0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
59 tayangan31 halaman

Case Anestesi FF

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 31

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA HISTEREKTOMI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :
dr. Bambang Sutanto, Sp.An

Disusun Oleh:
Aditya Arifudin bachtiar, S.Ked J510185047
Retno Wulandari, S.Ked J510185038

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
GENERAL ANESTESI PADA HISTEREKTOMI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran

Disusun Oleh:
Aditya Arifudin bachtiar, S.Ked J510185047
Retno Wulandari, S.Ked J510185038

Telah dipresentasikan, disetujui dan di sahkan oleh bagian Program Pendidikan


Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Pada hari .....................................2018

Mengetahui :

Pembimbing :
dr. Bambang Sutanto, Sp.An (........................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Bambang Sutanto, Sp.An (........................................)

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tatalaksana untuk “mematikan” rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa
tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang mempelajari
tatalaksana unuk menjaga/ mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama
mengalami “kematian” akibat obat anestesi. Sedangkan anestesiologi adalah
cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian
anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan penderita yang mengalami
pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan hidup dasar, perawatan
intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaannya dengan
anestesi lokal antara lain, pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat
sedangkan pada anestesi umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh
syaraf perifer sedangkan anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada
anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran.
Tindakan pembedahan berdasarkan faktor resikonya dibagi menjadi
pembedahan minor dan mayor. Pembedahan minor adalah pembedahan yang dapat
menimbulkan trauma fisik yang minimal dengan resiko kerusakan yang minim.
Sedangkan pembedahan mayor sendiri adalah pembedahan yang dapat
menimbulkan trauma fisik yang luas dan resiko kematiannya sangat serius,
misalnya total abdominal histerektomy, resekresi kolon dan lain-lain.
Histerektomi adalah pengangkatan uterus melalui pembedahan, paling umum
dilakukan untuk keganasan dan kondisi bukan keganasan tertentu
(endometriosis/tumor), untuk mengontrol perdarahan yang mengancam jiwa dan
kejadian infeksi pelvis yang tak sembuh-sembuh atau ruptur uterus yang tidak dapat
diperbaiki. Sebelum dilakukan pembedahan ada tindakan yang paling penting
dilakukan yaitu anestesi atau pembiusan pada pasien. Tujuan dan teknik dari
anestesi umum yaitu menginduksi hilangnya kesadaran

3
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. DS
Usia : 41 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Nogosari Boyolali
Nomer RM : 0207xxx
Tanggal MRS : 04-09-2018

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Perdarahan pervaginam

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh keluar darah dari vagina sejak 2 minggu yang lalu, nyeri
perut (-), keputihan (-)

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat operasi : (+) SC 3x, kuretase 2x
Riwayat hipertiroid : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat DM : (-)
Riwayat asma : (-)
Riwayat sakit ginjal : (-)

4. Riwayat Alergi :
Alergi obat dan makanan : Disangkal

4
5

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
a) Keadaan Umum : Sedang
b) Kesadaran : Compos mentis
c) Tekanan Darah : 100/70 mmHg
d) Nadi : 80 kali/menit
e) Respirasi : 20 kali/menit
f) Suhu : Afebris

2. Pemeriksaan Fisik
a) Status Gizi
1) Berat Badan : 77 kg
2) Tinggi Badan : 150 cm
b) Kepala : dalam batas normal
c) Leher : dalam batas normal
d) Thorax
Paru : dalam batas normal
Jantung : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
e) Abdomen : dalam batas normal
f) Ekstremitas : akral hangat
6

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Hematologi
4 Seprtember 2018
Darah Rutin
Leukosit : 7,50 x 103
Eritrosit : 4,33 x 106
Hemoglobin : 11,1 g/Dl L
Hematokrit : 34,7 L
Trombosit : 358
Neutrofil : 63,6
Limfosit : 29,7
Monosit : 6,7
MCV : 80.2
MCH : 25,6 L
MCHC : 31,9 L
MPV : 7,7 fL L

