Inflamasi Akut
Inflamasi Akut
Inflamasi Akut
Inflamasi Akut
Disusun Oleh:
Blok Homeostasis
2019/2020
Inflamasi atau peradangan merupakan suatu respon dari daerah jaringan yang mengalami
cedera untuk perlindungan tubuh. Lebih khususnya, inflamasi adalah reaksi vaskular yang
menimbulkan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut, dan sel-sel dari sirkulasi darah ke
jaringan-jaringan interstisial di daerah cedera atau nekrosis. Inflamasi-inflamasi pada bagian
tubuh seperti tenggorokan, kulit, dan jaringan lunak memberi pengaruh ketidaknyamanan pada
suatu individu. Meskipun begitu, inflamasi merupakan suatu respon positif yang dapat
menetralisir dan mengeliminasi antigen, eliminasi jaringan nekrotik, dan penstabilan atau
pemulihan. Reaksi inflamasi bersifat dinamik dan kontinu yang dilakukan oleh jaringan yang
memiliki mikrosirkulasi yang fungsional. Apabila cedera pada suatu jaringan luas, maka reaksi
inflamasi akan terjadi di bagian tepi yang mana merupakan bagian dari jaringan yang memiliki
sirkulasi utuh. (Price dan Wilson, 2006; Kumar, Abbas, dan Aster, 2015)
Peradangan berupa respon langsung tubuh yang bekerja secara cepat terhadap suatu
cedera disebut peradangan akut. Ciri dari peradangan akut berupa timbulnya cairan-cairan dan
eksudasi protein plasma dan akumulasi leukosit neutrofil yang banyak. Peradangan akut dapat
disebabkan oleh berbagai kondisi seperti infeksi (masuknya mikroorganisme ke jaringan), cedera
berupa trauma tumpul atau tajam dari agen fisis dan kimia, kematian sel atau kematian jaringan
akibat iskemia, berbagai jejas fisis dan kimia, serta hipersensitifitas imun baik terhadap
lingkungan maupun diri sendiri. (Price dan Wilson, 2006; Kumar, Abbas, dan Aster, 2015)
Kaskade mediator pada inflamasi akut ditandai dengan pelepasan lokal mediator kimiawi
Respon anti inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler
dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah :
1. Rubor (kemerahan), setelah vasokonstriksi sementara (beberapa detik), terjadi
vasodilatasi arteriol, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah dan penyumbatan
lokal (hiperemia) pada aliran darah kapiler selanjutnya. Pelebaran pembuluh darah ini
merupakan penyebab timbulnya warna merah (eritema). Terjadinya warna kemerahan ini
karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi
peningkatan aliran darah ke tempat cedera . (Kumar, Abbas, dan Robbins, 2007)
2. Kalor (rasa panas). Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana
rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di
daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila radang terdapat di
permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan
rasakan. (Kumar, Abbas, dan Robbins, 2007)
3. Dolor (rasa sakit). Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal. Pertama,
peregangan jaringan akibat adanya edema. Edema terjadi akibat adanya penumpukan
cairan di interstisium karena terjadi vasodilatasi yang dipicu oleh pelepasan histamin
yang dikeluarkan oleh sel mast. Kemudian pelepasan histamin juga mengakibatkan
peningkatan permeabilitas kapiler akibatnya pori-pori kapiler ikut membesar sehingga
protein plasma bisa keluar dan masuk ke dalam jaringan yang meradang. Terjadinya
kebocoran pada protein plasma ini mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
osmotic koloid pada daerah interstisium sehingga dapat menimbulkan rasa nyeri. Kedua,
adanya pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin,
bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang sehingga
dirasakan nyeri. (Rodwell et al, 2005)
