Bahasa Dan Jenis Kelamin
Bahasa Dan Jenis Kelamin
Bahasa Dan Jenis Kelamin
PEMBAHASAN
Terdapat dua pembeda bahasa yang sudah kita kenali, yaitu kelas sosial dan kelompok
etnik. Aspek pembeda kebahasaan yang tidak selalu hadir dalam bahasa yaitu jenis kelamin,
akan dibicakan dalam bab ini. Menurut penelitian ini memang ada sejumlah masyarakat tutur
pria berbeda dengan tutur wanita. Dalam penelitian-penelitian linguistik kadang-kadang
wanita tidak dipakai sebagai informan karena alasan-alasan tertentu Multamia dan Basuki
(dalam Sumarsono, 2012:98) mengutip beberapa pandangan para pakar tentang wanita yang
akan dijadikan informan.
Karena posisi itu wanita berusaha keras dengan segala cara untuk “meningkatkan”
dirinya sederajat dengan laki-laki dan salah satu cara yang paling efektif ialah dengan
memakai bahasa ragam baku dengan sebaik-baiknya. Mengapa dipilih bahasa baku? Karena
ragam baku ini mempunyai konotasi “terpelajar”, berstatus, berkelas, berkualitas, kompeten
dan independen. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, Elyan meneliti tutur wanita ketika memakai
ragam baku yang disebut sebagai RP (Received Pronounctiation, lafal yang berirama), suatu
lafal yang paling bergengsi di Inggris. Hasilnya dirumuskan sebagai berikut
“...when female dopt an RP rather than a regional accent they are perceived not only
more competent but also as both more than male-like on certain personality attribute and
more feminism (that us androgynopusly) (…ketika wanita menggunakan aksen RP lebih dari
sekadar aksen regional/setempat, hal itu dirasakan bukan karena lebih kompeten, melainkan
juga dirasakan lebih menyerupai laki-laki dalam hal ciri-ciri kepribadian tertentu dan juga
lebih feminine (sehingga wanita bersifat androgini atau mendua)
Namun di lain pihak, ada pula linguis yang cenderung memakai wanita sebagai
responden, seperti yang dilakukan Wartburg (dalam Sumarsono, 2012:100) “everyone knows
that as far as language is concerned women are more consernative than men. They conserve
the speech of ours forbears more faithfully” (Sepanjang menyangkut bahasa, setiap orang
tahu bahwa wanita lebih konservatif dibanding laki-laki mereka lebih fanatik menyimpan
tutur warisan bahasa kita)
Tampak sekali wanita hanya sekali wajib mengubah lafalnya, yaitu dari masa dewasa
ke masa tua. Dan para pria mengalami duakali perubahan lafal fonem sepanjang peralihan
itu. Perbedaan ragam pria-wanita mungkin tidak hanya berkisar pada tataran fonologi,
melainkan juga pada tataran morfologi, kosakata, dan kalimat. Perbedaan bahasa pria dan
wanita seperti itu memang tidak bisa diterangkan atas dasar perbedaan sosial karena
diantara kedua kelompok itu memang tidak ada rintangan sosial. Jadi perbedaan itu tidak
dapat diterangkam atas dasar kelas sosial, dialek geografis atau etnik. Karena itu kita harus
mencari penyebab yang lain, sebagaimana kita melihat pada paparan berikut.
1.4 Kasus Hindia Barat
Ketika orang-orang Eropa pertama kali tiba di Kepulauan Antilen Kecil, Hindia Barat,
dan mengadakan kontak dengan menemukan pria dan wanita menggunakan bahasa yang
berbeda. Pengamatan selanjutnya menunjukan sebenarnya mereka bukan menggunakan
bahasa yang berbeda melainkan hanya menggunakan bahasa ragam yang berbeda dalam
satu bahasa dan itupun menyangkut sejumlah kosakata dan frasa. Pria mempunyai
sejumlah kosakata dan frase yang khusus untuk mereka. Para wanita bisa mengerti bahasa
tersebut, tapi tidak menggunakannya, begitupun sebaliknya, para wanita mempunyai
kosakata dan frase yang khusus yang tidak bisa diguanakan oleh pria atau jika digunakan
akan dicemooh.
