Desnov
Desnov
Desnov
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak
ditularkan dari orang ke orang. PTM merupakan penyebab utama kematian di
dunia, sekitar 63% dari semua kematian tahunan. PTM meliputi: asma,
hipertensi, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker, DM, hipertiroid,
jantung koroner, gagal jantung, stroke, gagal ginjal kronis, batu ginjal, rematik
(Riskesdas, 2013). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh lembaga penelitian
Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), menunjukkan terjadinya
peningkatan beban penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia khususnya
diabetes. Dengan jumlah pasien diabetes yang mencapai 10 juta orang,
Indonesia menduduki peringkat ke-7 untuk negara dengan pasien diabetes
terbanyak (dr. Wismandari Wisnu, Sp-PD-KEMD, 2017).
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang disebabkan karena
ketidakefektifan penggunaan insulin (International Diabetes Federation,
2017). Hal ini ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi atau hiperglikemi.
Apabila keadaan ini terus dibiarkan berlanjut akan mengakibatkan komplikasi,
maka dari itu diperlukan penanganan dan pengendalian DM, salah satunya
yaitu dengan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu.
International Diabetes Federation (IDF) melaporkan jumlah penderita
diabetes di dunia mencapai 371 juta orang pada tahun 2012, mengalami
kenaikan dari tahun 2011 yang berjumlah 366 juta. Sedangkan, pada tahun
2015 terdapat 415 juta orang dewasa dengan diabetes. Tahun 2015, presentase
orang dewasa dengan diabetes adalah 8.5% (1 diantara 11 orang dewasa
menyandang Diabetes).
Menurut International Diabetes Federation (2015), di Asia Tenggara,
Indonesia menempati negara ke-6 setelah Sri Langka dengan jumlah diabetes
terbanyak. Prevalensi diabetes di antara orang dewasa di wilayah regional Asia
1
Tenggara meningkat menjadi 8.6% di tahun 2014 yaitu sebanyak 96 juta orang
dewasa dan setengahnnya tidak terdiagnosis diabetes melitus.
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar, prevalensi orang dengan diabetes
di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun 2007 menjadi
2.4% pada tahun 2013 dan sebanyak 2/3 orang yang menderita diabetes tidak
menyadari bahwa dirinya memiliki diabetes. Angka diabetes tertinggi yaitu
Yogyakarta (2.6%), DKI Jakarta (2.5%), Sulawesi Utara (2.4%), dan
Kalimantan Timur (2.3%) (Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim, 2016).
Sedangkan di RSUD AWS Samarinda sendiri penyakit Diabetes
Mellitus sendiri masuk dalam 10 besar penyakit yang paling banyak di derita,
dan pada tahun 2016 berada di posisi ke 4 dan pada tahun 2017 berada di
posisi ke 6 sebagai 10 besar penyakit terbanyak rawat ini di RSUD AWS
Samarinda (Profil RSUD AWS Samarinda, 2017)
Diabetes Mellitus apabila tidak segera ditangani akan menyebabkan
berbagi macam komplikasi. Ada beberapa komplikasi yang terjadi pada
penderita DM yaitu, penyakit mata, penyakit kardiovaskular, komplikasi
kehamilan, kaki diabetik, kesehatan mulut, penyakit ginjal, dan kerusakan
saraf (Federation, 2017). Saat ini, terapi pengobatan hipertensi dapat
dilakukan menggunakan 2 cara yaitu menggunakan terapi farmakologi dengan
obat-obatan seperti metformine untuk mengontrol kadar gula darah dan terapi
non farmakologi tanpa menggunakkan obat untuk mengontrol kadar gula
darah. Saat ini telah banyak penilitian yang telah dilakukan untuk mengontrol
kadar gula darah secara non farmakologi, salah satu caranya yaitu dengan
menggunakkan teknik relaksasi. Teknik relaksasi yang dipergunakan untuk
mengontrol kadar gula darah salah satunya yaitu ialah teknik Guided Imagery
(Dalimartha, 2008).
Manfaat dari Guided Imagery adalah mengurangi stress, menurunkan
kecemasan, menurunkan tekanan darah, merelaksasikan tubuh yang secara
otomatis dapat menurunkan kadar gula darah. Relaksasi dapat mempengaruhi
hipotalamus untuk mengatur dan menurunkan aktivitas sistem saraf simpatis.
Stress tidak hanya dapat meningkatkan kadar gula darah secara fisiologis.