4. Tumor (pembengkakan).
Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh
terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan
ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh
darah ke ruang interstitium. Campuran cairan dan sel-sel ini tertimbun di daerah
peradangan yang disebut eksudat yaitu cairan patologis dan sel yang keluar dari kapiler
dan masuk ke dalam jaringan yang mengalami peradangan. (Kumar, Abbas, dan Robbins,
2007)
5. Fungsiolaesa, fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena
inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi. (Kumar, Abbas, dan Robbins, 2007)
Mekanisme terjadinya inflamasi akut meliputi dua komponen utama, yaitu perubahan
vaskular dan perubahan pada sel. Perubahan vaskular yakni terjadinya peningkatan aliran darah
(vasodilatasi) dan perubahan struktural yang memungkinkan protein plasma meninggalkan
sirkulasi (peningkatan permeabilitas vaskular). Setelah terjadi vasokonstriksi beberapa saat maka
akan terjadi vasodilatasi arteriol menyebabkan peningkatan aliran darah dan penyumbatan lokal
(hyperemia) sehingga timbulnya warna merah (eritema) yang hangat. Selain itu, mikrovaskular
menjadi lebih permeabel menyebabkan masuknya cairan kaya protein dalam jaringan
ekstravaskuler lalu eritrosit lebih terkonsentrasi dengan baik, menyebabkan peningkatan
viskositas darah yang mampu memperlambat sirkulasi sehingga rongga pada sejumlah pembuluh
darah kecil dipadati eritrosit (stasis). Saat terjadi stasis, leukosit terutama neutrophil keluar dari
alirah darah lalu leukosit bertumpuk di sepanjang permukaan endotel pembuluh darah
(marginasi). Leukosit menyelip diantara sel endotel dan berpindah melewati dinding pembuluh
darah menuju jaringan interstisial. (Kumar, Abbas, dan Robbins, 2007; Cross, 2013)
Komponen kedua ialah perubahan pada sel, yakni emigrasi leukosit dari mikrosirkulasi dan
akumulasinya di focus jejas (rekrutmen dan aktivasi sel). Pada komponen ini akan melibatkan
empat (4) urutan kejadian, yaitu :
a. Marginasi dan Rolling.
Proses ini terjadi saat darah mengalir dari kapiler menuju venula pascakapiler, sel
dalam aliran ini dibersihkan oleh aliran darah laminar yakni aliran darah arus rendah
yang berfungsi membersihkan sel dalam sirkulasi yang melawan dinding pembuluh
darah. Peningkatan permeabilitas vaskular menyebabkan cairan keluar sehingga aliran
darah melambat. Hal ini membantu interaksi sel darah putih (leukosit) sehingga
menyebabkan sel leukosit terdorong/ lebih dekat berinteraksi dengan sel endotel. Sel
leukosit akhirnya terakumulasi pada sel endotel (marginasi) dan berguling-guling pada
sel endotel (rolling). Adhesi pada proses rolling oleh leukosit bersifat lebih longgar
karena adanya reseptor yang dikeluarkan pada sel endotel dan leukosit yaitu selektin yang
ditandai dengan bagian ekstraseluler yang mengikat gula tertentu. Adapun jenis-jenis
selektinnya; selektin E (CD62E) pada endotel, selektin P (CD62P) pada endotel dan
trombosit, selektin L (CD62L) pada permukaan sebagian besar leukosit. Selektin diatur
jika adanya rangsangan mediator spesifik (Kumar, Abbas, Robbins, 2007)
b. Adhesi dan Transmigrasi
Setelah terjadi proses marginasi dan rolling, leukosit akan menempel dengan kuat
pada proses adhesi. Molekul superfamily immunoglobulin pada sel endotel berinteraksi
dengan integrin pada permukaan sel leukosit. Molekul-molekus adhesi endotel meliputi;
ICAM-1 (Intercellular adhesion molecule dan VCAM-1 (Vaskular cell adhesion
molecule 1). Molekul-molekul ini diinduksi oleh sitokin seperti TNF dan IL-1.
