Nasikh Mansukh

Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Unduh sebagai rtf, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan peringatan kepada seluruh alam, yang berisi


petunjuk bagi tercapainya kebahagiaan kepada orang yang percaya kepadanya.
Hal itu termaktub dalam QS. Al-Furqon ayat 1, yang artinya Maha suci Allah
yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.1 Keberadaan Al-Qur’an adalah
sebagai hudan (petunjuk), yang didalamnya terdapat hukum-hukum bagi
kehidupan manusia. Manusia tidak akan tersesat jika dapat menjadikannya
pedoman dan petunjuk dalam kehidupannya. Allah berfirman dalam surat al-Jin
ayat 13 yang artinya sebagai berikut:2
Dan sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al Quran), kami
beriman kepadanya. Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia
tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) akan
penambahan dosa dan kesalahan
Al-Qur’an selalu menarik untuk dikaji oleh kalangan umat Islam maupun
luar Islam (orientalis). Salah satu kajian yang masih diperdebatkan adalah nasikh
dan mansukh, atau penghapusan ayat al-Qur’an. Ada banyak argumentasi yang
berbeda dari beberapa kelompok yang memperdebatkan persoalan tersebut.
Perdebatan berbagai persoalan seputar nasikh dan mansukh tersebut mencakup
beberapa hal seperti pengertian, pembagian, contoh-contoh, kontroversi, dan
hikmah adanya nasikh-mansukh.
Nasikh-Mansukh ini merupakan bagian penting dari bahasan ulumul
Qur’an, melihat tuntutan kebutuhan setiap umat berbeda satu dengan yang lain
dan berbeda pula kebutuhan pada zaman dahulu dengan zaman sekarang. Menurut
Djalal, pembahasan nasikh-mansukh ini menyangkut berbagai masalah rumit ynag
menjadi pangkal perselisihan dari para ulama, ahli ushul fiqih, ahli tafsir, dan
sebagainya. Oleh karena itu, mempelajari nasikh mansukh sangat bermanfaat agar
pengetahuan tentang al-Qur’an tidak menjadi kacau dan kabur. Dengan mengulas
nasikh-mansukh pula, maka sejarah pen-syariat-an hukum-hukum Islam dan
rahasia-rahasianya dapat terungkap. Tujuan akhirnya adalah dapat mengetahui
pertumbuhan dan perkembangan hukum-hukum syariat Islam dan mengetahui
hikmah dibalik penghapusan (nasakh) ayat tersebut. 3

1
Al Furqan (25) : 1
2
Al-Jin (72) : 13
3
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 131

1
BAB II

PEMBAHASAN

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisi firman-firman Allah dan


memiliki satu kesatuan yang utuh. Hal itu berarti, tidak ada pertentangan antara
satu kata dengan kata lainnya, seperti dalam ayat berikut:
َ
ِ‫جدُوا ْ فِيه‬
َ َ‫عند ِ غ َ ۡيرِ ٱللَّهِ لَو‬
ِ ‫م ۡن‬ َ ‫ن ۡٱلقُ ۡرءَا ۚ َنوَل َ ۡو كَا‬
ِ ‫ن‬ َ ‫أفَاَل يَتَدَب َّ ُرو‬
ٗ ِ ‫ۡٱختِلَٰفٗا كَث‬
٨٢ ‫يرا‬
4

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al


Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan
yang banyak di dalamnya.
Satu ayat dengan lainnya saling menjelaskan, yufassiru ba’duhu ba’dho.
Namun, secara historis manusia dihadapkan dengan berbagai persoalan baru yang
memunculkan syariah (hukum) baru. Hal tersebut ditujukan untuk kemashlahatan
bersama (mashlahah al-ammah). Sehingga, ada beberapa teks yang di nasikh
dengan sengaja untuk kemashlahatan.
Berikut ayat-ayat yang terdapat kata naskh:
‫ ذ َ ۡٱلأ َ ۡلوَا ۖ َحوَفِي ن ُ ۡسخَتِهَا‬,َ‫ب أَخ‬
ُ ,‫َض‬ َ ‫ى ۡٱلغ‬,‫وس‬ َ ‫م‬ ُّ ‫ت ع َن‬ َ َ ‫ك‬,‫س‬ َ ‫ما‬َّ َ ‫وَل‬
١٥٤ ‫ن‬ َ ‫ين هُ مۡ ل ِ َربِّهِ مۡ ي َ ۡرهَبُو‬َ ِ ‫ة لِّلَّذ‬ٞ ‫م‬
َ ‫هُدٗى وَ َر ۡح‬
5

Sesudah amarah Musa menjadi reda, lalu diambilnya (kembali) luh-luh


(Taurat) itu; dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk
orang-orang yang takut kepada Tuhannya.
Kata “nuskhatiha” dapat diartikan sebagai salinan atau prasasti/tulisan.6
ۡ‫ا كُنت ُ م‬,,,‫م‬ ۚ ‫ق ع َل َ ۡيكُم ب ۡٱل‬,,, ‫ا ينط‬,,, ‫ذ َا كتبن‬,,,‫ه‬
ِ َ ‫ح ِّقإِنَّا كُنَّا ن َ ۡتس‬
ُ ,,,‫نس‬
َ ‫خ‬ َ ِ ُ ِ َ َ ُ َٰ ِ َٰ
7
٢٩ ‫ن‬ َ ‫ملُو‬ َ ‫ت َ ۡع‬
(Allah berfirman): "Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan
terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat
apa yang telah kamu kerjakan"
Kata “nastansikhu” berarti menulis penjelasan (mencatat).8

4
An-Nisa’ (4) : 82
5
Al-A’raf (7) : 154
6
Louay Fatoohi, Abrogation in the Qur’an and Islamic Law: A Critical Study of the Concept of
“Naskh” and its Impact (New York: Routledge, 2013), hlm. 37
7
Al-Jathiyah (45) : 29
8
Louay Fatoohi, Abrogation in the Qur’an and Islamic Law: A Critical Study of the Concept of
“Naskh” and its Impact (New York: Routledge, 2013), hlm. 37

2
‫ى أ َ ۡلقَى‬ٰٓ َّ ‫من‬َ َ ‫ي إِٓاَّل إِذ َا ت‬
ٍّ ِ ‫سو ٖلوَاَل نَب‬ ُ ‫من َّر‬ ِ ‫ك‬ َ ِ ‫من قَ ۡبل‬ ِ ‫س ۡلنَا‬َ ‫مٓا أ ۡر‬
َ
َ َ‫و‬
ُ
ُ َٰ ‫ط‬,,‫لش‬
َّ ُ ‫ن ث‬
‫م‬ ‫َّ ۡي‬ ‫قي ٱ‬ ِ ‫ا ي ُ ۡل‬,,‫م‬ َ ‫ه‬ُ َّ ‫خ ٱلل‬ َ َ ‫ي أ ۡمنِيَّتِهِۦ فَي‬
ُ ,,‫نس‬ ٓ ِ‫ن ف‬ ُ َٰ ‫ط‬ ‫َّ ۡي‬
,,‫لش‬ ‫ٱ‬
٥٢ ‫م‬ٞ ‫حكِي‬ َ ‫م‬ ُ َّ ‫ه ءَايَٰتِهِۦۗ وَٱلل‬
ٌ ‫ه عَلِي‬ ُ َّ ‫م ٱلل‬ ُ ِ ‫ي ُ ۡحك‬
9

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak
(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
ۡ‫م ۡثلِهَ ۗٓا أَل َ مۡ ت َ ۡعل َ م‬ َ
ِ ‫ٓا أ ۡو‬,,َ‫م ۡنه‬
ِّ ‫خ ۡي ٖر‬ ِ ‫هَا ن َ ۡأ‬, ‫نس‬
َ ِ‫ت ب‬ َ
ِ ُ ‫م ۡنءَايَةٍ أ ۡون‬ ِ ‫س ۡخ‬
َ ‫ما نَن‬ َ
ِّ ُ ‫ى ك‬ َ َ َّ ‫ن ٱ لل‬ َ
١٠٦ ‫ير‬ ٌ ِ ‫ل شَ ۡي ٖء قَد‬ ٰ ‫ه ع َل‬ َّ ‫أ‬
10

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

A. Pengertian Nasikh-Mansukh
Secara etimologis, menurut Shihab kata naskh mengandung arti
pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain,
pengubahan dan lain-lain.11 Sedangkan Subhiy ash-Shalih, jika merujuk
pada beberapa ayat al-Qur’an pengertian nasikh ada empat.12 Pertama,
nasikh yang diartikan izalah atau penghilangan. Pengertian tersebut
diambil dengan merujuk pada ayat berikut;
ُ َّ ‫م ٱلل‬
‫ه‬ ُ ِ ‫م ي ُ ۡحك‬ ُ َٰ ‫ط‬
َّ ُ ‫ن ث‬ ‫َّ ۡي‬
,,,‫لش‬ ‫ا ي ُ ۡلقِي ٱ‬,,,‫م‬ ُ َّ ‫خ ٱلل‬
َ ‫ه‬ َ َ ‫فَي‬...
ُ ,,,‫نس‬
13
... ۗ‫ءَايَٰتِهِۦ‬
“Allah menghilangkan apa yang dimansukhkan oleh syaitan itu, dan
Allah menguatkan ayat-ayat-Nya”
Kedua, nasikh yang diartikan pergantian (tabdil). Pengertian tersebut
merujuk pada ayat,
َ َّ ‫ة مكَان ءَاي ةٖ وٱلل‬
ُ ‫ ِّز‬,,َ ‫ما يُن‬
١٠١ .... ‫ل‬ ُ َ ‫ه أ ۡعل‬
َ ِ‫م ب‬ ُ َ َ َ َّ ٗ َ ‫وَإِذ َا بَد َّ ۡلنَٓا ءَاي‬
14

