Bab Ii New
Bab Ii New
Bab Ii New
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1
Appendix normal (gambar a) dan appendix yang sudah mengalami gangguan
(gambar b)
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini bisa
mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Nurarif dan Kusuma, 2015).
8
2. Klasifikasi Appendisitis
Menurut Nurarif dan Kusuma (2015), apendisitis diklasifikasikan menjadi 7 yaitu :
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut
pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses
infeksi dari apendiks.
1) Penyebab obstruksi dapat berupa :
2) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
3) Fekalit
4) Benda asing
5) Tumor
c. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua
syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik
9
apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah
apendektomi. Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik.
Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
d. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil
patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn
apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna
kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk
terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya
dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis
rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam
serangan akut.
e. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin
akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan
fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun
jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa
menjadi ganas. Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak
enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka
kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut.
Pengobatannya adalah apendiktomi.
f. Tumor Apendiks
Adenokarsinoma apendiks, penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan
kebetulan sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa
metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang akan
memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.
10
g. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.
Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak
napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%
kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang
menyebabkan gejala tersebut di atas.
3. Etiologi Appendisitis
Hingga dewasa ini, apendisitis dinilai diakibatkan oleh obstruksi oleh masa
fekel, striktura, ingesti barium, atau infeksi virus. Obstruksi benar-benar jarang
terjadi, tetapi pertama kali ulserasi mukosa biasanya terjadi.Meskipun penyebab yang
pasti ulserasi belum diketahui, kemungkinan hal ini mempunyai sumber penyebab
yaitu virus (Djuantoro, 2014). Apendisitis belum ada penyebab pasti, tetapi ada
factor prediposisi yaitu :
a. Factor yang tersering adalah obstruksi lumen.
Umumnya karena : Hiperplasia folikel limfoid, ini merupakan penyebab
terbanyak.Adanya faekolit dalam lumen appendiks, adanya benda asing seperti
biji-bijian, striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
b. Infeksi kuman dari colon, paling sering E. Coli dan Streptococcus
c. Laki-laki > wanita. Yang terbanyak umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini
disebabkan oleh peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
d. Tergantung pada bentuk apendiks:Appendik terlalu panjang, massa appendiks
pendek, penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks, kelainan katup di
pangkal appendiks
b. Selanjutnya
1) Konstipasi (tetapi diare juga bisa terjadi)
2) Demam. Suhu pasien 99o sampai 102o F (37,2o – 38,9o C).
3) Takikardia
4) Perforasi atau infarksi apendiks, (Williams & Wilkins, 2014).
5. Patofisiologi Appendisitis
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folokel limfoid, fekalit, benda asing, striktutur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut
akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium. Apabila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
12
meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding.
13
6. Pathway Appendisitis
Fekalit (dalam lumen), Benda Asing (cacing, striktura), Keganasan (carcinoma karsinoid)
Perlengketan
Abses (Kronik)
Apendiktomi
Pra-Oprasi Post-Oprasi
b. Pemeriksaan Laboratorium
Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga 10.000 - 18.000/mm3. Jika
peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami
perforasi (pecah).
c. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.
2) Ultrasonografi (USG)
3) CT Scan
4) Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG abdomen dan
apendikogram.
8. Komplikasi Appendisitis
Komplikasi yang terjadi pasca oprasi menurut Mansjoer (2012) :
a. Perforasi apendiks
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak
awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui
praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul dari 36 jam sejak
sakit, panas lebih dari 38,5 derajat celcius, tampak toksik, nyeri tekan seluruh
perut dan leukositosis. Perforasi dapat menyebabkan peritonitis.
b. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
15
peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, nyeri abdomen, demam
dan leukositosis.
c. Abses
Abses merupakan peradangan apendisitis yang berisi pus. Teraba masa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Masa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi
bila apendisitis gangrene atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
16
Post apendiktomi merupakan peristiwa setelah dilakukannya tindakan
pembedahan pada apendik yang mengalami inflamasi. Kondisi post operasi dimulai
saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya. Pasien yang telah menjalani pembedahan dipindahkan ke ruang
perawatan untuk pemulihan post pembedahan (memperoleh istirahat dan
kenyamanan) (Muttaqin, 2012).
