Paliatif Delirium
Paliatif Delirium
Paliatif Delirium
Definisi
Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi
kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi
dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi
dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum. Biasanya delirium
mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari), perjalanan yang singkat dan
berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan.
Tetapi masing-masing ciri karakteristik tersebut dapat bervariasi pada pasien individual.
Delirium dapat terjadi pada berbagai tingkat usia namun tersering pada usia diatas 60 tahun.
Menggigau merupakan gejala sementara dan dapat berfluktuasi intensitasnya, kebanyakan
kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau kurang. Akan tetapi jika delirium dengan
fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat jarang dan dapat menjadi progresif kearah
dementia.
B. Etiologi
Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala serupa
yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama adalah
berasal dari penyakit susunan saraf pusat (seperti epilepsy), penyakit sistemik (seperti gagal
jantung), dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium
terbanyak terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter
yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat. Area yang terutama
terkena adalah formasio retikularis.
antara lain:
• Usia
• Kerusakan otak
• Riwayat delirium
• Ketergantungan alkohol
• Diabetes
• Kanker
• Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau magnesium) yang
• Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang membantali
D. Patofisiologi
bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur kolinergik dapat
merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang diakibatkan oleh penghentian
substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan dengan delirium
karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan
mekanisme inhibisi dan eksitasi pada system neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara
simpatis dan kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepine
menyebabkan delirium melalui jalur penurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul
kejang epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul
1. Efek Langsung
hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung mengganggu fungsi neuronal dan
2. Inflamasi
Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit infl
amasi, trauma, atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus, respons infl amasi sistemik
memproduksi reaksi infl amasi pada otak. Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron,
sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses infl amasi
berperan menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama
penyakit neurodegeneratif ).
3. Stres
Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak
glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebab kan kerusakan neuron
E. Klasifikasi
1) Hiperaktif
Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada pasien terjadi
agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan tindakan dispruptif
lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin mencabut selang infus
atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien delirium karena
perilaku tersebut.
2) Hipoaktif
Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para klinisi.
Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit dibedakan dengan
keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah dibangunkan dan
dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang yang kuat diperlukan
untuk membangunkan , biasanya bangun tidak komplet dan transient. Penyakit yang
Pasien yang hiperaktif paling mudah dikenali di ruang rawat karena sangat menyita
perhatian. Pasien bisa berteriak-teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang hari.
Dibandingkan dengan tipe lain, pasien yang hiperaktif mempunyai prognosis lebih baik.
F. Gejala Klinis
dan tingkah-laku yang abnormal merupakan gejala-gejala psikiatrik umum; tremor, asteriksis,
umum.
Gejala yang dapat ditemui antara lain gangguan kognitif global berupa gangguan
memori (recent memory= memori jangka pendek), gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau
gangguan proses piker (disorientasi waktu, tempat,orang). Gejala yang mudah diamati namun
justru terlewatkan adalah bila terdapat komunikasi yang tidak relevan, atau autonamnesis
yang sulit dipahami; kadang-kadang pasien terlihat seperti mengomel terus atu terdapat
ideide pembicaraan yang melompat-lompat. Gejala lain meliputi perubahan aktifitas
psikomotor
baik hipoaktif(25%), hiperaktif (25%) maupun campuran keduanya (35%); sebagian pasien
(15%) menunjukkan aktivitas psikomotor normal; gangguan siklus tidur (siang hari tertidur
sedangkan malam hari terjaga). Rudolph dan marcantonio (2003) memasukkan gejala
perubahan aktifitas psikomotor ke dala klelompok perubahan kesadaran, yakni setiap kondisi
hiperaktivitas.
