0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
227 tayangan143 halaman

Yesi Dwiyanti

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 143

PENGARUH BREATHING EXERCISE TERHADAP SKOR FATIGUE

PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI


HEMODIALISA DI UNIT HEMODIALISA RUMAH
SAKIT REKSODIWIRYO PADANG

SKRIPSI

PENELITIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

OLEH:

YESI DWIYANTI

14121897

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG

2018
PENGARUH BREATHING EXERCISE TERHADAP SKOR FATIGUE
PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI
HEMODIALISA DI UNIT HEMODIALISA RUMAH
SAKIT REKSODIWIRYO PADANG

SKRIPSI

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Dalam Program Studi S1 Keperawatan STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG

Oleh :

YESI DWIYANTI
14121897

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG

TAHUN 2018
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG


Skripsi, Juli 2018
YESI DWIYANTI
Pengaruh breathing exercise terhadap skor fatigue pasien PGK yang
menjalani hemodialisa Di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo
Padang
Vii + 75 Halaman + 7 Tabel + 3 Skema + 14 Lampiran
ABSTRAK
PGK yang bersifat irreversibel membutuhkan terapi hemodialisa dengan
waktu yang lama, akibat dari hemodialisa pasien akan mengalami anemia karena
kehilangan darah dan dapat mengakibatkan terjadinya fatigue. Breathing exercise
adalah teknik penyembuhan alami terhadap fatigue. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui pengaruh breathing exercise terhadap skor fatigue pasien PGK yang
menjalani hemodialisa di rumah sakit Reksodiwiryo Padang tahun 2018.

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperiment dengan desain


penelitian two group pre test-post test with control group design. Pengumpulan
data telah dilakukan di Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang dengan sampel 20
orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Data
dianalisa secara bivariat dengan menggunakan uji t dependent dan independent t
test.

Hasil penelitian di dapatkan rata – rata skor fatigue sebelum diberikan


breathing exercise pada kelompok intervensi adalah 26,60 setelah di berikan
breathing exercise adalah 31,80 dan rata – rata pengukuran I pada kelompok
kontrol adalah 23,50, pengukuran II 23,10 dan hasil statistik didapatkan ρ value =
0,000 pada kelompok intervensi, ρ value = 0,657 pada kelompok control dan ρ
value = 0,002 pada kelompok intervensi dan kontrol setelah diberikan breathing
exercise, artinya ada pengaruh breathing exercise terhadap skor fatigue pasien
PGK yang menjalani hemodialisa.

Dari hasil penelitian disimpulkan terdapatnya peningkatan skor fatigue


setelah diberikan breating exercise. Disarankan kepada perawat di ruangan
hemodialisa agar dapat melanjutkan pemberian breathing exercise kepada pasien
yang hemodialisa untuk mengurangi fatigue yang dirasakan pasien setelah terapi
hemodialisa.

Daftar Bacaan : 45 (2000 – 2016)

Kata Kunci : Breathing exercise, Fatigue score, Pasien PGK, Hemodialisia


STUDY PROGRAM NURSING OF BACHELOR DEGREE

MERCUBAKTIJAYA SCHOOL OF HEALTH SCIENCE PADANG


Skripsi, Juli 2018

YESI DWIYANTI

The influence of breathing exercise to fatigue score in patient with CKD


undergoing hemodialysis in the hemodialysis unit Reksodiwiryo Hospital
Vii + 75 Pages + 7 Tables+ 3 Scheme + 14 Enclosure

ABSTRACT
CKD is irreversible requiring hemodialysis therapy. Hemodialysis takes a
long time, the result of hemodialysis patients will experience anemia and can lead
to the onset of fatigue, breathing exercise was a natural healing technique against
fatigue. The study purpose was to know the influence of breathing exercise to
fatigue score in patient with CKD undergoing hemodialysis in the hemodialysis
unit Reksodiwiryo Hospital at 2018.
The study was quasi eksperiment research with two group pre test-post test
with Control Group Design. The data colection was conducted in Reksodiwiryo
Hospital, the number of sample was 20 that was found by purposive sampling
technique. The data was analyzed using bivariat analysis by using t dependent and
independent t test.

The results obtained on average the fatigue score before being given
breathing exercise in the intervention group was 26.60 after breathing exercise
was 31.80 and the average measurement I in the control group was 23.50,
measurement II 23.10 and results statistics obtained ρ value = 0,000 in the
intervention group, ρ value = 0.657 in the control group and ρ value = 0.002 in the
intervention and control groups after breathin exercise was given, meaning that
there was influence of breathing exercise on the fatigue score of CKD patients
undergoing hemodialysis.
The results of the study concluded that there was an increase in fatigue
scores after giving breating exercise. It is recommended for nurses in the
hemodialysis room to be able to continue giving breathing exercise to patients
with hemodialysis to reduce the fatigue felt by patients after hemodialysis therapy

Bibliography : 45 (2000 – 2016)


Keyword : Breathing Exercise, fatigue Score, patients with CKD,
Hemodialysis
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah

memberikan rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh breathing exercise terhadap

skor fatigue pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di

unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang ”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapatkan masukan,

bantuan, dukungan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu dengan

segala kerendahan hati dan penuh penghargaan penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Bapak Ns.Zulham Efendi,M.Kep selaku pembimbing I yang telah bersedia

meluangkan waktu dan memberikan arahan serta masukan dengan penuh

perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Ns. Fitria Alisa, M.Kep selaku pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktu dan memberikan arahan serta masukan dengan penuh

perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Responden yang telah bersedia meluangkan waktu dan bersedia menjadi

responden dalam penelitian ini.

4. Bapak dr. Syahrial, Sp.B selaku Direktur Utama RST Reksodiwiryo

Padang yang telah memberikan kesempatan pada peneliti untuk

memberikan survey awal dan melakukan penelitian.

5. Kepala ruangan hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang yang

telah memberikan izin peneliti untuk melakukan penelitian.


6. Bapak dan Ibu dosen yang telah banyak memberikan ilmu yang sangat

bermanfaat bagi penulis.

7. Bapak Ns.Zulham Efendi,M.Kep, Ketua Prodi S1 Keperawatan STIKes

MERCUBAKTIJAYA Padang

8. Ibu Hj.Elmiyasna K,S.Kp,MM Ketua STIKes MERCUBAKTIJAYA

Padang.

9. Bapak Jasmarizal S.Kp.MARS selaku Ketua Yayasan

MERCUBAKTIJAYA Padang.

10. Yang sangat teristimewa ungkapan terima kasih kepada kedua orang tua,

serta keluarga yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, semangat

dan doa yang tulus untuk menyelesaikan pendidikan.

11. Teman-teman seperjuangan mahasiswa/i Prodi SI Keperawatan. Khusunya

teman-teman kelas IV.A SI Keperawatan STIKes MERCUBAKTIJAYA

Padang, terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.

Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sehat dan

masukan-masukan yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna

kesempurnaan peneliti selanjutnya. Semoga Allah senantiasa memberikan

rahmat dan hidayah Nya bagi kita semua.

Padang, Agustus 2018

Peneliti
DAFTAR ISI

PERNYATAAN PERSETUJUAN

ABSTRAK ....................................................................................................i

ABSTRAC......................................................................................................ii

KATA PENGANTAR ................................................................................. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iv

DAFTAR SKEMA.......................................................................................viii

DAFTAR TABEL............................................................................................ix

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 9
D. Manfaat penelitian .......................................................................... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik ...................................................................... 12


1. Defenisi PGK .............................................................................. 13
2. Penyebab PGK ............................................................................ 14
3. Tahap PGK .................................................................................. 14
4. Patofisiologi PGK........................................................................ 15
5. Tanda dan Gejala PGK ................................................................ 18
6. Penatalaksanaan PGK .................................................................. 19
7. Pemeriksaan Diagnostik PGK ...................................................... 19
B. Terapi Hemodialisa ........................................................................... 20
1. Defenisi Terapi Hemodialisa ........................................................ 20
2. Tujuan Hemodialisa ...................................................................... 20
3. Indikasi Hemodialisa ..................................................................... 20
4. Proses Hemodialisa ....................................................................... 21
5. Komplikasi Hemodialisa................................................................ 21
6. Dampak/ masalah yang timbul pada pasien hemodialisis ............... 22
C. Teori Kelelahan/Fatigue .................................................................... 23
1. Defenisi Kelelahan/Fatigue .......................................................... 23
2. Etiologi Kelelahan/Fatigue ........................................................... 24
3. Kelelahan pada Pasien PGK yang menjalani Hemodialisis ............ 26
D. Breathing Excercise .......................................................................... 30
1. Defenisi Breathing Excercise ....................................................... 30
2. Tujuan dan Manfaat Breathing Excercise ...................................... 31
3. Prosedur Tindakan Breathing Excercise ........................................ 31
4. Pengaruh Breathing Excercise terhadap Fatigue ........................... 32
BAB III KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori ................................................................................ 35


B. Kerangka Konsep .............................................................................. 37
C. Hipotesis ........................................................................................... 37
BAB IV METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian................................................................ 38


B. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 39
C. Populasi dan Sampel ......................................................................... 39
1. Populasi ....................................................................................... 39
2. Sampel ........................................................................................ 40
3. Kriteria Sampel ........................................................................... 41
4. Teknik Pengambilan Sampel ....................................................... 42
D. Variabel dan Definisi Operasional ..................................................... 44
E. Instrumen Penelitian .......................................................................... 46
F. Etika Penelitian ................................................................................. 46
G. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 48
H. Teknik Pengolahan Data .................................................................... 53
I. Analisa Data ...................................................................................... 54
BAB V HASIL PENELITIAN

A. Analisa Univariat................................................................................56
B. Analisa Bivariat..................................................................................57

BAB VI PEMBAHASAN

A. Rata – rata skor fatigue sebelum dan setelah dibarikan breathing exercise
pada kelompok eksperimen.......................................................................62
B. Rata – rata skor fatigue pada pengukuran I dan II pada kelompok
kontrol.......................................................................................................64
C. Pengaruh breathing exercise terhadap skor fatigue pasien yang mejalani
hemodialisa...............................................................................................66
D. Perbedaan rata – rata skor fatigue antara pengukuran I dan II pada
kelompok konrol......................................................................................68
E. Perbedaan rata – rata skor fatigue antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol setelah diberikan breathing exercise...........................69

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan............................................................................................73
B. Saran .....................................................................................................74

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
DAFTAR SKEMA

Skema 3.1 Kerangka Teori ............................................................................ .36

Skema 3.2 Kerangka Konsep Penelitian ........................................................ .37

Skema 4.1 : Desain Penelitian pretest dan post-test Control Group Design ...38
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Definisi Operasional.........................................................................45

Tabel 5.1 Rata – rata skor fatigue sebelum dan sesudah di berikan breathing
exercise pada kelompok eksperimen Di Unit Hemodialisa Rumah Sakit
Reksodiwiryo
Padang.........................................................................................56

Tabel 5.2 Rata – rata skor fatigue pada pengukurang I dan II kelompok kontrol Di
Unit Hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo....................................57

Tabel 5.3 Hasil analisis uji normalitas data skor fatigue sebelum dan setelah
diberikan breathing exercise Di Rumah Sakit Reksodiwiryo..............58

Tabel 5.4 pengaruh breathing exercise terhadap skor fatigue pasien PGK yang
menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo
padang...................................................................................................59

Tabel 5.5 perbedaan skor fatigue pasien PGK kelompok kontrol yang menjlani
hemodialisa di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo
padang...................................................................................................60

Tabel 5.6 perbedaan skor fatigue pasien PGK yang menjalani hemodialisa antara
kelompok eksperimen dan kontrol setelah pemberian breathing exercise
di Unit Hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo padang.....................61
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Gandchart

Lampiran 2 : Surat izin penelitian

Lampiran 3 : Permohonan menjadi responden

Lampiran 4 : Pernyataan Persutujuan menjadi responden

Lampiran 5 : Kuesioner penelituan

Lampiran 6 : Dokumentasi penelitian

Lampiran 7 : Master tabel

Lampiran 8 : Data hasil SPSS

Lampiran 9 : Dokumentasi penelitian

Lampiran10 : Daftar riwayat hidup peneliti

Lampiran11: Surat pengambilan data awal di Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang

Lampiran12 : Surat melakukan penelitian di Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang

Lampiran 13 : Surat selesai penelitian di Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang

Lampiran 14 : Lembar konsultasi


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu keadaan dimana ginjal tidak

mampu mempertahankan fungsinya akibat kerusakan yang terjadi pada ginjal

sehingga tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara

keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan toksik

uremik dalam darah (Black, 2014). PGK adalah kegagalan fungsi ginjal untuk

mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat

destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa

metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin A, 2011).

Prevalensi PGK didunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Berdasarkan data mortality WHO pada tahun 2014 prevalensi penyakit ginjal

terdapat 2,5 juta jiwa, dan pada tahun 2015-2016 meningkat menjadi 2,7 juta jiwa

(WHO, 2015). United States Renal Data System (USRDS) melaporkan bahwa

PGK merupakan masalah epidemic dengan perkiraan lebih kurang 4. 499 juta

kasus pada tahun 2016 (USRDS, 2016).

Berdasarkan data Indonesia Renal Registrasi dari Perhimpunan Nefrologi

Indonesia (PERNEFRI), prevalensi PGK terus mengalami peningkatan dari 5487

pasien pada tahun 2014, meningkat menjadi 8034 pasien pada tahun 2015, dan

15.853 pasien pada tahun 2016. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

menunjukkan bahwa di Sumatera Barat pada tahun 2013 prevelensi PGK adalah

0,2% dari penduduk Indonesia.


PGK yang bersifat irreversible mengakibatkan perubahan fisiologis yang

tidak dapat diatasi lagi dengan cara konservatif sehingga membutuhkan terapi

pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal terdiri dari hemodialisis, peritoneal

dialisis, dan transplantasi ginjal. Saat ini hemodialisis merupakan terapi ginjal

yang paling banyak dilakukan dan jumlahnya dari tahun ke tahun terus meningkat

(Smeltzer & Bare, 2013).

Hemodialisis adalah suatu proses dimana darah pasien dialihkan dari

tubuhnya melalui suatu mesin yang disebut dialiser yang proses tersebut terjadi

secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian setelah proses tersebut selesai darah

kembali lagi ke tubuh pasien. Hemodialisis pada pasien berfungsi sebagai alat

pengganti ginjal yang berfungsi untuk mengambil zat– zat nitrogen yang toksik

dan mengeluarkan air yang berlebihan dari dalam darah, yang biasanya dilakukan

paling sedikit 2 atau 3 kali seminggu selama 4–5 jam (O’Callaghan, 2009).

Berdasarkan data mortality WHO tahun 2016 kejadian hemodialisa terus

megalami peningkatan, dari 798.000 pada tahun 2015 menjadi 830.000. Di

Amerika Serikat, kejadian hemodialisis terus mengalami peningkatan, dari

340.000 pada tahun 1999 menjadi 651.000 pada tahun 2010 (USRDS, 2011).

Berdasarkan data Indonesia Renal Registry dari PERNEFRI menyebutkan jumlah

pasien yang aktif melakukan hemodialisis meningkat dari tahun ke tahun, di mana

pada tahun 2014 sebanyak 4.707 pasien, meningkat pada tahun 2015 menjadi

5.490 dan terus meningkat pada tahun 2016 menjadi 6.994 pasien (PERNEFRI,

2016). Berdasarkan Report Of Indonesia Renal Registri pada tahun 2014 pasien

hemodialisa 28.882, sedangkan tahun 2015 meningkat menjadi 51.604 jiwa.


Ketergantungan pada mesin dialisis seumur hidupnya dan kondisi

anemia yang terjadi pada pasien hemodialisa mengakibatkan terjadinya fatigue

yang mempengaruhi fungsi kehidupan sehari-hari (Black, 2014). Fatigue adalah

perasaan subyektif yang tidak menyenangkan berupa kelelahan, kelemahan , dan

penurunan energi dan merupakan keluhan utama pasien dengan dialysis. Kondisi

fatigue pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan konsentrasi menurun,

malaise, gangguan tidur, gangguan emosional, dan penurunan kemampuan pasien

dalam melakukan aktivitas sehari-harinya, sehingga pada akhirnya dapat

menurunkan kualitas hidup pasien hemodialisis (Jhamb, 2008).

Terdapat beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi fatigue pada pasien

hemodialisa yaitu, uremia, anemia, malnutrisi, depresi, penurunan produksi

karnitin. Namun dari kondisi tersebut anemia merupakan penyebab fatigue yang

paling banyak dijumpai pada pasien hemodialisa di dapatkan prevelensi 78, 3%

berdasarkan Kidney Early Evolution program (KEEP, 2010). Belum lagi

permasalahan yang timbul selama proses hemodialisa berlansung seperti

intradialytic hypotension, kram otot, sakit kepala, mual, hipertensi, dialisis

disequalibrium syndrome dan sebagainya. Pasien akan merasakan kelelahan dan

keluar keringat dingin sehubungan dengan efek hemodialisa (Brunner & Suddarth,

2014). Akibatnya pasien akan mengalami perubahan dalam kesehariannya seperti

perubahan penampilan, peran, mobilitas fisik, dan pekerjaan sehari-hari (Brunner

& Suddarth, 2014).

