Isi Pemeriksaan Act

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. HEMOSTASIS
Hemostasis (haima=darah, stasis=tetap,berhenti), berarti darah tetap berada dalam
sistem pembuluh darah. terdapat beberapa komponen dalam mekanisme hemostasis,
yaitu: trombosit, endotel vaskuler, prokoagulan, plasma, protein fibrinolitik dan
protein antifibrinolitik. Semua komponen ini harus tersedia dalam jumlah cukup,
dengan fungsi yang baik serta tempat yang tepat untuk dapat menjalankan mekanisme
hemostasis dengan baik. Interaksi komponen ini dapat memacu terjadinya trombosis
disebut sebagai sifat protrombotik dan dapat juga menghambat proses trombosis yang
berlebihan, disebut sebagai sifat antitrombotik (Durachim & Astuti, 2018).
Faal hemostasis dapat berjalan normal jika terdapat keseimbangan antara faktor
protrombotik dan faktor antitrombotik. Hemostasis merupakan mekanisme normal
yang dilakukan oleh tubuh untuk menghentikan perdarahan pada lokasi yang
mengalami kerusakan atau luka. Hemostasis ini sebagai respon untuk menghentikan
keluarnya darah yang diperankan oleh spasme pembuluh darah, adhesi, agregasi
trombosit dan keterlibatan aktif faktor koagulasi. Dalam hemostasis terjadi
koordinasi dari endotel pembuluh darah, agregasi trombosit dan aktivasi jalur
koagulasi. Komponen-komponen tersebut berusaha menjaga agar darah tetap cair dan
tetap berada dalam sistem pembuluh darah. Fungsi utama mekanisme koagulasi
adalah menjaga keenceran darah (blood fluidity) sehingga darah dapat mengalir dalam
sirkulasi dengan baik (Oesman & Setiabudy, 2018).
Hemostasis merupakan proses penghentian perdarahan secara spontan dari
pembuluh darah yang mengalami kerusakan atau akibat putusnya atau robeknya
pembuluh darah, sedangkan trombosis terjadi apabila endothelium yang melapisi
pembuluh darah rusak atau hilang. Pada hemostasis terjadi vasokonstriksi inisial pada
pembuluh darah yang mengalami kerusakan sehingga aliran darah di sebelah distal
cedera akan terganggu (Durachim & Astuti, 2018).
Hemostasis memiliki 3 fase yaitu :
1. Hemostasis Primer merupakan pembekuan pada proses pembentukan
agregasi trombosit yang masih awal masih longgar dan bersifat sementara
pada tempat luka. Trombosit akan mengikat kolagen pada tempat luka
pembuluh darah dan diaktifkan oleh trombin yang terbentuk dalam

1
kaskade peristiwa koagulasi pada tempat yang sama, atau oleh ADP yang
dilepaskan trombosit aktif lainnya, trombosit akan berubah bentuk dan
dengan adanya fibrinogen, trombosit kemudian melakukan proses
agregasi untuk membentuk sumbat hemostatik ataupun trombus.
2. Hemostasis sekuder merupakan pembentukan jaring atau benang-benang
fibrin yang terikat dengan agregat trombosit sehingga terbentuk sumbatan
hemostatik atau trombus yang lebih kuat dan lebih stabil.
3. Hemostasis tersier merupakan pelarutan parsial atau total agregat
hemostatis atau trombus oleh plasmin (Durachim & Astuti, 2018).

B. PEMBEKUAN DARAH (KOAGULASI)


Proses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan
protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid dan ion
kalsium. Faktor pembekuan darah dinyatakan dalam angka romawi yang sesuai
dengan urutan ditemukannya ( lihat tabel 1).