Pasien dalam keadaan stres juga dapat mengubah pola kebiasaan yang baik
2
dalam hal makan, latihan dan pengobatan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever,
2008)
Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa teknik relaksasi Guided
Imagery memiliki pengaruh terhadap perubahan kadar gula darah. Oleh karena
itu penulis tertarik untuk melakukan intervensi Relaksasi Guided Imagery
pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 di Ruangan Flamboyan RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
B. Rumusan Masalah
Apakah relaksasi Guided Imagery dapat menurunkan kadar gula darah pada
pasien penderita DM Tipe 2?
C. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh intervensi relaksasi Guided Imagery terhadap
perubahan kadar gula darah pada pasien penderita DM Tipe 2.
3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
1. Pengertian
Diabetes mellitus adalah suatu kumpulan penyakit metabolik dengan
ciri spesifik yaitu hiperglikemia yang terjadi karena diakibatkan kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes
Association, 2015) . Menurut (perkeni, 2015) seseorang dikatakan
terdiagnosa diabetes melitus apabila memiliki keluhan tanda dan gejala
klasik seperti poliuria, polidipsi, dan polifagi dengan disertai nilai kadar
gula darah sewaktu ≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126 mg/dl.
2. Klasifikasi
Menurut Brunner and Suddarth (2001) terdapat beberapa tipe
diabetes yang berbeda. Klasifikasi diabetes ini didasarkan pada perbedaan
4
penyebab, perjalanan klinik, dan terapinya. Adapun klasifikasi diabetes
yang utama adalah :
a. Tipe 1 : Diabetes melitus tergantung insulin (insulin-dependent diabetes
mellitus [IDDM])
Pada diabetes jenis ini, penderita hanya menghasilkan sedikit insulin
atau bahkan tidak menghasilkan sama sekali. Diabetes tipe 1 biasanya
menyerang pada usia produktif yaitu sekitar 30 tahun yang rata rata
menyerang pada remaja dan anak-anak. Pada umumnya diabetes melitus
tipe 1 terjadi karena sel–sel beta normal yang menghasilkan hormon
insulin dihancurkan oleh proses autoimun, infeksi virus, atau faktor gizi
pada masa kanak-kanak. Untuk menjaga kadar glukosa tetap normal, maka
diperlukan penyuntikkan insulin yang berasal dari luar dengan teratur
(Adib, 2011)
b. Tipe 2 : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (non-insulin-dependent
diabetes mellitus [NIDDM])
Diabetes tipe ini terjadi akibat berkurangnya sensitivitas insulin atau
penurunan jumlah produksi insulin. Biasanya, diabetes tipe 2 menyerang
usia di atas 30 tahun dan salah satu faktor penyebab nya yaitu obesitas.
Oleh karena itu, diabetes tipe ini cenderung diturunkan secara genetik.
Diabetes tipe 2 pada mulanya dapat diatasi dengan diet yang sesuai dan
latihan fisik yang cukup. Namun, apabila kadar glukosa darah tetap di atas
nilai normal, maka terapi diet dan latihan fisik tersebut perlu dilengkapi
dengan terapi farmakologi (Brunner and Suddarth, 2001).
c. Diabetes mellitus tipe lain
Diabetes tipe lain dapat disebabkan karena kelainan genetik fungsi sel
beta, kelainan pada fungsi kerja insulin, penyakit endokrin pankreas,
karena obat-obatan dan zat kimia, infeski, serta penyakit dengan
karakteristik gangguan endokrin. Kelebihan hormon pertumbuhan,
kortisol, glukagon, dan epinefrin dapat mengakibatkan DM tipe ini karena
bersifat Diabetes tipe lain dapat disebabkan karena kelainan genetik fungsi
sel beta, kelainan pada fungsi kerja insulin, penyakit endokrin pankreas,
karena obat-obatan dan zat kimia, infeski, serta penyakit dengan
5
karakteristik gangguan endokrin. Kelebihan hormon pertumbuhan,
kortisol, glukagon, dan epinefrin dapat mengakibatkan DM tipe ini karena
bersifat
d. Diabetes mellitus Gestasional
Diabetes tipe ini biasa dijumpai pada wanita hamil. Pada awalnya,
penderita tidak memiliki riwayat atau penyakit diabetes, namun karena
adanya hormon antagonis insulin yang diproduksi secara berlebihan
menyebabkan terjadinya resistensi insulin sehingga kadar glukosa menjadi
tinggi. Pada keadaan ini kemungkinan terdapatnya reseptor insulin yang
tidak berfungsi atau rusak (American Diabetes Association, 2012)
3. Faktor Risiko
Beberapa faktor penyebab dan faktor risiko dari diabetes tipe 2 menurut
(Brunner & Suddarth, 2001) :
a. Riwayat Keluarga
Meski tidak ada kaitan HLA yang teridentifikasi, anak dari
penyandang DM tipe 2 memiliki peningkatan risiko dua hingga empat
kali menyandang DM tipe 2 dan 30% risiko mengalami intoleransi
glukosa (ketidakmampuan metabolisme karbohidrat secara normal)
(LeMone, Karen, & Bauldoff Gerene, 2015).
