Pedoman Pe KLB Final
Pedoman Pe KLB Final
Pedoman Pe KLB Final
Pembina
dr. M. Subuh, MPPM; Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Pengarah
dr. Jane Soepardi, MPH, D.Sc; Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan
Penulis
dr. Nancy Dian Anggraeni, M. Epid; Subdirektorat Surveilans
dr. Ann Natalia Umar; Subdirektorat Surveilans
Dwi Mazanova, SKM, M.Kes; Subdirektorat Surveilans
Puhilan, SKM, M. Epid; Subdirektorat Surveilans
Edy Purwanto, SKM, M.Kes; Subdirektorat Surveilans
Eka Muhiriyah, SKM, MKM; Subdirektorat Surveilans
Gunawan Wahyu Nugroho, SKM, MKM; Subdirektorat Surveilans
Abdurahman, SKM,M.Kes; Subdirektorat Surveilans
Lia Septiana, SKM, M.Kes; Subdirektorat Surveilans
Muammar, SKM,M.Epid, Subdirektorat Surveilans
Vivi Voronika, SKM ; Subdirektorat Surveilans
dr. Cornellya ; Subdirektorat Surveilans
dr. Rusipah, M.Kes; World Health Organization Indonesia
dr. Sidik Utoro, M.Kes; World Health Organization Indonesia
Niprida Mardin, SKM., M.Kes; World Health Organization Indonesia
Kontributor
Johanes Eko Kristiyadi, SKM, MKM; Subdirektorat Zoonosis
dr. Yullita Evarini Yuzwar,MARS; Subdirektorat Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran
Pencernaan
M. Edy Hariyanto, SKM, M.Epid; Subdirektorat Iinfeksi Saluran Pernafasan Akut
dr. Fatchanuraliyah, M.Epid; Subdirektorat Filariasis dan Kecacingan
Sri Budi Fajariyani, SKM; Subdirektorat Malaria
Rohani Simanjuntak, SKM,MKM ; Subdirektorat Arbovirosis
Rahpien Yuswani, SKM, M.Epid; Subdirektorat Higiene Sanitasi Pangan
dr. Suhesti Dumbela; Subdirektorat Karantina Kesehatan
Editor
Puhilan, SKM, M. Epid; Subdirektorat Surveilans
Penyelidikan dan penanggulangan KLB sangat bergantung dari kemampuan dan kemauan petugas
pelaksana yaitu Tim Gerak Cepat maupun petugas surveilans. Salah satu tantangan dan sekaligus
keunggulan seorang ahli epidemiologi adalah pada kemampuannya melakukan penyelidikan suatu
Kejadian Luar Biasa (KLB).
KLB seringkali diikuti dengan kejadian yang sangat cepat, banyak orang terserang dan luas wilayah
yang terserang bisa sangat luas, serta dapat menimbulkan kecemasan berbagai pihak. Satu petugas
dengan petugas lain seringkali saling menyalahkan, bahkan masyarakat pun disalahkan. Pada situasi
seperti ini diperlukan seorang ahli epidemiologi, yang dituntut selalu bertindak tenang, professional,
berpegang pada dasar-dasar ilmiah, pendekatan sistematis, dan berorientasi pada upaya penyelamatan
dan pencegahan pada populasi yang mengalami KLB.
Buku ini merupakan pedoman praktis penyelidikan dan penanggulangan KLB di lapangan yang
menjelaskan aspek klinis, aspek epidemiologis, dan langkah-langah penyelidikan dan penanggulangan KLB.
Buku ini tidak membahas secara mendalam tentang patofisiologi, mikrobiologi, entomologi, dan sanitasi
lingkungan.
Buku ini dapat menjadi referensi dalam penanggulangan KLB seperlunya, sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan PP No. 40 tahun 1991
tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular, serta menjadi penjabaran pelaksanaan teknis dari
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/Menteri/per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu
Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya dan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 86/Menteri/per/X/2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular.
Tak ada gading yang tak retak, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang akan lebih
menyempurnakan buku ini. Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi dalam
penyusunan buku ini.
Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan
karunia dan rahmat-Nya, pada akhirnya Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar
Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit) Edisi Revisi Tahun 2017
ini dapat selesai disusun.
Indonesia merupakan Negara yang masih memiliki angka kejadian luar biasa (KLB) penyakit
menular dan keracunan yang cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan perlunya peningkatan sistem
kewaspadaan dini dan respon terhadap KLB tersebut dengan langkah-langkah yang terprogram dan
akurat, sehingga proses penanggulangannya menjadi lebih cepat dan akurat pula.
Untuk dapat mewujudkan respon KLB yang cepat, diperlukan bekal pengetahuan dan keterampilan
yang cukup dari para Tim Gerak Cepat maupun petugas surveilans yang diterjunkan ke lapangan.
Kenyataan tersebut mendorong kebutuhan Tim Gerak Cepat maupun petugas surveilans di lapangan
untuk memiliki pedoman penyelidikan dan penanggulangan KLB yang terstruktur, sehingga
memudahkan kinerja Tim Gerak Cepat maupun petugas surveilans mengambil langkah-langkah dalam
rangka melakukan respon KLB.
Buku Pedoman ini adalah pedoman praktis berbasis epidemiologi untuk melakukan penyelidikan
dan penanggulangan KLB penyakit menular dan keracunan pangan, yang merupakan panduan teknis dari
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/Menteri/per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu
Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya serta Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 86/Menteri/per/X/2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular. Buku ini diharapkan dapat
menjadi acuan sumber informasi epidemiologi penyakit menular yang berpotensi terjadi KLB dan
keracunan makanan, serta panduan bagi petugas epidemiologi untuk melakukan upaya-upaya
penanggulangan KLB secara terstruktur.
Akhirnya semoga keberadaan buku ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi atau rujukan
informasi oleh semua pihak terkait yang membutuhkan sehingga dapat memperkuat peran surveilans
epidemiologi di masa yang akan datang. Tidak lupa kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terbitnya buku pedoman ini, kami sampaikan terima kasih.
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT..............................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................................................iv
BAB I PROGRAM PENGENDALIAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) PENYAKIT MENULAR DAN
KERACUNAN PANGAN..........................................................................................................6
A. Pendahuluan....................................................................................................................6
B. Tujuan..............................................................................................................................7
C. Dasar Hukum...................................................................................................................7
D. Pengertian.......................................................................................................................7
E. Program Pengendalian Klb Penyakit Menular Dan Keracunan Pangan............................8
BAB V Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Penyakit Misterius (belum diketahui penyebabnya)
A. Pendahuluan.............................................................................................................241
B. Penyebaran...............................................................................................................241
C. Gambaran Klinis........................................................................................................241
D. Etiologi......................................................................................................................241
E. Kejadian Luar Biasa...................................................................................................241
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................248
BAB I PROGRAM PENGENDALIAN
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN PANGAN
A. PENDAHULUAN
Sesuai dengan International Health Regulation (IHR) 2005 terdapat 8 kapasitas inti yang
harus dimiliki oleh setiap negara yaitu. Surveilans dan respon adalah dua kapasitas inti minilal yang
harus dilaksanakan dalam rangka deteksi detek, prevent dan respon terhadap ancaman masalah
keshatan masy. Hal ini dituangkan dalam visi Global Health Security Agenda (GHSA) untuk
perlindungan dan keamanan global dari ancaman penyakit infeksi, dimana surveilans dan respon
berperan dalam hal pencegahan dan mitigasi akibat dari terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) yang
berhubungan dengan pathogen berbahaya serta deteksi cepat, memutuskan mata rantai penularan
pada manusia dan mengurangi dampak ekonomi, politik dan keamanan akibat KLB.
Upaya peningkatan di bidang kesehatan dilakukan secara bertahap setiap tahunnya dengan
berbagai macam strategi dan inovasi seiring dengan perkembangan penyakit yang berpotensi KLB
dan masalah kesehatan, dimana masalah kesehatan ini sangat di pengaruhi oleh perubahan pola
hidup, globalisasi, perubahan iklim, pembangunan dan pertumbuhan penduduk serta
perkembangan agen penyakit.
Meningkatnya mobilisasi manusia dan barang dewasa ini mendorong semakin besarnya
faktor risiko menularnya penyakit lintas dan antar negara seperti H5N1, H7N9, MersCov dan Ebola
serta ditemukannya laporan dari unit pelayanan kesehatan mengenai jenis penyakit yang belum
diketahui, maka Kementerian Kesehatan menerbitkan Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa dan Keracunan Makanan yang telah disesuaikan dengan
perkembangan masalah kesehatan.
Buku pedoman ini merupakan acuan bagi program dan tenaga surveilans yang telah
dirancang secara terarah dan sistematis meliputi peran dan tanggung jawab di semua tingkat
administrasi, baik daerah maupun di tingkat nasional dalam penanggulangan KLB di lapangan,
sehingga dalam pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang optimal.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Dilaksanakannya pengendalian KLB penyakit menular dan keracunan pangan sesuai pedoman
2. Tujuan Khusus
a. Menurunnya frekuensi KLB penyakit menular dan keracunan pangan
b. Menurunnya angka kesakitan pada setiap KLB penyakit menular dan keracunan pangan
c. Menurunnya angka kematian pada setiap KLB penyakit menular dan keracunan pangan
d. Menurunnya periode waktu KLB penyakit menular dan keracunan pangan
e. Terbatasnyadaerah/wilayah yang terserang KLB penyakit menular dan keracunan pangan
C. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3273);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49,Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3447);
4. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 193);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit
Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 503);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa Keracunan
Pangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 172);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan
D. PENGERTIAN
1. Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan atau
kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu
tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. (
Permenkes No. 1501 Tahun 2010 ) .
2. Kriteria KLB. Suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang
sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari
atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
c. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis penyakitnya.
d. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali
atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
e. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan
pada tahun sebelumnya.
f. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan
angka kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
g. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun
waktu yang sama.
3. Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat. Meliputi: penyelidikan epidemiologi; penatalaksanaan
penderita, yang mencakup kegiatan pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi
penderita, termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan; pemusnahan penyebab
penyakit; penanganan jenazah akibat KLB/wabah; penyuluhan kepada masyarakat; dan upaya
penanggulangan lainnya, mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
1501/Menteri/Per/X/2010.
4. Program Penanggulangan KLB adalah suatu proses manajemen penanggulangan KLB yang
bertujuan agar KLB tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
1. Perencanaan
Perencanaan merupakan inti kegiatan manajemen, karena semua kegiatan manajemen
diatur dan diarahkan oleh perencanaan tersebut. Dengan perencanaan tersebut
memungkinkan para pengambil keputusan atau manajer untuk menggunakan sumber daya
mereka secara berhasil guna dan berdaya guna. Dalam menyusun perencanaan untuk
pengendalian KLB penyakit menular dan keracunan makanan dapat mengikuti tahapan
penyusunan perencanaan sebagai berikut:
2. Pelaksanaan
Pada prinsipnya tahap pelaksanaan adalah tahap implementasi dari dokumen
perencanaan. Oleh karena itu pada tahap pelaksanaan yang terpenting adalah menggerakkan
seluruh komponen perencanaan, sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan.
Mengkoordinasikan semua pihak/orang-orang yang bertanggung jawab dari setiap kegiatan,
sehingga terjadi koordinasi dan kerjasama yang optimal. Hal-hal yang perlu diwaspadai pada
tahap pelaksanaan ini adalah:
1) Kemungkinan tidak tepatnya waktu pelaksanaan seperti yang telah ditetapkan dalam
dokumen perencanaan dari sebagian atau keseluruhan kegiatan.
2) Kemungkinan tidak terjadinya koordinasi antar kegiatan
3) Pemahaman yang berbeda dari penanggung jawab kegiatan
3. Pengendalian (monitoring/supervisi)
Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang dapat mengancam pencapaian tujuan dari
perencanaan tersebut maka diperlukan kegiatan monitoring secara kontinyu selama kegiatan
berlangsung. Setiap kegiatan harus dilakukan supervisi secara rutin dan berkesinambungan.
Supervisi dilakukan bukan berarti tidak percaya kepada pananggung jawab kegiatan namun
semata-mata untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan benar-benar dilaksanakan sesuai
dengan dokumen perencanaan.
BAB II
Diagnosis yang didasarkan atas pemeriksaan klinis saja mudah salah, sering tanda atau
gejala dari banyak penyakit adalah tidak begitu khas untuk dapat menegakkan suatu diagnosis.
Beberapa faktor penyulit lain seperti banyak penderita tidak memperlihatkan sindroma yang
khas bagi penyakit mereka, serta dimungkinkan banyak serotipe dari spesies penyebab
penyakit menular terdapat secara bersamaan di masyarakat. Oleh karena itu, bila mungkin
harus dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis. Namun karena
beberapa konfirmasi laboratorium membutuhkan waktu, maka kriteria tanda-tanda dan gejala-
gejala suatu penyakit seperti pada daftar dibawah dapat dipertimbangkan untuk menetapkan
diagnosis lapangan. Selanjutnya dapat ditetapkan orang-orang yang memenuhi kriteria/gejala
berdasarkan diagnosis lapangan dapat dikategorikan sebagai kasus, sebaliknya orang-
orang yang tidak memenuhi kriteria/gejala dapat dikeluarkan dari kasus.
Laporan kesakitan yang diterima oleh dinas kesehatan segera dapat diolah untuk
penghitungan kasus. Di samping catatan Dinas Kesehatan, sumber-sumber tambahan lain
seperti dokter, rumah sakit atau klinik, dan laboratorium penting untuk diperhitungkan.
Hubungan dengan dokter-dokter praktek kadang-kadang menyingkapkan kasus-kasus yang
didiagnosis tetapi tidak dilaporkan, dan juga kasus- kasus tersangka yang diagnosisnya belum
dapat ditegakkan. Rumah sakit dan klinik dapat memberikan informasi klinis dan laboratorium
mengenai kasus-kasus yang dirawat dan melaporkan hasil tes diagnosis para tersangka
secepatnya.
Kasus-kasus yang telah diketahui beserta orang-orang di sekitarnya merupakan
sumber informasi yang penting untuk mendapatkan kasus-kasus tambahan yang tidak
didiagnosis atau tidak dilaporkan. Kasus-kasus yang diwawancarai mungkin memberikan
petunjuk ke arah adanya kasus-kasus subklinis maupun klinis di antara anggota keluarganya,
sanak saudaranya atau kenalannya. Wawancara itu mungkin dapat menuntun kepada
penemuan sumber infeksi, atau kontak yang menjadi sakit karena penularan dari kasus yang
diwawancarai.
IV. Menggambarkan karakteristik KLB
Seperti disebutkan di atas, KLB sebaiknya dapat digambarkan menurut variabel waktu,
tempat dan orang. Penggambaran ini harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat disusun
hipotesis mengenai sumber, cara penularan, dan lamanya KLB berlangsung. Untuk dapat
merumuskan hipotesis-hipotesis yang diperlukan, informasi awal yang dikumpulkan dari kasus-
kasus harus diolah sedemikian rupa sehingga dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut :
a. Variabel waktu :
1) Kapan periode yang tepat dari KLB ini?
2) Kapan periode paparan (exposure) yang paling mungkin?
3) Apakah KLB ini bersifat ”common source” atau ’propagated source' atau keduanya?
b. Variabel tempat :
1) Dimanakah distribusi geografik yang paling bermakna dari kasus-kasus (menurut)
tempat tinggal? Tempat kerja? Tempat lain?
2) Berapakah angka serangan (attack rate) pada setiap satuan tempat/geografik?
c. Variabel orang (kasus) yang terkena :
1) Berapakah angka serangan menurut golongan umur, dan jenis kelamin
2) Golongan umur dan jenis kelamin manakah yang risiko sakit paling tinggi dan
paling rendah
3) Dalam hal apa lagi karakteristik kasus-kasus berbeda-beda secara bermakna dari
karakteristik populasi seluruhnya
10
8
jumlah
6
4
2
0
15
Sumber : Laporan KLB Subdit Surveilans 2011
Untuk menggambarkan kurva epidemi harus diperoleh tanggal mulai sakit (onset of
Illness) dari kasus-kasus. Untuk penyakit-penyakit tertentu yang mempunyai masa inkubasi atau
masa laten yang sangat pendek, jam mulai sakit harus diperoleh untuk setiap kasus.
Selanjutnya, pilihlah interval waktu yang akan digunakan untuk membuat grafik dari kasus-
kasus tersebut. Interval waktu yang sesuai, yang dapat bervariasi dari kurang dari satu jam
hingga bulanan atau lebih lagi, dipilih berdasarkan masa inkubasi atau masa laten penyakit
dan lamanya periode KLB.
Pada suatu KLB penyakit yang mempunyai masa inkubasi dalam hitungan jam (seperti
pada penyakit- penyakit yang ditularkan melalui makanan) dengan kasus-kasus yang terbatas
dalam hitungan hari, lebih baik digunakan interval satu atau beberapa jam. Sedangkan pada
penyakit-penyakit yang mempunyai masa inkubasi dalam hitungan hari, interval harian lebih
cocok.
Interval yang sesuai untuk menggambarkan grafik kasus adalah penting untuk
penafsiran kurva epidemi nanti. Kesalahan yang paling penting yang dapat dibuat di sini ialah
pemilihan interval yang terlalu panjang, seperti dalam hal menggambarkan grafik kasus-kasus
keracunan stafilokok menurut minggu atau bulan timbulnya gejala. Interval yang demikian akan
menyembunyikan perbedaan- perbedaan kecil dalam distribusi temporal, termasuk
gelombang kasus sekunder yang ditimbulkan oleh penularan orang ke orang, sehingga tidak
memungkinkan penggunaan grafiknya untuk kedua tujuan utamanya. Suatu pedoman yang
berguna dalam memilih interval untuk menggambarkan grafik kasus ialah memilih interval
sebedar seperdelapan atau seperempat masa inkubasi penyakit yang bersangkutan. Seringkali
ada baiknya membuat beberapa kurva epidemi, masingmasing berdasarkan interval yang
berbeda, untuk mendapatkan grafik yang paling baik memperagakan data.
Kurva Epidemi dari KLB dengan 'Common Source' dan 'Propagated Source'
KLB seringkali disebutkan sebagai mempunyai 'common source' (kasus-kasus terjadi
karena paparan terhadap sumber yang sama dan umum) atau 'propagated source' (penularan
orang ke orang). Pada KLB beberapa penyakit kedua jenis sumber ini mungkin terlibat, kasus-
kasus awal terjadi karena paparan suatu sumber bersama, dan kasus-kasus berikutnya
(sekunder) terjadi karena penyebaran orang ke orang, seperti dalam grafik 2. Pada grafik 2
digambarkan bahwa K L B yang terjadi setelah tanggal 8 Juli tidak berhubungan dengan
kejadian KLB sebelumnya. Kemungkinan KLB tersebut merupakan bagian dari pola endemik
penyakit itu.
Grafik 2. Kasus Hepatitis A Menurut Tanggal Mulai Sakit, KLB Hepatitis
A, Maret-September 2013, Desa X, Kab. Sukajadi, Prov. X
30
25
20
Jumlah
15
10
Mingguan
KLB yang melibatkan sejumlah besar kasus, dengan kesempatan paparan terbatas pada
satu hari atau kurang, dari suatu penyakit yang mempunyai masa inkubasi beberapa hari atau
kurang, biasanya mempunyai kurva epidemi yang mendekati distribusi "normal" (Grafik 3 dan
Grafik 4).
60
50
40
30
20
10
'01 '02 '03 '04 '05 '06 '07 '08 '09 '10 '11
0
JAM KEJADIAN
25
20
15
10
5 '01 '02 '03 '04 '05 '06 '07 '08 '09 '10 '11
JAM KEJADIAN
Apabila kurva epidemi demikian didapatkan dalam praktek epidemiologi, kita biasanya
dapat menyimpulkan bahwa terdapat suatu sumber "common source" dan bahwa paparan
kasus terhadap sumber itu terjadi selama waktu yang pendek (relatif terhadap masa inkubasi
maksimum penyakit itu).
Berdasarkan selisih masa inkubasi maksimum dan minimum, lamanya KLB penyakit ini
yang disebabkan oleh paparan tunggal dan singkat biasanya adalah 5 jam (6 jam - 11 jam).
KLB di atas ternyata berlangsung selama 7 jam.
Dengan paparan yang berkepanjangan dan penularan terus menerus selama masa KLB
berlangsung, periode KLB akan bertambah lama, seperti terlihat pada grafik 5. Paparan yang
terputus-putus, akan menghasilkan kurva yang mempunyai puncak-puncak yang jarak
waktunya tidak teratur.
Grafik 5. Kurva Epidemik KLB Difteri di Provinsi X, 2017
Menentukan Periode Paparan yang Paling Mungkin dari Kasus-Kasus dalam KLB 'Common
Source'
Dengan mengetahui masa inkubasi rata-rata, maksimum dan minimum dari suatu
penyakit yang tengah diselidiki dan tanggal-tanggal mulai sakit dari kasus-kasus, waktu paparan
yang paling mungkin dari kasus-kasus terhadap sumber dapat diketahui. Ada dua metode yang
sering dipakai untuk hal ini. Metode pertama menggunakan masa inkubasi rata-rata. Untuk
dapat menggunakan metode ini, perlu diidentifikasi tanggal puncak KLB atau tanggal kasus
median, lalu dihitung ke belakang selama satu masa inkubasi.
Pada KLB yang mempunyai 'propagated source' kasus-kasus terjadi dalam periode yang
lebih lama daripada KLB penyakit yang sama yang mempunyai 'common source'. Tetapi juga
dalam hal ini lamanya masa inkubasi mempengaruhi lamanya KLB dengan 'propagated source'.
KLB yang berupa letusan disebabkan karena penularan orang ke orang lebih jarang ditemukan.
Apabila terjadi, biasanya melibatkan penyakit yang mempunyai masa inkubasi
pendek. Apabila generasi kedua dan ketiga terjadi, interval di antara puncak-puncaknya
seringkali mendekati masa inkubasi rata-rata penyakit itu.
Kelemahan kedua adalah bahwa dengan menghitung ke belakang 50 hari dari kasus
terakhir menghasilkan tanggal 25 Juli, yaitu 12 hari sebelum paparan. Hasilnya adalah periode
paparan dugaan yang terlalu panjang. Hal ini disebabkan karena KLB itu hanya berlangsung
selama 24 hari, yaitu 11 hari lebih pendek daripada periodenya yang maksimum secara teoritis.
Maka dalam hal ini, dan secara umum, periode paparan yang paling mungkin biasanya lebih
teliti dan diidentifikasi dengan menggunakan masa inkubasi rata-rata.
Tabel 2. Kasus-Kasus Penyakit "x" yang Terjadi dalam Tiga Keluarga Menurut Keluarga
dan Tanggal Mulai Sakit
Keluarg Kasus menurut tanggal mulainya sakit(bulan Agustus)
Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 X X
2 X X X
3 X X
Gambar 1. Spotmap Sebaran Kasus KLB Diare di Distrik X Kabupaten Y Provinsi Z , 2017
Apabila pengelompokan menurut tempat tinggal tidak tampak secara nyata, hal itu
mungkin disebabkan karena tidak digunakan "tempat” yang sesuai. Misalnya, memetakan
kasus-kasus brucellosis pada manusia menurut tempat tinggal mungkin tidak akan
mengungkapkan sesuatu, sedangkan memetakannya menurut tempat kerja mungkin
memberikan petunjuk yang diperlukan tentang sumbernya. Mungkin pula terjadi bahwa
sekalipun tidak tampak pengelompokan secara nyata, distribusi spasial itu masih bermakna.
Apabila penyebab penyakit itu menyebar terbawa udara, maka pola yang terlihat mungkin
dapat diterangkan oleh arah angin pada saat paparan kasus terhadap penyebab itu. Apabila
penyebab penyakit menyebar melalui air, maka penyebaran kasus yang luas secara geografik
dapat berarti bahwa seluruh populasi terancam terpapar.
