0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
148 tayangan14 halaman

Paliatif Delirium

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 14

A.

Definisi

Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi
kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran, biasanya
terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan kognitif secara global. Kelainan mood, persepsi
dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis, nistagmus, inkoordinasi
dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum. Biasanya delirium
mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari), perjalanan yang singkat dan
berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab diidentifikasi dan dihilangkan.
Tetapi masing-masing ciri karakteristik tersebut dapat bervariasi pada pasien individual.
Delirium dapat terjadi pada berbagai tingkat usia namun tersering pada usia diatas 60 tahun.
Menggigau merupakan gejala sementara dan dapat berfluktuasi intensitasnya, kebanyakan
kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau kurang. Akan tetapi jika delirium dengan
fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat jarang dan dapat menjadi progresif kearah
dementia.

B. Etiologi

Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Semuanya mempunyai pola gejala serupa
yang berhubungan dengan tingkat kesadaran dan kognitif pasien. Penyebab utama adalah
berasal dari penyakit susunan saraf pusat (seperti epilepsy), penyakit sistemik (seperti gagal
jantung), dan intoksikasi atau reaksi putus obat maupun zat toksik. Penyebab delirium
terbanyak terletak diluar sistem saraf pusat, misalnya gagal ginjal dan hati. Neurotransmiter
yang dianggap berperan adalah asetilkolin, serotonin, serta glutamat. Area yang terutama
terkena adalah formasio retikularis.

C. Faktor predisposisi terjadinya delirium

antara lain:

• Usia

• Kerusakan otak

• Riwayat delirium

• Ketergantungan alkohol

• Diabetes

• Kanker

• Gangguan panca indera


• Malnutrisi

• Alkohol, obat-obatan dan bahan beracun

• Efek toksik dari pengobatan

• Kadar elektrolit, garam dan mineral (misalnya kalsium, natrium atau magnesium) yang

tidak normal akibat pengobatan, dehidrasi atau penyakit tertentu

• Infeksi Akut disertai demam

• Hidrosefalus bertekanan normal, yaitu suatu keadaan dimana cairan yang membantali

otak tidak diserap sebagaimana mestinya dan menekan otak

D. Patofisiologi

Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi berbagai

bagian sistem saraf pusat. Hipotesis terbaru menunjukkan defisiensi jalur kolinergik dapat

merupakan salah satu faktor penyebab delirium. Delirium yang diakibatkan oleh penghentian

substansi seperti alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat dibedakan dengan delirium

karena penyebab lain. Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan

mekanisme inhibisi dan eksitasi pada system neurotransmiter. Konsumsi alkohol secara

reguler dapat menyebabkan inhibisi reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi

reseptor GABA-A (gammaaminobutyric acid-A). Disinhibisi serebral berhubungan dengan

perubahan neurotransmitter yang memperkuat transmisi dopaminergik dan noradrenergik,

adapun perubahan ini memberikan manifestasi karakteristik delirium, termasuk aktivasi

simpatis dan kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepine

menyebabkan delirium melalui jalur penurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul

kejang epileptik. Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul

melalui berbagai mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan defisit kolinergik

dikombinasikan dengan hiperaktivitas dopaminergik.

Perubahan transmisi neuronal yang dijumpaipada delirium melibatkan berbagai


mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:

1. Efek Langsung

Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter, khususnya

agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan metabolik seperti

hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung mengganggu fungsi neuronal dan

mengurangi pembentukan atau pelepasan neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada


wanita

dengan kanker payudara merupakan penyebab utama delirium.

2. Inflamasi

Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit infl

amasi, trauma, atau prosedur bedah. Padabeberapa kasus, respons infl amasi sistemik

menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi mikroglia untuk

memproduksi reaksi infl amasi pada otak. Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron,

sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses infl amasi

berperan menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama

penyakit neurodegeneratif ).

3. Stres

Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak

noradrenalin, dan aksis hipotalamuspituitari- adrenokortikal untuk melepaskan lebih banyak

glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebab kan kerusakan neuron
E. Klasifikasi

Klasifikasi sindrok delirium berdasarkan aktifitas psikomotor (tingkat/kondisi

kesadaran, aktifitas perilaku) yakni:

1) Hiperaktif

Delirium hiperaktif merupakan delirium yang paling sering terjadi. Pada pasien terjadi

agitasi, psikosis, labilitas mood, penolakan untuk terapi medis, dan tindakan dispruptif

lainnya. Kadang diperlukan pengawas karena pasien mungkin mencabut selang infus

atau kathether, atau mencoba pergi dari tempat tidur. Pasien delirium karena

intoksikasi, obat antikolinergik, dan alkohol withdrawal biasanya menunjukkan

perilaku tersebut.

