Sosialisasi Sanksi Keperawatan
Sosialisasi Sanksi Keperawatan
Sosialisasi Sanksi Keperawatan
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian
berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
Tenaga keperawatan sebagai salah satu komponen utama pemberi layanan kesehatan
kepada masyarakat memiliki peran penting karena terkait langsung dengan mutu pelayanan
kesehatan sesuai dengan kompetensi dan pendidikan yang dimilikinya. Perawat merupakan
tenaga kesehatan yang paling banyak di Indonesia. Dalam Kepmenkes RI No. 1239 Tahun
2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, disebutkan bahwa perawat adalah “Seseorang
yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Tenaga
keperawatan yang melakukan tindakan keperawatan harus sesuai dengan kompetensi
perawat yang sudah ditetapkan dan didapatkan selama proses pendidikan. Oleh karena itu,
tanggung jawab hukum seorang perawat dalam menjalankan praktik mandiri keperawatan
harus sesuai dengan standar pelayanan perawat, standar profesi, standar operasional dan
kebutuhan kesehatan penerima pelayanan kesehatan.
Dewasa ini, perkembangan keperawatan dunia menjadi acuan bagi perawat untuk
melakukan perubahan mendasar dalam kegiatan profesinya. Pekerjaan perawat yang semula
vokasional bergeser menjadi pekerjaan profesional. Perawat yang dulunya berfungsi sebagai
perpanjangan tangan dokter, menjadi bagian dari upaya mencapai tujuan pelayanan klinis,
kini mereka menginginkan pelayanan keperawatan mandiri sebagai upaya mencapai tujuan
asuhan keperawatan.
Perawat dalam melakukan praktik keperawatan diharuskan menjunjung asas etik dan
profesionalisme. Aspek etik merupakan salah satu pondasi yang sangat penting bagi perawat
dalam membangun hubungan baik dengan semua pihak selama melakukan pelayanan
keperawatan. Hubungan baik dengan semua pihak yang berperan dalam pelayanan
kesehatan dapat mempermudah dalam mencapai tujuan bersama, yaitu kesembuhan dan
1
kepuasan pasien. Interaksi perawat dengan pasien sangat dibutuhkan dalam proses
pelayanan keperawatan demi tercapainya kerekatan dan kekeluargaan.ngan penapisan ilmu
pengetahuan dan tehnologi.
Masalah etik keperawatan sebagian besar terjadi pada pelaksanaan pelayanan
keperawatan. Rasa ketidakpuasan yang sering kali timbul pada pasien adalah pasien merasa
kebutuhannya tidak dipenuhi dan merasa tidak diperhatikan oleh perawat dalam pelayanan
kesehatan. Masalah etik yang sering muncul menyebabkan konflik antar tenaga kesehatan
dengan tenaga kesehatan yang lain maupun dengan pasien, sesuai dengan buku etik
keperawatan dengan penekatan praktik dijelaskan bahwa permasalahan etis yang dihadapi
perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan telah menimbulkan konflik antara
kebutuhan pasien dengan harapan perawat dan falsafah perawat. Kode etik keperawatan
merupakan salah satu pegangan seorang perawat untuk mencegah terjadinya
kesalahpahaman dan konflik yang terjadi. Kasus pelanggaran etik keperawatan yang terjadi
di rumah sakit yaitu perawat melanggar aspek etik autonomy perawat, seperti kasus kisah
bayi prematur Evan yang meninggal setelah disuntik perawat.3 Perawat dalam kasus ini
tidak meminta persetujuan kepada keluarga pasien sebelum melakukan tindakan
penyuntikan, seperti yang dikatakan oleh keluarga dari pasien tersebut. Perawat disini juga
melanggar aspek etik perawat veracity, dimana perawat tidak mengatakan secara jujur
suntikan apa yang diberikan kepada pasien.
Kasus pelanggaran etik keperawatan lain yang juga terjadi kepada pasien, yaitu pada
kasus akibat kelalaian perawat, kaki bayi usia enam hari melepuh dicelup ke air mendidih.