Golongan Darah + Rhesus


Golongan Darah :O
Rhesus : Positif

Kimia Klinik
SGOT : 28 U/L
SGPT : 18
Ureum : 24 mg/dL
Creatinin : 0,70 mg/dL
GDS : 99,2

Sero imunologi
HbsAg : Non reaktif

2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos thorax : dalam batas normal
7

E. DIAGNOSIS
P3 A0 Abnormal uterine bleeding/AUB berulang riwayat SC 3x riwayat
kuret 2x
F. TINDAKAN / TATALAKSANA
Histerektomi
G. ASSESMENT MEDIS ANESTESI DAN SEDASI
Diagnosis Pre-operatif : Abnormal uterine bleeding/AUB berulang
Macam Operasi : Histerektomi
Tanggal Operasi : 4 September 2018

1. Keadaan Pra Induksi


a. Berat Badan : 77 kg
b. Tekanan Darah : 151/86 mmHg
c. Respirasi : 18 kali/menit
d. Nadi : 85 kali/menit
e. SpO2 : 99%
f. Alergi :Tidak
g. GCS :15, Compos mentis
h. Hb : 11,1 mg/dL
i. GDS : 99,2

2. Pemeriksaan Fisik
a. Anamnesis : Autoanamnesis
b. Jalan Nafas : Normal
- Buka mulut >2 jari
- Jarak thyromental >3 jari
- Mallampati score : II
- Gerakan leher maksimal

3. Status Fisik ASA


ASA II
8

4. Teknik Anestesi
a. Jenis : General Anestesi
b. Obat :
1) Fentanyl 100 mg
2) Atracurium besylate 25 mg
3) Propofol 120 mg
4) Sevofluorane = 1-2 %
5) N20/O2 = 2:3

5. Monitoring Durante Operasi


a. Obat
- Ketorolac 30 mg
- Tramadol 100 mg
- Ondancentron 4 mg
- Pethidine 50 mg

b. Infus
- Ringer Laktat 3 flab

c. Keterangan
- Induksi : 12.18 WIB
- Pasien siap insisi : 12.32 WIB
- Insisi mulai : 12:33 WIB
- Operasi selesai : 14:00 WIB

6. Pemantauan Tanda Vital


terlampir

7. Instruksi Pasca Anestesi dan Sedasi


a. Posisi : Supine
9

b. Analgesia :
- Pethidin 50 mg iv
- Tramadol 100 mg
- Ketorolac 30 mg
- Pethidin 100 mg dalam 500 ml cairan RL
c. Anti Emetik : Ondansentron 4mg
d. Infus : Ringer Laktat 20 tetes / menit
e. Makan / Minum : post operasi pasien sadar penuh tidak mual boleh
minum
f. Pemantauan : Tensi, Nadi, Nafas tiap 15 menit selama 1 jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan
anestesi umum dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi
lokal hilangnya rasa sakit setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh
tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada
anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak
terjadi kehilangan kesadaran Menurut bentuk fisiknya, anestesi umum dibagi
menjadi 2 macam yaitu anestesi inhalasi dan anestesi intravena.1

1. Stadium Anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anestesi, agar tidak membahayakan penderita, tetapi cukup adekuat untuk
melakukan operasi.
1. Stadium I (Stadium analgesi atau stadium disorientasi)
Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada
stadium ini, operasi kecil dapat dilakukan.
2. Stadium II (stadium delirium atau stadium eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada
stadium ini penderita bisa meronta-ronta, pernafasan irregular, pupil
melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi
(+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk
atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflek menelan dan kelopak
mata, dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini dapat
membahayakan penderita sehingga harus segera diakhiri. Keadaan ini
dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan
psikologis penderita dan induksi yang halus dan tepat.

