar Asshiddiq, Umar
bin Khattab dan Ali bin Abi Tholib. Mereka bertiga laksana mutiara memancarkan cahayanya, itulah
sebabnya Ali dijuluki “Almurtadha” artinya orang yang diridhai Allah dan Rasulnya.

2. Proses Pemilihan Ali sebagai Khalifah


Setelah wafatnya Usman bin Affan, keadaan tetap menegangkan. Kelompok-kelompok masih
berkeliaran di Madinah. Para pemuda menghendaki agar Ali segera menggantinya, namun dengan
sopan Ali menolak permintaan itu.
Ali menganggap bahwa pengangkatan Khalifah adalh masalah yang sangat penting karena itu
masalah ini memerluakn dukungan para sahabat yang dahulu berjuang bersama Nabi SAW. Ali
menyatakan: “Mana pahlawan Badar seperti Zubair bin Awwan, Tholhah bin Ubaidillah dan Sa’ad.”
Mendengar hal itu kaum muslimin mengajak Zubair, Thalhah dan Sa’ad bersama-sama membaiat Ali
bin Abi Tholib sebagai khalifah. Mereka setuju dan terjadilah pembai’atan Ali sebagai khalifah bagi
umat Islam.

3. Kebijakan Ali Menyusun kembali Aparatur Kekhalifaan


Dalam periode khalifah Abu Bakar dan Umar, kehidupan masyarakat masih dalam taraf
kesederhanaan seperti periode Nabi Muhammad SAW. Rakyat masih bersatu padu dan kokoh
dibawah ikatan tali persaudaraan Islam. Mereka selalu kompak dalam semangat jihad yang ikhlas
demi kelulusan agama Islam.
Keadaan ini mulai berubah sejak periode Khalifah Usman bin Affan. Mereka mulai terpengaruh oleh
hal-hal yang bersifat duniawi, apalagi saat gubernur yang diangkat Khalifah Usman banyak yang tidak
mampu memimpin umat dan tidak disenangi masyarakat. Oleh karena itu Khalifah Ali bin Abi Tholib
menanggung beban yang berat dalam memimpin kaum muslimin dengan wilayah kekuasaan yang
semakin meluas.
Kebijakan-kebijakn Khalifah Ali dalam menanggulangi hal-hal tersebut adalah:
1. Tanah-tanah atu pemberian-pemberian yang dilakukan Khalifah Usman bin Affan kepada famili,
sanak kerabatnya dan kepada siapa saja yang tanpa alasan yang benar atu tidak syah, ditarik kembali
dan menjadi milik Baitul Mal sebagai kekayaan negara. Hal ini dilakukan Khalifah untuk
membersihkan pemerintahan.
2. Wali/Amir atau gubernur-gubernur penguasa wilayah yang diangkat Khalifah Usman diganti
dengan orang-orang baru.
• Kuwait, Abu Musa Al Asy’ari diganti Ammarah bin Syahab
• Mesir, Abdullah bin Sa’ad diganti Khais bin Tsabit
• Basyrah, Abdullah bin Amr diganti Usnab bin Hany Al Anshori
• Syam (Syiria), Muawwiyah bin Abi Sofyan diganti Shal bin Hanif
Hal ini dilakukan Khalifah Ali, karena mereka banyak yang tidak disenangi oleh kaum muslimin,
bahkan banyak yang menganggap bahwa mereka itulah yang menyebabkan timbulnya
pemberontakan-pemberontakan pada masa Khalifah Usman.
3. Sebagai upaya untuk mencerdaskan umat, Khalifah Ali meningkatkan dalm Ilmu pengetahuan,
khususnya ilmu yang berkaitan dengan Bahasa Arab agar umat Islam mudah dalam mempelajari Al-
Qur’an dan Hadits.
4. Berusaha untuk mengembalikan persatuan dan kesatuan umat Islam. Akan tetapi usahanya ini
kurang berhasil, karena api fitnah dikobarkan kaum munafik Yahudi yang tidak menyukai Islam.
5. Mengatur tata pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat, seperti memberikan
kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari Baitul Mal sebagaimana yang telah dilakukan
Abu Bakar dan Umar.