2. Etiologi Appendiktomi
Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis
dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat
menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia
jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica (Sjamsuhidayat,
2011).
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks menurut
Haryono (2012) diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)
yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia
jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing,
dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat
memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses
dalam lumen apendiks, pada kultur yang banyak ditemukan adalah kombinasi
antara Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
17
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari
organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen.
3. Komplikasi Appendiktomi
Komplikasi setelah pembedahan apendik menurut Muttaqin (2012) :
a. Infeksi pada luka, ditandai apabila luka mengeluarkan cairan kuning atau nanah,
kulit di sekitar luka menjadi merah, hangat, bengkak, atau terasa semakin sakit.
b. Abses (nanah), terdapat kumpulan di dalam rongga perut dengan gejala demam
dan nyeri perut.
c. Perlengketan usus, dengan gejala rasa tidak nyaman di perut, terjadi sulit buang air
besar pada tahap lanjut, dan perut terasa sangat nyeri.
d. Komplikasi yang jarang terjadi seperti ileus, gangren usus, peritonitis, dan
obstruksi usus.
5. Pathway Appendiktomi
Appendiks
Sumbatan
Mukosa terbendung
Appendiks teregang
Tekanan intraluminal
Aliran darah
terganggu
Appendisitis
19
C. Konsep Teori Nyeri
1. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri adalah alasan utama
seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak
proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau
pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang
dibanding suatu penyakit manapun (Brunner dan Suddarth, 2014).
2. Fisiologis Nyeri
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan adanya reseptor dan adanya
rangsangan.Reseptor nyeri adalah nociceptor yang merupakan ujung-ujung saraf
bebas yang memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki myelin yang tersebar pada
kulit dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati dan
kantung empedu (Hidayat, 2012 : 214).
Mekanisme timbulnya nyeri secara fisiologis melibatkan limaproses sebagai
berikut :
a. Stimulus
Reseptor nyeri yaitu nociceptor dapat memberikan respons akibat adanya
stimulasi atau rangsangan.Stimulasi tersebut dapat berupa zat kimiawi seperti
histamin, bradikinin, prostaglandin. Stimulasi lain berupa termal, listrik atau
mekanis (Hidayat, 2012 : 214). Terdapat tiga kategori reseptor nyeri, yaitu
nociseptor mekanis yang berespons terhadap kerusakan mekanis: tusukan,
benturan; nosiseptor termal berespons terhadap suhu berlebihan: panas;
20
nosiseptor polimodal berespons terhadap semua jenis rangsangan yang merusak:
iritasi zat kimia (Sherwood, 2001 dalam Andarmoyo, 2013:56).
b. Transduksi
Transduksi merupakan proses ketika stimulus nyeri (noxious stimuli) diubah
menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf dan dapat
diakses oleh otak. Proses tranduksi dimulai ketika nociseptor yaitu reseptor yang
berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini
merupakan bentuk respon terhadap stimulus yang datang. Sel yang rusak akan
melepaskan mediator-mediator kimia seperti prostaglandin dari sel, bradikinin
dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P dari
ujung saraf nyeri memengaruhi nociseptor di luar daerah trauma sehingga
lingkaran nyeri melingkar (Andarmoyo, 2013: 58).
Selanjutnya terjadi proses sensitifikasi perifer, yaitu menurunnya nilai
ambang rangsang nociseptor karena pengaruh mediator-mediator tersebut dan
penurunan pH jaringan. Akibatnya, nyeri dapat timbul karena rangsang yang
sebelumnya tidak menimbulkan nyeri misalnya rabaan (Andarmoyo, 2013:39).
