0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
191 tayangan28 halaman

Referat - Meningitis Bakterial

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 28

REFERAT

MENINGITIS BAKTERIAL

Oleh :
Muhammad Iqbal Hermawan 142011101027

Pembimbing :
dr. H. Usman G. Rangkuti, Sp.S

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya


KSM Ilmu Penyakit Saraf di RSD dr. Soebandi Jember

KSM ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
2019
BAB 1. PENDAHULUAN

Susunan syaraf pusat dan selaput pembungkusnya yang terlindungi


dengan baik oleh tulang tengkorak dan tulang belakang oleh sebab tertentu dapat
mengalami inflamasi sehingga menyebabkan berbagai macam manifestasi klinis.
Inflamasi yang terjadi pada selaput otak dan sumsung tulang belakang atau
meninges disebut meningitis. Pada umumnya meningitis disebabkan oleh infeksi
kuman patogen yang menginvasi meninges melalui pembuluh darah dibagian lain
dari tubuh, seperti virus, bakteri, spiroketa, fungus, protozoa dan metazoa.
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri.
Meningitis menyebabkan berbagai macam gejala klinis dari ringan
sampai berat seperti demam, mual-muntah, nafsu makan menurun, sakit kepala,
kejang, penurunan kesadaran, dan defisit neurologis lain yang dapat berlangsung
lama atau menetap dan bahkan dapat menyebabkan kematian.
Meningitis dapat mengenai semua ras, di Amerika Serikat dilaporkan ras
kulit hitam lebih banyak menderita meningitis dibandingkan ras kulit putih. Pada
sebagian besar kasus, sekitar 70% kasus meningitis terjadi pada anak dibawah
usia 5 tahun dan orang tua diatas usia 60 tahun. Insidens rate meningitis akibat
bakteri di Amerika Serikat mengenai 3 per 100.000 penduduk pertahun,
sedangkan karena virus di Amerika Serikat 10 per 100.000 penduduk pertahun.
Di Indonesia, infeksi susunan saraf pusat menduduki urutan ke 10 dari
urutan prevalensi penyakit. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun
2007, angka kematian akibat meningitis dan ensefalitis mencapai 0.8% dari
seluruh kematian yang terjadi pada semua golongan umur. Pada penelitian
tersebut didapatkan meningitis dan ensefalitis menempati peringkat ke-7 atau
3.2% dari seluruh kematian akibat penyakit menular.
Masih banyaknya kematian yang disebabkan oleh meningitis harus
menjadi perhatian bagi pihak pemerintah maupun kalangan medis, oleh karena itu
pemahaman yang baik tentang etiologi dan patofisiologi meningitis merupakan
bagian kunci untuk membantu dokter dan tenaga medis lainnya dalam membuat
diagnosis dini dan penatalaksanaan yang sesuai.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI MENINGES


Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya
adalah pachymeninx atau duramater dan lapisan dalamnya, leptomeninx, dibagi
menjadi arachnoidea dan piamater.
1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat
dengan suatu lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua
lapisan dural yang melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat
dimana keduanya berpisah untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus
(sebagian besar sinus venosus terletak di antara lapisan-lapisan dural), dan di
tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di antara bagian-bagian otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke
dalam tulang itu sendiri, lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis. Septa kuat
yang berasal darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua
hemispherium terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista
galli dan meluas ke crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis
interna, tempat dimana duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas
ke dua sisi. Falx cerebri membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa
sehingga masing-masing hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium
cerebelli terbentang seperti tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa
craniii posterior. Tentorium melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis
dan pinggir atas os petrosus dan processus clinoideus. Di sebelah oral ia
meninggalkan lobus besar yaitu incisura tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri.
Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater, terbenam dalam dua lamina dura.
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges

2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan
hanya terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia
menutupi spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum
subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa
yang membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang
saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam
sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi
arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis
superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki
circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke
dalam tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater
yang secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum,
namun rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar
otak. Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama
menurut struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas
dengan cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas
subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini
bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak
pada aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di
bawah cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis.
Rongga ini dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna
supraselaris di atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara
peduncle cerebrum. Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis
dinamakan cisterna fissure lateralis (cisterna sylvii).
3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang
menutupi permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus, fissure dan sekitar
pembuluh darah di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure
transversalis di abwah corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela
choroidea dari ventrikel tertius dan lateralis, dan bergabung dengan ependim dan
pembuluh-pembuluh darah choroideus untuk membentuk pleksus choroideus dari
ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim berjalan di atas atap dari ventrikel
keempat dan membentuk tela choroidea di tempat itu.