4. Kekecewaan sebagian Masyarakat Terhadap Kegagalan Ali


Menangkap Pembunuh Usman
Umat Islam pada Khalifah Ali, pecah menjadi beberapa kelompok. ini adalah akibat belum selesainya
kasus wafatnya Usman bin Affan. Oleh karena itu, masa pemerintahan Ali diwarnai berbagai
kekecewaan yang mengakibatkan pemberontakan-pemberontakan yang ingin menombangkan
Khalifah Ali.
1. Perang Jamal
Dinamakan perang Jamal, karena dalam perang itu Aisyah mengendarai unta. Perang ini terjadi
antara Khalifah Ali dengan Aisyah yang didukung oleh Zubair dan Thalhah.
Ketiga sahabat ini menuntut balas atas kematian Khalifah Usman bin Affan.perang ini terjadi pada
tahun 36 H dan tidak berlangsung lama. Zubair dan Thalhah tewas, begitu juga unta yang tunggangi
Aisyah terbunuh. Sedangkan Aisyah pun dapat ditawan oleh pasukan Khalifah Ali bin Abi Tholib.
“Sebaiknya Ibunda kembali ke Madinah”, usul Khalifah Ali bin Abi Tholib, “Baiklah. Akan tetapi aku
beramanat agar engkau tetap mencari pembunuh Usman bin Affan dan memenggal kepala penjahat
itu”, sahut Aisyah.
“Saya setuju , Demi Allah, saya akan mencari pembunuh Usman bin Affan”, sumpah Khalifah Ali.
Akhirnya Aisyah janda Nabi SAW dikembalikan ka Mdinah dengan penuh kehormatan.
2. Perang Siffin
Setelah Khalifah Ali menundukkan pasukan berunta di Basrah, beliau bersama pasukannya menuju
Kufah. Dari Kufah beliau mengirim Jabir bin Abdullah Al Bajali untuk meminta Muawwiyah
mengurungkan niatnya menentang beliau, dan mengajak agar Muawwiyah menyatakan bai’ahnya
terhadap Khalifah Ali bin Abi Tholib.
Utusan Ali diterima oleh Muawwiyah. Ia memberi jawaban:
1. Ia tidak akan memberi bai’ah, sebelum kematian Usman diselesaikan dengan tuntas
2. Kalau Ali mengabaikan pengusutan terhadap pembunuhan Usman, bukan bai’ah yang dilakukan.
Tetapi Muawwiyah akan mengangkat senjata untuk melawan Ali.
Dimulailah perang besar di dataran Siffin dengan dahsyatnya antara Ali dengan Muawwiyah.
Pertempuran berkecamuk hingga 4 hari lamanya. Dalam pertempuran tersebut tentara Muawwiyah
mula-mula menang, tetapi kemudian kalah, dan akhirnya hendak melarikan diri. Tiba-tiba amru
mengambil siasat damai dengan memerintahkan kepada seluruh tentaranya mengacungkan Mushaf
Al-Qur’an pada pucuk tombaknya serta menyeru “Marilah damai dengan hukum Kitabullah”.
Melihat situasi yang demikian, pasukan Ali pecah menjadi dua golongan satu golongan menerima
perdamaian, mengingat pertempuran yang dilakukan sesama muslik, satu golongan yang lain
berpendapat perang terus hingga nyata siapa nanti yang menang, dengan dugaan mereka bahwa
mengangkat Kitabullah hanyalah semata-mata tipu daya musuh.
Khalifah Ali terpaksa mengikuti golongan pertama yang lebih banyak, yaitu menghentikan
pertempuran yang sedang berkobar dan menantikan keputusan yang akan dirundingkan tanggal 15
Rajab 37 H. Perundingan tersebut dikenal dengan perdamaian Daumatul Jandal, karena terjadi di
daerah Daumatul Jandal. Dalam perundingan itu, pihak Muawwiyah mengangkat Amr bin Ash
sebagai kepala utusan, dari pihak Ali mengangkat Abu Musa Al Asy’ari.
Tanya jawab diadakan dan akhirnya setuju untuk mempersiapkan jawaban agar Ali dan Muawwiyah
diturunkan dari keKhalifaan. Kemudian diserahkan kepada umat untuk memilih Khalifah yang
disukainya, demi persatuan dan kesatuan umat Islam. Mula-mula Abu Musa berdiri, kemudian
memutuskan mencabut Ali dari keKhalifaan. Setelah itu Amr bin Ash juga berdiri dan memutuskan
memecat Ali seperti yang dikatakan Abu Musa dan menetapkan Muawwiyah menjadi Khalifah atas
pemilihan umat.