Akibat dari hemodialisa pasien akan mengalami anemia karena

kehilangan darah akibat waktu yang cukup lama dari hemodialisa hampir tidak

semua darah pasien kembali seluruhnya setelah terapi hemodialisa pasti ada darah
pasien yang tertinggal di dialyzer atau bloodline (Jansen, 2007), terjadinya

perdarahan saluran cerna dan defisiensi vitamin (asam folat dan vitamin B12),

perdarahan gastrointestina, pengambilan darah untuk pemeriksaan labor dan

perdarahan pada saat akses vaskuler. Anemia yang terjadi pada pasien

hemodialisa mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin dalam darah

menyebabkan penurunan level oksigen dan sediaan energi dalam tubuh yang

mengakibatkan terjadinya fatigue dan kelemahan dalam melakukan aktivitas

sehingga pada akhirnya dapat menurunkan kualias hidup pasien (Septiwi, 2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh candra tahun 2014

didapatkan hasil bahwa Prevalensi anemia pada pasien PGK yang menjalani

hemodialisa sebanyak 86%. Anemia merupakan keadaan yang dapat

menggambarkan adanya fatigue secara fisiologis disamping keadaan fisik lain,

pasien hemodialisa akan merasakan fatigue jika kadar hemoglobin sebesar 10

gr/dL (Rosenthai, et al.,2008). Sulistiani, et al., (2010) menyebutkan bahwa faktor

yang sangat berhubungan dengan fatigue pada pasien hemodialisa adalah anemia.

Fatigue memiliki prevalensi yang tinggi pada populasi pasien

hemodialisa (Kring & Crane, 2009). Pada pasien yang menjalani hemodialisis,

simptom fatigue dialami 82% sampai 90% pasien (Kring & Crane, 2009). Fatigue

adalah keluhan umum yang paling sering dirasakan oleh pasien yang menjalani

hemodialisa, prevelensi fatigue pasien hemodialisa berkisar 60% - 97% (Biniaz, et

al., 2013; Gorji, et al., 2013). Akibat dari kondisi kelelahan yang terus meningkat

pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan konsentrasi menurun, malaise,

gangguan kardiovaskuler, gangguan tidur, gangguan emosional dan penurunan

kemampuan pasien dengan melakukan aktifitas sehari – harinya, sehingga pada


akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup pasien hemodialisis (Jhamb, 2008).

Fatigue pada pasien hemodialisis dapat menyebabkan pasien kehilangan nafsu

makan, mual, muntah kehilangan energi dan protein dan produksi karnitin yang

menyebabkan penurunan produksi energi untuk skeletal dan jika kondisi

kelelahan ini terus terjadi dan tidak segera diatasi dapat menyebabkan kematian

pada pasien (Septiwi, 2013).

Metode penanganan terhadap kelelahan atau fatigue dilakuakan kedalam

dua cara yaitu, farmakologi dan non farmakologi. Metode penambahan L-

carnitine, vitamin C dan Erythropoietin (EPO) untuk mengontrol anemia.

Menurut penelitian Marizki et, al., (2015) didapatkan 92,9% pasien tidak patuh

dalam mengkonsumsi obat Erythropoietin (EPO), 50,4% responden memiliki

motivasi yang rendah dalam megkonsumsi obat, dialisis yang ketat dan

pemakaian obat – obatan yang dilakukan selama ini masih belum cukup untuk

memenuhi target Hb yang normal dan masih tingginya angka kejadian fatigue

yang dirasakan pasien hemodialisa 95% (Sulistini et, al.,2012). Metode non

farmakologi terakhir yang dikembangkan adalah exercise, yoga, relaksasi,

akupuntur akupresur, stimulasi elektrik dan dyalisis (Chang, 2010) menunjukkan

bahwa exercise membantu dalam mengurangi kelelahan pada pasien hemodialisa,

latihan yang dimaksud ada berbagai cara seperti aerobic, peregangang otot, dan

latihan pakai alat dan relaksasi otot progresif (Chang, 2010). Namun Zeynap

(2012) mengatakan bahwa Breathing Exercise dapat meningkatkan kondisi pasien

hemodialisis karena Breathing Exercise akan memaksimalkan jumlah oksigen

yang masuk dan disuplay ke seluruh jaringan sehingga tubuh dapat memproduksi

energi dan menurunkan fatigue (Zeynap, 2012).


Breathing exercise adalah teknik penyembuhan alami dan merupakan

bagian strategi holistic self-care untuk mengatasi berbagai keluhan seperti fatigue,

nyeri, gangguang tidur, stres dan kecemasan. Secara fisiologi, breathing exercise

akan menstimulasi sistem parasimpatik sehingga meningkatkan produksi

endoprin. Breathing exercise membuat tubuh kita mendapatkan input oksigen

yang adekuat dimana oksigen memang penting dalam sistem respirasi dan

sirkulasi tubuh dan berpengaruh terhadap skor fatigue (Zeynap, 2012).

Saat melakukan breathing exercise, oksigen mengalir ke dalam

pembuluh darah dan seluruh jaringan tubuh, membuang racun dan sisa

metabolisme yang tidak terpakai, meningkatkan metabolisme dan memproduksi

energi. Breathing exercise akan memaksimalkan jumlah oksigen yang masuk dan

disuplai ke seluruh jaringan sehingga tubuh dapat memproduksi energy,

memaksimalkan gangguan pada pasien hemodialisa dan menurunkan level

fatigue. Waktu pemberian Breathing exercise pada pasien fatigue yang menjalani

hemodialisa yaitu 2 kali dalam 1 minggu selama 2 minggu.

Hal yang sesuai dengan penelitian cahyu septiwi 2013 yang melakukan

penelitian dengan desain penelitian quasi eksperimen dengan pendekatan pre-post

test design dengan kriteria inklusi pasien yang menjalni hemodialisa reguler 2

kali/ minggu , usia pasien 20-60 tahun yang menerapkan teknik breathing

exercise terhadap kelelahan pasien yang menjalani hemodialisa, di dapatkan

hasil uji (paired t test) didapatkan nilai p 0,000 (p < 0,005) sehingga didapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara skor fatigue

sebelum diberikan teknik breathing exercise dan setelah diberikan teknik

breathing exercise. Namun penelitian yang dilakukan oleh Hermansyah tahun


2014 menggunakan design penelitian eksperimen dengan pendekatan pre – post

test design dan sampel dipilih dengan cara tertentu sehingga dapat mewakili

populasi, dengan jumlah sampel 30 orang yang benar – benar dengan tujuan yang

hendak dicapai, analisa yang di gunakan paired t test di dapatkan hasil uji (p value

=0,618) didapatkan bahwa Breathing Exercise tidak berpengaruh terhadap level

fatigue pasien yang menjalani hemodialisa. Karena masih terdapat kesenjangan

antara teori dengan penelitian yang dilakukan oleh kedua peneliti di atas maka

dari itu saya tertarik untuk melakukan penelitian ulang tentang pengaruh

Breathing Exercise terhadap skor fatigue pasien penyakit ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa, dan pada penelitian yang akan dilakukan juga akan di

gunakan grup kontrol supaya terlihat lebih jelas lagi efektifitas pemberian

Breathing exercise dalam menurunkan skor fatigue antara kelompok intervensi

dengan kelompok kontrol.

Hasil dari pencatatan medikal record RS TK III Dr. Reksodiwiryo

padang tiap tahunnya terjadi peningkatan di berbagai kasus penyakit, salah

satunya peningkatan pada penyakit ginjal kronik (PGK) yang menjalani

hemodialisa. Pada tahun 2015 didapatkan pasien dengan penyakit ginjal kronik

yang menjalani hemodialisis sebanyak 138 orang dan pada tahun 2016 terjadi

peningkatan menjadi 167 orang.

Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti tanggal 16 dan 17

Januari 2018 di Unit Hemodilisa RS TK III Dr. Reksodiwiryo padang, melalui

wawancara dengan salah satu perawat yang bertugas di Unit Hemodialisa, beliau

mengatakan bahwa banyak keluhan yang di rasakan oleh pasien selama menjalani

hemodialisa, salah satunya adalah fatigue di dapatkan prevelensi 87% pasien


merasakan fatigue karena hemodialisa dan pasien tidak tahu cara mengurangi

kelelahannya. Beliau juga mengatakan bahwa belum pernah diajarkan teknik

Breathing Exercise untuk mengurangi fatigue pada pasien yang menjalani

hemodialisa di RS TK III Dr. Reksodiwiryo padang.

Berdasarkan survey awal pada 10 orang pasien yang menjalani

hemodialisa yang mana 60% berada pada fatigue parah dengan nilai skor kurang

dari 30, pasien merasakan sering pusing, malase, gangguan tidur, nafsu makan

berkurang, mual muntah, kurang energy dan gangguan melakukan aktifitas sehari

– hari, dan 40% berada pada fatigue tingkat rendah dengan skor diatas 40, pasien

merasakan mual muntah, nafsu makan berkurang dan gangguan melakukan

aktifitas sehari – hari. Pasien sudah diberikan terapi berupa vitamin C dan

Erythropoietin (EPO) namun karena ketidakpatuhan dan motivasi pasien yang

kurang dalam mengkonsumsi obat pasien masih merasakan fatigue. Upaya

mandiri yang dilakukan pasien untuk mengurangi fatiguenya adalah 40%

mengatakan meraka hanya beristirahat untuk mengurangi kelelahannya, 40%

mengatakan mengurangi aktifitas supaya tidak merasakan kelelahan dan 20% lagi

mengatakan melakukan aktifitas berjalan kaki setiap pagi 100 meter. Akan tetapi

dengan usaha yang mereka lakukan tersebut mereka masih tetap merasakan

keluhan kelelahan. Pasien juga mengatakan sekarang banyak menghabiskan

waktunya di rumah bahkan kurang juga melakukan sosialisasi dengan lingkungan

sosialnya dengan alasan merasa malas dan letih.

Berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

pengaruh pemberian breathing exercise terhadap penurunan fatigue pasien gagal


ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Unit hemodialisis Rumah Sakit Dr.

Reksodiwiryo Padang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas masalah yang dapat dirumuskan adalah

“Apakah ada pengaruh breathing exercise terhadap skor fatigue pasien penyakit

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di unit hemodialisa Rumah Sakit

Reksodiwiryo Padang. ”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahui pengaruh pemberian breathing exercise terhadap fatigue

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisa

RumahSakit Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit

hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok intervensi

sebelum diberikan teknik breathing exercise.

b. Diketahui rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit

hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok kontrol

pengukuran I

c. Diketahui rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit

hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok intervensi

setelah diberikan teknik breathing exercise.


d. Diketahui rerata skor fatigue pasien yang menjani hemodialisa di unit

hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok kontrol

pengukuran ke II

e. Diketahui perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani

hemodialisis di unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang

kelompok intervensi sebelum dan sesudah pemberian teknik breathing

exercise.

f. Diketahui perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani

hemodialisis di unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang

kelompok kontrol pengukuran I dan II.

g. Diketahui perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani

hemodialisa di unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah pemberian

teknik breathing exercise.

D. Manfaat penelitian

1. Bagi pelayanan keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi dalam memberikan

intervensi keperawatan khususnya tentang cara menurunkan fatigue pada pasien

gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa.

2. Bagi pendidikan keperawatan

Penelitian ini dapat menjadi evidence based practice dan memperkaya

keilmuan terkait pemberian intervensi secara non farmakologis terhadap


penurunan level fatigue pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi

hemodialisa.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya

untuk mengembangkan intervensi keperawatan secara non farmakologi mengenai

teknik breathing exercise.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Ginjal Kronik

1. Defenisi

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah keadaan dimana ginjal tidak

mampu mempertahankan fungsinya akibat kerusakan yang terjadi pada ginjal

sehingga tubuh tidak mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara

keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada peningkatan toksik

uremik dalam darah (Black, 2014). PGK adalah kegagalan fungsi ginjal untuk

mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat

destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa

metabolit (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin A, 2011). Ginjal berada pada

posisi PGK stadium lima atau End Stage Renal Disease (ESRD)adalah kerusakan

fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak

mampu memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan

elektrolit berakibat peningkatan ureum (Smeltzer et, al 2010).

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu keadaan klinis yang ditandai

dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang

memerlukan terapi pengganti ginjal yang tepat, berupa dialisis atau transplantasi

ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada

semua organ, akibat penurunan funsi ginjal pada PGK (O’ Callaghan, 2009).
2. Penyebab Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Penyebab PGK menurut data Indonesian Renal Registrasi dari

Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2011 adalah penyakit ginjal

hipertensi sebanyak 34%, selanjutnya Nefropati Diabetika sebanyak 27%, pada

Glomerulopati Primer (GNC) sebanyak 14%, Nefropati obstruksi sebanyak 8%,

akibat Pielonefritis kronik (PNC) dan sama – sama sebanyak 6%, pada Nefropati

Asam Urat sebanyak 2%, Nefropati Lupus/SLE dan Ginjal Polikistik serta

penyebab yang tidak diketahui sama - sama sebanyak 1%. Klasifikasi penyebab

penyakit ginjal kronik dapat dilihat pada tabel 2.1:

Tabel 2.1 Klasifikasi Penyebab Penyakit Ginjal Kronik

Klasifikasi Penyakit Penyakit

Penyakit infeksi tubulointerstitial Pielonefritis kronik atau


nefropati

Penyakit peradangan Glomerulonefritis

Penyakit vaskuler hipertensi Nefrosklerosis benigna,


nefrosklerosismaligna,
stenosis arteri renalis

Gangguan jaringan ikat Lupus eritematosus sistemik,


poliarteritis nodosa, sklerosis
sistemik progresif

Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik,


asidosis tubulus ginjal

Penyakit metabolic Diabetes mellitus, gout,


hiperparatiroidisme,
amiloidosis

Nefropati toksik Penyalahgunaan analgesik,


nefropati timah

Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas


: batu, neoplasma, fibrosis,
retroperitoneal
Traktus urinarius bagian
bawah : hipertrofi prostat,
striktur uretra, anomaly
kongenital, leher vesika
urinaria dan uretra

(O’Callaghan, 2009 dalam Alisa, 2013).

3. Tahap Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

Berdasarkan National Kidney Foundation : kidney dialisis outcome

quality initiative (NKF : K/DOQI) mengklasifikasikan secara lengkap dapat

dilihat pada tabel 2.2 :

Tabel 2.2 Tahapan Penyakit Ginjal Kronik

No Stadium Nilai GFR (ml/ menit/ 1,73


m² )
1. Berada pada faktor resiko >90 : kerusakan ginjal
dengan tingkat
filtrasi glomerulus
(GFR) normal
2. Kelainan ginjal kronik 60-89 : kerusakan ginjal
(Chronic renal insufficiency dengan
/ CRI ) kerusakan
penurunan GFR
ringan
3. Penyakit ginjal kronik 30-59 : penurunan GFR
sedang
4. CRF 15-29 : penurunan GFR
parah
5. Penyakit stadium akhir (End <15 : penyakit ginjal
Renal Stage Disease /ESRD
(Black, 2014)

4. Patofisiologi penyakit ginjal kronik (PGK)

Patofisiologi PGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang

lebih sama. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan

fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya

kompensasi, yang di perantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan


growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlansung singakat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis

nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi

nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya

peningkatang aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut

memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan

progresifitas tersebut (O’ Callaghan, 2009).

Akibat jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron diperantarai

oleh growth factor seperti transforming growth factor. Beberapa hal yang juga

dianggap berperan terhadap progresifitas PGK adalah albuminuria, hipertensi,

hiperglikemia, dispilidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya

sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Stadium paling dini

PGK, terjadi kehilangan daya cadangan ginjal, pada keadaan basal LFG masih

normal atau malah meningkat (O’ Callaghan, 2009). Kemudian secara perlahan

tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai

dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum (O’ Collaghan, 2009).