b. Obesitas
Kelebihan berat badan minimal 20% lebih dari berat badan yang
diharapkan atau memiliki indeks massa tubuh (IMT) minimal 27 kg/m².
kegemukan, khususnya kegemukan visceral (lemak abdomen),
dikaitkan dengan peningkatan resistensi insulin (LeMone et al., 2015).
c. Sindrom metabolik
Hipertensi, kegemukan viseral, kadar rendah dari lipoprotein
densitas tinggi, kadar tinggi dari trigliserida, protein reaktif C naik, dan
glukosa darah puasa lebih dari 110 mg/dL meningkatkan risiko DM,
penyakit jantung coroner, dan stroke (Porth & Matfin, 2009).
6
d. Usia
Semakin bertambahnya usia maka resiko terkena diabetes
samakin tinggi karena terjadinya penurunan fungsi fisiologis tubuh.
Diabetes tipe 2 paling sering menyerang pada usia di atas 45 tahun
(American Heart Association, 2012).
4. Patofisiologi
Pada normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaam sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, sehingga terjadi suatu ramgkaian reaksi dalam metabolisme
glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes melitus disertai
dengan penurunan reaksi intersel. Hal ini membuat insulin menjadi
tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya
glukosa di dalam darah, peningkatan jumlah insulin yang disekresikan
sangat diperlukan. Pada penderita diabetes toleransi glukosa terganggu,
keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar
glukosa akan dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat
namun, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes melitus tipe 2.
Diabetes melitus tipe 2 paling sering terjadi pada usia lebih dari
30 tahun atau obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung
lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan diabetes
tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien,
gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan,
iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama sembuh,
infeksi vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat
tinggi) (Brunner & Suddarth, 2001)
7
5. Manifestasi klinis
Gejala diabetes seringkali tidak dirasakan dan disadari oleh penderita
diabetes. Menurut (Putri & Wijaya, 2013), keluhan dan gejala diabetes
melitus adalah:
1) Poliuria
Ginjal tidak dapat menyaring glukosa untuk kembali ke darah
karena insulin yang tidak ada. Sehingga menyebabkan ginjal menarik
tambahan air dan darah untuk menghancurkan glukosa. Hal ini
membuat kandung kemih cepat penuh dan pada penderita diabetes
melitus akan sering buang air kecil (Putri & Wijaya, 2013).
2) Polifagia
Pada penderita kencing manis akan mersakan cepat lapar, karena
terhambatnya pendistribusian nutrisi ke semua sel sehingga membuat
energy tidak berjalan dengan optimal (Putri & Wijaya, 2013).
3) Polidipsi
Adanya gangguan hormon serta efek dari banyak kencing
membuat penderita diabetes akan mudah haus dan banyak minum (Putri
& Wijaya, 2013).
4) Penurunan berat badan dan mudah lelah
Karena ada penghambatan pendistribusian nutrisi ke semua sel
pada penderita diabetes. Karena sel tidak mendapat asupan untuk
metabolisme energi sehingga penderita diabetes akan mudah merasa
lelah. Penurunan berat badan tidak terjadi seca ra signifikan pada
penderita diabetes karena adanya peningkatan resistensi insuli (Putri &
Wijaya, 2013).
5) Gejala lain
Pada penderita diabetes melitus adanya gangguan saraf atau
kesemutan, gangguan pada penglihatan, gangguan ereksi, adanya
keputihan, gatal pada kulit, serta kulit menjadi kering dan bila menjadi
luka akan lama proses penyembuhannya (Putri & Wijaya, 2013).
8
6. Komplikasi
Menurut Smeltzer dan Bare (2001)., komplikasi diabetes melitus terbagi
menjadi dua, yaitu:
a) Komplikasi Metabolik Akut
Komplikasi ini terjadi apabila peningkatan maupun penurunan gula
darah pada penderita terjadi secara drastis dan berlangsung relatif cepat.
Ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang berhubungan dengan
gangguan keseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek, yaitu :
1) Hipoglikemia
9
kekurangan insulin efektif. Keadaan hiperglikemi persisten
menyebabkan diuresis osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan
elektrolit. (Brunner & Suddarth, 2001).
b) Komplikasi Metabolik Kronik
Peningkatan kadar glukosa darah sangat berperan dalam proses
terjadinya kelainan neuropatik, komplikasi mikrovaskuler, dan sebagai
faktor risiko timbulnya komplikasi makrovaskuler (Brunner &
Suddarth, 2001).
1) Komplikasi Makrovaskular
10
2) Komplikasi Mikrovaskular
11
Kenaikan kadar glukosa darah selama bertahun-tahun membawa
implikasi pada etiologi neuropati (Brunner & Suddarth, 2001).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diabetes melitus dimulai dengan menerapkan pola
hidup sehat bersamaan dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau
suntikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala
diabetes dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien (PERKENI,
2015b). Terdapat 4 pilar penatalaksanaan dan pengelolaan DM, yaitu :
a) Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan diabetes melitus secara holistik
(PERKENI, 2015b). Tujuan dari edukasi ini yaitu memfasilitasi
penderita diabetes untuk mengerti mengenai penyakit yang diderita dan
pengelolaanya, mengenali masalah atau komplikasi kesehatan terkait
penyakit diabetes yang mungkin timbul, ketaatan perilaku mengenai
pengelolaan diabetes secara mandiri, serta perubahan perilaku
kesehatan yang diperlukan (PERKENI, 2011).
b) Terapi Gizi Medis
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan
sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang
sangat penting dari pengelolaan diabetes melitus secara holistik
(PERKENI, 2015b). Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari
karbohidrat 45-65%, lemak 20-25%, protein 10-20% natrium kurang
dari 3g dan diet cukup serat sekitar 25g/hari (PERKENI, 2011).
c) Latihan Jasmani
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas
fisik. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga bisa
melancarkan peredaran darah dan meningkatkan sensitivitas insulin
pada tubuh. Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh:
osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati)
12
dianjurkan juga melakukan resistance training (latihan beban) 2-3
kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan jasmani dapat
disesuaikan berdasarkan umur dan status kebugaran jasmani seseorang
(PERKENI, 2015).
d) Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari
obat oral dan bentuk suntikan (PERKENI, 2015b)
a) Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat anti-hiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan:
(1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue). Contoh:
Sulfonilurea dan Glinid.
(2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin. Contoh: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD).
(3) Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan. Contoh:
Penghambat Alfa Glukosidase.
(4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
(5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter
b) Obat Antihiperglikemia Suntik
a (1) Insulin
13
c) Terapi Kombinasi
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu
dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara
bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat
dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu
apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan
kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan
alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat anti-hiperglikemia oral.
Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit.
kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara
perlahan apabila kadar glukosa darah puasa belum mencapai target.
Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka
perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,
sedangkan pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan
dengan hati-hati.
d) Invidualisasi Terapi
Pelayanan yang diberikan berbasis pada perorangan dimana
kebutuhan obat, kemampuan dan keinginan pasien menjadi
komponen penting dan utama dalam menentukan pilihan dalam
upaya mencapai target terapi
14
B. Guided Imagery
1. Pengertian
Guided imagery adalah metode relaksasi untuk membayangkan
tempat yang membuat relaks dan nyaman. Keadaan tersebut membuat
pasien memasuki keadaan dan pengalamaan relaksasi (Sadock, 2010).
Guided imagery adalah imajinasi bersifat individu dimana individu
menciptakan gambaran mental dirinya sendiri yang terbimbing, banyak
teknik imajinasi melibatkan imajinasi secara visual, pendengaran,
pengecapan dan penciuman (Potter & Perry, 2009).
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa guided imagery
adalah suatu teknik yang menggunakan imajinasi dengan berbagai
pendekatan modalitas seperti visual, pendengaran, pengecapan dan
penciuman untuk memasuki keadaan rileksasi
merupakan suatu jenis terapi untuk penanganan kegiatan mental dan
menjauhkan tubuh serta pikiran dari rangsangan luar untuk
mempersiapkan tercapainya hubungan yang lebih dalam dengan pencipta,
yang dapat dicapai melalui metode hypnosis, meditasi, dan bentuk latihan-
latihan yang ada hubungannya dengan penjajakan pikiran (Martha, 2005).