Bagaimana pun pola geografik yang terlihat pada 'spot map', penilaian variasi geografik
dari risiko paparan atau risiko infeksi harus memperhitungkan distribusi populasi. Hal itu
berarti bahwa perlu dihitung angka serangan menurut daerah (specific attack rate area), dan
kesimpulan perbedaan risiko pada daerah-daerah yang berlainan harus didasarkan pada 'rate'
dan bukan pada jumlah kasus saja.
Hal ini digambarkan pada Tabel 3. Kejadian KLB di Distrik X Kabupaten Y Provinsi Z yang
terjadi di 3 kampung, daerah yang mempunyai jumlah kasus tertinggi, mempunyai angka
serangan menurut daerah yang termasuk paling tinggi, Namun dapat pula mempunyai angka
serangan yang rendah bila jumlah populasi yang berisiko lebih banyak dibanding daerah lain.
Tabel 3. Angka Serangan per 100 Populasi Menurut Daerah Kasus Diare di Distrik X,
Kabupaten Y, Provinsi Z, 2017
TEMPAT JUMLAH POPULASI ATTACK RATE
Kampung A 19 500 3.8
Kampung B 38 400 9.5
Kampung C 24 500 4.8
TOTAL 51 1400 18.1
Tabel 4. Angka Serangan Diare, Menurut Sumber Air Minum, Komunitas "A" dan Komunitas
"B", Agustus 1975
Pelayanan Air Jumlah Orang Attack Rate ( %)
Sakit Sehat Total
Masyarakat "A" 98 57 155 63.2
Masyarakat "B"
Tidak terpapar air masyarakat "A" 9 132 141 6.4
Pengunjung Masyarakat "A" :
Minum air 22 18 40 55.0
Tidak minum air 0 6 6 0
Total air masyarakat "B" 31 156 187 16.6
Dari tabel di atas terlihat bahwa angka serangan untuk penghuni komunitas "B" adalah
jauh di bawah angka serangan untuk penghuni Komunitas "A". Namun, apabila kasus-kasus di
Komunitas "B" ditabulasikan menurut apakah mereka pernah mengunjungi Komunitas "A" dan
minum air di sana, ternyata angka serangan pada mereka yang pernah berbuat demikian
adalah mirip dengan angka serangan pada penghuni Komunitas "A".
Suatu contoh bagaimana risiko sakit mungkin bervariasi bukan hanya menurut tempat
kerja, tetapi juga menurut waktu seseorang bekerja, terlihat pada Tabel 6.
Analisis suatu KLB menurut tempat dianggap telah dilakukan dengan baik apabila
angka insidens untuk daerah-daerah bagiannya mengungkapkan bahwa populasi di satu atau
lebih daerah bagian itu mempunyai risiko paparan yang lebih tinggi secara bermakna daripada
risiko rata-rata.
Untuk keperluan analisis, insidens dan distribusi kasus menurut umur seringkali pada
tahap awal dihubungkan dengan interval umur 5 tahunan. Namun peneliti tidak boleh
melakukan hal ini secara otomatis.
Secara umum dapat dikatakan, lebih baik mentabulasikan kasus ke dalam golongan
umur yang relatif kecil, setidak-tidaknya pada tahap awal analisis. Belakangan golongan-
golongan umur ini dapat digabungkan ke dalam golongan-golongan yang lebih besar apabila
diinginkan. Masalah dengan golongan umur yang besar ialah bahwa hal itu dapat
menyembunyikan perbedaan-perbedaan dalam risiko sakit yang mungkin berharga dalam
menunjukkan kemungkinan sumber infeksi. Sebagai contoh, apabila sumber susu di sekolah
tercemar dan menjadi sumber infeksi, penggunaan golongan umur 5 tahun memungkinkan kita
untuk memusatkan penyelidikan pada anak-anak usia sekolah dengan mengungkapkan bahwa
populasi belum sekolah dan pasca sekolah ternyata tidak sakit dan oleh karena itu dianggap
tidak terpapar.
Tabulasi kasus seperti ini menurut sifat-sifat orang lainnya biasanya harus dibuat
pula. Petunjuk tentang mana di antara sifat-sifat ini yang mungkin berharga seringkali dapat
ditemukan di antara sifat-sifat kasus. Apabila sifat-sifat tertentu muncul berulang-ulang di
antara kasus (misalnya, satu jenis kelamin atau yang lain), maka dapat dibuat kategori kasus
(misalnya, pria dan wanita).
Penyelidikan KLB
Surveilans Ketat
I. Penyelidikan KLB
Penyelidikan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan pada suatu KLB atau adanya
dugaan adanya suatu KLB untuk memastikan adanya KLB, mengetahui penyebab, gambaran
epidemiologi, sumber-sumber penyebaran dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta
menetapkan cara- cara penanggulangan yang efektip dan efisien.
Pelaksanaan penyelidikan KLB adalah :
a. Pada saat pertama kali mendapat informasi adanya KLB atau adanya dugaan KLB
b. Penyelidikan perkembangan KLB atau penyelidikan KLB lanjutan
c. Penyelidikan KLB untuk mendapatkan data epidemiologi KLB atau penelitian lainnya
yang dilaksanakan sesudah KLB berakhir
Penyelidikan epidemiologi KLB dimanfaatkan untuk melaksanakan upaya-upaya
penanggulangan suatu KLB yang sedang berlangsung, dan atau untuk mendapatkan data
epidemiologi serta gambaran pelaksanaan upaya-upaya penanggulangan KLB yang
dimanfaatkan sebagai bahan referensi dalam penanggulangan KLB di masa yang akan datang.
Secara umum isi laporan penyelidikan KLB adalah sebagai berikut :
a. Pendahuluan
Berisi sumber informasi adanya KLB, dampak KLB terhadap kesehatan masyarakat,
gambaran endemisitas penyakit penyebab KLB dan besar masalah KLB tersebut pada waktu
sebelumnya.
b. Tujuan Penyelidikan KLB
Sesuai dengan kebutuhan penyelidikan KLB, misalnya apabila etiologi KLB sudah
ditemukan, maka penyelidikan KLB tidak diarahkan pada upaya untuk penegakan diagnosis
KLB, tetapi lebih diarahkan untuk menemukan sumber dan cara penyebaran KLB.
Bagaimanapun, laporan penyelidikan KLB pertama selalu menjelaskan kepastian
adanya KLB dan penegakan etiologi KLB serta besarnya masalah KLB pada saat penyelidikan
dilakukan.
c. Metode Penyelidikan KLB
Cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan penyelidikan KLB antara lain :
1) Desain penyelidikan KLB. Apabila terdapat beberapa sasaran dan beberapa desain
penyelidikan KLB, maka masing-masing sasaran dan desain penyelidikan perlu
dijelaskan dengan sistematis.
2) Daerah penyelidikan KLB, populasi dan sampel penyelidikan KLB
3) Cara mendapatkan dan mengolah data primer dan data sekunder
4) Cara melakukan analisis
d. Hasil Penyelidikan KLB
1) Memastikan adanya KLB, dengan membandingkan data kasus yang ada pada periode
KLB sesuai dengan kriteria kerja KLB.
2) Gambaran klinis kasus-kasus yang dicurigai dan distribusi gejala diantara kasus-kasus
yang dicurigai. Kasus yang dicurigai adalah sejumlah penderita yang menunjukkan
gejala utama, misalnya gejala utama diare.
Tabel 10. Distribusi Gejala dan Tanda Penyakit Pada KLB
Jumlah kasus diperiksa kasus
No. Gejala dan Tanda Jumlah kasus %
1. Gejala utama (misalnya diare) …..
2. ….. ….. ….
3. ….. ….. ….
250
200
150
Kasus
100
50
0607 08 '09'10'11'12
Minggu
KasusMeninggal
Dari data register harian pos-pos pelayanan, rawat jalan dan rawat inap dapat diperoleh
data sebagai berikut :
A. PENYAKIT ZOONOSIS
1. ANTRAKS
Penyakit Antraks adalah termasuk salah satu penyakit Zoonosa yang disebabkan oleh
Bacillus anthracis terutama pada hewan memamah biak (sapi dan kambing). Penyakit Antraks
atau disebut juga Radang Lympha, Malignant pustule, Malignant edema, Woolsorters disease,
Rag pickers disease, Charbon. Kata Antraks dalam bahasa Inggris berarti Batubara, dalam
bahasa Perancis disebut Charbon, kedua kata tersebut digunakan sebagai nama penyakit pada
manusia yang ciri utamanya ditandai dengan luka yang rasanya pedih, ditengahnya berwarna
hitam seperti batu bara (Christie 1983).
Penyakit Antraks merupakan salah satu penyakit menular yang dapat menimbulakan
wabah, sesuai dengan undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular
dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 1501 tahun 2010.
Penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu yang diserang pada
umumnya pekerja peternakan, petani, pekerja tempat pemotongan hewan, dokter hewan,
pekerja pabrik yang menangani produk-produk hewan yang terkontaminasi oleh spora
antraks, misalnya pabrik tekstil, makanan ternak, pupuk, dan sebagainya.
a. Gambaran Klinis
Gejala klinis antraks pada manusia dibagi menjadi 4 bentuk yaitu antraks kulit, antraks
saluran pencernaan, antraks paru dan antraks meningitis.
1) Antraks Kulit (Cutaneus Anthrax)
Kejadian antraks kulit mencapai 90% dari keseluruhan kejadian antraks di
Indonesia. Masa inkubasi antara 1-5 hari ditandai dengan adanya papula pada
inokulasi, rasa gatal tanpa disertai rasa sakit, yang dalam waktu 2-3 hari membesar
menjadi vesikel berisi cairan kemerahan, kemudian haemoragik dan menjadi jaringan
nekrotik berbentuk ulsera yang ditutupi kerak berwarna hitam, kering yang disebut
Eschar (patognomonik). Selain itu ditandai juga dengan demam, sakit kepala dan dapat
terjadi pembengkakan lunak pada kelenjar limfe regional. Apabila tidak mendapat
pengobatan, angka kematian berkisar 5-20%.
2) Antraks Saluran Pencernaan (Gastrointestinal Anthax)
Masa inkubasi 2-5 hari. Penularan melalui makanan yang tercemar kuman atau
spora misal daging, jerohan dari hewan, sayur- sayuran dan sebagainya, yang tidak
dimasak dengan sempurna atau pekerja peternakan makan dengan tengan yang kurang
bersih yang tercemar kuman atau spora antraks. Penyakit ini dapat berkembang menjadi
tingkat yang berat dan berakhir dengan kematian dalam waktu kurang dari 2 hari. Angka
kematian tipe ini berkisar 25-75%.
Gejala antraks saluran pencernaan adalah timbulnya rasa sakit perut hebat, mual,
muntah, tidak nafsu makan, demam, konstipasi, gastroenteritis akut yang kadang-
kadang disertai darah, hematemesis. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran
kelenjar limfe daerah inguinal (lipat paha), perut membesar dan keras, kemudian
berkembang menjadi ascites dan oedem scrotum serta sering dijumpai pendarahan
gastrointestinal.
3) Antraks Paru-paru (Pulmonary Anthrax)
Masa inkubasi : 1-5 hari (biasanya 3-4 hari). Gejala klinis antraks paru-paru sesuai
dengan tanda-tanda bronchitis. Dalam waktu 2-4 hari gejala semakin berkembang
dengan gangguan respirasi berat, demam, sianosis, dispneu, stridor, keringat berlebihan,
detak jantung meningkat, nadi lemah dan cepat. Kematian biasanya terjadi 2-3 hari
setelah gejala klinis timbul.
4) Antraks Meningitis (Meningitis Anthrax)
Terjadi karena komplikasi bentuk antraks yang lain, dimulai dengan adanya lesi
primer yang berkembang menjadi meningitis hemoragik dan kematian dapat terjadi
antara 1-6 hari. Gambaran klinisnya mirip dengan meningitis purulenta akut yaitu
demam, nyeri kepala hebat, kejang-kejang umum, penurunan kesadaran dan kaku
kuduk.
b. Etiologi
Bacillus anthracis, kuman berbentuk batang ujungnya persegi dengan sudut-sudut
tersusun berderet sehingga nampak seperti ruas bambu atau susunan bata, membentuk
spora yang bersifat gram positif.
Basil bentuk vegetatif bukan merupakan organisme yang kuat, tidak tahan hidup
untuk berkompetisi dengan organisme saprofit. Basil Antraks tidak tahan terhadap oksigen,
oleh karena itu apabila sudah dikeluarkan dari badan ternak dan jatuh di tempat terbuka,
kuman menjadi tidak aktif lagi, kemudian melindungi diri dalam bentuk spora.
Apabila hewan mati karena Antraks dan suhu badannya antara 28 -30 °C, basil antraks
tidak akan didapatkan dalam waktu 3-4 hari, tetapi kalau suhu antara 5 -10 °C pembusukan
tidak terjadi, basil antraks masih ada selama 3-4 minggu. Basil Antraks dapat keluar dari
bangkai hewan dan suhu luar di atas 20°C, kelembaban tinggi basil tersebut cepat berubah
menjadi spora yang tahan hidup selama bertahun-tahun. Bila suhu rendah maka basil
antraks akan membentuk spora secara perlahan - lahan (Christie 1983).
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi dari penyakit antraks adalah 1-7 hari, pada umumnya berkisar antara
2 – 5 hari.
e. Pengobatan
Peniciline masih merupakan antibiotika yang paling ampuh, dengan cara
pemberian tergantung tipe dan gejala klinisnya, yaitu:
1) Antraks Kulit
a) Procain Penicilline 2 x 1,2 juta IU, secara IM, selama 5-7 hari
b) Benzyl Penicilline 250.000 IU, secara IM, setiap 6 jam, sebelumnya harus dilakukan
skin test terlebih dahulu.
c) Apabila hipersensitif terhadap penicilline dapat diganti dengan tetracycline,
chloramphenicol atau erytromicine.
2) Antraks Saluran Pencernaan & Paru
a) Penicilline G 18-24 juta IU perhari IVFD, ditambahkan dengan Streptomycine 1-2 g
untuk tipe pulmonal dan tetracycline 1 g perhari untuk tipe gastrointestinal.
b) Terapi suportif dan simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma expander dan
regimen vasopresor. Antraks Intestinal menggunakan Chloramphenicol 6 gram
perhari selama 5 hari, kemudian meneruskan 4 gram perhari selama 18 hari,
diteruskan dengan eritromisin 4 gram perhariuntuk menghindari supresi pada
sumsum tulang.
f. Epidemiologi
Antraks tersebar luas di seluruh dunia, antara lain Asia, Eropa Selatan, Afrika,
beberapa wilayah di Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia pertama kali terjadi KLB
antraks pada tahun 1832 di Kecamatan Tirawuta dan Moweng Kabupaten Kolaka, Sulawesi
Tenggara.
Saat ini daerah tertular Antraks di Indonesia menurut Dirjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan Kementan terdapat di 11 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat Jawa
Tengah, DIY, Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan,
NTB dan NTT. Namun dalam 8 tahun terakhir yang melaporkan adanya kasus antraks pada
manusia hanya 8 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NTB, NTT,
Gorontalo, Jawa Timur dan D.I. Yogyakarta. Tahun 2016 telah dilaporkan terjadi KLB
antraks di Provinsi Gorontalo, Jawa Timur dan D.I Yogyakarta, dimana semuanya
merupakan kasus antraks kulit dan berhasil disembuhkan.
2) Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB diprioritaskan pada pengobatan dini penderita dengan
pengobatan yang sesuai standar, penanggulangan KLB antraks pada hewan penular
serta produk hewan tercemar sehingga terputusnya mata rantai penularan, serta
manajemen hewan tersangka dan produk hewan tercemar:
a) Penyuluhan masyarakat tentang antraks dan upaya penanggulangannya. Setiap
orang yang menderita penyakit dengan gejala-gejala antraks segera berobat ke
Puskesmas atau RS terdekat.
b) Perlakuan terhadap jenazah karena antraks mengikuti prinsip pemulasaraan
jenazah dengan penyakit menular sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c) Hewan harus disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) bila dipotong di luar RPH
harus mendapat ijin dahulu dari Dinas Peternakan setempat
d) Tidak diperbolehkan menyembelih hewan sakit antraks.
e) Tidak diperbolehkan mengkonsumsi daging yang berasal dari hewan yang sakit
antraks.
f) Dilarang membuat atau memproduksi barang-barang yang berasal dari hewan sakit
atau mati karena penyakit antraks.
g) Hewan yang rentan terhadap penyakit antraks seperti sapi, kerbau, kambing,
domba, kuda di wilayah endemis antraks secara rutin harus divaksinasi terhadap
penyakit antraks. Vaksinasi dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat.
I. IDENTITAS
Nama : Umur :
Sex : Alamat :
Pekerjaan :
o Memelihara : Ya / Tidak
o Memegang : Ya / Tidak
o Menyembelih : Ya / Tidak
o Makan : Ya / Tidak Kapan
o Yang dimakan :
o Makan :
2. Kondisi hewan dimakan : Sehat / Sakit / T idakTahu Kalau kondisi hewan sakit,
sebutkan tanda-tandanya :
V. PEMERIKSAAN SPESIMEN
1. Sediaan yang diambil : kulit / rectal swab / dahak / darah vena /eksudat vesicle
2. Hasil pemeriksaan Laboratorium :
o Kulit :
o rectal swab :
o darah vena :
o eksudat vesicle :
Lampiran 3 (Antraks)
Tanggal Penyelidikan :
Pelaksana :
Lampiran 4 (Antraks)
SKD – KLB ANTRAKS (contoh)
b. Etiologi
Saat ini diketahui bahwa subtipe yang paling virulen yang menyebabkan Flu Burung
adalah subtipe H5N1. Dari hasil studi yang ada menunjukkan bahwa unggas yang sakit
(oleh Influenza A H5N1) dapat mengeluarkan virus dengan jumlah besar dalam kotorannya.
Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 °C dan lebih dari 30
hari pada 0ºC. Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas yang sakit virus dapat
bertahan lebih lama, tetapi mati pada pemanasan 60 0C selama 30 menit. Dalam tinja
unggas di suhu 4°C virus dapat bertahan sampai 35 hari, namun pada suhu kamar (37 oC)
hanya selama 6 hari.
c. Masa Inkubasi
Sampai saat ini masa inkubasi belum diketahui secara pasti namun untuk
sementara para ahli (WHO) menetapkan masa inkubasi virus influenza ini pada manusia
rata-rata adalah 3-5 hari (1 – 7 hari).
e. Pengobatan
1) Pengobatan
Antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam pertama) :
a) Dewasa atau Berat Badan ≥ 40 kg Oseltamivir 2x75 mg per hari selama 5 hari.
b) Anak < 1 tahun dosis oseltamivir 2 mg/kgBB, 2 kali sehari selama 5 hari.
c)Dosis oseltamivir dapat diberikan sesuai dengan berat badan sebagai berikut :
- ≤ 15 kg : 30 mg 2x/hari
- > 15 – 23 kg : 45 mg 2x/hari
- > 23 – 40 kg : 60 mg 2x/ hari
- > 40 kg : 75 mg 2x/hari
2) Pengobatan Lain :
a) Antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipikal dan atipikal
b) Terapi lain seperti terapi simptomatik, vitamin, dan makanan bergizi
Obat yang dapat digunakan untuk pengobatan FB adalah Oseltamivir oral.
Pemberian Oseltamivir efektif pada < 48 jam pertama sejak mulai timbul gejala
demam.
f. Epidemiologi
Kasus Flu Burung pada manusia (kasus FB) di temukan pada tahun 1997 di
Hongkong kemudian menyebar ke Belanda dan negara-negara di Asia, dan saat ini sudah
tersebar di 13 negara termasuk Indonesia. Kasus FB konfirmasi di Indonesia, pertama kali
ditemukan di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten pada bulan Juni 2005. Hingga Tahun
2014 Kasus kemudian menyebar ke 15 propinsi (DKI Jakarta, Jabar, Banten, Jateng, Jatim,
Sulsel, Bali, Lampung, Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel, DI Yogyakarta, Bengkulu dan Nusa
Tenggara Barat). Kasus terbanyak pada daerah yang mobilitas penduduk dan unggasnya
sangat padat seperti daerah DKI Jakarta,Jabar, dan Banten. Sampai dengan laporan sampai
tahun 2016, telah ditemukan sebanyak 199 kasus FB konfirmasi dengan 167 kematian.
Kasus Flu burung menyerang semua golongan umur tetapi terbanyak pada usia Balita
sampai usia produktif dengan tidak membedakan antara lelaki dan perempuan.
2) Penanggulangan
Penanggulangan yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah
sudah terjadi penularan antar manusia atau belum.Kegiatan Penanggulangan sebagai
berikut:
a) Belum terjadi penularan antar manusia
‐ Pencarian kasus tambahan
‐ Pemantauan kasus kontak unggas dan kasus selama 2 kali masa inkubasi
sejak kontak terakhir
‐ Merujuk ke RS Rujukan FB bila dalam pemantauan menemukan kasus ILI
‐ Penyuluhan kepada masyarakat apa yang harus dilakukan bila timbul gejala ILI
b) Sudah terjadi penularan antar manusia
‐ Karantina Wilayah
‐ Pemberian Profilaksis oseltamivir kepada seluruh masyarakat di wilayah
karantina
‐ Surveilans aktif di wilayah karantina
‐ Karantina rumah bila ada kasus di luar karantina wilayah
3) Deteksi Dini Risiko Penularan FB (H5N1) Unggas - Manusia Pendekatan yang diterapkan
adalah sebagai berikut :
a) Menemukan sedini mungkin adanya kejadian wabah FB (H5N1) Unggas, dengan
melaksanakan surveilans Wabah FB (H5N1) Unggas
b) Melaksanakan Penyelidikan Epidemiologi dan Surveilans ILI diantara Kontak Unggas
pada wabah FB (H5N1) tersebut diatas
c) Pemeriksaan kasus ILI diantara Kontak Unggas. Memeriksa lebih teliti dengan
pemeriksaan laboratorium setiap kasus ILI diantara kontak Unggas tersebut untuk
mengetahui adanya virus FB (H5N1), yaitu dengan mengambil spesimen usap
nasofaring, usap tenggorok dan darah tersebut untuk dilakukan Uji PCR dan atau
Uji Serologi serta identifikasi hubungan epidemiologi dan kesamaan virus FB
(H5N1) pada unggas
d) Identifikasi sifat dan peta sebaran virus-virus yang ditemukan pada unggas dan
manusia sebagai bagian dari Surveilans Virologi FB (H5N1)
e) Berdasarkan data Penyelidikan Epidemiologi dan Surveilans ILI diantara Kontak
Unggas pada Wabah FB (H5N1) tersebut dapat ditetapkan gambaran
epidemiologi menurut waktu, tempat dan orang serta besarnya risiko penularan FB
(H5N1) unggas - manusia
f) Disamping itu, adanya penularan FB (H5N1) unggas – manusia dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi atau menelusuri adanya kontak dengan unggas sebagai
sumber penularan terhadap kasus-kasus FB (H5N1) manusia yang ditemukan.
Kontak dengan unggas dimaksud adalah kontak dengan unggas sakit atau mati
mendadak karena FB (H5N1) atau yang belum diketahui penyebabnya serta produk
mentah (telur, jeroan) dan kotorannya pada 7 hari terakhir sebelum timbul
gejala. Kontak dengan unggas adalah merawat, mengolah, memegang, membawa
unggas atau membersihkan kandangnya
b. Gambaran Klinis
Leptospirosis terbagi menjadi 2 berdasarkan diagnosa klinik dan penanganannya :
1) Leptospirosis anikterik : kasusnya mencapai 90% dari seluruh kasus leptopsirosis yang
dilaporkan. Biasanya penderita tidak berobat karena gejala yang timbul bias sangat
ringan dan sebagian penderita sembuh dengan sendirinya.