Penduduk pribumi kepulauan Dominika mengemukakan sebab terjadinya perbedaan
ragam pria-wanita itu ialah ketika orang Karibia menduduki kepulauan tadi, wilayah ini
dihuni oleh suku Arawak. Pria Arawak dimusnahkan sedangkan wanitanya mereka
kawini. Dikemukakan pula ada persamaan antara tutur orang Arawak daratan dengan
tutur wanita Karibia. Orang pervcaya perbedaan ragam pria-wanita itu akibat
pencampuran antara bahasa Karibia dengan bahasa Arawak karena penyerbuan tadi.
Sayangnya fakta sejarah tidak mendukung pendapat itu. Sehingga hanya dugaan saja.
Seorang ahli bahasa, Otto Jespersen, memberikan penjelasan lain. Ia mengemukakan
perbedaan itu mungkin akibat gejala tabu. Bila kaum pria Karibia menggunakan sejumlah
kata hanya boleh digunakan oleh pria dewasa. Jika itu digunakan oleh wanita dan anak-
anak maka akan terjadi malapetaka. Untuk mengkaji kebenaran teoru tabu ini perlu
diteliti pada bahasa-bahasa lain.
Tutur pria cenderung mengarah kepada bunyi /s/ pada bagian akhir kata, sedangkan
pada wanita tidak demikian. Yang menarik ialah hanya wanita berusia tua sajalah yang
mempertahankan bentuk-bentuk khusus itu (seperti dalam daftar itu), sedangkan wanita
muda dan anak-anak menggunakan bentuk-bentuk seperti yang dipakai oleh pria. Jika
seorang anak laki-laki mengatakan /ka:/ misalnya, ibunya akan memperingatkan itu tidak
benar, dan berkata “Jangan begitu, kau harus mengatakan /ka:s/ (harus ada /s/ -nya)”. Ini
berarti wanita, dalam hal-hal seperti itu, tidak ditabukan untuk menggunakan bentuk yang
biasa digunakan oleh pria. Ada beberapa bentuk, dalam bahasa Koasati, yang bagi wanita
lebih kuna daripada bentuk-bentuk bagi pria. Bentuk-bentuk bagi pria mengalami
perubahan atau pembaruan.
Gejala serupa (yaitu adanya perubahan bentuk) juga terjadi dalam bahasa lain,
misalnya pada bahasa Chukchi, suatu bahasa yang digunakan di Siberia. Dalam bahasa ini
ragam bahasa wanita mempunyai konsonan intervokal (yaitu konsonan yang terletak di
antara dua vokal) pada bebrapa kata, terutama /n/ dan /t/, yang tidak ada pada ragam pria.
Contoh,Pria : nitvaqaat
Hilangnya konsonan intervokal (seperti pada pria) merupakan perubahan bunyi yang
jauh lebih sering dan bisa diharapkan adanya, dan hal demikian dapat dilihat pada
berbagai bahasa di dunia. Jenis perbedaan ini jelas memberikan petunjuk ragam wanita
lebih kuna daripada ragam pria. Tutur wanita lebih konservatif daripada tutur pria. Tutur
pria bersifat inovatif atau pembaharuan.
Dapat dilihat pada tabel itu, semakin tinggi kelas sosial (KMA,KMB) semakin sedikit
penggunaan kalimat nonbaku baik oleh pria maupun wanita. Tetapi jika pria dan wanita
kita bandingkan, persentase wanita untuk semua kelas sosial selalu lebih kecil daripada
pria (bandingkanlah angka-angka pada tiap kolom). Kaum wanita lebih peka terhadap
dinodainya ciri kalimat baku itu, lebih setia kepada gramatika yang “benar”. Hal serupa ini
terjadi pula pada para wanita Negro di Detroit maupun wanita Inggris di Norwich dan
London, dan Afrika Selatan.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Sepanjang yang menyangkut masyarakat pemakai
bahasa Inggris, para ahli membuat terkaan-terkaan berikut. (1) Penelitian sosiologi telah
menunjukkan kaum wanita pada umunya lebih sadar kedudukannya daripada pria. Atas
dasar itu wanita lebih peka terhadap pentingnya faktor kebahasaan yang dihubungkan
dengan kelas sosial seperti pengingkaran rangkap tadi. Artinya, mereka sadar makin baik
bahasanya makin berarti kedudukan sosialnya. (2) Tutur kelas pekerja mempunyai
konotasi kejantanan atau ada hubungannya dengan kejantanan, yang mengakibatkan kaum
pria cenderung lebih menyukai bentuk bahasa yang nonbaku (yang “menyimpang dari
yang baik”) dibandingkan dengan kaum wanita. Hal ini karena tutur kelas pekerja
dihubungkan dengan “kekerasan” yang biasanya merupakan ciri kehidupan kelas pekerja,
dan kekerasan itu dianggap sebagai ciri kejantanan.