5. Peristiwa Tahkim dan Dampaknya


Akibat terjadinya perselisihan pendapat dalam pasukan Ali, maka timbullah golongan Khawarij dan
Syi’ah. Khawarij adalah golonga yang semula pengikut Ali , setelah berhenti perang Siffin mereka
tidak puas, dan keluar dari golongan Ali, karena mereka ingin melanjutkan peperangan yang sudah
hampir menang, dan mereka tidak setuju dengan perundingan Daumatul Jandal.
Mereka berkomentar mengapa harus bertahkim kepada manusia, padahal tidak ada tempat
bertahkim kecuali allah. Maksudnya tidak ada hukumselain bersumber kepada Allah. khawrij
menganggap Ali telah keluar dari garis Islam. Karena itu orang-orang yang melaksanakan hukum
tidak berdasarka Kitab Allah maka ia termasuk orang kafir.
Sebaliknya golongan kedua Syi’ah (golongan yang tetap setia mendukung Ali sebagai Khalifah)
memberi tanggapan bahwa tidak menutup kemungkinan kepemimpinan Muawwiyah bertindak
salah, karena ia manusia biasa, selain itu golongan Syi’ah beranggapan bahwa hanya Ali satu-satunya
yang berhak menjadi Khalifah.
Mengingat perdebatan ini tidak titik temunya dan mengakibatkan perundingan Daumatul Jandal
gagal sehingga perdamaian tidak terwujud.

6. Ali bin Abi Tholib Wafat


Kaum Khawarij tidak lagi mempercayai kebenaran pemimpin-pemimpin Isalam, dan mereka
berpendapat bahwa pangkal kekacauan Islam pada saat itu adalah karena adanya 3 orang imam,
yaitu Ali, Muawwiyah dan Amr.
Kemudian kaum Khawarij membulatkan tekadnya, “tiga orang imam itu harus dibunuh dalam satu
saat, bila hal itu tercapai umat Islam akan bersatu kembali”. Demikian tekad mereka. “Saya
membunuh Ali”, kata Abdurrahman bin Muljam, “Saya membunuh Muawwiyah”, sambut Barak bin
Abdullah Attamimi, “Dan saya membunuh Amr”, demikian kesanggupan Amr bin Bakr Attamimi.
Mereka bersumpah akan melaksanakan pembunuhan pada tanggal 17 Ramadhan 40 H/24 Januari
661 M di waktu subuh. Diantara tiga orang Khawarij tiu. Hanya Ibnu Muljam yang berhasil
membunuh Ali ketika beliau sedang sholat Subuh di Masjid Kufah tetapi Ibnu Muljam pun tertangkap
dan juga dibunuh.
Barak menikam Muawwiyah mengenai punggungnya, ketika Muawwiyah sedang sholat Subuh di
Masjid Damaskus. Sedang Amr bin Bakr berhasil membunuh wakil imam Amr bin Ash ketika ia
sedang sholat Subuhdi Masjid Fusthat Mesir. Amr bin sendiri tidak mengimami sholat, sedang sakit
perut di rumah kediamannya sehingga ia selamat.
Khalifah Ali wafat dalam usia 58 tahun, kemudian Hasan bin Ali dinobatkan menjadi Khalifah yang
berkedudukan di Kufah.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Format peradaban Islam pada masa khulafaurrasyidin tampaknya lebih banyak dilakukan oleh dua
khalifah berikutnya yakni Umar bin Khattab serta Usman bin Affan karena keduanya memerintah
relatif cukup lama dibandingkan Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Sehingga fakta sejarah
menunjukkan bahwa zaman Khulafaurrasyidin tersebut termasuk kedalam zaman perkembangan
Islam yang cemerlang yang ditandai dengan ekspansi, integrasi, pertumbuhan dan kemajuan yang
menunjukkan peradaban tersendiri dengan segala karakteristiknya.