Tabel 1. Faktor- faktor pembekuan darah (Oesman & Setiabudy, 2018)


Faktor Nama
I Fibrinogen
II Protrombin

III Tissue Faktor


IV Ion Kalsium
V Proaccelerin

VI -
VII Proconventin

VIII Anti Hemophilic Factor (AHF)

IX Plasma Tromboplastin
Component (PTC)
X Stuart Factor
XI Plasma Tromboplastin
Antecendent (PTA)
XII Hageman Faktor
XIII Fibrin Stabilizing Factor
- High Molekular Weight Kininogen

- Pre Kallikrein (PK)

2
Pembekuan darah (koagulasi) adalah suatu proses kimiawi protein-protein plasma
yang berinteraksi untuk mengubah molekul protein plasma besar yang larut, yaitu
fibrinogen menjadi gel stabil yang tidak larut disebut fibrin. Aktifitas jaringan,
peningkatan trombosit, peningkatan faktor-faktor koagulasi, dehidrasi, perubahan
asam-basa tubuh dan antigen-antigen yang bekerja pada pembekuan darah akan
meningkatkan aktifitas koagulasi baik jalur intrinsik maupun ekstrinsik (Prihadi,
2007).
Pembekuan terjadi melalui tiga langkah utama. Pertama, sebagai respon terhadap
rupturnya pembuluh darah atau kerusakan sel darah itu sendiri dan terjadi rangkaian
reaksi kimiawi kompleks yang dapat dikelompokkan menjadi jalur ekstrinsik dan
intrinsik. Pada rangkaian reaksi ini melibatkan banyak faktor pembekuan yang hasil
akhirnya adalah aktivator prothrombin. Kedua, aktivator prothrombin yang
mengkatalisis pengubahan prothrombin menjadi trombin. Selanjutnya, trombin akan
bekerja sebagai enzim untuk mengubah fibrinogen menjadi benang fibrin yang
merangkai trombosit, sel darah, dan plasma untuk membentuk bekuan (Sacher &
McPherson, 2000).

C. PEMERIKSAAN ACTIVATED COAGULATION TIME (ACT)


Coagulation time adalah lamanya waktu yang diperlukan darah untuk membeku
secara in vitro. Dalam tes ini hasilnya menjadi ukuran aktivitas faktor-faktor
pembekuan darah, terutama faktor-faktor yang membentuk tromboplastin dan faktor
yang berasal dari trombosit (Gandasoebrata, 2001)
Proses hemostasis pada tahap koagulasi selama ini diuji dengan beberapa
pemeriksaan dan yang paling sering dilakukan adalah tes APTT (Activated Partial
Thrombine Time) dan tes PT (Prothrombin Time). Tes ini dilakukan untuk menjamin
integritas secara keseluruhan sistem koagulasi dan untuk menentukan dimana letak
kelainan dari jalur intrinsik, ekstrinsik dan jalur bersama. Tes tersebut antara lain :
1. Tes APTT (Activated Partial Thrombine Time)
Pemeriksaan yang digunakan untuk mendeteksi defisiensi terhadap semua
faktor dari jalur intrinsik dan bersama. APTT juga secara umum digunakan
untuk memonitor terapi heparin.
2. Tes PT (Prothrombine Time)

3
Adalah tes yang digunakan untuk menentukan defisiensi dari jalur ekstrinsik
dan bersama. Secara umum digunakan untuk memonitor penggunaan terapi
antikoagulan oral.
3. Tes Fibrinogen (Quantitative Fibrinogen)
Adalah tes yang digunakan untuk mengukur kadar (kuantitas) fibrinogen dan
tidak daopat mendeteksi adanya kelainan kualitas (fungsi) dari fibrinogen.
4. Tes TT (Thrombine Time)
Adalah tes yang mengukur waktu yang dibutuhkan untuk membentuk bekuan
dari plasma setelah penambahan trombin dalam sejumlah fibrinogen normal
(Price dan Wilson, 1995; Sugianto, 2004).
Salah satu pemeriksaan koagulasi lainnya adalah Activated Coagulation
Time (ACT) pertama kali dideskripsikan oleh Hattersley pada tahun 1966 dan pada
dasarnya adalah uji koagulasi yang digunakan untuk memantau efek antikoagulan
heparin pada pasien yang menjalani operasi bypass, pada ECMO (oksigenasi
membran ekstrakorporel) yang menjalani angioplasti koroner transluminal perkutan,
pada hemofiltrasi atau hemodialisis (Anonim, 2014)
Pemeriksaan ACT dilakukan untuk memantau antikoagulasi heparin dosis tinggi,
khususnya selama operasi bypass kardiopulmoner. Pemeriksan tromboplastin parsial
teraktivasi (PTT), tes lainnya yang biasanya digunakan untuk memantau heparin,
tidak dapat digunakan untuk memantau tingkat heparin tinggi seperti itu karena PTT
tidak dapat membeku pada konsentrasi heparin yang tinggi. Waktu pemeriksaan ACT
jauh lebih singkat daripada PTT. Nilai rujukan ACT sangat bervariasi tergantung alat
dan metode yang dilakukan. Nilai berkisar antara 70 sampai 180 detik (Kratz & Cott,
2005).
Monitoring sangat penting pada terapi heparin karena bila dosis tidak mencukupi
untuk menghambat koagulasi akan terbentuk bekuan darah di sepanjang pembuluh
darah dan bila dosis heparin berlebihan akan terjadi komplikasi perdarahan yang
mangancam jiwa. Heparin dosis tinggi diberikan sebelum, selama dan beberapa saat
setelah operasi jantung. Selama operasi berlangsung, darah difiltrasi dan dioksigenasi
diluar tubuh menggunakan mesin jantung paru, dimana kontak darah dengan
permukaan artifisial mesin akan memacu koagulasi membentuk bekuan darah, dengan
dosis tinggi heparin akan mencegah terbentuknya bekuan darah (Anonim, 2014)
Prinsip pemeriksaan ACT adalah mengukur waktu terbentuknya fibrin
dengan cara interaksi sampel darah dengan activating agent kaolin pada alat,