2. Manfaat
Manfaat dari guided imagery untuk mengatasi kecemasan, stres dan
nyeri. Imajinasi terbimbing dapat juga mempengaruhi secara fisiologi
seperti menurunkan tekanan darah, nadi, dan respirasi. (Potter & Perry,
2009). Guided imagery dapat membantu dalam pengobatan seperti
Hipertensi, Diabetes Mellitus gangguan fungsi kandung kemih, untuk
syndrome menstruasi. (Barannon & Feist,2007).
3. Tujuan
Guided imagery menimbulkan respon psikofisiologis yang kuat
seperti perubahan pada sistem imun (Potter & Perry, 2009).
Menurut (Mehme, 2010) tujuan guided imagery ialah:
1) Membuat keadaan lebih rileks melalui komunikasi dalam tubuh yang
melibatkan semua modalitas indra (visual, sentuhan, penciuman,
15
penglihatan, dan pendengaran) sehingga terbentuklah keseimbangan
antara fisik, pikiran dan jiwa.
2) Dapat mempercepat penyembuhan secara efektif dan membantu tubuh
mengurangi berbagai macam penyakit seperti alergi, depresi, dan asma.
3) Dapat mengurangi tingkat stres, penyebab, dan gejala yang menyertai
stress, menurunkan tekanan darah dan gula darah.
4) Menggali pengalaman pasien yang depresi.
4. Langkah-langkah Guided Imagery
Persiapan, mencari lingkungan yang nyaman dan tenang, bebas dari
distraksi. Lingkungan yang bebas distraksi diperlukan oleh subjek untuk
berfokus pada imajinasi yang dipilih. Untuk implementasi, subjek harus
tahu rasional dan keuntungan dari imajinasi terbimbing.
Subjek merupakan partisipasi aktif dalam latiahan imajinatif dan harus
memahami secara lengkap tentang apa yang harus dilakukan dan hasil
akhir yang diinginkan. Selanjutnya memberikan kebebasan pada subjek.
Membantu ke posisi yang nyaman dengan cara : membentu subjek untuk
bersandar dan meminta menutup kedua matanya. Posisi nyaman dapat
meningkatkan konsentrasi dan fokus subjek selama latihan imajinasi.
Menggunakan sentuhan jika hal ini tidak membuat subjek terasa
terancam. Bagi beberapa subjek, sentuhan bisa membuat mengganggu
karena kepercayaan budaya dan agama mereka. Langkah menimbulkan
relaksasi. Dengan cara memanggil nama yang disukai. Berbicara jelas
dengan nada suara yang tenang dan netral.
Meminta subjek menarik napas dalam dan perlahan sambil
memfokuskan ke pernafasannya sampai semua terasa rileks. Untuk
mengatasi nyeri, sesak dan stress dorong subjek untuk membayangkan hal-
hal yang indah dan menyenangkan. Setelah itu membantu subjek untuk
merinci gambaran dan bayangannya.
Mendorong subjek untuk mendorong semua modalitas indranya dalam
menjelaskan semua bayangan dan lingkungan bayangan tersebut. Langkah
berikutnya meminta subjek menjelaskan perasaan emosional dan fisik
yang muncul dalam bayangannya.
Dengan mengarahkan subjek untuk mengesplorasi respon terhadap
bayangan karena ini memungkinkan subjek memodifikasi bayangannya.
16
Mengarahkan subjek untuk memikirkan hal yang positif dan
menghilangkan hal negatif yang ada di fikiran dan fisiknya sehingga
menghasilkan hal yang lebih positif.
Selanjutnya memberikan umpan balik kontinyu kepada subjek.
Dengan memberikan komentar subjek pada tanda-tanda relaksasi dan
ketentraman. Setelah itu membawa subjek keluar dari bayangannya.
Setelah pengalaman imajinasi dan mendiskusikan perasaan subjek
mengenai pengalamannya tersebut. Selanjutnya memotivasi subjek untuk
meningkatkan dan mempraktikan kembali teknik imajinasi (Kozier & Erb,
2009
Menurut (Snyder, 2006) teknik guided imagery secara umum antara lain :
1) Membuat individu dalam keadaan santai yaitu dengan cara :
a) Mengatur posisi nyaman (duduk atau berbaring).
b) Bisa sambil menutup mata atau tidak dan fokus pada titik atau suatu
benda didalam ruangan.
c) Fokus pada pernapasan, menarik napas dalam dan pelan, tarikan
napas berikutnya biarkan sedikit lebih dalam dan lama dan tetap
fokus pada pernapasan dan tetapkan pikiran bahwa tubuh semakin
santai dan lebih santai.
d) Rasakan tubuh menjadi lebih berat dan hangat dari ujung kepala
sampai ujung kaki.
e) Jika pikiran tidak fokus, maka ulangi kembali pernapasan dalam dan
pelan sampai ketitik fokus.
