Pemikiran Politik Ibn Taimiyah
Pemikiran Politik Ibn Taimiyah
Pemikiran Politik Ibn Taimiyah
Kamalul Khair
21103060008
Abstrak
Tulisan ini mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah kaitannya dengan siyasah. Meski sama-
sama dari kalangan sunni, tetapi ia memiliki kecenderungan yang berbeda dengan
ulama-ulama sebelumnya, seperti al-Mawardi yang menawarkan konsep
kepemimpinan Khalifah dan Imamah. Ia menolak kosep tersebut dengan alasan
bahwa rezim yang ditegakkan nabi adalah rezim nubuwwah bukan imamah.
Menariknya, untuk dikaji karena Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran lebih demokratis
ketimbang al-Mawardi yang mensyaratkan hanya ulama yang memiliki otoritas untuk
mengangkat kepala negara melalui ahl-hall wa al-aqd. Hasil dari penelitian ini adalah
bahwa Ibnu Taimiyah tidak terlalu mementingan mekanisme pengangkatan kepala
negara sebagaimana al-Mawardi, yang terpenting menurutnya adalah kepala negara
harus bersikap adil dan jujur. Sedangkan dalam kualifikasi kepala negara ia
mensyaratkan dua hal yaitu (al-quwwah) wibawa atau kuat dan (amanah) kejujuran.
Selain itu, ia juga membolehkan seorang pemimpin dari kalangan orang kafir, dengan
tanda kutip harus adil dan tidak menyuruh berbuat maksiat. Dan ia juga tidak
mewajibkan kepala negara dari suku quraisy.
Kata Kunci: Politik Islam, al-syaukah, Ibnu Taimiyah.
Pendahuluan
Sebaliknya, yang kedua, mengatakan Islam adalah agama yang sempurna, yang di
dalamnya terdapat sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya umat Islam
1 Suharti, “Al-Siyasah Al-Syar’iyyah ‘Inda Ibn Taimiyah (Politik Islam Ibnu Taimiyah),” Al-Ittihad
Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam, VolumeI 2 No. 2 (Jul-Des 2015), hlm. 24.
2 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press,
Sejauh ini, sejarah Islam meninggalkan khazanah kultur politik yang sangat kaya,
yang awalnya langsung dimulai dari masa Nabi Muhammad, para Khulafa al-Rasyidian,
periode klasik, periode pertengahan hingga periode modern. Masuk pada periode
klasik, yang ditandai dengan kemajuan Islam, yaitu pada masa Bani Umayyah (661-750
M) dan Bani Abbas (750-1258 M). Pada saat itu, Islam mengalami kemajuan yang
sangat pesat, sehingga ia memegang kekuasaan dan memiliki pengaruh lebih-lebih
dalam kancah internasional. Berkembangnya kajian tentang fiqh Siyasah itu dimulai
sejak era Abbasiyah, karena pada masa Umayyah lebih mengarah pada perluasan
kekuasaan. Namun, tatkala itu pengaruh negara membuat kajian oleh ulama sunni
cenderung akomudatif dan mendukung penguasa.4
Pada periode klasik, lahirlah kitab pertama kali tentang siyasah berjudul Suluk al-
Malik fi Tadbir al- Mamalik (Pedoman bagi Raja dalam Menjalankan Pemerintahan),
yang ditulis oleh ulama sunni yaitu Ibn Abi Rabi’. Kitab tersebut merupakan
persembahannya terhadap Khalifah al-Mu’tashim (833-842 M), yang didalamnya
berisi pujian kepada al-Mu’tashim. Teori politik pada era klasik ini, kerap memberikan
legitimasi terhadap kekuasaan, karena memang pada umumnya tokoh fiqh siyasah
hidup dilingkugan penguasa.5
Penelitin ini bertujuan untuk melengkapi karya yang sudah ada baik itu berbentuk
buku maupun artikel jurnal. Meski, Ibnu Taimiyah lahir dari kalangan sunni yang
bermazhab Hanbali, dalam pemikiran siyasah ia cenderung memiliki konsepsi yang
berbeda dengan periode klasik seperti al-Mawardi misalnya. Karena itu penulis
tertarik untuk mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah kaitannya dengan siyasah atau
politik, pemerintahan kepemimpinan dan hakikat negara yang akan dideskripsikan di
bawah.