Sedangkan, molekul-molekul adhesi leukosit yakni integrin meliputi LFA-1
(CD11a/CD18), Mac-1 (CD11b/CD18) dan VLA-4. Setelah melekat dengan kuat,
leukosit akan menembus pori-pori membrane kapiler menuju jaringan (diapedesis) yang
terjadi di venula pembuluh darah sitemik walaupun terjadi juga di kapiler pada sirkulasi
pulmonal. Pelepasan histamine menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
vaskular sehingga terjadinya intercellular junction pada sel endotel sehingga leukosit
mampu keluar dari pembuluh darah. (Kumar, Abbas, dan Robbins, 2007)
c. Kemotaksis dan Aktivasi
Setelah leukosit keluar dari pembuluh darah, leukosit bergerak menuju letak jejas
mendekati gradien kimiawi (kemotaksis). Zat endogen (berasal dari dalam organisme)
dan eksogen (berasal dari luar organisme) bersifat kemotaktik terhadap leukosit meliputi:
produk bakteri yang dapat larut, komponen sistem komplemen terutama C5a, produk
metabolism asam arakidonat (AA) jalur lipoksigenasi terutama leukotriene B4 (LTB4)
dan sitokin terutama kelompok kemokin. Molekul kemotaksis berikatan dengan reseptor
yang ada pada leukosit sehingga protein G mengaktifkan fosfolipase-C. Fosfolipase C
menghidrolisis fosfatidilinositol bifosfat (PIP2) membrane plasma menjadi diasilgliserol
(DAG) dan inositol trifosfat (IP3). IP3 menyebabkan peningkatan kalsium intrasel
(keluar dari RE) menyebabkan terjadinya perakitan kontraktil sitoskletal untuk bergerak.
Leukosit bergerak dengn memperpanjang kaki semu (pseudopodia). Monomer aktin
dipolimerisasi menjadi filamen panjang. Filamen aktin ini harus di bongkar agar adanya
aliran kearah pseudopodia yang memanjang. Kemotaksis juga menginduksi respon lain
pada leukosit (aktivasi), meliputi :
1. Aktivasi protein kinase C yang diinduksi oleh DAG menyebabkan degranulasi
dan sekresi enzim lisosom sehingga terjadinya pembakaran oksidatif,
2. Aktivasi fosolipase A2 yang di induksi oleh kalsium dan DAG) meyebabkan
produksi metabolit AA.
3. Perubahan kalsium intrasel (meningkat atau menurun jumlah atau afinitas)
menyebabkan modulasi molekul adhesi leukosit. (Kumar, Abbas, dan Robbins,
2007)
d. Fagositosis dan Degranulasi
Setelah itu, leukosit akan melakukan proses fagositosis dan degranulasi yang
melibatkan tiga (3) proses yang meliputi; (1) proses pengenalan dan perlekatan partikel
pada leukosit yang menelan. Pengenalan dilakukan oleh reseptor fagositik dibantu
dengan adanya opsonin atau protein serum. Opsonin merupakan protein serum yang
melekat pada mikroba yang dapat meningkatkan efisiensi fagositosis. Opsonin ini dapat
berupa Immunoglobulin (Ig) G antibody, produk fragmen C3b dari aktivasi komplemen
dan kolektin atau lektin yang berikatan pada gugus gula mikroba. Mikroba yang
teropsonisasi tersebut akan berikatan dengan reseptor spesifik yaitu reseptor Fc (FcR)
untuk IgG, reseptor komplemen 1, 2, dan 3 (CR1, 2, dan 3) untuk fragmen komplemen,
dan C1q untuk kolektin. (2) Penelanan dan pembentukan vakuola fagositik. Pengikatan
partikel pada reseptor fagositik akan memicu penelanan mikroba tersebut. Saat tahap
penelanan, mikroba akan dikelilingi dengan pseudopodia yang memanjang hingga
membentuk vesikel sitosolik yang disebut dengan fagosom. Fagosom kemudian akan
berfusi dengan lisosom dan disebut dengan fagolisosom. (3) Pembunuhan dan degradasi
material yang ditelan. Pembunuhan dan degradasi material diperankan oleh beberapa zat
yang pertama yaitu ROS (Reactive Oxygen Species). Saat oksidasi NADPH akan
terbentuk H2O2 yang dapat digunakan langsung untuk degradasi. Namun apabila H2O2
tak dapat membunuh mikroba dengan efisien, maka H2O2 akan bereaksi dengan Cl-
membentuk HOCl dibantu enzim mieloperoksidase. Yang kedua yaitu NO, NO akan
bereaksi dengan superoksida membentuk senyawa radikal peroksinitrit. Yang terakhir
yaitu enzim pada granula, terdapat banyak enzim yang dapat mendegradasi mikroba.