10
11

3. Stadium III (Stadium operasi)


Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Stadium ini
dibagi menjadi 4 plana :
Plana I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan
abdominal
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya
(+), lakrimasi meningkat, reflek faring dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
Plana II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisis otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun
dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas
torakal, bola mata berhenti, pupil melebar dan reflek cahaya
menurun, reflek korne menghilang dan tonus otot makin
menurun.
Plana III : Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise
seluruh otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari
torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin
melebar dan reflek cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif,
reflek laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin
menurun.
Plana IV : Dari paralise semua otot intercostal sampai paralise
diafragma
Ditandai dengan paralise otot intercostal, pernafasan lambat,
ireguler dan tidak adekuat. Tonus otot makin menurun
sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, reflek cahaya negatif,
reflek spinchter ani negatif.
12

4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Disebut juga
stadium overdosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya
semua reflek, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti dengan
circulatory failure.1

2. Penilaian Dan Persiapan Pra Anestesi


Kegagalan untuk mempersiapkan keadaan pasien sering terjadi dan
biasanya dapat dihindari dengan mudah untuk mencegah kecelakaan yang
berhubungan dengan anestesi. Persiapan ini menyangkut setiap aspek
terhadap kondisi pasien dan tidak hanya permasalahan patologis yang
membutuhkan operasi.
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan
obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan
digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu
tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga
jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi
intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua system organ tubuh pasien.
13

c. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks.1

d. Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena
dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan. (2)(3)
1. Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
2. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
3. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat,
sehingga aktivitas rutin terbatas.
4. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak
dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.
5. Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
6. Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya
untuk transplantasi.1

e. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan
risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif
14

dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama


periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi
anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam
sebelum induksi anestesia.
f. Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit
15

g. Waktu dan cara pemberian premedikasi:


Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang
sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti
obat-obat dapat diberikan secara intravena, obat akan efektif dalam 3 -
5 menit. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan
belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi
intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila
diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali
atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
a) Analgesik narkotik
1) Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
2) Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
3) Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µg/kgBB
b) Analgesik non narkotik
1) Ketorolak
2) Asam mefenamat
3) Natrium diklofenak
4) Tramadol
c) Hipnotik
1) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
2) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
d) Sedatif
1) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
2) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis
0,1mg/kgBB
16

e) Antikolinergik
1) Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001
mg/kgBB
f) Anti emetic
1) Simetidin dan Ranitidin
2) Ondancentron

3. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi
dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi.Ruang pulih
sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau
masih memerlukan perawatan intensif di ICU.Dengan demikian pasien
pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan
karena operasi atau pengaruh anestesinya2.

Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang


perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Beberapa cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi
umum yaitu cara Aldrete dan Steward, dimana cara Steward mula-mula
diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang sangat luas
pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage.1,2

Tabel 1. Aldrete Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas 2


motorik atas perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas
perintah atau secara sadar. 1
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas
atas perintah atau secara sadar.
17

2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2


 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi
 Apneu/tidak bernafas 1

3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2


 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari
semula 1
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0

4 Kesadaran  Sadar penuh 2


 Bangun jika dipanggil
 Tidak ada respon atau belum sadar 1

5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2


 Pucat
 Sianosis 1

Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

Tabel 2. Steward Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli
 Tak ada respon 1

2 Jalan napas  Batuk atas perintah atau menangis 2


 Mempertahankan jalan nafas dengan baik
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan 1
nafas 0
18

3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2


 Gerakan tanpa maksud
 Tidak bergerak 1

Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.

Tabel 3. Robertson Scoring System

No. Kriteria Skor

1 Kesadaran  Sadar penuh, membuka mata, berbicara 4


 Tidur ringan
3
 Membuka mata atas perintah
 Tidak ada respon 2

2 Jalan napas  Batuk atas perintah 3


 Jalan nafas bebas tanpa bantuan
2
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi
kepala 1
 Tanpa bantuan obstruksi
0

3 Aktifitas  Mengangkat tangan atas perintah 2


 Gerakan tanpa maksud
1
 Tidak bergerak
0
19

Tabel 4. Scoring System untuk pasien anak

Tanda Kriteria
Tanda vital Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Reflek laryng dan pharyng Mampu menela, batuk, dan muntah
Gerakan Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
perkembangan
Muntah Muntah, mual pusing minimal
Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan
mendengkur
Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring System

Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
20

B. Histerektomi
1. Definisi
Istilah histerektomi berasal dari bahasa latin histeria yang berarti
kandungan, rahim, atau uterus, dan ectomi yang berarti memotong, jadi
histerektomi adalah suatu prosedur pembedahan mengangkat rahim yang
dilakukan oleh ahli kandungan.
Histerektomi adalah suatu prosedur operatif dimana seluruh organ dari
uterus diangkat. Histerektomi merupakan suatu prosedur non obstetrik
untuk wanita di negara Amerika Serikat.
Histerektomi adalah bedah pengangkatan rahim (uterus) yang sangat
umum dilakukan. namun organ-organ lain seperti ovarium, saluran tuba
dan serviks sangat sering dihapus sebagai bagian dari operasi.
Histeroktomi merupakan suatu tindakan penanganan untuk mengatasi
kelainan atau gangguan organ atau fungsi reproduksi yang terjadi pada
wanita. Dengan demikian, tindakan ini merupakan keputusan akhir dari
penanganan kelainan atau gangguan berdasarkan hasil pemeriksaan
dokter. Namun tindakan ini sangat berpengaruh terhadap system
reproduksi wanita. Diangkatnya rahim, tidak atau dengan saluran telur atau
indung telur akan mengakibatkan perubahan pada system reproduksi
wanita, seperti tidak bisa hamil, haid dan perubahan hormone.
Histerektomi adalah operasi pengangkatan kandungan (rahim,uterus) pada
seorang wanita, sehingga setelah menjalani ini dia tidak bisa lagi hamil
dan mempunyai anak. Histerektomi biasanya disarankan oleh dokter untuk
dilakukan karena berbagai alasan. Alasan utamanya dilakukan
histerektomi adalah kanker mulut rahim atau kanker rahim. 3,4
21

2. Indikasi dan Kontra Indikasi


A. Indikasi
1. Ruptur uteri
2. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol dengan cara-cara yang ada,
misalnya pada :
a) Atonia uteri
b) Afibrinogenemia atau hipofibrinogenemia pada solusio plasenta
dan lainnya.
c) Couvelaire uterus tanpa kontraksi.
d) Arteri uterina terputus.
e) Plasenta inkreta dan perkreta.
f) Hematoma yang luas pada rahim.
3. Infeksi intrapartal berat.
4. Pada keadaan ini biasanya dilakukan operasi Porro, yaitu uterus
dengan isinya diangkat sekaligus.
5. Uterus miomatosus yang besar.
6. Kematian janin dalam rahim dan missed abortion dengan kelainan
darah.
7. Kanker leher rahim. 6

B. Kontraindikasi
1. Atelektasis
2. Luka infeksi
3. Infeksi saluran kencing
4. Tromoflebitis
5. Embolisme paru-paru.
6. Terdapat jaringan parut, inflamasi, atau perubahan endometrial pada
adneksa
7. Riwayat laparotomi sebelumnya (termasuk perforasi appendix) dan
abses pada cul-de-sac Douglas karenadiduga terjadi pembentukan
perlekatan.
22

