PENDAHULUAN Laila New

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 41

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai merupakan salah satu komoditas sayuran yang sangat penting bagi

masyarakat Indonesia dalam kehidupan kebutuhan sehari-hari. Cabai memiliki

banyak manfaat yaitu dapat digunakan sebagai bumbu masak dan sebagai bahan

obat - obatan. Cabai juga memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi sehingga

permintaan cabai terus meningkat sejalan dengan semakin bervariasi varietasnya.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2018), tanaman cabai rawit (C.

frutescens L.) pada tahun 2017 luas panen cabai besar di Indonesia sebesar

167,600 Ha dan pada tahun 2018 sebesar 172,847 Ha. Produktivitas cabai rawit

pada tahun 2017 sebesar 6,88 Ton/Ha dan pada tahun 2018, produktivitas cabai

besar sebesar 7,73 Ton/Ha.

Cabai rawit (C. frutescens L.) pada tahun 2016 luas panen di Kalimantan

Selatan sebesar 1,310 Ha dengan produksi 7,323 Ton dan memperoleh rata - rata

sebesar 5,6 Ton/Ha. Pada tahun 2017 mengalami penurunan dengan luas panen

sebesar 2,456 Ha memproduksi 11,849 Ton dan memperoleh rata - rata produksi

sebesar 4,8 Ton/Ha (Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2018).

Tanaman cabai tidak luput dari permasalahan dalam budidaya antara lain

keterbatasan lahan, cuaca yang tidak mendukung serta gangguan hama dan

penyakit. Hama dan penyakit pada cabai semakin berkembang akibat resistensi

terhadap pestisida oleh karena itu dapat menimbulkan hama dan penyakit baru

yang tidak diperhatikan sebagai hama dan penyakit (Prajananta, 2002).

Menurut Suryaningsih et al., (1996), salah satu penyakit yang

menyebabkan produksi cabai di Indonesia mengalami penurunan yaitu terserang

penyakit antraknosa atau yang biasa disebut para petani yaitu penyakit patek.
2
Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. yang dikarenakan

kondisi yang lembab dan suhu yang relatif tinggi (AVRDC, 1988).

Antraknosa merupakan salah satu penyakit utama pada tanaman terutama

pada tanaman cabai yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp.. Penykit

ini dapat menurunkan produksi dan kualitas cabai. Selain itu juga dapat merusak

nilai estetika buah cabai. Gejala yang ditemukan pada tanaman dewasa yaitu

menyebabkan mati pucuk (dieback) dan kemudian diikuti infeksi lanjut pada buah

(Hidayat et al., 2004).

Cendawan yang menyebabkan penyakit antraknosa ini memiliki tiga

spesies Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides dan C. capsici

(AVRDC, 2003). Spesies C. gloeosporioides adalah spesies paling luas

serangannya pada tanaman Solanaceae terutama pada tanaman cabai. Namun,

pada akhir - akhir ini spesies C. acutatum merupakan spesies yang utama atau

yang sering menyerang tanaman cabai (Park, 2005).

Kerugian akibat penyakit antraknosa pada tanaman cabai ini sebesar 60%

atau lebih (Duriat et al., 1991; Hartman & Wang, 1992 dalam Setyowati et al.,

2007). Apabila tidak dilakukan dengan pengendalian secara tepat akan

mengakibatkan kehilangan hasil produksi atau gagal panen mencapai 100%

(Duriat et al., 2007). Hal ini yang mendorong petani untuk menggunakan pestisida

kimia yang berlebihan dalam mengendalikan penyakit tersebut.

Salah satu alternatif pengendalian yang dilakukan yaitu dengan

menggunakan varietas-varietas yang tahan terhadap serangan patogen. Pemilihan

varietas yang cocok merupakan hal yang sangat penting dilakukan oleh petani.

Penanaman varietas tahan merupakan cara pengendalian yang paling efektif dan

dianjurkan karena aman bagi lingkungan.


3
Tanaman memiliki ketahanan tertentu terhadap patogen. Tanaman jika

tidak memiliki sifat ketahanan maka akan mengalami serangan berat oleh patogen

atau perkembangan patogennya sangan cepat. Ketahanan yang dimaksud tersebut

adalah ketahanan tanaman yang dikuasai oleh gen sehingga sifaf ketahanannya

diwariskan dari tanaman inang kepada tanaman baru (Rahim et al., 2012).

Ketahanan tanaman terhadap penyakit merupakan tanaman yang dapat

menghambat perkembangan suatu patogen sehingga tidak dapat berkembang dan

menyebar. Ketahanan memiliki tingkatan tinggi, sedang atau rendah terhadap

serangan patogen. Tanaman cabai termasuk tanaman yang sifat rentannya sangat

tinggi terhadap serangan bakteri, jamur dan virus (Kallo, 1988).

Menurut Agrios (1997), penggunaan varietas yang tahan merupakan cara

pengendalian penyakit tanaman yang murah, mudah dan efektif apabila varietas

tersedia. Selain tidak hanya mengurangi biaya produksi, penggunaan varietas

tahan juga dapat menghindari dari kontaminasi lingkungan yang tercemar oleh

bahan kimia yang beracun untuk mengendalikan penyakit.

Dalam menggunakan varietas yang resisten terhadap serangan hama dan

penyakit sangat dianjurkan karena dapat menekan biaya produksi dan mengurangi

menimbulkan dampak negatif akibat bahan kimia yang berlebihan (Tenaya et al.,

2003).

Hingga saat ini, varietas cabai komersial berdaya hasil tinggi dan tahan

terhadap penyakit antraknosa masih belum ada. Pada umumnya spesies cabai yang

memiliki ketahanan terhadap antraknosa berdaya hasil rendah dan bentuk buahnya

tidak disukai produsen maupun konsumen. Oleh karena itu, uji ketahanan

beberapa varietas cabai terhadap serangan penyakit antraknosa perlu dilakukan.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan beberapa varietas cabai


4
(Capsicum sp.) terhadap penyakit antraknosa (Colletotrichum sp.) agar

masyarakat khususnya petani dapat mengetahui varietas - varietas yang tahan

terhadap serangan penyakit antraknosa.

Rumusan Masalah

1. Berapa lama masa inkubasi jamur Colletotrichum sp. pada setiap varietas

tanaman cabai rawit yang diujikan?

2. Bagaimana tingkat ketahanan beberapa varietas tanaman cabai rawit terhadap


penyakit antraknosa?

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah terdapat tingkat ketahanan pada

beberapa varietas tanaman cabai rawit terhadap penyakit antraknosa.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ketahanan lima varietas cabai rawit

(Capsicum frutescens L.) terhadap penyakit antraknosa (Colletotrichum sp.).

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang

ketahanan varietas - varietas cabai rawit terhadap penyakit antraknosa.


TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Cabai (Capsicum sp.)

Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae).

Famili ini diduga memiliki sekitar 90 genus dan sekitar 2.000 spesies yang terdiri

dari tumbuhan herba, semak dan tumbuhan kerdil yang lain. Tanaman cabai

sebagian besar merupakan tumbuhan negeri tropis (Setiadi, 2006).

Tanaman cabai rawit berasal dari Meksiko, Peru dan Bolivia, tetapi sudah

tersebar diseluruh dunia termasuk Indonesia (Cahyono, 2003). Cabai rawit

(Capsicum frutescens L.) memiliki beberapa nama daerah antara lain di daerah

jawa menyebutnya dengan lombok japlak, mengkreng, cengis, ceplik, atau

cempling. Dalam bahasa Sunda cabai rawit disebut cengek. Sementara orang-

orang di Nias dan Gayo menyebutnya dengan nama lada limi dan pentek. Secara

internasional, cabai rawit dikenal dengan nama thai pepper (Tjandra, 2011).

Tanaman cabai (Capsicum annum L) berasal dari dunia tropika dan

subtropika Benua Amerika, khususnya Colombia, Amerika Selatan, dan terus

menyebar ke Amerika Latin. Bukti budidaya cabai pertama kali ditemukan dalam

tapak galian sejarah Peru dan sisa-sisa biji yang telah berumur lebih dari 5000

tahun SM di dalam gua di Tehuacan, Meksiko. Penyebaran cabai ke seluruh dunia

termasuk negara-negara di Asia, seperti Indonesia dilakukan oleh pedagang

Spanyol dan Portugis (Harpenas & Dermawan, 2010).