2) Hipoaktif

Adalah bentuk delirium yang paling sering, tapi sedikit dikenali oleh para klinisi.

Pasien tampak bingung, lethargia, dan malas. Hal itu mungkin sulit dibedakan dengan

keadaan fatigue dan somnolen, bedanya pasien akan dengan mudah dibangunkan dan

dalam berada dalam tingkat kesadaran yang normal. Rangsang yang kuat diperlukan

untuk membangunkan , biasanya bangun tidak komplet dan transient. Penyakit yang

mendasari adalah metabolit dan ensepalopati.

Pasien yang hiperaktif paling mudah dikenali di ruang rawat karena sangat menyita

perhatian. Pasien bisa berteriak-teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang hari.

Dibandingkan dengan tipe lain, pasien yang hiperaktif mempunyai prognosis lebih baik.

F. Gejala Klinis

Gambaran dapat bervariasi tergantung pada masing-masing individu. Mood, persepsi,

dan tingkah-laku yang abnormal merupakan gejala-gejala psikiatrik umum; tremor, asteriksis,

nistagmus inkoordinasi, inkontinensia urin, dan disfasia merupakan gejala-gejala neurologik

umum.

Gejala yang dapat ditemui antara lain gangguan kognitif global berupa gangguan
memori (recent memory= memori jangka pendek), gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau

gangguan proses piker (disorientasi waktu, tempat,orang). Gejala yang mudah diamati namun

justru terlewatkan adalah bila terdapat komunikasi yang tidak relevan, atau autonamnesis

yang sulit dipahami; kadang-kadang pasien terlihat seperti mengomel terus atu terdapat
ideide pembicaraan yang melompat-lompat. Gejala lain meliputi perubahan aktifitas
psikomotor

baik hipoaktif(25%), hiperaktif (25%) maupun campuran keduanya (35%); sebagian pasien

(15%) menunjukkan aktivitas psikomotor normal; gangguan siklus tidur (siang hari tertidur

sedangkan malam hari terjaga). Rudolph dan marcantonio (2003) memasukkan gejala

perubahan aktifitas psikomotor ke dala klelompok perubahan kesadaran, yakni setiap kondisi

kesadaran selain compos mentis, termasuk didalamnya keadaan hipoaktivitas dan

hiperaktivitas.

G. Diagnosa Dan Diagnosis Banding

Diagnosa

Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan DSM V (Diagnosis and

Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition). Kriteria DSM V tahun 2013 tidak

berbeda dengan pada DSM IV-TR tahun 2000.

DSM V mengklasifikasi delirium menurut etiologi sebagai berikut:

1. Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum

2. Delirium intoksikasi substansi (penyalahgunaan obat)

3. Delirium penghentian substansi

4. Delirium diinduksi substansi (pengobatan atau toksin)

5. Delirium yang berhubungan dengan etiologi multipel

6. Delirium tidak terklasifi kasi.

Diagnosis delirium memerlukan 5 kriteria (A-E) dari DSM V, yaitu:

a) Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan)

dengan penurunan kemampuan fokus, mempertahankan atau mengubah perhatian.

b) Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam hingga hari)
dan cenderung berfluktuasi dalam perjalanannya.

c) Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau

perkembangan gangguan persepsi yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kondisi

demensia.

d) Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan neurokognitif lain

yang telah ada, ter bentuk ataupun sedang berkembang dan tidak timbul pada kondisi

penurunan tingkat kesadaran berat, seperti koma.

e) Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang

mengindikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi fisiologik langsung suatu

kondisi medik umum, intoksikasi atau penghentian substansi (seperti penyalahgunaan

obat atau pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau karena etiologi multipel.