2) Leptospirosis ikterik ; menyebabkan kematian 30-50% dari seluruh kematian yang
dilaporkan karena leptospirosis.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit Leptospirosis terbagi menjadi 3 fase, yaitu :
1) Fase Leptospiremia ( 3 – 7 hari), terjadi demam tinggi, nyeri kepala, myalgia,
nyeri perut,mual, muntah, conjuctiva suffusion.
2) Fase immune ( 3 – 30 hari), terjadi demam ringan, nyeri kepala, muntah, meningitis
aseptik.
3) Fase Konvalesen (15 – 30 hari), terjadi perbaikan kondisi fisik berupa pulihnya
kesadaran, menghilangnya ikterus, tekanan darah normal, produksi urine mulai
normal.
c. Etiologi
Leptospira yang sudah masuk ke dalam tubuh dapat berkembang dan
memperbanyak diri serta menyebar ke organ tubuh. Setelah dijumpai leptospira di dalam
darah (fase leptospiremia) akan menyebabkan terjadinya kerusakan endotel kapiler
(vasculitis).
d. Masa Inkubasi
Masa inkubasi Leptospirosis antara 2 - 30 hari, biasanya rata - rata 7 - 10 hari.
a. Untuk daerah endemis atau terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), pengobatan
dengan antibiotika yang sesuai dilakukan sejak KASUS SUSPEK DITEGAKKAN
SECARA KLINIS.
b. Sedangkan untuk daerah bukan endemis dan KLB pengobatan dilakukan setelah
dinyatakan KASUS PROBABEL DITEGAKKAN.
f. Pengobatan
1) Terapi untuk kasus Leptospirosis ringan:
a) Pilihan: Doksisiklin 2x100mg selama7 (tujuh) hari kecuali pada anak, ibu hamil, atau
bila ada kontraindikasi Doksisiklin.
b) Alternatif (bila tidak dapat diberikan doksisiklin):
‐ Amoksisilin 3x500mg/hari pada orang dewasa
‐ atau 10-20mg/kgBB per 8 jam pada anak selama 7 (tujuh) hari.
‐ Bila alergi Amoksisilin dapat diberikan Makrolid
2) Terapi kasus Leptospirosis berat:
a) Ceftriaxon 1-2 gram iv selama7 (tujuh) hari.
b) Penisilin Prokain 1.5 juta unit im per 6 jam selama7 (tujuh) hari
c) Ampisilin 4 x 1 gram iv per hari selama7 (tujuh) hari
d) Terapi suportif dibutuhkan bila ada komplikasi seperti gagal ginjal, perdarahan
organ (paru, saluran cerna, saluran kemih, serebral), syok dan gangguan neurologi.
3) Sistem Rujukan
Indikasi kasus yang dirujuk ke rumah sakit dati II atau provinsi yang memiliki
fasilitas perawatan intensif:
Leptospirosis berat yaitu kasus suspek dan kasus probable yang disertai gejala/tanda
klinis ikterus, manifestasi perdarahan, anuria/oliguria, sesak nafas, atau aritmia
jantung. Mempunyai fasilitas ruang perawatan intensif, dialisis dll untuk menangani
komplikasi gagal ginjal, ARDS, dan perdarahan paru.
4) Profilaksis
Saat ini belum ada kebijakan dari Kementrian Kesehatan perihal tata cara profilaksis,
mengingat Leptospirosis apabila cepat dalam diagnosa relatif mudah disembuhkan
dengan antibiotik.
g. Epidemiologi
Leptospirosis tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina, Brasilia,
Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Malaysia, Amerika Serikat, Indonesia , dan
sebagainya. Di Indonesia sejak tahun 1936 telah dilaporkan leptospirosis dengan
mengisolasi serovar leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan. Secara klinis
leptospirosis pada manusia telah dikenal sejak tahun 1892 di Jakarta oleh Van der Scheer.
Namun isolasi baru
berhasil dilakukan oleh Vervoort pada tahun 1922.
Pada tahun 1970 an, kejadian pada manusia dilaporkan Fresh, di Sumatera Selatan,
Pulau Bangka serta beberapa rumah sakit di Jakarta. Tahun 1986, juga dilaporkan hasil
penyelidikan epidemiologi di Kuala Cinaku Riau, ditemukan serovar pyrogenes, semaranga,
rachmati, icterohaemorrhagiae, hardjo, javanica, ballum dan tarasovi.
Pada tahun 2012 - 2016 kasus Leptospirosis dilaporkan di enam provinsi : DKI Jakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Pada tahun 2012 terjadi
penurunan kasus tetapi meningkat angka kematiannya yaitu dilaporkan 239 kasus dengan
29 meninggal (CFR 12,13%). Tahun 2013 terjadi KLB di Kabupaten Sampang, Malang dan
meningkatnya kasus di Provinsi DKI Jakarta paska terjadi banjir besar. Pada tahun tersebut
terjadi 640 kasus dengan 60 kematian (CFR 9,38 %). Sedangkan pada tahun 2014 terjadi 524
kasus dengan 62
kematian (CFR 11, 27 %). Pada tahun 2015 terjadi 264 kasus dengan 47 kematian (CFR
17,8%). Untuk tahun 2016 terjadi KLB Leptospirosis dibeberapa daerah termasuk Kab.
Sampang yang menyebakan peningkatan jumlah kasus yaitu 349 kasus dengan 50 kematian
(CFR 14,33%)
Umumnya menyerang petani, pekerja perkebunan, pelajar, pekerja tambang /
selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Daerah yang rawan banjir, pasang surut
dan areal persawahan, perkebunan, peternakan memerlukan pengamatan intensif untuk
mengontrol kejadian Leptospirosis di masyarakat.
Grafik Situasi Leptospirosis di Indonesia Tahun 2012 – 2016
KASUS
MENING GAL
Penegakan diagnosis kasus dapati dilakukan dengan Rapid Test Diagnostic Test
(RDT) dengan mengambil serum darah penderita untuk pemeriksaan serologi, jenis
RDT diantaranya Leptotek Lateral Flow dengan RDT (Rapid Test Diagnostik)
Pemeriksaan dilakukan dengan dengan memasukan 5 mL serum atau10 mL
darah, dan 130 mL larutan dapar, hasil dibaca setelah 10 menit. Leptotek Lateral Flow
cukup cepat, mendeteksi IgM yang menandakan infeksi baru, relatif mudah, tidak
memerlukan almari pendingin untuk menyimpan reagen, namun memerlukan pipet
semiotomatik, dan pemusing bila memakai serum. Alat ini mempunyai sensitifitas
85,8% dan spesifitas 93,6%.
2) Penanggulangan
a) Penyediaan logistik di sarana kesehatan, koordinasi dengan pemangku
kepentingan dan sektor terkait, penemuan dini penderita dan pelayanan
pengobatan yang tepat di puskesmas dan rumah sakit melalui pengambilan
spesimen serum darah kasus probabel,
b) Lakukan pemeriksaan RDT,
c) Untuk diagnosa pasti (konfirmasi) kirim spesimen kasus Leptospirosis berat ke
laboratorium rujukan Nasional Leptospirosis (RSUP Dr. Kariadi) untuk dilakukan
pemeriksaan MAT,
d) Lakukan pengobatan terhadap pasien Leptospirosis ringan Doksisiklin 2x100mg
selama7 (tujuh) hari kecuali pada anak, ibu hamil, atau bila ada kontraindikasi
Doksisiklin
e) Lakukan pencegahan dengan memutuskan rantai penularan hewan /tanah
tercemar ke manusia
f) Rujuk pasien ke RS apabila diperlukan penanganan lebih lanjut.
g) Penyuluhan masyarakat tentang tanda-tanda penyakit, resiko kematian serta
tatacara pencarian pertolongan.
3) Upaya pencegahan terhadap penyakit Leptospirosis dengan cara sebagai berikut :
a) Melakukan kebersihan individu dan sanitasi lingkungan antara lain mencuci
kaki, tangan dan bagian tubuh lainnya setelah bekerja di sawah.
b) Pembersihan tempat penyimpanan air dan kolam renang.
c) Pendidikan kesehatan tentang bahaya, cara penularan penyakit dengan
melindungi pekerja beresiko tinggi dengan penggunaan sepatu bot dan
sarung tangan, vaksinasi terhadap hewan peliharaan dan hewan ternak.
d) Pemeliharaan hewan yang baik untuk menghindari urine hewan-hewan
tersebut terhadap masyarakat.
e) Sanitasi lingkungan dengan membersihkan tempat-tempat habitat
sarang tikus.
f) Pemberantasan rodent bila kondisi memungkinkan.
I. IDENTITAS
Nama : Umur : Sex :
Alamat : Pekerjaan :
V. PEMERIKSAAN SPESIMEN
1. Sediaan yang diambil : darah vena , Hasil Lab : + / -
Tanggal Penyelidikan :
Pelaksana :
Lampiran 2 (Leptospirosis)
Lampiran 3 (leptospirosis)
NO NAMA UMUR PAEKERJAN ALAMAT ONSET GEJALA KLINIS FAKTOR RISIKO KET
L P
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
Ambil :
serum darah danurin manusia
Lingkungan: air,
tanah
KONFIRMASI
Edisi Revisi Tahun 2017
4. PES
Pes adalah penyakit Zoonosa yang bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Yersinia
pestis melalui gigitan pinjal tikus atau rodent lain yang dapat mengigit dan menularkan ke
binatang lain/manusia. Merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam Internasional
Health Regulation (IHR), UU Karantina No. 1 & 2 tahun 1962 serta UU. Wabah No. 4 tahun
1984, sehingga sesuai Undang- undang pengelolaan penyakit tersebut dibawah tugas dan
kewenangan Pusat (Ditjen PPM dan PL) perlu pengendalian secara berkala pada pinjalnya.
Penyakit Pes merupakan penyakit zoonosa terutama pada tikus/rodent lain dan dapat
ditularkan kepada manusia melalui gigitan pinjal tikus di daerah enzootik. Pes pada manusia
yang pernah dikenal sebagai black death pada perang dunia II dan mengakibatkan kematian
yang sangat tinggi.
Penyakit ini juga dikenal sebagai “sampar” yaitu penyakit yang sangat fatal dengan
gejala bacteriemia, demam yang tinggi, shock, penurunan tekanan darah, nadi cepat dan tidak
teratur, gangguan mental, kelemahan, kegelisahan dan koma (tidak sadar).
Batasan KLB Pes adalah ditemukannya pada pemeriksaan secara serokonversi
meningkat empat kali lipat (2 X pengambilan), F1 ≥ 2, F1 khusus ≥1, ditemukan Yersinia pestis
dari pinjal tikus tanah, sarang tikus atau bahan organik lain, manusia hidup maupun meninggal,
(satu) penderita dengan ditandai gejala klinis Pes yaitu demam, sakit kepala, bubo/pembesaran
kelenjar getah bening di ketiak dan leher, adanya perdarahan pada kulit,mulut,hidung, urine
dan rektum, gangguan pernafasan (batuk dan sesak nafas), disertai satu atau lebih adanya
riwayat kontak tergigit pinjal, kontak dengan binatang pengerat dalam satu 1 minggu terakhir,
kontak dengan penderita Pes terkonfirmasi dalam 1 minggu terakhir, pernah berkunjung ke
wilayah focus Pes/terancam dalam 1 minggu terakhir, tanpa adanya pemeriksaan laboratorium
penunjang.
a. Gambaran Klinis
Gejala Klinis Pes terbagi menjadi 3 tipe yaitu :
1) Tipe Bubonik, dengan gejala mirip flu, demam, pusing, lemah, benjolan lunak berisi
cairan di daerah tonsil/amandel, konstipasi, diare, muntah dan gejala spesifik
lymphadenitis (pembesaran kelenjar getah bening di daerah ketiak dan lipat
paha/bubo).
2) Tipe Septikemia, dengan gejala demam, menggigil, pusing, lemah, sakit pada perut,
shock, perdarahan dibawah kulit dan organ lainnya, pembekuan darah, tekanan darah
rendah, mual muntah, organ tubuh tidak bekerja dengan baik.
3) Tipe pulmonik ditandai dengan gejala pneumonia/radang paru, nafas pendek, sakit
pada dada, malaise, sakit kepala, batuk dengan sputum yang produktif dan cair serta
sesak nafas, dapat menyebarkan lewat udara dan merupakan ancaman pandemi Pes.
b. Etiologi
Disebabkan oleh kuman/bakteri Yersinia pestis (Pasteurellapestis).Sesuai dengan
nama kuman penyebabnya maka penyakit ini dikenal pula dengan nama pasteurellosis
atau yersiniosis. Selain itu juga dikenal dengan nama Plague.
Kuman berbentuk batang, ukuran 1,5-2 x 0,5-0,7 mikron, bipolar, non motil on sporing,
pengecatan bersifat gram negatif, pada suhu 28 º C merupakan suhu optimum tetapi
kapsul berbentuk tidak sempurna. Pada suhu 37 º C merupakan suhu yang terbaik bagi
pertumbuhan bakteri tersebut.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi dari penyakit Pes tipe bubo adalah 2-6 hari, masa inkubasi Pes tipe
septikemia 2-6 hari sedang masa inkubasi untuk tipe paru-paru adalah 2-4 hari.
e. Pengobatan
Diberikan Streptomycine dengan dosis 3 gr/hari (IM), 2 kali sehari selama 2 hari
berturut-turut, kemudian dosis dikurangi menjadi 2 gr/hari selama 5 hari berturut-turut.
Setelah demam hilang dilanjutkan dengan pemberian :
1) Tetracycline 4-6 gr/hari selama 2 hari berturut-turut, kemudian dosis diturunkan
menjadi 2 gr/hari selama 5 hari berturut-turut atau,
2) Chloramphenicol 6-8 gr/hari selama 2 hari berturut-turut, kemudian dosis
diturunkan menjadi 2 gr/hari selama 5 hari berturut-turut
f. Epidemiologi
Tahun 1400 KLB pes terjadi disebagian besar daratan Eropa dengan menelan korban
sebanyak kurang lebih 25 juta jiwa. Penyakit ini berasal dari India. Pada tahun 1894
pandemik pes selama 5 tahun sudah menyebar ke 4 benua. Penyebaran ini diduga berasal
dari Canton daratan Cina.
Pada periode tahun 2004 -2008 masih ditemukannya titer positif baik pada
manusia, rodent ataupun pinjal, di daerah fokus pes (Jatim, Jateng, dan DI.Yogyakarta )
maupun daerah terancam (Jabar). Surveilans aktif dan pasif terhadap rodent dan pinjalnya
masih tetap dilakukan secara rutin di 4 daerah tersebut. Hal tersebut untuk
mengantisipasi terjadinya KLB Pes yang biasa terjadi setiap 10 tahun. Terakhir KLB Pes
terjadi pada tahun 2007 di Dusun Surolowo, Desa Kayukebek, Kecamatan Tutur
Nongkojajar Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2008 dan 2009
spesimen yang diperiksa tidak ada yang menunjukkan positif pada manusia. Pada tahun
2010, sebelum Merapi meletus, dilakukan uji serologi pada tikus di Kecamatan Selo Boyolali
dan Kecamatan Cangkringan Sleman. Dari 407 tikus diperiksa, yang positif 34 ekor. Akan
segera dilakukan surveilans pes (human and rodent) pasca bencana Merapi. Pada tahun
2005 dan 2016 tidak ditemukan kasus pes positif pada rodent pada manusia.
Grafik 7. Proporsi Spesimen Kasus Pes pada manusia yang diperiksa
dan Kasus Positif Pes di Indonesia Periode Tahun 2010 –
2016
Diperiksa
Positif
g. Kejadian Luar Biasa
1) Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan adanya tersangka
kasus pes pada manusia Tersangka Pes adalah ditandai dengan gejala klinis.
Untuk pemeriksaan serologi, serum dibawa dengan termos es ke Balai
Laboratorium Kesehatan terdekat dan dikonfirmasi ke BLK Yogyakarta. Apabila belum
dapat dikirim, serum dapat disimpan di kulkas Puskesmas atau Dinas Kesehatan.
Penetapan diagnosis KLB didasarkan pada peningkatan sero konversi, Flea Index dan
ditemukannya Yersinia pestis. Penetapan KLB apabila suatu Desa, Dusun, RW
memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
a) Pada pemeriksaan secara sero kenversi meningkat 4 kali lipat (2 X pengambilan).
b) Flea Index Umum 2, FI khusus 1
c) Ditemukan yersinia pestis dari pinjal, tikus, tanah, sarang tikus atau bahan organik
lain, manusia hidup maupun meninggal , pada suatu desa/lurah/dusun/RW.
Gambaran epidemiologi KLB Pes tersebut diatas dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sumber dan cara penularan :
a) Identifikasi hewan sumber penular, terutama adanya sejumlah hewan tertentu
yang mati pada daerah dan dalam periode KLB.
b) Hubungan distribusi kasus dan distribusi hewan sumber penular yang dicurigai
c) Melakukan identifikasi diagnosis hewan atau produk hewan tersangka, terutama
dengan pemeriksaan laboratorium.
2) Penanggulangan
Penanggulangan yang dilakukan bertujuan untuk mencegah dan atau
membatasi penularan penyakit Pes di lingkungan rumah dan lokasi sekitarnya serta di
tempat- tempat umum yang diperkirakan dapat menjadi sumber penularan penyakit
Pes.
Kegiatan penanggulangan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a) Penemuan dan pengobatan penderita terutama pada daerah fokus.
b) Menghindari kontak dengan penderita Pes.
c) Apabila terjadi Pes Bubo, maka penderita diisolasi di rumah dan kontak tidak
boleh keluar desa.
d) Apabila penderita Pes paru maka penderita dan kontak serumah serta rumah
disekitarnya diisolasi. Rumah sekitarnya dapat seluas RW, Dusun, dan Desa yang
diperhitunan secara epidemiologis dengan memperhatikan letak dan batas situasi
wilayah.
e) Setiap penderita dan kontak mendapat pengobatan sesuai dengan tatacara yang
telah ditentukan.
f) Melakukan pemberantasan pinjal dengan dusting menggunakan insektisida
(fenithrothion) dan tepung pencampur (kaolin, gaplek) dengan perbandingan 1 :
20 dilakukan didalam dan diluar rumah serta di sarang-sarang tikus.
g) Penyuluhan tentang bahaya Pes serta pencegahannya kepada masyarakat
h) Sosialisasi terhadap petugas kesehatan, peternakan, karantina hewan, Pemda,
DPRD, Tokoh Agama (TOGA) dan Tokoh Masyarakat (TOMA).
Bila ditemukan satu variabel umum dan satu atau lebih variabel teknis maka
perlu diwaspadai (warning). Kewaspadaan yang dimaksud adalah peningkatan
surveillans terhadap manusia, hewan dan lingkungan serta dilakukan tindakan selanjutnya
sesuai dengan alur (flow chart) yang telah ditetapkan.
Lampiran 1 (PES)
Provinsi : Kab./Kota :
Kecamatan : Puskesmas :
Desa : Dusun/RT :
I. IDENTITAS
Nama : Umur : Sex :
Alamat : Pekerjaan :
II. IDENTIFIKASIPENYAKIT
1. Gejala umum yang dirasakan/teramati :
a. Demam tinggi b.Sakit kepala hebat
c. Tubuh menggigil/dingin d.Benjolan di leher/ketiak/paha
e. Batuk hebat dan berdarah f.Sesak Nafas
g. Nyeri otot h.Pembengkaan kelenjar limpa
2. Tanggal mulai sakit/timbul gejala :
3. Apakah ada komplikasi yang menyertai : Ya / Tidak, apa ……………
V. VEKTOR
1. Apakah terjadi peningkatan populasi tikus di sekitar lokasi KLB ? Ya / Tidak. Adakah selain
tikus populasi meningkat ? Ya / Tidak, populasi apakah itu ?
2. Apakah ditemukan tikus mati di lingkungan sekitar rumah? Ya/tidak
Daerah fokus
Daerah terancam Daerah bekas fokus
- Pengamatan aktif
- Pengamatan pasif - Pengamatan
- Pengamatan
(Pustu/PKM) pasif
pasif
(Pustu/PKM)
Tanda khusus :
- Panas tanpa sebab yang
jelas (fever unknown origin)
- Batuk darah akut
- Bubo
Tersangka pes
Tersangka pes
Penyakit rabies merupakan penyakit menular akut dari susunan syaraf pusat yang disebabkan
oleh virus rabies. Ditularkan oleh hewan penular rabies terutama anjing, kucing dan kera melalui gigitan,
aerogen, transplantasi atau kontak dengan bahan yang mengandung virus rabies pada kulit yang lecet
atau mukosa. Penyakit ini apabila sudah menunjukkan gejala klinis pada hewan dan manusia selalu
diakhiri dengan kematian, angka kematian Case Fatality Rate (CFR) mencapai 100% dengan menyerang
pada semua umur dan jenis kelamin. Kekebalan alamiah pada manusia sampai saat ini belum diketahui.
Adapun landasan hukum yang dipergunakan di Indonesia diantaranya UU No.4 Th.1984 tentang
wabah penyakit menular. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/Menteri/per/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.
Keputusan bersama Dirjen P2 dan PL, Dirjen Peternakan dan Dirjen PUOD No. KS.00-1.1554,
No.99/TN.560/KPTS/DJP/Deptan/1999,N0.443.2-270 tentang Pelaksanaan Pembebasan dan
Mempertahankan Daerah Bebas Rabies di wilayah Republik Indonesia.
a. Gambaran Klinis
Gejala Klinis Rabies terbagi menjadi 4 stadium berdasarkan diagnosa klinik:
1) Stadium prodromal, dengan gejala awal demam, malaise, nyeri tenggorokan selama beberapa
hari.
2) Stadium Sensoris, penderita merasa nyeri, panas disertai kesemutan pada tempat bekas luka.
Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsangan
sensorik.
3) Stadium eksitasi, tonus otot-otot dan aktivitas simpatik menjadi meninggi dengan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, pupil dilatasi. Stadium ini mencapai puncaknya dengan muncul
macam – macam fobi seperti hidrofobi, fotofobi, aerofobi. Tindak tanduk penderita tidak
rasional dan kadang-kadang maniakal. Pada stadium ini dapat terjadi apneu, sianosis, konvulsa
dan takikardi.
4) Stadium Paralyse, terjadi inkontinentia urine, paralysis flaksid di tempat gigitan,
paralyse ascendens, koma dan meninggal karena kelumpuhan otot termasuk otot
pernafasan.
b. Etiologi
Virus Rabies termasuk golongan Rhabdovirus, berbentuk peluru dengan kompoisisi RNA,
lipid, karbohidrat dan protein. Sifat virus rabies cepat mati dengan pemanasan pada suhu 60°C,
sinar ultraviolet dan gliserin 10%, dengan zat- zat pelarut lemak (misalnya air sabun, detergent,
chloroform, ethe, dan sebagainya), diluar jaringan hidup, dapat diinaktifkan dengan B-propiolakton,
phenol, halidol azirin. Bisa bertahan hidup dalam beberapa minggu di dalam larutan gliserin pekat
pada suhu kamar, sedangkan pada suhu di bawah 4°C dapat bertahan hidup sampai berbulan-bulan.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi dari penyakit rabies 2 minggu s.d 2 tahun. Sedangkan di Indonesia masa
inkubasi berkisar antara 2 – 8 minggu.
e. Pengobatan
Setiap kasus gigitan hewan penular rabies ditangani dengan cepat melalui pencucian luka
gigitan dengan sabun / detergen dengan air mengalir selama 15 menit, kemudian diberikan
antiseptic (alkohol 70%, betadine, obat merah, dan lain-lain). Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR)
dan Serum Anti Rabies (SAR) dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama 14 hari observasi
dan hasil pemeriksaan laboratorium negatif. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dilakukan
berdasarkan :
1) Luka Risiko Rendah :
Yang termasuk luka risiko rendah adalah jilatan pada kulit luka, garukan, atau lecet, luka kecil di
sekitar tangan, badan dan kaki.