2.2 LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)


1. Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket
pelindung dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur
komposisi ion, membawa keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai
pumbuluh limfe), dan memberikan beberapa perlindungan terhadap perubahan-
perubahan tekanan (volume venosus volume cairan cerebrospinal).
2. Komposisi dan Volume
Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal
rata-ratanya yang lebih penting diperlihatkan pada tabel.
Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal

LCS terdapat dalam suatu system yang terdiri dari spatium liquor
cerebrospinalis internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan
antara keduanya melalui dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen
Luscka) dan apetura medial dari ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada
orang dewasa, volume cairan cerebrospinal total dalam seluruh rongga secara
normal ± 150 ml; bagian internal (ventricular) dari system menjadi kira-kira
setengah jumlah ini. Antara 400-500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan
direabsorpsi setiap hari.
3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air;
perubahan yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan.
Tekanan meningkat bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya,
pada tumor), volume darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal
(pada hydrocephalus) karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku
dari tulang yang tidak dapat menyesuaikan diri terhadap penambahan volume
tanpa kenaikan tekanan.
4. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus
lateralis ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii
masuk ke ventriculus quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor
cerebrospinalis externum melalui foramen lateralis dan medialis dari ventriculus
quartus. Cairan meninggalkan system ventricular melalui apertura garis tengah
dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki rongga subarachnoid. Dari sini
cairan mungkin mengalir di atas konveksitas otak ke dalam rongga subarachnoid
spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh
kecil di piamater atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot
arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah –
kebanyakan di atas konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum
harus ada untuk mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi
cairan cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan
produksi dan reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.

Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis


2.3 Definisi
Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada
meninges, yaitu lapisan membran yang melapisi otak dan sumsum tulang
belakang. Membran yang melapisi otak dan sumsum belakang ini terdiri dari tiga
lapisan yaitu: (a) Duramater, merupakan lapisan terluar dan keras (b) Arachnoid,
merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang mirip sarang laba-laba, dan
(c) piamater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak yang
mengikuti alur otak membentuk gyrus dan sulcus. Gabungan antara lapisan
arachnoid dan piamater disebut leptomeninges. Ruang-ruang potensial pada
meninges dilewati oleh banyak pembuluh darah yang berperan penting dalam
penyebaran infeksi pada meninges. Meningitis bakteri adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh bakteri pada selaput otak dan sumsum tulang belakang.

2.4 Epidemiologi
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya meningitis.
Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dan
distribusi terlihat lebih nyata pada bayi. Meningitis purulenta lebih sering terjadi
pada bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk
sempurna. Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-
ekonomi rendah, lingkungan yang padat, dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis
banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang dibandingkan pada negara
maju.
Di Amerika Serikat, sebelum pemberian rutin vaksin conjugate-
pneumococcal, insidens dari meningitis bakteri ± 6000 kasus per tahun dan sekitar
setengahnya adalah pasien anak (≤18 tahun). N. meningitidis menyebabkan 4
kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Sedangkan S.pneumoniae
menyebabkan 6,5 kasus per 100.000 anak (usia 1 – 23 bulan). Angka ini menurun
setelah pemberian rutin dari vaksin conjugate-pneumoccal pada anak-anak.
Pengenalan dari vaksin meningococcal baru-baru ini di Amerika Serikat
diharapkan dapat mengurangi insidens meningitis bacterial di kemudian hari.
Insidens dari meningitis bakterial pada neonatus sekitar 0,15 kasus per 1000 bayi
lahir cukup bulan dan 2,5 kasus per 1000 bayi lahir kurang bulan (premature).
Hampir 30% bayi baru lahir dengan klinis sepsis, berhubungan dengan adanya
meningitis bakterial. Sejak adanya pemberian antibiotik inisiasi intrapartum tahun
1996, terjadi penurunan insidens nasional dari onset awal infeksi GBS (Group B
Streptococcus) dari hampir 1,8 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 1990
menjadi 0,32 kasus per 1000 bayi lahir hidup pada tahun 2003.
Secara umum, mortalitas dari meningitis bacterial bervariasi menurut usia
dan jenis pathogen, dengan angka tertinggi untuk S.pneumoniae. Mortalitas pada
neonatus tinggi dan meningitis bakterial juga menyebabkan long term sequelae
yang menyebabkan morbiditas pada periode neonatal. Mortalitas tertinggi yakni
pada tahun pertama kehidupan, menurun pada pertengahan (mid life) dan
meningkat kembali di masa tua. Insidens lebih banyak pada kulit hitam. Bayi laki
– laki lebih sering terkena meningitis gram negatif, bayi perempuan lebih rentan
terhadap infeksi L.monocytogenes , sedangkan Streptococcus agalactiae (GBS)
mengenai kedua jenis kelamin.