Diagnosa
Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan DSM V (Diagnosis and
Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition). Kriteria DSM V tahun 2013 tidak
b) Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam hingga hari)
dan cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.
demensia.
d) Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan neurokognitif lain
yang telah ada, ter bentuk ataupun sedang berkembang dan tidak timbul pada kondisi
obat atau pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau karena etiologi multipel.
yang dikenal dengan Confusion Assessment Method (CAM). Algoritma tersebut telah
divalidasi, sehingga dapat digunakan untuk penegakan diagnosis. CAM ditambah uji status
mental lain dapat dipakai sebagai baku emas diagnosis. Algoritma CAM memiliki sensitivitas
94-100% dan spesifi sitas 90-95%, dan tingkat reliabilitas inter-observer tinggi apabila
digunakan oleh tenaga terlatih. Uji status mental lain yang sudah lazim dikenalantara lain
Interview. Kombinasi pemeriksaan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit
a) Demensia
menunjukkan gejala yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit / kondisi tersebut
maka informasi dari keluarga dan pelaku rawat menjadi sangat berarti pada saat
anamnesis. Demensia dan delirium juga sering terdapat bersamaan; gangguan yang
acap kali tumpang tindih antara lain gangguan orientasi, memori dan komunikasi.
Beberapa jenis demensia seperti demensia Lewy body dan demensia lobus
yang hiperaktif sering keliru dianggap sebagai pasien yang cemas (anxietas),
dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap
dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada sindrom delirium biasanya
gejala berkembang dalam beberapa jam. Tingkat kesadaran pada depresi biasanya
compos mentis, proses berfikirnya utuh. Pada depresi juga biasanya terdapat
kehilangan minat, depressed mood seta faal sensorium yang normal. Berbagai
gejala dan tanda pada sindrom delirium akan berfluktuasi dari waktu ke waktu,
Pasien dengan sindrom delirium bias muncul dengan gejala seperti psikosis
yakni terdapat delusi, halusinasi serta pola piker yang tidak terorganisasi. Pada
sindrom delirium namun mempunyai implikasi klinik yang mirip. Secara klinis
70% (Savageau, dikutip oleh Rasmuessen, 2003). Pada minggu ketiga hingga bulan
lebih rendah yakni sekitar 10-25% segera setelah operasi dan menurun hingga 5-
c) Depresi
d) Psikosis
karena halusinasi suara. Lebih banyak khayalan, dan lebih sedikit fluktuatif.
H. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan adalah menentukan dan mengatasi pencetus serta factor
gambaran lebih jelas tentang beberapa faktor resiko yang dimiliki pasien.
Pemeriksaan tak hanya terhadap factor fisik, namun juga psikiatrik, status fungsional,
nutrisi dan cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang
meningeal, tekanan darah, frekuensi napas dan denyut jantung serta suhu rectal) sangat
penting, selain untuk diagnosis namun juga bermanfaat dalam evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas
darah, gula darah, ureum, kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto toraks dan
juga psikologik/psikiatrik, kognitif, lingkungan, serta pemberian obat. Untuk mencegah agar
pasien tidak membahayakan dirinya sendiri atau orang lain (pasien yang hiperaktif, gaduh,
gelisah bias menendang-nendang, sangat agitatif, agresif, bias terjatuh dari tempat tidur atau
bias menciderai diri sendiri) maka sebaiknya pasien ditemani pedamping atau yang biasa
mendampingi pasien. Mengikat pasien ke tepian tempat tidur bukanlah tanpa resiko,
Data empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala sindrom delirium masih terbatas.
Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek yang mampu menekan berbagai gejala hiperaktif
dan hipoaktif dari sindrom delirium; menjadi obat pilihan utama pada fase akut (agitasi hebat,
perilaku agresif, hostility, halusinasi, atau gejala lain yang membahayakan dirinya). Untuk
kondisi di atas haloperidol masih merupakan pilihan utama. Dosis juga dapat ditingkatkan
sesuai tanggapan pasien. Dibandingkan dengan obat lain seperti chlorpromazine dan
droperidol, haloperidol meiliki metabolic dan efek antikolinergik, sedasi serta efek hipotensi
yang lebih kecil sehingga lebih aman. Dosis obat per oral pada umumnya dapat diterima
dengan baik, namun jika pasien tak mampu menelan maka dapat diberikan intramuscular
diperlukan penelitian intervensional lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa penggunaan antipsikotik
harus dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Walau
resiko efek samping yang mungkin muncul rendah namun beberapa efek serius seperti
perpanjangan PT dan torsades de pointes, gejala ekstrapiramidal dan diskinesia putus obat
dapat terjadi.
Secara umum penanganan yang bersifat suportif amat penting dalam pengelolaan
pasien dengan sindrom delirium, baik untuk pengobatan maupun dalam konteks pencegahan.
Asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan pasien harus diupayakan
seoptimal mungkin. Keberadaan anggota keluarga atau yang selama ini biasanya merawat
akan sangat berperan dalam memulihkan orientasi. Sedapat mungkin ruangan pasien haruslah
tenang dan cukup penerangan. Masih dalam konteks orientasi, dokter dan perawat harus
mengetahui apakah sehari-hari pasien mengenakan kacamata untuk melihat atau alat bantu
dengar untuk berkomunikasi dan mengusahakan agar pasien dapat mengenakan manakala
Hal umum lain yang perlu diperhatikan adalah ketidak mampuan menelan dengan baik
sehingga asupan per oral tidak boleh diberikan selama belum terdapat kepastian mengenai
kemampuan menelan. Setelah yakin bahwa kesadaran pasien komposmentis dan tidak
terdapat kelumpuhan otot menelan barulah diizinkan memberikan asupan per oral. Selama
perawatan, tanda vital harus lebih sering dievaluasi, setidaknya setiap empat jam, jika
diperlukan dapat dinilai setiap dua atau bahkansetiap satu jam tergantung kondisi pasien.
Penilaian yang lebih sering dengan kewaspadaan yang tinggi ini diperlukan karena gejala dan
tanda klinik yang sangat berfluktuatif. Selain tanda vital, jumlah produksi urin dan cairan
yang masuk harus diukur dengan cermat setiap empat jam dan dilaporkan kepada yang
merawat agar perubahan instruksi yang diperlukan dapat segera dilaksanakan tanpa
Sehubungan dengan hal diatas, maka keluarga pasien atau pelaku rawat yang
menunggu harus diberi informasi tentang bahaya aspirasi jika memberikan makanan atau
minuman dalam keadaan kondisi yang tidak komposmentis atau terdapat kelumpuhan otot
menelan. Diberitahukan pula perlunya kerja sama yang baik antara perawat dengan penunggu
Perlu dicatat bahwa pasien sindrom delirium sering merasa apa yang baru dialami saat
delirium sebagai mimpi. Pada saat kondisi pasien membaik maka harus
Segera setelah factor pencetus diketahui maka dapat dilakukan tindakan yang lebih definitive
sesuai factor pencetusnya. Memperbaiki factor predisposisi harus dikerjakan tanpa menunggu
dibawah:
1. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu agar
2. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila perlu diberi
stimulansia.
3. Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati dengan
tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi tenang, tetapi
bertambah gelisah.
4. Penderita harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya untuk
dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun
dengan kompres es. pasien mungkin lebih tenang bila ia dapat melihat orang atau
barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap , pasien tidak
I. Prognosis
Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun ternyata dilaporkan
adanya beberapa kasus dengan gejala dan tanda yang menetap bahkan sampai bulan ke 12.
Beberapa penelitian melaporkan hasil pengamatan tentang prognosis sindrom delirium yang
Pasien dengan sindrom delirium mempunyai resiko 1,71 kali lebih tinggi untuk
meninggal dalam tiga tahun kedepan dibandingkan mereka yang tidak. Perlu disampaikan
bahwa peningkatan resiko tersebut tetap ada walaupun sudah dilakukan pengendalian
terhadap factor-faktor lain yang turut berperan terhadap kematian seperti beratnya kondisi
komorbid, demensia, gangguan status fungsional, domisili (tinggal di panti atau tidak) serta
F. Pencegahan
96% pasien yang dirawat karena delirium pulang dengan gejala sisa. Hanya 20% dari
kasuskasus tersebut yang tuntas dalam enam bulan setelah pulang. Hal tersebut menunjukkan
bahwa sebenarnya prevalensi sindrom delirium di masyarakat lebih tinggi dari pada yang
diduga sebelumnya.
Dilaporkan bahwa separuh dari kasus yang diamatinya mengalami delirium pada saat
sedang dirawat di rumah sakit. Berarti ada karakteristik pasien tertentu dan suasana/situasi
rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan delirium. Beberapa obat juga dapat
mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai efek antikolinergik dan gangguan faal
kognitif. Beberapa obat yang diketahui meningkatkan resiko delirium antara lain :
tindakan sederhana yang dapat dilakukan di rumah sakit terbukti cukup efektif mampu
mencegah delirium.
Berikut beberapa tindakan yang terbukti dapat mencegah delirium seperti yang tertera pada
Tabel dibawah.