0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
35 tayangan10 halaman

Pemikiran Politik Ibn Taimiyah

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 10

PEMIKIRAN POLITIK IBNU TAIMIYAH

Kamalul Khair
21103060008

Abstrak
Tulisan ini mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah kaitannya dengan siyasah. Meski sama-
sama dari kalangan sunni, tetapi ia memiliki kecenderungan yang berbeda dengan
ulama-ulama sebelumnya, seperti al-Mawardi yang menawarkan konsep
kepemimpinan Khalifah dan Imamah. Ia menolak kosep tersebut dengan alasan
bahwa rezim yang ditegakkan nabi adalah rezim nubuwwah bukan imamah.
Menariknya, untuk dikaji karena Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran lebih demokratis
ketimbang al-Mawardi yang mensyaratkan hanya ulama yang memiliki otoritas untuk
mengangkat kepala negara melalui ahl-hall wa al-aqd. Hasil dari penelitian ini adalah
bahwa Ibnu Taimiyah tidak terlalu mementingan mekanisme pengangkatan kepala
negara sebagaimana al-Mawardi, yang terpenting menurutnya adalah kepala negara
harus bersikap adil dan jujur. Sedangkan dalam kualifikasi kepala negara ia
mensyaratkan dua hal yaitu (al-quwwah) wibawa atau kuat dan (amanah) kejujuran.
Selain itu, ia juga membolehkan seorang pemimpin dari kalangan orang kafir, dengan
tanda kutip harus adil dan tidak menyuruh berbuat maksiat. Dan ia juga tidak
mewajibkan kepala negara dari suku quraisy.
Kata Kunci: Politik Islam, al-syaukah, Ibnu Taimiyah.

Pendahuluan

Pembahasan tentang politik Islam (siyasah syar’iyyah) cukup berkembang dan


tidak pernah sampai pada kata final, kerena memang pembahasan tersebut cukup
dinamis. Bahkan sampai saat ini, diskusi yang berkembang mengenai intervensi agama
ke dalam masalah publik termasuk politik juga menjadi perhatian. 1 Berbagai konsepsi
mulai bermunculan, pertama, ada yang mengatakan agama dan politik itu merupakan
dua hal yang berbeda, dan tidak ada hubungannya sama sekali. Bagi aliran ini, Nabi
Muhammad merupakan orang biasa yang diutus untuk mengajak manusia agar
kembali kepada kehidupan yang benar, dengan mengedepankan budi pekerti atau
akhlak yang mulia.2

Sebaliknya, yang kedua, mengatakan Islam adalah agama yang sempurna, yang di
dalamnya terdapat sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya umat Islam

1 Suharti, “Al-Siyasah Al-Syar’iyyah ‘Inda Ibn Taimiyah (Politik Islam Ibnu Taimiyah),” Al-Ittihad

Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam, VolumeI 2 No. 2 (Jul-Des 2015), hlm. 24.
2 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press,

1990s), hlm. 1-2.


hendaknya kembali terhadap sistem ketatanegaraan Islam, sebagaimana dicontohkan
oleh Nabi Muhammad dan para Khulafa al-Rasyidin. Sedangkan konsepsi yang ketiga,
adalah menolak kedua pendapat di atas. Aliran ini menganggap bahwa dalam Islam
tidak terdapat sistem ketatanegaraan, akan tetapi di dalam Islam terdapat tata nilai
etika bagi kehidupan bernegara.3

Sejauh ini, sejarah Islam meninggalkan khazanah kultur politik yang sangat kaya,
yang awalnya langsung dimulai dari masa Nabi Muhammad, para Khulafa al-Rasyidian,
periode klasik, periode pertengahan hingga periode modern. Masuk pada periode
klasik, yang ditandai dengan kemajuan Islam, yaitu pada masa Bani Umayyah (661-750
M) dan Bani Abbas (750-1258 M). Pada saat itu, Islam mengalami kemajuan yang
sangat pesat, sehingga ia memegang kekuasaan dan memiliki pengaruh lebih-lebih
dalam kancah internasional. Berkembangnya kajian tentang fiqh Siyasah itu dimulai
sejak era Abbasiyah, karena pada masa Umayyah lebih mengarah pada perluasan
kekuasaan. Namun, tatkala itu pengaruh negara membuat kajian oleh ulama sunni
cenderung akomudatif dan mendukung penguasa.4