2.5 Faktor Risiko


Faktor resiko terjadinya meningitis:
 Usia, biasanya pada usia kurang dari 5 tahun dan lebih dari 60 tahun
 Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh
 Dabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal
 Infeksi
 Anemia sel sabit dan splenektomi
 Alkoholisme, sirosis hepatis
 Riwayat kontak dengan pasien meningitis
 Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi
 Ventriculoperitoneal shunt

2.6 Etiologi
Banyak faktor yang mempengaruhi etiologi penyakit meningitis bakteri.
Beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain usia, faktor-faktor risiko (seperti
gangguan imunitas, sinusitis, trauma kepala, dan sickle cell disease), serta variasi
musim dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya meningitis bakteri. Hal ini
penting diketahui untuk pengambilan keputusan dalam terapi empirik.
Keberhasilan penggunaan vaksin Haemophilus influenza tipe b (Hib)
secara luas selama beberapa tahun terakhir telah merubah epidemiologi bakteri
meningitis secara signifikan. Haemophilus influenza merupakan organisme
penyebab meningitis bakteri yang paling banyak ditemukan pada seluruh
kelompok umur dan secara signifikan telah mengalami penurunan dari 48%
menjadi 7% dari seluruh kasus. Pada kasus yang disebabkan oleh bakteri
Neisseria meningitidis masih menunjukkan persentase kejadian yang konstan
yaitu pada 14% – 25%, pada beberapa kasus terjadi antara umur 2-18 tahun.
Staphyloccocus pneumonia menjadi penyebab paling sering pada seluruh
kelompok umur.

Tabel 2. Penyebab umur meningitis bakterial berdasarkan usia dan faktor risiko

2.7 Patofisiologi
Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi
meningitis bakterial, yaitu suatu proses yang kompleks, komponen – komponen
bakteri dan mediator inflamasi berperan menimbulkan respons peradangan pada
selaput otak (meningen) serta menyebabkan perubahan fisiologis dalam otak
berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran darah otak, yang
dapat mengakibatkan tinbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada
bakteriemia atau embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam
susunan saraf pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat
– tempat yang lemah, yaitu di mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang
merupakan media pertumbuhan yang baik bagi bakteri karena mengandung kadar
glukosa yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam cairan serebrospinal,
maka bakteri tersebut memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh karena
kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan
serebrospinal melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.
Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan
melepaskan dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin,
teichoic acid) yang menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan
peradangan di selaput otak (meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam
skema tersebut di bawah, sehingga timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada
waktu lisis akan melepaskan lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif
akan melepaskan teichoic acid (asam teikoat).