Kasus ini menunjukkan pelanggaran etik keperawatan non-maleficence, dimana tindakan
perawat yang dilakukan merugikan orang lain dan membahayakan nyawa dari orang
tersebut.4
Hubungan hukum antara perawat dan pasien dimulai secara keperdataan. Untuk
melihat atau mendudukkan hubungan perawat dengan pasien yang mempunyai landasan
hukum, dapat dimulai dengan Pasal 1367 KUH Perdata dinyatakan :”Seseorang tidak hanya
bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan atas perbuatannya sendiri, melainkan
juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan orang-orang yang berada dibawah pengawasannya”. Ketika
kerugian yang diderita pasien akibat tindakan tersebut berakibat fatal, maka disinilah
2
muncul permasalahan hukum, khususnya di bagian hukum perdata dalam rumusan Pasal
1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum yang berbunyi “Tiap perbuatan yang
melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan tersebut”.
3
BAB II
TUJUAN PUSTAKA
.
Perawat dan bidan telah berperan penting dalam menopang sistem pelayanan
kesehatan. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa baik di rumah sakit pemerintah maupun
swasta, baik di perkotaan maupun di pelosok desa terpencil sekalipun, peranan perawat dan
bidan senantiasa memberi andil yang signifikan dalam menunjang pelayanan kesehatan
masyarakat. Oleh karenanya harus diakui bahwa memang sangat diperlukan suatu landasan
hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur profesi atau praktik keperawatan.
Dengan adanya undang-undang ini, diharapkan dapat mengatur paling tidak dua hal pokok,
yaitu :
a. perlindungan hukum atas bekerja/berpraktiknya profesi keperawatan; dan
b. mendorong profesionalitas perawat.
Sehubungan dengan itu, dalam penyusunan Program Legislasi Nasional Prioritas
Tahun 2009, DPR dan Pemerintah telah sepakat bahwa RUU yang mengatur mengenai
praktik keperawatan merupakan salah satu RUU yang menjadi prioritas tahun 2009. Hal ini
telah dituangkan dalam Keputusan DPR RI Nomor 02A/DPR RI/II/2009 tentang Program
Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2009, dimana dari 35 RUU
yang ditetapkan sebagai perioritas terdapat RUU tentang Praktik Keperawatan (sebagaimana
terdapat dalam nomor urut 26).
Kemudian dalam rapat paripurna berikutnya, Pimpinan DPR memberitahukan kepada
Anggota tentang masuknya usul inisiatif RUU tersebut dan dibagikan kepada seluruh
Anggota (Pasal 130 ayat (4) Peraturan Tata Tertib DPR). Dalam rapat paripurna ini masing-
masing fraksi menyampaikan pendapatnya kemudian diambil keputusan.
Kebijakan tentang UU keperawatan masih dalam tahap formulasi. Belum
disahkannya RUU keperawatan oleh DPR menjadi UU menjadi satu fenomena yang
menarik untuk dianalisis. Penulis menilai bahwa pihak-pihak terkait belum mempunyai
pemahaman yang sama tentang pentingnya UU keperawatan di Indonesia.
UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 63 ayat (4) secara eksplisit
menyebutkan bahwa; pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran dan atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
4
yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pada pasal 27 ayat (1) juga
menyebutkan bahwa; tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan perlindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Sementara itu, PP No.32 tahun
1996 tentang tenaga kesehatan menempatkan tenaga keperawatan dalam kategori tersendiri,
maka mempunyai UU keperawatan sendiri berarti menjalankan amanah UU.
Perawat bukan tenaga medis, sementara peraturan yang ada bernuansa medis
sehingga peraturan untuk keperawatan tidak dapat dititipkan. Misalnya, dalam UU Praktik
Kedokteran tidak ada aturan untuk tugas pelimpahan, padahal kenyataannya banyak tugas
dokter yang dilimpahkan kepada perawat seperti melakukan tindakan invasif pemasangan
infus.
Selain itu, kecenderungan tuntutan klien semakin meningkat terhadap pelayanan
kesehatan termasuk pelayanan keperawatan. Dalam beberapa kasus, tidak sedikit akhirnya
perawat yang harus berurusan dengan hukum. Sejak tahun 2005 tercatat 33 kasus
penangkapan perawat di 7 provinsi. Misalnya kontroversi kewajiban perawat menolong
tindakan gawat darurat yang dapat dipidana karena tidak boleh menyimpan obat, seperti
yang terjadi pada kasus Misran. Beberapa penyebab kejadian tersebut adalah belum adanya
undang-undang keperawatan.