c. Transmisi
Transmisi merupakan proses penerusan impuls nyeri sebagai lanjutan proses
transduksi yang kemudian ditransmisikan serat afferent (A-delta dan C) ke
medulla spinalis. Impuls kemudian menyeberang ke atas melewati traktus
spinothalamus anterior dan lateral. Beberapa impuls yang melewati traktus
spinothalamus lateral diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di formation
retikularis membawa impuls fast pain. Di bagian thalamus dan korteks serebri
inilah individu kemudian mempersepsikan nyeri (Andarmoyo, 2013: 39)
21
d. Modulasi
Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat
meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui
sistem analgesia endogen yang melibatkan bermacam-macam neurotransmitter
antara lain endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di spinalis. Pada
tahap ini, modulasi nyeri berdampak pada menurunnya jumlah impuls nyeri yang
akan dikirim ke thalamus. Hal ini dipengaruhi juga oleh hadirnya stimulus lain
yang dapat meningkatkan release dari analgesia endogen (Andarmoyo, 2013:61).
e. Persepsi
Persepsi nyeri merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris, informasi
kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala).
Persepsi menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan.Setelah sampai ke
otak, nyeri dirasakan secara sadar dan menimbulkan respons berupa perilaku
seperti menghindari stimulus nyeri dan ucapan yang merespons adanya nyeri
(Andarmoyo, 2013:61).
3. Klasifikasi Nyeri
Menurut Mubarak dan Chayatin (2010) ada beberapa klasifikasi nyeri yaitu :
a. Nyeri Perifer
Nyeri ini ada tiga macam yaitu :
1) Nyeri superfisial
Nyeri superfisial adalah nyeri yang muncul akibat rangsangan pada kulit
dan mukosa. Nyeri berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri biasanya
terasa sebagai sensasi yang tajam. Contoh penyebab nyeri superfisial adalah
jarum suntik dan luka potong kecil/ laserasi (Potter & Perry, 2010).
2) Nyeri visceral
Nyeri visceral adalah nyeri yang muncul akibat stimulus dari reseptor
nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks. Nyeri bersifat difus dan dapat
menyebar ke beberapa arah. Durasi bervariasi tetapi biasanya berlangsung
lebih lama daripada nyeri superfisial. Nyeri dapat terasa tajam, tumpul atau
unik tergantungorgan yang terlibat (Potter & Perry, 2010).
3) Nyeri Alih (Referred)
Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari
penyebab nyeri. Contoh dari penyebab nyeri alih adalah infark miokard yang
22
menyebabkan nyeri alih ke rahang, lengan kiri dan bahu kiri (Potter & Perry,
2010).
2) Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak dan
thalamus.
3) Nyeri Psikogenik
a) Nyeri Akut
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang actual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Gejala yang
terjadi tiba – tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir
yang dapat diantisipasi atau diprediksi (NANDA, 2015).
b) Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Gejala yang
terjadi yaitu timbul secara tiba – tiba atau lambat dengan intensitas dari ringan
hingga berat, terjadi secara konstan atau berulang tanpa akhir yang dapat
diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung >3 bulan (NANDA, 2015).
Tabel 2.1
Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis
Karakteristik Nyeri akut Nyeri Kronis
Tujuan/keuntungan Memperingatkan adanya cedera atau Tidak ada
masalah
Awitan Mendadak Terus menerus dan
intermiten
Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat
Durasi Durasi singkat (dari beberapa detik Durasi lama (6 bulan atau
sampai 6 bulan) lebih)
Respons otonom Konsisten dengan respons stress Tidak ada respons otonom
simpatis
Frekuensi jantung meningkat
Volume sekuncup meningkat
Tekanan darah meningkat
Dilatasi pupil meningkat
Tegangan otot meningkat
Motilitas gastrointestinal menurun
Aliran saliva menurun (mulut kering)
Komponen psikologis Ansietas Depresi
Mudah marah
Menarik diri dari minat dunia
luar
Menarik diri dari
23
Karakteristik Nyeri akut Nyeri Kronis
persahabatan
Respons jenis lainnya Menangis/mengerang Tidur terganggu
Waspada Libido menurun
Mengerutkan kening Nafsu makan menurun
Menyeriangi
Mengeluh nyeri
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, artritis,
neuralgia trigeminal
4. Teori Nyeri
Menurut Barbara C. Long (1989) dalam Hidayat A. A. (2014) terdapat
beberapa teori tentang terjadinya rangsangan nyeri, di antaranya :
a. Teori Pemisahan (Specificity Theory)
Menurut teori ini, rangsangan sakit masuk ke medulla spinalis (spinalis
cord) melalui kornu dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke
tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya, dan berakhir di
korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan.