Pemberian VAR diberikan pada hari ke 0 sebanyak 2 dosis secara intramuskuler (i.m) di lengan
kiri dan kanan. Suntikan kedua dilanjutkan pada hari ke 7 sebanyak 1 dosis dan hari ke 21
sebanyak 1 dosis. Bila terjadi kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) kurang dari 3 bulan
setelah mendapat VAR lengkap maka tidak perlu diberikan VAR, bila lebih dari 3 bulan sampai
1 tahun maka diberikan VAR 1 kali dan bila lebih dari 1 tahun dianggap penderita baru yang
harus diberikan VAR lengkap.
2) Luka Risiko Tinggi
Yang termasuk luka resiko tinggi jilatan/luka di mukosa, luka diatas daerah bahu, (mukosa,leher,
kepala), luka pada jari tangan dan kaki,genetalia, luka lebar/dalam dan luka yang banyak
(multiple wound).
Pengobatan melalui kombinasi VAR dan SAR, Serum Anti Rabies (SAR) diberikan saat bersamaan
dengan VAR pada hari ke 0, sebagian besar disuntikan pada luka bekas gigitan dan sisanya
disuntikan secara i.m pada regio gluteal. Sebelum pemberian SAR harus dilakukan skin test
terlebih dahulu. Pemberian VAR sebanyak 4 kali pemberian secara i.m pada hari ke 0 dengan 2 x
pemberian, hari 7 (1X) dan hari 21 (1X).
f. Epidemiologi
Rabies tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina, Brasilia, Australia, Israel,
Spanyol, Afghanistan, Amerika Serikat, Indonesia , dan sebagainya.
Tahun 2010 penyakit Rabies menyebar di 25 provinsi sebagai daerah tertular dari 34
provinsi di Indonesia, hanya 9 Provinsi yang masih bebas yaitu Kepulaun Riau, Bangka Belitung, DKI
Jakarta,
D.I. Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua dan Papua Barat yang masih
dinyatakan sebagai daerah bebas rabies.
Pada Agustus 2014, Kalimantan Barat dinyatakan bebas rabies namun pada bulan
September 2014 kembali terjadi Kejadian Luar Biasa di Kalimantan Barat tepatnya di Kabupaten
Ketapang dan Melawi.
Situasi Rabies di Indonesia tahun 2015 dilaporkan 80.403 kasus Gigitan Hewan Penular
Rabies (GHPR), dengan Lyssa (kematian rabies) sebanyak 118 orang dan telah dilakukan pemberian
VAR (Vaksin Anti Rabies) 57.899 orang (72,01 %). Sedangkan tahun 2016 dilaporkan 57.474 kasus
Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), dengan Lyssa (kematian rabies) sebanyak 77 orang dan telah
dilakukan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) 37.503 (65,25%).
Grafik 8. Situasi Rabies Di Indonesia Tahun 2012 – 2016
2) Penanggulangan
Penanggulangan yang dilakukan bertujuan untuk mencegah dan membatasi
penularan penyakit Rabies.
a) Melengkapi unit pelayanan kesehatan dengan logistik untuk pengobatan dan
pengambilan spesimen (bila diperlukan).
b) Berkoordinasi dengan Dinas Peternakan setempat untuk tatalaksana hewan penular
rabies (vaksinasi, eliminasi dan pembatasan lalu-lintas hewan penular rabies).
c) Melibatkan para pengambil keputusan dan tokoh masyarakat untuk menyampaikan
informasi tentang apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan masyarakat bila
terjadi kasus gigitan/ kasus rabies.
d) Pencucian luka gigitan hewan penular rabies dengan sabun atau detergen dengan air
mengalir selama 10-15 menit.
e) Pemberian VAR dan SAR sesuai prosedur (Pengobatan).
f) Penyuluhan tentang bahaya rabies serta pencegahannya kepada masyarakat.
Provinsi : Kab./Kota :
Kecamatan : Puskesmas :
Desa : Dusun/RT :
I.IDENTITAS
Nama : Umur : Sex :
Alamat : Pekerjaan :
II.IDENTIFIKASIPENYAKIT
Gejala yang timbul :
V.PEMERIKSAAN SPESIMEN
1. Sediaan yang diambil : Otak hewan tersangka , Hasil Lab : + / - Tanggal Penyelidikan :
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
Minggu Kejadian
Tempat Lokasi Total AR CFR
Tinggal Pekerjaan 14 15 16 17 18
P M P M P M P M P M P M
Desa A 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2 0 0 0
Desa B 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Desa C 0 0 0 0 5 0 2 0 3 0 5 0 5 0
Desa D 2 0 8 0 1 0 4 0 1 0 7 0 5 0
Desa E 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 2 0 8 0 2 0 2 0 2 0 9 0 1 0
Lampiran flowxhart
B. PENYAKIT ARBOVIROSIS
4. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus yang ditularkan
oleh nyamuk aedes aegypty. Penyakit DBD masih merupakan salah satu penyakit yang menjadi
masalah kesehatan di Indonesia. Hampir seluruh Kab/Kota di Indonesia endemis terhadap
penyakit ini. Sejak ditemukan pertama kali tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, saat ini
penyebarannya semakin meluas mencapai seluruh provinsi di Indonesia (34 provinsi). Penyakit
ini seringkali menimbulkan KLB dan menyebabkan kematian.
a. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue (DD), demam
berdarah dengue (DBD), sindrom renjatan dengue (SRD) dan expanded dengue sindrom
(EDS).
Demam Dengue ialah demam disertai 2 atau lebih gejala penyerta seperti sakit
kepala, nyeri di belakang bola mata, pegal, nyeri sendi dan ruam. Hasil pemeriksaan
laboratorium biasanya lekopenia ( lekosit ≤ 5.000/mm3), trombositopenia (trombosit ≤
150.000 mm3), dan peningkatan hematokrit 5-10 %.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai panas tinggi
mendadak berlangsung selama 2 – 7 hari, tanpa sebab yang jelas kadang-kadang bifasik,
disertai timbulnya gejala tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit kepala, nyeri ulu hati
dan tanda-tanda perdarahan berupa bintik merah dikulit (petekia), mimisan, perdarahan
pada mukosa, perdarahan gusi atau hematoma pada daerah suntikan, melena dan hati
membengkak. Tanda perdarahan yang tidak tampak dapat diperiksa dengan melakukan tes
Torniquet (Rumple Leede). Bintik merah dikulit sebagai manifestasi pecahnya kapiler darah
dan disertai tanda-tanda kebocoran plasma yang dapat dilihat dari pemeriksaan
laboratorium adanya peningkatan kadar hematokrit (hemokonsentrasi) dan/atau
hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan pemeriksaan radiologis adanya efusi pleura atau
ascites. Pada panas hari ke 3 – 5 merupakan fase kritis dimana pada saat penurunan suhu
dapat terjadi sindrom syok dengue.
Panas tinggi mendadak, perdarahan dengan trombositopenia(trombosit <
100.000/mm3) dan hemokonsentrasi atau kenaikan hematokrit lebih dari 20 % cukup
untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Banyak teori patogenesis
namum belum dapat dipahami sepenuhnya mengapa infeksi dengue pada seseorang dapat
menimbulkan gejala ringan sebaliknya pada yang lainnya menimbulkan syok. Teori yang
banyak dianut adalah teori infeksi sekunder dan adanya reaksi imunitas didalam tubuh
seorang penderita.
Sindrom Renjatan Dengue (SRD) ialah kasus DBD yang masuk dalam derajat III dan
IV dimana terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan
lemah, menyempitnya tekanan nadi (≤ 20 mmHg) atau hipotensi yang ditandai dengan kulit
dingin dan lembab serta pasien menjadi gelisah sampai terjadi syok/renjatan berat (tidak
terabanya denyut nadi maupun tekanan darah).
Expanded Dengue Syndrom (EDS) adalah demam dengue yang disertai manifestasi
klinis yang tidak biasa (unusual manifestation) yang ditandai dengan kegagalan organ berat
seperti hati, ginjal, otak dan jantung.
b. Etiologi.
Virus dengue termasuk dalam famili flaviviridae. Terdapat 4 tipe virus dengue
penyebab DBD yaitu Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Di Indonesia yang terbanyak adalah
tipe virus Den-3.
c. Masa Inkubasi
Terdapat masa inkubasi ekstrinsik dan masa inkubasi intrinsik. Masa inkubasi
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
ekstrinsik merupakan periode waktu perkembangbiakan virus dalam kelenjar liur nyamuk
sampai dapat menularkan pada manusia yang berkisar 8 – 10 hari. Masa inkubasi intrinsik
merupakan periode waktu perkembangbiakan virus di dalam tubuh manusia sejak masuk
sampai timbulnya gejala penyakit yang berkisar 4 - 6 hari.
f. Epidemiologi
Penyakit Demam berdarah merupakan masalah kesehatan dunia termasuk Indonesia dan
sering menyebabkan KLB diberbagai wilayah dengan jumlah kasus dan kematian yang cukup
tinggi. DBD pertama kali dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya
dengan total kasus sebanyak 58 kasus (Angka Kesakitan, Incidence rate (IR): 0,05 per 100.000
penduduk) dengan 24 kasus meninggal (Angka kematian, Case fatality rate (CFR) : 41,3%).
Dengan meningkatnya sarana transportasi dan urbanisasi, saat ini kasus DBD ditemukan di
seluruh provinsi dan lebih dari 450 kabupaten/kota.
Series1; 200S6e;r1ie1s41.62;
Series1; 2014; 100.347
Series1; 2005; 95.279
Series1; 2012; 90.245
Series1; 2004; 79.462
Series1; 1998; 72.133
1) Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap laporan adanya penderita DBD,
terutama apabila terjadi peningkatan kejadian atau adanya kematian a k i b a t DBD.
Pada daerah yang selama beberapa waktu tidak pernah ditemukan kasus DBD, maka
adanya satu kasus DBD perlu dilakukan penyelidikan epidemiologi.
Disamping upaya penegakan diagnosis, penyelidikan epidemiologi ditujukan
pada penemuan kasus lain disekitar penderita, kasus indeks, serta sumber dan cara
penularan. Penyelidikan epidemiologi juga ditujukan kepada identifikasi adanya nyamuk
penular DBD, tempat perindukan dan distribusinya.
Penyelidikan epidemiologi dapat menentukan kemungkinan peningkatan dan
penyebaran kasus DBD serta kesiapsiagaan penanggulangan KLB di Puskesmas, Rumah
Sakit, dan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, serta kemungkinan
peningkatan Sistem Kewaspadaan Dini KLB DBD. KLB DBD dinyatakan telah berakhir
apabila selama 14 hari keadaan telah kembali kepada jumlah normal tanpa ada kematian
karena DBD atau DD.
Contoh :
Menguras dan menyikat TPA (tempat penampungan air)
Menutup TPA
Memanfaatkan/mendaur ulang barang bekas yang berpotensi menjadi TPA
atau membuangnya ke tempat pembuangan sampah tertutup
PLUS :
Menaburkan bubuk larvasida
Memelihara ikan pemakan jentik
Menanam pohon pengusir nyamuk (sereh, zodia, lavender, geranium, dll)
Memakai obat anti nyamuk (semprot, bakar maupun oles),
Menggunakan kelambu, pasang kawat kasa, dll.
Menggunakan cara lain disesuaikan dengan kearifan lokal.
4) Larvasidasi
Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan petugas
puskesmas/ dinas kesehatan kabupaten/kota
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Tempat Penampungan Air (TPA) di rumah dan Tempat-
Tempat Umum (TTU)
Larvasida : Sesuai dengan dosis
Cara : Larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah KLB
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
5) Penyuluhan
Penyuluhan dapat dilakukan oleh segenap tenaga kesehatan yang
dikoordinasikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
Puskesmas/RS :……………………………
Kabupaten/Kota ……………………………
Tanggal Wawancara …………………………… Penemuan lab
Tgl Mulai Demam
St. pulang
Umur
Sex
St. rawat
Gejala Obat
Lokas, Desa, Keca matan Alamat
Nama Penderita
Hematokrit
Rash
shock
trombosit
Tanda perdarahan
Demam
tourniket
Nyeri ulu hati
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
IDENTITAS PENDERITA
1 Nama
2 Umur / jenis kelamin L/P
3 Pekerjaan/sekolah
4 Alamat Pekerjaan/sekolah
RIWAYAT PENYAKIT
1. Keluhan / gejala utama yang muncul :
2. Kapan mulai muncul (tgl / jam) :
3. Apa yang dilakukan saat timbul gejala pertama kali ? Sebutkan
: a. …………………………………………………….
b. ……………………………………………...……….
c. …………………………………...………………….
4. Gejala lain yang timbul :
SPESIMEN DIPERIKSA
* Ambil darah dari ujung jari teteskan ke “paper disc” hingga penuh.
PEMERIKSAAN JENTIK
Lampiran 2
Formulir Rawat
jalan/Rawat Inap KLB
DD-DBD
Pos/Puskesmas/RS :
…………………………… Kabupaten/Kota :
Sex
Umur
St. rawat
St. pulang
Gejala
Obat dan
tindakan
Lokas, Desa, Keca matan Alamat
Tgl. Berobat
Nama Penderita
…….
ptkie
shock
hematokrit
rash
Tanda perdarahan
trombosit
Demam
1 2 3 4 5 6 7 16 9 10 11 12 13 14 15 20
Catatan : data direkam setidak-tidaknya 2 minggu sebelum KLB sampai dengan 2 minggu
setelah seluruh wilayah Kabupaten/Kota dinyatakan tidak ada KLB
2. DEMAM CHIK (CHIKUNGUNYA)
Chikungunya atau demam chik adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
chikungunya yang bersifat self limiting diseases, tidak menyebabkan kematian dan diikuti
dengan adanya imunitas didalam tubuh penderita, tetapi serangan kedua kalinya belum
diketahui. Penyakit ini cenderung menimbulkan kejadian luar biasa pada sebuah wilayah.
a. Gambaran Klinis
Demam chikungunya atau nama lainnya demam chik adalah suatu penyakit
menular dengan gejala utama demam mendadak, nyeri pada persendian dan ruam
makulopapuler (kumpulan bintik-bintik kemerahan) pada kulit yang kadang-kadang
disertai dengan gatal. Gejala lainnya yang dapat dijumpai adalah nyeri otot, sakit kepala,
menggigil, kemerahan pada konjunktiva, pembesaran kelenjar getah bening di bagian
leher, mual, muntah. Pada anak-anak sering tidak menampakkan gejala yang khas. Pada
beberapa penderita mengeluh nyeri di belakang bola mata dan bisa terlihat mata
kemerahan dan mata berair.
Demam tinggi, timbul mendadak disertai mengigil dan muka kemerahan. Demam
bisa bertahan selama 2-4 hari. Pada anak dapat timbul kejang demam, kadang-kadang
disertai penurunan kesadaran. Kejang demam tersebut bukan akibat langsung dari infeksi
virus, terbukti dari pemeriksaan cairan spinal (cerebro spinal) tidak ditemukan kelainan
biokimia dan kelainan jumlah sel.
Nyeri sendi biasanya terlokalisir pada sendi besar, terutama sendi lutut dan tulang
belakang, tetapi bisa juga terjadi pada beberapa sendi kecil terutama sendi pergelangan
kaki, pergelangan tangan, jari kaki dan jari tangan. Sendi yang nyeri tidak bengkak, tetapi
teraba lebih lunak. Pada pemeriksaan sendi tidak terlihat tanda-tanda pengumpulan cairan
sendi. Nyeri sendi sering merupakan keluhan pertama sebelum keluhan demam dan dapat
bermanifestasi berat, sehingga kadang-kadang penderita memerlukan ”kursi roda” saat
berobat ke fasilitas kesehatan. Pada posisi berbaring biasanya penderita miring dengan
lutut menekuk dan berusaha membatasi gerakan. Nyeri sendi terutama banyak dialami
oleh wanita dewasa.
Nyeri otot bisa terjadi pada seluruh otot atau hanya pada otot daerah kepala dan
bahu. Kadang- kadang terjadi pembengkakan otot sekitar mata kaki. Sakit kepala sering
terjadi, tetapi tidak terlalu berat. Ruam di kulit bisa terjadi pada muka, badan, tangan,
dan kaki, tetapi bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk makulo-papular. Ruam mulai
timbul 1-10 hari setelah nyeri sendi. Ruam bertahan 7-10 hari, diikuti dengan deskuamasi
kulit. Kadang-kadang ditemukan perdarahan pada gusi. Di India, ditemukan perdarahan
gusi pada 5 anak di antara 70 anak yang diobservasi.
b. Etiologi
Agent (virus penyebab) adalah virus chikungunya, genus alphavirus atau “group A”
antrophod- borne viruses (alphavirus), famili Togaviridae. Virus ini telah berhasil diisolasi di
berbagai daerah di Indonesia.
Vektor utama penyakit ini sama dengan penyakit Demam Berdarah Dengue, yaitu
nyamuk Aedes sp. Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun perlu
penelitian lebih lanjut.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi antara 2-12 hari, tetapi pada umumnya 3-7 hari
e. Pengobatan
Pengobatan bersifat simptomatis menurunkan demam dan mengurangi rasa nyeri
dengan obat analgetik-antipiretik, beristirahat selama demam dan nyeri sendi akut.
Makanan seperti biasa, tidak ada pantangan.
f. Epidemiologi
Penyebaran penyakit chikungunya di Indonesia terjadi pada daerah endemis
penyakit demam berdarah dengue. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan.
Banyaknya tempat perindukan nyamuk sering berhubungan dengan peningkatan kejadian
penyakit chikungunya. Berdasarkan data yang ada chikungunya lebih sering terjadi
didaerah sub urban.
KLB chikungunya sering terjadi, antara lain di Tanzania pada tahun 1952, Uganda
tahun 1963, Sinegal tahun 1967, 1975 dan 1983, Angola tahun 1972, Afrika Selatan tahun
1976, Zaire dan Zambia di Afrika Tengah pada tahun 1978-1979. Pada tahun 1950 mulai
menyebar ke wilayah Asia yaitu India, Filipina, Thailand, Myanmar, Vietnam.
Kejadian luar biasa pernah terjadi di Yogyakarta (1983), Muara Enim (1999), Aceh
(2000). Pada tahun 2010 KLB Chikungunya terjadi di NAD, Sumatera Selatan, Babel,
Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogya, Jawa Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Bali.
Saat ini hampir seluruh wilayah di Indonesia potensial untuk timbulnya KLB chikungunya.
h. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap dugaan penderita demam chik,
terutama apabila memiliki gejala demam mendadak, nyeri sendi, dan ruam. Adanya KLB
demam chik sering rancu dengan adanya KLB demam dengue, demam berdarah dengue,
dan campak, oleh karena itu disamping distribusi gejala dan tanda-tanda dari sekelompok
penderita yang dicurigai, diagnosis dapat didukung pemeriksaan serologis dengan metode
Elisa atau Rapid Diagnostic Test (RDT) pada sebagian penderita. Secara operasional
sebaiknya hanya diambil pada 10-25 penderita dengan gejala demam mendadak, nyeri
sendi dan ruam.
Tatacara pengambilan dan pengiriman spesimen demam chik adalah sebagai berikut :
1) Sampel adalah serum darah sebanyak 5-7 cc yang diambil dari penderita akut.
2) Sampel disimpan dan dikirim selalu berada pada suhu 4-8 °C, sehingga pengiriman
harus menggunakan termos dingin. Identitas dan data pendukung perlu dilampirkan
dengan cermat berupa nama penderita, tanggal mulai sakit, tanggal pengambilan
spesimen, umur, jenis kelamin, alamat dan gejala gejala yang timbul (demam, nyeri
sendi, ruam, mimisan, batuk darah, berak darah, dan syok) serta nama, alamat,
telepon dan faksimili pengirim spesimen.
3) Pemeriksaan dapat dilakukan di Bagian Virologi, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan, Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat atau di
Laboratorium Kesehatan Daerah yang telah mampu melakukan pemeriksaan.
4) Hasil pemeriksaan laboratorium dikirimkan kepada pengirim.
Puskesmas/RS : …………………………………….
Puskesmas :…………………………………….
Kabupaten/Kota : …………………………………….
Umur Gejala
Tanggal
Demam
Laki-laki
Nyeri Sendi
Ruam
Tanda perdarahan
Perempuan
Tanggal Desa/ Mulai Ketera
Nama Alamat Lab Status
Berobat Lurah Demam ngan
Lampiran 2
Lampiran 3
Formulir Penyelidikan KLB Demam Chik
Pendataan Nyamuk, Jentik dan Tempat Perindukan Jentik
(TP)
Puskesmas/RS :…………………………………….
Puskesmas :…………………………………….
Kabupaten/Kota :…………………………………….
Tanggal Penyelidikan KLB : ……………..
Lokasi Jml Kasus Jml. TPJ Jml. TPJ (+) Keterangan
SD …………..
Asrama ……..
Pasar ……..
Desa ……..
……..
Lampiran 4
Format Laporan Penyelidikan KLB Demam Chik
1. Tim Penyelidikan KLB
Nama : Gelar :
Tempat Tugas : Jabatan :
2. Tanggal Penyelidikan KLB :
3. Distribusi Gejala (setidak-tidaknya ditanyakan kepada 10 - 25 penderita yang dicurigai
yang dipilih secara acak pada waktu berobat), kasus meninggal dan hasil pemeriksaan
laboratorium.
Gejala/Tanda Kasus Juml Prosentase
Demam
Ruam
Nyeri Sendi
Perdarahan
Meninggal
Serologi
4. Kurva Epidemi KLB Demam Chik menurut tanggal mulai sakit atau tanggal berobat kasus
dengan gejala demam dengan ruam.
5. Gambaran Epidemiologi Menurut Wilayah dan Umur
Gambaran epidemiologi meliputi wilayah kejadian, kelompok umur dan gambaran
faktor risiko nyamuk Aedes sp. di lokasi kejadian yang dicurigai.
6. Upaya Penanggulangan KLB
a) Upaya Pelayanan Pengobatan dan Rujukan
b) Upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk
c) Upaya Penunjang lainnya
d) Penyelenggaraan Surveilans pada periode KLB
7. Kesimpulan
a) Penetapan adanya KLB
b) Diagnosis KLB
c) Waktu mulai terjadinya KLB
d) Gambaran epidemiologi dan keadaan pada saat penyelidikan yang meliputi
kecenderungan dan kemungkinan penyebaran (buat grafik dan mapping)
e) Upaya Penanggulangan KLB
f) Rencana upaya penanggulangan, termasuk rencana penyelenggaraan surveilans
epidemiologi dan upaya pencegahan terjadinya KLB di daerah lain.
0
11121314151617181920
kasus 0 0 0 2 8 20 10 0 0 0
meninggal 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampiran 5
Laporan Surveilans Ketat pada KLB Demam Chik
Puskesmas/RS : …………………………………….
Puskesmas : ...…………………...........
Kabupaten/Kota : …………………………………….
Tanggal Laporan KLB/Mg................../minggu 18
Format laporan :
Minggu Kejadian
Total
Lokasi Populasi AR CFR
P M P M P M P M P M P M
Desa A
Desa B
Desa C
Desa D
Desa E
Total
Minggu Kejadian
Total
Lokasi Populasi AR CFR
14 15 16 17 18
P M P M P M P M P M P M
Desa A 1500 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2 0 0,1 0
Desa B 500 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Desa C 1000 0 0 0 0 5 0 20 0 30 0 55 0 5,5 0
Desa D 1500 2 0 8 0 15 0 40 0 12 0 77 0 5,1 0
Desa E 900 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 5400 2 0 8 0 20 0 32 0 25 0 97 0 1,8 0
b. Etiologi
Virus demam kuning merupakan arbovirus dari genus flavivirus, dan nyamuk
Aedes sp.
adalah vektor utama. Nyamuk ini membawa virus dari satu host ke yang lain,
terutama antara Kera, dari Kera ke manusia, dan dari manusia ke manusia. Manusia dan
Kera merupakan hospes utama.
c. Masa Inkubasi
Pada manusia, demam kuning ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang
terinfeksi virus demam kuning dengan masa inkubasi berkisar antara 3-6 hari. Virus dalam
darah penderita sudah dapat bersifat infektif terhadap nyamuk sejak sebelum penderita
demam sampai hari ke-3 atau 4 setelah onset.