5. Tanda gejala penyakit ginjal kronik (PGK)

Tanda dan gejala klinik yang dapat muncul pada klien dengan PGK dapat

dilihat ditabel 2.3 diantaranya yaitu :


Tabel 2.3 tanda dan gejala penyakit ginjal kronik

No Sistem Tanda dan gejala


1. Gastrointestinal a. Anoreksia, nausea dan
vomitus, berhubungan dengan
gangguan metabolisme protein
di dalam usus, terbentuknya zat
– zat toksik akibat metabolisme
bakteri usus seperti amonia dan
metal guanidine serta
sembabnya mukosa usus
b. Foctor uremik disebabkan oleh
ureum yang berlebihan pada air
liur diubah oleh bakteri dimulut
menjadi amonia sehingga
napas berbau amonia. Akibat
yang lain adalah timbulnya
stomatitis dan parotitis.
2. Dermatologi a. Kulit berwarna pucat akibat
anemia dan kekuning –
kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal – gatal dengan
ekskorias akibat toksin uremik
dan pengendapan ureum di pori
– pori kulit.
b. Ekimosis akibat gangguan
hematologis.
c. Urea fros, akibat kristalisasi
urea yang ada pada keringat
(jarang dijumpa)
3. Hematologi a. Anemia dapat disebabkan
berbagia faktor antara lain:
(1) Berkurangnya produksi
eritropoetis pada sum –
sum tukang menurun
(2) Hemolisis, akibat
berkurangnya masa hidup
eritrosit dalam suasana
uremia toksik
b. Gangguan fungsi trombosit dan
trombositopenia.
Mengakibatkan perdarahan
akibat agregasi dan adhesi
trombosit yang berkurang serta
menurunnya faktor trombosit
lll dan ADP (adenosin difosfat)
c. Gangguan fungsi leukosit.
Fagositosis dan kemotaksis
berkurang, fungsi linfosit
menurun sehingga imunitas
juga menurun.
4. Saraf dan otot a. Restless leg syndrome.
Klien merasa pegal pada
kakinya sehingga selalu
digerakkan.
b. Burning feet syndrome
Klien merasa semutan dan
seperti terbakar, terutama
ditelapak kaki
c. Ensefalopati metabolik
Klien tampak lemah, tidak bisa
tidur, gangguan konsentrasi,
tremor, mioklenus kejang
d. Miopati
Klien tampak mengalami
kelemahan dan hipotrifi otot –
otot terutama otot – otot
ekstremitas proximal.
5. Kardiovaskuler a. Hipertensi akibat penimbunan
cairan dan garam atau
peningkatan aktivitas sisten
renin-angiotensin-aldosteron
b. Nyeri dada dan sesak nafas
akibat pericarditis, efusi
pericardial, penyakit jantung
koroner akibat aterosklerosis
yang timbul dini akibat gagal
jantung akibat penimbunan
cairan.
c. Gangguan irama jantung akibat
aterosklerosis dini, gangguan
elektrolit dan klasifikasi
metastatik
d. Edema akibat penimbunan
cairan.
6. Endokrin a. Gangguan seksual: libido,
fertilitas dan ereksi menurun
pada laki - laki akibat produksi
testosteron dan
spermatogenesis yang
menurun. Sebab yang lain juga
dihubungkan dengan metabolik
tertentu (seg, hormon
paratiroid). Pada wanita timbul
gangguan menstruasi,
gangguan evulasi sampai
amenore
b. Gangguan metabolisme
glukosa, resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Pada
PGK yang lanjut (klirens
kreatinin < 15 ml/menit),
terjadi penurunan klirens
metabolik insulin
menyebabkan waktu paruh
hormon memanjang. Keadaan
ini dapat menyebabkan
kebutuhan obat penurun
glukosa dan darah akan
berkurang
7. Sistem lain a. Tulang : osteodistrifi renal
yaitu osteomalasia, osteotis
fibrosa, osteoklerosis dan
klasifikasi metastasi
b. Asidosis metabolik akibat
oenimbunan asam organik
sebagai hasil metabolisme
c. Elektrolit : hiperfosfatemia,
hiperkalemia, hipokalsemia.
(O’Callaghan, 2009; Smeltzer, 2010)

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien PGK menurut (Sudoyo, 2010) meliputi :

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya adalah waktu yang paling

tepat untuk terapi yaitu sebelum terjadinya penurunann LFG, sehingga

pemburukan ginjal tidak terjadi.

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

ini penting untuk mencegah perburukan keadaan pasien.

c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal dengan dua cara

untuk mengurangi hiperfiltrasi yang merupakan faktor utama perburukan

ginjal yaitu dengan pembatasan asupan protein dan terapi farmakologi.


d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler yaitu

pengendalian diabetes, hipertensi, dispilidemia, anemia, hiperfosfatemia,

kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan cairan.

e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.

f. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Laboratorium

Penilaian PGK dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan

pemeriksaan laboratorium, seperti : Kadar serum sodium/ natrium dan potassium/

kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea nitrogen

dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Pada

stadium yang cepat pada insufisiesi ginjal, analisa urine dapat menunjang, dan

sebagai indikator untuk melihat kelainan fungsi ginjal, batas kreatinin urin rata-

rata dari urine tampung selama 24 jam. Analisa urine rutin dapat dilakukan pada

stadium penyakit ginjal yang mana dijumpai produksi urin yang tidak

normal.Dengan urin analisa juga dapat menunjukkan kadar protein, glukosa,

RBCs/eritrosit, dan WBCs/leukosit serta penurunan osmolaritas urin. Pada PGK

yang progresif dapat terjadi output urin yang kurang dan frekuensi urin menurun.

Monitor kadar BUN dan kadar kreatinin sangat penting bagi pasien

dengan gagal ginjal. Urea nitrogen adalah produk akhir dari metabolisme protein

serta urea yang harus dikeluarkan oleh ginjal. Normal kadar BUN dan kreatinin

sekitar 20 : 1. Bila ada peningkatan BUN selalu diindikasikan adanya dehidrasi

dan kelebihan intake protein (O’Callaghan, 2009 dalam Alisa,2013).


B. Terapi Hemodialisa

1. Defenisi

Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa

metabolisme berupa larutan (ureum dan kreatinin) dan air yang ada pada darah

melalui membran semipermeabel atau yang disebut dengan dialyzer

(O’Callaghan, 2009). Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan pada

pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek

(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal

stadium terminal ESRD yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi

permanen (Smeltzer & Bare, 2009).

2. Tujuan Hemodialisa

Hemodialisis bertujuan untuk menyaring dan mengambil zat – zat

nitrogen yang toksik dari dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan,

elektrolit dan asam basa, mengembalikan beberapa manifestasi kegagalan ginjal

yang irreversibel (Black, 2014).

3. Indikasi

Indikasi secara umum dialisis pada PGK adalah bila laju filtrasi

glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 mL/ menit).Pasien-pasien tersebut

dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat kondisi sebagai berikut

(Black, 2014) :

1) Hiperkalemia

2) Asidosis

3) Kegagalan terapi konservatif


4) Kadar ureum / kreatinin tinggi dalam darah (ureum > 200 mg/dL atau

kreatinin > 6 mEq/L)

5) Kelebihan cairan (fluid overloaded)

6) Mual dan muntah hebat

7) Anuria berkepanjangan (> 5 hari)

4. Proses Hemodialisa

Proses hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu

tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah.

Darah pasien yang dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi

oleh selaput semipermiabel buatan (artifisial) dengan kompartemen

dialisat.Kompartemen dialisat dialiri cairan dialisis yang bebas dari pirogen, berisi

larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung

sisa metabolisme nitrogen (Sudoyo, 2010).

Cairan dialisis dan darah yang terpisah akan mengalami perubahan

konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah

konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama dikedua

komparetemen (difusi). Pada proses dialisis, air juga dapat berpindah dari

kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan cara menaikkan

tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat (Sudoyo, 2010).

5. Komplikasi Selama Hemodialisa

Meskipun hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas jelas,

tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan penyakit yang mendasari dan juga

tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal (Smeltzer & Bare, 2008).
Komplikasi yang ditemukan selama hemodialisis menurut Jameson

dan Loscalzo (2013) serta Black (2014) adalah:

1) Hipotensi, terjadi karena ultrafiltrasi yang berlebihan dengan pengisian

vaskular yang tidak memadai, gangguan respon vasoaktif atau autonom,

pergeseran osmolar, pemberian berlebihan anti hipertensi, dan

berkurangnya cadangan jantung.

2) Anemia dan rasa lelah dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik dan

mental, berkurangnya tenaga dan kemauan serta kehilangan perhatian.

3) Anemia juga dapat diperparah dengan perdarahan karena heparinisasi

dengan masalah khusus perdarahan subdural, retroperitoneal, pericardial

dan intraokular.

4) Kekacauan ritme jantung karena ketidakseimbangan kalium

5) Pruritus dapat terjadi selama dialisis ketika produk akhir metabolism

meninggalkan kulit

6) Kram otot terjadi sebagai akibat dari hiponatremia atau hipoosmolalitas

dan terlalu cepatnya pengeluaran cairan.

7) Mual muntah

6. Dampak/ masalah yang timbul pada pasien hemodialisis.

Pasien PGK yang menjalani hemodialisa, membutuhkan waktu 12-15 jam

untuk dialisa setiap minggunya, atau 3 – 4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan

berlansung terus – menerus sepanjang hidupnya (Smeltzer, 2010). Terapi

hemodialisa saat ini menjadi terapi utama dalam penanganan pasien PGK

(sudoyo, et al, 2010), terapi ini harus dijalani pasien seumur hidup yang tentu saja

selain manfaatnya juga berdampak pada pasien PGK. Komplikasi intradialisis


yang umumnya sering terjadi adalah hipotensi, kram, mual dan muntah, sakit

kepala, nyeri dada, nyeri punggung, demam dan menggigil (Barkan et al, 2006).

Pasien yang menjalani hemodialisis mengeluhkan adanya kelemahan otot,

kekurangna energi dan merasa letih. Dampak lain dirasakan paling domonan pasa

pasien PGK yang menjalani hemodialisa adalah keluahan fatigue.

Ketergantungan pasien terhadap mesin hemodialisa dapat terjadi

perubahan peran, kehlangan pekerjaan dan pendapatan merupakan stressor yang

dapat menimbulkan depresi pada pasien hemodialisis. Kondisi depresi dapat

mempengaruhi fisik pasien sehingga timbul fatigue, gangguan tidur dan

penurunan minat untuk melakukan aktivitas. Penurunan aktivitas fisik pada pasien

hemodialisa mempengaruhi level fatigue. sebagian besar pasien hemodialisa

hanya berpartisipasi dalam aktivitas rumah tangga yang dianggap ringan.

Aktivitas fisik yang menurun mengakibatakan penurunan masa otot, atrofi otot,

kelemahan dan fatigue. (Koyama, 2010)

C. Teori kelelahan / fatigue

Kelelahan merupakan symptom yang sering dialami pasien yang

menjalani hemodialisis, dan kelelahan juga bisa dikenal dengan letih, lesu dan

perasaan kehilangan energi (Haviland, 2012).

1. Definisi

Kelelahan merupakan perasaan subjektif berupa kelelahan, simptom non

spesifik dan rasa letih yang berlebihan (Wilkson, 2002). Selanjutnya Ream &

Richarson (1996) menyatakan kelelahan merupakan perasaan yang tidak

meyenangkan. Kelelahan merupakan suatu gejala akibat proses penggunaan


energi yang tidak seimbang dengan kekuatan yang ada dan menurunnya kapasitas

kerja fisik serta mental (Wilkison, 2002).

Kelelahan berhubungan dengan pengalaman tertentu terhadap kelelahan

dan kapasitas fisik maupun mental yang tidak dapat dikurangi dengan istirahat

(Black, 2014). Kelelahan biasanya terjadi pada penyakit kronik maupun akut

tetapi juga dialami pada kondisi normal, keadaan sehat dan kehidupan sehari –

hari, perubahan hubungan dengan orang lain, isolasi sosial, fungsi seksual.

Spritual dan kualitas hidup serta mempengaruhi persepsi seseorang dan

kemampuan untuk meyelesaikan masalah (Craven & Himle, 2010).

Pengukuran kelelahan penting dilakukan oleh tenaga kesehatan klinik

sehingga dapat menentukan intervensi yang efektif dalam mengurangi tingkat

kelelahan pada pasien. Pengukuran kelelahan dapat dilakukan dengan berbagai

instrumen yang dikembangkan diantaranya adalah facit fatigue scale yang

menggunakan 13 item pertanyaan dengan jawaban 4 skala yaitu nilai 4 untuk

tidak lelah sama sekali, nilai 3 untuk sedikit lelah, nilai 2 untuk jawaban agak

lelah, nilai 1 untuk lelah sekali, nilai 0 untuk jawaban sangat lelah sekali . Skor

berkisar dari 0-52 dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat yang lebih

rendah dari kelelahan dan skor kurang dari 30 menunjukkan kelelahan yang parah

(Kathleen, 2012).

2. Etiologi

Kelelahan biasanya pada penyakit yang menyebabkan nyeri, demam,

infeksi, diare, bedrest (Lubkin & Larsen 2006), stress, gangguan tidur, cemas,

depresi, kurang melakukan aktivitas lebih lanjut. Creven & Himle, (2010)

menngatakan kelelahan terjadi karena gaya hidup dan pekerjaan, sedangkan


menurut Carpenito (1995), kelelahan dapat disebabkan oleh patofisiologi

penyakit, treatment dan maturasi. Penyakit yang mempengaruhi terjadinya

kelelahan diantaranya hipotiroid, chronicc renal failure, maglinasi, congestive

heart failure, anemia gangguan nutrisi, gangguan paru, AIDS, parkinson, multiple

sklerosis.

Kelelahan yang dialami pasien dapat dijelaskan oleh berbagai teori

diantaranya menurut unpleasant sypmtom middle range theori (Liehr, 2005) dan a

multi dimensional fatigue experience (Lee, et al., 2007). Kelelahan berhubungan

dengan faktor fisiologi, psikologi, faktor situasional atau sosio demografi

sedangkan dalam teori peripheral and central fatigue dijelaskan bahwa faktor

yang berkonstribusi terhadap kelelahan mencakup faktor fisik dan mental (Jhumb,

2008).

1) Unpleasant symptom

Upleasant symptom theory termasuk kedalam middle range theory

merupakan pengalaman subjektif yang mempengaruhi performance yang di

deskripsikan dengan waktu, kualitas, intensitas dan distres yang dipengaruhi oleh

faktor psikologi, fisiologi dan situasional. Asumsi teori ini adalah seseorang

dalam situasi berbeda mengalami simptom yang bervariasi dan merupakan

fenomena subjektif yang berbeda yang terjadi dalam keluarga maupun komunitas.

2) Teori multidimensional factor

Teori multidimensional ini merupakan hasil dari studi kualitatif yang

dilakukan Lee (2007) pada pasien yang menjalani hemodialisa di Taiwan. Dari

hasil studi di dapatkan hasil tema hasil wawancara pengalamamn kelelahan pasien

yang menjalni hemodialisis. Dari tema tersebut didapatkan 3 domain yaitu domain
pertama ‘physical fatigue’ termasuk didalamnya tema 1) kebiasaan 2) symptom

uremik 3) gangguan tidur 4) insufisiensi energi fisik. Domain kedia adalah

‘affective fatigue’ yang terdiri dari tiga tema yaitu lama pengobatan, depresi dan

perasaan kelelahan selanjutnya domain ketiga adalah ‘cognive fatigue’ yang

terdiri dari 3 tema yaitu kehilangan kognitif, isolasi dan koping (Lee, 2007).

3) Paripheral and central fatigue

Central & Paripheral model of fatigue (Chaudhuri & Behan,2000 dan

Jhumb, 2008) menyatakan multifungsi dari susunan syaraf pusat (SSP) dan

susunan syaraf perifer atau disfungsi hipotalamus berhubungan dengan kelelahan.

Model periferal menyatakan disfungsi hipotalamus berhubungan dengan

kelelahan. Model periferal menyatakan disfungsi susunan saraf perifer seperti

kegagalan transmisi pada motor (Asronson, et al., 2000) sehingga dalam model ini

digambarakan central fatigue sebagai kegagalan berinisiatif dan berkonsentrasi

(mental fatigue) dan aktivitas fisik (physical fatigue) yang membutuhkan motivasi

diri sedangkan peripheral atau monitor fatigue merupakan kelelahan otot itu

sendiri dan kemampuan otak untuk mengontrol otot tersebut (Jhamb, 2008).

3. Kelelahan pada pasein penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis berdasarkan studi literatur yang dikemukakan oleh

(Jhamb, 2009)

Dalam populasi pasien yang menjalani hemodialisis lingkup, rutinitas

tindakan yang dijalani dana karakteristik individu sangat berkaitan dengan

kelelahan / fatigue yang dialaminya.


a. Peradangan dan kelelahan

Pasien gagal ginjal kronik memiliki kadar sitokin yang tinggi. Peningkatan

kadar sitokin pro inflamasi telah dihubungkan dengan peningkatan pengeluaran

energi, mortalitas dan status fungsional yang lebih rendah pada pasien

hemodialisis. Sitokin berkontribusi terhadap kelelahan dengan lansung

mengaktifkan sistem saraf pusat, hipofisis, hipotalamus dan adrenal atau tidak

lansung memicu multisistem regulasi karena peradangan kronis. Sitokin juga

memiliki efek langsung pada otot dan sistem saraf pusat, sitokin juga terkait

dengan gangguan tidur, depresi dan penurunan aktifitas dan memediasi kelelahan

melalui kondisi ini.

b. Anemia dan kelelahan

Hemodialisa dapat mempengaruhi terjadinya anemia karena kehilangan

darah akibat waktu yang cukup lama dari hemodialisa, hampir tidak semua darah

pasien kembali seluruhnya setelah terapi hemodialisa pasti ada darah pasien yang

tertinggal di dialyzer atau bloodline (Jansen, 2007), terjadinya perdarahan saluran

cerna dan defisiensi vitamin (asam folat dan vitamin B12), perdarahan

gastrointestina, pengambilan darah untuk pemeriksaan labor dan perdarahan pada

saat akses vaskuler. Anemia sering dikaitkan dengan kelelahan karena penurunan

kadar Hb pada pasien hemodialisa yang mana darah sangat berperan penting

dalam mengangkut oksigen ke seluruh jaringan tubuh sehingga dengan kejadian

anemia pasien hemodialisa mengalami penurunan level oksigen dan sediaan

energi dalam tubuh, yang akan menyebabkan fatigue dan kelemahan dalam

melakukan aktivitas sehingga pada akhirnya dapat menurunkan kualitas hidup


pasien hemodialisa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien akan merasakan

fatigue apabila kadar Hb dalam darah 10 gr/Dl (septiwi, 2013).

c. Uremia dan kelelahan

Sindrom uremik dapat bermanifestasi sebagai kelelahan dan kelemahan.