24
substansia gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang
aktivitas sel T yang selanjutya akan menghantarkan rangsangan nyeri.
d. Teori Transmisi dan Inhibisi
Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi implus-implus saraf,
sehingga transmisi implus nyeri menjadi efektif oleh neurotrasmiter yang spesifik.
Kemudian, inhibisi implus nyeri menjadi efektif oleh implus-implus pada serabut-
serabut besar yang memblok implus-implus pada serabut lamban dan endogen
opiate sistem supresif.
Tabel 2.2
Reaksi Fisiologis Terhadap Nyeri
Respons Penyebab atau Efek
STIMULASI SIMPATIK*
Dilatasi saluran bronkiolus dan Menyebabkan peningkatan asupan oksigen
peningkatan frekuensi pernapasan
Peningkatan frekuensi denyut jantung Menyebabkan peningkatan transport oksigen
Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplai
tekanan darah) darah dari perifer dan visera ke otot-otot skelet dan otak
Peningkatan kadar glukosa darah Menghasilkan energi tambahan
Diaforesis Mengontrol temperatur tubuh selama stress
Peningkatan ketegangan otot Mempersiapkan otot untuk melakukan aksi
Dilatasi pupil Memungkinkan penglihatan yang lebih baik
Penurunan motilitas saluran cerna Membebaskan energi untuk melakukan aktivitas dengan
lebih cepat
STIMULASI PARASIMPATIK**
Pucat Menyebabkan suplai darah berpindah dari perifer
Ketegangan otot Akibat keletihan
Penurunan denyut jantung dan tekanan Akibat stimulasi vagal
darah
Pernapasan yang cepat dan tidak teratur Menyebabkan pertahanan tubuh gagal akibat stress nyeri
yang terlalu lama
Mual dan muntah Mengembalikan fungsi saluran cerna
Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi fisik
b. Respons Perilaku
Respons periaku yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam mencakup
pernyataan verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik
26
dengan orang lain atau perubahan respons terhadap lingkungan (Brunner and
Suddarth,2014: 219). Respons perilaku dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini :
Tabel 2.3
Respons Perilaku Nyeri pada Klien
Respons Perilaku Nyeri pada Klien
Vokalisasi Mengaduh
Menangis
Sesak napas
Mendengkur
Ekspresi Wajah Meringis
Menggeletukkan gigi
Mengernyitkan dahi
Menutup mata atau mulut dengan rapat atau membuka
mata atau mulut dengan lebar
Menggigit bibir
Gerakan tubuh Gelisah
Imobilisasi
Ketegangan otot
Peningkatan gerakan jari dan tangan
Aktivitas melangkah yang tanggal ketika berlari atau
berjalan
Gerakan ritmik atau gerakan menggosok
Gerakan melindungi bagian tubuh
Interaksi social Menghindari percakapan
Fokus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan nyeri
Menghindari kontak sosial
Penurunan rentang perhatian
b. Jenis Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda bermakna dalam berespons
terhadap nyeri. Beberapa kebudayaan yang memengaruhi jenis kelamin, dalam
menangani nyeri (misal: menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani
dan tidak boleh menangis, sedangkan perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama.
c. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya memengaruhi cara individu mengatasi
nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh
kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo
dan Flaskerud, 1991 dalam Potter & Perry, 2010:1512). Budaya dan etnisitas
berpengaruh pada bagaimana seseorang merespons terhadap nyeri. Sejak dini
pada masa kanak-kanak, individu belajar dari sekitar mereka respons nyeri yang
bagaiman yang dapat diterima atau tidak diterima. Sebagai contoh: anak dapat
belajar bahwa cedera akibat olahraga tidak diperkirakan akan terlalu menyakitkan
dibandingkan dengan cedera akibat kecelakaan motor. Sementara yang lain
mengajak anak stimuli apa yang diperkirakan akan menimbulkan nyeri dan
respons perilaku apa yang diterima (Smeltzer & Bare, 2014:220).