Hasil analisis menunjukkan kebijakan yang ada dirasa belum cukup untuk menjadi
payung hukum bagi perawat dalam memberikan pelayanan. Kebijakan yang mengatur
keperawatan baru setingkat Peraturan Menteri dengan dikeluarkannya Permenkes No.148
tahun 2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik keperawatan dan Permenkes No.1796
tahun 2011 tentang registrasi tenaga kesehatan. Konten dari peraturan tersebut masih
bersifat parsial dalam mengatur perawat. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambungan
untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan
kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 36
Tahun 2009).11
Tenaga kesehatan, bila ditinjau dari Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan, meliputi :
5
1) Tenaga medis;
2) Tenaga keperawatan;
3) Tenaga kefarmasian;
4) Tenaga kesehatan masyarakat;
5) Tenaga gizi;
6) Tenaga keterapian fisik; dan
7) Tenaga keteknisian medis.
Dan di dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa yang termasuk tenaga
keperawatan adalah perawat dan bidan.
Kewenangan Perawat dalam menjalankan tugas dan profesinya secara prinsip diatur
dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1293/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi
dan Praktik Perawat. Keputusan Menteri ini sebagai peraturan tekhnis yang diamanatkan
UU Kesehatan Tahun 1992 dan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah No. 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996
tersebut dijabarkan bahwa perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki
kewenangan dan fungsi khusus yang berbeda dengan tenaga kesehatan lain. Dengan
demikian sebagai peraturan pelaksana, Keputusan ini merupakan norma yuridis yang
mengikat perawat dalam menjalankan profesinya, terutama yang dilakukan di rumah sakit.
Dalam menjalankan profesinya maka perawat tidak akan terlepas dari batasan
kewenangan yang dimiliknya. Karena menurut Prof. Leenan seperti yang telah dikutip
dalam bab terdahulu, bahwa kewenangan merupakan syarat utama dalam melakukan suatu
tindakan medis. Pasal 15 Kepmenkes RI No. 1293/Menkes/SK/XI/2001 menyebutkan
batasan kewenangan tersebut yaitu:
1) Melaksanakan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, penetapan diagnosa
keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan keperawatan dan evluasi keperawatan;
2) Tindakan perawat sebabaimana dimaksud pada butir a meliputi intervensi keperawatan,
observasi keperawatan, pendidikan, dan konseling kesehatan;
3) Dalam melaksanakan asuhan keperawatan sebagaimana dimaksud huruf (a) dan (b) harus
sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang ditetapkan oleh organisasi profesi;
4) Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari
dokter.
6
Dalam menjalankan kewenangan tersebut, ada kewajiban yang patut diingat oleh perawat.
Kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 16 yaitu:
1) Menghormati hak pasien;
2) Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani;
3) Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4) Memberikan informasi;
5) Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan;
6) Melakukan catatan perawatan dengan baik.
Meskipun demikian ada pengecualian terhadap kewenangan yang telah dilandaskan
pada Pasal 15 tersebut. Pengecualian tersebut jelas dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan hukum yang lebih luas terhadap penyelenggaran dan pelayanan kesehatan
yang dilakukan seorang perawat. Ketentuan tentang pengecualian tersebut terdapat dalam
Pasal 20 yakni:
1) Dalam keadaaan darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien, perawat
berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15.
2) Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan
untuk penyelamatan jiwa.
Pengaturan kewenangan perawat tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Petunjuk
Pelaksana Kepmenkes RI No. 1239/Menkes/2001 yang merupakan suatu pedoman untuk
melaksanakan registrasi praktek kepeawatan. Pada petunjuk pelaksanaan tersebut disebutkan
bahwa kewenangan perawat adalah melakukan asuhan keperawatan yang meliputi kondisi
sehat dan sakit yang mencakup; asuhan keperawatan pada perinatal, asuhan keperawatan
pada neonatal, asuhan keperawatan pada anak, asuhan keperawatan pada dewasa, dan
asuhan keperawatan pada maternitas.
7
BAB III
PEMBAHASAN
8
g. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan
seorang perawat untuk menjalankan praktik keperawatan di seluruh Indonesia setelah lulus
uji.
h. Registrasi adalah pencatatan resmi oleh konsil terhadap perawat yang telah
memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempuyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui
secara hukum untuk melaksanakan profesinya.
i. Surat Izin Perawat adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota kepada perawat yang akan menjalankan praktik keperawatan setelah
memenuhi persyaratan.
9
nasional dan dapat membentuk kantor perwakilan bila diperlukan serta berkedudukan di Ibu
Kota Negara Republik Indonesia. Konsil Keperawatan Indonesia mempunyai fungsi
pengaturan, pengesahan, serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik
keperawatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Sedangkan
tugasnya adalah;
a. Melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat.
b. Mengesahkan standar pendidikan perawat.
c. Membuat peraturan-peraturan terkait dengan praktik perawat untuk melindungi
masyarakat.