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban Islam di kawasan dunia Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2004

Morodi, DKK. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1994
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006
Tim Guru MI. Mengenal Sejarah Kebudayaan Islam. PT Putratama Bintang Timur, 2004
Shiddiqi, Nourouzzaman. Jeram-jeram Peradaban Muslim. Pustaka Pelajar, 1996
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2001
: dirasah Islamiah II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.h. 35.

[12] Fachruddin,1985: h.19-20

[13] Pulungan, 1994: h. 102-105

[14] Hasjmy,1973 : h. 117

[15] Said bin al Qathani, 1994: h. 166-167

[16] Misbach dkk., 1994:9

[17] Afandi dkk, 1995:94-95

[18] Afandi dkk, 1995:94-95

[19] Ibid. H. 97.

[20] Nasir .1994:166.

[21] Ibid .h. 100-101


[22] Depag RI,1987:11-12

[23] Solihan, 1991:94

[24] Syalabi, 1997:236

[25] Mufradi, 1997:58

[26] Suaib,1979:190

[27] Ibid, hal. 211

[28] Atsir, 1995:459-468 dan Yatim, 1993:38

[29] Rahman,1994 :194

[30] Al Maududi, 1995:261

[31] Ali Khan, 1978:122-123

[32] Hasjmy , 1995:61-69

[33] Mufradi, 1997: 54

[34] Nasution , 1985:58

[35] Majid, 1978:86

[36] OP. ,Cit, suaib. H. 185

[37] Ridha, 1993:47

[38] OP.,Cit. Syuaib.h.263-264

[39] Ibrahim, 1989:37

[40] OP.,Cit, fachruddin.h.22

[41] Hasan, 1967:37-52

[42] Ibid.h.39

[43] OP.,Cit.syalaby.h.267.

[44] Muhammadunnasir,1981:137-138

[45] Ahmad,1984:33

[46] OP.,Cit, Mufradi, h. 58-59


[47] Ibid.h.57

[48] Ibid,h.121-122

[49] Syari’ati, 1989:119-120

[50] OP.,Cit. Depag RI,h. 26

[51] Ali K,1997:122-123

[52] Ibid. H.98.

[53] Misbach,1984:10-11

[54] OP.,Cit. al-Qathani.h.192

[55] At-Tibyan,1984:96

[56] OP.,Cit. Depag RI, h. 29

[57] OP.,CIT. Hasjmy, h. 133

[58] Ahmad, 1984:37-38

[59] OP.,Cit. al-Qathani.h.118

[60] OP.,Cit.Mufradi.h.62

[61] Ali (1997:125

[62] OP.,Cit.h. mufradi h,62

[63] Mahmudunnasir, 1981:140

[64] OP.,Cit. Ali, h.129

[65] Ahmad,1984:33

[66] Pulungan, 1997:40

[67] OP.,Cit.syalabi.h.283

[68] Ibid.

[69] Ibid. h.284-296

[70] OP.,Cit. Hasan, 1989:82

[71] Syadzali,1993:27
[72] Mahmudunnasir,1984:145

[73] Nasution,1986:14

[74] OP.,Cit. Suaib,h.496

[75] OP.,Cit. Yatim, h.41

[76] OP.,Cit. Mufradi,h.66

[77] Loc.,Cit. Syalaby,h.306

[78] Loc.,Cit. Yatim, h.41

[79] Jafri, 1995:184-185

[80] Ibid. Jafri,h.191-193

[81] Thabari dalam Jafri. 1995.h.211-212

Bagikan ini:

 Twitter
 Facebook1
 Google

Tulisan ini dipublikasikan di sejarah peradaban islam dan tag islam. Tandai permalink.

Anda mungkin juga menyukai