2) Sugesti khusus untuk imajinasi yaitu :
a) Pikirkan seolah-olah pergi kesuatu tempat yang menyenangkan dan
merasa senang ditempat tersebut
b) Sebutkan apa yang bisa dilihat, didengar, dicium dan dirasakan.
c) Menarik napas panjang beberapa kali sambil menikmati berada
ditempat tersebut
d) Sekarang, bayangkan diri anda seperti yang anda inginkan (uraikan
sesuai tujuan yang akan dicapai/diinginkan)
17
3) Beri kesimpulan dan perkuat hasil praktik yaitu :
a) Mengingat bahwa anda dapat kembali ketempat ini, perasaan ini, cara
ini kapan saja anda menginginkannya
b) Anda bisa seperti ini lagi dengan berfokus pada pernapasan anda,
santai, dan membayangkan diri anda berada pada tempat yang anda
senangi
4) Kembali dalam semula yaitu :
a) Ketika anda siap kembali keruang ketika dimana anda berada
b) Anda merasa segar dan siap untuk melanjutkan kegiatan anda
c) Anda dapat membuka amata anda dan ceritakan pengalaman anda
ketika anda telah siap (Snynder, 2006).
Waktu yang digunakan dalam pelaksanaan guided imagery
pada orang dewasa dan remaja biasanya 10-30 menit, sementara
kebanyakan pada anak-anak mentoleransi waktunya hingga10-15
menit (Snynder, 2006).
Berdasarkan dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
(Mehme, 2010) Melakukan tindakan guided imagery dilakukan
selama 4 minggu dengan 8 kali intervensi dengan 2 kali pertemuan
setiap minggu dilakukan selama 15 menit.
Dari penelitian tersebut maka peneliti menetapkan waktu
dilaksanakan guided imagery selama 4 minggu dengan 3 kali
pertemuan setiap minggu dan dilakukan selama 15 menit atas dasar
pertimbangan dari penelitian sebelumnya, teori dari Snynder, dan
menyamakan tindakan dari pursed lip breathing agar sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan ingin mencari perbedaan efektivitas
pada kedua intervensi.
5. Indikasi
Menurut (Potter & Perry, 2009) menjelaskan aplikasi klinis guided
imagery yaitu mengurangi rasa nyeri, serta untuk mencapi ketenangan dan
ketentraman. Guided imagery juga membantu dalam pengobatan:
18
hipertensi, gangguan fungsi kandung kemih, kadar gula darah, sindrom pre
menstruasi, dan menstruasi.
Selain itu guided imagery juga digunakan untuk meredakan nyeri
luka bakar, sakit kepala migrain dan nyeri pasca operasi (Mehme, 2010)
Indikasi dari guided imagery adalah semua pasien yang memiliki pikiran
negatif tentang dirinya yang dapat menganggu perilaku (maladaptif).
6. Kontra Indikasi
Beberapa kontra indikasi dari guided imagery antara lain :
1). Emosi yang tidak stabil
2). Memiliki keterbatasan intelegensia atau karena suatu hal lain yang
tidak menerima kenyataan
3). Seseorang yang tidak mampu mencerna dan fokus pada semua instruksi
yang ada pada script (Nuwa, 2018)
7. Fisiologis Guided Imagery
Pada saat pasien dilakukan teknik guided imagery membuat tubuh
pasien menjadi lebih rileks dan nyaman dari sebelumnya. Perasaan rileks
akan diteruskan ke hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin
Releasing Factor (CRF). Selanjutnya CRF merangsang kelenjar pituitary
untuk meningkatkan produksi Proopioidmelano-cortin (POMC) sehingga
produksi enkephalin oleh medula adrenal meningkat.
Kelenjar pituitary juga menghasilkan endorphin sebagai
neurotransmiter yang mempengaruhi suasana hati menjadi rileks
(Sherwood, Lauralee. 2001). Guided imagery suatu teknik yang menuntut
seseorang untuk membentuk sebuah bayangan/imajinasi tentang hal-hal
yang disukai.