Beberapa jenis tanaman cabai yaitu cabai besar (Capsicum annuum), cabai

kecil (Capsicum frutescens), Capsicum chinense, Capsicum pubescens, dan

Capsicum baccatum. Namun, yang paling banyak dibudidayakan oleh para petani

adalah cabai besar (Capsicum annuum) dan cabai kecil (Capsicum frutescens)

(Setiadi, 1988).
6
Taksonomi

Menurut Warisno dan Dahana (2010), tanaman cabai rawit (Capsicum

frutescens L.) dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum frutescens L.

Menurut Cronquist (1981), tanaman cabai merah mempunyai klasifikasi

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Species : Capsicum annuum L.

Morfologi
7

Gambar 1. Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.)


Sumber : https://alamtani.com/budidaya-cabe-rawit/

Pada gambar 1, tanaman cabai mempunyai bagian-bagian tanaman seperti

akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Tanaman cabai rawit mempunyai akar

yang cukup rumit dan hanya terdiri dari akar serabut saja, biasanya diakar terdapat

bintil yang merupakan hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme, tetapi

tidak memiliki akar tunggang, namun ada beberapa akar tumbuh ke arah bawah

yang berfungsi sebagai akar tunggang semu (Setiadi, 2005).

Tanaman cabai rawit mempunyai batang yang tumbuh tegak, berfungsi

sebagai tempat keluarnya cabang, tunas, daun, bunga, dan buah. Kulit batangnya

tipis sampai agak tebal. Pada stadium tanaman muda kulit berwarna hijau,

kemudian berubah menjadi hijau kecoklat-coklatan setelah memasuki stadium tua

(Rukmana, 2004).

Daun cabai rawit umumnya berwarna hijau muda sampai hijau gelap,

tergantung pada varietasnya. Daun cabai yang ditapong oleh tangkai daun

mempunyai tulang menyirip. Bentuk umumnya bulat telur, lonjong dan oval

dengan ujung meruncing, tergantung pada jenis dan varietasnya permukaan bawah
8
berbulu, lebar 0,5-5 cm, panjang 1-10 cm, panjang tangkai 0,5-3,5 cm (Wiryanta,

2005).

Bunga cabai berkelamin dua (hermaprodit), yaitu dalam satu bunga

terdapat kelamin jantan dan kelamin betina. Bunga cabai tersusun atas tangkai

bunga, dasar bunga, kelopak bunga, mahkota, alat kelamin jantan dan kelamin

betina, letak bunga mengantung dan biasa tumbuh pada ketiak daun ada yang

tunggal atau bergerombol dalam tandan, biasanya dalam satu tandan terdapat 2 - 3

bunga, warna bunga cabai bermacam-macam ada yang putih, putih kehijauan, dan

ungu, yang memiliki 6 kelopak bunga yang berdiameter 5 - 20 mm adapun

panjang bunga 1-1,5 cm dan panjang tangkainya 1 - 2 cm. Mahkota bunga akan

gugur pada saat buah mulai terbentuk, kelopak bunga tertinggal dan melekat

dipangkal calon buah (Nawangsih, 2003).

Bentuk buah tanaman cabai rawit bervariasi mulai dari pendek dan bulat

sampai panjang dan langsing. Warna buah muda umumnya hijau sampai kekuning

keputih-putihan, tetapi setelah tua (matang) berubah menjadi merah tua atau

merah muda. Daging buah umumnya lunak dan rasanya sangat pedas. Buah

memiliki panjang 1 cm – 6 cm, dengan diameter 0,5 cm – 1,5 cm. Biji tanaman ini

berwarna kuning padi dan melekat dalam buah (Rukmana, 2004).

Buah cabai rawit mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap, yakni

protein, lemak, karbohidrat, mineral (kalsium, fosfor dan besi), vitamin A, B1, B2

dan C (Rukmana, 2002). Cabai rawit mengandung zat oleoresin dan zat aktif

capsaicin yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit rematik, obat batuk

berdahak, sakit gigi, masuk angin, asma serta mencegah infeksisistem pencernaan

(Wijayakusuma, 1992).
9

Gambar 2. Cabai Merah (Capsicum annuum L.)


Sumber : Dokumen Pribadi, 2020

Dilihat pada gambar 2, tanaman cabai mempunyai bagian-bagian tanaman

seperti akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Tanaman cabai mempunyai akar

tunggang yang terdiri dari akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Akar

lateral tersebut mengeluarkan serabut-serabut akar yang disebut dengan akar

tersier. Akar tersier menembus kedalaman tanah sampai 50 cm dan melebar

sampai 45 cm. Rata-rata panjang akar primer antara 35 cm sampai 50 cm dan akar

lateral sekitar 35 sampai 45 cm (Pratama, et al., 2017).

Menurut Hewindati (2006), tanaman cabai memiliki batang yang tegak

dan pangkal berkayu dengan panjang 20 - 28 cm dengan diameter 1,5 - 2,5 cm.

Batang percabangan berwarna hijau dengan panjang mencapai 5 - 7 cm dengan

diameter mencapai 0,5 - 1 cm. Percabangan bersifat menggarpu, tumbuh cabang

beraturan secara berkesinambungan. Tanaman cabai berbatang tegak yang

bentuknya bulat. Tanaman cabai dapat tumbuh setinggi 50 - 150 cm, merupakan

tanaman perdu yang warna batangnya hijau dan beruas-ruas yang dibatasi dengan
10
buku-buku yang panjang tiap ruas 5 - 10 cm dengan diameter data 5 - 2 cm

(Tjahjadi, 1991).

Daun cabai berbentuk memanjang oval dengan ujung meruncing, tulang

daun berbentuk menyirip dilengkapi urat daun. Bagian permukaan daun bagian

atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan bawah berwarna hijau

muda atau hijau terang. Panjang daun berkisar 9 - 15 cm dengan lebar 3,5 - 5 cm,

selain itu daun cabai merupakan daun tunggal, bertangkai (panjangnya 0,5 - 2,5

cm), letak tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur sampai elips, ujung

runcing, pangkal meruncing, tepi rata, petulangan menyirip, panjang 1,5 - 12 cm,

lebar 1 - 5 cm, berwarna hijau (Hewindati, 2006).

Bunga cabai berbentuk terompet atau campanulate, sama dengan bentuk

bunga keluarga Solanaceae lainnya. Bunga cabai merupakan bunga lengkap yang

terdiri dari kelopak bunga, mahkota bunga, benang sari dan putik. bunga cabai

juga merupakan bunga berkelamin dua karena benang sari dan putik terdapat

dalam satu tangkai dan keluar dari ketiak daun (Wiryanta, 2002).

Buah cabai bulat sampai bulat panjang, mempunyai 2 - 3 ruang yang

berbiji banyak. Buah yang telah tua (matang) umumnya berwarna kuning sampai

merah dengan aroma yang berbeda sesuai dengan varietasnya. Bijinya kecil, bulat

pipih seperti ginjal dan berwarna kuning kecoklatan (Sunaryono, 2003).

Syarat Tumbuh

Cabai merupakan tanaman yang memiliki daya adaptasi yang luas,

sehingga dapat ditanam di lahan sawah, tegalan, dataran rendah, maupun dataran

tinggi (sampai ketinggian 1.300 mdpl). Tanaman cabai umumnya tumbuh

optimum di dataran rendah hingga menengah pada ketinggian 0 - 800 mdpl

dengan suhu berkisar 20 - 25°C. Pada dataran tinggi (di atas 1.300 mdpl), tanaman
11
cabai dapat tumbuh, tetapi pertumbuhanya lambat dan produktivitasnya rendah

(Amri, 2017).

Tanaman cabai rawit termasuk tanaman semusim yang tumbuh sebagai

perdu dengan tinggi tanaman mencapai 1,5 m. Tanaman dapat ditanam di lahan

kering (tegalan) dan di lahan basah (sawah). Kondisi lingkungan sangat

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi cabai rawit. Keadaan iklim dan

tanah merupakan dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan

lokasi penanaman cabai rawit (Pijoto, 2003).