Gambar 3. Patofisiologi Molekuler Meningitis Bakterial


Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan
makrofag di susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi
mediator inflamasi seperti Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF).
Mediator inflamasi berperan dalam proses awal dari beberapa mekanisme yang
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, yang selanjutnya mengakibatkan
menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bacterial dapat juga terjadi
syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh
karena proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan
kebocoran vasopressin endogen sistem supraoptikohipofise meskipun dalam
keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini menyebabkan hipovolemia, oliguria dan
peningkatan osmolaritas urine meskipun osmolaritas serum menurun, sehingga
timbul gejala-gejala water intoxication yaitu mengantuk, iritabel dan kejang.
Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah
kaudal dan terjepit pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke
kaudal ini menyebabkan herniasi dari gyri parahippocampal, cerebellum, atau
keduanya. Perubahan intrakranial ini secara klinis menyebabkan terjadinya
gangguan kesadaran dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari batang otak
menyebabkan lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati,
perubahan ini akan menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat
dan progresif menyebabkan henti nafas dan jantung.
Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah
otak yang juga disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh
trombus dan adanya penurunan autoregulasi, terutama pada pasien yang
mengalami kejang. Akibat lain adalah penurunan tekanan perfusi serebral yang
juga dapat disebabkan oleh karena penurunan tekanan darah sistemik 60 mmHg
sistole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan
autoregulasi serebral dan vaskulopati. Kelainan – kelainan inilah yang
menyebabkan kerusakan pada sel saraf sehingga menimbulkan gejala sisa.
Adanya gangguan aliran darah otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
kandungan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi metabolik yang
menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan
penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan
metabolisme anaerob, keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat
dan berakibat timbulnya hipoglikorakia.
Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadii akibat hipoksia
sistemik dan demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial
adalah peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan –
bahan toksis bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada
saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot – otot tertentu untuk
mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku
kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah
mual, muntah, iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala – gejala
tersebut dapat juga disebabkan karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila
disertai dnegan distorsi dari nerve roots, makan timbul hiperestasi dan fotofobia.
Pada fase akut, bahan – bahan toksis bakteri mula – mula menimbulkan
hiperemia pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang
subaraknoid, dan selanjutnya merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah hingga mempermudah adesi sel fagosit dan sel
polimorfonuklear, serta merangsang sel polimorfonuklear untuk menembus
endotel pembuluh darah melalui tight junction dan selanjutnya memfagosit
bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang
subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak
tempat CSS diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta
sisterna basalis dan sekitar serebelum.
Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang
memfagosit bakteri, secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel
limfosit, monosit dan histiosit yang jumlahnya akan bertambah banyak dan pada
saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu ke-2 infeksi, mulai muncul sel
fibroblas yang berperan dalam proses organisasi eksudat, sehingga terbentuk
jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan – perlekatan.
Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan
hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka
dan Magendi maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam
pertama arteri subaraknoid juga mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel
dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan adventisia, sehingga timbul fokus
nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang menyebabkan trombosis arteri.
Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus dapat
menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga
keadaan tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat
menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau
deserebrasi, buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa
hari pertama dirawat tidak mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit
dikontrol, kejang menetap lebih dari 4 hari dirawat dan kejang yang timbul pada
hari pertama dirawat dengan penyakit yang sudah berlangsung lama, serta kejang
fokal akan menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang fokal dan kejang
yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah otak
yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat
sering menyebakna gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.
Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik
korteks serebri. Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau
karena hipoksia, invasi kuman akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang
fokal dang gangguan fungsi motorik berupa paresis yang sering timbul pada hari
ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II; selain itu juga menimbulkan
gangguan sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental dan gangguan
tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena
proses infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan
vena di duramater atau arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan
kecil dan perluasan infeksi araknoid menyebabkan transudasi protein dengan berat
molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan subdural sehingga timbul efusi
subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam yang lama,
kejang dan muntah.
Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood
brain barrier) menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS
terganggu atau hidrosefalus akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.
Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi
dan penetrasi toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan
vaskulitis; kelainan saraf kranial pada meningitis bakterial disebabkan karena
adanya peradangan lokal pada perineurium dan menurunnya persediaan vaskular
ke saraf cranial, terutama saraf VI, III dan IV, sedang ataksia yang ringan,
paralisis saraf kranial VI dan VII merupakan akibat infiltasi kuman ke selaput
otak di basal otak, sehingga menimbulkan kelainan batang otak.
Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradanga ke
mastoid, sehingga timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran
tipe konduktif. Kelain saraf kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan
kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena infark yang luas di korteks serebri,
sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal yang timbul
disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan
peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini
merupakan petunjuk prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan
retardasi mental.