Pada vektor nyamuk, hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian penyakit
adalah masa inkubasi ekstrinsik, yaitu waktu yang diperlukan virus di dalam tubuh nyamuk
untuk dapat menimbulkan penyakit pada manusia sejak virus masuk ke tubuh nyamuk.
Masa inkubasi ekstrinsik demam kuning umumnya berkisar antara 9-12 hari pada
temperatur daerah tropis. Pada umumnya, jika sudah terinfeksi virus ini, maka virus akan
terus berada di tubuh nyamuk hingga nyamuk mati.
e. Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk demam kuning, hanya perawatan suportif
untuk mengobati dehidrasi dan demam. Infeksi sekunder bakteri dapat diobati dengan
antibiotik. Perawatan suportif dapat meningkatkan hasil terapi.
f. Epidemiologi
Hampir 50% dari orang-orang yang terinfeksi tanpa pengobatan akan mati karena
demam kuning. Setiap tahun diperkirakan terjadi 200.000 kasus demam kuning di seluruh
dunia, dengan 30.000 kematian.
Jumlah kasus demam kuning telah meningkat selama dua dekade terakhir karena populasi
yang kebal terhadap infeksi menurun, penggundulan hutan, perpindahan penduduk, dan
perubahan iklim.
Menurut WHO (sampai dengan Mei 2016), terdapat 47 negara endemik demam
kuning, Afrika (34 negara) dan Amerika Latin (13 negara).
Sampai dengan 2 Februari 2017 tercatat sebanyak 901 kasus (151 konfirmasi, 42
discard, dan 709 suspek) dengan 143 kematian (54 konfirmasi, 3 discard, 86 suspek) yang
diduga terkait demam kuning.
Kementerian Kesehatan Brazil melaporkan bahwa KLB demam kuning yang saat ini
sedang terjadi berawal dari Desember 2016. Di Brazil, sejak awal wabah pada bulan
Desember 2016 sampai minggu epidemiologi ke-6 tahun 2017, dilaporkan jumlah kasus
demam kuning sebanyak 1.336 kasus (292 dikonfirmasi, 124 discarded, dan 920 kasus
suspek dalam investigasi), termasuk 215 kematian (101 dikonfirmasi, 5 discarded, dan 109
dalam penyelidikan). Tingkat fatalitas kasus (CFR) adalah 35% di antara kasus yang
dikonfirmasi dan 12% di antara kasus suspek.
Sampai saat ini belum pernah dilaporkan keberadaan kasus demam kuning dan
risiko penularan ke Indonesia pada situasi sekarang tergolong rendah mengingat transmisi
di daerah terjangkit masih terbatas pada transmisi sylvan, namun upaya antisipasi dan
kewaspadaan harus sudah dilaksanakan.
a. Gambaran Klinis:
Manifestasi klinis Japanese encephalitis dapat berupa:
1) Encephalitis fatal, diawali dengan viremia diikuti perkembangbiakan virus ekstra dan
intra neural yang cepat yang mengakibatkan kematian sel otak.
2) Encephalitis subklinis, didahului viremia ringan, infeksi otak lambat dan kerusakan
ringan dari sel otak.
3) Infeksi asimtomatik, hampir tidak ditemui viremia, replikasi virus di ekstraneural
sangat terbatasnya, tidak ada neuroinvasi.
4) Infeksi persisten.
Sekuele
Sekuele atau gejala sisa ditemukan pada 50-70 % kasus, umumnya pada anak usia di
bawah 10 tahun. Pada bayi gejala sisa akan lebih berat. Kekerapan terjadinya sekuele
berhubungan langsung dengan beratnya penyakit.
Sekuele dapat berupa gangguan :
1) Sistem motorik (Motorik halus, Kelumpuhan, gerakan abnormal)
2) Perilaku (Agresif, Emosi tak terkontrol, Gangguan perhatian, Depresi)
3) Intelektual (Abnormal, Retardasi).
4) Fungsi neurologi lain (Gangguan ingatan/memori, afasia ekspresif, epilepsi, paralisis saraf
kranial, kebutaan)
b. Etiologi
Virus JE termasuk Arbovirus group B, dari genus Flavivirus dan familia Flaviviridea.
Virus ini relatif labil terhadap suhu yang tinggi, rentan terhadap berbagai pengaruh
desinfektan, deterjen, pelarut lemak, dan enzim proteolitik. Infektivitasnya paling stabil
pada pH 7-9, namun dapat dilemahkan oleh radiasi elektromagnetik, eter, dan natrium
deoksikolat.
Seperti virus lainnya, virus JE berkembang biak dalam sel hidup, yaitu di dalam
sitoplasma. Masa viremia yang pendek menyebabkan sulit mengisolasi virus dari darah
pasien, sementara untuk mengisolasi virus dari otak (organ yang terinfeksi virus) pada
otopsi sulit dilakukan karena alasan budaya.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi JE bervariasi antara 4-14 hari, diikuti perjalanan penyakit melalui 4
stadium klinis, yaitu:
1) Stadium prodromal : 2-3 hari
2) Stadium akut : 3-4 hari
3) Stadium sub akut : 7-10 hari
4) Stadium konvalesen : 4-7 minggu
1) Stadium Prodromal
Pada stadium prodromal keluhan berupa nyeri kepala hebat yang tidak dapat
hilang dengan pemberian analgetik, gangguan pernapasan, anoreksia, mual, nyeri
perut, muntah, diare, dan gangguan sensorik, termasuk episode-episode psikotik.
Seorang pasien JE mungkin hanya mengalami demam ringan atau gangguan
pernapasan ringan (Flu like syndrom).
2) Stadium Akut
Stadium akut ditandai dengan demam tinggi yang tidak turun dengan
pemberian antipiretik. Apabila selaput otak telah terinfeksi dan membengkak maka
pasien akan merasakan nyeri dan kekakuan pada leher. Pasien menunjukkan gejala
peningkatan tekanan intra kranial, yaitu berupa penurunan kesadaran, kejang,
kelemahan otot-otot, gangguan keseimbangan dan koordinasi, kekakuan pada wajah
(wajah topeng), dan tremor.
Tanda klinis yang agak khas pada JE adalah terjadinya perubahan gejala susunan
saraf pusat yang cepat, misalnya hiper-refleksi diikuti dengan hiporefleksi. Status
mental pasien dapat bervariasi dari konfulsi, delirium, disorientasi, sedangkan
kesadaran dapat menurun dari somnolen sampai koma. Bisa juga disertai oligouria,
diare, dan bradikardia relatif.
Pada stadium ini pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan leukositosis
yang pada awalnya didominasi sel polimorfonuklear, tetapi setelah beberapa hari
menjadi limfositosis. Pada pemeriksaan urin menunjukan adanya albuminuria. Apabila
pasien dapat melalui stadium ini, maka demam akan turun pada hari ke-7 dan gejala
menghilang pada hari ke-14. Namun bila demam tetap tinggi maka gejala memburuk.
Pada kasus fatal perjalanan penyakit berlangsung cepat, pasien mengalami koma, dan
diakhiri dengan kematian.
3) Stadium Subakut
Gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang, tapi terdapat komplikasi
berupa pneumonia ortostatik, dekubitus dan infeksi saluran kemih, sebagai akibat
dari perawatan lama dan pemasangan kateter urin. Gangguan fungsi saraf dapat
menetap, seperti paralisis spastik, hipertrofi otot, fasikulasi, gangguan saraf cranial,
dan gangguan jaras ekstrapiramidal.
4) Stadium Konvalesens
Ditandai dengan kelemahan, letargi, gangguan koordinasi, tremor dan neurosis,
kadang disertai penurunan berat badan. Stadium ini bisa berlangsung lama.
e. Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang dapat menghentikan atau memperlambat perjalanan
penyakit JE, tetapi bisa dicegah dengan vaksin JE. Pengobatan dilakukan secara
simtomatik dan suportif. Cairan diberikan untuk mengatasi dehidrasi dan menjaga
keseimbangan elektrolit, sementara untuk mengatasi demam dan nyeri diberikan
analgetik dan antipiretik.
Pada pasien JE, perlu diperhatikan cara pemberian makanan (kalori), pengawasan
jalan napas, dan pengendalian kejang. Sampai saat ini belum ada antiviral yang efektif
terhadap virus JE. Pada kondisi tertentu, pasien sebaiknya dirawat di unit perawatan
intensif. Dalam perawatan penderita hal-hal yang perlu diperhatikan:
1) Awasi Tanda-tanda Vital
a) Secara rutin dan seksama diperiksa frekuensi nadi, volume nadi, tekanan darah,
frekuensi napas dan keadaan kulit terutama ekstremitas atas dan bawah. Bila
terdapat tanda-tanda syok (Nadi lemah dan cepat atau tidak teraba, turunnya
tekanan darah, akral dingin, pengisian kembali pembuluh darah kapiler lambat
(≥3detik), perlu secepatnya diatasi dengan pemberian cairan intravena larutan
Ringer’s lactate atau NaCl 0,9% 20 ml/kgBB secepat mungkin. Bila keadaan pasien
belum membaik maka pemberian dapat diulangi dan bila setelah 2x pemberian
cairan isotonik tetap belum ada perbaikan maka pasien diberi 10mg/ kgBB darah,
plasma atau cairan koloid.
b) Bila terjadi gagal napas, minimal kita harus melakukan pernapasan buatan dan kalau
memungkinkan dilakukan intubasi endotrakeal kemudian pernapasan dibantu
dengan ventilator mekanik. Selama melakukan perawatan jalan napas dan
perawatan pernapasan, pemberian oksigen sangat mutlak diperlukan.
2) Mengatasi Kejang
Mengatasi kejang pada anak diberikan diazepam rektal (supositoria) segera saat kejang
berlangsung dengan dosis : 0,5-0,75 mg / kgBB / kali, atau 5 mg untuk anak usia
dibawah 3 tahun dan 7,5 mg untuk anak usia di atas 3 tahun, atau 5 mg untuk berat
badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg.
2) Penanggulangan KLB
Segera setelah diketahui adanya suspek KLB maka kegiatan penanggulangan
harus segela dilakukan. Tatalaksana klinis suspek kasus JE sangat penting dalam
upaya menurunkan angka kematian JE. Kasus harus segera dirujuk ke unit yang dapat
melakukan tatalaksana suspek kasus JE. Beberapa hal yang diperlukan dalam
penanggulangan KLB JE:
a) Monitoring harian pada saat terjadinya KLB, termasuk kasus dan kematian.
Merujuk penderita segera ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi yang
dapat melakukan tatalasana kasus JE.
b) Laporan harian ke Dinkes Provinsi/Kemenkes.
c) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang JE dan cara pencegahan dan
penaggulangannya. Juga agar masyarakat mejauhkan kandang babi, dan ternak
lainnya dari pemukiman.
d) Pengendalian vektor seperti: PSN, fogging, penggunaan kelambu, dan lain-lain
segera dilaksanakan.
Gambar. Alur penetapan KLB Malaria pada Daerah Tahap Pemberantasan, pre-
eliminasi dan eliminasi
b. Kriteria KLB Malaria Pada Daerah Tahap Eliminasi Pada Desa atau Kelurahan :
1) Terjadi peningkatan jumlah penderita malaria indigenous di suatu wilayah
tertentu dalam sebulan sebanyak 2 kali atau lebih dibandingkan dengan salah satu
keadaan dibawah ini:
1) Jumlah penderita malaria indigenous di wilayah yang sama dalam sebulan pada
bulan sebelumnya
2) Jumlah penderita malaria indigenous di wilayah yang sama dalam sebulan, pada
bulan yang sama tahun sebelumnya
atau
2) Terjadi peningkatan jumlah penderita malaria (indigenous dan atau impor) meninggal
dalam periode tertentu lebih dari 50 % dibanding keadaan sebelumnya dalam periode
yang sama.
3) Pada Daerah Pengendalian Malaria Tahap Pemeliharaan
Terjadi KLB malaria jika : ditemukan satu atau lebih penderita malaria indigenous
(termasuk penderita malaria introduce)
a. Gambaran Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit Malaria pada dasarnya bagi penderita
yang masih sensitif secara berurutan meliputi; mengigil (15 – 60 menit); demam (2 – 6
jam) antara 37.5oC – 40oC; berkeringat (2 – 4 jam). Gejala lain yang mungkin timbul
adalah sakit kepala, mual atau muntah dan diare sera nyeri otot atau pegal-pegal pada
orang dewasa.
Pada Penderita Malaria dengan komplikasi (berat) gejala yang timbul adalah ;
gangguan kesadaran, kejang, panas tinggi, pucat / anemia, mata dan tubuh menguning
serta perdarahan hidung, gusi atau saluran pencernaan, jumlah kencing berkurang (oliguri),
tidak dapat makan dan minum, warna urine seperti the tua sampai kehitaman,dan nafas
cepat
Kasus Malaria adalah semua penderita Malaria dan semua penderita tersangka
Malaria atau malaria Klinis.
Penyakit malaria diketahui berdasarkan :
1) Diagnosa tersangka malaria yang disebut Malaria Klinis, yaitu penyakit malaria yang
diketahui hanya berdasarkan gejala klinis yang timbul tanpa pemeriksaan laboratorium.
2) Diagnosa Laboratorium yang disebut positif malaria atau penderita malaria, yaitu
penyakit malaria yang diketahui berdasarkan pemeriksaan mikroskopis terhadap
sediaan darah, dinyatakan positif jika pada pemeriksaan tersebut ditemukan
Plasmodium. Seseorang dapat ditulari oleh P. falciparum, atau P. vivax/malariae atau
campuran keduanya.
b. Etiologi
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit plasmodium yang hidup
dan berkembangbiak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami ditularkan
melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.
Spesies Plasmodium pada manusia adalah:
1) Plasmodium falciparum (P falciparum)
2) Plasmodium vivax (P vivax)
3) Plasmodium ovale (P ovale)
4) Plasmodium malariae (P malariae)
5) Plasmodium knowlesi (P knowlesi)
Penetapan etiologi KLB malaria dapat ditegakkan jika distribusi gejala kasus kasus
yang dicurigai menunjukkan gejala demam adalah dominan, dan gejala lain yang menonjol
adalah menggigil, dan berkeringat, tetapi beberapa daerah bisa mempunyai gejala dan
tanda lebih spesifik. Sumber data analisis etiologi KLB malaria dapat berdasarkan data
Penemuan Kasus Malaria Secara Pasif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, atau Penemuan
Penderita Demam Massal. Setiap penderita yang dicurigai dilakukan uji diagnostic dengan
pemeriksaan mikroskopis sediaan darah, RDT atau pengujian lain yang sesuai Gejala
klinis penderita malaria bisa rancu dengan gejala klinis DBD, oleh karena itu, distribusi
gejala dan hasil pengujian laboratorium menjadi sangat penting untuk menentukan etiologi
KLB malaria. Gejala dan tanda penyakit lain yang dicurigai atau mirip dengan gambaran
klinis malaria juga perlu ditanyakan pada saat mewawacarai penderita yang dicurigai,
sehingga pada waktu analisis distribusi gejala dapat dimanfaatkan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain sebagai etiologi KLB ini. Misalnya, jika juga curiga dengan
DBD, maka wajib ditanyakan bercak kemerahan, tanda-tanda perdarahan, dan perlunya
pemeriksaan trombosit dan hematokrit. Gejala dan tanda klinis tersebut ditanyakan pada
setiap penderita yang dicurigai (suspek malaria). Gejala dan tanda klinis ini sebaiknya
ditanyakan pada semua penderita, tetapi apabila jumlah kasus malaria pada KLB ini cukup
besar, gejala dan tanda klinis ini bisa ditanyakan pada sebagian penderita sampai jumlah
cukup memadai untuk analisis etiologi KLB malaria (minimal 25 suspek malaria), tetapi
gejala dan tanda klinis yang merupakan kriteria kasus malaria, wajib ditanyakan pada semua
penderita, misalnya gejala demam dalam 48 jam terakhir, menggigil, sakit kepala dan
ikterik.
Gambaran distribusi gejala malaria pada KLB malaria dapat dimanfaatkan untuk
m enentukan etiologi KLB malaria.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai
timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung
spesies plasmodium (tabel II.1). Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk
ke tubuh manusia sampai parasit dapat dideteksi dalam sel darah merah dengan
pemeriksaan mikroskopik
Tabel 1. Masa Inkubasi Penyakit Malaria
Plasmodium Masa Inkubasi (rata-rata)
e. Pengobatan
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan membunuh
semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia, termasuk stadium gametosit.
Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta
memutuskan rantai penularan.Pengobatan terdiri dari:
1) Pengobatan terhadap penderita di lokasi KLB
a) Malaria tanpa komplikasi
‐ Plasmodium falciparum positif : ACT selama 3 hari dan Primakuin 1 hari.
‐ Plasmodium vivax positif : ACT selama 3 hari dan Primakuin 14 hari.
b) Malaria berat
Pilihan utama :
Artesunate intravena
3) Pengobatan lanjutan
MFS dilakukan setiap 2 minggu sampai kegiatan penyemprotan rumah selesai, pada
semua penderita demam yang ditemukan di lokasi KLB, bila positif malaria diikuti dengan
pengobatan sesuai jenis plasmodiumnya.
Bila ditemukan penderita kambuh atau belum sembuh, segera diberikan pengobatan
lini berikutnya.
Dengan adanya kebijakan pengobatan malaria saat ini, dalam kondisi KLB pengobatan
malaria secara klinis tidak diterapkan lagi. Diupayakan pengobatan pada penderita malaria
melalui konfirmasi pemeriksaan sediaan darah baik secara mikroskopik maupun dengan RDT
dan pengobatan sesuai jenis plasmodium yang ditemukan. Disamping itu ada upaya
pencegahan penularan melalui pengobatan yang disebut prophylaxis.
Puskesmas :
Kabupaten : Tanggal Penyelidikan :
A. IDENTITAS PENDERITA
1. NAMA :
2. Umur (tahun + bulan) :
3. Status dalam keluarga :
4. Alamat
RT/RW :
Kelurahan/Desa : Kecamatan :
Kab/Kota :
Provinsi :
5. Pekerjaan Utama : Alamat tempat kerja :
6. Pekerjaan sampingan : Alamat tempat kerja :
7. Hubungan dengan Penderita :
(diisi apabila responden adalah orang-orang kontak)
a. Hubungan sedarah serumah (orang tua, anak, saudara, bukan saudara)
b. Hubungan tidak serumah (tetangga, teman kantor, teman sekolah, lainnya sebutkan):
B. RIWAYAT PENYAKIT
1. Sakit yang sekarang sudah berapa lama ? hari
2. Antara2-4 minggusebelumsakityangsekarang, apakahpergibermalam ke luar daerah/desa
? Ya/Tidak
3. Jika Ya, sebutkanalamatnya!
RT/RW/Dusun :...................................
Desa/Kelurahan :...................................
Kecamatan :...................................
Kabupaten :...................................
Provinsi :....................................
4. Apa gejala yang timbul pada sakit yang sekarang ?
a. Demam
b. Pusing
c. Mual
d. Muntah
e. Menggigil
f. Pegal-pegal
g. Diare
5. Pernahkan sakit dengan gejala seperti sakit yang sekarang ? Ya/Tidak
6. Jika Ya, kapan/tanggal berapa sakit yang terakhir?
7. Tempat tinggal saat sakit tersebut dimana ?
RT/RW/Dusun :...................................
Desa/Kelurahan :...................................
Kecamatan :...................................
Kabupaten :...................................
Provinsi :...................................
8. Diagnosis yang dibuat Puskesmas : Pf/Pv/Mx
9. Tanggal Sediaan Darah dibuat : Nomor slide Sediaan darah :
10. Tanggal pemeriksaan Sediaan Darah : Laboratorium Pemeriksa :
11. Klasifikasi penderita :
a. Indigenous
b. Relaps
c. Import
18.00-20.00
20.00-22.00
22.00-24.00
00.00-02.00
02.00-04.00
04.00-06.00
Pewawancara : ......................................................................
6. FILARIASIS
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria yang
menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini dapat merusak sistem limfe,
menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, payudara, dan scrotum, menimbulkan cacat
seumur hidup serta stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak langsung,
penyakit yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk, dapat berdampak pada penurunan
produktivitas kerja penderita, beban keluarga dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara
yang tidak sedikit.
Di Indonesia, berdasarkan laporan dari kabupaten/kota, sampai tahun2016 13.009
kasus kronis filariasis. Berdasarkan rekapitulasi data kabupaten/kota selama 7 tahun terakhir,
peningkatan jumlah kasus kronis terjadi pada periode 2010 – 2014, peningkatan ini terjadi
karena adanya kasus kronis filariasis lama yang baru ditemukan dengan adanya kegiatan
penemuan kasus oleh kader dan tenaga kesehatan. Kemudian di tahun 2015 – 2016 terjadi
penurunan jumlah kasus kronis filariasis dibeberapa provinsi antara lain yaitu di Provinsi Papua
Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Riau dan Jawa Timur.
Kriteria Kejadian Luar Biasa yang mengacu pada PERMENKES Nomor
1501/Menkes/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang dapat Menimbulkan
Wabah dan Upaya Penanggulangan, yaitu rata-rata jumlah kesakitan per bulan selama satu
tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah
kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
a. Gambaran Klinis
Kasus klinis filariasis adalah seseorang yang terinfeksi cacing filaria, dan sudah
menunjukkan gejala-gejala klinis baik akut maupun kronis. Gejala klinis akut berupa
limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis, orkitis, epididimitis dan funikulitis yang disertai
demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan mengalami
penyembuhan dengan meninggalkan jaringan parut terutama di daerah lipat paha dan
ketiak. Gejala klinis akut pada infeksi Brugia tampak lebih jelas dan berat. Gejala klinis
kronis terdiri dari limfedema, lymph scrotum, kiluria (urin seperti susu), dan hidrokel.
Gambaran klinis yang tampak tergantung dari cacing penyebab filariasis. Pada
infeksi Brugia, pembengkakan terjadi pada kaki terdapat di bawah lutut, pada lengan di
bawah siku. Pada infeksi Wuchereria brancrofti pembengkakan terjadi pada seluruh kaki,
seluruh lengan, scrotum, penis, vulva, vagina dan payudara.
Sebagian besar kasus filariasis yang ditemukan di Indonesia adalah kasus filariasis
kronis, sedangkan untuk kasus klinis akut dapat ditemukan melalui survei aktif kasus.
Penegakan diagnosis berdasarkan pemeriksaan sediaan apus tebal darah jari yang
dilakukan malam hari. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila ditemukan mikrofilaria
pada sediaan darah.
b. Etiologi
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu, Wuchereria
bancrofti,
Brugia malayi dan Brugia timori. Dari ketiga jenis cacing filaria, Brugia malayi paling
banyak tersebar di wilayah Indonesia, sementara Brugia timori hanya terdapat di wilayah
Indonesia timur yaitu di pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di wilayah
NTT. Sedangkan Wuchereria bancrofti terdapat di pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi filariasis tergantung dari jenis spesies yang menginfeksi. Pada infeksi
oleh Brugia spp masa inkubasi berlangsung selama 2 bulan, sedangkan pada spesies
Wuchereria bancrofti masa inkubasi selama 5 bulan.
d. Sumber dan Cara Penularan
Sumber penularan Filariasis adalah nyamuk. Di Indonesia, telah teridentifikasi 23
spesies nyamuk yang menjadi penular filariasis.
Seorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif,
yaitu nyamuk yang mengandung larva cacing stadium 3. Pada saat nyamuk infektif
menggigit manusia, larva ini akan keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang
gigitan nyamuk. Saat nyamuk menarik probosisnya, larva ini akan masuk melalui luka bekas
gigitan nyamuk dan bergerak menuju sistem limfe.
Kepadatan nyamuk, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan
filariasis. Mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke daerah lain atau sebaliknya,
berpotensi menjadi media penyebaran filariasis antar daerah.
e. Pengobatan
Pengobatan filariasis terdiri dari pemberian obat massal pencegahan filariasis
(POMP Filariasis) dan pengobatan individual. POMP Filariasis dilaksanakan dengan
memberikan obat filariasis kepada seluruh penduduk sasaran di wilayah yang telah
dinyatakan endemis melalui survei darah jari dan atau survei serologis(mikrofilaria rate >
1%). POMP filariasis tidak diberikan kepada anak < 2 tahun, balita dengan gizi buruk,
ibu hamil, orang dengan sakit berat, dan lansia di atas 70 tahun. POMP Filariasis
bertujuan untuk memutus mata rantai penularan filariasis di daerah endemis. Obat yang
diberikan adalah Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dan Albendazole.
Pengobatan individual dilaksanakan pada kasus klinis akut dan kronis filariasis. Tujuan
pengobatan ini adalah untuk mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Obat
yang diberikan adalah DEC.
f. Epidemiologi
Sebanyak 1,1 milyar penduduk di 55 negara di dunia , hidup di daerah endemis
filariasis dan berisiko tertular penyakit ini. Di Asia Tenggara terdapat 9 negara endemis
filariasis yaitu Bangladesh, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, SriLanka, Thailand
dan Timor-Leste dan diperkirakan 700 juta orang tinggal di daerah endemis filariasis, atau
sekitar 64% dari angka kesakitan filariasis di dunia. Diperkirakan 60 juta orang mengandung
mikrofilaria yang dapat bermanifestasi klinis menjadi filariasis kronis. Keadaan di Asia
Tenggara ini mencerminkan separuh dari gambaran filariasis didunia. Di Indonesia,
Filariasis tersebar diseluruh wilayah. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, sampai tahun 2016 jumlah kasus kronis di Indonesia mencapai 13.009
kasus. Terdapat 3 (tiga) provinsi dengan jumlah kasus kronis tertinggi yaitu Nusa Tenggara
Timur (2.864 orang), Aceh (2.372 orang) dan Papua Barat (1.244 orang). Adapun 3(tiga)
provinsi dengan kasus terendah adalah Kalimantan Utara (11 orang), Nusa Tenggara Barat
(14 orang), dan Bali (18 orang).
Berdasarkan survei darah jari dan kajian epidemiologi telah teridentifikasi 326
kabupaten/kota endemis filariasis dengan tingkat endemisitas filariasis berkisar antara 1-
19,64%. Penentuan endemisitas filariasis di kabupaten/kota melalui survey darah jari di
desa dengan jumlah kasus klinis filariasis terbanyak. Mikrofilaria rate (Mf) 1% atau lebih
merupakan indikator sebagai kabupaten/kota endemis filariasis. Mf rate dihitung dengan
cara membagi jumlah sediaan yang positif mikrofilaria dengan jumlah sedian darah yang
diperiksa dikali seratus persen.
Puskesmas : ....................................................................................
Kecamatan : ...................................................................................
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota :.................................................Provinsi :
........................................................................................
Tanggal Penyelidikan : ....................................................................
I. IDENTITAS PENDERITA
1. Nama : ...........………………………………………………….....
2. Umur : ...........………………………………………………….....
3. Jenis Kelamin : L / P
4. Pekerjaan : .............................................................
5. Alamat : ...........……………………………………………….......
RT : RW : Kelurahan : Kecamatan :
Kabupaten/Kota : Provinsi :
Tidak ada
4. Suhu tubuh saat ini...................° C
5. Apakah ada luka dan lesi di kulit ?
Ada, dimana lokasinya.............................
Tidak ada
6. Tanda-tanda stadium limfedema yang ditemui
: Bengkak hilang waktu bangun tidur
pagi
Bengkak tidak hilang waktu bangun tidur pagi
Lipatan kulit dangkal
Benjolan di kulit
Lipatan kulit dalam
Gambaran seperti lumut
Tidak dapat melaksanakan tugas sehari-hari
b. Etiologi
Di Indonesia penyebab utama KLB diare adalah Vibrio cholerae dan Rotavirus.
Tabel 1 : Etiologi, Masa Inkubasi, Gejala, Sumber Dan Cara Penularan Penyakit Berpotensi KLB
Diare
c. Masa Inkubasi
Sesuai dengan etiologi diare. Lihat tabel 1
e. Pengobatan
Prinsip tatalaksana penderita diare adalah LINTAS Diare (Lima Langkah Tuntaskan
Diare), yang terdiri atas :
1) Oralit Osmolaritas Rendah
Mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan di rumah dengan memberikan
oralit. Bila tidak tersedia, berikan lebih banyak cairah rumah tangga yang mempunyai
osmolaritas rendah yang dianjurkan seperti air tajin, kuah sayur dan air matang.
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
2) Zinc
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat
keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta
mencegah terjadinya diare ulang pada 3 bulan berikutnya.
Zinc diberikan pada setap diare dengan dosis, untuk anak berumur kurang dari 6 bulan
diberikan 10 mg (1/2 tablet) zinc per hari, sedangkan untuk anak berumur lebih dari 6
bulan diberikan 1 tablet zinc 20 mg. Pemberian zinc diteruskan sampai 10 hari, walaupun
diare sudah membaik. Hal ini untuk mencegah kejadian diare ulang selama 3 bulan ke
depan.
3) Pemberian ASI / Makanan
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada
penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
berkurangnya berat badan.
4) Pemberian antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotik hanya bermanfaat pada anak dengan diare berdarah, suspek kolera dan
infeksi-infeksi diluar saluran pencernaan yang berat, seperti pneumonia. Obat
antiprotozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).
5) Pemberian Nasihat
Ibu atau keluarga yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasihat tentang :
a) Cara memberikan cairan dan obat di rumah
b) Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan (diare lebih sering,
muntah berulang, sangat haus, makan atau minum sedikit, timbul demam, tinja
berdarah, tidak membaik selama 3 hari.
Berdasarkan hasil penilaian derajat dehidrasi gunakan Bagan rencana pengobatan yang
sesuai (Lampiran 1) :
1) Rencana terapi A untuk penderita diare tanpa dehidrasi di rumah
2) Rencana terapi B untuk penderita diare dengan dehidrasi ringan-sedang di Sarana
Kesehatan untuk diberikan pengobatan selama 3 jam
3) Rencana terapi C untuk penderita diare dengan dehidrasi berat di Sarana Kesehatan
dengan pemberian cairan Intra Vena.
DIARE BERDARAH
Diare berdarah atau disentri adalah diare disertai darah dan/atau dan lendir dalam tinja
dapat disertai dengan adanya tenesmus.
Diare berdarah (disentri) dapat disebabkan oleh penyebab diare, seperti infeksi bakteri,
parasit dan alergi protein susu sapi, tetapi sebagian besar disentri disebabkan oleh infeksi
bakteri. Penularannya secara fekal oral. Infeksi ini menyebar melalui makanan dan air yang
terkontaminasi dan biasanya terjadi pada daerah dengan sanitasi dan hygiene perorangan yang
buruk.
Di Indonesia penyebab disentri adalah Shigella, Salmonella, Campylobacter jejuni,
Escherichia coli (E. coli), dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebakan oleh
Shigella dysentriae, Shigella flexneri, Salmonella dan Entero Invasive E. Coli (EIEC).
Aspek khusus penatalaksanaan disentri adalah pengobatan antibiotik oral (selama 5 hari),
yang masih sensitif terhadap Shigella menurut pola setempat atau di negara tersebut. Obat lini
pertama untuk disentri adalah Cotrimoksasol.
Lokasi dimana S. flexneri yang terbanyak, antibiotik yang sensitif (100%) antara lain adalah
siprofloksasin, kloramfenikol, asam nalidiksat, seftriakson, dan azitromisin. Trimetropim yang dulu
disarankan sebagai lini pertama sudah tidak sensitif (0%) lagi (Putnam et al, 2007). Sedangkan
penelitian di Jakarta pada bulan Juli hingga Oktober 2005 menunjukkan bahwa Shigella sonnei dan
Shigella flexneri sensitif terhadap siprofloksasin, kloramfenikol, asam nalidiksat, dan sefiksim;
sedangkan kotrimoksazol, kolistin, dan tetrasiklin sudah mengalami resistensi (Elvira et al., 2007).
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
COTRIMOKSASOL
UMUR ( 2 x sehari selama 5 hari )
atau Tablet Dewasa Tablet Anak Sirup per 5 ml
BERAT BADAN (80mg Tmp+ (20mg Tmp + (40mg Tmp+ 200mg
400mg Smz) 100mg Smz) Smz)
2 - <4 bulan 2,5 mg
¼ 1
(4 - <6 kg) (½ sendok takar)
4 bln - <12 bln 5 ml
½ 2
(6 - <10 kg) (1 sendok takar)
12 bln - <3 thn 7,5 ml
¾ 2½
(10 - <16 kg) ( 1½ sendok takar)
3 thn - < 5 thn 10 ml
1 3
(16 - <19 kg) (2 sendok takar)
Asam nalidiksat tidak banyak beredar di pasaran. Dosis siprofloksasin untuk anak-anak
adalah 15 mg/kgBB 2x perhari selama 3 hari, peroral. (WHO, 2005).
Jika menegakkan diagnosis klinik lain, beri terapi kausal yang sesuai :
1) Giardasis diberi metronidazol dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari.
2) Infeksi Campylobacter diobati dengan eritromisin 10 mg/kgBB maksimum 500 mg per dosis
setiap 6 jam selama 5-7 hari.
3) Infeksi Salmonella diobati dengan kloramfenikol 50-75 mg/kgBB/hari maksimal 2 gram per hari
dibagi 4 dosis.
4) Infeksi Clostridium difficile diobati dengan metronidazol dengan dosis 30-50 mg/kgBB/hari
dibagi 3 dosis selama 7-10 hari.
5) Lakukan tatalaksana LINTAS Diare
Tatalaksana Kolera
Lini Kedua
Trimethoporim (TMP) Sulfamethoxazole TMP 160 mg
(SMX) 2 x sehari Dan
SMX 800 mg/kg
Ciprofloxacin Dosis tunggal
1000 mg
4) Chloramphenicol mungkin dapat digunakan bila antibiotika yang dianjurkan diatas tidak
tersedia atau bila V. cholerae 01 resisten terhadap antibiotika diatas.
5) Doxycycline adalah antibiotika pilihan untuk orang dewasa (kecuali wanita hamil) karena
hanya dibutuhkan dosis tunggal.
6) TMP-SMX adalah antibiotika pilihan untuk anak-anak. Tetracycline sama efektifnya namun
begitu, di beberapa negara tidak ada sediaan untuk anak-anak.
7) Chloramphenicol adalah antibiotika pilihan utana untuk wanita hamil (trimester 1 dan
2), Tetracycline merupakan obat pilihan utama.
f. Epidemiologi
Diare merupakan salah satu penyebab angka kematian dan kesakitan tertinggi pada
anak, terutama pada anak berumur kurang dari 5 tahun (balita). Menurut World Health
Organization (WHO) dan United Nations Childrens’s Fund (UNICEF), terdapat sekitar dua milyar
kasus diare di seluruh dunia setiap tahun, dan 1.9 juta anak balita meninggal karena diare
setiap tahun, sebagian besar terjadi di negara berkembang. Jumlah kematian anak balita
karena diare ini merupakan 18% dari semua kematian anak balita dan berarti lebih dari 5000
anak balita meninggal setiap hari karena diare. Dari semua kematian anak balita karena diare,
78% terjadi di wilayah Afrika dan Asia Tenggara (World Gastroenterology Organisation, 2012).
Penyakit diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia, terlihat
dari angka kesakitan diare yang tinggi. Berdasarkan hasil survei morbiditas diare sejak tahun
2003- 2015, angka kesakitan diare pada balita berkisar 1000-1300 per 1000 balita. Hasil
Riskesdas tahun 2013 memperlihatkan perubahan insidens diare pada balita 670 per 1000
balita (Depkes, 2003; 2006; 2008; 2010; 2012; 2013;2015).
Selama 2003-2010, KLB diare menunjukkan fluktuasi baik frekuensi kejadian dan
jumlah penderitanya maupun Case Fatality Rate nya. KLB diare terjadi hampir di seluruh
wilayah Indonesia.
KLB diare sering terjadi di daerah yang mengalami kekeringan, kemarau panjang,
sanitasi buruk, rendahnya kebersihan perorangan. KLB diare juga sering terjadi pada
sekelompok orang yang sedang mengadakan perjalanan, kelompok jemaah haji, pengungsi
dan sebagainya, baik disebabkan karena buruknya sanitasi dan penyediaan air bersih, status
gizi dan kondisi kesehatan menurun.
Puskesmas/RS : ……………………………
Kabupaten/Kota : ……………………………
Tanggal Wawancara : ……………………………
Gejala Obat
Tgl. Berobat
St. pulang
Tgl Mulai Diare
Hasil lab
Sex
St. rawat
Lokas, Desa, Keca matan Alamat
Umur
Nama Penderita
mules
dehidrasi
Diare
d.encer
d.lendir
demam
muntah
d.darah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Catatan :
a. Setidaknya ditanyakan pada 25 penderita rawat jalan, rawat inap atau ke rumah di lokasi
KLB diare. Apabila terdapat keragu-raguan dapat ditanyakan pada beberapa lokasi dan
ditambahkan beberapa gejala lain yang diperlukan.
b. Kolom 14 diisi sesuai dengan derajat dehidrasinya Tanpa Dehidrasi = TD
Dehidrasi Ringan-Sedang = DRS Dehidrasi Berat = DB
Formulir Sanitasi dan Pelayanan Kesehatan
KLB Diare
Puskesmas :………………………………………..
Kabupaten/Kota :………………………………………..
Tanggal Pendataan : ………………………………………..
Warung,
PKM,
Kantin
Jumlah Penduduk Jamban PKM-P Curah
Sarana Air Bersih dan
Menurut Umur Keluarga Klinik, Hujan
Desa/ sebagain
PosKes
Kelurahan ya
AirBersih (%) Cakupan
Cakupan (%)
/ Lokasi
0-4
Laki-laki
SG, SPT
5-14
>14
perempuan
Jumlah
PAH
Perpipaan
Lampiran 3
Dehidrasi Berat
Kasus
Meninggal
Kasus
Meninggal
Dehidrasi Berat
Dehidrasi Berat
Kasus
Meninggal
Dehidrasi Berat
Meninggal
Kasus
Umur
Umur
Umur
Umur
Puskesmas A
0-4 0-4 0-4 0-4
5-14 5-14 5-14 5-14
>14 >14 >14 >14
Total Total Total Total
Dehidrasi Berat
Kasus
Meninggal
Kasus
Meninggal
Dehidrasi Berat
Dehidrasi Berat
Kasus
Meninggal
Dehidrasi Berat
Meninggal
Kasus
Umur
Umur
Umur
Umur
Puskesmas B
0-4 0-4 0-4 0-4
5-14 5-14 5-14 5-14
>14 >14 >14 >14
Total Total Total Total
Kasus
Dehidrasi Berat
Meninggal
Kasus
Meninggal
Dehidrasi Berat
Dehidrasi Berat
Kasus
Meninggal
Dehidrasi Berat
Meninggal
Kasus
Umur
Umur
Umur
Umur
RS X
0-4 0-4 0-4 0-4
5-14 5-14 5-14 5-14
>14 >14 >14 >14
Total Total Total Total
Catatan: Data ini kemungkinan didistribusikan setiap hari, tetapi data epidemiologi tetap
dibuat menurut mingguan berobat, bukan mingguan pelaporan.
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
2. HEPATITIS A
Hepatitis A adalah penyakit hati akibat virus hepatitis A yang dapat menyebabkan
kesakitan ringan sampai berat. Hepatitis A menyebar secara fekal-oral ketika seseorang
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja orang yang terinfeksi virus
hepatitis A. Timbulnya penyakit ini berhubungan erat dengan sanitasi yang buruk dan rendahnya
higiene personal, seperti cuci tangan. Seperti umumnya penyakit akibat virus, penderita
hepatitis A sebagian besar mengalami penyembuhan sendiri (self limiting diseases), dengan
kematian sangat kecil 0.1-0.3 %.
Hepatitis A sering timbul baik secara sporadis maupun sebagai suatu epidemi dalam periode
waktu satu sampai dua bulan. Epidemi yang terjadi akibat kontaminasi pada air dan makanan
dapat mengakibatkan ledakan kasus, dan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit.
a. Gambaran Klinis
Penyakit hepatitis A bersifat akut, dengan gejala dan tanda bervariasi dari ringan sampai
berat. Penderita mungkin tanpa gejala (asimtomatik), atau dapat berupa demam, sakit kepala,
lelah, kehilangan nafsu makan, perut kembung, mual, muntah, urin berwarna gelap, sampai
jaundice (kekuningan pada kulit dan bagian putih mata). Jaundice pada anak umur kurang dari
enam tahun hanya 10% sedangkan pada orang dewasa meningkat 60-80%. Dapat
menyebabkan pembengkakan hati tetapi jarang menyebabkan kerusakan hati.
Penderita dapat menderita sakit 1-2 minggu, bahkan bisa lebih dari satu bulan.
Beberapa diantaranya tidak menunjukkan gejala yang nyata. Manifestasi penyakit pada
orang dewasa lebih berat dibandingkan pada anak-anak. Gejala penyakit pada anak-anak usia
di bawah enam tahun seringkali (70%) tidak terlihat (asimtomatik), dengan durasi penyakit <2
bulan. Tingkat keparahan dan kematian meningkat pada usia yang lebih tua. Sebagian besar
penderita sembuh dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan tanpa komplikasi.
b. Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh virus Hepatitis A.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 15-50 hari, dengan rata-rata 28 hari.
f. Epidemiologi
Menyebar di seluruh dunia, sering berkembang menjadi suatu kejadian luar biasa
dengan kecenderungan berulang secara siklik. Diperkirakan 1.4 juta kasus hepatitis A terjadi
setiap tahun. Sering menyerang pada anak usia sekolah dan dewasa muda. Di daerah dengan
sanitasi lingkungan yang rendah, infeksi umumnya terjadi pada usia sangat muda.
Di negara sedang berkembang dengan sanitasi buruk, orang dewasa biasanya sudah
memiliki imunitas alami sehingga jarang terjadi kejadian luar biasa (KLB). Namun adanya
perbaikan sanitasi lingkungan di sebagian besar negara di dunia ternyata membuat penduduk
golongan umur dewasa muda menjadi lebih rentan sehingga frekuensi terjadinya KLB
cenderung meningkat.
Di negara bermusim tropis KLB hepatitis A sering terjadi pada musim hujan dan
mengalami siklus epidemi 5-10 tahun. Di Indonesia, KLB sering terjadi di sekolah, asrama,
karyawan perusahaan dengan jenis KLB common source dengan periode KLB berkisar 1-2
bulan.
Umur
Tgl. Berobat
St. rawat
Sex
Gejala Lab obat
Lokas, Desa,
pulang
mual
shock
demam
Sakit kepala
berkeringat
Air kencing teh
Hati sakit
Parasit malaria
IgG
Sklera mata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2
0 1 2 3 4 6 7 8 9 0
Catatan : Setidak-tidaknya ditanyakan pada 25 penderita rawat jalan, rawat inap atau ke
rumah di lokasi KLB diare. Apabila terdapat keragu-raguan dapat ditanyakan pada beberapa
lokasi dan ditambahkan beberapa gejala lain yang diperlukan.
Umur
Tgl. Berobat
Sex
Alamat Lokas/DesaKecamatan
diagnosis
Gejala
Tanggal dan Kondisi pulang
Obat/Tindakan
St. rawat
Keterangan
Kencing teh
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Catatan : data direkam 2 minggu setidak-tidaknya sebelum mulai KLB dan berakhir 2
minggu setelah KLB dinyatakan selesai
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
Sex
Umur
Alamat Lokas/DesaKecamatan
Nama
No.
Keterangan
Sakit – Tidak
Gejala Sakit dimakan selama
periode paparan *)
Pesta B
Kantin A
Ransum D
Penjaja C
demam
1 2 3 4 5 6 Tgl. Mulai sakit
7 8 9 10 11 12 13 14 15
Catatan :
Wawancara dilakukan terhadap semua kasus dan orang sehat, tetapi apabila jumlahnya cukup
besar maka secara operasional dapat ditanyakan pada sekelompok orang yang memiliki angka
serangan terbesar saja, misal desa, kelas, blok kantor, blok asrama dan sebagainya.
*) Periode paparan adalah waktu antara 15 hari kasus pertama s/d 50 hari kasus terakhir KLB.
Lokasi :..................................................
Puskesmas :……………………………………
Kabupaten/Kota : ………………………………………..
Makan Tidak makan
Makanan RR
Populasi kasus AR populasi kasus AR
Kantin A 32 28 18 12
Pesta B 40 28 10 2
Penjaja C 45 26 5 4
Ransum D 28 10 22 20
Catatan : AR adalah kasus dibagi populasi x 100; RR adalah AR makan/AR tidak makan, dimana RR besar
dicurigai sebagi sumber penularan, tetapi secara praktis makanan yang tidak dimakan dengan jumlah
kasus cukup besar menunjukkan makanan tersebut bukan sebagai sumber penularan hepatitis A.
Lampiran 2
Umur
Kasus
Kasus
Kasus
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Kasus
Kasus
Kasus
Meninggal
0-4
5-14
15-24
25-44
45-
Total
Catatan : Data ini kemungkinan didistribusikan setiap hari, tetapi data
epidemiologi tetap dibuat menurut mingguan berobat, bukan mingguan
pelaporan.
a. Etiologi
Penyebab Hepatitis E adalah virus Hepatitis E (HEV), berbentuk sferis, tidak bersampul
Single Stranded, RNA virus yang berdiameter 32-34 nm, diakui pada tahun 1980 dan biasa
disebut Hepatitis Non A Non B.
HEV dikelompokkan dalam famili Caliciviridae. Meskipun demikian organisasi/struktur
genom HEV berbeda secara mendasar dengan Calicivirus yang lain dan HEV seharusnya
dikelompokkan ke dalam famili tersendiri.
b. Cara penularan
HEV ditularkan melalui jalur fecal oral; air minum yang tercemar tinja merupakan
media penularan yang paling sering terjadi. Penularan dapat pula terjadi dari orang ke orang
dengan jalur fecal oral, namun kasus sekuder di lingkungn rumah terjadi selama KLB. Dari
berbagai penelitian yang dilakukan saat ini menunjukkan bahwa Hepatitis E kemungkinan
merupakan infeksi zoonotic yang secara kebetulan menyebar dengan manusia secara cepat.
d. Masa Inkubasi
Berkisar antara 15-64 hari, masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 26-42 hari pada
kLB yang berbeda.
e. Masa penularan
Tidak diketahui. Namun demikian HEV ditemukan dalam tinja 14 hari setelah timbulnya
gejala iktirus (Jaundice) dan rata-rata 4 minggu setelah mengkonsumsi makanan atau air yang
tercemar dan bertahan selama sekitar 2 minggu.
f. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan: apabila ditemukan IgM anti HEV didalam serum penderita
yang dicurigai ini menunjukkan infeksi baru, sementara untuk infeksi yang telah lampau
ditunjukkan dengan adanya IgG anti HEV didalam serum penderita. Tidak ditemukannya IgM
anti HEV atau IgG anti HEV dalam serum menunjukkan tidak adanya infeksi HEV dan rentan
terhadap infeksi HEV.
h. Pencegahan
Lakukan promosi kesehatan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan
sehat, serta kebersihan lingkungan.