Suatu algoritma dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis sindrom delirium

yang dikenal dengan Confusion Assessment Method (CAM). Algoritma tersebut telah

divalidasi, sehingga dapat digunakan untuk penegakan diagnosis. CAM ditambah uji status

mental lain dapat dipakai sebagai baku emas diagnosis. Algoritma CAM memiliki sensitivitas

94-100% dan spesifi sitas 90-95%, dan tingkat reliabilitas inter-observer tinggi apabila

digunakan oleh tenaga terlatih. Uji status mental lain yang sudah lazim dikenalantara lain

Mini-mental Status Examination (MMSE), Delirium Rating Scale, Delirium Symptom

Interview. Kombinasi pemeriksaan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit

oleh tenaga kesehatan terlatih, cukup andal, spesifik, serta sensitif.


Diagnosa Banding

a) Demensia

Banyak gejala yang menyerupai delirium. Demensia dan depresi sering

menunjukkan gejala yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit / kondisi tersebut

acapkali terdapat bersamaan dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut

maka informasi dari keluarga dan pelaku rawat menjadi sangat berarti pada saat

anamnesis. Demensia dan delirium juga sering terdapat bersamaan; gangguan yang

acap kali tumpang tindih antara lain gangguan orientasi, memori dan komunikasi.

Demensia sendiri merupakan factor risiko untuk terjadinya sindrom delirium

terutama jika terdapat factor pencetus penyakit akut.

Beberapa jenis demensia seperti demensia Lewy body dan demensia lobus

frontalis menunjukkan perubahan perilaku dan gangguan kognitif yang sulit

dibedakan dari sindrom delirium. Sindrom delirium dengan gejala psikomotor

yang hiperaktif sering keliru dianggap sebagai pasien yang cemas (anxietas),

sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai depresi. Keduanya dapat dibedakan

dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap

dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada sindrom delirium biasanya

gejala berkembang dalam beberapa jam. Tingkat kesadaran pada depresi biasanya

compos mentis, proses berfikirnya utuh. Pada depresi juga biasanya terdapat
kehilangan minat, depressed mood seta faal sensorium yang normal. Berbagai

gejala dan tanda pada sindrom delirium akan berfluktuasi dari waktu ke waktu,

sementara pada depresi dan demensia lebih menetap.

Pasien dengan sindrom delirium bias muncul dengan gejala seperti psikosis

yakni terdapat delusi, halusinasi serta pola piker yang tidak terorganisasi. Pada

kondisi seperti ini maka sebaiknya berkonsultasi dengan psikiater.

b) Gangguan Kognitif Pasca –operasi (GKPO)

GKPO (Post Operative Cognitive Dysfunction = POCD) agak berbeda dari

sindrom delirium namun mempunyai implikasi klinik yang mirip. Secara klinis

GKPO jarang disertai penurunan tingkat kesadaran dan perjalanannya tidak

berfluktuasi. Sampai dua minggu pasca-operasi jantung insidensnya mencapai 30-

70% (Savageau, dikutip oleh Rasmuessen, 2003). Pada minggu ketiga hingga bulan

keenam, insidensnya turun sampai 10-40% . pada operasi non-jantung insidensnya

lebih rendah yakni sekitar 10-25% segera setelah operasi dan menurun hingga 5-

15% pada beberapa bulan pasca-operasi

c) Depresi

Depresi bisa terjadi mimic hypoactive deliriumdengan penolakan yang jelas,

retardasi psikomotor, melambatnya pembicaraan, apatis, dan pseudodemensia.

Depresi tidak mempengaruhi derajat kesadaran.

d) Psikosis

Psikosis bisa terjadi mimic hyperactive delirium. Psikosis fungsoinal berbeda

karena halusinasi suara. Lebih banyak khayalan, dan lebih sedikit fluktuatif.
H. Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan adalah menentukan dan mengatasi pencetus serta factor

predisposisi. Keselamatan pasien dan keluarga harus diperhatikan. Comprehensive geriatric

assessment (pengkajian geriatric paripurna) sangat bermanfaat karena akan memberikan

gambaran lebih jelas tentang beberapa faktor resiko yang dimiliki pasien.

Pemeriksaan tak hanya terhadap factor fisik, namun juga psikiatrik, status fungsional,

riwayat penggunaan obat, dan riwayat perawatan/penyakit/operasi terdahulu serta asupan

nutrisi dan cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang

meningeal, tekanan darah, frekuensi napas dan denyut jantung serta suhu rectal) sangat

penting, selain untuk diagnosis namun juga bermanfaat dalam evaluasi hasil pengobatan.

Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas

darah, gula darah, ureum, kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto toraks dan

kultur darah harus segera dilaksanakan.

Pengobatan/penanganan yang diberikan tidak saja menyangkut aspek fisik, namun

juga psikologik/psikiatrik, kognitif, lingkungan, serta pemberian obat. Untuk mencegah agar

pasien tidak membahayakan dirinya sendiri atau orang lain (pasien yang hiperaktif, gaduh,

gelisah bias menendang-nendang, sangat agitatif, agresif, bias terjatuh dari tempat tidur atau

bias menciderai diri sendiri) maka sebaiknya pasien ditemani pedamping atau yang biasa

mendampingi pasien. Mengikat pasien ke tepian tempat tidur bukanlah tanpa resiko,

misalnya trauma atau thrombosis.

Data empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala sindrom delirium masih terbatas.

Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek yang mampu menekan berbagai gejala hiperaktif

dan hipoaktif dari sindrom delirium; menjadi obat pilihan utama pada fase akut (agitasi hebat,

perilaku agresif, hostility, halusinasi, atau gejala lain yang membahayakan dirinya). Untuk

kondisi di atas haloperidol masih merupakan pilihan utama. Dosis juga dapat ditingkatkan

sesuai tanggapan pasien. Dibandingkan dengan obat lain seperti chlorpromazine dan
droperidol, haloperidol meiliki metabolic dan efek antikolinergik, sedasi serta efek hipotensi

yang lebih kecil sehingga lebih aman. Dosis obat per oral pada umumnya dapat diterima

dengan baik, namun jika pasien tak mampu menelan maka dapat diberikan intramuscular

maupun intravena. Olanzapin dapat Beberapa laporan kasus menunjukkan manfaat

antipsikotik generasi kedua seperti risperidon dan penghambat asetilkolin-esterase; masih

diperlukan penelitian intervensional lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa penggunaan antipsikotik

harus dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Walau

resiko efek samping yang mungkin muncul rendah namun beberapa efek serius seperti

perpanjangan PT dan torsades de pointes, gejala ekstrapiramidal dan diskinesia putus obat

dapat terjadi.

Secara umum penanganan yang bersifat suportif amat penting dalam pengelolaan

pasien dengan sindrom delirium, baik untuk pengobatan maupun dalam konteks pencegahan.

Asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan pasien harus diupayakan

seoptimal mungkin. Keberadaan anggota keluarga atau yang selama ini biasanya merawat

akan sangat berperan dalam memulihkan orientasi. Sedapat mungkin ruangan pasien haruslah

tenang dan cukup penerangan. Masih dalam konteks orientasi, dokter dan perawat harus

mengetahui apakah sehari-hari pasien mengenakan kacamata untuk melihat atau alat bantu

dengar untuk berkomunikasi dan mengusahakan agar pasien dapat mengenakan manakala

diperlukan setiap saat.

Hal umum lain yang perlu diperhatikan adalah ketidak mampuan menelan dengan baik

sehingga asupan per oral tidak boleh diberikan selama belum terdapat kepastian mengenai

kemampuan menelan. Setelah yakin bahwa kesadaran pasien komposmentis dan tidak

terdapat kelumpuhan otot menelan barulah diizinkan memberikan asupan per oral. Selama

perawatan, tanda vital harus lebih sering dievaluasi, setidaknya setiap empat jam, jika

diperlukan dapat dinilai setiap dua atau bahkansetiap satu jam tergantung kondisi pasien.

Penilaian yang lebih sering dengan kewaspadaan yang tinggi ini diperlukan karena gejala dan

tanda klinik yang sangat berfluktuatif. Selain tanda vital, jumlah produksi urin dan cairan
yang masuk harus diukur dengan cermat setiap empat jam dan dilaporkan kepada yang

merawat agar perubahan instruksi yang diperlukan dapat segera dilaksanakan tanpa

menunggu laporan keesokan harinya (akan terlambat).

Sehubungan dengan hal diatas, maka keluarga pasien atau pelaku rawat yang

menunggu harus diberi informasi tentang bahaya aspirasi jika memberikan makanan atau

minuman dalam keadaan kondisi yang tidak komposmentis atau terdapat kelumpuhan otot

menelan. Diberitahukan pula perlunya kerja sama yang baik antara perawat dengan penunggu

pasien terutama perihal pemantauan urin dan asupan cairan.