Keragaman bahasa berdasarkan jenis kelamin timbul karena bahasa sebagai gejala
sosial erat hubungannya dengan sikap sosial. Secara sosial pria dan wanita berbeda karena
masyarakat menentukan peranan sosial yang berbeda untuk mereka, dan masyarakat
mengharapkan pola tingkah laku yang berbeda.
Bahasa hanyalah pencerminan kenyataan sosial ini. Tutur wanita bukan hanya
berbeda, melainkan juga lebih “benar”. Ini merupakan pencerminan kenyataan sosial, pada
umumnya dari pihak wanita diharapkan tingkah laku sosial yang lebih “benar”.
Semakin lebar dan semakin kaku perbedaan antara peran sosial pria dan peran sosial
wanita dalam suatu masyarakat, semakin lebar dan semakin kaku pula kecenderungan
perbedaan bahasa yang ada. Contoh-contoh yang dikemukakan dalam bahasa Inggris di
atas semuanya terdiri dari kecenderungan wanita untuk menggunakan bentuk-bentuk yang
lebih “benar” daripada pria. Sedangkan contoh-contoh mengenai ragam bahasa pria dan
wanita yang berbeda, seluruhnya berasal dari masyarakat pengumpul bahan makanan atau
masyarakat pengembara yang secara teknologi primitive (seperti pada masyarakat Koasati,
dan sebagainya tadi), di mana perbedaan peranan sosial pria dan wanita jauh lebih jelas
batas-batasnya dibandingkan dengan masyarakat berbahasa Inggris. Pada masyarakat
pengembara misalnya ada perbedaan tugas yang tegas yaitu pria pergi berburu dan wanita
mengurus anak-anak dan makanan. Pada masyarakat teknologi tinggi (seperti Amerika),
jabatan ahli mesin bisa saja dipegang oleh pria atau wanita, jadi tidak jelas perbedaan
peran pria dan wanita. Perbedaan peranan yang begitu tercermin dalam bahasa.
Dengan demikian dapat dikatakan ragam bahasa berdasarkan kelompok etnik dan
kelompok sosial, sekurang-kurangnya sebgian, adalah akibat dari jarak sosial (social
distance), sedangkan ragam bahasa berdasarkan jenis kelamin tadi adalah akibat dari
perbedaan sosial (sosial difference). Anda (pria atau wanita) yang merasa anggota warga
etnik Bali, tinggal di Bali, dan berkasta brahmana, bisa jadi merasa mempunyai jarak
sosial dengan orang dari etnik Flores dengan orang yang tinggal di Lombok, dan dengan
orang dari kasta sudra. Perbedaan-perbedaan ini tercermin dalam perbedaan bahasa. Tetapi
pria dan wanita brahmana tidak punya jarak sosial, mereka berbeda secara sosial saja.
Sifat sosial dan tingkah laku yang berbeda dituntut dari pihak pria dan wanita, dan ragam
bahasa berdasarkan jenis kelamin tersebut merupakan lambang kenyataan ini. Seorang pria
yang menggunakan ragam bahasa wanita sama halnya dengan menyatakan identitasnya
sebagai wanita, dan bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang wanita, seperti halnya
kalau ia mengenakan rok. Apakah jadinya jika seorang pria Karibia yang menggunakan
ragam tutur wanita: dia akan dicemoohkan. Dan manakala wanita penutur Inggris
diharapkan lebih “benar” daripada penutur pria, demikian pula wanita Koasati mungkin
diharapkan tidak begitu agresif, dan dengan demikian mungkin kurang menghendaki
pembahasan dan lebih konservatif adalah lambang kewanitaan.