2.8 Diagnosis
Diagnosis meningitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang:

Anamnesis
 Demam
 Nyeri kepala
 Fotofobia
 Penurunan kesadaran
 Kejang
 Kelemahan 1 sisi
 Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus: nyeri kepala berat,
muntah-muntah, kejang.
 Pada orang dewasa biasanya diawali dengan infeksi saluran pernapasan
atas yang ditandai dengan demam dan keluhan-keluhan pernapasan,
kemudian diikuti gejala-gejala SSP.
 Pada Meningitis Mengingokokus seringkali diawali dengan gejala
septikemia dan syok septik, seperti demam, nyeri pada lengan dan/atau
tungkai. Perlu diketahui riwayat berpergian haji atau ada orang lain yang
mengalami hal yang sama karena penyakit ini dapat menyebabkan epidemi
meningitis.

Tabel 3. Manifestasi klnis meningitis


Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
- Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS (penurunan kesadaran),
pemeriksaan meningeal sign positif, pemeriksaan kekuatan motorik.
- Pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus seperti papiledema.
- Pada Meningitis Meningokokus sering diawali dengan tanda septicemia
dan syok septik, seperti kulit teraba dingin atau kebiruan pada bibir,
terdapat papul sampai ekimosis pada ekstremitas.

Gambar 4. Pemeriksaan Meningeal Sign

Pemeriksaan Penunjang
- Darah lengkap, Kimia klinik (SE, SGOT, SGPT, BUN, SK,Albumin),
kadar elektrolite urine bila di curigai komplikasi SIADH pada penderita
meningitis.
- Lumbal pungsi (pleositosis dominan sel polimorfonuklear, peningkatan
kadar protein, penurunan kadar glukosa, rasio glukosa LCS: Darah < 0.4)
o Kontra indikasi lumbal punksi:
 Papil edema
 Penurunan keasadaran yang dalam dan progressif
 Kecurigaan lesi desak ruang
 Defisit neurologis fokal

o Kontraindikasi relative:
 Infeksi pada daerah tusukan
 Syok
 Koagulopathy
 Trombosit < 50.000 g/dL
Pada kasus tersebut perlu dilakukan pemeriksaan imaging sebelum
dilakukan lumbal pungsi
- Pemeriksaan latex aglutinasi atau PCR untuk 3 kuman penyebab, Kultur
darah dan likuor serta tes kepekaan antibiotika
- Pengecatan gram pada darah dan likuor.
- EEG bila didapatkan riwayat kejang
- CT scan kepala + kontras
- MRI kepala + Kontras

Tabel 4. Perbandingan LCS pada Jenis Meningitis


Kriteria Diagnosis

KRITERIA DIAGNOSIS

•Tanda dan gejala klinis meningitis


•Parameter cairan serebrespinal (CSS) abnormal: predominansi PMN, rasio
glukosa CSS:darah < 0,4
•Didapatkannya bakteri penyebab di dalam CSS secara mikroskopis dan/atau
hasil kultur positif

KRITERIA DIAGNOSIS

•Gejala dan tanda klinis meningitis


•Parameter CSS abnormal: predominansi PMN, rasio glukosa CSS:darah <0,4
•Kultur CSS negatif
•Satu dari hal berikut:
•Kultur darah positif
•Tes antigen atau PCR dari CSS menunjukan hasil positif

Dengan atau tanpa

•Riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang baru


•Riwayat faktor predisposisi, seperti pneumonia, sinusitis, otitis media,
gangguan imunologi tubuh, alkoholisme, dan DM.