Imajinasi yang terbentuk tersebut akan diterima sebagai rangsangan
oleh berbagai indra, kemudian rangsangan tersebut akan dijalankan ke
bagian otak menuju sensor thalamus. Ditalamus rangsangan diolah sesuai
bahasa otak, sebagian kecil rangsangan tersebut ditransmisikan ke
amigdala dan hipokampus sekitarnya dan sebagian besar lagi dikirim ke
korteks serebri.
19
Dikorteks serebri terjadi proses asosiasi pengindraan dimana
rangsangan dianalaisis, dipahami dan disusun menjadi sesuatu yang nyata
sehingga otak mengenali objek dan arti kehadiran tersebut. Hipokampus
berperan sebagai penentu sinyal sensorik dianggap penting atau tidak
sehingga jika hipokampus memutuskan sinyal yang masuk adalah penting
maka sinyal tersebut akan disimpan sebagai inagatan.
Hal-hal yang disukai dianggap sinyal penting oleh hipokampus
sehingga diproses menjadi memori. Ketika terdapat rangsangan berupa
tentang bayangan tentang hal-hal yang disukai tersebut, memori yang
tersimpan akan muncul kembali dan akan menimbulkan suatu persepsi dari
pengalaman sensasi sebenarnya, walaupun pengaruh/akibat yang timbul
hanyalah suatu memori dari suatu sensasi (Sheerwood, Lauralee. 2001).
Amigdala merupakan area perilaku kesadaran yang bekerja pada
tingkat bawah sadar. Amigdala berproyeksi pada jalur system limbik
seseorang dalam hubungan dengan alam sekitar dan pikiran. Berlandaskan
pada informasi ini, amigdala dianggap membantu menentukan pola respon
perilaku seseorang sehingga dapat menyesuaikan diri dengan setiap
keadaan. Dari hipokampus rangsangan yang telah mempunyai makna
dikirim ke amigdala.
Amigdala mempunyai serangkaian tonjolan dengan reseptor yang
disiagakan untuk berbagai macam neurotransmitter yang mengirim
rangsangan ke wilayah sentralnya sehingga terbentuk pola respons
perilaku yang sesuai dengan makna rangsangan yang diterima
(Sheerwood, Lauralee.2001).
Tujuan guided imagery adalah untuk memelihara kesehatan atau
rileks melalui komunikasi dalam tubuh dengan melibatkan semua indra
(visual, sentuhan, penciuman, penglihatan, dan pendengaran), Dapat
mempercepat penyembuhan yang efektif dan membantu tubuh mengurangi
berbagai macam penyakit depresi, alergi dan asma. Dan untuk mengurangi
tingkat stres, penyebab, dan gejala–gejala yang menyertai stres. Guided
imagery membantu dalam pengobatan: hipertensi, DM, asma, gangguan
20
fungsi kandung kemih, sindrom pre menstruasi dan menstruasi. Selain itu
guided imagery juga digunakan untuk mereduksi nyeri luka bakar, sakit
kepala migrain dan nyeri pasca operasi (Brannon &Feist ,2007).
C. Mekanisme
1. Identifikasi Pertanyaan
b. Analisa PICOT
21
P ( Problem and Patient ) : Pasien Penderita Diabetes Mellitus Tipe
2 Di ruang Flamboyan RSUD AWS
Samarinda
I ( Intervention ) : Intervensi Guided Imagery
C ( Comparation ) : Tidak ada perbandingan
O (Outcame) :Penurunan kadar gula darah sewaktu
(GDS)
T ( Time ) : Dilakukan selama 2 kali dalam sehari
selama 2 hari dari tanggal 31 Desember
2019 – 01 Januari 2020
c. Pertanyaan Klinis
Apakah Intervensi Guided Imagery dapat menurunkan kadar gula
darah pada pasien penderita Diabetes Mellitus?
22
1. Ekstraksi Data dan Critical Appraisal
Sampel
(karakteristik Level
No Penelitian Desain/seleksi responden Intervensi Hasil temuan/kesimpulan
,ukuran, penelitian
setting)
1. Salas Auladi Sample Jenis penelitian: Quasi Intervensi yang Hasil Penelitian ada RCT
dalam studi eksperiment design dilakukan adalah pengaruh intervensi Guided (Randomized
Pengaruh guided penelitian ini Rancangan penelitian: control intervensi Guided Imagery terhadap controlled
imagery terhadap sebanyak 30 group pretest and posttest design Imagery penurunan Stres dengan P clinical
penurunan stres dan responden Teknik sampling: non probability Value = 0,001 dan kadar trials)
kadar gula darah pada sampling gula darah dengan P Value
klien DM Tipe 2 di Metode sampling: Purposive = 0,003.