4
kemudian secara elektronik diukur waktu terbentuknya serabut fibrin. Sampel darah
dapat berupa whole blood atau darah sitrat ( Anonim, 2014)
Ada beberapa batasan yang terkait dengan ACT. ACT kurang tepat daripada
PTT, dan pengujian tidak berkorelasi baik dengan PTT atau dengan konsentrasi
heparin (kadar antifactor Xa). Hasil dipengaruhi oleh berbagai variabel, termasuk
jumlah trombosit, fungsi trombosit, faktor defisiensi, suhu sekitar, hipotermia,
hemodilusi, dan antikoagulan lupus. Jika ada antikoagulan lupus, uji heparin (kadar
anti-faktor Xa) dapat digunakan untuk menentukan tingkat antikoagulasi. Aprotinin,
agen yang sering digunakan selama bypass kardiopulmoner untuk mengurangi
perdarahan, bisa mempengaruhi hasil beberapa metode ACT (Kratz & Cott, 2005).

5
BAB II
METODE

A. PRA ANALITIK (Anonim, 2014).


1. Alat dan Bahan
a. Alat
Pemeriksaan ACT menggunakan Alat Actlyke XL

Gambar 1 . Alat Actlyke XL (Anonim, 2014)

b. Sampling
i. Siapkan tourniquet
ii. Vacutainer
iii. Alkohol swab
iv. Plester

c. Bahan
Reagen MAX-ACT Tubes. Reagen ini mengandung cellite, kaolin, dan
partikel kaca yang merupakan suatu aktivator untuk mempercepat
pembentukan fibrin dengan cara mengaktivasi Factor XII.

6
Gambar 2. MAX-ACT Tubes (Anonim, 2014)

1. Persiapan pasien
i. Tidak ada persiapan khusus terhadap pasien yang melakukan
pemeriksaan ini
ii. Pasien tidak perlu berpuasa
iii. Pasien perlu ditanya riwayat penggunaan obat-obat anti koagulan seperti
heparin.

2. Persiapan reagen
i. Produk ini harus disimpan dalam wadah yang rapat dan disimpan
sesuai petunjuk.
ii. Jangan gunakan reagen yang kadaluarsa.
iii. Simpan reagen pada suhu 15-30 ° C

3. Persiapan Alat
Quality Control
Quality Control menggunakan 2 level kontrol yaitu normal dan abnormal,
dilakukan setiap minggu sekali.