Tabel 5. Penegakan Diagnosis Meningitis

2.9 Diagnosis Banding


Meningitis Viral, Meningitis TB

2.10 Tatalaksana
Jika pasien dalam syok atau hipotensi, kristaloid harus diberikan hingga
mencapai euvolemia. Jika terdapat perubahan status mental, tindakan pencegahan
kejang harus dipertimbangkan. Jika terjadi kejang harus ditangani sesuai dengan
protocol kejang. Jika pasien waspada, kondisi stabil, dengan tanda-tanda vital
yang normal, berikan oksigen dan pasang akses intravena (IV). Segera rujuk
pasien ke departemen gawat darurat.
Pada meningitis akut, pemeriksaan lumbal (LP) dan cairan serebrospinal
(CSF) diindikasikan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan, pada
meningitis bacterial dilakukan uji sensitivitas antibiotik. Computed Tomography
(CT) kepala harus dilakukan sebelum LP, jika diindikasikan. Jika tidak ada massa
pada CT kepala, LP dilakukan untuk mendapatkan studi mikrobiologi.
Pemeriksaan radiologi tidak boleh menunda inisiasi terapi antimikroba
empiris; terapi tersebut harus dimulai sebelum CT kepala jika diindikasikan.
Sangat penting untuk memulai pengobatan sedini mungkin dalam perjalanan
penyakit; penundaan dapat berkontribusi secara signifikan terhadap morbiditas
dan mortalitas. Pada pasien yang sakit akut, terapi antibiotik harus segera dimulai.
Dipertimbangkan pula pemberian deksametason sebelum dosis antibiotik pertama,
atau setidaknya bersamaan dengan antibiotik.

Gambar 5. Terapi Algoritma Tatalaksana Meningitis Bakterial


Tabel 6. Terapi Empiris Meningitis Bakterial

Tabel 7. Dosis Antibiotik pada Meningitis


Pada daerah dengan resistensi terhadap sefalosporin yang rendah (<1%),
pemberian sefalosporin generasi ketiga adekuat sebagai terapi community-
acquired meningitis. Sedangkan pada daerah dengan prevalensi ceftriakson-
resisten pneumococcus yangn lebih tinggi (>1%), vankomisin harus ditambahkan
sebagai regimen terapi empiris. Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa
antibiotik baru telah digunakan. Beberapa dari mereka memiliki minat potensial
untuk pengobatan infeksi SSP. Misalnya carbapenem. pada kelompok
karbapenem, meropenem merupakan yang paling cocok untuk terapi infeksi SSP.
Meropenem bersifat bakterisidal yang efektif untuk spesies Enterocoocus dan
Psudomonas. Sehingga meropenem dapat digunakan pada meningitis nosocomial
dengan kombinasi vankomisin, dan sebagai antibiotik tunggal pada kasus
community-acquired meningitis yang alergi terhadap golongan penisilin.
Pemberian kortikosteroid telah digunakan pada kasus infeksi bacterial
pada SSP, pada penelitian menggunakan kelinci yang terinfeksi S. pneumonia,
menunjukkan bahwa pemberian metilprednisolone dapat menurunkan tekanan
intracranial, pada anak yang mendapatkan terapi deksametasone, tekanan CSF
menurun 8% dibandingkan kelompok placebo yang tekanan CSF-nya meningkat
hingga 9%. Studi eksperimen mendapatkan bahwa pada hewan dengan meningitis
bakterial yang menggunakan deksametason menunjukkan perbaikan proses
inflamasi, penurunan edema serebral dan tekanan intrakranial dan lebih sedikit
didapatkan kerusakan otak. Deksametason diberikaan dengan dosis 15mg/kgBB
tiap 6 jam selama 4 hari atau 0.4 mg/kgBB tiap 12 jam selama 2 hari tanpa
tappering off
Banyak pasien dengan meningitis bacterial mengalami peningkatan
tekanan intracranial, namun pemberian agen osmotic, termasuk gliserol, tidak
direkomendasikan. Edema otak merupakan 30% penyebab kematian pada
meningitis bacterial. Pada beberapa kasus dengan peningkatan tekanan
intracranial yang berat namun tidak dapat dilakukan ventricular drainase atau LP
berulang, dapat diindikasikan penggunaan osmoterapi.
Penggunaan terapi hipotermia pada infeksi SSP berat pertama kali
dikenalkan pada 1958. Pada penelitian dengan menggunakan kelinci yang
terinfeksi Streptococcus grup B meningitis, kondisi hipotermia menjaga
keseimbangan glukosa CSF dan darah, menurunkan protein dan nitrid oksida
CSF, menurunkan aktivitas myeloproksidase pada otak, dan menurunkan tekanan
intracranial dan edema serebri. Namun pada manusia dengan meningitis bacterial
tidak efektif, kemungkinan karena kardiovaskular komorbiditas yang tinggi, atau
menurunnya abilitas antibiotik dan imun host untuk melawan bakteri pada kondisi
hipotermia dibandingkan dengan suhu normal atau sedikit meningkat.
Studi eksperimental menekankan pentingnya pasokan yang cukup vitamin
B6, asam folat dan vitamin D untuk ketahanan otak terhadap infeksi dan
kerusakan terkait infeksi. Vaksinasi pada orang> 60 tahun dengan vaksin
konjugasi pneumokokus mungkin akan mengurangi meningitis pneumokokus
pada orang tua. Imunostimulan spektrum luas (misalnya, agonis reseptor imun
bawaan) dan imunomodulator (misalnya, PEA) mungkin berguna untuk mencegah
meningitis nosokomial pada kelompok berisiko tinggi.
Dampak tertinggi untuk mengurangi beban penyakit pada anak-anak
dalam beberapa dekade terakhir berasal dari pengenalan terhadap vaksin
Haemophilus influenzae tipe B, Streptococcus pneumoniae dan Neisseria
meningitidis. Melakukan imunisasi yang direkomendasikan tepat waktu dan
sesuai jadwal merupakan pencegahan terbaik. Menjalani kebiasaan hidup sehat,
seperti istirahat yang cukup, tidak kontak langsung dengan penderita lain juga
dapat membantu. Bila hamil, resiko meningitis oleh bakteri Listeria (listeriosis)
dapat dikurangi dengan memasak daging dengan benar, hindari keju yang terbuat
dari susu tanpa pasteurisasi.
Berikut beberapa vaksin untuk tiga bakteri penyebab meningitis: Neisseria
meningitidis, Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae type b
(Hib):