“dan apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya”
9
Al-Hajj (22) : 52
10
Al-Baqarah (2) : 106
11
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 143
12
Subhiy al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayain, 1988) hlm. 259-
260, Lihat juga Jalaluddin As-Syuyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II (Beirut: Dar al-Nafa’is,
1990), hlm. 136
13
Al-Hajj (22) : 52
14
An-Nahl (16) : 101

3
Ketiga, nasikh diartikan at-tahwil sebagai tanasukh al-mawarits,
yaitu pemindahan warisan dari satu orang kepada orang lain. Keempat,
nasikh yang diartikan sebagai al-naql (menukil atau memindahkan).15
Tidak ada contoh dalam al-Qur’an yang berisi kata nasakh yang berarti
pindah. Sebab, hanya ada empat kata dalam al-Qur’an yang memuat kata
nasakh tetapi tidak ada yang berarti pindah.16
Secara terminologis, menurut Subhiy Ash-Shalih, nasikh adalah
raf’u al-hukmi al-syar’i bi ad-dalili al-syar’i, artinya mencabut
(mengangkat) hukum syar’i dengan dalil syar’i pula.17 Sedangkan menurut
Manna’ al-Qaththan, pengertian nasikh adalah mengangkat
(menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang
lain. Tetapi penghapusan ini tidak termasuk al-bara’ah al-ashliyah (asli),
kecuali yang disebabkan mati, gila atau penghapusan dengan ijma’ atau
qiyas.18
Al-Syatibi dalam Quraish Shihab, membatasi nasikh ini pada empat
hal; pertama, pembatalan sebuah hukum yang terdahulu, karena adanya
penetapan hukum setelahnya. Kedua, pengecualian hukum yang bersifat
umum oleh hukum yang bersifat khusus setelahnya. Ketiga, adanya
penjelasan yang datang sesudah ditetapkannya sebuah hukum, tetapi masih
samar. Keempat, penetapan syarat hukum terdahulu terhadap hukum yang
belum bersyarat. Namun, batasan tersebut terlalu luas sehingga tidak jelas
antara yang dikhususkan dan yang umum. Menurut Quraish Shihab, ada
batasan nasikh yang lebih sempit, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang
datang kemudian membatalkan atau mencabut atau dapat menyatakan
berakhirnya masa pemberlakuan hukum sebelumnya.19
Menurut Djalal, definisi nasakh secara lengkap adalah sebagai
berikut:20
‫النس خ رف ع احلكم الش رعى ب دليل ش رعى م ع ال رتاخى على وج ه‬
‫لواله لكان احلكم االول ثابتا‬
Nasakh ialah menghapuskan hukum syarak dengan memakai dalil
syarak dengan adanya tenggang waktu, catatan kalau sekiranya
tidak ada nasakh itu tentulah hukum yang pertama itu akan tetap
berlaku.
Contohnya seperti berikut:

15
Subhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an,...... hlm. 261
16
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 107
17
Subhi al-Shalih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an,..... hlm. 261
18
Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Muwassah, 1983) hlm. 232
19
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 144
20
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm 111

4
َ
َ ‫موا ْ ب َ ۡي‬
‫د َ ۡي‬, َ ‫ن ي‬ ُ ِّ ‫ل فَقَد‬َ ‫سو‬ ُ ‫لر‬ َّ ‫م ٱ‬ َ َٰ ‫منُوٓا ْ إِذ َا ن‬
ُ ُ ‫ج ۡيت‬ َ ‫ين ءَا‬ َ ِ ‫يَٰٓأيُّهَا ٱ لَّذ‬
21
١٢ ‫رلَّك ُ مۡ وَأ َ ۡطهَ ۚ ُر‬ٞ ‫خ ۡي‬
َ ‫ك‬ َ ِ ‫صدَقَ ٗۚة ذَٰل‬َ ۡ‫ن َ وَ ۡىجٰك ُ م‬
Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu
lebih baik bagimu dan lebih bersih.
Di nasakh oleh ayat berikut:
ۡ‫إ ِ ۡذل َ م‬,,َ‫دَقَٰ ۚتٖ ف‬,,‫ص‬ َ ۡ َ‫ءَأ َ ۡف‬
َ ۡ‫د َ ۡين َ وَ ۡىجٰك ُ م‬,,َ ‫ن ي‬ َ ‫موا ْ ب َ ۡي‬
ُ ِّ ‫د‬,,َ‫شقت ُ مۡ أن تُق‬
َ
َ ‫وٰة‬,,َ ‫صلَوٰة َ وَءَاتُوا ْ ٱل َّزك‬ َّ ‫موا ْ ٱل‬ ُ ‫ه ع َل َ ۡيك ُ مۡ فَأقِي‬ ُ َّ ‫اب ٱلل‬ َ َ ‫ت َ ۡفعَلُوا ْ وَت‬
َ
22
١٣ ‫ن‬ َ ‫ملُو‬ َ ِ ‫ه خَبِي ۢ ُرب‬
َ ‫ما ت َ ۡع‬ ُ َّ ‫هۥۚ وَٱلل‬ ُ َ ‫سول‬ُ ‫ه وَ َر‬ َ َّ ‫وَأطِيعُوا ْ ٱلل‬
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan
sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka
jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat
kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan
Nasakh tersebut untuk kemashlahatan bersama, karena ayat
sebelumnya mewajibkan sedekah terlebih dahulu sebelum berbicara
dengan Nabi SAW. Kemudian ayat setelahnya me-nasakh atau mengganti
ketentuan yang baru, yaitu penghapusan sedekah terlebih dahulu sebelum
berbicara dengan Rasul. Penghapusan ayat tersebut bertujuan untuk
meringankan beban/kewajiban umat Islam yang memberatkan, yaitu
mengeluarkan sedekah setiap berbicara dengan Nabi SAW.
Pengertian mansukh Quraish Shihab adalah yang dibatalkan,
dihapus, dan dipindahkan.23 Menurut Djalal, mansukh secara bahasa berarti
yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah/ disalin/ dinukil. Menurut istilah para
ulama, mansukh adalah hukum syarak yang diambil dari dalil syarak yang
pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum
dari dalil syarak baru yang datang kemudian. 24 Mansukh menurut
Qaththan, hukum yang dihilangkan, ayat mawarits contohnya, yaitu
menghapus hukum wasiat orang tua dan kerabat terdekat.25
Djalal mengatakan sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh ini adalah
ilmu nasakhi, yaitu ilmu yang membahas ihwal penasakhan (penghapusan
dan penggantian) sesuatu peraturan hukum al-Qur’an.26

21
Al-Mujadilah (58) : 12
22
Al-Mujadilah (58) : 13
23
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 143
24
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 122
25
Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an,.....hlm. 232
26
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 105

5
B. Pembagian Nasakh27
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Nasakh yang pertama ini telah disepakati oleh seluruh orang
yang menyetujui nasakh mengenai kebolehannya.28 Contohnya, kasus
hukum iddah (masa tenggang) bagi seorang janda yang semula satu
tahun, tertera pada ayat berikut:
َ ‫ذ َرو‬,,,, ‫وٱلَّذين يتوفَّ ۡون منك ُ مۡ وي‬
‫ة‬
ٗ َّ ‫ي‬,,,,‫ص‬ ٗ َٰ‫ن أ ۡزو‬
ِ َ‫ا و‬,,,,‫ج‬ َ ُ ََ ِ َ َ َُ َ ِ َ
ۡ َ
َ ‫ل غَ ۡي َر إ ِ ۡخ‬ َ ‫متَٰعًا إِلَى ٱل‬ ِ َٰ‫أِّل ۡزو‬
29 ۚ
٢٤٠ ‫را ٖج‬ ِ ‫ح ۡو‬ َّ ‫جهِم‬
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu
dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-
isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Beberapa waktu kemudian turunlah ayat yang isinya ditetapkan
bahwa masa tenggang bagi janda hanya 4 bulan 10 hari, hal itu
termaktub dalam ayat berikut:
َ ‫ذ َرو‬,,,, ‫وٱلَّذين يتوفَّ ۡون منك ُ مۡ وي‬
‫ن‬
َ ‫ص‬ ٗ َٰ‫ن أ ۡزو‬
ۡ َّ ‫ا يَت َ َرب‬,,,,‫ج‬ َ ُ ََ ِ َ َ َُ َ ِ َ
َ َ
30 ۖ
٢٣٤ ‫را‬ ۡ ۡ
ٗ ‫ة أ شهُ ٖروَع َ ش‬ َ َ‫ن أ َ ۡبرَع‬
َّ ِ‫سه‬
ِ ُ‫بِأنف‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari.
2. Nasakh Al-Qur’an dengan as-Sunnah
Ada perbedaan pendapat pada nasakh model ini, adapun Imam
Syafi’i menolaknya, hal tersebut tertulis dalam risalahnya. Tetapi
sebagian ulama mengatakan bahwa mereka kurang setuju dengan
pendapat Syafi’i, sebab keagungan al-Qur’an dan as-Sunnah
merupakan satu kesatuan yang diturunkan oleh Allah SWT dan tidak
ada pertentangan pada keduanya, namun jika ada pertentangan pada
salah satu dari keduanya maka harus di nasakh.31 Ada sebagian
kelompok Imam Ahmad dan Ahli Dzahir yang menolaknya juga,
alasannya adalah tingkat kedudukan al-Sunnah yang tidak sebanding
dengan Al-Qur’an. Sedangkan Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad
memperbolehkannya, dengan alasan as-Sunnah itu juga wahyu
(artinya Nabi memberikan hukum juga setelah mendapat wahyu dari