Pada periode klasik, lahirlah kitab pertama kali tentang siyasah berjudul Suluk al-
Malik fi Tadbir al- Mamalik (Pedoman bagi Raja dalam Menjalankan Pemerintahan),
yang ditulis oleh ulama sunni yaitu Ibn Abi Rabi’. Kitab tersebut merupakan
persembahannya terhadap Khalifah al-Mu’tashim (833-842 M), yang didalamnya
berisi pujian kepada al-Mu’tashim. Teori politik pada era klasik ini, kerap memberikan
legitimasi terhadap kekuasaan, karena memang pada umumnya tokoh fiqh siyasah
hidup dilingkugan penguasa.5

Memasuki periode pertengahan, yang ditandai dengan hancurnya daulah


Abbasiyah (1258 M), di mana politik Islam pada saat itu mengalami kemunduran.
Sebab itu pula pemikiran politik Islam mengalami perubahan, sehingga pemikiran
politik era klasik tidak relevan lagi pada saat itu. Kemudian, lahirlah tokoh seperti Ibnu
Taimiyah yang memberikan pemahaman yang berbeda dari tokoh sebelumnya,

3 Ibid., hlm. 1-2.


4 Ibid., hlm. 43.
5 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Kencana,

2014), hlm. 24.


sebagaimana tertuang dalam kitabnya al-Siyasah al-Syar'iyyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-
Ra’iyyah, Majmu al-Fatawa dan Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah.6

Penelitin ini bertujuan untuk melengkapi karya yang sudah ada baik itu berbentuk
buku maupun artikel jurnal. Meski, Ibnu Taimiyah lahir dari kalangan sunni yang
bermazhab Hanbali, dalam pemikiran siyasah ia cenderung memiliki konsepsi yang
berbeda dengan periode klasik seperti al-Mawardi misalnya. Karena itu penulis
tertarik untuk mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah kaitannya dengan siyasah atau
politik, pemerintahan kepemimpinan dan hakikat negara yang akan dideskripsikan di
bawah.

Pembahasan

A. Kondisi Sosial Politik Ibnu Taimiyah

Abu Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam Abdullah bin Mohammad
bin Taimiyah atau lebih akrab dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah yang
merupakan seorang ulama sekaligus ilmuwan yang mendapat gelar Syaikh al-
Islam, ia lahir di Harran dekat Damaskus, tepatnya pada hari Senin, 22 Januari 661
H/1263 M.7 Lima tahun sebelum kelahirannya, 1258 tentara Hulaghu Khan dari
Mongol menyerang dan meghancurkan kepemimpinan Bani Abbas yang pada saat
itu sudah diujung kehancuran sebab adanya perpecahan internal. Jatuhnya
Baghdad ketangan Mongol pada tahun 1258 M. juga menandai berakhirnya
Kekhalifahan Dinasti Abbasiyah yang selama kurang lebih lima ratus tahun
berkibar menjadi lambang kekuatan politik dunia Islam. 8

Setelah berusia sekitar enam tahun Ibnu Taimiyah mengikuti ayahnya pindah
ke Damaskus, demi menyelamatkan diri dari kekejaman Tatar. Ia hidup dalam
lingkungan orang yang berintelektual. Ayahnya, bernama Abu Al-Mahasin Abdu
Al-Halima yang merupakan seorang ulama terkemuka dari mazhab Hanbali.
Sedangkan kakeknya, bernama Syaikh al-Islam Abu al-Barakat Abd Al-Halima juga
seorang ulama ahli dibidang fiqh Hanbali, serta ilmu lainnya seperti hadis dan

6Ibid., hlm. 26.


7Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 79.
8 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga

Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Prenadameia Group, 2015), hlm. 31.


tafsir. Sejak di Damaskus ia belajar langsung kepada ayahnya, kemudian berguru
kepada orang lain yang diantaranya adalah, Ali Zain Al-Din Al-Muqaddasi, Najm al-
Din bi Asakir, Zainab binti Maki dan lain-lain.9

Pada umur dua puluh tahun, Ibnu Taimiyah ditinggal oleh ayahnya, dan mulai
sejak itu pula ia menaruh perhatian besar dalam mempelajari fiqh Hanbali, selain
itu, ia juga mendalami ilmu al-Quran, hadis dan teologi. Selaku ulama sekaligus
ilmuwan ia mendapatkan reputasi sebagai orang yang berwawasan luas,
pendukung kebabasan berfikir, tajam perasaan, pemberani dan teguh pendirian,
serta ia banyak menguasai cabang ilmu pengetahuan agama.10 Bahkan ia
mendapat pengakuan dari Syaukani, setelah masanya Ibnu Hazm, tidak ada
seseorang yang tingkat keilmuannya setara dengan Ibnu Taimiyah.11

