LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI Glikosida
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI Glikosida
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI Glikosida
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3C
LABORATORIUM FARMAKOGNOSI
JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan zaman membuat ilmu pengetahuan semakin berkembang, begitu pula dengan
ilmu kefarmasiaan. Ditemukan begitu banyak senyawa-senyawa aktif dari alam yang dapat
dimanfaatkan keberadaannya untuk sarana pengobatan berbagai macam penyakit. Salah satu
diantaranya adalah glikosida.
Glikosida banyak terdapat di alam. Glikosida merupakan salah satu kandungan aktif yang
terdapat pada tanaman yang termasuk dalam kelompok metabolit sekunder. Di dalam tanaman
glikosida tidak lagi diubah menjadi senyawa lain, kecuali bila memang mengalami peruraian akibat
pengaruh lingkungan luar. Glikosida dapat diartikan sebagai senyawa yang menghasilkan satu atau
lebih gula sebagai produk hidrolisis, atau secara sederhana glikosida adalah eter gula. Glikosida
terdiri dari gabungan dua bagian senyawa, yaitu gula dan bukan gula. Komponen gula dan bukan
gula tersebut dihubungkan oleh suatu bentuk ikatan berupa jembatan oksigen, nitrogen, sulfur, dan
karbon .bagian gula biasanya disebut glikon dan bagian bukan gula disebut aglikon.
Untuk mengetahui ada tidaknya glikosida pada tumbuhan tentu saja perlu dilakukan identifikasi
terhadap glikosida. Pada praktikum kali ini digunakan Digitalis purpurea folium dan Apium
graveolens untuk membuat larutan percobaan identifikasi glikosida, kemudian akan dilakukan uji
identifikasi terhadap glikosida dengan uji Libermann Burchard, uji Molish, uji Tollens, dan uji
identifikasi glikosida dengan menggunakan metode KLT.
Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan
penyari pada suhu biasa ataupun memakai pemanasan (Syamsuni, 2006). Biasanya ekstraksi dilakukan
dengan meserasi atau perendaman bahan dengan pelarut terpilih karena maserasi merupakan cara
ekstraksi yang paling mudah dengan rendemen ekstraki tinggi (Saifudin, 2014). Meserasi bertujuan
untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara
teknologi maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada
keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari.
Rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis oleh
cahaya atau perubahan warna). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif dan zat aktif akan larut. Simplisia yang akan diekstraksi
ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar bersama larutan penyari yang telah
ditetapkan, bejana ditutup rapat (Indraswari, 2008). Selama meserasi atau proses perendaman
dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi
yang lebih cepat dalam cairan. Sedangkan dalam keadaan diam selama meserasi menyebabkan
turunnya perpindahan zat aktif. Secara teoritis, pada suatu meserasi tidak memungkinkan terjadinya
ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin
banyak hasil yang diperoleh (Istiqomah, 2013).
Seringkali meserasi dikombinasi dengan digesti atau refluk selama satau atau dua jam dengan
suhu 40-60OC untuk meningkankan efisiensi penyarian (Saifudin, 2014). Digesti berarti “memisahkan
atau melarutkan”, yaitu cara penarikan yang suhunya sedikit lebih tinggi daripada maserasi (Syamsuni,
2006). Berdasarkan hal tersebut, digesti dapat diartikan sebagai meserasi yang dikombinasikan dengan
pemanasan. Cara ini tidak cocok untuk bahan aktif yang tidak tahan panas.
Dalam praktikum untuk pemeriksaan glikosida dengan kromatografi lapis tipis digunakan fase
gerak yaitu benzena dan etanol 95%. Benzena termasuk ke dalam kelompok senyawa karbosiklik,
yaitu senyawa karbon yang mempunyai rantai kabon tertutup. Diantara senyawa karbosikilik, benzene
adalah salah satu senyawa yang mempunyai struktur dan sifat yang khas sehingga sering disebit
senyawa aromatik. Benzena memiliki struktur yang lebih simetris dibandingkan dengan senyawa
alifatik serupa, dengan susunan yang lebih rapat sebagai kristal. Hal ini menjelaskan mengapa titik
leleh benzena (6 oC) lebih tinggi dibandingkan heksana (-95 oC). Untuk turunan benzena, sifat
fisikanya tergantung dari jenis subtituennya. Benzena memiliki sifat fisika yakni bersifat non polar,
tidak larut dalam air, tapi larut dalam pelarut organik, zat car yang mudah menguap, titik didih 60 o, C,
titik leleh 6 oC, kerapatan 0,88 g/cm3, dan tidak berwarna. Sedangkan berdasarkan sifat kimianya,
benzena bersifat toksik (racun), tepatnya hemotoksin yaitu suatu zat yang merusak sumsum tulang
belakang dan menghambat pembentukan sel darah, bersifat karsinogenik (memicu timbulnya kanker)
pada binatang, kurang reaktif (Chang, 2004), relative inert, dan mudah terbakar, sukar melakukan
reaksi adisi, dan dapat melakukan reaksi substitusi.