Puskesmas/RS : ……………………………
Kabupaten/Kota : ……………………………
matan
Nama Penderita
Umur
St. rawat
Tgl Mulai Demam
Lokas, Desa, Keca
mual
Sakit kepala
berkeringat
Parasit malaria
demam
Hati sakit
Sklera mata kuning
IgG
Air kencing teh
shock
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 16 17 18 19 20
Catatan : Setidak-tidaknya ditanyakan pada 25 penderita rawat jalan, rawat inap atau ke
rumah di lokasi KLB diare. Apabila terdapat keragu-raguan dapat ditanyakan pada beberapa
lokasi dan ditambahkan beberapa gejala lain yang diperlukan.
Umur
Tgl. Berobat
Sex
Gejala
diagnosis
Alamat
St. rawat
Obat/Tindakan
Keterangan
Tanggal dan Kondisi
pulang
Lokas/DesaKecamatan
Kencing teh
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Catatan : data direkam 2 minggu setidak-tidaknya sebelum mulai KLB dan berakhir
2 minggu setelah KLB dinyatakan selesai
Formulir Wawancara Makanan - Sumber Penularan
KLB Hepatitis E
Lokasi :..................................................
Puskesmas :……………………………………
Kabupaten/Kota : ………………………………………..
Makanan yang
Sex
Umur
Alamat Lokas/DesaKecamatan
Nama
No.
Keterangan
Sakit – Tidak
Gejala Sakit dimakan selama
periode paparan *)
Pesta B
Kantin A
Ransum D
Penjaja C
demam
Tgl. Mulai sakit
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Catatan :
Wawancara dilakukan terhadap semua kasus dan orang sehat, tetapi apabila
jumlahnya cukup besar maka secara operasional dapat ditanyakan pada sekelompok
orang yang memiliki angka serangan terbesar saja, misal desa, kelas, blok kantor, blok
asrama dan sebagainya.
*) Periode paparan adalah waktu antara 15 hari kasus pertama s/d 50 hari kasus
terakhir KLB.
Lokasi :..................................................
Puskesmas :……………………………………
Kabupaten/Kota : ………………………………………..
Makan Tidak makan
Makanan RR
Populasi kasus AR populasi kasus AR
Kantin A 32 28 18 12
Pesta B 40 28 10 2
Penjaja C 45 26 5 4
Ransum D 28 10 22 20
Catatan : AR adalah kasus dibagi populasi x 100; RR adalah AR makan/AR tidak makan, dimana RR besar
dicurigai sebagi sumber penularan, tetapi secara praktis makanan yang tidak dimakan dengan jumlah
kasus cukup besar menunjukkan makanan tersebut bukan sebagai sumber penularan hepatitis A.
Lampiran 2
Surveilans Ketat pada KLB Hepatitis A
Umur
Kasus
Kasus
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Meninggal
Kasus
Meninggal
Kasus
Kasus
Meninggal
Kasus
0-4
5-14
15-24
25-44
45-
Total
b. Etiologi
Disebabkan oleh human enteroviruses spesies Coxsackievirus A16(CA16) dan
Enterovirus 71 (EV71). Genus Enterovirus family Picornaviridae. Serotipe HEV-A yang lain
adalah Coxsackie virus A6 dan Coxsackievirus A10, serta Echovirus. Infeksi EV71 menjadi
perhatian khusus karena dapat menyebabkan penyakit yang parah pada anak-anak, kadang-
kadang menyebabkan kematian.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi 3-7 hari dan masa infeksius minggu pertama sejak timbul gejala.
e. Pengobatan
Pada umumnya penderita infeksi PTKM bersifat ringan sehingga terapi yang
diperlukan hanya bersifat simptomatis. Bila timbul tanda bahaya (gejala neurologi, kejang
mioklonik, iritabel, insomnia, abdomen distensi, muntah berulang, sesak nafas, halusinasi)
segera rujuk ke Rumah Sakit.
Pada pasien rawat inap, terapi suportif merupakan hal utama. Tidak diperlukan terapi
spesifik untuk enterovirus. Untuk mencegah timbulnya komplikasi perlu dilakukan deteksi awal
adanya keterlibatan gangguan SSP khususnya batang otak dan monitor denyut jantung,
frekuensi nafas, tekanan darah, saturasi oksigen, keseimbangan cairan dan fungsi ventrikel kiri.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah Meningitis aseptik, Ensefalitis, Paralisis,
Dekompensasio kardio-pulmonal dan kegagalan ventrikel kiri.
Bila keadaan memburuk perlu dilakukan intubasi endotrakeal karena pasien dapat
mengalami Edema pulmonal dalam waktu singkat.
Pemeriksaan Laboratorium :
1) Isolasi virus dan uji serologi
Dilakukan terutama pada penderita PTKM yang dirawat dan secara klinis cepat memburuk
atau mengalami komplikasi
2) Pemeriksaan uji serologi dilakukan pada fase akut dan konvalesen dengan jarak
pengambilan 14 hari
3) Spesimen yang diambil pada fase akut :
Feses : virus dapat ditemukan sampai beberapa minggu Usap tenggorok : beberapa hari
sejak awal penyakit
Darah dan bahan yang sesuai gejala klinis, seperti cairan vesikel, Liquour Cerebro Spinal
(LCS), apusan mata dan jaringan
Swab tenggorok dan vesikel dikirimkan dengan menggunakan media transportasi virus
(VTM), sedangkan untuk sediaan tinja atau rectal swab menggunakan media transportasi
untuk tinja atau rectal swab.
4) Spesimen serum harus diambil berpasangan (paired)
5) Pengujian untuk menetralisir antibodi terhadap enterovirus tidak dianjurkan untuk rutin
digunakan dalam diagnosis infeksi enterovirus. Sampel serum dipasangkan dikumpulkan
untuk diagnosis serologis serotipe tertentu enterovirus, untuk interpretasi serum titer
antibodi lebih sulit.
6) Sampel serum dari pasien rawat inap dapat digunakan untuk pemeriksaan imunoglobulin
M (IgM) deteksi EV71, tetapi spesifisitas dan sensitivitas tes serologi untuk Infeksi EV71
tetap diperlukan untuk menjadi penilaian.
7) Spesimen dikirimkan ke : Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Litbang
Kemenkes Jl. Percetakan Negara No.29 jakarta 10560 Telepon 021-4244375, Fax 021-
4245386
f. Epidemiologi
Penyakit yang berhubungan dengan infeksi EV71 pertama kali dijelaskan oleh Schmidt,
dan rekannya di tahun 1974, yang melaporkan pada 20 pasien dengan penyakit SSP (Sistim
sraf pusat) , termasuk satu kematian di California.
Selanjutnya di Amerika Serikat antara tahun 1969 dan 1972, lalu di New York, Amerika
Serikat tahun 1972 dan 1977, Australia tahun 1972-1973 dan 1986, Swedia tahun 1973,
Jepang pada tahun 1973 dan 1978, Bulgaria pada tahun 1975, Hongaria pada tahun 1978,
Prancis pada tahun 1979, Hong Kong (China) tahun 1985, dan Philadelphia, Amerika Serikat
pada tahun 1987. Selama terjadinya wabah, EV71 menyebabkan spektrum yang luas dari
penyakit, termasuk HFMD, aseptik meningitis, ensefalitis, kelumpuhan, gejala pernapasan
akut dan miokarditis.
Selain itu selama dekade terakhir, banyak wabah HFMD telah dilaporkan di negara-
negara kawasan Pasifik Barat, termasuk Jepang Malaysia, Singapura dan China. Insiden HFMD,
terutama yang disebabkan oleh infeksi EV71.
Sebuah studi cross-sectional di Singapura menunjukkan bahwa, terjadi penurunan
antibodi maternal, seroprevalensi untuk EV71 meningkat pada tingkat rata-rata dari 12% per
tahun pada anak-anak dari dua sampai lima tahun, dan mencapai tingkat tetap sekitar 50%
pada mereka yang berusia lima tahun atau lebih.
Akhir tahun 1990-an, dua wabah masyarakat luas terkait dengan infeksi EV71 terjadi,
yang pertama di Sarawak, Malaysia, pada tahun 1997 sebanyak 2628 kasus dan yang kedua di
Taiwan (Cina) tahun 1998 dengan 129.106 kasus yang dilaporkan.
Pada tahun 2008 dilaporkan terjadi KLB PTKM/HFMD di Cina dan pada Tahun 2009
dilaporkan terjadi KLB PTKM/HFMD di Indonesia (jumlah kasus 94 kasus klinis – 1 positif EV
71) dan di beberapa negara di Asia seperti Taiwan, Hong Kong, Vietnam, Singapore dan
Malaysia.
Penyakit Tangan, Kaki dan Mulut ini menyerang sebagian besar anak di bawah 10 tahun
dengan masa inkubasi 3-7 hari dan masa infeksius minggu pertama sejak timbul gejala.
Di Indonesia penyakit ini telah ada sejak tahun 2000 terjadi di Batam sebanyak 12 kasus
dan 7 kasus di Jakarta. Tahun 2001 ditemukan 3 kasus di DIY dan 48 kasus di Kabupaten
Boyolali, tahun 2009 terjadi 9 kasus di Jakarta.
ketat Bila terjadi peningkatan kasus, agar dilaporkan oleh instansi kesehatan
kepada
Kepala Daerah setempat secara berjenjang dan Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Lampiran
1. CAMPAK/RUBELLA
a. Pendahuluan
Penyakit campak adalah penyakit yang sangat menular (infeksius) disebabkan oleh virus
RNA dari genus Morbilivirus, dari keluarga Paramyxoviridae yang mudah mati karena panas
dan cahaya. Gejala klinis campak adalah demam (panas) dan ruam (rash) ditambah dengan
batuk/pilek atau mata merah. Masa inkubasi penyakit ini antara 7 – 18 hari, rata-rata 10 hari.
Penyakit rubela adalah penyakit yang mirip dengan campak disebabkan oleh virus dari
genus Rubivirus. Gejala dan tanda rubella ditandai dengan demam ringan (37,2°C) dan bercak
merah/rash makulopapuler disertai pembesaran kelenjar limfe di belakang telinga, leher
belakang dan sub occipital. Masa inkubasi penyakit rubella antara 12 – 21 hari.
Sumber penularan dari kedua penyakit tersebut adalah melalui percikan ludah dan
transmisi melalui udara terutama melalui batuk, bersin atau sekresi hidung. Masa penularan
penyakit campak adalah 4 hari sebelum rash sampai 4 hari setelah timbul rash, puncak
penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama sakit. Sedangkan
masa penularan penyakit rubella diperkirakan terjadi pada 7 hari sebelum hingga 7 hari setelah
rash.
Komplikasi penyakit campak sering terjadi pada anak usia <5 tahun dan penderita dewasa
>20 tahun. Komplikasi yang sering terjadi adalah diare dan bronchopneumonia. Penyakit
campak menjadi lebih berat pada penderita malnutrisi, defisiensi vitamin A dan immune
defisiency (HIV) serta karena penanganan yang terlambat. Sedangkan pada penyakit rubela
yang harus diwaspadai adalah komplikasi pada ibu hamil trimester pertama yang dapat
mengakibatkan anak yang dikandungnya menjadi abortus, prematur, lahir mati atau lahir
hidup dengan cacat kongenital berupa tuli, buta dan atau penyakit jantung bawaan
(Congenital Rubela Sindrom/CRS).
b. Definisi operasional
1) Tersangka (suspek) campak adalah demam (panas) dan ruam (rash) ditambah dengan
batuk/pilek atau mata merah.
2) KLB tersangka (suspek) campak adalah adanya 5 atau lebih suspek campak dalam waktu 4
minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan dibuktikan adanya hubungan
epidemiologi.
3) Hubungan Epidemiologi adalah adanya kontak antara satu suspek dengan suspek lainnya.
4) KLB campak pasti adalah apabila hasil pemeriksaan laboratorium terdapat minimal 2
spesimen positif IgM campak dari spesimen suspek yang diperiksa.
5) KLB rubella pasti adalah apabila hasil pemeriksaan laboratorium terdapat minimal 2
spesimen positif IgM rubela dari spesimen suspek yang diperiksa.
6) KLB mixed (campuran) apabila hasil pemeriksaan laboratorium terdapat minimal 1
spesimen positif IgM campak dan minimal 1 spesimen positif IM Rubela dari spesimen yang
diperiksa.
7) Kematian campak adalah kematian dari seorang penderita campak pasti (klinis,
laboratorium maupun epidemiologi) yang terjadi dalam 30 hari setelah timbul rash, bukan
disebabkan oleh hal-hal lain seperti: trauma atau penyakit kronik yang tidak berhubungan
dengan komplikasi campak.
8) Spesimen adekuat adalah :
a) Spesimen serum : diambil 4 - 28 hari sejak muncul ruam (rash) sebanyak 1 cc serum ( 3 -
5 cc darah), dikirim ke laboratorium menggunakan rantai dingin (suhu 2-8 0 c).
b) Spesimen urin : diambil <5 hari sejak muncul ruam (rash) sebanyak minimal 60 cc,
dikirim ke laboratorium menggunakan rantai dingin (suhu 2-8 0 c).
c. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan KLB campak bertujuan untuk mengetahui gambaran epidemiologi KLB
berdasarkan lokasi dan waktu kejadian, umur dan status imunisasi penderita, sehingga dapat
diketahui luas wilayah yang terjangkit dan kelompok yang berisiko. Disamping itu juga untuk
mendapatkan faktor risiko terjadinya KLB sehingga dapat dilakukan tindak lanjut.
3) Persiapan penyelidikan :
a) Pembentukan tim penyelidikan dan siapkan surat Tugas
b) Mengumpulkan data informasi awal : Wilayah KLB (dataran rendah/tinggi), Total
Populasi dan populasi rentan di wilayah KLB, membuat mapping kasus sementara untuk
menentukan luas wilayah penyelidikan, mempersiapkan sarana dan prasarana
(transportasi dan bahan yang dibutuhkan selama penyelidikan), situasi keamanan dan
cuaca/musim.
c) Persiapan alat penyelidikan KLB :
Format pendataan yang terdiri dari C1 ( list kasus), C2 ( Formulir factor resiko), pedoman
surveilans Campak dan rubela, bahan KIE.
d) Formulir pendataan anggota keluarga sehat: nama, nama KK, umur, jenis kelamin, status
imunisasi, pendataan status imunisasi anak sehat
‐ Alat ambil spesimen dan obat-obatan sesuai kebutuhan seperti Vitamin A dan obat
penurun panas.
‐ Informasikan kepada pihak terkait tentang rencana penyelidikan lapangan seperti
Kecamatan, RT, RW, sekolah dan pihak keamanan.
4) Penyelidikan lapangan
Penyelidikan lapangan menyeluruh ( full investigation )
a) Mendata usia dan status imunisasi serta riwayat berpergian anggota keluarga dalam 1
bulan terakhir. Anggota keluarga yang sakit campak di catat dalam formulir C1
sedangkan anggota keluarga yang sehat di catat dalam formulir pendataan anggota
keluarga sehat
b) Pendataan dimulai dari kasus pertama yang dilaporkan bergerak melingkar hingga
semua kasus yang terlaporkan dan kasus baru yang ditemukan terdata.
c) Ambil sampel pada kasus yang memenuhi kriteria spesimen adekuat :
‐ 5 – 10 serum dan 3 sampel urin dan kirim ke laboratorium nasional sesuai dengan
wilayah.
‐ Spesimen serum tiba di laboratorium tidak boleh lebih dari 5 hari dari waktu
pengambilan. Sedangkan spesimen urin tiba di laboratorium dalam 24 jam
pertama.
• Pendataan dilanjutkan ke wilayah yang mempunyai hubungan epidemiologi dengan
kasus-kasus yang ditemukan.
6) Tatalaksana kasus
a) Penderita dianjurkan istirahat di tempat tinggal
b) Beri antipiretik atau penurun panas
- Beri vitamin A, 2 kali sesuai dosis sebagai berikut :
Umur 0 - 6 bulan, bagi bayi yang tidak mendapatkan ASI , diberikan vitamin A
sebanyak 1 kapsul 50.000 IU pada saat penderita ditemukan, dan kapsul
kedua diberikan keesokan harinya.
Umur 6 – 11 bulan, pada saat penderita ditemukan, diberikan vitamin A
sebanyak 100.000 IU (kapsul biru) dan kapsul kedua diberikan pada hari
kedua.
Umur 12 – 59 bulan, saat penderita ditemukan, diberikan vitamin A sebanyak
1 kapsul 200.000 IU (kapsul merah), dan kapsul kedua diberikan pada hari
kedua.
Penderita dengan komplikasi mata mendapatkan tambahan dosis ke 3 vitamin
A pada 2 minggu setelah dosis ke 2.
- Komplikasi : bila ditemukan penderita dengan komplikasi seperti bronkopnemoni
dan atau diare harus dirujuk ke puskesmas/RS.
- Menggunakan masker selama 4 hari sejak mulai timbul ruam di kulit, untuk
menghindari penularan .
- Diberitahukan kepada orang tua penderita, bila ada gejala komplikasi atau
demam tetap tinggi, sesak napas, diare segera bawa ke pusk/RS.
8) Pelaporan
a) Latar Belakang
b) Metodologi
c) Analisa kasus campak /rubela
d) Analisa pelaksanaan program imunisasi (Manajemen, logistik, cakupan)
e) Upaya yang sudah dilakukan
f) Kesimpulan dan rencana tindak lanjut.
d. Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB campak/Rubela didasarkan pada analisis dan rekomendasi hasil
penyelidikan KLB, dilakukan sesegera mungkin agar transmisi virus dapat dihentikan dan KLB
tidak meluas serta dibatasi jumlah kasus dan kematian. Penanggulangan KLB campak /rubela
dilakukan dengan pemberian imunisasi tambahan (Outbreak Respon Immunization/ORI)
dengan strategi sebagai berikut:
1) Imunisasi selektif :
Imunisasi selektif dilakukan pada daerah dengan risiko sedang, yaitu bila cakupan imunisasi
>90% atau jumlah balita rentan belum mendekati jumlah <20% kohort bayi satu tahun, maka:
a) Dilakukan imunisasi campak kepada seluruh anak usia 6 bulan – 59 bulan yang tidak
mempunyai riwayat imunisasi campak (lisan maupun berdasarkan kartu/catatan) yang
berkunjung ke puskesmas maupun posyandu hingga 1 bulan dari kasus terakhir.
b) Meningkatkan cakupan imunisasi rutin di desa terjangkit dan sekitarnya, upayakan
semua anak sudah diimunisasi.
Lampiran 1
Provinsi : Kab./Kota :
Kecamatan : Puskesmas :
Desa : Dusun/RT :
I. IDENTITAS
Nama : Umur : Sex :
Alamat :
V. PEMERIKSAAN SPESIMEN
Sediaan yang diambil : Tanggal diambil serum...............................
Tanggal diambil urine...............................
Tanggal Penyelidikan :
Pelaksana
Lampiran 4
(Format C-2)
Lampiran 5
Formulir Permintaan PemeriksaanSpesimen
Yth. Laboratorium
Pengirim :
Definisi Operasional
1) Kasus probable (klinis) adalah kasus yang menunjukkan gejala-gejala demam, sakit
menelan, dan pseudomembran putih keabu-abuan, yang tidak mudah lepas dan mudah
berdarah.
2) Kasus konfirmasi adalah :
a) Kasus konfirmasi laboratorium adalah kasus probable disertai hasil laboratorium positif,
b) Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi adalah kasus probable yang ada hubungan
epidemiologi dg kasus konfirmasi laboratorium.
3) Kontak kasus adalah orang serumah, tetangga, teman bermain, teman sekolah, termasuk
guru, teman kerja yang kontak dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi
4) Carrier adalah kontak kasus yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi hasil pemeriksaan
laboratorium positif C. diphteriae.
5) KLB Difteri adalah ditemukannya minimal satu kasus difteri klinis.
6) Anak dengan Imunisasi Difteri lengkap adalah seorang anak yang sudah mendapat dosis
imunisasi difteri sesuai dengan usia.
b. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan KLB difteri bertujuan untuk mengetahui gambaran epidemiologi KLB
berdasarkan waktu kejadian, umur dan status imunisasi penderita, sehingga dapat diketahui
luas
wilayah yang terjangkit dan kelompok yang berisiko. Disamping itu juga untuk mendapatkan
faktor risiko terjadinya KLB sehingga dapat dilakukan tindak lanjut.
3) Persiapan investigasi :
a) Pembentukan tim investigasi dan siapkan surat Tugas
b) Mengumpulkan data informasi awal : Wilayah KLB (dataranrendah/tinggi), Total Populasi
dan populasi rentan di wilayah KLB, membuat mapping kasus sementara untuk
menentukan luas wilayah investigasi, mempersiapkan sarana dan prasarana (transportasi
dan bahan yang dibutuhkan selama penyelidikan), keamanan dan cuaca/musim.
c) Persiapan alat penyelidikan KLB :
‐ Format pendataan yang terdiri dari list individu kasus difteri, pedoman surveilans
difteri dan bahan KIE.
‐ Format pendataan status status imunisasi bukan kasus disekitar kasus
‐ Alat dan bahan pengambil spesimen dan obat-obatan sesuai kebutuhan seperti
media amis, swab tenggorok dan antibiotik untuk profilaksis.
‐ Formulir rujukan kasus ke RS bila ditemukan kasus baru saat penyelidikan di
lapangan.
‐ Informasikan kepada pihak terkait tentang rencana investigasi lapangan seperti
Kecamatan, RT, RW, sekolah dan pihak keamanan.
4) Investigasi lapangan
a) Mendata Usia dan status imunisasi serta riwayat berpergian anggota keluarga dalam 2
minggu terakhir. Anggota keluarga yang sakit difteri di catat dalam formulir list kasus
difteri sedangkan anggota keluarga yang sehat di catat dalam formulir formulir pendataan
status imunisasi bukan kasus.
b) Pendataan dimulai dari kasus pertama yang dilaporkan bergerak melingkar hingga
semua kasus yang terlaporkan terdata dan kasus baru yang ditemukan.
c) Kasus yang ditemukan dirujuk ke RS dan mengindentifikasi kontak kasus (erat) sejak mulai
masa inkubasi untuk mencari kasus tambahan dan karier serta diberikan profilaksis.
d) Pendataan dilanjutkan ke wilayah yang mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus
– kasus yang ditemukan.
e) Ambil sampel apus tenggorok pada kasus sebelum diberikan antibiotik dan minimal 20
kontak kemudian kirimkan sampel ke laboratorium untuk pemeriksaan pemeriksaan PCR
dan kultur bakteri C. diptheriae.
6) Tatalaksana kasus
a) Penderita dirujuk ke RS dan dirawat dalam ruangan terpisah dengan penderita lain.
b) Penderita diberikan antibiotik (eritromicin) dengan dosis 40 - 50 kg/BB/hari maksimal 2
gram/hari yang dibagi dalam 4 dosis diberikan selama 14 hari. Sedangkan kontak
diberikan antibiotik yang sama sebagai profilaksis selama 10 hari.
c) Penderita diberikan Anti Difteri Serum (ADS) didahului dengan test sensitifitas. Dosis
pemberian ADS sesuai kondisi penyakit sebagai berikut :
d) Berikan penjelasan cara minum obat dan efek samping obat, obat diminum setelah makan
untuk menghindari iritasi lambung yang merupakan efek samping obat.
e) Diperlukan 1 orang yang akan memantau dalam minum obat untuk setiap kelompok
kontak erat (PMO).
8) Pelaporan
a) Latar Belakang
b) Metodologi
c) Analisa kasus Difteri
d) Analisa pelaksanaan program imunisasi (Manajemen, logistik, cakupan)
e) Upaya yang sudah dilakukan
f) Kesimpulan dan rencana tindak lanjut.
c. Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB Difteri ditujukan pada upaya pengobatan penderita untuk
mencegah komplikasi yang berat serta sekaligus menghilangkan sumber penularan.