Poliklinik DM RSUD sampling
2 Dwi Aryanti Sample Jenis penelitian: Quasi Intervensi yang Hasil uji mann whitney di RCT
dalam studi eksperiment design dilakukan adalah peroleh p value + 0,001 (Randomized
Efektivitas Autogenik penelitian ini Rancangan penelitian: Two group intervensi Guided (p<0,05) artinya guided controlled
Relaxation dan sebanyak 28 group pretest and posttest design Imagery dan imagery lebih efektif clinical
Guided Imagery responden Teknik sampling: non probability Relaksasi dibandingkan relaksasi trials)
terhadap penurunan sampling Autogenik autogenik terhadap
tingkat kecemasan Metode sampling: Purposive penurunan tingkat
pasien DM dengan sampling kecemasan pada pasien
komplikasi luka di DM dengan komplikasi
RSUD Ambarwa luka di RSUD Ambarwa
23
D. Manajemen
Penulis akan menjelaskan prosedur tindakan kepada responden
kemudian melakukan intervensi Guided Imagery
1. Kiteria pasien
Inklusi
Pasien yang bersedia menjadi responden
Pasien penderita DM Tipe 2
Pasien Kooperatif
Eksklusi
Pasien dengan komplikasi penyakit lain seperti CKD, Penyakit
Jantung DLL
2. Waktu Pelaksanaan
Waktu pelaksanaan intervensi guided imagery yaitu mulai tanggal 31
Desember 2019 – 01 Januari 2020
3. Teknik/Cara
Guided Imagery yaitu melakukan relaksasi imajinasi terbimbing selama
± 15 menit sebanyak 2 kali sehari selama 2 hari berturut turut,
intervensi pertama diberikan pada jam 13.00 dan intervensi kedua
diberikan 6 jam setelah intervensi pertama, pemeriksaan GDS pre test
dilakukan sebelum intervensi diberikan dan pemeriksaan GDS post test
dilakukan setelah ± 20-30 menit setelah intervensi diberikan dengan
menggunakan tensimeter digital dan menuliskannya kedalam lembar
observasi.
24
BAB III
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH
A. Rancangan penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dan rancangan
penelitian yang digunakan adalah pre test and post test without control group.
Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan intervensi Guided
Imagery diberikan.
B. Responden
Responden dalam penelitan ini yaitu pasien penderita DM Tipe 2 yang dirawat
diruang Flamboyan di RSUD AWS Samarinda
C. Jenis Intervensi
Intervensi yang dilakukan yaitu Guided Imagery untuk menurunkan kadar
Gula darah pada pasien DM Tipe 2
D. Tujuan
Tujuan dari intervensi yang dilakukan yaitu untuk mengetahui pengaruh
intervensi Guided Imagery terhadap perubahan kadar gula darah pada pasien
penderita DM Tipe 2
E. Waktu
Waktu pelaksanaan dari intervensi yang diberikan dari tanggal 31 Desember
2019 sampai dengan 01 Januari 2020
F. Setting
Individu pasien Tn. X x tahun dengan penderita DM Tipe 2
G. Media/Alat Yang Digunakan
Alat GDS digunakan untuk menghitung GDS dan lembar observasi untuk
memonitor GDS sebelum dan sesudah intervensi diberikan
DAFTAR PUSTAKA
25
American Diabetes Association. (2015). Standards of Medical Care in. The
Journal of Clinical and Applied Research and Education, 38, supple(October
2012), s1–s94. https://doi.org/10.2337/dc13-S011
Brunner, & Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. (B. G. B.
Suzanne C. Smaltzer, Ed.) (8th ed.). Jakarta: EGC.
Norris, S. L., Nichols, P. J., Caspersen, C. J., Glasgow, R. E., Engelgau, M. M.,
Jack, L.,McCulloch, D. (2002a). Increasing diabetes self-management
education in community settings: A systematic review. American Journal of
Preventive Medicine, 22(4 SUPPL. 1), 39–66
Porth, & Matfin. (2009). Pathophysiology, Concept of Altered Health States. (L.
Williams & Philadelphia, Eds.) (8th ed.).
26
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
(Penyakit Menular), 103. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
27