Munawir Sjadzali, misalnya mengatakan dalam bukunya “Islam dan Tata


Negara” bahwa Ibnu Taimiyah hidup pada zaman dunia Islam mengalami puncak
disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. 12 Selain itu,
juga Islam mengalami kemunduran yang mana waktu itu secara internal umat
Islam mengindap penyakit taklid dan jumud, yang salah satu sebabnya adalah
karena pintu ijtihad telah ditutup.13 Di samping itu, seperti takhayul, bid’ah dan
khurafat juga masih mendarah daging pada diri setiap umat. Sedangkan dari
eksternal, umat Islam terus diserang oleh tentara salib, juga dampak serangan
tentara Tatar terhadap Baghdad. 14 Jadi, pada saat itulah Ibnu Taimiyah hidup,
bahwa tantangan yang dihadapinya meliputi internal dan juga eksternal.

Kondisi masyarakat di mana Ibnu Taimiyah menetap cenderung heterogen,


baik dalam kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Akibatnya
sering terjadi perang di tempat tersebut, karena memang tidak adanya paham
yang sama baik dari adat istiadat, tradisi, perilaku dan pemikiran.15 Hal yang

9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 79.
10 Ibid., hlm. 79.
11 Ibid., hlm. 80.
12 Ibid.
13 Muh. Ilham Usman, “Meneroka Pemikiran Ibn Taymiyah: Kritik terhadap Filsafat dan

Tasawuf,” Rausyan Fikr, Vol. 16 No. 1 (Sulawesi Barat, 1 Juni 2020), hlm. 37.
14 Ibid., hlm. 37.
15 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, hlm. 81.
demikian kerap menimbulkan kerawanan dalam bernegara. Juga, tidak mudah
menciptakan stabilitas pilitik, keserasian sosial dan perbaikan moral serta akhlak.
Banyaknya masalah pada waktu itu, tidak hanya dipicu oleh kuantitas agama,
melainkan juga datang dari perbedaan mazhab termasuk mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hanbali. Makanya tak jarang kalau Ibnu Taimiyah acap kali keluar masuk
penjara karena pengaduan atau tuntutan oleh sekelompok ulama pada saat itu,
terutama karena ketajaman kritiknya yang tajam terhadap pemerintah.16

Sebagai ulama sekaligus pemikir Ibnu Taimiyah tidak hanya menulis kitab
tentang syari’ah, tapi juga mengupas permasalah politik dan pemerintahan.
Diantara kitabnya dibidang politik dan pemerintahan adalah al-Siyasah al-
Syar'iyyah fi Ishlah al-Ra’i wa al-Ra’iyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi naqdh
Kalam as-Syi'ah wal Qadariyah, dan Al-Hisbah fi Islam.17 Sementara kitabnya yang
lain sebegaimana berikut; Al-Jawab Ash-Shahih Liman Baddala Dina Al-Masih,
Kitab al-Nubuwat, Ar-Raddu 'Ala Al-Manthiqiyyin, Iqtidhau Ash-Shirathi Al-
Mustaqim, Majmu' Fatawa, Risalatul Qiyas, Minhajul Wushul Ila 'Ilmil Ushul,
Syarhu Al-Ashbihani war Risalah Al-Humuwiyyah, At-Tamiriyyah, Al-Wasithiyyah,
Al-Kailaniyyah, Al-Baghdadiyyah Al-Azhariyyah, dan lain-lain.18

B. Teori Politik Ibnu Taimiyah

Sebagai ulama Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mengatur urusan umat


merupakan bagian penting dari kewajiban agama, tetapi bukan berarti agama
tidak bisa hidup tanpa negara.19 Itu sebabnya ia juga menolak adanya kesepakatan
(ijma’) sebagai landasan kewajiban. Karena pendekatan yang ia gunakan adalah
pendektan sosiologis, yang menurutnya kesejahteraan manusia tidak dapat
tercipta kecuali hanya dalam satu tatanan sosial yang saling bergantung pada yang

16 Ibid., hlm. 81.


17 Muh. Ilham Usman, “Meneroka Pemikiran Ibn Taymiyah: Kritik terhadap Filsafat dan
Tasawuf,”, hlm. 38.
18 Ibid., hlm. 35-36.
19 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik

Hingga Indonesia Kontemporer, hlm. 33, Qamaruzzaman, “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah,” Politea :
Jurnal Kajian Politik Islam, Vol. 2 No. 2 (Mataram, Juli Desember 2019), hml. 118.
lainnya. Dan oleh sebab itu pula dibutuhkan sesosok pemimpin untuk mengatur
kehidupan sosial tersebut.20