4. Sampel
Sampel yang digunakan adalah whole blood tanpa menggunakan
antikoagulan. Pemeriksaan ini dilakukan cukup dengan menambahkan 0,5 cc
whole blood ke tabung MAX-ACT dan langsung dimasukkan ke alat
Actalyke

7
B. ANALITIK ( Anonim, 2014)
1. Prinsip Kerja
Pemeriksaan ini awalnya merupakan metode manual, instrumen ACT
otomatis kemudian diperkenalkan untuk meningkatkan kenyamanan tes. Sistem
uji otomatis seperti Actalyke memiliki tabung reaksi sekali pakai yang
kemudian ditambahkan sampel darah; tabung reaksi kemudian dimasukkan ke
instrumen di mana tabung diputar dan dihangatkan sampai 37 ° C (± 0,5 ° C)
sampai gumpalan fibrin terdeteksi secara mekanis. Setelah deteksi gumpalan,
tes berakhir, bel berbunyi, dan hasil ACT ditampilkan (dalam detik) pada LED
instrumen.
Metode pemeriksaan ACT menggunakan alat Actalyke ini menggunakan
prinsip mekanik, melibatkan pemantauan pergerakan steel ball dalam alat
menggunakan sensor magnetik. Ketika pembentukan gumpalan terjadi, untaian
fibrin mengubah gerakan steel ball, yang dideteksi oleh sensor. Waktu yang
dibutuhkan untuk titik akhir koagulasi dihitung dalam detik.

Gambar 3. Prinsip mekanik ACT (Anonim, 2014)

Setiap tabung reaksi Actalyke memiliki label barcode yang ditempelkan


padanya, yang dibaca oleh instrumen Actalyke untuk menentukan jenis
pengaktif tes. Nomor lot dan tanggal kedaluwarsa masing-masing tabung juga
diidentifikasi pada label barcode.

2. Prosedur Kerja
i. Buka flip-top tabung reaksi MAX-ACT.

8
ii. Masukkan 0,5 cc darah ke dalam tabung MAX-ACT, sesuai dengan
garis yang ditunjukkan.
iii. Tekan tombol start pada saat yang sama ketika darah ditambahkan ke
tabung.
iv. Tutup flip-top. Goyangkan dari sisi ke sisi dengan lembut.
v. Masukkan tabung MAX-ACT ke dalam instrumen tes
vi. Rotasi tabung 4-5 kali; lampu detektor hijau akan menyala atau "Tube
In" akan ditampilkan
vii. Ketika gumpalan dapat di deteksi , bel akan berbunyi dan hasil
tes ACT akan ditampilkan dalam hitungan detik.

C. PASKA ANALITIK
1. Penilaian Hasil Pengujian
Nilai rujukan berbeda tergantung alat dan reagen yang digunakan hal ini
ditunjukkan dari beberapa penelitian diantara nya seperti tabel dibawah ini.

Tabel 2. Nilai rujukan berdasarkan alat pemeriksaan (Anonim, 2014)


N Mean 2SD Reference Range
Actalyke XL 66 118 17 100-136 sec.
Actalyke MINI 49 115 18 97-133 sec.
Actalyke A2P 49 117 22 98-136 sec.
Hemochron 112 17 95-129 sec.

Tabel 3. Nilai Rujukan berdasarkan alat dan reagen (Anonim, 2014)


Test Instrument N Mean 2SD Reference Range
C-ACT Actalyke 3 123 26  97-149 sec.
Actalyke MINI 30 123 29  94-152 sec.
Actalyke XL 66 126 21 105-148 sec.
Hemochron 15 126 15 111-141 sec.
K-ACT Actalyke 35 123 28  93-150 sec.
Actalyke MINI 35 125 25 100-150 sec.
Actalyke XL 64 132 21 102-153 sec.
Hemochron 15 129 23 106-152 sec.
G-ACT Actalyke 44 185 38 147-223 sec.