Tanaman cabai rawit memerlukan derajat keasaman (pH) tanah antara 6,0

– 7,0 (pH optimal 6,5) dan memerlukan sinar matahari penuh (tidak memerlukan

naungan). Dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik, tanaman cabai rawit

memerlukan kondisi iklim dengan 0-4 bulan basah dan 4-6 bulan dalam satu tahun

dan curah hujan berkisar antara 600 mm - 1.250 mm pertahun. Kelembaban udara

yang cocok untuk tanaman cabai rawit adalah 60% - 80%. Agar dapat tumbuh

dengan baik dan berproduksi tinggi, tanaman cabai rawit memerlukan suhu udara

rata-rata tahunan berkisar antara 180℃ - 300℃ (Cahyono, 2003).

Derajat keasaman (pH) tanah yang ideal bagi pertumbuhan cabai berkisar

antara 5,5 - 6. Pertumbuhan cabai pada tanah yang memiliki pH kurang dari 5,5

kurang optimum. Hal tersebut dikarenakan, tanah masam memiliki kecenderungan

menimbulkan keracunan unsur almunium, zat besi, dan mangan (Alviana &

Susila, 2009).

Tanaman cabai menghendaki pengairan yang baik tetapi apabila

jumlahnya berlebihan dapat menyebabkan kelembaban tinggi dan merangsang

tumbuhnya penyakit jamur dan bakteri. Jika kekurangan air pertumbuhan tanaman

cabai akan kurus, kerdil, layu dan mati. Pengairan dapat menggunakan irigasi, air
12
tanah dan air hujan. (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2012). Cabai paling

ideal ditanam dengan intensitas cahaya matahari antara 60% sampai 70%. Lama

penyinaran yang paling ideal bagi pertumbuhan tanaman adalah 10-12 jam

(daerah garis katulistiwa) (Djarwaningsih, 2005).

Varietas Tanaman Cabai

a. Taruna

Taruna merupakan varietas cabai rawit bersari bebas. Varietas ini

tergolong jenis C. frutescens yang bisa ditanam mulai dari dataran rendah sampai

dataran tinggi. Tipe percabangannya tinggi dan tegak. Buahnya berwarna putih

gading dan merah orange dengan ukuran 4 x 1 cm. Tingi tanamannya 100 cm dan

panen pertama pada 130 hari setelah tanam dengan produksi 0,5 kg/tanaman.

b. Hiyung

Varietas ini merupakan produk lokal dari Kalimantan Selatan dan

tergolong jenis C. frutescens bersari bebas. Cabai ini memiliki tinggi tanaman

67,65 - 75,50 cm. Berwarna hijau pada buah muda dan berwarna merah cerah

pada buah tua. Varietas ini dapat menghasilkan buah sebesar 6,158 - 7,804 ton/ha.

Mulai berbunga pada 45 - 55 hari setelah tanam dan panen pada 100 - 115 hari

setelah tanam. Varietas ini dapat tumbuh pada dataran rendah. Keunggulan

varietas ini antara lain memili tingkat kepedasan yang tinggi dengan kadar capsain

mencapai 94,500 ppm dan mempunyai daya simpan yang cukup lama (10 - 16

hari pada suhu ruang).

c. Stret

Varietas stret merupakan golongan varietas menyerbuk sendiri hasil

seleksi populasi. Tinggi tanaman varietas ini 112 - 120 cm. Warna buah muda
13
yaitu berwarna putih kekuningan dan buah tua berwarna merah. Varietas ini mulai

berbunga pada 22 - 27 hari setelah tanam dan panen pada 82 - 87 hari setelah

tanam. Varietas ini dapat menghasilkan buah sebesar 16 - 17 ton/ha dan dapat

beradaptasi dengan baik di dataran rendah pada altitude 100 - 350 m dpl.

d. Shypon

e. Belinda

f. Hot Beauty

Varietas hot beauty memiliki buah berbentuk bulat panjang (panjang 11,5 -

14,1 cm dan lebar 0,78 - 0,85 cm) dengan warna buah hijau tua saat muda dan

merah saat matang. Varietas ini memiliki tinggi tanaman 87 - 95 cm dengan tinggi

dikotomus ±24,5 cm. Mulai berbunga pada 44 - 50 hari setelah tanam dan dapat

dipanen setelah 87 - 90 hari setelah tanam. Varietas cabai ini memiliki bobot buah

pertanaman ±571 g dengan produktivitas ±14,6 ton/ha (Fatmawati, 2008).

Penyakit Antraknosa (Colletotrichum spp.)

Penyakit antraknosa adalah penyakit penting yang menyerang tanaman

cabai di Indonesia. Penyakit ini cepat meluas pada kondisi yang lembab dah suhu

yang relatif tinggi. Tanaman cabai akibat terserang oleh penyakit antraknosa ini

dapat menyebabkan kerusakan sejak persemaian sampai tanaman berbuah serta

merupakan masalah utama pada buah masak dan berakibat yang sangat serius

terhadap penurunan hasil dan penyebaran penyakit (Syamsudin, 2007).

Penyakit antraknosa ini disebabkan oleh jamur dari genus Colletotrichum

yang terdapat beberapa spesies yaitu C. gloeosporioides, C. acutatum, C.


14
dematium dan C. capsici. Penyakit antraknosa yang menginfeksi tanaman cabai

diakibatkan oleh jamur C. capsici mencapai lebih dari 90% (Syukur, 2007).

Hannden and Black (1989) menyebutkan jenis jamur Colletotrichum yang

umum menyebabkan penyakit antraknosa pada buah cabai terdiri atas empat

spesies yaitu : C. gloeosporioides, C. capsici, C. acutatum dan C. coccodes.

Menurut Kim et al. (1999) penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan

oleh jamur Colletotrichum terdiri atas lima spesies yaitu : C. gloeosporioides, C.

capsici, C. acutatum, C. dematium dan C. coccodes. Menurut hasil penelitian

Sudiarta dan Sumiartha (2012) penyakit antraknosa pada tanaman cabai di Bali

kebanyakan disebabkan oleh jamur C. acutatum.

Taksonomi

Menurut Alexopoulos et al., (1996), jamur genus Colletotrichum termasuk

dalam Famili Melanconiaceae, Kelas Deuteromycetes dengan klasifikasi sebagai

berikut :

Kingdom : Fungi

Phylum : Deuteromycota

Kelas : Deuteromycetes

Subkelas : Coelomycetidae

Ordo : Melanconiales

Famili : Melanconiaceae

Genus : Colletotrichum

Species : Colletotrichum sp.

Morfologi
15
Jamur Colletotrichum spp. merupakan jamur parasit fakultatif dari Ordo

Melanconiales dengan ciri-ciri konidia (spora) tersusun dalam aservulus (struktur

aseksual pada jamur parasit, seperti pada gambar. Jamur dari Genus

Colletotrichum termasuk dalam Class Deuteromycetes yang merupakan bentuk

anamorfik (bentuk aseksual), dan pada saat jamur tersebut dalam telemorfik

(bentuk seksual) masuk dalam Class Ascomycetes yang dikenal dengan jamur

dalam Genus Glomerella (Alexopoulos et al., 1996).

Gambar 3. Struktur aservulus jamur Colletotrichum sp. (A = setae, B = konidia, C


= konidiofor)
Sumber : Barnett and Hunter, 1998

Ciri-ciri umum jamur dari Genus Colletotrichum yaitu memiliki hifa

bersekat dan bercabang serta menghasilkan konidia yang transparan dan

memanjang dengan ujung membulat atau meruncing panjangnya antara 10-16 µm

dan lebarnya 5-7 µm. Massa dari konidia berwarna hitam dan hifanya berwarna

abu-abu (Dickman, 1993).

Jamur C. gloeosporioides mempunyai bentuk spora silindris, ujung spora

tumpul, ukuran spora 16,1 x 5,6 m dengan kecepatan tumbuh 12,5 A B C 12 mm

per hari. Jamur C. acutatum mempunyai bentuk spora silindris, ujung spora

meruncing, ukuran spora 16,1 x 5,3 m dengan kecepatan tumbuh 6,8 mm per

hari. Jamur C. coccodes mempunyai bentuk spora silindris, ujung spora runcing,
16
ukuran spora 14,9 x 4,2 m dengan kecepatan tumbuh 8,4 mm per hari.