Uremia dapat menyebabakan protein dan gizi buruk, energi, mual, dan kehilangan

nafsu makan dan semuanya berkontribusi terhadap kelelahan. Namun penelitian

telah menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel

kelelahan dan biokimia termasuk kadar albumin serum. Pengobatan uremia

dengan dialisis dapat juga mempengaruhi kelelahan sebagai modus dan frekuensi

dialysis berhubungan dengan kelelahan. Kelelahan adalah hasil dari akibat

frekuensi dialysis yang berkurang. Dialysis secara signifikan meningkatkan

tingkat persepsi energi yang berkurang.

d. Post dialysis dan kelelahan

Kelelahan post dialysis adalah gejala umum yang sering melumpuhkan dan

dapat diperbaiki dengan pengobatan yang lebih sering. Ultrafiltrasi, difusi,

ketidakseimbangan osmotik, perubahan tekanan darah, interaksi membran darah

dan faktor psikologis seperti depresi sangat berpengaruh terhadap kelelahan

sesudah hemodialisa. Kelelahan paca dialysis telah dikaitkan dengan

kelangsungan hidup yang lebih pendek. Hal ini menunjukkan bahwa pasien

dengan waktu pemulihan lebih lama memiliki tingkat yang lebih besar dari

peradangan yang mendasari, yang dapat berkontribusi terhadap insiden penyakit

arteri koroner dan kematian.


e. Tidur dan kelelahan

Gangguan tidur berhubungan dengan kelelahan melalui 2 mekanisme,

gangguan tidur yang menyebabkan kantik di siang hari dan gangguan biologis

yang berhubungan dengan gangguan gangguan tidur. Pasien hemodialisis

cenderung mengalami sleep apnea, insomnia, gelisah sindrom kaki dan kantuk di

siang hari yang berlebihan. Gejala lain yang umum pada pasien dyalisis

mempengaruhi kualitas tidur yang juga berdampak pada vitalitas.

f. Depresi dan kelelahan

Depresi dan kelelahan saling terkait erat dan depresi dapat bermanifestasi

sebagai perasaan kelelahan dan kekurangan energi. Depresi juga berkorelasi kuat

dengan keseluruhan beban gejala dan keparahan termasuk kelelahan pada pasien

dialysis.

g. Ketidak efektifan fisik dan kelelahan

Aktifitas fisik dikaitkan dengan tingkat kelelahan yang tinggi pada pasien

dialysis. Olahraga teratur memiliki efek antiinflamasi dan mengurangi tingkat

sitokin pro inflamasi. Katabolisme otot meningkat pada pasien dialysis yang

mungkin disebabkan oleh resistensi insulin, asidosis atau peradangan. Hal ini

menyebabakan peradangan otot, pada pasien hemodialisis memiliki keterbatasan

latihan berat yang dikaitkan dengan atrofi dan kelemahan otot.

h. Lama menjalani hemodialisis

Lama menjalani hemodialisis dinyatakan dalam hitungan bulan pasien

menjalani hemodialisis. Menurut Mollaoglu (2009) durasi hemodialisis kurang

dari dari 4 tahun merupakan masalah yang lebih serius jika dibandingkan yang

telah menjalani hemodialisis lebih dari 4 tahun. Penelitian Ossareh, et al., (2003)
mendapatkan hasih bahwa kelelahan mulai dialmi pasien yang menjalani dialisis

rata – rata di bulan ke 6 samapi 8 bulan pertama dan kelelahan meningkat 55% -

67 % diakhir kunjunagn dialisis.

D. Breathing Exercise

a. Definisi

Breathing exercise merupakan latihan pernapasan dengan teknik

bernapas secara perlahan dan dalam, menggunakan otot diafragma, sehingga

memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh

(Smeltzer, et al, 2008).

Breathing exercise adalah teknik penyembuhan yang alami dan

merupakan bagian dari strategi holistic self-care untuk mengatasi berbagai

keluhan seperti fatigue, nyeri, gangguan tidur, stress dan kecemasan. Secara

fisiologis, breathing exercise akan menstimulasi sistem saraf parasimpatik

sehingga meningkatkan produksi endorpin dan otot-otot menjadi rileks. Breathing

exercise membuat tubuh kita mendapatkan input oksigen yang adekuat. dimana

oksigen memegang peran penting dalam sistem respirasi dan sirkulasi tubuh. Saat

kita melakukan breathing exercise, oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah

dan seluruh jaringan tubuh, membuang racun dan sisa metabolisme yang tidak

terpakai, meningkatkan metabolisme dan memproduksi energi. Breathing exercise

akan memaksimalkan jumlah oksigen yang masuk dan disuplay ke seluruh

jaringan sehingga tubuh dapat memproduksi energi dan menurunkan level fatigue.

Breathing exercise merupakan teknik yang mudah dilakukan, mudah

dipelajari, tidak membahayakan, dan tidak memerlukan biaya besar. Perawat

dapat mengajarkan breathing exercise untuk menurunkan level fatigue dan


keluhan lain yang dialami oleh pasien hemodialisis. Latihan ini dilakukan dalam

waktu yang tidak lama dan dapat dilakukan sebelum, selama, sesudah proses

hemodialisis, dan selama pasien di rumah (Tsay, 1995; Kim, 2005;

Zakerimoghadam, 2006; Stanley, 2011).

b. Tujuan Dan Manfaat Breathing Exercise

1) Untuk mencapai ventilasi yang lebih terkontrol dan efisien serta

mengurangi kerja pernafasan.

2) Meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan

menghilangkan ansietas.

3) Mencegah pola aktivitas otot pernafasan yang tidak berguna,

melambatkan frekuensi pernafasan, mengurangi udara yang tertangkap

serta mengurangi kerja bernafas (Smaltzer, et al., 2008).

Manfaat breathing exercise adalah latihan pernafasan dengan teknik

breathing membantu meningkatkan rileksasi otot – otot tubuh dengan baik

serta mencegah distress pernafasan (Priyanto, 2010).

c. Prosedur tindakan

Prosedur tindakan yang dilakukan yaitu (Rosyida, 2013) :

1) Mengatur posisi klien dengan semi fowler di tempat tidur atau kursi

2) Meletakkan satu tangan klien di atas abdomen (tepat dibawah iga ) dan

tangan lainnya pada tengah dada untuk merasakan gerakan dada dan

abdomen saat bernafas

3) Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada dan

abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tetap tertutup selam

inspirasi, tahan nafas selama 2 detik


4) Menghembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit terbuka

sambil mengencangkan (kontraksi) otot – otot abdomen dalam 4 detik

5) Melakukan pengulangan selama 1 menit dan diikuti periode istirahat 2

menit.Melakukan latihan dalam lima siklus selama 15 menit.

d. Pengaruh Breathing Exercise Terhadap skor Fatigue

Breathing exercise adalah teknik penyembuhan yang alami dan merupakan

bagian dari strategi holistic self-care untuk mengatasi berbagai keluhan seperti

fatigue, nyeri, gangguan tidur, stress dan kecemasan. Secara fisiologis, breathing

exercise akan menstimulasi sistem saraf parasimpatik sehingga meningkatkan

produksi endorpin dan otot-otot menjadi rileks. Breathing exercise membuat

tubuh kita mendapatkan input oksigen yang adekuat. dimana oksigen memegang

peran penting dalam sistem respirasi dan sirkulasi tubuh. Saat kita melakukan

breathing exercise, oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah dan seluruh

jaringan tubuh, membuang racun dan sisa metabolisme yang tidak terpakai,

meningkatkan metabolisme dan memproduksi energi. Breathing exercise akan

memaksimalkan jumlah oksigen yang masuk dan disuplay ke seluruh jaringan

sehingga tubuh dapat memproduksi energi dan menurunkan fatigue.

Breathing exercise merupakan teknik yang mudah dilakukan, mudah

dipelajari, tidak membahayakan, dan tidak memerlukan biaya besar. Perawat

dapat mengajarkan breathing exercise untuk menurunkan level fatigue dan

keluhan lain yang dialami oleh pasien hemodialisis. Latihan ini dilakukan dalam

waktu yang tidak lama dan dapat dilakukan sebelum, selama, sesudah proses

hemodialisis, dan selama pasien di rumah (Tsay, 1995; Kim, 2005;

Zakerimoghadam, 2006; Stanley, 2011).


Hal ini sesuai dengan penelitian Stanley et al (2011) yang menerapkanteknik

holistic breathing pada 94 pasien penyakit ginjal terminal yang menjalani

hemodialisis selama 6 minggu. Hasilnya 53% responden mengatakan merasa

rileks, 27% mengatakan fatigue berkurang dan mengalami peningkatan level

energi,12% kecemasan dan gangguan tidurnya berkurang, pasien merasa lebih

segar, dan8% mengatakan nyeri/kram saat dialysis berkurang.

Penelitian Qurnia (2016) Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata level

fatigue responden sebelum dilakukan breathing exercise adalah 25,88 dengan

standard deviasi 3,680 sedangkan rata-rata level fatigue sesudah diberikan breath

exercise adalah 40 dengan standar deviasi Berdasarkan paired t-test didapatkan

nilai p 0,000 (p<0,5) yang melakukan latihan ini 4 kali dalam 1 minggu selama 2

minggu.

Zakerimoghadam et al (2006) juga meneliti efek breathing exercise yang

dilakukan 4 kali perhari selama 10 hari terhadap level fatigue pada 60 pasien

COPD. Hasilnya adalah terdapat perbedaan yang signifikan dari level fatigue

antara kelompok eksperimen dengan kelompok control dengan nilai p 0.001.

Terdapat hubungan antara level fatigue dengan breathing exercise, makin sering

exercise dilakukan akan makin menurunkan level fatigue. Kim et al (2005) juga

meneliti efek breathing exercise selama 6 minggu terhadap fatigue pada 35 pasien

kanker post transplantasi sumsum tulang. Hasilnya kelompok pasien melakukan

breathing exercise mengalami penurunan level fatigue lebih besar dari pada

kelompok kontrol yang tidak melakukan beathing exercis


BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori

PGK adalah keadaan dimana ginjal tidak mampu mempertahankan

fungsinya akibat kerusakan yang terjadi pada ginjal sehingga tubuh tidak mampu

memelihara metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan

elektrolit yang berakibat peningkatan toksik uremik dalam darah (Blakc, 2014).

PGK yang bersifat irreversible mengakibatkan perubahan fisiologis yang tidak

dapat diatasi lagi dengan cara konservatif sehingga membutuhkan terapi

pengganti ginjal. Terapi pengganti ginjal terdiri dari hemodialisis, peritoneal

dialisis, dan transplantasi ginjal.(Smeltzer & Bare, 2008).

Akibat dari hemodialisa pasien akan mengalami anemia karena kehilangan

darah akibat waktu yang cukup lama dari hemodialisa hampir tidak semua darah

pasien kembali seluruhnya setelah terapi hemodialisa pasti ada darah pasien yang

tertinggal di dialyzer atau bloodline (Jansen, 2007), terjadinya perdarahan saluran

cerna dan defisiensi vitamin (asam folat dan vitamin B12), perdarahan

gastrointestina, pengambilan darah untuk pemeriksaan labor dan perdarahan pada

saat akses vaskuler. Anemia yang terjadi pada pasien hemodialisa mengakibatkan

penurunan kadar hemoglobin dalam darah menyebabkan penurunan level oksigen

dan sediaan energi dalam tubuh yang mengakibatkan terjadinya fatigue dan

kelemahan dalam melakukan aktivitas sehingga pada akhirnya dapat menurunkan

kualias hidup pasien (Septiwi, 2013).

Breathing exercise adalah teknik penyembuhan alami dan merupakan

bagian strategi holistic self-care untuk mengatasi berbagai keluhan seperti fatigue.
Secara fisiologi, breathing exercise akan menstimulasi sistem parasimpatik

sehingga meningkatkan produksi endoprin. Breathing exercise membuat tubuh

kita mendapatkan input oksigen yang adekuat. Dimana oksigen memang penting

dalam sistem respirasi dan sirkulasi tubuh dan berpengaruh terhadap penurunan

skor fatigue. (Priyanto, 2010 (Tsay, 1995 ;Kim, 2005 ;Zakerimoghadam, 2006

;Stanley, 2011).

PGK

Penurunan fungsi ginjal

Peningkatan sisa metabolisme

hemodialisa uremia

Anemia

Breathing
Fatigue bxercise

Menurunkan skor
fatigue

Skema 3.1 : Kerangka Teori

Sumber :Clarkson et al., 2010, Smeltzer & Bare, 2008, Priyanto, 2010, Tsay, 1995

;Kim, 2005 ;Zakerimoghadam, 2006 ;Stanley, 2011


B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu

terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang diteliti (setiadi, 2013). Dengan

demikian, maka kerangka konsep penelitian ini meliputi variabel independen yaitu

teknik breathing exercise dan variabel dependen yaitu penurunan (fatigue) pasien

PGK yang menjalani hemodialisa, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema

dibawah ini;

Variabel independen Variabel dependen

Breathing exercise Skor fatigue pasien yang


menjalani hemodialisa

Skema 3.2 Kerangka konsep penelitian “pengaruh breathing


exercise terhadap skor fatigue pada pasien PGK yang
menjalani hemodialisa”

C. Hipotesa

Hipotesa adalah pernyataan tentang suatu dalil atau kaidah, tetapi yang

kebenarannya belum teruji secara empirik (Praktiknya, 2012).

Ha : Ada pengaruh breathing exercise terhadap skor fatigue pasien PGK yang

menjalani hemodialisa di Unit Hemodialisa RS Reksodiwiryo Padang.


BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperiment dengan desain

penelitian two group pre test-post test with control group design. Desain

penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh breathing exercise terhadap skor

fatigue pada pasien yang menjalani hemodialisa kelompok intervensi dan

membandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak di berikan perlakuan

(Sugiono, 2012).

Dalam penelitian ini terdapat dua kelompok yaitu satu kelompok yang

mendapatkan intervensi dan satu kelompok lagi merupakan kelompok kontrol.

Pretest Intervensi Postest

X
Kelompok eksperimen O1 O2

Kelompok kontrol O3 O4

Keterangan :

O1 :Skor fatigue kelompok eksperimen sebelum diberikan intervensi

O2 :Skor fatigue kelompok eksperimen setelah diberikan interven


O3 :Skor fatigue kelompok kontrol pengukuran I

O4 :Skor fatigue kelompok kontrol pengukuran II

O1 O2 : Beda skor fatigue antara sesudah dan

sebelum diberikan intervensi pada

kelompok eksperimen

O2 O4 : Beda skor fatigue antara kelompok

eksperimen dengan kelompok kontrol

setelah pemberian intervensi

Skema 4.1 : Desain penelitian pretest dan post-test control group design

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan bulan Desember 2017 – Juli 2018, dan

pengumpulan data telah dilaksanakan pada tanggal 28 Juni – 10 Juli 2018 di

Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang.

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang diteliti (Setiadi,

2013). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani

hemodialisis di unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang yang

mengalami fatigue adalah 163 orang dari bulan Januari – Agustus 2018
2. Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan objek penelitian

yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Setiadi, 2013). Sampel

yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagian pasien yang menjalani

hemodialisis di Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang yang sesuai dengan kriteria

inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti. Dalam penelitian

eksperimen sederhana jumlah sampel antara 10 sampi 20 orang (Sugiyono, 2010).

Jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu 22 orang pasien

termasuk dengan sampel cadang 10% dari masing masing kelompok yang terdiri

dari 2 kelompok yaitu 11 orang kelompok kontrol dan 11 orang kelompok

eksperimen. Responden yang menjalani hemodialisa hari Senin dan Kamis

dijadikan sebagai kelompok intervensi dan pasien yang menjalani hemodialisa

hari Selasa dan Jumat dijadikan sebagai kelompok kontrol.

Pada penyeleksian pemilihan responden untuk kelompok intervensi yang

menjalani hemodialisa hari Senin dan kamis, sebelumnya peneliti meminta data

kepada perawat hemodialisa mengenai lama pasien menjalani hemodialisa dan

Hb pasien dengan 8 – 10 mg/dl, dari data tersebut didapatkan bahwa pada

kelompok intervensi didapatkan pasien dengan Hb pasien 8 – 10 mg/dl sebanyak

30 orang dan semua pasien telah menjalani terapi hemodialisa lebih dari 6 bulan.

Pada saat pengambilan sampel dari 30 orang dengan Hb 8 – 10 mg/dl setelah

hemodialisa di dapatkan 9 orang tidak bersedia menjadi responden dan 10 tidak

termasuk kriteria inklusi.

Jadi dari seleksi tersebut di dapatkan responden untuk kelompok

intervensi sebanyak 11 orang. Pada penseleksian untuk kelompok kontrol yang


menjalani hemodialisa pada hari Selasa dan Jumat di dapatkan hasil 32 responden

dengan hb 8 – 10 gr/dL akibat hemodialisa dan semua pasien telah menjalani

terapi hemodialisa lebih dari 6 bulan, dari 32 calon responden tersebut di dapatkan

bahwa 7 pasien tidak bersedia menjadi responden, 11 orang tidak termasuk

kriteria inklusi tersisa 14 responden yang dapat di teliti namun peneliti memilih 11

orang untuk di jadikan responden. Jadi banyak sampel yang di gunakan adalah

adalah 11 orang pasien kelompok intervensi dan 11 orang kelompok kontrol, yang

di tambah dari 10% dari setiap kelompok sebagai sampel, sehingga jumlah sampel

adalah 22 responden.

3. Kriteria sampel

Kriteria sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili

dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo,

2010) yaitu :

1) Pasien yang menjalani hemodialisa 2 kali dalam 1 minggu

2) Pasien dengan lama menjalani hemodialisa 6 bulan ke atas

3) Pasien setelah hemodialisa dengan Hb 8- 10 gr/dL

4) Pasien kooperatif

5) Bersedia menjadi responden


b. Kriteria ekslusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat

mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian

(Notoatmodjo, 2010) yaitu :

1) Pasien dengan kesadaran tidak penuh.