Vaksin Meningococcus
Terdapat dua macam vaksin untuk Neisseria meningitidis yang tersedia di
America Serikat. Vaksin Meningococcus polisakarida (Menomune®). Vaksin
Meningococcus conjugate, Menactra® and Menveo®. Vaksin Meningococcus
tidak dapat mencegah semua tipe penyakit, namun dapat memberikan proteksi
orang-orang yang dapat sakit jika tidak diberi vaksin. Vaksin meningococcus
conjugate di rekomendasikan rutin untuk orang berusia 11 – 18 tahun dan anak
serta dewasa yang mempunyai resiko tinggi.

Vaksin Pneumococcal
Terdapat dua tipe dari vaksin pneumococcus yang tersedia : Vaksin
polisakarida dan konjugasi. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®),
yang diproduksi akhir tahun 2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan
untuk anak-anak usia kurang dari 2 tahun. PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal
tahun 2010, menggantikan PCV7. Vaksin pneumococcus sebagai pencegahan
penyakit pada anak-anak usia 2 tahun atau lebih dan dewasa sudah digunakan
sejak tahun 1977. Pneumovax®, 23-valent polysaccharide vaccine (PPSV) di
rekomendasikan untuk dewasa usia 65 tahun atau lebih, untuk usia 2 tahun atau
lebih yang mempunyai resiko tinggi penyakit Pneumococcus (termasuk penyakit
sel sabit, infeksi HIV, atau kondisi imunokompromais, dan untuk usia 19-64 tahun
yang merokok dan mempunyai asma.

Vaksin Hib
Vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) mempunyai efektivitas yang
tinggi melawan meningitis bakterial oleh bakteri Haemophilus influenzae tipe b.
Vaksin Hib dapat mencegah can prevent pneumonia, epiglottitis, dan infeksi
serius lainnya yang disebabkan oleh bakteri Hib. Vaksin ini di rekomendasikan
untuk semua anak usia kurang dari 5 tahun di Amerika Serikat, dan biasa
diberikan pada bayi mulai usia 2 bulan. Vaksin Hib dapat dikombinasikan dengan
vaksin lainnya.