3. Jenis-jenis Histerektomi
a. Histerektomi parsial (subtotal)
Pada histerektomi jenis ini, rahimn diangkat, tetapi mulut rahim (serviks)
tetap dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena kanker
mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear (pemeriksaan
leher rahim) secara rutin. 3,4
b. Histerektomi total
Pada histerektomi ini, rahim dan mulut rahim diangkat secara
keseluruhan. 3,4
Keuntungan dilakukan histerektomi total adalah ikut diangkatnya serviks
yang menjadi sumber terjadinya karsinoma dan prekanker. Akan tetapi,
histerektomi total lebih sulit daripada histerektomi supraservikal karena
insiden komplikasinya yang lebih besar. 7
Operasi dapat dilakukan dengan tetap meninggalkan atau mengeluarkan
ovarium pada satu atau keduanya. Pada penyakit, kemungkinan
dilakukannya ooforektomi unilateral atau bilateral harus didiskusikan
dengan pasien. Sering kali, pada penyakit ganas, tidak ada pilihan lain,
kecuali mengeluarkan tuba dan ovarium karena sudah sering terjadi
mikrometastase. 7
Berbeda dengan histerektomi sebagian, pada histerektomi total seluruh
bagian rahim termasuk mulut rahim (serviks) diangkat. Selain itu,
terkadang histerektomi total juga disertai dengan pengangkatan beberapa
organ reproduksi lainnya secara bersamaan. Misalnya, jika organ yang
diangkat itu adalah kedua saluran telur (tuba falopii) maka tindakan itu
disebut salpingo. Jika organ yang diangkat adalah kedua ovarium atau
indung telur maka tindakan itu disebut oophor. Jadi, yang disebut
histerektomi bilateral salpingo-oophorektomi adalah pengangkatan
rahim bersama kedua saluran telur dan kedua indung telur. Pada tindakan
histerektomi ini, terkadang juga dilakukan tindakan pengangkatan bagian
atas vagina dan beberapa simpul (nodus) dari saluran kelenjar getah
23

bening, atau yang disebut sebagai histerektomi radikal (radical


hysterectomy). 5
Ada banyak gangguan yang dapat menyebabkan diputuskannya tindakan
histerektomi. Terutama untuk keselamatan nyawa ibu, seperti
pendarahan hebat yang disebabkan oleh adanya miom atau persalinan,
kanker rahim atau mulut rahim, kanker indung telur, dan kanker saluran
telur (falopi). Selain itu, beberapa gangguan atau kelainan reproduksi
yang sangat mengganggu kualitas hidup wanita, seperti miom atau
endometriosis dapat menyebabkan dokter mengambil pilihan
dilakukannya histerektomi. 5

c. Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral


Histerektomi ini mengangkat uterus, mulut rahim, kedua tuba falopii, dan
kedua ovarium. Pengangkatan ovarium menyebabkan keadaan penderita
seperti menopause meskipun usianya masih muda. 3,4

d. Histerektomi radikal
Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan dan kelenjar
limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada beberapa
jenis kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan nyawa penderita. 3,4

Histerektomi dapat dilakukan melalui 3 macam cara, yaitu abdominal,


vaginal dan laparoskopik. Pilihan ini bergantung pada jenis histerektomi yang
akan dilakukan, jenis penyakit yang mendasari, dan berbagai pertimbangan
lainnya. Histerektomi abdominal tetap merupakan pilihan jika uterus tidak
dapat dikeluarkan dengan metode lain. Histerektomi vaginal awalnya hanya
dilakukan untuk prolaps uteri tetapi saat ini juga dikerjakan pada kelainan
menstruasi dengan ukuran uterus yang relatif normal. Histerektomi vaginal
memiliki resiko invasive yang lebih rendah dibandingkan histerektomi
abdominal. Pada histerektomi laparoskopik, ada bagian operasi yang
dilakukan secara laparoskopi 3,4
24

4. Pemeriksaan Diagnostik
a. USG
Untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium
dan keadaan adnexa dalam rongg apelvis. Mioma juga dapat dideteksi
dengan CT scan ataupun MRI, tetapi kedua pemeriksaan itu lebih mahal
dan tidak memvisualisasi uterus sebaik USG. Untungnya
leiomiosarkoma sangat jarang karena USG tidak dapat
membedakannya dengan mioma dan konfirmasinya membutuhkan
diagnose jaringan.
b. Foto BNO/IVP pemeriksaan ini penting untuk menilai masaa di rongga
pelvis serta menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter
c. Histerografi dan histeroskopi untuk menilai pasien mioma submukosa
disertai dengan infertilitas.
d. Laparoskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis
e. Laboratorium, darah lengkap, urine lengkap, gula darah, tes fungsi hati,
ureum, kreatinin darah.
f. Tes kehamilan
25

g. D/K (dilatasi dan kuretase) pada penderita yang disertai perdarahan


untuk menyingkirkan kemungkinan patologi pada rahim (hyperplasia
atau adenokarsinoma endometrium). 3,4