2) Pasien yang mengalami gangguan pendengaran.

4. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan

metoda purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan

sampel berdasarkan pertimbangan tertentu yang telah dibuat oleh peneliti,

berdasarkan ciri atau sifat – sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya

(Notoatmodjo, 2012).

Sampel yang sudah didapatkan dibagi menjadi dua kelompok yaitu

kelompok eksperimen yang merupakan kelompok yang mendapatkan intervensi

dan kelompok kontrol. Penentuan kelompok pada penelitian ini didasarkan pada

jadwal hemodialisis. Pasien yang menjalani hemodialisis pada hari Senin dan

Kamis dijadikan sebagai kelompok intervensi, sedangkan pasien yang menjalani

hemodialisis pada hari Selasa dan Jumat dijadikan sebagai kelompok kontrol.

Pada penelitian ini sebelumnya peneliti meminta data pasien kelompok intervensi

dan kelompok kontrol mengenai Hb pasien dan lama menjalani hemodialisa,

setelah peneliti mendapatkan data yang diinginkan tersebut peneliti menunggu

pasien selesai menjalani terapi hemodialisa, setelah pasien selesai hemodialisa

peneliti lansung memilih pasien untuk dijadikan responden untuk dilakukan

penelitian dari pemilihan tersebut didapatkan sampel sebanyak 22 orang namun


terdapat responden yang mengundurkan diri saat penelitian berlansung sehingga

sampel yang dapat di lakukan post test adalah 20 orang.

D. Variabel dan Defenisi Operasional

1. Variabel

Variabel independen atau variabel bebas dalam penelitian ini adalah

breathing exercise, sedangkan variabel dependen atau variabel terikat dalam

penelitian ini adalah skor fatigue pada pasien PGK yang menjalani hemodialisa.

2. Defenisi Operasional

Tabel 4.1 Defenisi Operasional

No Variabel Defenisi Alat Cara ukur Hasil ukur Skala


operasional ukur ukur
1. Variabel
dependen Perasaan tidak Kuesioner Wawancara Hasil Rasio
Fatigue menyenangkan Facit pengukuran
yang dirasakan fatigue dinyatakan
oleh pasien scale dengan
setelah skor 0-52
menjalani
hemodialisa
2. Variabel Pemberian - Intervensi - -
independen teknik
Teknik relaksasi
breathing menggunakan
exercise otot
pernafasan
yang
dilakukan
selama 15
menit dengan
6 langkah
teknik
breathing
exercise
E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan

data (Setiadi, 2013).Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah

kosioner identitas responden dan facit fatigue scale yang telah baku dan di ambil

dari jurnal Qurnia (2016). Kuesioner identitas responden digunakan untuk

mengumpulkan data karakteristik responden yang terdiri dari nama inisial, umur,

jenis kelamin, lama pasien yang menjalani hemodialisa, dan riwayat penyakit.

facit fatigue scale digunakan untuk mengukur tingkat kelelahan selama 7 hari

terakhir yang dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisa. Skor berkisar 0 –

52 dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkat yang lebih rendah dari

kelelahan dan skor kurang dari 30 menunjukkan kelelahan yang parah (Kathleen,

2012).

F. Etika penelitian

Penelitian ini menggunakan manusia sebagai subjek sehingga dalam

pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan etika penelitian. Tujuan

penelitian harus etis dalam arti hak responden harus dilindungi.

Penelitian dilakukan dengan melakukan pada etika penelitian yang meliputi :

1. The principle of beneficience

Satu prinsip etik yang mendasar dalam penelitian ini adalah memberikan

keuntungan yang setinggi-tingginya, diatas itu penelitian yang dilakukan tidak

menimbulkan kerugian atau kerusakan, bebas dari eksploitasi, memberikan

manfaat seta peneliti harus berhati-hati dalam mengkaji resiko dan manfaat yang

akan didapatkan. Dalam penelitian ini peneliti menerapkan prinsip the principle of

beneficience yaitu teknik breathing exercise yang tidak memeberikan dampak


merugikan kepada pasien. Dalam inform concent peneliti juga mencantumkan

apabila terdapat dampak yang merugikan akibat tindakan breathing exercise ini

maka peneliti bertanggung jawab untuk membantu menyelesaikannya.

2. The principle of respect for human dignity

Prinsip etik yang kedua adalah memperhatikan harkat dan martabat

manusia. Termasuk dalam prinsip ini adalah hak untuk menentukan apabila

bersedia menjadi responden atau tidak dalam penelitian, tanpa resiko

mendapatkan kerugian atau hukuman. Responden berhak untuk memutuskan

apakah ia akan ikut sebagai responden atau tidak. Peneliti menghargai keputusan

pasien dan tidak memaksa untuk menjadi responden.

3. The principle of justice

Termasuk dalam peneliti ini adalah hak responden untk mendapatkan

perlakuan yang adil dan untuk privacy. Responden dalam penelitian ini

mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan sama sebelum,

selama dan setelah keikutsertaanya dalam penelitian serta menjaga kerahasiaanya.

4. Anonimity

Memberikan jaminan kepada subjek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur atau

hanya menuliskan inisial pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian

yang akan disajikan.

5. Condidentiality

Memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian baik informasi maupun

masalah-masalah lainnya, semua yang terkumpul dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti.
G. Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer karena

pengambilan data diambil secara langsung terhadap responden dengan melakukan

observasi fatigue responden sebelum dan sesudah melakukan breathing exercise

dengan menggunakan lembar kuesioner facit Fatigue Scale.

2. Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1) Persiapan peneliti

a) Peneliti membuat surat penelitian awal di bagian ADAK STIKes

MERCUBAKTIJAYA Padang.

b) Peneliti mengajukan surat ke Direktur utama Rumah Sakit Dr.

Reksowidiryo Padang dan tembusan surat Kabag Diklat Rumah Sakit

Dr. Reksowidiryo Padang. Setelah diberikan izin peneliti mengambil

data dan melakukan penelitian di unit hemodialisa Rumah Sakit

Reksowidiryo Padang.

c) Setelah mendapat izin penelitian, peneliti meminta izin kepada kepala

ruangan untuk melakukan penelitian pada pasien yang menjalani

hemodialisa di unit hemodialisa Rumah Sakit Reksowidiryo Padang.

d) Pada penelitian ini peneliti menggunakan 2 kelompok yaitu kelompok

intervensi dan kelompok kontrol, peneliti menetapkan bahwa pasien

yang menjalani hemodialisa Senin Kamis dijadikan sebagai kelompok

intervensi dan pasien yang menjalani hemodialisa Selasa Jum’at

dijadikan sebagai kelompok kontrol.


e) Hari pertama, Kamis tanggal 28 Juni tahun 2018 dijadikan untuk

kelompok intervensi, peneliti meminta data pasien yang sedang

menjalani hemodialisa pada shift pagi dan siang mengenai lama

menjalani hemodialisa dan pasien dengan Hb 8 – 10 gr/dL setelah

menjalani hemodialisa, di dapatkan 30 pasien dengan Hb 8 – 1 gr/dL

dan semua pasien sudah menjalani terapi hemodialisa lebih dari 6

bulan, setelah itu peneliti menunggu pasien selesai menjalani terapi

hemodialisa, setelah pasien selesai hemodialisa peneliti langsung

menemui pasien untuk di jadikan responden dalam penelitian. Dari 30

pasien yang menjalani terapi hemodialisa pada hari itu didapatkan 9

orang tidak bersedia menjadi responden 10 orang tidak termasuk

kriteria inklusi. Jadi responden yang di dapatkan untuk kelompok

intervensia cukup 11 orang yang mana 6 orang pada shift pagi dan 5

orang pada shift siang.

f) Calon responden yang bersedia menjadi responden penelitian,

langsung diminta untuk menandatangani informed consent.

g) Melakukan kontrak waktu dengan responden untuk pengukuran skor

fatigue dan pemberian teknik breathing exercise.

h) Pemberian teknik breathing exercise dilakukan di luar ruangan

hemodialisa yaitu di tempat responden merasa nyaman berupa di

taman dan tempat terbuka lingkungan Rumah Sakit Reksodiwiryo

Padang.
2) Sebelum intervensi pada kelompok eksperimen

a) Peneliti melakukan pengukuran pre test skor fatigue pada responden

satu per satu menggunakan kuesioner facit fatigue scale dengan

wawancara kepada pasien.

b) Setelah format facit fatigue scale terisi peneliti langsung

memberikan terapi breathing exercise pada satu per satu responden.

3) Intervensi (breathing exercise)

a) Memberikan pendekatan dengan responden : membina hubungan

saling percaya

b) Memberikan informasi tentang manfaat dan waktu pemberian teknik

breathing exercise terhadap penurunan fatigue pasien yang

menjalani hemodialisa

c) Cara kerja

(a) Mengatur posisi responden dengan Semi fowler/ fowler ditempat

tidur/kursi

(b) Meletakan satu tangan klien di atas abdomen (tepat dibawah iga)

dan tangan lainnya pada tengah dada untuk merasakan gerakan

dada dan abdomen saat bernafas

(c) Menarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik sampai dada

dan abdomen terasa terangkat maksimal, jaga mulut tertutup

selama inspirasi, tahan nafas selama 2 detik.

(d) Menghembuskan nafas melalui bibir yang dirapatkan dan sedikit

terbuka sambil mengencangkan (kontraksi) otot – otot abdomen

dalam 4 detik.
(e) Melakukan pengulangan selama 1 menit dan diikuti periode

istirahat 2 menit.

(f) Melakukan latihan dalam lima siklus selama 15 menit.

(g) Pemberian teknik breathing exercise diberikan 2 kali dalam 1

minggu setelah pasien menjalani hemodialisa dan selama 2

minggu.

i) Pada hari ke dua, Jumat tanggal 29 Juni 2018 dijadikan sebagai

kelompok kontrol, pada saat pasien menjalani terapi hemodialisa

peneliti meminta data pasien yang sedang menjalani hemodialisa

mengenai lama pasien menjalani hemodialisa dan pasien dengan Hb 8

– 10 gr/dL, di dapatkan 32 pasien dengan Hb 8 – 10 gr/dl dan semua

pasien suadah menjalani hemodialisa lebih dari 6 bulan, setelah itu

peneliti menunggu pasien selesai menjalani terapi hemodialisa, setelah

selesai hemodialisa peneliti lansung memilih pasien untuk dijadikan

responden dalam penelitian sesuai kriteria inklusi. Dari 32 pasien pada

hari itu 7 orang tidak bersedia menjadi responden dan 11 orang tidak

termasuk dalam kriteria inklusi. Jadi peneliti lansung mengambil 11

orang untuk di jadikan responden pada kelompok kontrol sesuai

kriteria penelitian yang mana 6 orang pada shift pagi dan 5 orang pada

shift siang. 3 orang pasien tidak di tanyakan oleh peneliti karena

sampel sudah pas.

j) Calon responden yang bersedia menjadi responden penelitian,

langsung diminta untuk menandatangani informed consent.


k) Peneliti melakukan kontrak waktu dengan responden terkait dengan

pengukutan fatigue responden.

l) Selanjutnya peneliti langsung melakukan pretest kepada satu per satu

responden dengan melakukan wawancara terkait dengan fatigue yang

responden alami setelah menjalani hemodialisa menggunakan

kosioner facit fatigue scale untuk pengukuran I.

m) Pada hari ke tiga, Senin tanggal 2 Juli 2018 kelompok intervensi

jumlah responden yang di berikan terapi breathing exercise tetap 11

orang

n) Pada hari ke empat, Kamis tanggal 5 Juli tahun 2018 kelompok

intervensi jumlah responden kurang 1 orang pada shift siang akibat

pasien mengundurkan diri karena tidak bisa melanjutkan penelitian

sehingga sampel pada kelompok intervensi menjadi 10 orang.

o) Pada hari ke lima, Senin tanggal 9 Juli tahun 2018 peneliti langsung

melakukan post test pada kelompok intervensi, jumlah responden

yang dilakukan post test cukup 10 orang.

p) Pada hari ke enam pada kelompok kontrol Selasa tanggal 10 Juli tahun

2018 jumlah responden kelompok kontrol tersisa 10 orang karena 1

responden pada shift pagi mengganti jadwal pelaksanaan hemodialisa

dengan hari Senin. Jadi jumlah responden untuk kelompok kontrol

yang dilakukan post test adalah 10 orang.


H. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah data terkumpul, dianalisis, kemudian

data di olah dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Data (Editing)

Melakukan pemeriksaan kembali terhadap hasil pengukuran fatigue pada

saat sebelum dan setelah diberikan teknik breathing exercise pada kelompok

eksperimen dan pengukuran I dan II pada kelompok kontrol, pada penelitian ini

semua data yang di perlukan pada kuesioner terisi penuh tidak ada jawaban yang

kosong dan jumlah responden memenuhi untuk penelitian yaitu 20 orang yang

terbagi dari 10 orang kelompok intervensi dan 10 orang untuk kelompok kontrol.

2. Pengkodean Data (Coding)

Untuk memudahkan peneliti dalam mengolah data maka peneliti

memberikan kode pada setiap data yang telah dikumpulkan.Peneliti memberikan

kode 1-10 pada kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan dan kode 11-20

untuk kelompok kontrol. Pada responden kelompok eksperimen dan kontrol data

yang didapatkan lengkap, baik data sebelum maupun setelah breathing exercise.

3. Memasukan Data (Entry)

Setelah seluruh data diperiksa kelengkapan dan diberi kode, kemudian

dimasukan ke dalam master tabel dan diolah menggunakan komputer.

4. Pembersihan Data (Cleaning)

Tahap terakhir data diperiksa agar tidak ada kesalahan dan perbedaan

antara kuesioner yang telah terisi dengan data yang dimasukkan kedalam

master tabel. Hasilnya tidak ada kesalahan data yang dimasukkan ke dalam

master tabel.
5. Tabulasi Data (Tabulating)

Setelah instrumen diisi dengan baik, data ditabulasi dan disajikan dalam

bentuk tabel distribusi frekuensi.

I. Analisa Data

Setelah pengolahan data kemudian dilakukan analisa secara bertahap yaitu

analisa univariat dan bivariat.

1. Analisa univariat

Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan terhadap tiap variabel dalam

penelitian (Notoadmojo, 2010). Variabel dalam penelitian ini merupakan :skor

fatigue. analisis unuvariat dilakukan untuk memberikan gambaran deskriptif hasil

penelitian , berupa mean, SD, SE, dan ρ value. Hasil penelitian ditampilkan

dalam bentuk tabel sebelum dan sesudah dilakukan breathing exercise pada

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui perbedaan antara 2 kelompok

yaitu sebelum (pretest) dan sesudah (posttest) diberikan perlakuan pemberian

breathing exercise. sebelum dilakukan uji statistik maka terlebih dahulu di

lakukan uji normalitas data menggunakan uji Shaporo-wilk dan didapatkan hasil ρ

value = 0,88 (> 0,05) sebelum intervensi pada kelompok eksperimen dan ρ value

= 0,87 (>0,05) pengukuran I pada kelompok kontrol dan ρ value = 0,84 (>0,05)

setelah intervensi pada kelompok eksperimen dan ρ value =0,35 (> 0,05) pada

kelompok kontrol pengukuran II artinya data kelompok eksperimen dan kontrol

semua terdistribusi normal, maka uji statistik yang di gunakan adalah uji t

dependen test yaitu untuk melihat pengaruh skor fatigue antara dua kelompok
dependen yaitu sebelum dan sesudah di berikan breathing exercise pada kelompok

eksperimen dan pengkuran I dan II pada kelompok kontrol. Sedangkan untuk

mengetahui perbedaan dua kelompok yang independen yaitu kelompok intervensi

dan kelompok kontrol digunakan uji t independent test. Dengan interprestasi jika

didapatkan ρ value < 0,05 maka ada pengaruh breathing exercise terhadap skor

fatigue pasien PGK yang menjlaani hemodialisa pada kelompok intervensi, jika ρ

value > 0,05 maka tidak ada pengaruh breathing exercse terhada skor fatigue

pasien PGK yang menjalani hemodialisa pada kelompok intervensi, jika ρ value <

0,05 maka ada perbedaan antara pengukuran I dan II pada kelompok kontrol, jika

ρ value > 0,05 maka tidak ada perbedaan antara pengukuran I dan II pada

kelompok kontrol dan jika ρ value < 0,05 maka ada perbedaan skor fatigue antara

kelompok intervensi setelah pemberian breathing exercise dengan kelompok

kontol setelah pengukuran II.


BAB V

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilaksanakan pada

tanggal 28 Juni – 10 Juli tahun 2018 di unit Hemodialisa Rumah Sakit

Reksodiwiryo Padang tentang pengaruh breathing exercise terhadap skor

fatigue pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di

Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang, dengan 20 responden yang terbagi

dalam 10 responden kelompok eksperimen dan 10 responden kelompok

kontrol maka didapatkan hasil sebagai berikut:

A. Analisa Univariat

1. Rata – rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit


hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok intervensi
sebelum breathing exercise.

Tabel 5.1

Rata – rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit


hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok
intervensi sebelum breathing exercise
Skor fatigue N Mean Std. Dev Min Mak
Sebelum 10 26,60 4,377 19 33

Tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa rata – rata skor fatigue pasien

hemodialisa sebelum diberikan breathing exercise pada kelompok

eksperimen adalah 26,60, dengan standar deviasi 4,37, skor fatigue

minimum adalah 19 dan skor fatigue maximum adalah 33.


2. Rata-rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit
hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok kontrol
pengukuran I.