d. Makna Nyeri
Makna seseorang dikaitkan dengan nyeri memengaruhi pengalaman nyeri
dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Hal ini dikaitkan dengan latar
belakang budaya individu tersebut. Individu akan mempersepsikan nyeri dengan
cara yang berbeda-beda, apabila nyeri tersebut memberikan kesan ancaman, suatu
kehilangan, hukuman, dan tantangan. Misalnya, seorang wanita yang sedang
28
bersalin akan mempersepsikan nyeri berbeda dengan seorang wanita yang
mengalami nyeri akibat cedera ksrena pukulan pasangannya. Derajat dan kualitas
nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna nyeri.
e. Perhatian
Tingkat individu memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat memengaruhi
persepsi nyeri.Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang
meningkat, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respons
nyeri yang menurun (Gill, 1990 dalam Potter & Perry, 2010:1514).Konsep ini
diterapkan dalam keperawatan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri
seperti relaksasi, guided imagery dan massase.
f. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan ansietas.Stimulus nyeri mengaktifkan bagian limbik untuk
mengendalikan emosi (ansietas).Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi
terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan nyeri.
g. Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping. Apabila keletihan disertai kesulitan tidur, maka
persepsi nyeri akan semakin berat. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah
individu mengalami suatu periode tidur yang lelap.
h. Pengalaman Sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri. Apabila individu mengalami
nyeri yang sama berulang-ulang dan nyeri tersebut berhasil dihilangkan maka
akan lebih mudah bagi individu tersebut untuk menginterpretasikan sensasi nyeri.
Akibatnya, klien lebih siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk menghilangkan nyeri.Apabila seorang klien tidak pernah merasakan nyeri,
maka persepsi pertama nyeri dapat menganggu koping terhadap nyeri.
i. Gaya Koping
Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka
sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir
29
suatu peristiwa, sepeti nyeri (Gill, 1990 dalam Potter & Perry,
2010:1515).Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal,
mempersepsikan faktor-faktor lain di dalam lingkungan mereka, seperti perawat,
sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap hasil akhir suatu peristiwa.
Individu yang memiliki lokus kendali internal melaporkan mengalami nyeri yang
tidak terlalu berat daripada individu yang memiliki lokus kendali eksternal
(Schultheis, 1987 dalam Potter & Perry, 2010).
k. Anestesi
Anestesi umum adalah anestesi yang dilakukan untuk memblok pusat
kesadaran otak dengan menghilangkan kesadaran dan menimbulkan relaksasi
serta hilangnya rasa. Pada umumnya, metode pemberianya adalah dengan inhalasi
dan intravena (Hidayat, 2014). Anastesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri
secara sentral disertai hilangya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).
Komponen anestesia yang ideal terdiri : (1). Hipnotik, (2). Analgesia, (3).
Relaksasi otot. (Latief, 2013).
l. Teknik Pembedahan
Teknik pembedahan mengakibatkan rasa nyeri. Nyeri yang paling lazim
adalah nyeri insisi. Nyeri terjadi akibat luka, penarikan, manipulasi jaringan serta
organ. Nyeri pasca operasi hebat dirasakan pada pembedahan intratoraksi, intra-
abdomen, dan pembedahan orthopedik mayor. Nyeri juga dapat terjadi akibat
stimulasi ujung saraf saraf oleh zat-zat kimia yang dikeluarkan saat pembedahan
atau iskemia jaringan karena terganggunyabsuplai darah. Suplai darah terganggu
karena ada penekanan, spase otot, atau edema. Trauma pada serabut kulit
mengakibatkan nyeri yang tajam dan terlokalisasi (Bradeo dkk, 2012).
30
8. Pengkajian Nyeri
Pengkajian pada masalah nyeri yang dapat dilakukan adalah riwayat nyeri:
keluhan nyeri seperti lokasi, kualitas, dan waktu serangan. Pengkajian dapat
dilakukan dengan cara (PQRST) yang akan membantu pasien mengungkapkan
keluhannya secara lengkap yaitu sebagai berikut :
P (pemacu), yaitu faktor yang memengaruhi gawat atau ringanya nyeri
Q (quality), dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul, atau masyarakat
R (region), yaitu daerah perjalanan nyeri
S (severity), adalah keparahan atau intensitas nyeri
Time (time), adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
31
Gambar 2.2 Verbal Description Scale (VDS)
Sumber: Andarmoyo, 2013.