5. Efek Samping dan Komplikasi


a. Efek Samping
Efek samping yang utama dari histerektomi adalah bahwa seorang wanita
dapat memasuki masa menopause yang disebabkan oleh suatu operasi,
walaupun ovariumnya masih tersisa utuh. Sejak suplai darah ke ovarium
berkurang setelah operasi, efek samping yang lain dari histerektomi yaitu
akan terjadi penurunan fungsi dari ovarium, termasuk produksi
progesterone.
1. Efek samping Histerektomi yang terlihat :
a. Perdarahan intraoperatif
Biasanya tidak terlalu jelas, dan ahli bedah ginekologis sering kali
kurang dalam memperkirakan darah yang hilang (underestimate).
Hal tesebut dapat terjadi, misalnya, karena pembuluh darah
mengalami retraksi ke luar dari lapangan operasi dan ikatannya lepas
b. Kerusakan pada kandung kemih
Paling sering terjadi karena langkah awal yang memerlukan diseksi
untuk memisahkan kandung kemih dari serviks anterior tidak
dilakukan pada bidang avaskular yang tepat.
c. Kerusakan ureter
Jarang dikenali selama histerektomi vaginal walaupun ureter sering
kali berada dalam resiko kerusakan. Kerusakan biasanya dapat
dihindari dengan menentukan letak ureter berjalan dan menjauhi
tempat tersebut.
d. Kerusakan usus
Dapat terjadi jika loop usus menempel pada kavum douglas,
menempel pada uterus atau adneksa. Walaupun jarang, komplikasi
yang serius ini dapat diketahui dari terciumnya bau feses atau
26

melihat material fekal yang cair pada lapangan operasi.


Pentalaksanaan memerlukan laparotomi untuk perbaikan atau
kolostomi
e. Penyempitan vagina yang luas
Disebabkan oleh pemotongan mukosa vagina yang berlebihan.
Lebih baik keliru meninggalkan mukosa vagina terlalu banyak
daripada terlalu sedikit. Komplikasi ini memerlukan insisi lateral
dan packing atau stinit vaginal, mirip dengan rekonstruksi vagina.

b. Komplikasi
1. Hemoragik
Keadaan hilangnya cairan dari pembuluh darah yang biasanya terjadi
dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak. Keadaan ini
diklasifikasikan dalam sejumlah cara yaitu, berdasarkan tipe pembuluh
darah arterial, venus atau kapiler, berdasarkan waktu sejak dilakukan
pembedahan atau terjadi cidera primer, dalam waktu 24 jam ketika
tekanan darah naik reaksioner, sekitar 7-10 hari sesudah kejadian
dengan disertai sepsis sekunder, perdarahan bisa interna dan eksterna.
2. Thrombosis vena
Komplikasi hosterektomi radikal yang lebih jarang terjadi tetapi
membahayakan jiwa adalah thrombosis vena dalam dengan emboli
paru-paru, insiden emboli paru-paru mungkin dapat dikurangi dengan
penggunaan ambulasi dini, bersama-sama dengan heparin subkutan
profilaksis dosis rendah pada saat pembedahan dan sebelum mobilisasi
sesudah pembedahan yang memadai.
3. Infeksi
Infeksi oleh karena adanya mikroorganisme pathogen, antitoksinnya
didalam darah atau jaringan lain membentuk pus.
4. Pembentukan fistula
Saluran abnormal yang menghubungkan 2 organ atau menghubungkan
1 organ dengan bagian luar. Komplikasi yang paling berbahaya dari
27