10
b. untuk pendidikan profesi Ners Spesialis I dan II disusun oleh Kolegium Ners
Spesialis dengan melibatkan asosiasi institusi pendidikan keperawatan.
7. Registrasi Keperawatan
Setiap perawat yang akan melakukan praktik keperawatan di Indonesia harus
memiliki Surat Tanda Registrasi Perawat (STRP). Registrasi perawat dilakukan dalam 2
(dua) kategori:
a. LVN untuk perawat vokasional
b. RN untuk perawat profesional
Untuk melakukan registrasi awal, perawat harus memenuhi persyaratan :
a. memiliki ijazah perawat Diploma III dan SPK untuk LVN
b. memiliki ijazah Ners, atau Ners Spesialis untuk RN
c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji perawat
d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental
e. lulus uji kompetensi
f. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan kode etik profesi
keperawatan
g. rekomendasi dari organisasi profesi
11
Praktik keperawatan dilakukakan berdasarkan pada kesepakatan antara perawat
dengan klien dan atau pasien dalam upaya untuk peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemeliharaan kesehatan, kuratif, dan pemulihan kesehatan.
Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat yang telah memililki SIPP
berwenang untuk:
a. Melaksanakan asuhan keperawatan yang meliputi diantaranya: pengkajian
keperawat, penetapan diagnosis keperawatan, perencanaan, melaksanakan
tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan.
b. Melaksanakan tindakan keperawatan sebagaimana meliput antara lain:
intervensi/tritmen keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan
konseling kesehatan.
c. Melaksanakan intervensi keperawatan
d. Memberikan pengobatan (tidak termasuk obat-obat dengan label merah) dan
tindakan medik terbatas, pelayanan KB, imunisasi, pertolongan persalinan
normal dan menulis permintaan obat/resep terbatas.
e. Melaksanakan program pengobatan secara tertulis dari dokter.
9. ketentuan pidana
Apabila dalam pembinaan dan pengawasan praktik keperawatan yang berkaitan
dengan aspek hukum ditemukan pelanggaran dan kejahatan maka perlu diberikan sanksi
hukum. Perawat yang melanggar ketentuan dikenakan sanksi administrasi berupa
pencabutan sementara Surat Ijin Praktik Perawat maupun permanen hingga sanksi pidana.
Penetapan sanksi administrasi dan Sanksi Disiplin maupun pidana harus didasarkan pada
motif pelanggaran dan berat ringannya risiko yang ditimbulkan sebagai akibat pelanggaran.
12
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan praktik keperawatan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-undang ini. Ijin praktik yang diberikan sesuai
KepMenKes Nomor 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan, masih
tetap berlaku sampai berakhirnya izin praktik tersebut sesuai ketentuan.
2. Alasan Yuridis
a. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat 1 menyebutkan bahwa Setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
b. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992, tentang kesehatan, Bab VI mengenai Sumber
Daya Kesehatan yang terdiri dari: tenaga kesehatan, sarana kesehatan, perbekalan
kesehatan, pembiayaan kesehatan, pengelolaan kesehatan dan penelitaian dan
pengembangan kesehatan. Dalam Pasal 32 ayat (4) secara eksplisit menyebutkan bahwa:
Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan
atau ilmu keperawatan, hanya dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.”
13
Pada Pasal 53 ayat 1 juga menyebutkan bahwa: Tenaga kesehatan berhak
memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
3. Alasan Sosiologis
Undang-Undang menganut beberapa alasan sosiologis sebagai berikut:
a. Mengantisipasi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan khususnya
pelayanan keperawatan dengan adanya pergeseran paradigma dalam pemberian
pelayanan kesehatan dari model medical yang menitikberatkan pelayanan pada
diagnosis penyakit dan pengobatan ke paradigma sehat yang lebih holistik yang
melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan
(Cohen, 1996).
b. Sudah disepakati secara nasional pada tahun 1983 bahwa keperawatan sebagai
profesi dan struktur pendidikan tinggi keperawatan sebagai pendidikan profesi
sesuai dengan proyeksi kebutuhan jenis dan jenjang tenaga perawat.
c. Mendekatkan keterjangkauan masyarakat terhadap pelayanan keperawatan.
d. Meningkatkan kontribusi pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian
integral dari pelayanan kesehatan.
e. Memberikan kepastian hukum kepada pemberian dan penyelenggaraan pelayanan
keperawatan Masyarakat terutama masyarakat Indonesia berhak mendapakan
pelayanan keperawatan yang berkualitas oleh perawat yang kompeten tanpa
diskriminatif menurut status social, budaya, agama, ras dll.