32
Skala tersebut terdiri dari yang terdiri dari enam wajah profil kartun yang
menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum (“tidak merasa nyeri”)
kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang
sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakuran (“nyeri yang sangat”).Anak-
anak berusia tiga tahun dapat menggunakan skala tersebut (Potter & Perry, 2010
dalam Andarmoyo, 2013).
10.Penatalaksanaan Nyeri
Strategi penatalaksanaan nyeri atau manajemen nyeri adalah suatu tindakan
untuk mengurangi nyeri. Secara umum, penatalaksanaan nyeri dikelompokkan
menjadi dua, yaitu penatalaksanaan nyeri secara farmakologis dan non-farmakologis.
Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara
individu ( Brunner & Suddarth, 2014:223).
a. Tindakan Farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologi
dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberian perawatan utama
lainnya. Obat-obatan tertentu untuk penatalaksanaan nyeri mungkin diresepkan
atau kateter epidural mungkin dipasang, sehingga perawat harus memerhatikan
analgesia, mengkaji keefektifanya, dan melporkan jika intervensi tersebut tidak
efektif atau menimbulkan efek samping (Smeltzer & Bare, 2014:224).
33
nonsteroid (NSAID), 2) analgesik narkotik atau opiat, dan 3) obat tambahan
(adjuvan) sebagaimana tertera pada tabel berikut.
Tabel 2.4
Analgesik dan Indikasi Terapi
Kategori Obat Indikasi
Analgesik non-narkotik
Asetaminofen (Tylenol) Nyeri pasca operasi ringan
Asam Asetilsalisifat Demam
NSAID
Ibuprofen (Motrin, Nuprin) Disminore
Naproksesn (Naprosyn) Nyeri kepala vaskuler
Indometosin (Indocin) Artitis rheumatoid
Tolmetin ( Tolectin) Cedera atletik jaringan lunak
Piroksikam (Feldene) Gout
Ketorolak (Toradol) Nyeri pasca-operasi
Nyeri traumatic berat
Analgesik Narkotik
Memperidin (Domorol) Nyeri kanker kecuali (memparidin)
Metimorfin (Kodoin) Infark Miokard
Morfin Sulfat
Fentanil (Sublimaze)
Butotanol (Stadol)
Hidromorfon HCL (Dilaudid)
Adjuvan
Amitriptilin (Elval) Cemas
Hidroksin (Vistaril) Depresi
Klorpromazin (Thorazine) Mual
Diazepam (Valium) Muntah
34
Kebanyakan NSAID bekerja pada reseptor saraf perifer untuk
mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Tidak seperti opiat, NSAID
tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu
fungsi berkemih atau defekasi (AHCPR, 1992, Potter & Perry, 2010 dalam
Andarmoyo, 2013:96).
b. Tindakan Non-Farmakologis
Manajemen nyeri non-farmakologis merupakan tindakan menurunkan
respons nyeri tanpa menggunakan agen farmakologi dan merupakan tindakan
independen perawat dalam mengatasi respons nyeri pasien. Metode pereda nyeri
non-farmakologis biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah (Brunner &
Suddarth, 2014:232). Menurut Brunner & Suddarth 2014, berikut beberapa
tindakan-tindakan tersebut adalah:
1) Stimulasi dan Massase Kutaneus
Teori gate control nyeri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
bertujuan menstimulasi serabut-serabut yang mentrasmisikan sensasi tidak
nyeri memblok atau menurunkantrasmisi impuls nyeri. Beberapa strategi
penghilang nyeri non-farmakologis, termasuk menggosok kulit dan
menggunakan panas dingin, adalah berdasarkan mekanisme ini(Smeltzer &
Bare, 2014:232).
Massase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan
pada punggung dan bahu. Massase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor
tidak nyeri pada bagian reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat
35
mempunyai dampak melalui sistem kontrol desenden(Smeltzer & Bare,
2014:232).