Sedangkan jamur C. capsici mempunyai bentuk spora seperti bulan sabit, ujung

spora runcing, ukuran spora 24,3 x 4,4 m dengan kecepatan tumbuh 9,8 mm per

hari (AVRDC, 2010).

Gambar 4. Bentuk Spora Beberapa Jenis Cendawan Colletotrichum spp.


Sumber : AVRDC, 2010

Daur Penyakit

Menurut Dickman (993), spora jamur Colletotrichum spp. dapat

disebarkan oleh angin dan percikan air hujan dan pada inang yang cocok akan

berkembang dengan cepat. Pertumbuhan awal jamur Colletotrichum spp.

membentuk koloni miselium yang berwarna putih dengan miselium yang timbul

di permukaan. Kemudian perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya

berbentuk aservulus. Aservulus berwarna merah muda sampai coklat muda

merupakan kumpulan massa konidia (Rusli dan Zulpadli, 1997).

Tahap awal infeksi Colletotrichum umumnya dimulai dari perkecambahan

spora pada permukaan jaringan tanaman, menghasilkan tabung kecambah. Setelah


17
penetrasi maka akan terbentuk jaringan hifa, hifa intra dan interseluler menyebar

melalui jaringan tanaman (Yudiarti, 2007).

Gambar 5. Siklus Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai yang Disebabkan


oleh Cendawan Colletotrichum sp.
Sumber : Agrios 2005

Infeksi terjadi setelah apresorium dihasilkan, apresorium mempenetrasi

kutikula dan tumbuh dibawah dinding kutikula dan dinding periklinal dari sel

epidermis. Kemudian, hifa tumbuh dan menghancurkan dinding sel utama. Hal ini

terjadi karena matinya sel yang berdampingan secara meluas. Ketika jaringan

membusuk, hifa masuk ke pembuluh sklerenkim dan langsung tumbuh menembus

dinding sklerenkim (Pring et al., 1995).

Gejala Penyakit

Colletotrichum sp. mampu menyerang cabai pada semua fase tumbuh,

sejak dari pesemaian sampai berbuah. Perkembangan penyakit ini didukung oleh
18
kondisi lembap dan suhu relatif tinggi (Paramita dan Sumardiyono, 2014).

Kerusakan yang disebabkan oleh cendawan ini adalah pada bagian buah. Buah

yang terserang menjadi busuk,penyakit ini bisa menurunkan hasil panen 45-60%

(Wiratama et al., 2013).

Jamur Colletotrichum dapat menginfeksi cabang, ranting, daun dan buah

cabai. Infeksi pada buah cabai terjadi biasanya pada buah menjelang tua dan

sesudah tua. Gejala diawali dengan adanya bintik-bintik kecil berwarna kehitam-

hitaman dan sedikit melekuk pada permukaan buah. Gejala lebih lanjut buah

mengkerut, kering, membusuk dan jatuh (Rusli dan Zulpadli, 1997).

Gambar 4. Gejala Penyakit Antraknosa pada Cabai


Sumber : Damn et al., 2010

Bercak berbentuk bundar atau cekung dan berkembang pada buah yang

belum dewasa atau matang dari berbagai ukuran. Biasanya bentuk bercak beragam

pada satu buah cabai dan ketika penyakit semakin parah, bercak akan bersatu.

Spora terbentuk dan memencar secara cepat pada buah cabai, sehingga

mengakibatkan kehilangan hasil sampai 100%. Penyakit dapat menginfeksi


19
sampai ke tangkai buah cabai dan menimbulkan bercak seperti bintik yang tidak

beraturan berwarna merah tu (Damm et al., 2010).

Menurut Semangun (2004), perkembangan bercak dari penyakit

antraknosa atau jamur penyebab penyakit antraknosa ini berkembang dengan

sangat pesat bila kelembaban udara cukup tinggi yaitu bila lebih dari 80% dengan

suhu 27°C - 30°C, buah yang muda cenderung lebih rentan daripada setengah

masak. Gejala awal penyakit antraknosa adalah bercak kecil seperti tersiram air

dengan warna bercak kehitaman pada permukaaan buah yang terinfeksi kemudian

menjadi busuk lunak. Ekspansi bercak yang maksimal membentuk lekukan

dengan berwarna merah gelap. Serangan yang berat menyebabkan seluruh buah

keriput dan mengering. Gejala segera Nampak berupa titik gelap, sedikit cekung

dan bergaris tengah 4 mm. Bercak akan segera berkembang hingga mencapai

seluruh permukaan buah. Patogen dapat menginfeksi buah melalui luka maupun

secara langsung. Sedangkan keadaan yang basah dan adanya air hujan sangat

berperan dalam penyebaran spora dari satu tanaman ke tanaman lain (Zen, et.al.,

2002.)

Menurut Kim et al. (1984) gejala penyakit antraknosa pada buah cabai

dimulai dengan kulit buah akan tampak mengkilap, diikuti dengan pelunakan

jaringan, kemudian permukaan buah akan menjadi cekung dan berwarna

kecoklatan, sehingga terlihat adanya seperti luka atau lebih dikenal dengan

sebutan lesio. Lesio muncul sedikit demi sedikit kemudian pada akhirnya dapat

menutupi sebagian besar permukaan buah. Permukaan buah cabai yang terserang

penyakit antraknosa akan berair dan aservulus jamur Colletotrichum spp. terlihat

seperti bercak kehitaman yang kemudian meluas dan membusuk. Pada buah cabai
20
dengan gejala penyakit antraknosa berat buah mengering dan keriput, sehingga

buah yang seharusnya berwarna merah menjadi berwarna seperti jerami.

Mekanisme Terjadinya Penyakit Antraknosa

Gejala serangan jamur Colletotrichum spp. diawali dengan adanya

inokulasi jamur Colletotrichum spp. pada buah cabai, kemudian diikuti dengan

proses penetrasi, infeksi, kolonisasi, dan diseminasi. Inokulasi merupakan proses

deposisi atau kontaknya inokulum (spora) pada permukaan jaringan inang. Proses

penetrasi yaitu proses masuknya organisme patogen ke dalam tubuh inang.

Kemudian setelah organisme patogen tersebut masuk ke dalam tubuh inang, maka

akan terjadi proses perkecambahan spora (Sinaga, 2006).

Proses perkecambahan spora pada tubuh inang dapat digambarkan sebagai

berikut : pada mulanya spora patogen membentuk tabung kecambah (germ tube).

Bagian spora yang memproduksi germ tube bertambah panjang dan menembus

dinding sel inang. Kemudian germ tube akan termodifikasi menjadi apresorium

yang berfungsi untuk melekat dengan kuat pada permukaan jaringan inang

(Yudiarti, 2007). Proses infeksi terjadi setelah proses penetrasi yaitu patogen

sudah berada pada jaringan inang dan memproleh makanan dari inangnya.

Kolonisasi merupakan proses kelanjutan dari infeksi yaitu patogen

melanjutkan pertumbuhan dan perluasan aktivitas patogen melalui jaringan inang.

Proses kolonisasi tersebut akan merusak seluruh jaringan pada tubuh inang

(Wharton dan Uribeondo, 2004). Periode inkubasi merupakan waktu yang

dibutuhkan patogen sejak mulai inokulasi sampai timbul gejala penyakit. Bila

gejala penyakit telah timbul berarti patogen telah melakukan reproduksi inokulum

sekunder. Sedangkan proses diseminasi merupakan proses penyebaran inokulum


21
sekunder yang dihasilkan oleh patogen melalui agen penyebar seperti angin, air

dan serangga (Sinaga, 2006).

Terdapat tiga jalan atau cara yang digunakan oleh patogen dalam

melakukan penetrasi yaitu, luka, lubang alami, dan penetrasi langsung. Luka yang

ada pada tanaman dapat disebabkan oleh manusia, faktor fisik seperti angin, air

hujan, atau serangan dari hama. Lubang alami yang biasa digunakan oleh patogen

untuk masuk ke dalam tubuh tanaman inang antara lain, stomata, hidatoda dan

lenti sel. Sedangkan untuk cara penetrasi langsung, dibutuhkan usaha dari patogen

antara lain dengan memproduksi zat kimia berupa enzim atau toksin yang

berfungsi untuk mendegradasi dinding sel dan atau merubah permeabilitas

membran sel tanaman. Keadaan cuaca yang lembab sangat cocok untuk

pembentukan spora dan terjadinya infeksi sehingga diameter lesio akan cepat

membesar (Martinez et al., 2009).