histerektomi radikal adalah fistula atau striktura ureter. Keadaan ini


sekarang telah jarang terjadi, karena ahli bedah menghindari pelepasan
ureter yang luas dari peritoneum parietal, yang dulu bisa dilakukan.
Drainase penyedotan pada ruang retroperineal juga digunakan secara
umum yang membantu meminimalkan infeksi. 3,4
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Pre Operasi
Pasien direncanakan operasi histerektomi. Sebelum dilakukan operasi tanda
vital pasien; TD: 155/85 mmHg, N: 80x/menit, S: afebris, SpO2: 99%, hb : 11,1
mg/dL, GDS : 99,2 dan GCS :15 (E4V5M6). Pasien memiliki riwayat operasi
seksio caesaria 3x (+), riwayat kuretase 2x (+), alergi (-), asma (-), DM (-),
hipertensi (-).

2. Durante Operasi
Sebelum dilakukan tindakan operatif pada pasien ini diputuskan akan
dilakukan General anestesi. Induksi anestesi pada pasien ini dimulai dengan
pemberian Fentanyl 100 mg untuk memberi efek analgetik menyebabkan
hilangnya rasa sakit pada tubuh. Kemudian obat propofol 120 mg untuk
memberikan efek hipnotik yang mempengaruhi kesadaran pasien. Kemudian
terakhir diberikan obat Atracurium 25 mg untuk memberi efek pelumpuh otot.
Setelah semua obat induksi diberikan, Kemudian prosedur intubasi
dilakukan dengan cara membuka jalan nafas dengan laringoskop machiyos
ukuran no. 3 lalu memasukkan endotrakeal tube kinking ukuran 7.0 ke dalam
trakea, dengan level pipa di mulut 20 sehingga jalan nafas bebas hambatan dan
nafas mudah dikendalikan.
Setelah itu pernafasan dibantu dengan ventilator karena keadaan depresi
nafas yang terjadi. Sebagai obat pemeliharaan diberikan gas N2O, O2 dan obat
sevoflurane 1-2% secara inhalasi.

3. Post Operasi
Pasien dibawa ke ruang pulih sadar (recovery room) dan dipantau tanda
vitalnya. Tanda vital pasien nadi : 95x/menit, TD : 140/85 mmHg, SpO2: 99%.
Pasien diberikan oksigen nasal sebanyal 3 liter per menit. Skor aldrete pada saat

28
29

pasien masuk ruang pulih sadar adalah 9 dengan rincian warna kulit (2), aktifitas
motorik (1), pernapasan (2), tekanan darah (2), kesadaran (2). Skor aldrete pada
pasien >8 maka pasien dapat dipindahkan ke bangsal.
BAB V

KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien terdiagnosa AUB berulang. Dilakukan operasi


histerektomi menggunakan general anestesi. Dalam operasi ini menggunakan
General anestesi atas dasar indikasi pembedahan berlangsung lama. Obat anastesi
yang digunakan untuk induksi adalah fentanyl 100 mg, notrixum 25 mg, recofol
120mg. Obat-obat yang diberikan selama anestesi berlangsung ondansetron 4 mg
untuk mencegah terjadinya mual dan diberikan petidin 50 mg, tramadol 100mg
sebagai pereda nyeri.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Soenardjo dan Jatmiko H.D.. Anestesiologi. Semarang : IDSAI. 2010


2. Handoko, Tony.Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI,
edisi ke- 4. Jakarta:Gaya baru. 1995
3. Bagian obstetri & gineekologi FK. Unpad.. Ginekologi. Bandung : Elstar.
1993
4. Friedman, Borten, Chapin. Seri skema Diagnosa & penatalaksanaan
Ginekologi Edisi 2. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 1998
5. Kasdu, Dini.. Solusi Problem Wanita Dewasa. Jakarta: Puspa Swara. 2008
6. Mochtar, Rustam. Sinopsis Obstetri. Jilid 2. Edisi 2. Jakarta: EGC. 1998
7. Rasjidi, Imam. Manual Histerektomi. Jakarta: EGC. 2008

31

Anda mungkin juga menyukai