4) Distraksi
Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu
selain pada nyeri.Seseorang yang kurang menyadari adanya nyeri atau
memberikan sedikit perhatian pada nyeri akan sedikit terganggu oleh nyeri dan
lebih toleransi terhadap nyeri (Smeltzer & Bare, 2014:233).
36
5) Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental danfisik dari
ketegangan dan stress sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi
lambat, berirama, relaksasi benson (Smeltzer & Bare, 2014:233).
6) Imajinasi Terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah mengggunakan imajinasi seseorang dalam
suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri
dapat terdiri atas menggabungkan napas berirama lambat dengan suatu
bayangan mental relaksasi dan kenyamanan (Smeltzer & Bare, 2014:234).
7) Hipnosis
Teknik ini mungkin membantu dalam memberikan peredaan nyeri
terutama dalam situasi sulit. Keefektifan hipnosis tergatung pada kemudahan
hipnotik individu (Smeltzer & Bare, 2014:234).
D. Relaksasi Benson
1. Pengertian Relaksasi Benson
Relaksasi Benson adalah teknik relaksasi yang diciptakan oleh Herbert Benson.
Relaksasi Benson merupakan relaksasi yang mengabungkan antara teknik respons
relaksasi dan sistem keyakinan individu/ faith factor ( difokuskan pada ungkapan
tertentu berupa nama-nama Tuhan, atau kata yang memiliki makna yang menenagka
bagi pasien itu sendiri) yang diucapkan berulang-ulang dengan ritme teratur disertai
sikap pasrah (Benson& Protocor, 2011 dalam Solehati 2015:177).
37
2. Konsep Relaksasi Benson
Menurut Benson (2011) dalam Solehati 2015:178, formula-formula tertentu
yang dibaca berulang-ulang dengan melibatkan unsur keyakinan, keimanan terhadap
agama, dan kepada Tuhan yang disembah akan menimbulkan respon relaksasi yang
lebih kuat dibadingkan dengan relaksasi tanpa melibatkan unsur keyakinan terhadap
hal-hal tersebut. Selain itu, efek penyembuhan dari formula-formula seperti itu tidak
terbatas pada penyembuhan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung, ataupun
kecemasan saja, tetapi pada tingkat mampu menghilanglan rasa nyeri.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Wallace, Benson, dan Wilsaon (2011)
diperoleh hasil, bahwa dengan meditasi dan relaksasi terjadi penurunan konsumsi
oksigen, output CO2, ventilasi selular, frekuensi napas, dan kadar laktat sebagai
indikasi penurunan tingakt stress, selain itu ditemukan bahwa PO2 atau konsentrasi
oksigen dalam darah tetap konstan, bahkan meningkat sedikit.
5. Efektivitas Terapi
Hormon endorphin dan enfikelin ini adalah zat kimiawi endogen yang
berstruktur seperti opioid, yang mana endorphin dan enfikelin dapat menghambat
imfuls nyeri dengan memblok transmisi impuls didalam otak dan medulla spinalis
(Smaltzer and Bare, 2014), dan dengan mengulang kata atau kalimat yang sesuai
dengan keyakinan responden dapat menghambat impuls noxius pada system kontrol
descending (gate control theory) dan meningkatkan kontrol terhadap rata-rata skor
nyeri. Relaksasi benson lebih efektif menurunkan nyeri pasca bedah (Datak, 2018),
hal ini dikarenakan relaksasi benson menghambat aktifitas saraf simpatik yang
megakibatkan penurunan terhadap konsumsi oksigen oleh tubuh dan selanjutnya
otot-otot tubuh menjadi rileks sehingga menimbulkan perasaan tenang dan nyaman.
Keuntungan dari relaksasi Benson selain mendapatkan manfaat dari relaksasi juga
mendapatkan kemanfaatan dari penggunaan keyakinan seperti menambah keimanan
dan kemungkinan akan mendapatkan pengalaman transendensi. Individu yang
mengalami ketegangan dan kecemasan yang bekerja adalah sistem saraf simpatis,
sedangkan pada waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis,
dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang, cemas, insomnia, dan nyeri.
40