2.11 Komplikasi
Penyakit-penyakit yang dapat terjadi akibat dari komplikasi meningitis
antara lain:
a. Trombosis vena serebral, yang menyebabkan kejang, koma, atau
kelumpuhan.
b. Efusi atau abses subdural, yaitu penumpukan cairan di ruangan subdural
karena adanya infeksi oleh kuman.
c. Hidrosefalus, penumpukan cairan serebrospinalis
d. Ensefalitis, yaitu radang pada otak
e. Abses otak, terjadi karena radang yang berisi pus di otak
f. Arteritis pembuluh darah otak, yang dapat mengakibatkan infark otak
karena adanya infeksi pada pembuluh darah yang mengakibatkan kematian
pada jaringan otak.
g. Kehilangan pendengaran, dapat terjadi karena radang langsung saluran
pendengaran
h. Gangguan perkembangan mental dan inteligensi

Gambar 6. Komplikasi Meningitis Bakterial

2.11 Prognosis
Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor, antara
lain umur pasien, jenis mikroorganisme, berat ringannya infeksi, lamanya sakit
sebelum mendapat pengobatan, kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang
diberikan.
Makin muda umur pasien makin jelek prognosisnya; pada bayi baru lahir
yang menderita meningitis angka kematian masih tinggi. Infeksi berat disertai
DIC mempunyai prognosis yang kurang baik. Apabila pengobatan terlambat
ataupun kurang adekuat dapat menyebabkan kematian atau cacat yang permanen.
Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotik bersifat fatal.
Dengan deteksi bakteri penyebab yang baik pengobatan antibiotik yang adekuat
dan pengobatan suportif yang baik angka kematian dan kecacatan dapat
diturunkan. Walaupun kematian dan kecacatan yang disebabkan oleh bakteri gram
negatif masih sulit diturunkan, tetapi meningitis yang disebabkan oleh bakteri-
bakteri seperti H.influenzae, pneumokok dan meningokok angka kematian dapat
diturunkan dari 50-60% menjadi 20-25%. Insidens sequele Meningitis bakterialis
9-38%, karena itu pemeriksaan uji pendengaran harus segera dikerjakan setelah
pulang, selain pemeriksaan klinis neurologis. Pemeriksaan penunjang lain
disesuaikan dengan temuan klinis pada saat itu.
BAB 3. KESIMPULAN

Meningitis bakterialis adalah proses peradangan atau inflamasi yang


disebabkan oleh bakteri patogen pada selaput otak (meninges), meliputi dura
mater, araknoid mater, dan pia mater. Proses peradangan atau inflamasi ini dapat
diidentifikasi oleh adanya peningkatan kadara leukosit di dalam likuor
cerebrospinal (LCS). Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-
anak dan orang dewasa muda di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria
meningitidis. Meningitis disebabkan oleh bakteri ini dikenal sebagai penyakit
meningokokus. Bakteri penyebab meningitis juga bervariasi menurut kelompok
umur. Pengobatan meningitis bakterial berbeda tergantung pada usia dan bakteri
penyebab meningitis. Penyakit ini menyebabkan angka kesakitan dan kematian
yang signifikan di seluruh dunia. Keadaan ini harus ditangani sebagai keadaan
emergensi. Kecurigaan klinis meningitis bakterialis sangat dibutuhkan untuk
diagnosis. Bila tidak terdeteksi dan tidak diobati, meningitis bakterialis dapat
mengakibatkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahrudin, M. 2013. Neurologi Klinis. Malang: Universitas


Muhammadiyah Malang.

2. Emad, 2012. Neurological Complication of Bacterial Meningitis. Journal


In tech.

3. Hasbun R. 2017 Meningitis treatment and management. Medscape diakses


tanggal 5 September 2018. https://emedicine.medscape.com/
article/232915-treatment#d13

4. Johnson. 2003. overview of viral infection of the central nervous system.

5. Lutfi, et all, 2013. Imaging in Bacterial Meningtis. Article. Available at


http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall

6. Meisadona, D. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis Bakterialis.


CDK-224/vol.42

7. Nau, Roland, et all. 2015. Bacterial meningitis: an update of new treatment


options. Expert rev. Anti infect,. 1-23

8. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial


Meningitis. 2004. IDSA Guideline

9. WHO, 2013. Meningitis. Article. Availabe at


http://www.who.int/topics/meningitis/en/

Anda mungkin juga menyukai