Bagi Ibnu Taimiyah penegakan imamah bukan merupakan salah satu dasar dari
agama, ia merupakan kebutuhan praktis yang diantara manfaatnya adalah untuk
membantu kepentingan agama. Selain itu, ia juga menolak menjadikan kekuasaan
bani Umayyah dan bani Abbas sebagai dasar filsafat politik Islam. Selanjutanya,
Ibnu Taimiyah tidak setuju dengan teori khilafah sunni yang ditawarkan al-
Mawardi tentang pengangkatan kepala negara melalui ahl-hall wa al-aqd, dan
konsep bay’ah oleh sebagain ulama. Ia juga berpandangan bahwa ahl-hall wa al-
aqd, hanya dijadikan sebagai alat pembenaran keinginan politik penguasa atas
sepak terjang yang dilakukannya. Secara historis, ahl-hall wa al-aqd menurut Ibnu
Taimiyah tidak pernah menggambarkan bentuk representasi suara rakyat. 21

Sebagai alternatif Ibnu Taimiyah menawarkan konsep al-syaukah dalam teori


politiknya. Menurutnya, Ahl al-syaukah adalah orang yang berasal dari berbagai
kalangan dan penduduk yang dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Dalam
literatur yang lain Ahl al-syaukah adalah orang yang berpengaruh dan memiliki
kesetian terhadap imam yang dingakat. 22 Dalam konsep Ahl al-syaukah, ia lebih
menekankan unsur kekuatan (qudrah) dan kekuasaan (sultoh). Adanya penekanan
ini, juga menunjukakan bahwa urusan keagamaan tidak bisa disamakan dengan
urusan kenegaraan.23 Sedangkan dalam pengkualifikasian kepala negara Ibnu
Taimiyah menetapkan syarat kejujuran (amanah) dan kewibawaan dan kekuatan
(al-quwwah), dan ia juga tidak mewajibkan seorang kepala negara dari kalangan
suku Quraisy.24

Selanjutnya, Ibnu Taimiyah juga memandang bahwa pemimpin merupakan hal


yang sangat penting dalam suatu negara, itu sebabnya kepala negara harus ditaati
bahkan meskipun zalim. Baginya, masyarakat yang dizalimi selama enam puluh

20 Ibid., hlm. 33.


21 Ibid., hlm. 33-34.
22 Muhammad Arif, “Gagasan Sekularisasi Politik Ibn Taymiyah,” Jurnal Penelitian Agama dan

Masyarakat, Vol. 1, No. 2 (Juli Desember 2017), hlm. 228.


23 Ibid., hlm. 228.
24 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik

Hingga Indonesia Kontemporer, hlm. 35.


tahun itu lebih baik daripada tidak punya kepala negara dalam semalam. Dalam
hal ini, ia sependapat dengan al-Ghazali yang mengatakan bahwa kepala negara
merupakan bayang-bayang Allah di bumi (zill Allah fi al-ardh). Maka, dari itu Ibnu
Taimiyah tidak membolehkan adanya pemberontakan oleh rakyat terhadap kepala
negara, sekalipun kepala negaranya adalah orang kafir. Dengan catatan, ia tetap
berbuat adil serta tidak menyuruh rakyat untuk berbuat maksiat kepada Allah. 25

Kebolehan orang kafir menjadi pemimpin menurut Ibnu Taimiyah adalah


dilandaskan pada al-Qur’an surah al-Maidah ayat 51. Menurutnya, pemaknaan
terhadap Yahudi lebih mengarah kepada kezaliman, karena kalimat terakhir dalam
ayat tersebut menyebutkan orang zalim. Selain ayat di atas, hal yang sama juga
sebagai fondasi utama yang dijadikan landasan dalam kitab As-Siyasah al-
Syar’iyyah fi Islah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah yaitu surah an-Nisa’ ayat 58. Ayat ini
turun ketika penaklukan kota Makkah di mana waktu itu kunci Ka’bah mau
diserahkan oleh Bani Syaibah, dan Abbas (paman Nabi) meminta agar kuncinya
dipegang olehnya agar ia deberikan amanah untuk menjaga kunci Ka’bah tersebut.
Dan pada saat itu pula ayat tersebut turun, dan Nabi memerintahkan agar kunci
Ka’bah diserahkan kembali kepada Bani Syaibah, sebab ayat tersebut
memerintahkan itu.26