27
Louay Fatoohi, Abrogation in the Qur’an and Islamic Law: A Critical Study of the Concept of
“Naskh” and its Impact (New York: Routledge, 2013), hlm. 28
28
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 141, lihat juga Subhiy
Ash-Sholih dalam Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayin, 1988), hlm. 262
29
Al-Baqarah (2) : 240
30
Al-Baqarah (2) : 234
31
Subhiy Ash-Sholih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayain. 1988) hlm.
261, lihat juga Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an.... hlm 237

6
Allah. Sesuatu yang dilakukan Nabi SAW juga bukan merupakan
hawa nafsu.32
Ada beberapa problem dalam bagian nasikh ini, sebagian besar
ulama menolaknya, mereka mengatakan bahwa tidak masuk akal jika
ayat Al-Qur’an dihapus oleh al-Sunnah. Diriwayatkan oleh Abu Musa
al-Hafidz bahwa Yahya ibn Katsir mengatakan bahwa al-Sunnah dapat
diganti oleh al-Qur’an dan bukan al-Qur’an yang digantikan oleh al-
Sunnah. 33
Djalal dalam Ulumul Qur’an, boleh nasakh model ini, namun
nasakh dengan hadits ahad tidak diperbolehkan oleh jumhur ulama.
Hal itu dikarenakan, al-Qur’an datangnya mutawatir dan memberikan
faedah yang meyakinkan, sedangkan hadits ahad memberikan faedah
yang dzanni (dugaan saja).34
Asy-Syuyuti mengatakan bahwa dibolehkan me-nasakh
al_qur’an dengan as-Sunnah karena sesungguhnya as-Sunnah itu juga
dari Allah, Allah berfirman:35

32
Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an.... hlm 237
33
Ibn Hazm Al-Hamdani, i’tibar fi an-Nasikhi wa al-Mansukhi, Cet. 1 (Himsa: Matba’ah Andalus,
1966) hlm. 26
34
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 141
35
Jalaluddin Asy-Syuyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar an-Nafa’is, 1990), hlm. 137

7
36
٣ ٰٓ‫َن هَۡٱلوَى‬
ِ ‫ما يَنطِقُ ع‬
َ َ‫و‬
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya
3. Nasakh al-Sunnah dengan Al-Qur’an
Penghapusan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunnah
diganti dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan al-Qur’an,
Jumhur ulama memperbolehkannya. ini Contohnya kebiasaan Nabi
mewajibkan puasa pada bulan asy-Syura, hadits riwayat Bukhari-
Muslim dari Aisyah r.a: yang artinya “Dari Aisyah, beliau berkata:
“Hari Asyura itu adalah wajib berpuasa. Ketika diturunkan
(kewajiban berpuasa) bulan Ramadhan, maka ada orang yang mau
berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa.”
Semula ada kewajiban berpuasan pada bulan asyura, namun
kemudian di nasakh setelahnya turun ayat berikut:37
‫دٗى‬,,ُ‫ن ه‬ ُ ‫هِ ۡٱلقُ ۡرءَا‬,,‫ل فِي‬ َ ِ‫ز‬,,‫ن ٱلَّذِيٓ أُن‬ َ ‫ا‬,,‫ض‬ َ ‫م‬ ‫َ ۡه‬
َ ‫ ُر َر‬,,‫ش‬
َ ‫هِد‬,,‫ش‬ َ ‫من‬ َ َ‫ا ۚ ِنف‬,,َ‫دَىٰ وَ ۡٱلفُ ۡرق‬,,ُ‫ن ۡٱله‬ َ ‫م‬ ِّ ٖ‫اس وَبَيِّن َٰ ت‬ِ َّ ‫للن‬
ِّ
َ ۖ
‫ى‬ َ
ٰ ‫ا أ ۡوع َل‬, ‫يض‬ ً ِ‫مر‬ َ ‫ن‬ َ ‫ا‬,,َ ‫من ك‬ َ َ‫م ُه و‬,ۡ ‫ص‬ُ َ ‫م ٱ لشَّ ۡه َر فَ ۡل ي‬ ُ ُ ‫منك‬ ِ
ۡ
‫م ٱلي ُ ۡس َر وَاَل‬ ُ َ
ُ َّ ‫د ُ ٱلل‬, ‫خ ۗ َر يُرِي‬
ُ ُ ‫ه بِك‬ َ ‫م ۡن أيَّام ٍ أ‬ ِّ ‫ة‬ٞ َّ ‫د‬, ِ‫سفَ ٖرفَع‬ َ
ۡ
َ َّ ‫دَّة َ وَلِتُكَب ِّ ُروا ْ ٱلل‬,,ِ‫وا ْ ٱلع‬,,ُ ‫مل‬
‫ه‬ ِ ‫س وَلِت ُۡك‬
‫م ٱلعُ ۡ َر‬ ۡ ُ ُ ‫د ُ بِك‬,,‫يُرِي‬
١٨٥38 ‫ن‬ َ ‫ما هَدَىٰك ُ مۡ وَلَعَلَّك ُ مۡ ت َ ۡشك ُ ُرو‬ َ ‫ى‬ َ
ٰ ‫ع َل‬
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan,
bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah
kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.

36
An-Najm (53) : 3
37
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 142, lihat juga Subhiy
Ash-Sholih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ilm al-Malayain. 1988) hlm 261
38
Al-Baqarah (2) : 185

8
Akan tetapi Imam Syafi’i menolak ketetapan ini, karena
semua yang ditetapkan dalam hadits Nabi tentu sudah didukung oleh
al-Qur’an, hal itu berarti ketetapan al-Qur’an tidak bertentangan
dengan al-Sunnah atau saling bersinergi.39
4. Nasakh al-Sunnah dengan al-Sunnah
Sebagian besar ulama tidak setuju dengan nasakh ini, hal itu
dikarenakan Nabi SAW tidak mungkin memberikan syariat untuk
umatnya kecuali mendapat petunjuk dan wahyu dari Allah SWT, dan
semua yang di sunnahkan Nabi merupakan perkara syariat bukan
dari hawa nafsu. Contohnya me-nasakh wudhu yang semula
dianjurkan setelah makan sate, kemudian beliau me-nasakh-nya,
beliau tidak berwudhu setelah makan sate.40

C. Makna nasikh-mansukh
Ada tiga model Nasakh bagian ini, 41 yaitu:
1. Yang di nasakh tulisan dan hukumnya
Yaitu menghapus ayat dan hukumnya sekaligus. Contohnya seperti
hadits berikut:
‫ كنا نقرأ عىل عهد رسول هللا‬:‫روي عن أنس بن ماكل ريض هللا عنه أنه قال‬
‫ م!!ا أحف!!ظ مهنا غ!!ري آي!!ة‬،‫ص!ىل هللا علي!!ه وس!!مل س!!ورة تع!!دلها س!!ورة التوب!!ة‬
‫ ولو أن هل اثلث!!ا‬،‫ (ولو أن البن آدم واداين من ذهب ال بتغى إلهيا اثلثا‬:‫واحدة‬
‫ ويت!!وب هللا عىل من‬،‫ وال ميأل ج!!وف ابن آدم إال ال !رتاب‬،‫البتغى إلهيا رابع!!ا‬
42
.)‫اتب‬
“Anas bin Malik RA. mengatakan, ketika kami bertanya pada
Nabi SAW firman Allah yang menunjukkan perihal taubat,
beliau memberikan satu ayat: seandainya anak Adam
mendapati sebuah lembah, maka dia akan meninggalkannya
untuk mencari satu lagi seperti itu, dan jika dia memperoleh
yang seperti itu lagi untuk kedua, makan dia akan mencarinya
lagi untuk yang ketiga, dan tidak ada yang akan memuaskan
perut keturunan Adam kecuali debu, tetapi Allah lembut hati
(mengampuni) kepada siapapun yang bertaubat.”

39
Subhiy Ash-Sholih, Mabahits fi Ulum al-Qur’an..... hlm 261
40
Ibid., hlm 261-262
41
Louay Fatoohi, Abrogation in the Qur’an and Islamic Law: A Critical Study of the Concept of
“Naskh” and its Impact (New York: Routledge, 2013), hlm. 25
42
Al-Bukhari Abi Abdillah, Sahih Abi Abdillah Al-Bukhari bi Sharh Al-Karmani, juz 22 (Kairo:
Matba’ah al-Bahiyah al-Misriyah, 1937), hlm. 207