BAB V
PEMBAHASAN
7
Jumlah etanol (95%) yang digunakan = ×30 ml=21 ml
10
3
Jumlah air yang digunakan = ×30 ml=7 ml
10
Glikosida merupakan senyawa yang dapat larut dalam air dan etanol encer (Gunawan dan
Mulyani, 2004), sehingga dapat digunakan pelarut polar untuk menyari kandungan bahannya. Metode
yang digunakan adalah metode maserasi digesti. Metode maserasi digesti adalah metode maserasi yang
dilakukan di atas suhu kamar, biasanya berkisar dari 40 oC hingga 50oC (Sri Atun, 2014). Serbuk
simplisia kemudian dimasukkan ke dalam pelarut dan dipanaskan di atas penangas air dengan suhu
45oC. Hasil penyarian memperlihatkan larutan berwarna hijau tua keruh dengan serbuk-serbuk yang
masih terlihat, untuk itu larutan kemudian disaring untuk mendapatkan larutan tanpa serbuk. Hasil
penyaringan filtrat berwarna hijau tua.
Untuk mendapatkan hasil sari yang maksimal, dilakukan penyarian kembali menggunakan 25
ml air dan 25 ml Pb(CH3COO)2 . Timbal (II) asetat digunakan untuk mengendapkan klorofil sehingga
didapat larutan yang mengandung glikosida tanpa fragmen lainnya. Hasil penambahan air dan timbal
(II) asetat menghasilkan campuran yang berwarna hijau muda dengan butiran berwarna lebih hijau di
permukaan. Untuk menghilangkan butiran tersebut dilakukan penyaringan dan menghasilkan filtrat
yang berwarna hijau muda bening.
Hasil filtrat kemudian ditambahkan 20 ml campuran yang terdiri dari kloroform P: isopropanol P
dengan perbandingan 3:2. Penyarian dilakukan untuk memisahkan bagian polar dan non-polar dari
campuran tersebut. Penyarian dilakukan sekali pada corong pemisah dengan 3 kali penggojokkan
(setiap penggojokan lebih kurang 10 kali ayunan) dan diselingi dengan pembebasan udara dari dalam
corong pisah. Bedasarkan perhitungan, didapat jumlah bahan sebagai berikut.
3
Jumlah kloroform P yang digunakan = ×20 ml=12 ml
5
2
Jumlah air yang digunakan = ×20 ml=8 ml
5
Kloroform adalah suatu pelarut yang merupakan cairan jernih, mudah mengalir, mempunyai
sifat khas, bau eter, mendidih pada suhu kurang lebih 61°C dan dipengaruhi oleh cahaya. Kloroform
sukar larut dalam air (Baraja, 2008). Sehingga kloroform efektif digunakan untuk menyari bagian yang
tidak polar dari suatu larutan. Isopropanol atau 2-propanol adalah pelarut yang dapat campur dengan
air, sehingga dapar melarutkan bagian yang polar dari suatu larutan. Hasil penyarian pada corong pisah
menghasilkan larutan dengan dua fase yang memisah dan terlihat jelas. Bedasarkan pengukuran, dari
hasil penyarian didapat 11.5 ml larutan fase bawah (fase kloroform) dan 71 ml larutan fase atas (fase
isopropanol). Fase atas berwarna lebih hijau dibandingkan fase bawah yang lebih bening. Fase bawah
kemudian dipisahkan dan hanya menyisakan fase atas.
Sari yang diperoleh selanjutnya ditambahi Na2SO4 anhidrat untuk mengikat air yang masih
terkandung pada larutan. Hasil penambahan Na2SO4 anhidrat memberikan warna putih kekuningan.
Larutan kemudian diuapkan di atas penangas air dengan suhu lebih kurang 120 oC. Proses penguapan
dilakukan untuk menguapkan pelarut dan menghasilkan larutan yang mengandung glikosida tanpa
senyawa lainnya. Hasil penguapan menghasilkan larutan berwarna bening yang kemudian digunakan
sebagai larutan percobaan A.
Chang, R..2004. Kimia Dasar Jilid 1. Edisi III. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi 3. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Gunawan, D. dan S. Mulyani. 2004. Farmakognosi. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal 65-102.
Hidayat, S. Dan R. M. Napitupulu. 2015. Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta: Penebar Swadaya Group
Indraswari, A.. 2008. Optimasi Pembuatan Ekstrak Daun Dewandaru (Eugenia uniflora L.)
Menggunakan Metode Maserasi Ddengan Parameter Kadar Total Senyawa Fenolik dan
Flavonoid. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Metode Sokletasi Terhadap Kadar
Piperin. Skripsi. Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah.
Sri, A.. 2014. Metode Isolasi dan Identifikasi Struktur Senyawa Organik Bahan Alam. Jurnal
Konservasi Cagar Budaya Borobudur Vol.8 No.2 , Desember 2014 (53:61)
Stahl, E.. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung : ITB
Syafidin, A.. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder.Yogyakarta; CV. Budi Utama. Hal. 281.