Pembahasan
Abu Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam Abdullah bin Mohammad
bin Taimiyah atau lebih akrab dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah yang
merupakan seorang ulama sekaligus ilmuwan yang mendapat gelar Syaikh al-
Islam, ia lahir di Harran dekat Damaskus, tepatnya pada hari Senin, 22 Januari 661
H/1263 M.7 Lima tahun sebelum kelahirannya, 1258 tentara Hulaghu Khan dari
Mongol menyerang dan meghancurkan kepemimpinan Bani Abbas yang pada saat
itu sudah diujung kehancuran sebab adanya perpecahan internal. Jatuhnya
Baghdad ketangan Mongol pada tahun 1258 M. juga menandai berakhirnya
Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah yang selama kurang lebih lima ratus tahun
berkibar menjadi lambang kekuatan politik dunia Islam. 8
Setelah berusia sekitar enam tahun Ibnu Taimiyah mengikuti ayahnya pindah
ke Damaskus, demi menyelamatkan diri dari kekejaman Tatar. Ia hidup dalam
lingkungan orang yang berintelektual. Ayahnya, bernama Abu Al-Mahasin Abdu
Al-Halima yang merupakan seorang ulama terkemuka dari mazhab Hanbali.
Sedangkan kakeknya, bernama Syaikh al-Islam Abu al-Barakat Abd Al-Halima juga
seorang ulama ahli dibidang fiqh Hanbali, serta ilmu lainnya seperti hadis dan
Pada umur dua puluh tahun, Ibnu Taimiyah ditinggal oleh ayahnya, dan mulai
sejak itu pula ia menaruh perhatian besar dalam mempelajari fiqh Hanbali, selain
itu, ia juga mendalami ilmu al-Quran, hadis dan teologi. Selaku ulama sekaligus
ilmuwan ia mendapatkan reputasi sebagai orang yang berwawasan luas,
pendukung kebabasan berfikir, tajam perasaan, pemberani dan teguh pendirian,
serta ia banyak menguasai cabang ilmu pengetahuan agama.10 Bahkan ia
mendapat pengakuan dari Syaukani, setelah masanya Ibnu Hazm, tidak ada
seseorang yang tingkat keilmuannya setara dengan Ibnu Taimiyah.11
9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 79.
10 Ibid., hlm. 79.
11 Ibid., hlm. 80.
12 Ibid.
13 Muh. Ilham Usman, “Meneroka Pemikiran Ibn Taymiyah: Kritik terhadap Filsafat dan
Tasawuf,” Rausyan Fikr, Vol. 16 No. 1 (Sulawesi Barat, 1 Juni 2020), hlm. 37.
14 Ibid., hlm. 37.
15 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 81.
demikian kerap menimbulkan kerawanan dalam bernegara. Juga, tidak mudah
menciptakan stabilitas pilitik, keserasian sosial dan perbaikan moral serta akhlak.
Banyaknya masalah pada waktu itu, tidak hanya dipicu oleh kuantitas agama,
melainkan juga datang dari perbedaan mazhab termasuk mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali. Makanya tak jarang kalau Ibnu Taimiyah acap kali keluar masuk
penjara karena pengaduan atau tuntutan oleh sekelompok ulama pada saat itu,
terutama karena ketajaman kritiknya yang tajam terhadap pemerintah.16
Sebagai ulama sekaligus pemikir Ibnu Taimiyah tidak hanya menulis kitab
tentang syari’ah, tapi juga mengupas permasalah politik dan pemerintahan.
Diantara kitabnya dibidang politik dan pemerintahan adalah al-Siyasah al-
Syar'iyyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi naqdh
Kalam as-Syi'ah wal Qadariyah, dan Al-Hisbah fi Islam.17 Sementara kitabnya yang
lain sebegaimana berikut; Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dina Al-Masih,
Kitab al-Nubuwat, Ar-Raddu 'Ala Al-Manthiqiyyin, Iqtidhau Ash-Shirathi Al-
Mustaqim, Majmu' Fatawa, Risalatul Qiyas, Minhajul Wushul Ila 'Ilmil Ushul,
Syarhu Al-Ashbihani war Risalah Al-Humuwiyyah, At-Tamiriyyah, Al-Wasithiyyah,
Al-Kailaniyyah, Al-Baghdadiyyah Al-Azhariyyah, dan lain-lain.18
Hingga Indonesia Kontemporer, hlm. 33, Qamaruzzaman, “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah,” Politea :
Jurnal Kajian Politik Islam, Vol. 2 No. 2 (Mataram, Juli Desember 2019), hml. 118.