9
2. Yang di nasakh tulisannya dan hukumnya tetap
Menurut As-Suyuthiy dalam al-Ithqan dan Ibn Hazm dalam an-
Nasikhu wa al-Mansukhu li ibn Hazm, Umar ibnu Khattab
mengatakan:43
‫إذا زنيا فرمجوهام البتة ناكال من هللا وهللا عزيز حكمي‬
Apabila seorang lelaki dewasa dan seorang perempuan
dewasa berzina, maka rajamlah keduanya, itulah kepastian
hukum dari Tuhan dan Tuhan maha kuasa lagi bijaksana.
Ada beberapa kontroversi dengan ayat tersebut, riwayat Bukhari
mengatakan bahwa posisi semula ayat tersebut berada pada surat
an-Nur ayat 24, tetapi terdapat batasan yang jelas mengenai
hukuman perbuatan zina tersebut dengan cambukan, sedangkan
ayat di atas dengan rajam.
3. Yang di nasakh hukumnya dan tulisannya tetap
Yaitu tulisan dan bacaan ayatnya masih tetap ada namun hukumnya
sudah dihapus dan diganti dengan yang lain. Contohnya, ayat
berikut:
َ ‫ذ َرو‬,,,, ‫وٱلَّذين يتوفَّ ۡون منك ُ مۡ وي‬
‫ة‬
ٗ َّ ‫ي‬,,,,‫ص‬ ٗ َٰ‫ن أ ۡزو‬
ِ َ‫ا و‬,,,,‫ج‬ َ ُ ََ ِ َ َ َُ َ ِ َ
َ
٢٤٠44 ‫را ٖۚج‬ َ ‫ل غَ ۡي َر إ ِ ۡخ‬
ِ ‫ح ۡو‬ َ ‫متَٰعًا إِلَى ۡٱل‬ ِ َٰ‫أِّل ۡزو‬
َّ ‫جهِم‬
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu
dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-
isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan
tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Beberapa waktu kemudian turunlah ayat yang isinya
ditetapkan bahwa masa tenggang bagi janda hanya 4 bulan 10 hari,
hal itu termaktub dalam ayat berikut:
َ ‫ذ َرو‬,,,, ‫وٱلَّذين يتوفَّ ۡون منك ُ مۡ وي‬
‫ن‬
َ ‫ص‬ ٗ َٰ‫ن أ ۡزو‬
ۡ َّ ‫ا يَت َ َرب‬,,,,‫ج‬ َ ُ ََ ِ َ َ َُ َ ِ َ
َ َ
45
٢٣٤ ‫ة أ ۡشهُ ٖروَع َ ۡش ٗر ۖا‬ َ َ‫ن أ َ ۡبرَع‬
َّ ِ‫سه‬
ِ ُ‫بِأنف‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari.
Manna al-Qaththan mengatakan bahwa ada hikmah dibalik
penghapusan hukumnya saja namun tulisan dan bacaannnya tetap,
yaitu:46

43
Jaluddin al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an......hlm 140
44
Al-Baqarah (2) : 240
45
Al-Baqarah (2) : 234
46
Manna al-Qaththan, .... hlm. 239

10
a) Al-Qur’an itu sebagian dibaca untuk diketahui isi hukumnya
dan untuk diamalkan, dibaca karena itu firman Tuhan maka
akan mendapat pahala.
b) Nasakh pada umumnya berguna untuk memberikan keringanan.
Karena itu, tidak di-nasakh-kan bacaan ayat untuk
mengingatkan nikmat Allah yang memperingan hukuman itu.

D. Ayat-ayat yang Terkena Nasakh dan bebas Nasakh


Menurut Syekh Imam Abu al Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-
Nisaburiy dalam Acep Hermawan, menurunkan ucapannya Abu al-Qasim,
bahwa surat-surat al-Qur’an dibagi menjadi empat kelompok:47

Tabel 1
Pembagian surat-surat yang terkena dan bebas Nasakh

pertama Kedua ketiga Keempat


surat yang Surat yang di Surat yang di Surat yang
bebas dari dalamnya dalamnya mengandung
nasikh-mansukh terdapat nasikh terdapat ayat-ayat nasikh dan
ada 43 surat, tetapi tidak mansukh, tetapi mansukh
diantaranya: terdapat tidak terdapat berjumlah 25
1. Al-Fatihah mansukh ada ayat nasikh, surat, yaitu:
2. Yusuf enam surah, diantaranya: 1. Al-Baqarah
3. Yaasin yaitu: 1. Al-An’am 2. Ali ‘Imran
4. Al-Hujurat 1. Al-Fath 2. Al-A’raf 3. An-Nisa
5. Al-Rahman 2. Al-Hasyr 3. Yunus 4. Al-Maidah
6. Al-Hadid 3. Al- 4. Hud 5. Al-Anfal
7. Al-Shaf Munafiqun 5. Al-Ra’d 6. At-Taubah
8. Al-Jumu’ah 4. At- 6. Al-Hijr 7. Ibrahim
9. At-Tahrim Taghabun 7. Al-Nahl 8. Al-Kahfi
10. Al-Mulk 5. Al-Thalaq 8. Bani Isra’il 9. Maryam
11. Al-Haqqah 6. Al-A’la 9. Al-Kahfi 10. Al-Anbiya’
12. Nuh 10. Thaha 11. Al-Hajj
13. Al-Jin 11. Al-Mu’min 12. An-Nur
14. Al-Mursalat 12. Al-Naml 13. Al-Furqan
15. Al-Naba’ 13. Al-Qashash 14. Asy-Syu’ara’
16. An-Nazi’at 14. Al-Ankabut 15. Al-Ahzab
17. Al-Infithar 15. Ar-Rum 16. Saba’
18. Al- 16. Luqman 17. Mu’minin
Muthaffifin 17. Al-Mashabih 18. Asy-Syura
19. Al-Insyiqaq 18. Al-Malaikah 19. Adz-
20. Al-Buruj 19. Al-Shaffat Dzariyat
21. Al-Fajr 20. Shad 20. Ath-Thur
47
Acep Hermawan, ‘Ulumul Qur’an (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 169-173

11
22. Al-Balad 21. Az-Zumar 21. Al-Waqi’ah
23. As-Syamsu 22. Az-Zukhruf 22. Mujaadilah
24. Al-Lail 23. Ad-Dukhan 23. Al-
25. Adh-Dhuha 24. Al-Jatsiyah Muzammil
26. Al-Insyirah 25. Al-Ahqaf 24. Al-Kautsar
27. Al-Alaq 26. Muhammad 25. Al-Ashr
28. Al-Qadr 27. Al-Basiqat
29. Al-Infithar 28. Al-Najm
30. Al-Zalzalah 29. Al-Qamar
31. Al-Adiyat 30. Al-Imtihan
32. Al-Qari’ah 31. Al-Qalam
33. Al-Takatsur 32. Al-Ma’arij
34. Al- 33. Al-
Humazah Muddatstsir
35. Al-Fiil 34. Al-Qiyamah
36. Al-Quraisy 35. Al-Insan
37. Al-Ma’un 36. ‘Abasa
38. Al-Kautsar 37. At-Thariq
39. Al-Nashr 38. Al-
40. Al-Lahab Ghashiyah
41. Al-Ikhlas 39. At-Tin
42. Al-Falaq 40. Al-Kafirun
43. An-Nash
Keempat puluh
tiga surat itu
merupakan
surat yang di
dalamnya tidak
terdapat amar
dan nahi.
Sebagiannya
hanya terdapat
nahi tanpa
amar, dan
sebagian yang
lain hanya
terdapat amar
tanpa nahi.

Ada 114 surat di dalam al-Qur’an dan hanya 43 surat yang bebas
nasakh, hal itu berarti ada 71 surat yang terkena nasakh (62,3% surat dari
seluruh surat). Ini berarti sebagian surat di dalam al-Qur’an menjadi
nasakh, yakni menduduki posisi hukum yang termuat pada ayat yang di

12
nasakh. Nasakh tidak mungkin terjadi kecuali pada ayat yang membawa
pesan larangan dan perintah. Sementara ayat yang susunan kalimatnya
berbentuk khabar, termasuk wa’d (janji) dan wa’id (ancaman), maka di
sana nasakh tidak mungkin masuk.48

E. Kontroversi dalam Nasikh-Mansukh


Kontroversi tentang naskh menjadi semakin menarik minat kajian
para peneliti karena kesimpulan yang dihasilkan berimplikasi terhadap
persoalan yang krusial dan fenomenanya dikaitkan dengan otentisitas al-
Qur’an sebagai wahyu Tuhan. Secara historis, nasikh-mansukh merupakan
bidang ilmu pengetahuan yang memiliki sejarah teramat panjang, baik
dalam konteks internal hukum Islam ataupun dalam konteks eksternal
antar ajaran Nabi/Rasul satu (yang digantikan) dengan ajaran Nabi/Rasul
yang lain (yang menggantikan). 49
Sedangkan secara fungsional, Muhammad Mahmud Hijazi
menegaskan bahwa keberadaan nasikh-mansukh dalam pembentukan dan
pembangunan hukum sangatlah signifikan, bahkan benar-benar esensial
(dhârurî). Terutama di tengah umat yang pembangunan hukumnya tengah
mengalami pertumbuhan dan perkembangan sangat cepat.50
Menurut Ibnu Salamah, ayat yang paling unik terhapus (mansukh)
adalah QS. Al-A’raf ayat 199, yaitu:
١٩٩ ‫ين‬ َٰ ‫َن ۡٱل‬
َ ِ ‫جهِل‬ ۡ ِ‫ف وَأ َ ۡعر‬
ِ ‫ضع‬ ِ ‫م ۡرب ِ ۡٱلعُ ۡر‬
ۡ
ُ ‫خذ ِ ۡٱلعَ ۡفوَ وَ أ‬
ُ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma
´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
Ayat tersebut memuat tiga potong ayat yang di-nasakh oleh tiga
ayat lain pula. 51 Pertama, ayat yang me-nasakh adalah QS. At-Taubah
ayat 102:
‫ر‬,
َ ,‫خ‬َ ‫حا وَءَا‬ َٰ ‫ماٗل‬
ٗ ِ ‫ل‬, ‫ص‬ َ َ ‫ٱعت َ َرفُوا ْ بِذ ُنُوبِهِ مۡ خَلَطُوا ْ ع‬
ۡ ‫ن‬َ ‫وَءَاخ َُرو‬
َ َّ ‫ى ٱلل‬, ‫سيئًا ع َس‬
‫م‬
ٌ ‫حي‬ِ ‫ر َّر‬ٞ ‫و‬,,ُ‫ه غَف‬ َ َّ ‫ن ٱلل‬َّ ِ ‫وب ع َل َ ۡيهِ مۡۚ إ‬,
َ ,ُ ‫ه أن يَت‬
ُ َ ِّ َ
١٠٢
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka,
mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan
lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.
Kedua, muhkam. Ketiga, di-nasakh oleh ayat as-Sayf. Keunikan
jenis penghapusan ayat ini terdapat jumlah cukup banyak.