Perlu dicatat bahwa pasien sindrom delirium sering merasa apa yang baru dialami saat

delirium sebagai mimpi. Pada saat kondisi pasien membaik maka harus

menjelaskan/mendidik pasien tentang keadaan yang baru dialaminya untuk mengantisipasi

atau mencegah episode cemas(edukasi).

Penatalaksanaan spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi pencetus dan predisposisi.

Segera setelah factor pencetus diketahui maka dapat dilakukan tindakan yang lebih definitive

sesuai factor pencetusnya. Memperbaiki factor predisposisi harus dikerjakan tanpa menunggu

selesainya masalah terkait faktor pencetus.

Penatalaksanaan delirium sangat kompleks sehingga di simpulkan seperti tabel

dibawah:

1. Pengobatan etiologik harus sedini mungkin dan di samping faal otak dibantu agar

tidak terjadi kerusakan otak yang menetap.

2. Peredaran darah harus diperhatikan (nadi, jantung dan tekanan darah), bila perlu diberi

stimulansia.

3. Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Hati-hati dengan

sedativa dan narkotika (barbiturat, morfin) sebab kadang-kadang tidak menolong,

tetapi dapat menimbulkan efek paradoksal, yaitu klien tidak menjadi tenang, tetapi

bertambah gelisah.

4. Penderita harus dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab berbahaya untuk
dirinya sendiri (jatuh, lari dan loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun

untuk orang lain.

5. Dicoba menenangkan pasien dengan kata-kata (biarpun kesadarannya menurun) atau

dengan kompres es. pasien mungkin lebih tenang bila ia dapat melihat orang atau

barang yang ia kenal dari rumah. Sebaiknya kamar jangan terlalu gelap , pasien tidak

tahan terlalu diisolasi.

6. Terdapat gejala psikiatrik bila sangat mengganggu dapat diberikan neroleptika,

terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.

I. Prognosis

Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun ternyata dilaporkan

adanya beberapa kasus dengan gejala dan tanda yang menetap bahkan sampai bulan ke 12.

Beberapa penelitian melaporkan hasil pengamatan tentang prognosis sindrom delirium yang

berhubungan dengan mortalitas, gangguan kognitif pasca-delirim, status fungsional serta

gejala sisa yang ada.

Pasien dengan sindrom delirium mempunyai resiko 1,71 kali lebih tinggi untuk

meninggal dalam tiga tahun kedepan dibandingkan mereka yang tidak. Perlu disampaikan

bahwa peningkatan resiko tersebut tetap ada walaupun sudah dilakukan pengendalian

terhadap factor-faktor lain yang turut berperan terhadap kematian seperti beratnya kondisi

komorbid, demensia, gangguan status fungsional, domisili (tinggal di panti atau tidak) serta

faktor pemicu yang lain.

F. Pencegahan

Berbagai literature menyebutkan bahwa pengobatan sindrom delirium sering tuntas,

96% pasien yang dirawat karena delirium pulang dengan gejala sisa. Hanya 20% dari
kasuskasus tersebut yang tuntas dalam enam bulan setelah pulang. Hal tersebut menunjukkan

bahwa sebenarnya prevalensi sindrom delirium di masyarakat lebih tinggi dari pada yang
diduga sebelumnya.

Dilaporkan bahwa separuh dari kasus yang diamatinya mengalami delirium pada saat

sedang dirawat di rumah sakit. Berarti ada karakteristik pasien tertentu dan suasana/situasi

rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan delirium. Beberapa obat juga dapat

mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai efek antikolinergik dan gangguan faal

kognitif. Beberapa obat yang diketahui meningkatkan resiko delirium antara lain :

benzodiazepine, kodein, amitriptilin (antidepresan), difenhidramin, ranitidine, tioridazin,

digoksin, amiodaron, metildopa, procainamid, levodopa, fenitoin, siprofloksasin. Beberapa

tindakan sederhana yang dapat dilakukan di rumah sakit terbukti cukup efektif mampu

mencegah delirium.

Berikut beberapa tindakan yang terbukti dapat mencegah delirium seperti yang tertera pada
Tabel dibawah.

Tabel Pencegahan Delirium

Anda mungkin juga menyukai