Pengendalian Penyakit Tanaman

Penyakit antraknosa sulit untuk dikendalikan karena infeksi patogen yang

berifat laten dan sistemik, penyebaran inokulum dapat melalui benih, angin dan

dapat pada sisa – sisa tanaman sakit didalam tanah. Serangan antraknosa pada fase

pembungaan dapat menyebabkan infeksi pada benih yang tinggi walaupun benih

kelihatan tampak sehat (Setiyowati et al., 2007).

Kerugian kerugian yang diakibatkan penyakit ini dapat berlipat karena

kerusakan dapat pula terjadi pada cabai di penyimpanan. Patogen menjadi

semakin penting karena dapat menginfeksi biji yang akan digunakan sebagai

benih. Melihat besarnya potensi kerugian yang ditimbulkan, maka segala usaha
22
diupayakan untuk mengendalikan Colletotrichum spp (Paramita dan Sumardiyono

2014).

Pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang sering

dilakukan oleh petani adalah dengan menggunakan fungisida, karena sampai saat

ini belum ada tanaman cabai yang tahan terhadap penyakit antraknosa. Prinsip

penggunaan fungisida didasarkan pada prinsip antibiotik terhadap tanaman. Cara

lainnya yang digunakan untuk mengendalikan penyakit yaitu penggunaan bahan

kimia sintetik yang mampu memicu ketahanan tanaman (Suhendro et al., 2000).

Penggunaan varietas tahan adalah cara pengendalian penyakit tumbuhan

yang sangat murah, mudah, aman dan sangat efektif apabila tersedia varietas

tahan. Selain itu tidak hanya mengurangi kerugian oleh penyakit tetapi dapat

mengurangi biaya untuk penyemprotan dan tindakan lain untuk mengendalikan

penyakit dan menghindari pencemaran lingkungan akibat dari bahan kimia yang

beracun (Agrios, 1996).

Ketahanan Tanaman

Secara alamiah tanaman memiliki ketahanan tertentu terhadap patogen.

Tanpa memiliki sifat ketahanan maka tanaman akan mengalami penularan berat

oleh patogen. Ketahanan yang dimaksud ialah ketahanan tanaman yang dikuasai

oleh gen, sehingga sifat ketahanannya dapat diwariskan kepada keturunannya

Perkembangan gen tahan pada tanaman merupakan hasil koevolusi antara inang

dengan patogen yang telah berlangsung lama (Rahim et al., 2012).

Ketahanan tanaman terhadap patogen adalah suatu kemampuan tanaman

untuk mencegah masuknya atau menghambat patogen ke dalam jaringan tanaman,


23
mampu mematikan jaringan yang terserang oleh patogen dan menghentikan

penyebaran patogen ke dalam jaringan tanaman (Agrios, 1996).

Menurut Syamsudin (2007), syarat mutlak yang digunakan untuk

mendapatkan produksi yang menguntungkan secara ekonomis adalah penggunaan

benih yang unggul dan bermutu tinggi. Varietas tanaman dapat dikatakan tahan

apabila varietas tersebut memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman dapat

menghindar atau kembali pulih dari akibat serangan hama atau penyakit pada

keadaan yang mengakibatkan kerusakan pada varietas lainnya yang tidak tahan

atau terdapat sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan akibat

serangan hama atau penyakit.

Menurut Muhuria (2003), ketahanan tanaman memiliki beberapa sifat

antara lain, (1) genik yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat genetik yang dapat

diwariskan, (2) morfologik yaitu sifat tahan karena sifat morfologi tanaman yang

tidak menguntungkan bagi hama atau patogen, (3) kimiawi yaitu sifat tahan

karena zat kimia yang dihasilkan tanaman.

Bentuk ketahanan tanaman terhadap patogen dibagi menjadi dua macam

antara lain, (1) ketahanan struktural yang berperan menghalangi penetrasi patogen

dan penyebaran infeksi dalam jaringan tanaman, (2) ketahanan biokimia

merupakan senyawa atau aktivitas biokimia dalam tanaman yang berperan

mematikan atau sebagai racun bagi patogen (Chamzurni et al., 2010).

Ketahanan struktural pada tanaman antara lain, (1) jumlah dan kualitas

lapisan lilin serta kutikula pada permukaan sel epidermis, (2) struktur dinding sel

epidermis, (3) ukuran, kerapatan dan bentuk stomata serta lentisel, (4) ketebalan

dinding sel dalam jaringan yang akan menghambat pertumbuhan patogen (Abadi,
24
2003). Sedangkan ketahanan biokimia yaitu dengan menghasilkan senyawa yang

bersifat toksik atau yang dapat menghambat pertumbuhan patogen (Sinaga, 2000).

Secara umum tumbuhan dapat bertahan dari serangan patogen dengan

kombinasi sifat pertahanan diri yang dimilikinya, yaitu (1) sifat-sifat struktural

yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan menghambat patogen yang akan

masuk dan berkembang di dalam tumbuhan, (2) reaksi-reaksi biokimia yang

terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan yang menghasilkan zat beracun bagi

patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen pada

tumbuhan tersebut. Kombinasi antara sifat struktural dan reaksi biokimia yang

digunakan untuk pertahanan bagi tumbuhan berbeda antara setiap sistem

kombinasi inang – patogen (Agrios, 1996).

Setiap varietas tanaman memiliki daya tahan yang berbeda - beda terhadap

serangan patogen. hal tersebut dipengaruhi oleh perbedaan genetik dari tiap

varietas. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), setiap varietas memiliki sifat

genetik yang berbeda akan menimbulkan tingkat ketahanan yang berbeda pula

sehingga dapat mempengaruhi keragaman pertumbuhan tanaman.

Ketahanan tanaman terhadap suatu penyakit pada berbagai varietas tidak

akan sama. Ketahanan terhadap penyakit dikendalikan oleh gen - gen ketahanan

yang terekspresikan ke dalam morfologi tanaman yang mendukung terjadinya

mekanisme ketahanan terhadap penyakit. Ketahanan dapat terjadi karena

kemampuan dari tanaman untuk membentuk struktur - struktur tertentu seperti

pembentukan jaringan dengan sel - sel yang berdinding gabus setelah patogen

memasuki jaringan tanaman atau adanya produksi bahan - bahan toksik di dalam

jaringan yang cukup banyak sebelum atau sesudah patogen memasuki jaringan

yang menyebabkan penyakit. Salah satu penyebab gen ketahanan tidak muncul
25
dikarenakan oleh gen ketahanan tersebut dikendalikan oleh beberapa gen minor

dan bersifat kuantitatif yang dipengaruhi oleh lingkungan (Wiratama et al., 2013).

Masa Inkubasi

Masa inkubasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh patogen sejak patogen

tersebut menginfeksi hingga muncul gejala pertama kali. Pengamatan dilakukan

setiap hari sejak inokulasi patogen sampai muncul gejala pertama sebagai data

pendukung parameter intensitas serangan dalam menetukan kategori ketahanan

tanaman. Menurut Agrios (2005), hubungan antara masa inkubasi dengan

ketahanan tanaman adalah jika masa inkubasi penyakit yang semakin panjang,

maka akan berhubungan dengan tingkat ketahanan tanaman yang semakin tinggi

(Semangun, 1996).

Lama masa inkubasi dapat dipengaruhi oleh tingkat ketahanan tanaman

inang dan virulensi patogen. Adanya korelasi yang kuat antara masa inkubasi dan

intensitas penyakit menunjukkan bahwa masa inkubasi merupakan komponen dari

ketahanan tanaman terhadap penyakit. Masa inkubasi memiliki keterkaitan yang

erat dengan tingkat ketahanan. Apabila tingkat ketahanan semakin tinggi maka

masa inkubasi akan semakin panjang. Sebaliknya apabila tingkat ketahanan

semakin rendah maka masa inkubasi akan semakin pendek (Leiva-mora et al.,

2015).