48
Acep Hermawan, ‘Ulumul Qur’an (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 173
49
Muhammad Amin Suma, Nasikh-Mansukh dalam Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar’i,
Jurnal Kajian Islam Al-Ihsan, Vol. 1, No. 1, Januari 2013, hlm. 27
50
Ibid.
51
Wardani, Ayat Pedang VS Ayat Damai: Menafsir Ulang Teori Naskh dalam al-Qur’an (Jakarta:
Kementerian Agama, 2000), hlm. 3

13
Hamdani dalam al-I’tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh,
mengatakan bahwa ada kontroversi antara jumhur ulama, mereka
berpendapat bahwa as-Sunnah adalah cerminan/tafsiran dari al-Qur’an dan
tidak saling bertentangan satu sama lainnya.52 Kontroversi yang pertama
ada di model nasakh al-Qur’an dengan as-Sunnah, tidak masuk akal jika
as-Sunnah dapat menghapus al-Qur’an, padahal seharusnya keduanya
sinkron dan bersinergi. Maka, untuk menjawab pertanyaan, apakah boleh
menghapus al-Qur’an dengan hadist, jawabannya adalah berbagai macam
pendapat para ulama.
Ada yang mengatakan bahwa tidak boleh menghapus al-Qur’an
dengan hadist, dengan dasar QS. Al-Baqarah ayat 106 yang artinya, ayat
mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Ayat tersebut jelas menerangkan yang menasakh
adalah yang sebanding, padahal tidak ada yang lebih tinggi/baik dari al-
Qur’an.53
Pendukung naskh menentang dengan logis pada mereka yang
kontra, dengan alasan yang kuat dalam firman Allah berikut:
ِّ ٞ‫خ ۡلفِهِۦۖ تَنزِي ل‬
‫م ۡن‬ ِ ‫ن يَد َ ۡيهِ وَاَل‬
َ ‫م ۡن‬ ِ ‫م ۢنب َ ۡي‬ ُ ,,,,ِ ‫هِ ۡٱلبَٰط‬,,,,‫اَّل ي َۡأتِي‬
ِ ‫ل‬
54
٤٢ ٖ‫مي د‬ ِ ‫ح‬
َ ٍ ‫حكِيم‬ َ
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan
maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji
Ayat tersebut ditegaskan oleh Abu Muslim, bahwa al-Qur’an tidak
disentuh oleh pembatalan dan dengan demikian bila naskh diartikan
sebagai pembatalan, maka jelas tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Para pendukung yang pro naskh memberikan penjelasan lagi
bahwa ayat tersebut berbicara tentang kebatilan bukan tentang pembatalan.
Hukum Tuhan yang dibatalkan bukan berarti batil, karena sesuatu yang
dibatalkan penggunaannya kepada perkembangan dan kemashlahatan pada
suatu waktu, bukan berarti yang dibatalkan berarti tidak benar. Para
pendukung yang pro terhadap naskh ini mengakui bahwa naskh baru dapat
dilakukan jika terdapat dua ayat hukum yang bertolak belakang dan tidak
dapat dikompromikan dan harus diketahui urutannya sehingga dapat
ditetapkan nasikh dan mansukh-nya.
Pendukung teori nasikh mansukh ini adalah Imam Syafi’i, An
Nahas, As-Syuyuti, dan Asy Syukani. Namun, ada Imam Syafi’i tidak
mendukung teori naskh secara keseluruhan, Imam Syafi’i dan Abu Muslim
52
Ibn Hazm al-Hamdani, al-I’tibar fi an-Nasikh wa al-Mansukh, Cet. 1 (Himsa: Matba’ah
Andalus, 1966), hlm. 26
53
Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash Dirasah fi al-Ulum al-Qur’an, (Beirut: Markaz Ats-
Tsaqafi Al-Araby, 2000), hlm. 123
54
Fussilat (41) : 42

14
Al-Asfihani menolak adanya penghapusan al-Qur’an dengan hadis.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada yang sebanding derajatnya dengan
al-Qur’an.
Pemikiran Muhammad Abduh dalam Quraish Shihab, dijadikan
sebagai titik tolak dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Qur’an.
Muhammad Abduh tidak mendukung “ayat” dalam surat al-Baqarah ayat
106 sebagai “ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an” dengan alasan penutup
ayat tersebut menyatakan “sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu” yang menurutnya ayat yang dimaksudkan adalah mukjizat. Akan
tetapi, Muhammad Abduh tetap berpendapat bahwa kata-kata “ilmu
Tuhan”, “diturunkan”, “tuduhan kebohongan” adalah isyarat yang
menunjukkan bahwa kata “ayat” dalam surat an-Nahl ayat 101 adalah
ayat-ayat hukum al-Qur’an.55
Dengan demikian, Abduh menolak adanya naskh tetapi mengakui
adanya tabdil atau penggantian, pemindahan, pengalihan ayat hukum di
tempat ayat hukum lain. Hal itu juga sesuai dengan arti naskh secara
etimologis yang berarti pemindahan dari satu wadah ke wadah lain.
Penafsiran-penafsiran terhadap keberadaan naskh ini juga
berkembang seiring berkembangnya zaman, ada tiga model model
penafsiran yang berkembang:56 Pertama, penafsiran yang mendukung
(afirmasi) naskh, yaitu penafsiran konvensional mayoritas mufassir yang
menyatakan bahwa “tabdil” (penggantian) adalah pembatalan final (naskh)
ayat dengan ayat lain, baik tulisan (naskh al-tiwalah) maupun hukumnya
(naskh al-hukm).
Kedua, penafsiran yang menolak (negasi) naskh, yaitu penafsiran
yang menolak naskh sebagai pembatalan final dan tidak menawarkan
solusi penafsiran dari dalam melainkan diluar perdebatan naskh al-Qur’an.
Posisi penafsiran ini diwakili oleh para penolak naskh al-Qur’an, seperti
Abu Muslim al-Ishfahani, al-Jabry, Ahmad Hijazi al-Saqa, Ihab Ihsan
Abduh, dan Jamil Salih Ataya. Penolakan tersebut dikemukakan dengan
“idza”, “baddalna”, dan “ayah” pertama dan kedua.57
Ketiga, penafsiran ulang atau reinterpretasi (pendekatan
revisionis), yaitu bahwa penggantian adalah bukan penggantian antar ayat.
Penafsiran ini dikemukakan kalangan revisionis, misalnya Abduh, Taha,
Abu Zayd, dan M. Quraish Shihab. Disini penafsiran Muhammad Asad,
dalam the Message of the Qur’an, dikemukakan untuk memperjelas. Asad
menafsirkan “penggantian” sebagai penggantian temporer “pesan” yang
terkandung dalam ayat sesuai dengan perkembangan intelektual dan sosial
manusia dan sesuai dengan prinsip kebertahapan wahyu, bukan sebagai
penganulir permanen.58
55
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an......, hlm. 147
56
Wardani, Ayat Pedang VS Ayat Damai...., hlm. 97
57
Ibid.
58
Ibid., hlm. 97-98

15
Ada empat golongan ulama yang berbeda pendapat mengenai
naskh:59
1. Orang Yahudi.60
Orang yahudi tidak mengakui adanya naskh, karena
menurut mereka naskh mengandung konsep al-bada’, yaitu tampak
jelas setelah kabur. Kadang, adakalanya naskh tanpa adanya
hikmah, dan hal itu pasti mustahil bagi Allah. Kadang, adakalanya
naskh karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Hal
itu berarti terdapat sesuatu kejelasan yang didahului oleh
ketidakjelasan, tentu ini mustahil juga bagi Allah SWT.
2. Orang Syi’ah Radifah.
Orang Syi’ah Radifah menetapkan dan meluaskann naskh
secara berlebihan. Mereka berkontradiksi dengan orang Yahudi,
karena mereka memandang bahwa al-bada’ itu mungkin bagi
Allah. Mereka memakai dalil QS. Ar-Ra’d: 39, yang artinya,
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan Ia menetapkan
(apa yang Ia kehendaki).” Mereka memandang bahwa Allah siap
menghapuskan dan menetapkan.
Paham mereka merupakan kesesatan yang dalam, karena
mereka berpedoman bahwa Allah menghapuskan sesuatu yang
perlu dihapus dan menetapkan penggantinya. Di samping
penghapusan dan penetapan terjadi dalam banyak hal, misalnya
menghapuskan keburukan dengan kebaikan. Hal itu sesuai dengan
QS. Hud: 114, yang artinya, “Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang
buruk.” Juga menghapuskan kemaksiatan dengan taubat mereka,
serta penetapan iman dan ketaatan mereka.
3. Abu Muslim al-Asfihani.
Abu Muslim berpendapat bahwa naskh mungkin saja
terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi tanpa adanya syara’. Dia
memakai dasar QS. Fussilat: 42, yang artinya, “Yang tidak datang
kepadanya (Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari
belakangnya, yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji.” Ia mengartikan bahwa Allah tidak
mungkin menghapuskan hukum-hukum Qur’an selamanya, namun
ditakhsiskan.
Sedangkan di dalam ensiklopedia Imam Syafi’i, Abu
Muslim tidak mengakui adanya naskh dalam al-Qur’an, karena hal
itu dianggap sebagai pembatalan terhdap sebagian wahyu yang
terkandung dalam al-Qur’an dan pembatalan hukum itu merupakan
59
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Terjemah oleh Mudzakir (Bogor: Litera
AntarNusa, 2014), hlm. 330-334
60
Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i. Terjemah oleh Usman
Sya’roni (Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika, 2008), hlm. 258