9
Actalyke MINI 44 181 34 147-215 sec.
Actalyke XL 63 189 42 147-233 sec.
Hemochron 15 167 20 147-187 sec.

Pemeriksaan ini diukur dalam jumlah detik yang diperlukan agar gumpalan darah
terbentuk yaitu 70 hingga 120 detik yang merupakan jumlah waktu yang biasa bagi
darah untuk membeku tanpa heparin. Nilai ACT normal menunjukkan bahwa darah
yang diuji tidak mengandung heparin atau bahwa semua heparin dihambat oleh
protamin (pembalikan antikoagulasi paska operasi). Waktu 180 hingga 240 detik
adalah jumlah waktu yang biasa bagi darah untuk membeku dengan heparin. Ini
disebut kisaran terapeutik. Rentang terapeutik biasanya sekitar dua kali lipat dari
waktu pembekuan normal. Peningkatan ACT pada pasien dengan pemberian heparin
menunjukkan efek heparin yang diberikan. Penting untuk berada dalam kisaran ini
karena jika ACT terlalu rendah, pasien mungkin berada dalam bahaya pembentukan
gumpalan darah atau coagulopathy dan dosis heparin harus diturunkan. Jika ACT
terlalu tinggi, pasien mungkin berada dalam bahaya pendarahan sehingga dosis
heparin harus dinaikkan.

2. Interferensi
a. Jumlah trombosit
Nilai ACT akan memanjang dalam kasus trombositopenia ketika jumlah
trombosit <30-50 x 109 / L. Ini disebabkan karena peran trombosit dalam
hemostasis adalah menghasilkan faktor III dan faktor IV, membentuk dan
mentsabilkan sumbat trombosit. Ketika jumlah trombosit rendah semua
fungsi ini akan terganggu dan mengakibatkan pemanjangan nilai ACT.

b. Anti koagulan oral


Nilai ACT sensitif terhadap antikoagulan oral. Nilai ACT akan memanjang
jika pasien sebelumnya mengkonsumi obat anti koagulan oral karena obat ini
akan mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat pembentukan
fibrin.
c. Hemodilusi

10
Hemodilusi secara signifikan akan memperpanjang ACT dengan mengurangi
konsentrasi faktor pembekuan darah.
d. Aprotinin
Aprotinin merupakan agen yang sering digunakan selama bypass
kardiopulmoner untuk mengurangi perdarahan. Penggunaan aprotinin dapat
meningkatkan konsentrasi heparin sehingga memperpanjang nilai ACT.

KESIMPULAN

Hemostasis merupakan proses penghentian perdarahan secara spontan dari


pembuluh darah yang mengalami kerusakan atau akibat putusnya atau robeknya
pembuluh darah, sedangkan thrombosis terjadi apabila endothelium yang melapisi
pembuluh darah.

11
Pembekuan darah (koagulasi) adalah suatu proses kimiawi protein-protein plasma
yang berinteraksi untuk mengubah molekul protein plasma besar yang larut, yaitu
fibrinogen menjadi gel stabil yang tidak larut disebut fibrinbuluh darah rusak atau
Hilang
Pemeriksaan ACT dilakukan untuk memantau antikoagulasi heparin dosis tinggi,
khususnya selama operasi bypass kardiopulmoner

12
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. MAX-ACT


Durachim A, Astuti D. 2018. Hemostasis. Edisi ke I. Jakarta : BPPSDM Kemenkes,
pp: 3-11
Gandasoebrata. 2001. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta : Dian Rakyat. Hal 56-58
Kratz, A., & Van Cott, E. M. 2005. Activated Clotting Time. Point of Care: The
Journal of Near-Patient Testing & Technology, 4(2), pp:90–94
McPherson R, Pincus M. 2017. Henry’s Clinical Diagnosis and Management by
Laboratory Methods. 23rd ed. United States: Elsevier.
Oesman F, Setiabudy R. 2018. Hemostasis dan Trombosis. Edisi ke VI. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, pp :3-9
Price S.A. dan Wilson L.M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Cetakan I. Jakarta : EGC, pp:264-275.
Prihadi, H. 2007. “Pengaruh Waktu Aktifitas Fisik Ringan Terhadap Beda Rerata
Waktu Pembekuan dalam Sistem Koagulasi”. Karya Tulis Ilmiah. Semarang :
Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro Semarang
Sugianto. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke III. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, pp:547-564.
Sacher, R. A., dan R. A. McPherson. 2000. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan,
Laboratorium. Edisi ke-11. Terjemahan oleh dr. Brahm U. Pendit dan dr. Dewi
Wulandari. 2002. Jakarta: EGC Medical Publisher, hal:163-164
Wirawan R. 2011. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi. Edisi ke I. Jakarta : Badan
Penerbit FKUI, pp:267-275.

13

Anda mungkin juga menyukai