lainnya. Dan oleh sebab itu pula dibutuhkan sesosok pemimpin untuk mengatur
kehidupan sosial tersebut.20
Bagi Ibnu Taimiyah penegakan imamah bukan merupakan salah satu dasar dari
agama, ia merupakan kebutuhan praktis yang diantara manfaatnya adalah untuk
membantu kepentingan agama. Selain itu, ia juga menolak menjadikan kekuasaan
bani Umayyah dan bani Abbas sebagai dasar filsafat politik Islam. Selanjutanya,
Ibnu Taimiyah tidak setuju dengan teori khilafah sunni yang ditawarkan al-
Mawardi tentang pengangkatan kepala negara melalui ahl-hall wa al-aqd, dan
konsep bay’ah oleh sebagain ulama. Ia juga berpandangan bahwa ahl-hall wa al-
aqd, hanya dijadikan sebagai alat pembenaran keinginan politik penguasa atas
sepak terjang yang dilakukannya. Secara historis, ahl-hall wa al-aqd menurut Ibnu
Taimiyah tidak pernah menggambarkan bentuk representasi suara rakyat. 21
Mengutip dalam buku yang ditulis Muhammad Iqbal dan Amin Husein
Nasution yang berjudul “Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer”. Pertama, menurut penulis pemikiran Ibnu Taimiyah cenderung
kontradiktif dengan konsep yang ditawarkannya. Ia seolah-olah memberikan
kesempatan kepada negara untuk bertindak semena-mena atau otoriter.
Sebagaimana dalam pendapatnya bahwa perlawanan terhadap kezaliman kepala
negara akan mengundang kezaliman yang lebih besar. Dan menurutnya, kepala
negara yang zalim itu lebih baik ketimbang tidak mempunyai kepala negara sama
sekali, serta harus ditaati. Padahal kita tahu bahwa kezaliman merupakan
Kedua, penulis tidak setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang memisahkan
agama dan politik, ia mengatakan bahwa agama dan politik tidak bisa disamakan,
karena agama adalah urusan keimanan, sedangkan politik adalah urusan kekuatan
dan kekuasaan.28 Meskipun dalam Islam tidak menyebutkan secara eksplisit
sistem politik atau ketatanegaraan, tetapi di dalam Islam terdapat tata nilai atau
etika tentang siyasah atau bernegara. Bahwa dalam Islam tidak hanya sekedar
membahas doktrin agama kaitannya dengan aspek spiritual (hablum minallah)
saja, melainkan juga berbicara aspek sosial (hablum minannas). Dapat diartikan
Islam sebagai agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
penciptanya (teosentris), lebih dari itu Islam juga mengatur hubungan antar
sesama manusia (antroposentris), misalnya tentang sosial, politik dan
tatanegara.29
Penutup
1. Ibnu Taimiyah adalah ulama sekaligus ilmuwan yang hidup pasca runtuhnya
dinasti Abbasiyah dan pada saat itu Islam mengalami kemunduran, baik dalam
bidang maupun akhlak.
2. Ia merupakan seorang yang cerdas, memiliki wawasan yang luas, dan sangat
pemberani serta teguh pendirian. Sebab itu ia sering keluar masuk penjara karena
kritiknya yang tajam terhadap peerintah.
3. Ibnu Taimiyah lebih demokratis ketimbang al-Mawardi, sebagaimana dalam
konsep pengangkatan kepala negara yang ia tawarkan yaitu al-syaukah. Ahl al-
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-
Press, 1990.
Amin Husein Nasution, dan Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2015.
Aly, Sirojuddin, Pemikiran Politik Islam: Sejarah, Praktik dan Gagasan, Depok: Rajawali
Pers, 2018.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1973.
Usman, Muh. Ilham, “Meneroka Pemikiran Ibn Taymiyah: Kritik terhadap Filsafat dan
Tasawuf,” Rausyan Fikr, Vol. 16 No. 1 (1 Juni 2020).
Qamaruzzaman, “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah,” Politea: Jurnal Kajian Politik Islam,
Vol. 2 No. 2 (Juli Desember 2019).
Suharti, “Al-Siyasah Al-Syar’iyyah ‘Inda Ibn Taimiyah (Politik Islam Ibnu Taimiyah),” Al-
Ittihad Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam, Volume 2 No. 2 (Jul-Des 2015).
Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara,” In Right Jurnal
Agama dan Hak Azazi Manusia, Volume 2, No.1, (2012).