14
g. Kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting.
h. Kondisi kerja.
15
keterampilannya agar makna kolaborasi dan mitra benar-benar bisa dibuktikan. Mulailah
dari diri sendiri, dari hal yang kecil, dan mulai sekarang.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ada empat hal yang menjadi
urgensi atau pentingnya UU keperawatan yaitu perawat sebagai profesi mandiri perlu
memiliki kewenangan untuk mengatur kehidupan profesi sendiri, kesyahan peraturan profesi
yang terkait dengan kehidupan masyarakat, mencegah dampak negatif dari perdagangan
bebas di bidang jasa, dan mengejar ketertinggalan dari luar negeri. Rekomendasi penting
yang harus dilakukan adalah advokasi kepada pengambil keputusan dan sosialisasi kepada
masyarakat untuk mendukung pengesahan UU keperawatan ini.
16
Padahal bila menilik substansi isi RUU keperawatan yang terdiri 12 bab 97 pasal
dapat disimpulkan bahwa RUU keperawatan tersebut tidak hanya melindungi perawat
sebagai perangkat anggota profesi, namun juga melindungi masyarakat sebagai klien dalam
pelayanan keperawatan. Disini perlu adanya support dari dari masyarakat sehingga semua
lapisan akan merasa bahwa RUU keperawatan tersebut bukan ditujukan untuk kepentingan
perawat semata namun untuk melindungi masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan
keperawatan.
Dari substansi RUU Keperawatan itu sendiri tidak hanya membahas tentang praktik
keperawatan saja yang sempat menjadi kontra pada sebagian petinggi negara. Namun juga
mengatur tentang sistem registrasi dan jaminan mutu lulusan perawat yang nantinya akan
mengayomi masyarakat.
Serta peraturan lain yang berkaitan dengan profesi keperawatan sehingga perawat
yang bekerja dalam lingkup kewenangan profesi seharusnya mengetahui apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukannya. Bila kita melihat isi UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, banyak
sekali substansi dari peraturan yang ada diperundang-undangan tersebut yang bernuansa
medis, padahal pada semua tempat pelayanan kesehatan yang ada di Indonesia jumlah
tenaga keperawatan.
Selain itu, UU Kesehatan tersebut belum spesifik diatur menjadi PP, sementara
Kepmenkes kurang mengikat peraturan-peraturan yang ada di daerah karena hingga saat ini
di Indonesia, baru Provinsi Lampung saja yang mempunyai Peraturan Daerah tentang
Praktik Keperawatan.
17
Perawat dalam melaksanakan peran dan fungsinya kerapkali mengalami berbagai
kendala, mulai dari adanya kasus mal praktek, tidak adanya legalisasi dalam memberikan
pelayanan kesehatan, hingga ada yang meragukan kompetensi yang dimiliki dan sebagainya.
Dari berbagai masalah yang muncul memicu kita sebagai anggota profesi dan juga perawat
tentunya untuk berusaha mencari sebuah kebijakan yang dapat mengatur profesi
keperawatan dalam melaksanakan peran dan fungsinya dimasyarakat.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
18
4.1 Kesimpulan
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan
praktik keperawatan saat ini didominasi oleh kebutuhan formil dan kepentingan pemerintah,
sedangkan peran profesi masih kurang .
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi dibidang keperawatan yang sangat pesat
harus diimabngi pula dengan perangkat hukum yang ada, sehingga dapat memberikan
perlindungan yang menyeluruh kepada tenaga keperawatan sebagai pemberi pelayanan
maupun di masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dalam melakukan perubahan
atau dalam membentuk suatu undang-undang yang diharapkan dapat sesuai dengan
kebutuhan hukum masyarakat, maka keberadaan Undang-Undang yang mengatur tentang
praktik keperawatan.
4.2 Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Anoname (2012). MAKALAH RUU KEPERAWATAN. diakses pada tanggal 20 Mei 2013
RUU Keperawatan (2010).
DPDRI. (2012). RUU Keperawatan untuk Mempertahankan dan Meningkatkan Mutu Keperawatan
20