16
sesuatu yang batil. Sementara al-Qur’an tidak tersentuh kebatilan,
baik dari depan maupun dari belakang. Al-Qur’an juga berisi
syariat yang berlaku selamanya, maka di dalam al-Qur’an tidak
boleh ada naskh. 61
4. Jumhur Ulama.
Mereka berpendapat bahwa naskh dapat diterima secara
akal dan dapat pula terjadi dalam hukum-hukum syara’
berdasarkan dalil-dalil. Pertama, Allah tidak bergantung pada
alasan dan tujuan dalam memerintahkan sesuatu pada suatu kurun
waktu dan melarangnya pada waktu tertentu. Hal itu dikarenakan
hanya Allah yang tahu kepentingan hamba-Nya. Kedua, al-Qur’an
dan Hadits menunjukkan bahwa naskh itu dapat terjadi, seperti
dalam QS. An-Nahl ayat 101, yang artinya, “dan apabila Kami
mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain...”
Argumentasi nasikh-mansukh memang rentak kritik, dan
perbedaan pendapat. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, pertama,
semua hadits yang dijadikan dalil nasikh-mansukh terhitung lemah.
Kedua, banyak pertentangan di antara para ulama tentang ayat yang di
nasakh, dan dengan ayat mana yang mansukh. Ketiga, formula teori
nasikh-mansukh ini juga diikhtilafkan di antara para ulama Ulumul
Qur’an. Keempat, nasikh-mansukh dikemukakan untuk mendamaikan
ayat-ayat yang bertentangan, padahal al-Qur’an sendiri menegaskan tidak
ada pertentangan di dalamnya. Menurut Dr. Lang, bahwa teori nasikh-
mansukh ini kelihatan mendakwa bahwa Tuhan menurunkan informasi
yang berlebih dan dalam wahyu terkahir pada umat manusia sehingga Dia
sering menilai selama proses penyampaiannya. Persepsi tersebut membuat
para mualaf heran dan cukup terguncang keimanannya.62
Sebenarnya, kontradiksi antara pendapat-pendapat ulama adalah
wajar, hal tersebut dikarenakan tidak ada pembedaan antarteks agama, dan
batas-batas yang memisahkan antarteks tersebut tidak dikenali. Pendapat
Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa teks yang berkaitan dengan naskh
hukum, sepadan. Sedangkan Zarkasyi menolak pendapat tersebut, ia
mengatakan bahwa bukti dari firman Tuhan adalah digugurkannya hukum
cambuk dalam hukuman zina terhadap janda yang dirajam sebab dalam hal
ini yang menggugurkannya hanyalah sunnah, perbuatan Nabi SAW.63
Penolakan Zarkasyi tersebut wajar, sebab hukum rajam merupakan
batas maksimal dalam hukum cambuk dan keduanya tidak mungkin
dikompromikan. Hadits shohih dapat menafsirkan dan menjelaskan al-
Qur’an tetapi ia tidak dapat membatalkan hukum-hukumnya. Zarkasyi
61
Ibid.
62
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 208
63
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Terjemah oleh
Khoirun Nahdliyyin, Cet. I. (Yogyakarta: LKis, 2001), hlm. 151

17
mengatakan bahwa ketika berbicara tentang yang menasakh harus muncul
belakangan dari yang di nasakh.64
Quraish Shihab mengatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada
perselisihan antara kalangan ulama tentang kebolehan diadakan
perubahan-perubahan hukum dari sebab naskh tersebut. Tetapi yang
dimaksudkan dan disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang
dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri.65 Al-Jubriy mengatakan bahwa para
ahli tafsir dan ahli fiqih akan merujuk pada al-Qur’an ketika mereka
berbeda pendapat yang tidak menemui titik temu.66 Di sisi lain yang
kontra, mereka menolak adanya naskh ini karena beranggapan bahwa
pembatalan hukum Allah SWT mengakibatkan satu dari dua
kemustahilanNya, yaitu pertama, ketidaktahuan sehingga Dia perlu
mengganti hukum satu dengan hukum yang lain, kedua, kesia-siaan dan
permainan belaka.67

F. Contoh-Contoh Nasikh-Mansukh68
1. QS. Al-Baqarah ayat 115
َ ۚ
١١ِ‫ه ٱللَّه‬ َّ َ ‫ا تُوَلُّوا ْ فَث‬,,‫م‬
ُ ‫م وَ ۡج‬ َ ‫م ۡرِشقُ وَ ۡٱل‬
َ َ ‫م ۡغرِ بُ فَأ ۡين‬ َ ‫وَلِلَّهِ ۡٱل‬
69
٥
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah.
di nasakh oleh QS. Al-Baqarah ayat 144
70
َ ‫جد ِ ۡٱل‬
١٤٤ ‫ح َرا ۚ ِم‬ َۡ ‫ك شَ ۡطر‬
ِ ‫مٱل ۡس‬ َ َ‫ل وَ ۡجه‬
ِّ َ‫فَو‬
َ
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.

64
Ibid.
65
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 145
66
Abdul Muta’al Muhammad al-Jubriy, La Naskh fi al-Qur’an...limadza? (Sarang: Maktabah
Wahbah, 1980), hlm. 13
67
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an......, hlm. 146
68
Ibid., hlm. 242-243
69
Al-Baqarah (2) : 115
70
Al-Baqarah (2) : 144

18
2. QS. Al-Baqarah ayat 180
َ
‫خ ۡي ًرا‬ َ ‫ر‬,,,
َ ‫ك‬ َ ‫م ۡٱل‬
ُ ‫م ۡو‬
َ َ ‫ت إِن ت‬ ُ ُ ‫ دَك‬,,,‫ح‬
َ ‫ َر أ‬,,,‫ض‬َ ‫ح‬ َ ‫ب ع َل َ ۡيك ُ مۡ إِذ َا‬َ ِ ‫كُت‬
َۡ ۡ ُ َّ ‫صي‬
71
١٨٠ ‫ين‬ َ ِ ‫ن وَ ٱلأ َرۡقب‬ِ ‫ة ل ِ لوَٰلِد َ ۡي‬ ِ َ‫ۡٱلو‬
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya.
dalam Mabahist fi Ulum al-Qur’an, Qattan menulis ayat tersebut di
nasakh oleh hadits yang diriwayatkan Dawud dan Tirmidzi:72

‫ان هللا قد اعطى لك ذي حق حقه فال وصية لوارث‬


Sesungguhnya Allah memberikan setiap yang bernyawa itu hak, maka
jangan berilah wasiat untuk yang menerima warisan.
3. QS. Al-Baqarah ayat 184
١٨٤ ‫م ۡسكِي ۖ ٖن‬ ُ ‫ة طَعَا‬ٞ َ ‫هۥ فِ ۡيد‬
ِ ‫م‬ َ ِ ‫وَع َلَى ٱلَّذ‬
ُ َ ‫ين يُطِيقُون‬
73

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka


tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin.
dihapus oleh QS. Al-Baqarah ayat 185
74
١٨٥ ‫ص ۡم ۖ ُه‬
ُ َ ‫م ٱ لشَّ ۡه َر فَ ۡلي‬
ُ ُ ‫منك‬ َ َ‫ف‬
ِ َ ‫من شَ هِد‬
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.
4. QS. Al-Baqarah ayat 217
َ ‫َن ٱ لشَّ ۡهرِ ۡٱل‬
‫ۚر‬ٞ ‫هِ كَبِي‬, ‫ فِي‬ٞ‫ا ل‬,,َ ‫ا ٖل فِي ۖ ِه قُ ۡل قِت‬,,َ ‫ح َرام ِ قِت‬ َ َ ‫ي َ ۡ ََٔٔۡسلُون‬
ِ ‫كع‬
75
٢١٧
Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram.
Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar.
dihapus oleh QS. At-Taubah ayat 36
٣٦ ‫ين كَٓافَّ ٗة ك َ َما يُقَٰتِلُونَك ُ مۡ كَٓافَّ ٗۚة‬
76 ُۡ ْ ‫وقَٰتِلُوا‬
َ ِ ‫مٱل ۡشرِك‬ َ
dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya.
5. QS. Al-Baqarah ayat 240

71
Al-Baqarah (2) : 180
72
Manna al-Qaththan, .... hlm. 243
73
Al-Baqarah (2) : 184
74
Al-Baqarah (2) : 185
75
Al-Baqarah (2) : 217
76
At-Taubah (9) : 36

19
َ ٗ َّ ‫ي‬,,‫ص‬ َ ‫ذ َرو‬,, ‫وٱلَّذين يتوفَّ ۡون منك ُ مۡ وي‬
ِ َٰ‫ة أِّل ۡزو‬
‫جهِم‬ ٗ َٰ‫ن أ ۡزو‬
ِ َ‫ا و‬,,‫ج‬ َ ُ ََ ِ َ َ َُ َ ِ َ
٢٤٠ ‫ل غَ ۡي َر إ ِ ۡخ َرا ٖۚج‬ َ ‫متَٰعًا إِلَى ۡٱل‬
ِ ‫ح ۡو‬
77
َّ
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya,
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh
pindah (dari rumahnya).
dihapus oleh QS. Al-Baqarah ayat 234
َ َ ‫وٱلَّذين يتوفَّ ۡون منك ُ مۡ ويذ َرو‬
‫ن‬
َّ ِ‫ه‬,‫ُس‬
ِ ‫ن بِأنف‬
َ ‫ص‬ ٗ َٰ‫ن أ ۡزو‬
ۡ َّ ‫ا يَت َ َرب‬,,‫ج‬ َ ُ ََ ِ َ َ َُ َ ِ َ
78
٢٣٤ ‫ة أ َ ۡشهُ ٖروَع َ ۡش ٗر ۖا‬
َ َ‫أ َ ۡبرَع‬
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber´iddah) empat bulan sepuluh hari.
6. QS. Al-Baqarah ayat 284
‫هِ ٱلل َّ ۖ ُه‬, ِ ‫بكُم ب‬,ۡ ‫اس‬ َ َ
ِ ‫ح‬َ ُ ‫وه ُ ي‬,,ُ‫ك ُ مۡ أ ۡوت ُ ۡخ ف‬, ‫ُس‬
ِ ‫ي أنف‬ َ ْ ‫وَإِن ت ُ ۡبدُوا‬
ٓ ِ‫ما ف‬
79
٢٨٤
Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan
kamu tentang perbuatanmu itu.
Dihapus oleh QS. Al-Baqarah ayat 286
ً ‫ه ن َ ۡف‬
٢٨٦ ‫سا إِاَّل وُ ۡسعَهَ ۚا‬ ُ َّ ‫ف ٱلل‬
ُ ِّ ‫اَل يُكَل‬
80