Suatu tingkat ketahanan tanaman terhadap penyakit dilihat dari bagaimana

intensitas serangan. Intensitas serangan penyakit merupakan keadaan frekuensi

atau tingkatan suatu penyakit yang menyerang tanaman. Adanya perbedaan suatu

tingkat serangan penyakit maka menunjukkan adanya perbedaan tingkat

ketahanan tanaman dalam mencegah serangan penyakit. Selain itu periode


26
inkubasi atau masa inkubasi yang berbeda juga akan menunjukkan adanya tingkat

ketahanan tanaman yang berbeda pula (Sari et al., 2009).

Tingkat ketahanan tanaman dapat dilihat dari laju perkembangan penyakit.

Pada tanaman yang rentan, patogen yang sangat agresif dan cuaca yang sangat

membantu, maka penyakit akan berkembang dengan cepat dan dalam waktu

singkat menyebar pada areal yang luas. Sebaliknya pada varietas yang tahan,

patogen tidak agresif, cuaca kurang membantu, maka penyakit akan berkembang

lebih lambat (Oka, 1993)

Menurut Agrios (1997), kondisi lingkungan yang mendukung

pertumbuhan tanaman dan kurang mendukung bagi perkembangan patogen akan

memperlambat masa inkubasi, sehingga patogen membutuhkan waktu lebih lama

untuk menginfeksi tanaman. Masa inkubasi dipengaruhi oleh beberapa faktor

yaitu ketahanan tanaman inang terhadap ras patogen yang menginfeksi, keganasan

ras patogen tersebut, dan kesesuaian kondisi lingkungan (Wahyu et al., 2012).
METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 varietas tanaman

cabai (Hiyung, Stret, Taruna, Shypon, Hot Beauty dan Belinda), tanah dan pupuk

kandang steril, pupuk NPK, air steril, alkohol 70%, isolat cendawan

Colletotrichum sp., polybag kecil, polybag besar, cling wrap, alumunium foil, tisu

steril kapas, kertas koran, kertas saring, kertas label dan media PDA.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, botol C1000,

cangkul. panci, alat sterilisasi tanah, gembor, jarum ent, oven, neraca analitik,

Laminar Air Flow, spatula, Haemacytometer, hand sprayer, tusuk gigi,

mikroskop, pinset, slide glass, cover glass, gelas beaker, lampu bunsen, pipet

tetes, gelas ukur, autoklaf, alat tulis dan kamera.

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai November 2020

bertempat di Laboratorium Fitopatologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan

dan di Lahan samping Rumah Kaca Fitopatologi, Fakultas Pertanian, Universitas

Lambung Mangkurat, Banjarbaru.


28
Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL)

1 faktor, terdiri dari 6 perlakuan (5 perlakuan uji dan 1 perlakuan kontrol) dengan

4 kali ulangan dan setiap ulangan digunakan 10 tanaman yaitu sebagai berikut :

1. A = Varietas Hiyung sebagai kontrol

2. B = Varietas Stret + Colletotrichum sp.

3. C = Varietas Taruna + Colletotrichum sp.

4. D = Varietas Shypon + Colletotrichum sp.

5. E = Varietas Hot Beauty + Colletotrichum sp.

6. F = Varietas Belinda + Colletotrichum sp.

Persiapan Penelitian

Sterilisasi Alat

Alat yang digunakan untuk penelitian, dilakukan sterilisasi terlebih dahulu.

Alat - alat dicuci dengan sabun kemudian dibilas dengan air bersih lalu keringkan.

Setelah kering, alat yang berbahan kaca seperti cawan petri, tabung reaksi dan

botol C1000 dibungkus menggunakan kertas koran. Untuk botol C1000 dan

tabung reaksi mulut botol atau tabung terlebih dahulu ditutup menggunakan

kapas. Setelah alat tersebut dibungkus, disterilkan menggunakan oven selama 1

jam dengan suhu 170°C.

Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar)


29
Bahan yang digunakan untuk pembuatan media PDA adalah kentang 200

gram, agar 20 gram, dextrose atau gula 20 gram dan air 1 liter. Bersihkan kentang

dan potong - potong kentang membentuk kubus. Kemudian rebus kentang sampai

kentang tersebut empuk. Air rebusan kentang tersebut kemudian disaring dan

apabila volume hasil saringan kurang dari 1 liter, maka tambahkan air secukupnya

hingga mencapai 1 liter. Kemudian masukkan dextrose atau gula dan agar lalu

aduk hingga merata dan biarkan sampai mendidih. Setelah mendidih, masukkan

media tersebut ke dalam botol kaca kemudian tutup dengan alumunium foil dan

balut dengan cling wrap. Kemudian sterilkan media menggunakan autoklaf

selama 15 menit dengan suhu 121°C dan tekanan 15 psi.

Isolasi Cendawan Colletotrichum sp.

Isolasi cendawan F. oxysporum f.sp capsici penyebab penyakit antraknosa

pada tanaman cabai, dilakukan dengan mengambil bagian tanaman cabai yaitu

memotong buah cabai yang bergejala. Kemudian hasil potongan tersebut

dimasukkan ke dalam alkohol 70%. Selanjutnya dimasukkan ke dalam air steril,

lakukan sampai air steril yang ketiga dan keringkan pada tisu steril. Setelah itu,

lakukan isolasi dengan memasukkan beberapa potongan buah yang bergejala ke

dalam cawan petri yang berisi media PDA lalu balut dengan cling wrap.

Pemurnian Cendawan Colletotrichum sp.

Setelah dilakukan isolasi, miselium cendawan Colletotrichum sp. yang

tumbuh kemudian dimurnikan untuk mendapatkan isolat yang murni tanpa

terkontaminasi dari patogen yang lainnya. Miselium yang tumbuh diisolasi


30
kembali dan diambil dengan menggunakan jarum ent kemudian dimasukkan ke

media PDA.

Identifikasi Cendawan

Setelah cendawan diisolasi dan dilakukan pemurnian, cendawan

Colletotrichum sp. diidentifikasi untuk mengetahui spesies cendawan yang

tumbuh. Identifikasi cendawan dilakukan dengan cara membuat media kubus.

Media PDA dipotong membentuk persegi atau kubus menggunakan spatula dan

diletakkan diatas slide glass. Isolat murni cendawan yang akan diidentifikasi

diambil dengan menggunakan jarum ent dan letakkan diatas media PDA

kemudian tutup dengan cover glass. Setelah itu tisu yang berada didalam cawan

petri dibasahi dengan menggunakan pipet tetes kemudian dibalut dengan cling

wrap. Pertumbuhannya diamati di bawah mikroskop dan diidentifikasi.

Perbanyakan Sumber Inokulum

Perbanyakan Colletotrichum sp. diperbanyak pada media PDA sebagai

sumber inokulum. Cendawan yang sudah dimurnikan dan diidentifikasi, miselium

cendawan diambil menggunakan jarum ent dan dimasukkan ke dalam media PDA

yang baru.

Persiapan Media Tanam

Sebelum penanaman, terlebih dahulu menyediakan benih cabai dari

beberapa varietas yang ditentukan. Setelah itu, sterilkan tanah yang dimasukkan

ke dalam alat sterilisasi dengan cara dikukus dan diletakkan kentang pada bagian

tengah sebagai indikator untuk menentukan media tanam sudah matang atau
31
belum. Sterilisasi ini dilakukan selama ±3 - 4 jam dan dilakukan sebanyak 2 kali

sterilisasi. Media tanam yang sudah dipersiapkan dimasukkan ke dalam polibag

kecil dengan ukuran 5 x 10 cm untuk persemaian cabai. Saat tanaman cabai sudah

berumur 2 minggu atau terdapat 4 helai daun dipindahkan ke polybag besar

dengan ukuran 35 x 40 cm dengan perbandingan tanah dan pupuk kandang 2 : 1

(Ariny, 2009).

Pelaksanaan Penelitian

Inokulasi Cendawan Colletotrichum sp. Ke Tanaman Cabai

Inokulasi cendawan Colletotrichum sp. yaitu hasil biakan yang sudah

berumur ± 7 hari, media PDA disiram aquades dan konidia diambil dari cawan.