Salah satu contohnya adalah asam protease yang akan mendegradasi bakteri didalam
fagolisosom. (Kumar, Abbas, dan Aster, 2017; Cross, 2013)
e. Terminasi Respon Inflamasi Akut
Inflamasi akan di terminasi karena mediator dari inflamasi memiliki umur yang pendek,
dan didegradasi setelah pelepasannya. Neutrofil juga memiliki umur yang pendek jika
telah bermigrasi di jaringan dan akan mati karena apoptosis selama hitungan jam hingga
satu sampai dua hari. Selain itu, ketika inflamasi terjadi, inflamasi juga akan memicu
serangkaian sinyal untuk terminasi reaksinya, sinyal ini dapat berupa produksi anti-
inflammatory lipoxins dan pelepasan anti-inflammatory cytokines. (Sattar, 2011; Kumar,
Abbas, dan Aster, 2017)
Gejala sisa radang akut tergantung pada jenis dan intensitas jejas, tempat jaringan yang
cedera, dan kemampuan tubuh untuk merespons. Namun, radang akut umumnya akan
menghasilkan satu dari tiga akibat berikut. Pertama, resolusi yakni regenerasi dan pemulihan
jaringan. Apabila jejas terbatas dan berumur pendek, kerusakan jaringan minimal atau tidak ada
yang rusak, dan jaringan yang cedera mampu mengakan regenerasi, maka hasil akhirnya struktur
dan fungsi kembali normal. (Kumar, Abbas, dan Aster, 2015)
Akibat yang kedua yaitu radang kronik. Radang kronik dapat terjadi setelah radang akut
apabila agen penyebab tidak dapat dihilangkan, atau bisa juga dijumpai pada awal timbulnya
jejas (misalnya infeksi virus atau respons imun terhadap antigen diri sendiri). Tergantung pada
luas cedera jaringan awal dan lanjut, dan juga pada kemampuan jaringan yang terkena untuk
tumbuh kembali, radang kronik dapat diikuti dengan restorasi struktur dan fungsi normal, atau
menimbulkan jaringan parut. (Kumar, Abbas, dan Aster, 2015)
Akibat yang ketiga adalah jaringan parut yang merupakan jenis pemulihan akibat kerusakan
jaringan yang cukup besar (seperti pembentukan abses) atau apabila radang terjadi pada jaringan
yang tidak dapat beregenerasi, dimana jaringan cedera akan diisi jaringan ikat. Pada organ
dimana dijumpai deposisi luas jaringan ikat sebagai upaya untuk menghilangkan kerusakan atau
sebagai akibat radang kronik, hasil akhir ialah pembentukan fibrosis, suatu proses yang dapat
mengganggu fungsi secara signifikan. (Kumar, Abbas, dan Aster, 2015)
DAFTAR PUSTAKA
Kumar V., Cotran R.S., Robbins S.L. (2007). Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Jakarta: EGC
Kumar V., Abbas, A. K., Aster, J.C., dan Robbins, S. L. (2017). Robbins Basic Pathology 10th
Edition. Philadelphia, PA: Elsevier/Saunders.
Kumar V., Abbas, A. K., Aster, J.C. (2015). Buku Ajar Patologi Robbins Edisi 9. Singapura:
Elsevier/Saunders
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6. Jakarta: EGC
Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. (2003). Harper’s Illustrated Biochemistry.
New York: McGrawHill
Sattar, H. A. (2011). Fundamentals of Pathology: Medical Course and Step 1 Review. USA :
Pathoma LLC