Tabel 5.2
Rata-rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit
hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok
kontrol pengukuran I
Skor fatigue N Mean Std. Dev Min Mak
Pengukuran I 10 23,50 6,570 14 36

Tabel 5.2 dapat disimpulkan rata – rata skor fatigue pasien hemodialisa

pengukuran I kelompok kontrol adalah 23,50 dengan standar deviasi

6,570, skor fatigue minimum adalah 14 dan skor fatigue maximum adalah

36.

3. Rata – rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit


hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok intervensi
setelah diberikan teknik breathing exercise.
Tabel 5.3

Rata – rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit


hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok
intervensi setelah diberikan teknik breathing exercise
Skor fatigue N Mean Std. Dev Min Mak
Setelah 10 31,80 5,287 23 39

Tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa rata – rata skor fatigue pasien

hemodialisa setelah diberikan breathing exercise pada kelompok

eksperimen adalah 31,80, dengan standar deviasi 5,287 skor fatigue

minimum adalah 23 dan skor fatigue maximum adalah 39.


4. Rata-rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit
hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok kontrol
pengukuran II.
Tabel 5.4

Rata-rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit


hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok
kontrol pengukuran II.

Skor fatigue N Mean Std. Dev Min Mak


Pengukuran II 10 23,10 5,259 15 35

Tabel 5.4 dapat disimpulkan rata – rata skor fatigue pasien hemodialisa

pengukuran II kelompok kontrol adalah 23,10 dengan standar deviasi

5,529, skor fatigue minimum adalah 15 dan skor fatigue maximum adalah

35.

B. Analisa Bivariat

Tabel 5.5

Uji normalitas data skor fatigue sebelum dan setelah di berikan breathing
exercise pada kelompok eksperimen dan pengukuran I pengukuran II
pada kelompok kontrol pada pasien yang menjalani hemodialisa
di unit hemodialisa rumah sakit reksodiwiryo padang
Uji Shapiro-Wilk ρ value Batas ρ Ket
value
Skor fatigue sebelum breathing 0,881 0,05 Normal
exercise
Skor fatigue setelah breathing exercise 0,848 0,05 Normal

Skor fatigue pengukuran I 0,870 0,05 Normal

skor fatigue pengukuran II 0,359 0,05 Normal

Tabel 5.5 disimpulkan bahwa uji Shapiro Wilk skor fatigue sebelum

diberikan breathing exercise diperoleh nilai ρ = 0,881 (ρ> 0,05), data skor

fatigue setelah diberikan breathing exercise di peroleh nilai ρ = 0,848 (ρ>


0,05) dan data skor fatigue pada pengukuran I diperoleh ρ = 0,870 (ρ>

0,05) dan data skor fatigue pada pengukuran II diperoleh ρ= 0,359 (ρ>

0,05). Berdasarkan hasil uji normalitas pada semua data tersebut

didapatkan semua data terdistribusi secara normal maka disimpulakn

bahwa uji yang di gunakan unutk kelompok berpasangan yaitu t dependent

dan uji yang digunakan unutk kelompok tidak berpasangan adalah uji t

independent.

1. Perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit


hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok intervensi
sebelum dengan sesudah pemberian teknik breathing exercise

Tabel 5.6

Perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di


unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok
intervensi sebelum dengan sesudah pemberian teknik
breathing exercise

Selisih
Skor fatigue Mean SD ρ value
mean

a. Sebelum 26,60 4,37


5,2 0,000
b. Setelah 31,80 5,28
Tabel 5.6 menunjukkan rata – rata skor fatigue pasien hemodialisa

kelompok eksperimen sebelum diberikan breathing exercise adalah 26,60

dan setelah diberikan breathing exercise adalah 31,80 dengan selisih mean

adalah 5,2. Terlihat pengukuran pertama (pre test) dan pengukuran ke dua

(post test). Berdasarkan hasil uji statistik t berpasangan (t dependent )

didapatkan ρ value = 0,000 berarti ρ = (<0,05) artinya ada perbedaan skor

fatigue pada kelompok eksperimen sebelum dan sesudah pemberian

breathing exercise.
2. Perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit
hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok kontrol
pengukuran I dengan pengukuran II
Tabel 5.7
Perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di
unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok
kontrol pengukuran I dengan pengukuran II

Selisih
Skor fatigue Mean SD ρ value
mean

a. Pengukuran I 23,50 6,57


0,4 0,657
b. Pengukuran II 23,10 5,25
Tabel 5.7 menunjukkan rata – skor fatigue pasien hemodialisa

kelompok kontrol pada pengukuran I adalah 23,50 dan pengukuran adalah

23,10 dengan selisih mean 0,4. Berdasarkan hasil uji statistik t berpasangan

(t dependent ) didapatkan nilai t = 0,45 dan ρ = 0,657 berarti ρ = (>0,05)

artinya tidak ada perbedaan yang bermakna skor fatigue pada kelompok

kontrol antara pengukurasn I dan II.

3. Perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit


hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang antara kelompok intervensi
setelah pemberian breathing exercise dan kelompok kontrol setelah
pengukuran II.
Tabel 5.8
Perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di
unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang antara
kelompok intervensi setelah pemberian breathing exercise
dan kelompok kontrol setelah pengukuran II.

Selisih
Skor fatigue Mean SD ρ value
mean

a. Eksperimen 31,80 5,28


8,7 0,002
b. Kontrol 23,10 5,25
Tabel 5.8 menunjukkan rata – rata skor fatigue pasien hemodialisa

setelah diberikan breathing exercise pada kelompok eksperimen adalah

31,80, dan pada kelompok kontrol pada pengukuran II adalah 23,10 dengan
selisih mean adalah 8,7. Berdasarkan hasil uji statistik t independen ρ =

0,002, berarti ρ = (< 005) artinya ada perbedaan yang bermakna skor fatigue

setelah intervensi antara kelompok eksperimen dan kontrol. Ini dapat

disimpulkan ada pengaruh breathing exercise terhadap skor fatigue pada

pasien yang menjalani hemodialisis di unit hemodialisa Rumah Sakit

Reksodiwiryo Padang.
BAB VI

PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas hasil – hasil penelitian yang didapatkan

berdasarkan literatur yang telah diperoleh serta penelitian sejenis yang

pernah dilakukan. Bab ini juga membahas keterbatasan - keterbatasan

penelitian yang telah dilakukan serta implikasi hasil penelitian ini untuk

pelayanan, ilmu keperawatan, pendidikan dan penelitian keperawatan.

1. Rata – rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit

hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok intervensi

sebelum breathing exercise.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 10 responden kelompok

eksperimen, menunjukkan rata – rata skor fatigue pada kelompok

eksperimen sebelum intervensi adalah 26,60 dengan skor terendah 19 dan

tertinggi 33. Pada saat pretest, setiap responden diwawancarai dengan

menggunakan kuesioner fatigue yaitu facit fatigue scale yang terdiri dari

13 item pertanyaan. Rentang skor pada kuesioner tersebut adalah 0-52

dengan skor yang kecil dari 30 menunjukkan tingkat fatigue yang berat.

Skor yang tinggi menunjukkan tingkat kelelahan yang rendah sehingga

hasil akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani

hemodialisa.

Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan

oleh Jhamb (2008) juga mengemukakan bahwa 94% pasien yang

menjalani terapi hemodialisa mengalami peningkatan level fatigue dan


penurunan kualitas hidup. Hal serupa juga di kemukakan oleh Kring &

Crane (2009) yang menemukan 60%-79% pasien yang mendapatkan

terapi ginjal dalam waktu lama mengalami simptom fatigue, dan

sejumlah 82%-90% nya merupakan pasien yang menjalani hemodialisa

(Kring & Crane, 2009), simptom fatigue ini disebabkan karena kondisi

anemia, lama menjalani hemodialisa, dan permasalah yang sering timbul

akibat proses hemodialisa.

Hemodialisa merupakan suatu terapi yang dilakukan 2-3 kali

seminggu dengan lama waktu 4-5 jam (O’Callaghan, 2009). Proses terapi

hemodialisa yang membutuhkan waktu selama 5 jam, umumnya akan

menimbulkan fatigue pada pasien setelah hemodialisa, selain itu kadar

oksigen rendah karena anemia akan menyebabkan tubuh mengalami

fatigue yang ekstrim dan akan memaksa jantung bekerja lebih keras

untuk mesuplai oksigen yang dibutuhkan (Smeltzer & Bare, 2008).

Akibat dari hemodialisa pasien akan mengalami anemia karena

kehilangan darah akibat waktu yang cukup lama dari hemodialisa hampir

tidak semua darah pasien kembali seluruhnya setelah terapi hemodialisa

pasti ada darah pasien yang tertinggal di dialyzer atau bloodline (Jansen,

2007), terjadinya perdarahan saluran cerna dan defisiensi vitamin (asam

folat dan vitamin B12), perdarahan gastrointestina, pengambilan darah

untuk pemeriksaan labor dan perdarahan pada saat akses vaskuler.

Anemia yang terjadi pada pasien hemodialisa mengakibatkan penurunan

kadar hemoglobin dalam darah menyebabkan penurunan level oksigen

dan sediaan energi dalam tubuh yang mengakibatkan terjadinya fatigue


dan kelemahan dalam melakukan aktivitas sehingga pada akhirnya dapat

menurunkan kualias hidup pasien (Septiwi, 2012).

Pada penelitian ini pasien memiliki semangat yang tinggi yang

dapat dilihat kerutinannya untuk melakukan terapi hemodialisa walaupun

mengalami kondisi fatigue akan tetapi aktivitas pasien yang menjalani

hemodialisa sangat terganggu dengan keadaan fatigue yang mereka alami

sehingga dengan kondisi tersebut menurunkan kualitas hidup pasien

hemodialisa.

Menurut analisa peneliti pada saat penelitian fatigue sering di

rasakan karena kondisi anemia yang di alami pasien hemodialisa di

buktikan dengan hb pasien menurun, pasien terlihat lemah, pucat, tidak

bersemangat dan lama pasien menjalani hemodialisa, yang

mengakibatkan pasien hemodialisa mengalami gangguan aktifitas sehari -

hari dan gangguan emosional sehingga dengan kondisi fatigue yang di

rasakan pasien dapat menurunkan kualitas hidupnya.

2. Rata-rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit

hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok kontrol

pengukuran I.

Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 10 responden kelompok

kontrol, menunjukkan rata – rata skor fatigue pada kelompok kontrol

pada pengukuran I 23,50 dengan nilai skor fatigue terendah adalah 14

dan nilai skor fatigue tertinggi adalah 36. Hasil penelitian hampir sama

dengan penelitian yang dilakukan oleh Qurnia (2016) yaitu terdapatnya

kondisi fatigue pada pasien yang menjalani hemodialisa di tambah


dengan penelitian yang dilakukan oleh Cahyu (2012) yang juga

mengatakan pasien yang menjalani hemodialisa mengalami kondisi

fatigue. Hal serupa juga di kemukakan oleh Kring & Crane (2009) yang

menemukan 60%-79% pasien yang mendapatkan terapi ginjal dalam

waktu lama mengalami simptom fatigue, dan sejumlah 82%-90% nya

merupakan pasien yang menjalani hemodialisa (Kring & Crane, 2009),

simptom fatigue ini disebabkan karena kondisi anemia, lama menjalani

hemodialisa, dan permasalah yang sering timbul akibat proses

hemodialisa.

Akibat dari hemodialisa pasien akan mengalami anemia karena

kehilangan darah akibat waktu yang cukup lama dari hemodialisa hampir

tidak semua darah pasien kembali seluruhnya setelah terapi hemodialisa

pasti ada darah pasien yang tertinggal di dialyzer atau bloodline (Jansen,

2007), terjadinya perdarahan saluran cerna dan defisiensi vitamin (asam

folat dan vitamin B12), perdarahan gastrointestina, pengambilan darah

untuk pemeriksaan labor dan perdarahan pada saat akses vaskuler.

Anemia yang terjadi pada pasien hemodialisa mengakibatkan penurunan

kadar hemoglobin dalam darah menyebabkan penurunan level oksigen

dan sediaan energi dalam tubuh yang mengakibatkan terjadinya fatigue

dan kelemahan dalam melakukan aktivitas sehingga pada akhirnya dapat

menurunkan kualias hidup pasien (Septiwi, 2013).

Fatigue adalah perasaan subyektif yang tidak menyenangkan

berupa kelelahan, kelemahan , dan penurunan energi dan merupakan

keluhan utama pasien dengan dialysis. Kondisi fatigue pada pasien


hemodialisis dapat menyebabkan konsentrasi menurun, malaise,

gangguan tidur, gangguan emosional, dan penurunan kemampuan pasien

dalam melakukan aktivitas sehari-harinya, sehingga pada akhirnya dapat

menurunkan kualitas hidup pasien hemodialisis (Jhamb, 2008).

Menurut analisa peneliti fatigue yang dialami oleh pasien setelah

hemodialisa disebabkan karena anemia, lama menjalani hemodialisa,

umur, lingkungan dan komplikasi penyakit lainnya, pasien dengan

kondisi fatigue ini terlihat lemah, pucat, lesu sehingga mengganggu

aktifitas sehari – hari pasien dan menurunkan kualitas hidup pasien

hemodialisa.

3. Rata – rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit

hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok intervensi

setelah diberikan teknik breathing exercise.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 responden kelompok

eksperimen, menunjukkan peningkatan rata – rata skor fatigue setelah

diberikan breathing exercise adalah 31,80 dengan skor fatigue terendah

adalah 23 dan skor tertinggi adalah 39. Hasil penelitian ini sejala dengan

penelitian yang dilakukan oleh Cahyu Septiwi (2012) mengatakan bahwa

terdapat perubahan rata- rata level fatigue setelah diberikan breathing

exercise yang mana rata – rata sebelum diberikan breathing exercise

adalah 5,70 dan setelah diberikan breathing exercise adalah 3,80, ini

disebabkan karena ketekunan responden dalam melakukan latihan dan

pemberian breathing exercise secara kontinyu.


Menurut teori Zeynap, (2012) Breathing exercise adalah teknik

penyembuhan alami dan merupakan bagian strategi holistic self-care

untuk mengatasi berbagai keluhan seperti fatigue, nyeri, gangguang tidur,

stres dan kecemasan. Secara fisiologi, breathing exercise akan

menstimulasi sistem parasimpatik sehingga meningkatkan produksi

endoprin. Breathing exercise membuat tubuh kita mendapatkan input

oksigen yang adekuat dimana oksigen memang penting dalam sistem

respirasi dan sirkulasi tubuh dan berpengaruh terhadap skor fatigue

Saat melakukan breathing exercise, oksigen mengalir ke dalam

pembuluh darah dan seluruh jaringan tubuh, membuang racun dan sisa

metabolisme yang tidak terpakai, meningkatkan metabolisme dan

memproduksi energi. Breathing exercise akan memaksimalkan jumlah

oksigen yang masuk dan disuplai ke seluruh jaringan sehingga tubuh

dapat memproduksi energy, memaksimalkan gangguan pada pasien

hemodialisa dan menurunkan level fatigue. (Zeynap, 2012).

Menurut analisa peneliti terjadinya peningkatan skor fatigue

setelah diberikan breathing exercise dilihat dari responden lebih antusias

dalam melakukan breathing exercise dari yang sebelumnya, keseriusan

pasien dalam melakukan breathing exercise, lingkungan yang nyaman

sehingga pasien sedikit lebih bertenaga dari yang sebelumnya.


4. Rata-rata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di unit

hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang kelompok kontrol

pengukuran II.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 responden kelompok

kontrol, menunjukkan rata – rata skor fatigue pada pengukuran II adalah

23,10 dengan nilai skor fatigue terendah 15 dan skor fatigue tertinggi

adalah 35.

Akibat dari hemodialisa pasien akan mengalami anemia karena

kehilangan darah akibat waktu yang cukup lama dari hemodialisa hampir

tidak semua darah pasien kembali seluruhnya setelah terapi hemodialisa

pasti ada darah pasien yang tertinggal di dialyzer atau bloodline (Jansen,

2007), terjadinya perdarahan saluran cerna dan defisiensi vitamin (asam

folat dan vitamin B12), perdarahan gastrointestina, pengambilan darah

untuk pemeriksaan labor dan perdarahan pada saat akses vaskuler.

Anemia yang terjadi pada pasien hemodialisa mengakibatkan penurunan

kadar hemoglobin dalam darah menyebabkan penurunan level oksigen

dan sediaan energi dalam tubuh yang mengakibatkan terjadinya fatigue

dan kelemahan dalam melakukan aktivitas sehingga pada akhirnya dapat

menurunkan kualias hidup pasien (Septiwi, 2013).

Fatigue adalah perasaan subyektif yang tidak menyenangkan

berupa kelelahan, kelemahan , dan penurunan energi dan merupakan

keluhan utama pasien dengan dialysis. Kondisi fatigue pada pasien

hemodialisis dapat menyebabkan konsentrasi menurun, malaise,

gangguan tidur, gangguan emosional, dan penurunan kemampuan pasien


dalam melakukan aktivitas sehari-harinya, sehingga pada akhirnya dapat

menurunkan kualitas hidup pasien hemodialisis (Jhamb, 2008).

Menurut analisa peneliti, tidak terjadinya peningkatan skor fatigue

pada pengukuran II hal ini disebabkan karena tidak diberikannya

intervensi apapun pada responden sehingga tidak terjadinya perubahan

skor fatigue antara pengukuran I dan II. Hal ini menunjukkan betapa

pentingnya pemberian intervensi kepada responden berupa teknik

breathing exercise untuk mengurangi kondisi fatigue, karena dengan

diberikannya teknik breathing exercise dapat mengurangi fatigue

responden dan meningkatkan kualitas hidup pasien hemodialisa.