C. Kritik Terhadap Teori Ibnu Taimiyah

Mengutip dalam buku yang ditulis Muhammad Iqbal dan Amin Husein
Nasution yang berjudul “Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer”. Pertama, menurut penulis pemikiran Ibnu Taimiyah cenderung
kontradiktif dengan konsep yang ditawarkannya. Ia seolah-olah memberikan
kesempatan kepada negara untuk bertindak semena-mena atau otoriter.
Sebagaimana dalam pendapatnya bahwa perlawanan terhadap kezaliman kepala
negara akan mengundang kezaliman yang lebih besar. Dan menurutnya, kepala
negara yang zalim itu lebih baik ketimbang tidak mempunyai kepala negara sama
sekali, serta harus ditaati. Padahal kita tahu bahwa kezaliman merupakan

25 Ibid., hlm. 37.


26 Muhammad Arif, “Gagasan Sekularisasi Politik Ibn Taymiyah,”, hlm. 230.
perbuatan maksiat dan ia mencontohkannya, sebagai konsekuensi jika ia
melakukannya adalah dosa. Maka secara tidak langsung ia juga membantah
pendapatnya sendiri, yang mengatakan kepala negara itu harus adil dan menyuruh
masyarakat untuk tidak berbuat maksiat.27

Kedua, penulis tidak setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang memisahkan
agama dan politik, ia mengatakan bahwa agama dan politik tidak bisa disamakan,
karena agama adalah urusan keimanan, sedangkan politik adalah urusan kekuatan
dan kekuasaan.28 Meskipun dalam Islam tidak menyebutkan secara eksplisit
sistem politik atau ketatanegaraan, tetapi di dalam Islam terdapat tata nilai atau
etika tentang siyasah atau bernegara. Bahwa dalam Islam tidak hanya sekedar
membahas doktrin agama kaitannya dengan aspek spiritual (hablum minallah)
saja, melainkan juga berbicara aspek sosial (hablum minannas). Dapat diartikan
Islam sebagai agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
penciptanya (teosentris), lebih dari itu Islam juga mengatur hubungan antar
sesama manusia (antroposentris), misalnya tentang sosial, politik dan
tatanegara.29

Penutup

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagaiaman berikut:

1. Ibnu Taimiyah adalah ulama sekaligus ilmuwan yang hidup pasca runtuhnya
dinasti Abbasiyah dan pada saat itu Islam mengalami kemunduran, baik dalam
bidang maupun akhlak.
2. Ia merupakan seorang yang cerdas, memiliki wawasan yang luas, dan sangat
pemberani serta teguh pendirian. Sebab itu ia sering keluar masuk penjara karena
kritiknya yang tajam terhadap peerintah.
3. Ibnu Taimiyah lebih demokratis ketimbang al-Mawardi, sebagaimana dalam
konsep pengangkatan kepala negara yang ia tawarkan yaitu al-syaukah. Ahl al-

27 Ibid., hlm. 230.


28 Muhammad Arif, “Gagasan Sekularisasi Politik Ibn Taymiyah,” hlm. 228.
29 Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara,” In Right Jurnal Agama

dan Hak Azazi Manusia, Volume 2, No.1, (2012), hlm. 43.


syaukah adalah orang yang berasal dari berbagai kalangan yang dihormati dan
ditaati oleh masyarakatnya.
4. Ia juga membolehkan seorang pemimpin dari non-Islam, dengan syarat ia harus
berbuat adil dan tidak meyuruh untuk melakukan perbuatan dosa, hal tersebut
dilandaskan pada al-Qur’an surah al-Maidah ayat 51 dan an-Nisa’ ayat 58. Dan ia
tidak mewajibkan seorang pemimpin dari suku quraisy.
Daftar Pustaka

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-
Press, 1990.

Amin Husein Nasution, dan Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2015.

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:


Kencana, 2014.

Aly, Sirojuddin, Pemikiran Politik Islam: Sejarah, Praktik dan Gagasan, Depok: Rajawali
Pers, 2018.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1973.

Usman, Muh. Ilham, “Meneroka Pemikiran Ibn Taymiyah: Kritik terhadap Filsafat dan
Tasawuf,” Rausyan Fikr, Vol. 16 No. 1 (1 Juni 2020).

Qamaruzzaman, “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah,” Politea: Jurnal Kajian Politik Islam,
Vol. 2 No. 2 (Juli Desember 2019).

Arif, Muhammad, “Gagasan Sekularisasi Politik Ibn Taymiyah,” Jurnal Penelitian


Agama dan Masyarakat, Vol. 1, No. 2 (Juli Desember 2017).

Suharti, “Al-Siyasah Al-Syar’iyyah ‘Inda Ibn Taimiyah (Politik Islam Ibnu Taimiyah),” Al-
Ittihad Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam, Volume 2 No. 2 (Jul-Des 2015).

Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara,” In Right Jurnal
Agama dan Hak Azazi Manusia, Volume 2, No.1, (2012).

Anda mungkin juga menyukai