Kepadatan inokulum diatur mencapai 5 x 10⁵ konidia/ml. Kemudian kerapatan

spora diukur menggunakan Haemacytometer dan diamati dibawah mikroskop

(AVRDC 2003). Metode yang dilakukan untuk inokulasi cendawan ke tanaman

yaitu dengan metode semprot. Inokulasi dilakukan dengan menyemprotkan

suspensi cendawan ke seluruh permukaan tanaman cabai. Penyemprotan

dilakukan pada saat tanaman berbunga dan berbuah.

Pemeliharaan

Setelah tanaman diinokulasikan dengan cendawan Colletotrichum sp.,

tanaman dilakukan pemeliharaan dengan penyiraman, pemupukan dan penyiangan

gulma. Penyiraman dilakukan secara rutin sehari dua kali. Pemupukan dilakukan

dengan memberikan pupuk NPK sebanyak 10 gram pertanaman. Penyiangan

gulma dilakukan dengan cara mencabut gulma yang tumbuh disekitar pertanaman.
32

Pengamatan

Pengamatan yang diamati meliputi mengamati masa inkubasi dan kejadian

penyakit antraknosa. Pada pengamatan masa inkubasi yaitu lama inkubasi yang

dihitung sampai timbul gejala awal yang terlihat. Pada pengamatan kejadian

penyakit yaitu dilakukan perhitungan pada saat gejala muncul.

Pengamatan penyakit antraknosa dilakukan pada saat panen dengan

mengamati buah cabai yang terserang di bagi dengan jumlah buah yang diamati

secara keseluruhan prosedur pengamatan mengacu pada kriteria ketahanan

terhadap penyakit antraknosa berdasarkan kejadian penyakit diduga menggunakan

metode Yoon (2003).

Rumus:

n
KP = x 100%
N

Keterangan :

KP = kejadian penyakit

n = jumlah buah yang terserang, yaitu jika diameter gejala > 4 mm

N = jumlah buah yang diamati dilapang

Kriteria ketahanan cabai merah terhadap penyakit antraknosa berdasarkan

kejadian penyakit :

Tabel 1. Kriteria Ketahanan Terhadap Penyakit


Kejadian Penyakit Tingkat Ketahanan
0% - 10% Sangat tahan
10% - 20% Tahan
20% - 40% Moderat
33
40% - 70% Rentan
Lebih dari 70% Sangat rentan
DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A.L. 2003. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Bayumedia. Malang.

Abdul A. A., A. Priyatmojo., B. Hadisutrisno dan N. Pusposendjojo. 2010.


Virulensi 9 Isolat Fusarium oxysporum f.sp lycopersici dan Perkembangan
Gejala Layu Fusarium pada Dua Varietas Tomat di Rumah Kaca. Jurnal
Agrin Vol. 14 No. 2.

Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. 3rd ed. Academic Press Inc. San Diego,
California.

Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Ed-3 Munzir Busnia, penerjemah.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari : Plant
Pathology.

Agrios, G.N. 1997. Plant Pathology Fourth Edition. Academic Press. University
of Florida.

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. Elsevier Academic Press. USA.

Alam, A. S, W. Sari dan M. Achviana. 2013. Uji Ketahanan Beberapa Varietas


Cabai (Capsicum annum L.) Terhadap Layu Fusarium yang Disebabkan
Cendawan Fusarium oxysporum f.sp capsici. Universitas Suryakancana,
Cianjur.

Alexopoulos, C. J & C. W. Mims. 1979. Introductory Mycology. Third Edition.


John Wiley and Sons. new York.

Alviana, V.F., & A.D. Susila. 2009. Optimasi Dosis Pemupukan Pada Budidaya
Cabai (Capsicum annuum L.) Menggunakan Irigasi Tetes dan Mulsa
polyethylene. J Agron Indonesia. 37 (1) : 28-33.

Amri, A. I. 2017. Respons Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Cabai Keriting


(Capsicum annuum L .) terhadap Aplikasi Pupuk Kompos dan Pupuk
Anorganik di Polibag, 8 (April), 203–208.

Ariny, F. 2009. Efektivitas Seresah Daun Jati (Tectonia grandis L.) dan Inokulum
Mikoriza Vesicular Arbuskular (MVA) Terhadap Pertumbuhan dan
Produksi Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogea L. Merr) yang
Ditanam pada Tanah Berkapur. Skripsi. Universitas Negeri Surabaya.
Surabaya.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Statistik Tanaman Sayuran dan Buah-Buahan
Semusim. BPS RI.

Booth S. 1985. The Genus Fusarium. England. The Lavenham Press Ltd.

Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). 2012. Budidaya Sayuran di


Pekarangan. Sumatra Utara. 145 p.
35
Boisson, C and Lahlou, H. 1984. Variabilite intraclonale du pouvoir pathogene
de Verticillium albo‐atrum R. et B forme a microsclerote vis‐à‐vis de la
tomate. In Variation et variabilite des agents phytopathogenes, 25 emme
calloque SPP, Avignon 10‐11 mai 1984. Ed. INRA Publ., 1984 (Ls
Colloques de I’INRA, n’26) p 69‐78.

Cahyono, B. 2008. Tomat. Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen. Kanisius.


Yogyakarta.

Chamzurni, T, Ulim M.A, Dianur, E. 2010. Uji Ketahanan Beberapa Varietas


Tomat Terhadap Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f.sp.
lycopersici). Agrista. 14 (2): 62-67.

Cronquist A. (1981). An Integrated System Of Classification OF Flowerong


Plans. Columbia University Press. New York.

Diniyah, Shohihatud. 2010. Potensi Bakteri Endofit Sebagai Penghambat


Pertumbuhan Bakteri (R. solanacearum) dan Jamur (Fusarium sp. dan P.
infestan) Penyebab Penyakit Layu pada Tanaman. Jurusan Biologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.
De Cal A, Garcia-Lepe R & Melgarejo P. 2000. Induced Resistance by
Penicillium oxalicum Against F. oxysporum f.sp. lycopersici: Histological
Studies of Infected and Induced Tomato Stem. Phytopathology 90 : 260-
268.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan.


2018. Laporan Tahunan Produktivitas Tanaman Hortikultura di
Kalimantan Selatan. Banjarbaru.

Djarwaningsih T. 2005. Capsicum spp. (Cabai): Asal, Persebaran Dan Nilai


Ekonomi. Biodiversitas 6 (4) : 292-296.

Faizah, R, Sujiprihati S, Syukur M dan Hidayat S.H. 2012. Ketahanan Biokimia


Tanaman Cabai Terhadap Begomovirus Penyebab Penyakit Daun Keriting
Kuning. Jurnal Fitopatologi Indonesia. 8 (5): 138-144.

Godinho, A., Ramesh. R., Bhosle, S. 2010. Studi Mengenai Bakteri Sand Dune
Sebagai Pemacu Pertumbuhan pada Tanaman Terong. JAS. 6 (5): 555-564.

Hadisutrisno, B. 1987. Etude de la variabilite intraclonale du pouvoir pathogene


du Verticillium dahlia Klebahn vis‐à‐vis de la tomate et du cotonnier.
These de Docteur Ingenieur de l’Ensam. Unpublished.

Hadisutrisno, B. 2004. Pemanfaatan Isolat Avirulen Dalam Pengendalian Penyakit


Tanaman. Disampaikan pada pertemuan teknis Pengembangan Teknologi
Perkebunan Regional Kalimantan, 25‐28 Agustus di Pontianak. Fakultas
Pertanian. Universitas Gadjah Mada.
Harpenas, Asep & R. Dermawan. 2010. Budidaya Cabai Unggul. Penebar
Swadaya. Jakarta.
36
Hewindati, Yuni Tri. 2006. Hortikultura. Universitas Terbuka. Jakarta.

Hikmah, F.N. 2018. Uji Potensi Antagonis Bakteri Endofit Bacillus cereus dan
Bacillus megaterium Terhadap Jamur Patogen Fusarium oxysporum
Penyebab Penyakit Layu Daun Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.).
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Howard, L. R., S. T. Talcott, C. H. Brenes, dan B. Villalon. 2000. Changes in


Phytochemical and Antioxidant Activity of Selected Pepper Cultivars
(Capsicum species) as Influenced by Maturity. Journal of Agricultural and
Food Chemistry 48: 1713-1720 [DOI: 10.1021/jf990916t]

Huda, Miftahul. 2010. Pengendalian Layu Fusarium pada Tanaman Pisang (Musa
paradisiaca L.) Secara Kultur Teknis dan Hayati. Skripsi. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Juanda, I. F. 2009. Potensi Rhizobakteria sebagai Agen Biofungisida untuk


Penendalian Jamur Fitopatogen Fusarium sp. Jurusan Pendidikan Biologi
Program studi Biologi (Non Kependidikan) Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) Regional Sales Office (RSO): Bandung, Jawa Barat. 26
hlm.