5. Perbedaan rata – rata skor fatigue antara sebelum dan setelah

diberikan breathing exercise pada kelompok intervensi pasien PGK

yang menjalani hemodialisa di unit hemodialisa Rumah Sakit

Reksodiwiryo Padang

Hasil penelitian menunjukan bahwa rata rata skor fatigue sebelum

di berikan breathing exercise 26,60 dan setelah diberikan breathing

exercise terdapat peningkatan rata – rata skor fatigue menjadi 31,80, dan

hasil analisa bivariat menunjukan bahwa terdapat pengaruh breathing

exercise terhadap skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa

dengan hasil perhitungan uji t berpasangan (t dependent) ρ value = 0,000

(ρ < 0,05)

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cahyu septiwi (2012)

yang mengatakan bahwa terdapat pengaruh breathing exercise terhadap

level fatigue pasien yang menjalani hemodialisa. Penelitian yang


dilakukan oleh Qurnia (2016) sejalan dengan penelitian ini yang Hasil

penelitian nya menunjukkan rata-rata level fatigue responden sebelum

dilakukan breathing exercise adalah 25,88 dengan standard deviasi 3,680

sedangkan rata-rata level fatigue sesudah diberikan breathing exercise

adalah 40. Berdasarkan paired t-test didapatkan bahwa terdapar pengaruh

breathing exercise terhada level fatigue pasien yang menjalani

hemodialisa dengan nilai p 0,000 (p<0,05) yang melakukan latihan ini 4

kali dalam 1 minggu selama 2 minggu. Hal ini sesuai dengan penelitian

Stanley et al (2011) yang menerapkan teknik holistic breathing pada 94

pasien penyakit ginjal terminal yang menjalani hemodialisis selama 6

minggu. Hasilnya 53% responden mengatakan merasa rileks, 27%

mengatakan fatigue berkurang dan mengalami peningkatan level energi,

12% kecemasan dan gangguan tidurnya berkurang, pasien merasa lebih

segar, dan 8% mengatakan nyeri/kram saat dialysis berkurang.

Menurut teori Zeynap, (2012) breathing exercise adalah teknik

penyembuhan alami dan merupakan bagian strategi holistic self-care

untuk mengatasi berbagai keluhan seperti fatigue, nyeri, gangguang tidur,

stres dan kecemasan. Secara fisiologi, breathing exercise akan

menstimulasi sistem parasimpatik sehingga meningkatkan produksi

endoprin. breathing exercise membuat tubuh kita mendapatkan input

oksigen yang adekuat dimana oksigen memang penting dalam sistem

respirasi dan sirkulasi tubuh dan berpengaruh terhadap skor fatigue

Saat melakukan breathing exercise, oksigen mengalir ke dalam

pembuluh darah dan seluruh jaringan tubuh, membuang racun dan sisa
metabolisme yang tidak terpakai, meningkatkan metabolisme dan

memproduksi energi. breathing exercise akan memaksimalkan jumlah

oksigen yang masuk dan disuplai ke seluruh jaringan sehingga tubuh

dapat memproduksi energy, memaksimalkan gangguan pada pasien

hemodialisa dan menurunkan level fatigue. (Zeynap, 2012).

Menurut analisa peneliti, adanya perbedaan skor fatigue setelah

dan sebelum dilakukan breathing exercise adalah karena teknik breathing

exercise yang telah diberikan yang mana pasien tampak lebih

bersemangat dari yang sebelumnya, lebih aktif dan antusias dalam

melakukan teknik breathing exercise sehingga dengan teknik ini pasien

lebih mendapatkan input oksigen yang adekuat dan dapat mengurangi

fatigue. Kelebiahan breathing exercise ini diantaranya adalah

membutuhkan waktu yang tidak lama, kontak pasien dengan perawat

juga akan lebih dekat, mudah di pahami dan tidak berbahaya, dapat

menambah pengetahuan pasien terhadap aktifitas yang bagus di lakukan

untuk mengurangi fatigue yang di rasakan akibat hemodialisa. Hal ini

dibuktikan dengan peningkatan skor pada kuesioner facit fatigue scale

karena dilakukannya teknik breathing exercise.

6. Perbedaan skor fatigue antara pengukuran l dengan pengakuran ll

pada kelompok kontrol pasien PGK yang menjalani hemodialisa di

unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang

Hasil penelitian menunjukan bahwa rata – rata skor fatigue

pengukuran I adalah 23,50 dan pada pengukuran II adalah 23,10. Hasil


analisa bivariat menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan dan

pengaruh pengukuran I dan pengukuran II terhadap skor fatigue dengan

hasil perhitungan uji t berpasangan (t dependent) didapatkan ρ value =

0,65 (ρ >0,05). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang

dilakukan Zakerimoghadam et al (2006) yang mendapatkan bahwa tidak

terdapat pengaruh breathing exercise terhadap level fatigue COPD, ini di

sebabkan karena tidak diberikannya intervensi apapun untuk

pengurangan fatigue pasien dengan breathing exercise.

Breathing exercise adalah teknik penyembuhan alami dan

merupakan bagian strategi holistic self-care untuk mengatasi berbagai

keluhan seperti fatigue, nyeri, gangguang tidur, stres dan kecemasan.

Secara fisiologi, breathing exercise akan menstimulasi sistem

parasimpatik sehingga meningkatkan produksi endoprin. Breathing

exercise membuat tubuh kita mendapatkan input oksigen yang adekuat

dimana oksigen memang penting dalam sistem respirasi dan sirkulasi

tubuh dan berpengaruh terhadap skor fatigue (Zeynap, 2012).

Saat melakukan breathing exercise, oksigen mengalir ke dalam

pembuluh darah dan seluruh jaringan tubuh, membuang racun dan sisa

metabolisme yang tidak terpakai, meningkatkan metabolisme dan

memproduksi energi. Breathing exercise akan memaksimalkan jumlah

oksigen yang masuk dan disuplai ke seluruh jaringan sehingga tubuh dapat

memproduksi energy, memaksimalkan gangguan pada pasien hemodialisa

dan menurunkan level fatigue (Zeynap, 2012).


Pemberian breathing exercise bertujuan untuk mencapai ventilasi

yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja pernafasan,

meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan

menghilangkan ansietas, mencegah pola aktivitas otot pernafasan yang

tidak berguna, melambatkan frekuensi pernafasan, mengurangi udara

yang tertangkap serta mengurangi kerja bernafas (Smaltzer, et al., 2008).

Manfaat breathing exercise adalah latihan pernafasan dengan teknik

breathing membantu meningkatkan rileksasi otot – otot tubuh dengan

baik serta mencegah distress pernafasan (Priyanto, 2010). Breathing

exercise membuat tubuh kita mendapatkan input oksigen yang adekuat

dimana oksigen memang penting dalam sistem respirasi dan sirkulasi

tubuh dan berpengaruh terhadap skor fatigue (Zeynap, 2012).

Menurut analisa peneliti, faktor yang paling mempengaruhi hasil

penelitian pada kelompok kontrol adalah tidak diberikannya breathing

exercise terhadap kelompok kontrol sedangkan dengan diberikan

breathing exercise dapat menurunkan fatigue pasien. Maka dari itu

responden kelompok kontrol tidak terjadi penurunan fatigue hal ini

dibuktikan dengan tidak terdapat peningkatan jumlah skor pada pengisian

kuesioner facit fatigue scale karena tidak diberikan teknik breathing

exercise.
7. Perbedaan rerata skor fatigue pasien yang menjalani hemodialisa di

unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang antara

kelompok intervensi setelah pemberian breathing exercise dan

kelompok kontrol setelah pengukuran II.

Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata skor fatigue

responden kelompok eksperimen setelah diberikan breathing exercise

adalah 31,80, pada kelompok kontrol rata-rata skor fatigue responden pada

pengukuran II adalah 23,10. Hasil analisa bivariat menunjukan bahwa

terdapat perbedaan skor fatigue antara kelompok eksperimen dengan

kelompok kontrol setelah dilakukan breathing exercise dengan perhitungan

uji t tidak berpasangan (unpaired t test) dengan hasil ρ value = 0,002

artinya( ρ = < 0,005).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cahyu septiwi (2012)

yang mengatakan bahwa terdapat pengaruh breathing exercise terhadap

level fatigue pasien yang menjalani hemodialisa. Penelitian ini juga

sejalan dengan peelitian yang dilakukan oleh Zakerimoghadam et al

(2006) yang juga meneliti efek breathing exercise yang dilakukan 4 kali

perhari selama 10 hari terhadap level fatigue pada 60 pasien COPD.

Hasilnya adalah terdapat perbedaan yang signifikan dari level fatigue

antara kelompok eksperimen dengan kelompok control dengan nilai p

0.001. Terdapat hubungan antara level fatigue dengan breathing exercise,

makin sering exercise dilakukan akan makin menurunkan level fatigue.

Kim et al (2005) juga meneliti efek breathing exercise selama 6 minggu

terhadap fatigue pada 35 pasien kanker post transplantasi sumsum tulang.


Hasilnya kelompok pasien melakukan breathing exercise mengalami

penurunan level fatigue lebih besar dari pada kelompok kontrol yang tidak

melakukan breathing exercise. Penelitian yang dilakukan oleh Qurnia

(2016) sejalan dengan penelitian ini yang mengatakan breathing exercise

berpengaruh terhadap level fatigue pasien yang menjlani hemodialisa.

Berdasarkan paired t-test didapatkan nilai p 0,000 (p<0,5) yang melakukan

latihan ini 4 kali dalam 1 minggu selama 2 minggu

Breathing exercise adalah teknik penyembuhan alami dan

merupakan bagian strategi holistic self-care untuk mengatasi berbagai

keluhan seperti fatigue, nyeri, gangguang tidur, stres dan kecemasan.

Secara fisiologi, breathing exercise akan menstimulasi sistem

parasimpatik sehingga meningkatkan produksi endoprin. Breathing

exercise membuat tubuh kita mendapatkan input oksigen yang adekuat

dimana oksigen memang penting dalam sistem respirasi dan sirkulasi

tubuh dan berpengaruh terhadap skor fatigue (Zeynap, 2012).

Saat melakukan breathing exercise, oksigen mengalir ke dalam

pembuluh darah dan seluruh jaringan tubuh, membuang racun dan sisa

metabolisme yang tidak terpakai, meningkatkan metabolisme dan

memproduksi energi. Breathing exercise akan memaksimalkan jumlah

oksigen yang masuk dan disuplai ke seluruh jaringan sehingga tubuh dapat

memproduksi energy, memaksimalkan gangguan pada pasien hemodialisa

dan menurunkan level fatigue (Zeynap, 2012).

Pemberian breathing exercise bertujuan untuk mencapai ventilasi

yang lebih terkontrol dan efisien serta mengurangi kerja pernafasan,


meningkatkan inflasi alveolar maksimal, relaksasi otot dan

menghilangkan ansietas, mencegah pola aktivitas otot pernafasan yang

tidak berguna, melambatkan frekuensi pernafasan, mengurangi udara

yang tertangkap serta mengurangi kerja bernafas (Smaltzer, et al., 2008).

Manfaat breathing exercise adalah latihan pernafasan dengan teknik

breathing membantu meningkatkan rileksasi otot – otot tubuh dengan

baik serta mencegah distress pernafasan (Priyanto, 2010). Breathing

exercise membuat tubuh kita mendapatkan input oksigen yang adekuat

dimana oksigen memang penting dalam sistem respirasi dan sirkulasi

tubuh dan berpengaruh terhadap skor fatigue (Zeynap, 2012).

Menurut analisa peneliti, hasil penelitian ini mempertegas

pengaruh breathing exercise terhadap skor fatigue pasien PGK yang

menjalani hemodialisa, karena hasil penelitian menunjukan bahwa pada

kelompok eksperimen yang diberikan breathing exercise didapatkan hasil

yang bermakna antara sebelum dan setalah pemberian breathing exercise

hal ini di buktikan dengan terjadinya peningkatan skor yang di dapat pada

kuesioner setelah diberikan intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol

yang tidak diberikan intervensi apapun tidak didapatkan perbedaan hasil

antara pengukuran I dan II yang menunjukkan pengurangan terhadap skor

fatigue .
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini akan menguraikan tentang simpulan dan saran berkaitan dengan

hasil pembahasan penelitian. Bagian ini menjelaskan secara sistematis upaya

menjawab hipotesis dan tujuan.

A. Kesimpulan

Hasil penelitian tentang pengaruh pengaruh breathing exercise terhadap

skor fatigue pada pasien PGK yang menjalani hemodialisa maka dapat

disimpulkan bahwa :

1. Rata – rata skor fatigue sebelum diberikan teknik breathing exercise pada

kelompok eksperimen adalah 26,60 pada pasien yang menjalani

hemodialisa di unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang.

2. Rata – rata skor fatigue pengukuran I pada kelompok kontrol adalah 23,

50 pada pasien yang menjalani hemodialisa di unit hemodialisa Rumah

Sakit Reksodiwiryo Padang.

3. Rata – rata skor fatigue pengukuran II pada kelompok kontrol adalah

23,10 pada pasien yang menjalani hemodialisa di unit hemodialisa Rumah

Sakit Reksodiwiryo Padang.

4. Terdapat perbedaan skor fatigue pada kelompok eksperimen dengan ρ

value = 0,000 antara sebelum dan setelah di berikan breathing exercise

pada pasien yang menjalani hemodialisa di ruangan Hemodialisa Rumah

Sakit Reksodiwiryo Padang.


5. Tidak terdapat perbedaan skor fatigue pada kelompok control dengan ρ

value = 0,65 antara pengukuran I dengan pengukuran II pada pasien yang

menjalani hemodialisa di unit hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo

Padang.

6. Terdapat perbedaan skor fatigue pasien PGK yang menjalani hemodialisa

dengan ρ value = 0,002 antara kelompok eksperimen dengan kelompok

kontrol di ruangan Hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang.

B. Saran

a. Bagi institusi pelayanan

Perawat hemodialisa dapat melanjutkan pemberian teknik

breathing exercise kepada pasien yang menjalani hemodialisa untuk

mengurangi fatigue pasien PGK yang menjalani hemodialisa di unit

hemodialisa Rumah Sakit Reksodiwiryo Padang.

b. Bagi Responden

Diharapkan bagi responden untuk dapat melakukan teknik

breathing exercise secara kontinyu untuk mengurangi fatigue setelah

menjalani hemodialisa karena breathing exercise dapat membantu

mengurangi fatigue pasien setelah menjalani hemodialisa agar dapat

meningkatkan kualitas hidup pasien hemodialisa.

c. Bagi institusi pendidikan

Institusi pendidikan perlu mendiskusikan mengenai pengembangan

tindakan mandiri keperawatan yang dapat di gunakan dalam mengatasi

masalah fatigue pada pasien yang menjalani hemodialisa. Dapat sebagai


bahan tambahan untuk memberikan terapi relaksasi terhadap fatigue

pasien yang menjlani hemodialisa.

d. Bagi Peneliti

Diharapkan peneliti selanjutnya meneliti tentang mengurangi

fatigue pasien PGK yang menjalani hemodialisa dengan metode yang

lebih inovatif dan lebih nyaman untuk mengurangi fatigue pasien

hemodialisa. Perlu dikembangkan lebih lanjut tentang breathing exercise

untuk terapi relaksasi terhadap penyakit lainnya.


DAFTAR PUSTAKA

Alisa, F .2013. Pengaruh pemberian progressive muscle relaxation (pmr) dan


edukasi tentang hemodialisis terhadap penurunan stres dan peningkatan
kepatuhan pembatasan cairan di RSUP dr. M Djamil Padang 2013. Tesis
tidak diterbitkan. Jakarta : magister ilmu keperawatan Universitas
Muhammadiyah Jakarta.

Armiyati. (2009). Komplikasi intradialitik yang dialami pasien chronic kidney


disease saat menjalani hemodialisis di RS PKU Muhammadiyah.
Yogyakarta. Tesis tidak dipublikasikan FIK U

Ayuandira, Ega. (2014). Pengaruh dukungan sosial terhadap penerimaan diri


pasien gagal ginjal dengan terapi hemodialisa di RSUP Dr M Djamil
Padang. Jurnal

Bakri. (2005). Deteksi dini dan upaya pencegahan progresifitas penyakit ginjal
kronik. Suplemen, 25 (3), 36-40

Bakris, George, et al. (2008). Prevalence and associations of anemia of CKD:


Kidney Early Evaluation Program (KEEP) and National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES) 1999-2004. .American Journal
of Kidney Diseases. 2008;5: S46-S55.

Black, J M., & Hawks, H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. (edisi 8. Buku 2).
Canada :Elsevier Subdres

Brunner, Suddarth. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta : ECG.