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya.
7. QS. An-Nisa ayat 8
َ ‫ى وَ ۡٱل‬ َ َٰ ‫ى وَ ۡٱليَت‬ ۡ ْ ُ ُ َ ‫مس‬ ‫ َر ۡٱل‬,,‫ض‬
‫ين‬
ُ ِ ‫ك‬,,‫س‬
َٰ ‫م‬ ٰ ‫م‬ ٰ َ ‫وا ٱلقُ ۡرب‬,, ‫ة أوْل‬ َ ِۡ‫ق‬ َ ‫ح‬
َ ‫وَإِذ َا‬
٨ ُ ‫م ۡن‬
‫ه‬ ِّ ‫فَ ۡٱر ُزقُوهُم‬
81

Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan
orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya).
dihapus oleh ayat mawarits (tentang warisan)
.82 ‫ إهنا غري منسوخة وحمكها ابق عىل الندب‬-‫وهو الصواب‬-
Sebenarnya ayat tersebut tidak dihapus dan hukumnya pun tetap
diberlakukan.
8. QS. An-Nisa ayat 15 dan 16

77
Al-Baqarah (2) : 240
78
Al-Baqarah (2) : 234
79
Al-Baqarah (2) : 284
80
Al-Baqarah (2) : 286
81
An-Nisa (4) : 8
82
Manna al-Qattan, Mabahist fi Ulum al-Qur’an....., hlm. 244

20
ِ َٰ‫ين ۡٱلف‬ ۡ
َّ ِ‫ٱس َ ۡهِد ُشوا ْ ع َل َ ۡيه‬
‫ن‬ ‫ٓائِك ُ مۡ فَ ۡت‬,,,‫س‬ َ ِّ ‫من ن‬ ِ ‫ة‬ َ ,,,‫ش‬ َ ‫ح‬ َ ِ ‫وَٱ لَّٰتِي ي َأت‬
َ
‫ى‬ٰ َّ ‫حت‬
َ ‫وت‬, ِ ,ُ ‫ن فِي ۡٱلبُي‬ َّ ُ‫كُوه‬, ‫س‬ ِ ‫هِدُوا ْ فَأ ۡم‬, ‫ش‬ َ ‫منك ُ ۡۖم فَإِن‬ ٗ َ‫أ َ ۡبرَع‬
ِّ ‫ة‬
ِ ‫ وَٱ لَّذ‬١٥ ‫بِياٗل‬,,,‫س‬
‫َان‬ َ ‫ن‬ َّ ُ‫ه لَه‬ُ َّ ‫ل ٱلل‬ َ ,,,َ‫ت أ َ ۡوي َ ۡجع‬ُ ‫م ۡو‬ َ ‫ن ۡٱل‬َّ ُ‫وَفَّىٰه‬,,,َ ‫يَت‬
َ َ ‫م ۖا فَإن تَابَا وَأ َ ۡل‬
‫م ۗٓا‬
َ ُ‫وا ْ ع َ ۡنه‬,,‫ض‬ُ ِ‫حا فَأ ۡعر‬ َ‫ص‬ ِ َ ُ‫منك ُ مۡ فََٔاذ ُوه‬ ِ ‫ي َ ۡأتِيَٰنِهَا‬
83
١٦
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan
lain kepadanya.
Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara
kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika
keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka.
dihapus oleh QS. An-Nur ayat 2
84
٢ ٖۖ‫ج ۡلد َ ة‬ َ َ ‫ماْئ‬
َ ‫ة‬ ِ ‫ما‬ ِّۡ ٖ‫ح د‬
َ ُ‫منه‬ َّ ُ ‫ٱجلِدُوا ْ ك‬
ِ َٰ‫ل و‬ ۡ َ‫ة وَٱل َّزانِي ف‬
ُ َ ‫ٱل َّزانِي‬
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.
Qattan menyebutkan bahwa ayat tersebut juga dihapus oleh hadist
riwayat Muslim dari Hadits Ibadah ibn Ash-shomat berikut:85
"‫ والثيِّب بالثيِّب جلد مائة والرجم‬،‫"البِ ْكر بالبِ ْكر جلد مائة ونفي سنة‬
Gadis-gadis yang berzina deralah seratus kali, sedangkan pemuda-
pemuda yang berzina maka deralah seratus kali dan rajamlah juga.
9. QS. Al-Anfal (8) ayat 65
86
٦٥ ‫ماْئَت َ ۡي ۚ ِن‬
ِ ْ ‫ن ي َ ۡلغِبُوا‬
َ ‫صب ِ ُرو‬ َ ‫ع ۡش ُرو‬
َٰ ‫ن‬ ِ ۡ‫منك ُ م‬
ِّ ‫إِن يَكُن‬
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.
dihapus QS. Al-Anfal ayat 66
‫إِن يَكُن‬,,,,َ‫ ۚا ف‬,,,,‫ض‬ ۡ‫ن فِيك ُ م‬ َ ِ ‫ف ٱللَّه ع َنك ُ مۡ وعَل‬ ۡ
ٗ‫َ ۡعف‬ َّ ‫م أ‬ َ َ ُ َ َّ‫خف‬ َ َٰٔ,ٰ‫ٱلَٔـ‬
َ ‫ن‬
87
٦٦ ‫ماْئَت َ ۡي ۚ ِن‬ِ ْ ‫ة ي َ ۡلغِبُوا‬ٞ ‫صاب ِ َر‬َ ‫ة‬ٞ َ ‫ماْئ‬
ِّ ‫منكُم‬ ِّ
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah
mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada
diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ratus orang kafir.
83
Al-Baqarah (2) : 15-16
84
An-Nur (24) : 2
85
Manna al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an....., hlm. 244
86
Al-Anfal (8) : 65
87
Al-Anfal (8) : 66

21
10. QS. At-taubah ayat 41
88
٤١ ‫خفَافٗا وَثِقَااٗل‬
ِ ْ ‫ف ُروا‬
ِ ‫ٱن‬
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun
berat.
dihapus oleh QS. At-Taubah ayat 91 dan QS. At-Taubah ayat 122
٩١ ‫ى‬ َ ‫ضعَفَٓا ِء وَاَل ع َلَى ۡٱل‬
َ ‫م ۡر‬
ٰ ‫ض‬ ُّ ‫س ع َلَى ٱل‬
َ ‫ل َّ ۡي‬
89

Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang


lemah dan atas orang-orang yang sakit.
ۚ
١٢٢ ‫ن لِيَنفِ ُروا ْ كَٓافَّ ٗة‬ ُ ‫ن ۡٱل‬
ِ ‫م ۡؤ‬
َ ‫منُو‬ َ ‫ما كَا‬
َ َ‫و‬
90

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan


perang).

G. Hikmah nasakh
Hikmah nasikh-mansukh secara umum adalah sebagai berikut:91
1. Untuk menunjukkan bahwa syariat agama Islam adalah syariat
yang paling sempurna. Syariat Islam mencakup semua kebutuhan
seluruh umat manusia, dari segala periodenya, mulai dari Nabi
Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW.
2. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka
senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang
zaman.
3. Untuk menjaga perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan
semua situasi dan kondisi umat, dari yang sederhana sampai yang
tingkat sempurna.
4. Untuk menguji muallaf, apakah mereka setia atau tidak dengan
adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu.
5. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu
setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang
mudah ke yang sukar.
6. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam.
Adapun jenis-jenis hikmah nasikh mansukh ada empat, sebagai
berikut:92
1. Nasakh tanpa pengganti
Terkadang ada nasakh terhadap hukum, tetapi tidak
ditentukan hukum lain sebagai penggantinya. Contohnya nasakh
pada ayat 12 surat al-Mujadilah yang diganti dengan ayat 13 surat
al-Mujadilah, hukum tersebut telah dihapuskan namun sudah tidak
disebutkan lagi hukum penggantinya. Hikmahnya adalah menjaga
88
At-Taubah (9) : 41
89
At-Taubah (9) : 91
90
At-Taubah (9) : 122
91
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an,Cet. II (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), hlm. 148-149
92
Ibid., hlm. 149-151