1.9 Prestise Tersembunyi
Kita sudah mempunyai cukup banyak bukti nilai sosial (social value) dan peranan
jenis kelamin (sex roles) dapat mempengaruhi sikap penutur terhadap sesuatu variasi
kebahasaan tertentu. Kita ketahui, penutur yang banyak memperhatikan tuturnya secara
linguistik akan cenderung untuk menggunakan ragam bahasa yang melambangkan status
prestise ini, dan hal ini tampak pada wanita.
Bagaimana tutur pria yang mempunyai konotasi kelas buruh (yang “keras”)? Dalam
hal ini sebenarnya ada pendapat yang berkeyakinan ragam bahasa nonbaku dan kelas
buruh rendahan itu juga mempunyai “prestise” dan ini khusus dimiliki oleh pria (yang
umumnya memang pekerja rendahan). Labov menamakan jenis prestise ini prestise
tersembunyi atau prestise terselubung (covert prestige), karena sikap ini memang tidak
diungkapkan dengan nyata dan terbuka. Sikap ini juga secara mencolok menyimpang dari
alur nilai-nilai sosial pokok yang disadari tiap orang.
Suatu bukti prestise tersembunyi itu ada, dapat dilihat pada hasil penelitian dialek
perkotaan di Norwich. Informan, dalam penelitian ini, diminta untuk mengikuti tes
pengakuan atau evaluasi diri sendiri (self-evaluation test), untuk mengetahui perbedaan
antara (1) apa yang mereka yakini (yang mereka akui) biasa mereka ucapkan dengan (2)
apa yang sebenarnya mereka ucapkan. Atau untuk mengetahui perbedaan antara
pengakuan dengan kenyataan. Dalam tes pertama beberapa kata diucapkan keras-keras
dengan dua lafal yang berbeda (yang baku dengan prestise tinggi dengan lafal nonbaku
yang prestisenya rendah). Para informan disuruh mendengarkan lafal itu, misalnya:
Para informan diminta mencatat ucapan atau lafal yang biasa mereka pakai. Mereka
disuruh menilai sendiri. Yang kedua mereka diwawancarai oleh peneliti, satu persatu, dan
wawancara itu direkam. Catatan hasil penilaian mereka pada tes pertama kemudian
dibandingkan dengan rekaman percakapan mereka dalam wawancara dengan peneliti.
Rekaman inilah yang menggambarkan lafal mereka yang sebenarnya. Penelitian ini akan
menjawab persoalan, “Apakah yang diakui selalu cocok dengan kenyataan yang
sebenarnya?”.
Mereka kemudian dikelompokkan menjadi dua. Informan yang dalam rekaman
menggunakan lafal ke-1 (yang berprestise) lebih dari 50%, digolongkan pemakai bunyi
luncur /j/. Yang memakai kurang lebih 50% digolongkan bukan pemakai bunyi luncur.
Angka ini kemudian dibandingkan dengan mereka yang mengaku memakai lafal ke-1 dan
ke-2. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Mengapa pria lebih banyak mampu berbahasa Indonesia? Basuki suhardi mengira, hal
itu ada kaitannya dengan tingkat pendidikan yang dicapaioleh pria. Jumlah laki-laki yang
memperoleh pendidikan formal dari SD sampai dengan perguruan tinggi berdasarkan data
sensus memang lebih banyak dibandingkan wanita. Hal tersebut tergambar dalam tabel
berikut ini.
Sensus 1971 Sensus 1980
No Tingkat Pdd
Pria (%) Wa (%) Juml.(%) Pria (%) Wa (%) Juml.(%)
Contoh A1:
banci ―˃ siban
Kaidah:
Contoh A2a:
banci ―˃ bencong
homo ―˃ homeng
Kaidah:
(a) ambil tiga bunyi pertama: atau dua, jika K2 tidak ada.
(b) Tambahkan –ong di belakangnya.
Contoh A2b:
banci ―˃ bences
homo ―˃ homes
maen ―˃ mees
(c) Tambahkan –es (dengan e-pepet seperti /e/ pada awalan se-)
(2) Istilah yang merujuk pada tubuh, bagian tubuh dan kualitas tubuh:
singgan, cekong, cekes, sicek, cucoq = ganteng, cakep
sisun = disunat