Cahyu. (2013). Pengaruh breathing exercise terhadap level fatigue pasien


hemodialysis di RSPAD Gatot Subroto. Jurnal Keperawatan Soedirman, 8
(1), 15-17

Creven & Himle. (2000). Fundamental of nursing human health and function.
Philadelphia : Lippincott

Dharma. (2011). Metodelogi Penelitian Keperawatan (pedoman melaksanakan


dan menerapkan hasil penelitian). Trans Info Media : Jakarta
Gorji ,M.A.H., et al.(2013). Physiological & Psychosocial Stressors Among
Hemodialysispatients in Educational Hospitals of Northern Iran.Indian
Journal of Palliative Care/Sep-Dec 2013 / Vol-19 / Issue-3

Gulanick & Myers. (2007). Nursing care plans: nursing diagnosis & intervention.
St Louis: Mosby

Himmelfarb. (2005). Core curriculum of nephrology. American Journal of Kidney


Disease, 45, (6), 1122-1131
Jameson, J. L., &Loscalzo, J.2013.Harrison :Nefrologidangangguanasambasa.
(Harrison’s nephrology and acid – base disordes). (Brahm U. Pendit,
Penerjemah). Jakarta : EGC

Jhamb. (2008). Fatigue in patients receiving maintenance dialysis: a review of


definitions, measures, and contributing factors. American Journal of
Kidney Disease,52 (2), 353-365

Kathleen, Gutch,C.F, Stoner,M.H & Corea, A.L. (2012). The FACIT fatigue
scale. Diakses pada tanggal 2 februari 2018 dari
http://www.flashbook.com

Keperawatan Universitas Andalas. Diakses pada tanggal 28 Desember 2017 dari


http://repository.unand.ac.id/

Kim,Saroensen, H.T., Kristensen,J.(2005). Effects of a relaxation breathing


exercise on fatigue in haemopoietic stem cell transplantation patients.
Journal of Clinical Nursing,14(1),51-55

Kliger. (2004). Why do my muscles feel weak when i am on dyalisis: American


association of kidney patient. Diakses pada tanggal 5 April 2015 dari
http://www. aakp.org/aakp

Lee, Lin, Chabayer, Chiang. (2007). The fatigue experiences of of hemodialysis


patient in Taiwan. Journal of clinician Nursing, 16 (2), 407-413

Liehr. (2005). Looking at symptoms with a middle range theory. Advance studies
in Nursing. Diakses pada tanggal 2 februari 2018 dari
http://www.jhasin.comls of patients with chronic obstructive pulmonary
disease. Nursing jurnal 38(2): 149-152

Lubkin & Larsen. (2007). Chronic ilness impact and intervention. Philadelphia:
Elsevier

Mallaoglu. (2009). Fatigue in people undergoing haemodialysis. Diakses pada


tanggal 2 februari 2018 dari http://www.interscience .wiley.com

Nijroder, Winat, Vries, Horst. (2009). Diagnosis during followw up of patient


presenting with fatigue in primary care. Canidian Medical Association
journal, 18 (10), 683-687

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

O’ Callaghan, C, (2009). At A Glance Sistem Ginjal, (the renal system at a


glance), (Yasmine Elizabeth, pernejemah), (edisi 2). Jakarta : Erlangga

Ossareh, Roozbeh, Krishan, Bragman. (2003). Fatigue in chronic peritoneal


dialysis patient.International urology, 13 (2), 15-16
PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia), 2016. Indonesian Renal
Registry.Bandung :Pernefri Indonesia

PERNEFRI.2014. Report of indonesia renal registry.(4th) 1 – 39.

Priyanto. 2010. Pengaruh Deep Breathing Exercise Terhadap Pengaruh Fungsi


Ventilasi Oksigenasi Paru Pada Klien Post Ventilasi Mekanik. Tesis.
Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakarta

Qurnia (2016) pengaruh breathing exercise terhadap level fatigue pasien PGK
yang menjalni hemodialisa di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun
2016 di akses darihttps://repository.fdk.ac.id/journal/detail/1916/pengaruh-
breath-exercise-terhadap-level-fatigue-pada-pasien-gagal-ginjal--kronis-
yang-menjalani-hemodialisa-di-rsud-achmad-mochtar-bukittinggi--tahun-
2016

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdaas). Kementrian Kesehatan RI tahun 2013.


Diakses dari
http;//www.depkes.go.id/resouce/downdload/general/Hasil1%20Riskesdas
%202013.pdf
Rosenthai, T.C., Majeroni, B.A., Pretorius, r.p.,& Malid,K. (2008). Fatigue: an
overview. American family phisican.

Rosyidi, Kholid. 2013. Prosedur Praktik Keperawatan Jilid 1. Trans Info Media:
Jakarta

Setiadi (2013). Konsep dan Praktek Penulisan Riset Keperawatan, Edisi 2.


Yogyakarta, Graha Ilmu

Smeltzer & Bare (2013), Buku Ajar Keperawtan Medikal Bedah Bruner &
Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC.

Smeltzer,S.C&Bare,B.G.(2010).Buku ajar keperawatan medical bedah


brunner&suddarth). (Ed 8 Vol 2).Jakarta : EGC.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, L, Simadibrata, M., &Setiati, S.2010. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. (Ed 5). Jilid II. Jakarta :Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:


Alfabeta.
Sulistiani, R. (2012). Gambaran Faktor Yang Berhubungan Dengan Fatigue Pada
Pasien Yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Dr. Moh. Hoesin
Palembang. Tesis telah dipublikasikan FIK UI. Jakarta.
The FACIT fatigue scale. Diakses pada tanggal 1 januari 2018 dari http://www.
flashbook.com
Tsay, Dassen, T.W.T, Halfen & Heuvel, W. (1995). Breathing-coordinated
exercise improves the quality of life in hemodialysis patients. Journal of
The American Society Of Nephrology,6(5), 1392-1400
WHO.2016. Adherence long-term therapies.Evidence for action. Diakses tanggal
7 Januari 2018: http://www.emro.who.int/ncd/publicity/adherence
Wilkinson. (2002). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan
kriteria hasil NOC.Jakarta:EGC
Zakerimoghadam et al. 2006. The effect of breathing exercise on the fatigue level
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth :
Bapak/IbuResponden
Di tempat

Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswa Prodi S1
Keperawatan STIKes Mercubaktijaya Padang bermaksud akan mengadakan
penelitian dengan judul ”Pengaruh Pemberian Teknik Breathing Exercise
Terhadap Skor Fatigue Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialisis di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Dr. Reksodiwiryo Padang”.
Nama : YESI DWIYANTI
Nim : 14121897
Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi
responden, karena kerahasiaan informasi yang diberikan akan dijaga dan akan
digunakan untuk kepentingan penelitian saja. Informasi yang didapat hanya akan
digunakan peneliti untuk kepentingan penelitian.
Peneliti berharap agar Bapak/Ibu berpartisipasi dalam penelitian ini dan
tanpa ada unsur paksaan. Jika terdapat hal yang kurang jelas mengenai penjelasan
penelitian ini, maka Bapak/Ibu dapat menanyakan langsung ke peneliti atau
melalui nomor HP 082288148776. Apabila Bapak/Ibu memutuskan kesediaanya
untuk ikut dalam penelitian ini, maka Bapak/Ibu silahkan menandatangani lembar
persetujuan menjadi responden yang terdapat di belakang lembaran ini. Jika
Bpak/Ibu tidak bersedia itu adalah hak Bapak/Ibu untuk menolak berpartisipasi
dan tidak akan ada paksaan dari peneliti. Atas kesediaan dan partisipasi
Bapak/Ibu, saya ucapkan terima kasih.

Padang, Juni 2018


Peneliti

(Yesi Dwiyanti)
FORMAT PERSETUJUAN

(INFORMED CONSENT)

Yang bertandatangan di bawahini :

Nama :

Umur :

Riwayat penyakit :

Jenis kelamin :

Lama menjalani HD :

Setelah membaca dan memahami penjelasan pada lembaran pertama, saya


bersedia menjadi responden dalam penelitian oleh saudari “Yesi Dwiyanti”
Mahasiswa STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang Program S1 Keperawatan
dengan judul ”Pengaruh Pemberian Teknik Breathing Exercise Terhadap
Skor Fatigue Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis di
Unit Hemodialisis Rumah Sakit Dr. Reksodiwiryo Padang Tahun 2018”.

Informasi dan data yang saya berikan adalah benar sesuai dengan kenyataan dari
pengalaman saya. Demikianlah persetujuan ini saya tanda tangani dengan sukarela
tanpa paksaan dan tekanan dari siapapun.

Padang, Agustus 2018

Responden

(
)
KUESIONER PENELITIAN PRE TEST

PENGARUH BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN SKOR

FATIGUE PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI

HEMODIALISA DI UNIT HEMODIALISA RUMAH SAKIT Dr.

REKSODIWIRYO PADANG TAHUN 2018

PETUNJUK PENGISIAN

1. Lembar evaluasi kelelahan diisi oleh peneliti sesuai dengan observasi dan

wawancara

2. Pengisian identitas responden dilakukan oleh peneliti

3. Kode responden 1-10 untuk kelompok intervensi dan kode 11-20 untuk

kelompok kontrol

A. IDENTITAS RESPONDEN

Nama inisial : Kode Responden

Umur :

Jenis kelamin :

Riwayat penyakit :

Lama menjalani HD :

B. NILAI LABORATORIUM PASIEN


Hemoglobin :
C. Kuesioner penelitian fungsional Terapi Skala Kelelahan

Petunjuk pengisian:

Berikut ini adalah pernyataan yang sesuai dengan kelelahan yang anda rasakan :

Harap lingkari atau tandai satu nomor perbaris untuk menunjukkan responden

anda yang dirasakan 7 hari terakhir !:

Tidak Sedikit Agak cukup sangat


1. Saya merasa lelah

2. Saya merasa tubuh terasa


lemah
3. Saya merasa tenaga terkuras
habis
4. Saya merasa letih
5. Saya mengalami kesulitan
memulai sesuatu karena saya
merasa lelah
6. Saya mengalami kesulitan
menyelesaikan sesuatu karena
saya merasa lelah
7. Saya memiliki tenaga untuk
beraktifitas
8. Saya bisa melakukan aktifitas
biasanya
9. Saya perlu tidur siang hari
10. Saya terlalu lelah untuk makan
11. Saya perlu bantuan untuk
kegiatan yang biasa saya lakukan
12. Saya putus asa menjadi terlalu
lelah melakukan hal hal yang
ingin saya lakukan
13. Saya harus membatasi kegiatan
sosial saya karena saya lelah
KUESIONER PENELITIAN POST TEST

PENGARUH BREATHING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN SKOR

FATIGUE PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK YANG MENJALANI

HEMODIALISA DI UNIT HEMODIALISA RUMAH SAKIT Dr.

REKSODIWIRYO PADANG TAHUN 2018

PETUNJUK PENGISIAN

4. Lembar evaluasi kelelahan diisi oleh peneliti sesuai dengan observasi dan

wawancara

5. Pengisian identitas responden dilakukan oleh peneliti

6. Kode responden 1-10 untuk kelompok intervensi dan kode 11-20 untuk

kelompok kontrol

D. IDENTITAS RESPONDEN

Nama inisial : Kode Responden

Umur :

Jenis kelamin :

Riwayat penyakit :

Lama menjalani HD :

E. NILAI LABORATORIUM PASIEN


Hemoglobin :
F. Kuesioner penelitian fungsional Terapi Skala Kelelahan

Petunjuk pengisian

Berikut ini adalah pernyataan yang sesuai dengan kelelahan yang anda rasakan :

Harap lingkari atau tandai satu nomor perbaris untuk menunjukkan responden

anda yang dirasakan 7 hari terakhir !:

Tidak Sedikit Agak cukup sangat


14. Saya merasa lelah

15. Saya merasa tubuh terasa


lemah
16. Saya merasa tenaga terkuras
habis
17. Saya merasa letih
18. Saya mengalami kesulitan
memulai sesuatu karena saya
merasa lelah
19. Saya mengalami kesulitan
menyelesaikan sesuatu karena
saya merasa lelah
20. Saya memiliki tenaga untuk
beraktifitas
21. Saya bisa melakukan aktifitas
biasanya
22. Saya perlu tidur siang hari
23. Saya terlalu lelah untuk makan
24. Saya perlu bantuan untuk
kegiatan yang biasa saya lakukan
25. Saya putus asa menjadi terlalu
lelah melakukan hal hal yang
ingin saya lakukan
26. Saya harus membatasi kegiatan
sosial saya karena saya lelah
DOKUMENTASI PENELITIAN
UJI NORMALITAS DATA

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

kelompok N Percent N Percent N Percent

skor fatigue setelah hd eksperimen 10 100.0% 0 .0% 10 100.0%


minggu 1
kontrol 10 100.0% 0 .0% 10 100.0%

skor fatigue setelah hd eksperimen 10 100.0% 0 .0% 10 100.0%


minggu ke 2
kontrol 10 100.0% 0 .0% 10 100.0%

Descriptives

Kelompok Statistic Std. Error

skor fatigue setelah hd eksperimen Mean 26.60 1.384


minggu 1
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 23.47

Upper Bound 29.73

5% Trimmed Mean 26.67

Median 27.50

Variance 19.156

Std. Deviation 4.377

Minimum 19

Maximum 33

Range 14

Interquartile Range 6

Skewness -.219 .687

Kurtosis -.506 1.334

kontrol Mean 23.50 2.078

95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 18.80

Upper Bound 28.20


5% Trimmed Mean 23.33

Median 24.00

Variance 43.167

Std. Deviation 6.570

Minimum 14

Maximum 36

Range 22

Interquartile Range 10

Skewness .392 .687

Kurtosis .168 1.334

skor fatigue setelah hd eksperi Mean 31.80 1.672


minggu ke 2 men 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 28.02

Upper Bound 35.58

5% Trimmed Mean 31.89

Median 31.50

Variance 27.956

Std. Deviation 5.287

Minimum 23

Maximum 39

Range 16

Interquartile Range 10

Skewness -.164 .687

Kurtosis -.913 1.334

kontrol Mean 23.10 1.663

95% Confidence Interval for Mean Lower Bound 19.34

Upper Bound 26.86

5% Trimmed Mean 22.89

Median 22.50

Variance 27.656

Std. Deviation 5.259

Minimum 15

Maximum 35
Range 20

Interquartile Range 6

Skewness 1.036 .687

Kurtosis 2.744 1.334

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

kelompok Statistic df Sig. Statistic df Sig.

skor fatigue setelah hd eksperimen .136 10 .200* .969 10 .881


minggu 1
kontrol .152 10 .200* .968 10 .870

skor fatigue setelah hd eksperimen .137 10 .200* .966 10 .848


minggu ke 2 kontrol .191 10 .200* .920 10 .359

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.


HASIL DATA SPSS

Rata rata skor fatigue sebelum dan sesudah di berikan breathing exercise
pada kelompok eksperimen

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

posthd1 10 19 33 26.60 4.377

posthd2 10 23 39 31.80 5.287

Valid N (listwise) 10

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

skor fatigue setelah hd pada


10 26.60 4.377 1.384
minggu 1

skor fatigue setelah hd pada


10 31.80 5.287 1.672
minggu ke 2

One-Sample Test

Test Value = 0

95% Confidence Interval of the


Difference

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper

skor fatigue setelah hd pada


19.219 9 .000 26.600 23.47 29.73
minggu 1

skor fatigue setelah hd pada


19.019 9 .000 31.800 28.02 35.58
minggu ke 2
Rata rata skor fatigue pengukuran l dan ll pada kelompok kontrol

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

posthd1 10 14 36 23.50 6.570

posthd2 10 15 35 23.10 5.259

Valid N (listwise) 10

One-Sample Statistics

N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

posthd1 10 23.50 6.570 2.078

posthd2 10 23.10 5.259 1.663

One-Sample Test

Test Value = 0

95% Confidence Interval of the


Difference

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper

posthd1 11.311 9 .000 23.500 18.80 28.20

posthd2 13.891 9 .000 23.100 19.34 26.86

perbedaan skor fatigue sebelum dan sesudah di berikan breathing exercise


pada kelompok eksperimen

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 posthd1 26.60 10 4.377 1.384

posthd2 31.80 10 5.287 1.672


Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 posthd1 & posthd2 10 .899 .000

Paired Samples Test

Paired Differences

95% Confidence Interval of


the Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair 1 posthd1 -
-5.200 2.348 .742 -6.879 -3.521 -7.005 9 .000
posthd2

Perbedaan skor fatigue pengukuran l dan ll pada kelompok kontrol

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 posthd1 23.50 10 6.570 2.078

posthd2 23.10 10 5.259 1.663

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 posthd1 & posthd2 10 .915 .000


Paired Samp

les Test

Paired Differences

95% Confidence
Interval of the
Difference
Std. Std. Error Sig. (2-
Mean Deviation Mean Lower Upper t df tailed)

Pair posthd1 -
.400 2.757 .872 -1.572 2.372 .459 9 .657
1 posthd2

Perbedaan skor fatigue pada kelompok eksperimen dan kontrol setelah


intervensi

Group Statistics

kelompok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

skor fatigue setelah hd eksperimen 10 31.80 5.287 1.672


minggu ke 2
kontrol 10 23.10 5.259 1.663
Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of
Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval


of the Difference
Sig. (2- Mean Std. Error
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper

skor Equal variances


.208 .654 3.689 18 .002 8.700 2.358 3.746 13.654
fatigue assumed
setelah hd
Equal variances not
minggu ke 3.689 17.999 .002 8.700 2.358 3.746 13.654
assumed
2
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : YESI DWIYANTI

Tempat, Tanggal Lahir : Surian, 08 Maret 1996


Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Asal : Surian
Alamat : Tambang, Surian

Nama Orang Tua


Ayah : Ridwan
Ibu : Martis

Riwayat Pendidikan
1. SD no 08 Tambang Tamat Tahun 2008

2. SMP Negeri 01 Surian Tamat Tahun 2011


3. SMA Negeri 01 Surian Tamat Tahun 2014
4. Program Studi S1 Keperawatan STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang Tahun
2014

Anda mungkin juga menyukai