22
kemashlahatan manusia, mereka tidak harus mempersiapkan
sedekah terlebih dahulu untuk berbicara kepada Nabi SAW. 93
2. Nasakh dengan pengganti yang sebanding
Sebagian besar naskh itu melahirkan hukum baru sebagai
penggantinya dan sering penggantinya itu seimbang dan sebanding
dengan hukum terdahulu. Contohnya me-nasakh hukum
menghadap kiblat kearah Baitul Muqaddas di Palestina:94
ٗ , َ ‫ك قِ ۡبل‬
‫ة‬ َ َّ ‫مٓا ۖ ِء فَلَنُوَلِّيَن‬
َ , ‫لس‬َّ ‫ك فِي ٱ‬ َ ُّ ‫قَ ۡد ن َ َرىٰ تَقَل‬
َ , ِ‫ب وَ ۡجه‬
َ ‫جد ِ ۡٱل‬ ۡ
١٤٤ ‫را ۚ ِم‬ َ ‫ح‬ ِ ‫م ۡس‬َ ‫ك شَ ط َر ۡٱل‬َ َ‫ل وَ ۡجه‬ ِّ َ‫ضىٰهَ ۚا فَو‬
َ ‫ت َ ۡر‬
95

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke


langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram.
3. Nasakh dengan pengganti yang lebih berat
Nasakh sesuatu ketentuan yang diganti degan ketentuan lain
yang lebih berat dari yang diganti. Misalnya ayat An-Nisa ayat 15
berikut:
ِ َٰ‫ين ۡٱلف‬ ۡ
َّ ِ‫ٱس َ ۡشهِدُوا ْ ع َل َ ۡيه‬
‫ن‬ ‫سٓائِك ُ مۡ فَ ۡت‬َ ِّ ‫من ن‬ ِ ‫ة‬َ َ‫حش‬ َ ِ ‫وَٱ لَّٰتِي ي َأت‬
َ
ِ ,ُ ‫ن فِي ۡٱل بُي‬
‫وت‬, َّ ُ‫كُوه‬, ‫س‬ ِ ‫منك ُ ۡۖم فَإِن شَ هِدُوا ْ فَأ ۡم‬ ٗ َ‫أ َ ۡبرَع‬
ِّ ‫ة‬
١٥ ‫بِياٗل‬,,‫س‬ َ ‫ن‬ َّ ُ‫ه لَه‬ َ َ‫ت أ َ ۡوي َ ۡجع‬
ُ َّ ‫ل ٱ لل‬ َۡ ‫ن ۡٱل‬
ُ ‫مو‬ َّ ُ‫ى يَتَوَفَّىٰه‬ٰ َّ ‫حت‬َ
96

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan


keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan lain kepadanya
Kemudian di nasakh dengan ketentuan yang lebih berat dengan
turun ayat berikut:
ٖۖ‫ج ۡلد َ ة‬ َ , َ ‫ماْئ‬
َ ‫ة‬ ِ ‫ما‬ ِّۡ ٖ‫ح د‬
َ ُ‫منه‬ َّ ُ ‫ٱجلِدُوا ْ ك‬
ِ َٰ‫ل و‬ ۡ َ‫ة وَٱل َّزانِي ف‬ُ َ ‫ٱل َّزانِي‬
٢ ِ‫ين ٱللَّه‬ ٞ ۡ َ ‫خ ۡذكُم بِه‬ ُ ‫وَاَل ت َ ۡأ‬
ِ ِ ‫ما َرأفَ ة فِي د‬
97
ِ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah.
4. Nasakh dengan pengganti yang lebih ringan

93
Ibid., hlm. 149
94
Ibid., hlm. 149-150
95
Al-Baqarah (2) : 144
96
An-Nisa (4) : 15
97
An-Nur (24) : 24

23
Yaitu mengganti atau menghapus ketentuan hukum lain
yang lebih ringan. Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 240
yang di nasakh oleh surat al-Baqarah ayat 234 seperti tertera
sebelumnya.
Contoh lainnya dalam ayat berikut:
َ
َ ِ ‫ا كُت‬,,‫م‬
‫ب‬ َ َ‫م ك‬ُ ‫يَا‬, ‫لص‬
ِّ ‫م ٱ‬ ُ ُ ‫ب ع َل َ ۡيك‬ َ ِ ‫منُوا ْ كُت‬ َ ِ ‫يَٰٓأيُّهَا ٱلَّذ‬
َ ‫ين ءَا‬
98
١٨٣ ‫ن‬ َ ‫من قَ ۡبلِك ُ مۡ لَعَلَّك ُ مۡ تَتَّقُو‬ِ ‫ين‬َ ِ ‫ع َلَى ٱلَّذ‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa
Kemudian di nasakh dengan ayat berikut:
١٨٧99 ‫سٓائِك ُ ۡۚم‬
َ ِ‫ى ن‬ َ ُ َ‫لرف‬
ٰ ‫ث إِل‬ َّ ‫صيَام ِ ٱ‬ َ َ ‫ل لَك ُ مۡ ل َ ۡيل‬
ِّ ‫ة ٱل‬ ِ ُ‫أ‬
َّ ‫ح‬
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu.

98
Al-Baqarah (2) : 183
99
Al-Baqarah (2) : 187

24
BAB III

PENUTUP

Pengertian nasikh-mansukh sangat beragam dari berbagai kalangan, secara


ringkasnya nasikh adalah yang menghapus, yang menggantikan, atau yang
memindahkan. Sedangkan mansukh adalah yang digantikan, yang dihapus, atau
yang dipindahkan.
Pembagian nasakh ada empat, antar lain:
1. Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an.
2. Nasakh al-Qur’an dengan al-Sunnah.
3. Nasakh al-Sunnah dengan Al-Qur’an.
4. Nasakh al-Sunnah dengan Al-Sunnah.
Sedangkan makna nasikh-mansukh ada tiga, yaitu:
1. Nasakh tulisan, bacaan dan hukumnya.
2. Nasakh tulisan dan bacaannya tetapi hukumnya tetap.
3. Nasakh hukumnya tetapi tulisan dan bacaannya tetap.
Kontroversi merupakan sebuah keniscayaan, sampai sekarang masih
belum menemukan titik temu yang baik. Namun, sebagian besar jumhur ulama,
termasuk Imam Syafi’i, tidak menyetujui adanya nasakh al-Qur’an dengan al-
Sunnah. Jubriy mengatakan bahwa ketika perdebatan tidak menemukan titik temu,
maka kembali ke al-Qur’an.
Hikmah adanya naskh adalah:100
1. Untuk kemashlahatan bersama agar kebutuhan selalu terpelihara
sepanjang zaman.
2. Menjaga perkembangan hukum Islam agar relevan mulai dari yang
sederhana hingga yang tingkat sempurna.
3. Untuk menguji mukallaf (orang ynag baru masuk Islam), dengan
perubahan tersebut apakah mereka tetap menaati peraturan atau tidak.
4. Menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang setia, karena
perubahan terkadang membuat orang menjadi goyah imannya.
Semakin sulit menjalankan peraturan Tuhan, maka semakin besar
pahala yang didapat.

100
Manna al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an......, hlm. 240

25
REVIEW

Pengertian Naskh-mansukh:
Nasikh: yang menghapus, yang mengganti, yang menuklir.
Mansukh: yang dihapus, yang di ganti, yang dinuklir.

Pembagian Nasikh:

Terdapat banyak kontroversi yang dilahirkan oleh nasikh-mansukh


Nasikh al-Qur’an denganNasikh
al-Qur’an
al-Qur’an denganNasikh
as-Sunnah
al-Sunnah denganNasikh
al-Qur’an
al-Sunnah dengan al-Sunnah

Hikmah adanya nasikh-mansukh

26
DAFTAR PUSTAKA

Abi, Al-Bukhari Abdillah. 1937. Sahih Abi Abdillah Al-Bukhari bi Sharh Al-
Karmani, juz 22. Kairo: Matba’ah al-Bahiyah al-Misriyah.

Agama, Departemen. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Lubuk


Agung.

Al-Hamdani. 1966. I’tibar fi an-Nasikhi wa al-Mansukhi, Cet. 1. Himsa: Matba’ah


Andalus.

Al-Jabriy, Abdul Muta’al Muhammad. 1980. La...Naskh fi al-Qur’an...Limadza?.


Maktabah Wahbah.

Al-Qaththan, Manna’ Khalil. 1983. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Beirut:


Muwassah.

Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2014. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Terjemah Mudzakir.


Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.

Al-Shalih, Subhiy. 1988. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Ilm al-
Malayain.

Al-Suyuti, Jaluddin. 1990. al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Jilid II. Beirut: Dar al-
Nafa’is.

Djalal, Abdul. 2000. Ulumul Qur’an, Cet. II. Surabaya: Dunia Ilmu.

Fatoohi, Louay. 2013. Abrogation in the Qur’an and Islamic Law: A Critical
Study of the Concept of “Naskh” and its Impact. New York: Routledge.

Hamid, Nashr Abu Zaid. 2000. Mafhum an-Nash Dirasah fi al-Ulum al-Qur’an.
Beirut: Markaz Ats-Tsaqafi Al-Araby.

Hamid, Nasr Abu Zaid. 2001. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul
Qur’an. Terjemah oleh Khoirun Nahdliyyin, Cet. I. Yogyakarta: LKis.

Hermawan, Acep. 2013. ‘Ulumul Qur’an: Ilmu untuk Memahami Wahyu.


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nahrawi, Ahmad Abdus Salam al-Indunisi. 2008. Ensiklopedia Imam Syafi’i.


Terjemah oleh Usman Sya’roni. Jakarta: Hikmah PT Mizan Publika.

27
Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi
Perbedaan. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.

Shihab, Quraish. 1998. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Suma, Amin. “Al-Qur’an dan Serangan Orientalis.” Jurnal Kajian Islam Al-Insan,
Vol. 1, No. 1, Januari 2005.

Wardani. 2011. Ayat Pedang VS Ayat Damai: Manafsir Ulang Teori Naskh dalam
Al-Qur’an. Jakarta: Kementerian Agama RI.

28

Anda mungkin juga menyukai