Leiva-mora, M, Capo Y.A, Suarez M.A, Martin M.C, Roque B, Mendez E.M.
2015. Components of Resistence to Assess Black Sigatoka Response in
Artificially Inoculated Musa genotypes. Revista de Protection Vegetal 30
(1): 60-69.

Lucas, G.B., C.L. Campbell, and L.T. Lucas, 1985. Introduction to Plant Disease:
Identification and Management. Avi Book. New York. 313 hlm.

Mangoendidjojo. 2003. Dasar - Dasar Pemuliaan Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.

Mehrotra, R.S. 1980. Plant Pathology. Tata McGraw Hill Publishing Co. Ltd.
New Delhi. 771 hlm.

Muhuria, L. 2003. Strategi Perakitan Gen - Gen Ketahanan Terhadap Hama.


Pengantar Falsapah Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 19 hlm.

Nugraheni, E. S. 2010. Karakterisasi Biologi Isolat-Isolat Fusarium sp pada


Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Asal Boyolali. Skripsi.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 68 hlm.

Oka, I. Nyoman. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman.

Pratama, D., S. Swastika., T. Hidayat & K.B. Andri. 2017. Teknologi Budidaya
Cabai Merah. Badan Penerbit Universitas Riau UR Press. Riau.

Prajananta, F. 2002. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Penebar Swadaya.


Jakarta.
37
Ploetz Randy C. 2003. Diseases of Tropical Fruit Crops. University of Florida,
IFAS, Tropical Research and Education Center Home Stead, Florida.
USA.

Rahim, A., A.R. Khaeruni, dan M. Taufik. 2012. Reaksi Ketahanan Beberapa
Varietas Padi Komersial Terhadap Patotipe Xanthomonas oryzae pv.
oryzae Isolat Sulawesi Tenggara. Berkala Penelitian Agronomi 1(2): 132-
138.

Rebbeca, L., B. Larson, and B.J. Jacobsen. 2007. Biocontrol Elicited Systemic
Resistance in Sugarbeet is Salicylic Acid Independent and NPR1
Dependent. J. Sugarbeet Res. Vol. 44 Nos. 1&2.

Rostini, N. 2011. 6 Jurus Bertanam Cabai Bebas Hama dan Penyakit. PT


AgroMedia Pustaka, Jakarta. Hal. 41.

Rukmana, R. 1996. Usaha Tani Cabai Hibrida Sistem Mulsa Plastik. Kanisius.
Yogyakarta.

Saragih, Saud Daniel. 2009. Jenis-jenis Fungi pada Beberapa Tingkat


Kematangan Gambut. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatra
Utara.

Sari, A.A, Purwantoro dan E. Hadipoentyanti. 2009. Ketahanan Klon Somatis


Nilam (Pogostemon cablin Benth.) Terhadap Ralstonia solanacearum.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sastrahidayat, I. R. 1986. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional. Surabaya.

Sastrahidayat, I. R. 1989. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional. Surabaya.

Schwartz, HF and Michael. E. 2002. Fusarium Bassal Rot.

Seifert, K.A. dan Gams, W. 2001. The Taxonomy of Anamorphic Fungi. In the
Mycota VIIA : Systematics and Evolution. ed. D. J. McLaughlin, E. G.
McLaughlin & P. A. Lemke. Springe-Verlag, pp. Berlin. 307-347.

Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Semangun H. 2005. Penyakit - Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.


Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Setiadi. 1988. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.

Setiadi. 2005. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. 183 hlm.


38
Shanin, E.A dan R. Spivey. 1986. A Single Dominan Gene for Fusarium Wilt
Resistence in Protoplast-derivea Tomato. Planet Theorical and Applied
Genetics. 73 (2): 164-169.
Sinaga, M.S. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tanaman. Diktat kuliah. Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan. Institut Pertanian Bogor. 125 hal.

Sitompul, S.M dan Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah


Mada University Press. Yogyakarta.

Soesanto, L. 2002. Penyakit Busuk Rimpang Jahe di Sentra Produksi Jahe Jawa
Tengah : 2. Intensitas dan Pola Sebaran Penyakit. Proyek Pembinaan
Kelembagaan Litbang Pertanian (ARMPII) Jawa Tengah.

Sujatmiko, B, Endang S & Rudi, H.M. 2012. Studi Ketahanan Melon (Cucumis
Melo L.) Terhadap Layu Fusarium Secara In Vitro dan Kaitannya dengan
Asam Salisilat. Ilmu Pertanian Vol. 15 No. 2 : 1-18.

Sunaryono, Hendro H. 2003. Budidaya Cabai Merah. Sinar Baru Algensindo.


Cetakan Ke V. Bandung. 46 hlm.

Syamsudin. 2007. Pengendalian Penyakit Terbawa Benih (Seed Born Diseases)


pada Tanaman Cabai (Capsicum annuum L.) Menggunakan Agen
Biokontrol dan Ekstrak Botani. Agrobio 2 (2).

Tenaya, IMN, Setiamihardja, R, Baihaki A & Natasasmita, S. 2003. Heritabilitas


dan Aksi Gen Kandungan Fruktosa, Kandungan Kapsaisin dan Aktivitas
Enzim Peroksidase Pada Hasil Persilangan Antar Spesies Cabai Rawit x
Cabai Merah. Zuriat. Vol. 14. No. 1. hlm. 26-34.

Tindall, H.D. 1983. Vegetable in The Tropics. Mac Milan Press Ltd. London.

Tjahjadi, N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Kanisius. Yogyakarta.

Tjahjadi, N. 1991. Bertanam Cabai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Wahyu, H.S.N., L. Soesanto & Kustantinah. 2012. Keagresifan Beberapa Isolat


Fusarium oxysporum f.sp. zingiberi Asal Temanggung dan Boyolali
Setelah Penyimpanan dalam Tanah Steril. J. Fito. 8 (6) : 170-176.

Warisno dan K. Dahana. 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Winarsih, S. 2007. Pengaruh Bahan Organik pada Pertumbuhan Gliocladium
virens dan Daya Antagonisnya Terhadap Fusarium oxisporum secara In-
Vitro. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus (3) : 386-390.

Wiratama, I.D.M, Sudiarta I.P, Sukewijaya I.M, Sumiartha K, Utama S.M.S.


2013. Kajian Ketahanan Beberapa Galur dan Varietas Cabai Terhadap
Serangan Antraknosa di Desa Abang Songan Kecamatan Kintamani
Kabupaten Bangli. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 2 (2): 71-81.
39
Wiryanta, B. T. W. 2002. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. AgroMedia
Pustaka. Jakarta. 91 hal.
Yuri. 2012. Fusarium oxysporum. http://thunderhouse4-
yuri.blogspot.com/2012/06/Fusarium-oxysporum.html. (Diakses pada 17
Februari 2020).

Yusnita. 2010. Varian Somaklonal Kacang Tanah Resisten Fusarium oxysporum


Hasil Seleksi In Vitro Menggunakan Filtrat Kultur Cendawan. Jurnal HPT
Tropika. 10 (1) : 35-46.

Lampiran 1. Tabel Pengamatan

Tabel 2. Pengamatan Intensitas Serangan (%) dan Jumlah Tanaman Terserang


Ulangan Intensit
Jumlah
Perlakuan as
No Hari/Tanggal Tanaman
(varietas) 1 2 3 4 Seranga
Terserang
n (%)
1.
2.
3.
4.
40
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Lampiran 2. Denah Tata Letak Percobaan

I II III IV

A1 B1 D1 E4

A1
B2 C2 A2 A3

D2 E3 B3 C4

E1 A4 C1 D4

40 cm
C3 D3 E2 B4

40 cm

Keterangan : Ulangan :

A= 1 = Ulangan 1

B= 2 = Ulangan 2
41
C= 3 = Ulangan 3

D= 4 = Ulangan 4

E=

Anda mungkin juga menyukai