Penanggulangan KLB difteri dilakukan dengan pemberian imunisasi tambahan (Outbreak
Respon Immunization/ORI). Sasaran imunisasi (ORI) adalah anak usia 1-15 tahun atau usia
tertinggi kasus terjadi, dengan jenis vaksin berdasarkan kelompok umur yaitu :
1) Umur 2 bulan s.d 3 tahun diberikan vaksin DPT-HB-Hib,
2) Umur > 3 tahun s.d 7 tahun diberikan vaksin DT
3) Umur > 7 tahun diberikan vaksin Td
Respon immunisasi dilakukan di wilayah KLB berdasarkan hasil cakupan maka dilakukan
respon imunisasi dengan dua strategi, sebagai berikut :
1) Imunisasi selektif bila cakupan immunisasi dasar DPT-HB >90% dilakukan bagi sasaran yang
belum mendapatkan imunisasi lengkap sesuai dengan usia dengan ketentuan sebagai
berikut:
a) Pada semua usia, bila status imunisasi dasar diketahui < 3 dosis, maka segera lengkapi
dosis imunisasi difteri (3 dosis), dengan interval waktu pemberian sesuai usia anak.
b) Anak usia 18 bulan, bila status imunisasi dasar diketahui sudah lengkap imunisasi
dasar 3 dosis tetapi belum mendapatkan imunisasi booster, maka diberikan 1 dosis
sebagai booster.
Interval waktu pemberian 3 dosis imunisasi dasar:
‐ Pada usia < 1 tahun: antara dosis pertama - kedua dan dosis kedua – ketiga interval 1
bulan.
‐ Pada usia > 1 tahun: antara dosis pertama – kedua interval 1 bulan dan dosis kedua –
ketiga interval 6 bulan.
2) Immunisasi masal bila cakupan immunisasi dasar DPT-HB-Hib <90% berturut-turut selama 3
tahun terakhir, dilaksanakan sebanyak 3 putaran dengan interval 1 bulan.
Lampiran 1
I. Identitas Pelapor
1 Nama :
2 Nama Kantor & Jabatan :
3 Kabupaten/Kota :
4 Provinsi :
5 Tanggal Laporan : / /200_
V. Riwayat Kontak
1. Dalam 2 minggu terakhir sebelum sakit apakah penderita pernah bepergian
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas
Jika Pernah, kemana:
2. Dalam 2 minggu terakhir sebelum sakit apakah penderita pernah berkunjung
ke rumah teman/saudara yang sakit/meninggal dengan gejala yang sama:
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas Jika Pernah, kemana:
3. Dalam 2 minggu terakhir apakah pernah menerima tamu dengan sakit dengan
gejala yang sama:
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas Jika Pernah, dari mana:
VI. Kontak kasus (Semua kontak didata status imunisasinya, namun hanya 20
kontak yang diambil swab tenggorok)
STATUS
NAMA/UMUR HUB DG KASUS HASIL LAB PROFILAKSIS
IMUNISASI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Lampiran 2
Spesimen
Jenis Tgl mulai Vaksin Difteri
Nomor Umur Hasil Kontak Keadaa
kelami sakit Sebelum Sakit Tanggal
No Nama Alamat (Kec. Dan Desa/ Kel.) Klasifikasi
Epidemiologi Ambil n Akhir
n (L/P) (demam) Berapa Tidak / Tdk Kultur Mikroskop Jumla diambil
Thn Bln Kali Tahu h spec (swab Positif
Tenggoro Hidun Tenggoro Hidun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Catatan:
Form ini dilaporkan bulanan ada kasus maupun tidak ada kasus dan kasus yang dilaporkan adalah kasu baru
No : Jelas Hasil Pemeriksaan Spesimen : Hasil pemeriksaan laboratorium (Kultur dan Mikroskopis),
Nomorepid : diisi dengan hurup D (difteri), 2 digit Kode provinsi, 2 Digit Kode kab/kota, isi dengan tanda + (positif) dan - (negatif) dikolom hasil
2 Digit tahun kejadian, 3 digit nomor kasus Contoh : D.13.29.11.001 Klasifikasi : Hasil kesimpulan akhir penderita, isi dengan Probabel atau Konfirmasi
( artinya : Kasus pertama di tahun 2011 dari Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur ) - Probable (WHO 2003) = Faringitis, Laringitis/Tonsilitis dan ditemukan membran
Nama : Jelas yang melekat pada faring/laring atau mucosa hidung
Umur (Tahun) : Umur berdasarkan ulang tahun terkahir (isi dengan angka) - Konfirm (WHO 2003) = Probable yang ditemukan kuman difteria
Umur (Bulan) : Bulan lahir (isi dengan angka) pada pemeriksaan spesimen ATAU ada link epidemiology dengan kasus konfirm.
Jenis kelamin : Jenis kelamin penderita (isi dengan L jika laki-laki dan P jika perempuan) Kontak : Jumlah kontak erat dengan kasus, selama 7 hari sejak kontak terakhir. (isi dengan
angka)
Alamat : Alamat tempat tinggal penderita 7 hari sebelum sakit yang terdiri dari Kecamakontak yang diambil specimen : Jumlah kontak yang diambil spesimennya (isi dengan angka)
Vaksin Difteri : Berapa kali penderita mendapat vaksin difteri (DPT/DT dan Td), tidak mendapHasil Spesimen Positif kontak : Jumlah kontak yang hasil labnya positif
Tanggal ambil spesimen : Tanggal pengambilan Spesimen Keadaan akhir kasus : isi dengan sehat atau meninggal
Mengetahui,
(.................................................)
Lampiran 3
Format Laporan Penyelidikan KLB Difteri
Gejala/Tanda utama
Kabupaten/Kota :………………………………………..
Laporan Tanggal :…………………………
Status Imunisasi
Kontak
Sex
Umur
Riwayat Penyakit
Tgl. Berobat
Lokas/DesaKecamatan
Obat/Tindakan
St. pulang
St. rawat
Diagnosis
Keterangan
Alamat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Difteri
Difteri
3. PERTUSIS
Pertussis atau Whooping Cough (dalam bahasa Inggris), di Indonesia lebih dikenal sebagai
batuk rejan adalah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan. Di dunia terjadi
sekitar 30 sampai 50 juta kasus per tahun, dan menyebabkan kematian pada 300.000 kasus (data
dari WHO). Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. 90 persen kasus ini
terjadi di negara berkembang. Serangan pertusis yang pertama tidak selalu memberikan
kekebalan penuh. Jika terjadi serangan pertusis kedua, biasanya bersifat ringan dan tidak selalu
dikenali sebagai pertusis.
a. Gambaran Klinis
Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan
tenggorokan, trakea dan saluran pernapasan sehingga pembentukan lendir semakin banyak.
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.
Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembang melalui 3 tahapan:
1) Tahap kataral (mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi)
gejalanya menyerupai flu ringan; bersin-bersin, mata berair, nafsu makan berkurang, lesu,
batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari).
2) Tahap paroksismal (mulai timbul dalam waktu 10-14 hari setelah timbulnya gejala awal).
Batuk 5- 15 kali diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan nada tinggi. Setelah
beberapa kali bernafas normal, batuk kembali terjadi diakhiri dengan menghirup nafas
bernada tinggi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir yang biasanya
ditelan oleh bayi/anak- anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya). Batuk
atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa
diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apneu (henti
nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
tinggi.
3) Tahap konvalesen (mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal). Batuk
semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang
batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
b. Etiologi
Penyebab Pertussis adalah Bordetella pertussis, basil pertusis; Bordetella
parapertussis adalah penyebab parapertusis.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi umumnya 7-20 hari, rata-rata 7-10 hari.
e. Pengobatan
1) Jika penyakitnya berat, penderita biasanya dirawat di rumah sakit dan ditempatkan di
dalam kamar yang tenang dan tidak terlalu terang, agar tidak merangsang serangan
batuk.
2) Pengisapan lendir dari tenggorokan bila perlu.
3) Pada kasus yang berat, oksigen diberikan langsung ke paru-paru melalui selang yang
dimasukkan ke trakea.
4) Untuk menggantikan cairan yang hilang karena muntah dan karena bayi biasanya tidak
dapat makan akibat batuk, maka diberikan cairan melalui infus.
5) Gizi yang baik sangat penting, dan sebaiknya makanan diberikan dalam porsi kecil tetapi
sering.
6) Pemberian Antibiotik yang efektif terhadap pertusis (seperti azithro-Mycin, eritromisin
atau trimetoprim-sulfametoksazol) harus diberikan ke semua kontak dekat orang dengan
pertusis, tanpa memandang usia dan status vaksinasi.
f. Epidemiologi
Penyakit endemis yang sering menyerang anak-anak (khususnya usia dini) tersebar di
seluruh dunia, tidak tergantung etnis, cuaca ataupun lokasi geografis. KLB terjadi secara
periodik. Sekitar 80% kematian terjadi pada anak-anak berumur dibawah 1 tahun, dan 70%
terjadi pada anak berumur dibawah 6 bulan. Case Fatality Rate (CFR) di bawah 1% pada bayi
dibawah 6 bulan. Angka kesakitan sedikt lebih tinggi pada wanita dewasa dibanding pria.
Pada kelompok masyarakat yang tidak diimunisasi, khususnya mereka dengan kondisi
dasar kurang gizi dan infeksi ganda pada saluran pencernaan dan pernapasan, pertusis dapat
menjadi penyakit yang mematikan pada bayi dan anak-anak. Pneumonia merupakan sebab
kematian yang paling sering. Encephalopathy yang fatal, hypoxia dan inisiasi karena muntah
yang berulang kadang- kadang dapat terjadi.
I. Identitas Pelapor
1. Nama :
2. Nama Kantor & Jabatan :
3. Kabupaten/Kota :
4. Provinsi :
5. Tanggal Laporan : / /20
Nama :
Nama Orang Tua/KK :
Jenis Kelamin : [1] Laki-laki [2]. Peremp, Tgl. Lahir : / / , Umur : th, bl
Pekerjaan :
Alamat Tempat Kerja :
IV.Riwayat Pengobatan
Penderita berobat ke:
A. Rumah Sakit Dirawat Y/T
B. Puskesmas Dirawat Y/T
C. Dokter Praktek
D. Perawat/mantri/Bidan
E. Tidak Berobat
Antibiotik:
Obat lain:
Kondisi Kasus saat ini:
a. Masih Sakit b. Sembuh c. Meninggal
V. Riwayat Kontak
Dalam 2 minggu terakhir sebelum sakit apakah penderita pernah berkunjung ke rumah
teman/saudara yang sakit/meninggal dengan gejala yang sama:
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas
Dalam 2 minggu terakhir apakah pernah menerima tamu dengan sakit dengan gejala yang
sama:
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas
VI.Kontak kasus
STATUS
NAMA/UMUR HUB DG KASUS HASIL LAB PROFILAKSIS
IMUNISASI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Lampiran 2
Upaya penanggulangan :
1. rencana penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pencegahan,
2. rencana surveilans
3. rencana penyelidikan lanjutan apabila diperlukan
Riwayat Penyakit
Keterangan
Sex
Tgl. Berobat
Kontak
Nama Penderita
Umur
St..Imun
Lokas/DesaKeca
Gejala/Tanda
St. pulang
St. Rawat
Obat/Tindakan
Diagnosis
utama
Alamat
matan
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Pertusis
Pertusis
Catatan : laporan surveilans epidemiologi berupa laporan perorangan kasus, baik Kab/kota,
maupun Provinsi
4. POLIOMYELITIS
a. Pendahuluan
Poliomyelitis (polio) adalah penyakit virus yang sangat menular, terutama pada anak-anak
yang menyerang sistem saraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan.
Virus terdiri dari 3 strain yaitu strain-1 (Brunhilde), strain-2 (Lansig), dan strain-3 (Leon),
termasuk family Picornaviridae. Perbedaan tiga jenis strain terletak pada sekuen
nukleotidanya. VP1 adalah antigen yang paling dominan dalam membentuk antibodi
netralisasi. Strain-1 adalah yang paling paralitogenik dan sering menimbulkan wabah, sedang
strain-2 paling jinak. Masa inkubasi biasanya memakan waktu 3-6 hari, dan kelumpuhan terjadi
dalam waktu 7-21 hari.
Sumber dan Cara Penularan berasal dari virus ditularkan oleh infeksi droplet dari orofaring
(saliva) atau tinja penderita yng infeksius. Penularan terutama terjadi dari penularan langsung
manusia ke manusia (fekal oral atau oral-oral).
Pada fase eradikasi Polio sejak 1997, kasus Poliomyelitis sangat sulit ditemukan sehingga
untuk menilai sensitifitas penemuan digunakan indikator penemuan kasus AFP yang
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium tinja penderita.
b. Definisi operasional :
1. Kasus AFP : semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya
flaccid (layuh), proses terjadi kelumpuhan secara akut (<14 hari), serta bukan disebabkan
oleh ruda paksa.
2. Hot Case adalah kasus-kasus yang sangat menyerupai polio yang ditemukan < 6 bulan sejak
kelumpuhan dan spesimennya tidak adekuat perlu dilakukan pengambilan sampel kontak.
Kategori Hot Case dibuat berdasarkan kondisi spesimen yang tidak adekuat pada kasus yang
sangat menyerupai polio. Terdapat 3 Kategori Hot Case yaitu A, B, dan C dengan kriteria
sebagai berikut:
Kategori A:
a) Spesimen tidak adekuat,
b) Usia < 5 tahun,
c) Demam,
d) Kelumpuhan tidak simetris.
Kategori B:
a) Spesimen tidak adekuat,
b) Dokter mendiagnosa suspect poliomyelitis.
Kategori C:
a) Spesimen tidak adekuat,
b) Kasus mengelompok 2 atau lebih (cluster)
3. Hot Case Cluster adalah :
a) 2 kasus AFP atau lebih,
b) Berada dalam satu lokasi (wilayah epidemiologi),
c) Beda waktu kelumpuhan satu dengan yang lainnya tidak lebih dari 1 bulan.
4. VDPV (Vaccine Derived Polio Virus) adalah kasus polio (confirmed polio) yang disebabkan
virus polio vaksin yang telah bermutasi
5. Kasus polio pasti (confirmed polio case): Kasus AFP yang pada hasil laboratorium tinjanya
ditemukan virus polio liar (VPL), cVDPV (circulating Vaccine Derived Polio Virus), atau hot
case dengan salah satu spesimen kontak positif VPL/VDPV.
6. Kasus polio kompatibel : Kasus AFP yang tidak cukup bukti untuk diklasifikasikan sebagai
kasus non polio secara laboratoris (virologis) yang dikarenakan antara lain:
a) Spesimen tidak adekuat dan terdapat paralisis residual pada kunjungan ulang 60 hari
setelah terjadinya kelumpuhan.
b) Spesimen tidak adekuat dan kasus meninggal atau hilang sebelum dilakukan kunjungan
ulang 60 hari.
Kasus polio kompatibel hanya dapat ditetapkan oleh Kelompok Kerja Ahli Surveilans AFP
Nasional berdasarkan kajian data/dokumen secara klinis atau epidemiologis maupun
kunjungan lapangan.
7. KLB polio : ditemukannya minimal satu kasus polio pasti.
8. Kejadian KLB polio dapat dinyatakan berakhir setelah paling sedikit selama enam bulan
sejak ditemukan virus polio terakhir, tidak ditemukan virus polio melalui surveilans AFP
yang adekuat.
9. Surveilans AFP adekuat: bila tercapai penemuan kasus AFP dengan Non Polio AFP rate
minimal 2/ 100,000 anak < 15 tahun, spesimen adekuat minimal 80 % serta Kelengkapan &
Ketepatan laporan mingguan minimal masing-masing 90 % & 80 %.
10.Spesimen AFP berupa tinja yang diambil pada kasus AFP yang lama lumpuhnya belum lebih
dari 2 bulan.
11.Spesimen Adekuat adalah :
2 spesimen dapat dikumpulkan dengan tenggang waktu minimal 24 jam.
a) Waktu pengumpulan ke 2 spesimen tidak lebih dari 14 hari sejak terjadi kelumpuhan.
b) Masing-masing spesimen minimal 8 gram (sebesar satu ruas ibu jari orang dewasa), atau
1 sendok makan bila penderita diare.
Pada saat diterima di laboratorium dalam keadaan:
1) 2 spesimen tidak bocor.
2) 2 spesimen volumenya cukup.
3) Suhu dalam spesimen karier 2 - 8° C.
4) 2 spesimen tidak rusak(kering, dll).
12.Kontak adalah anak usia < 5 tahun yang berinteraksi serumah atau sepermainan dengan
kasus sejak terjadi kelumpuhan sampai 3 bulan kemudian.
c. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi kasus polio adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
sistematis (pengumpulan data dan informasi, pengolahan dan analisis) di lokasi kejadian untuk:
1) Identifikasi adanya penularan setempat
2) Identifikasi wilayah dan populasi berisiko terjadinya kasus atau daerah risiko tinggi
terjadinya penularan
3) Identifikasi desa yang perlu segera dilaksanakan Imunisasi Polio Terbatas (ORI)
4) Identifikasi Provinsi yang akan melaksanakan imunisasi mopping up
d. Penanggulangan KLB
Penanggulangan KLB polio didasarkan pada analisis dan rekomendasi hasil penyelidikan
KLB, dilakukan sesegera mungkin agar transmisi virus dapat dihentikan dan KLB tidak meluas
serta dibatasi jumlah kasus dan kematian. Penanggulangan KLB polio dilakukan dengan
pemberian imunisasi tambahan (Outbreak Respon Immunization/ORI). Jenis OPV (Oral Polio
Vaksin) yang diberikan sesuai dengan jenis VPL/VDPV yang sedang terjadi KLB, bila KLB
VPL/VDPV tipe 1 atau 3 maka diberikan b-OPV (tipe 1 dan 3), bila KLB VPL/VDPV tipe 2 maka
diberikan m-OPV tipe 2.
Strategi Penanggulangan sebagai berikut:
1) Respon Imunisasi OPV Terbatas (Outbreak Response Immunization)
Imunisasi OPV Terbatas atau disebut Outbreak Response Immunization (ORI) adalah
pemberian 2 tetes vaksin polio oral (OPV) kepada setiap anak berumur <5 tahun di
desa/kelurahan berisiko penularan virus polio (terutama desa tempat tinggal kasus dan
desa- desa sekitarnya) tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya, sesegera mungkin
(3x24 jam pertama) dan selambat-lambatnya minggu pertama sejak terdeteksi adanya kasus
atau virus polio. Imunisasi OPV Terbatas (ORI) tidak dilakukan lagi dalam seminggu terakhir
sebelum pelaksanaan Imunisasi Mopping up.
Tujuan Imunisasi OPV Terbatas untuk mencegah timbulnya penyakit polio pada anak-
anak yang kontak erat serumah, sepermainan (penularan langsung) dan anak-anak yang
kemungkinan tertular virus polio melalui pencemaran virus polio secara fekal-oral
2) Pelaksanaan Imunisasi Mopping Up
Imunisasi mopping–up dilaksanakan pada wilayah yang telah bebas polio, yang
berisiko transmisi virus polio yang dibuktikan melalui surveilans AFP yang memenuhi
standar kinerja WHO. Imunisasi mopping-up adalah pemberian 2 tetes vaksin OPV yang
diberikan secara serentak pada setiap anak berusia < 5 tahun tanpa melihat status imunisasi
polio sebelumnya serta dilaksanakan sebagai kampanye intensif dari rumah ke rumah dan
mencakup daerah yang sangat luas.
Seringkali untuk memudahkan pemahaman masyarakat tentang tindakan imunisasi
ini, maka Imunisasi mopping-up pada satu atau beberapa Provinsi disebut sebagai Sub
Pekan Imunisasi Nasional (Sub-PIN), sementara Imunisasi Mopping Up di seluruh wilayah
Indonesia disebut sebagai Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
b. Definisi Operasional
1. Kasus pasti/konfirm tetanus neonatorum :
- Bayi lahir hidup dapat menangis dan menetek selama 2 hari pertama, kemudian
mulut mencucu (trismus) sehingga sulit menetek disertai kejang rangsang, yang
dapat terjadi sejak umur 3 - 28 hari
- Kasus TN yang didiagnosa oleh dokter atau petugas kesehatan terlatih.
2. Kasus tersangka/suspek tetanus neonatorum :
- Kematian neonatus umur 3 – 28 hari yang tidak diketahui penyebabnya.
- Kasus atau kematian TN yang didiagnosa oleh bukan dokter atau petugas
kesehatan terlatih tetapi tidak diinvestigasi.
3. Penentuan kriteria kasus tetanus neonatorum tidak berdasarkan pemeriksaan laboratorium
tetapi berdasarkan gejala klinis dan diagnosis dokter atau tenaga kesehatan terlatih
4. Imunisasi TT2+ adalah status imunisasi TT ibu saat kehamilan minimal 3 kali TT dengan
interval pemberian TT1 ke TT1 1 bulan, TT2 ke TT3 6 bulan, TT3 ke TT4 1 tahun, dan TT4 ke
TT5 1 tahun.
5. “Protected At Birth (PAB)” adalah kekebalan ibu saat melahirkan berdasarkan status TT
terakhir dan waktu pemberiannya. Lama kekebalan berdasarkan status TT sebagai berikut:
Status TT2 mempunyai kekebalan selama 3 th
Status TT3 mempunyai kekebalan selama 10 th
Status TT4 mempunyai kekebalan selama 15 th
Status TT5 mempunyai kekebalan selama 25 th
6. Petugas kesehatan terlatih adalah petugas kesehatan yang pernah mengikuti palatihan
surveilans TN
7. Faktor risiko TN adalah semua keadaan yang berpotensi menyebabkan terjadinya TN,
meliputi status imunisasi ibu sebelum melahirkan, pemotongan tali pusat dan perawatan
tali pusat.
c. Penyelidikan Epidemiologi
1. Tujuan penyelidikan :
a) Menetapkan diagnosis TN
b) Mencari kasus tambahan TN
c) Mengetahui faktor risiko TN
d) Mengetahui gambaran epidemiologi TN
a) Menetapkan diagnosis TN
1) Melakukan wawancara terhadap petugas yang menemukan/memeriksa/merawat
kasus, orang tua kasus, penolong persalinan dan petugas ante natal care untuk
mendapatkan informasi faktor risiko kasus TN
2) Dengan menggunakan formulir T2 (terlampir), lengkapi identitas bayi (I. nomor 1-
9), dan riwayat kesakitan/kematian bayi (II. Nomor 1-15) serta penetapan faktor
risiko (III & IV). Kemudian dengan menggunakan kriteria diagnosis, ditetapkan
diagnsosis TN dan faktor risikonya sesuai dengan definisi operasional.
Apabila ditemukan kasus tambahan atau kematian bayi umur 3-28 hari dalam periode
3 bulan terakhir, maka dilakukan kunjungan dan wawancara dengan menggunakan
formulir T2. Mengumpulkan data cakupan imunisasi TT desa, persalinan oleh tenaga
kesehatan dan cakupan kunjungan neonatal desa kasus bersumber dari Puskesmas.
d. Penanggulangan KLB
e. Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pernapasan sampai pulih.
Tindakan ini dilakukan oleh petugas kesehatan dengan memperhatikan prinsip penanganan
TN:
1) Perawatan luka dengan menggunakan H2O2
2) Pemberian Antibiotik dengan jenis dan dosis yang tepat
3) Pemberian Anti Toksin berupa Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG) atau Anti Tetanus
Serum (ATS) yang diberikan dengan dosis dan cara yang benar
4) Pemberian anti kejang sesuai kebutuhan
5) Pemberian imunisasi DPT setelah 4 – 6 minggu pemberian anti toksin.
1) Cakupan imunisasi rutin TT harus dipertahankan, setidaknya cakupan ibu hamil mencapai
minmal 80% dan diperkuat pada daerah dengan cakupan di bawah 80%.
2) Kampanye imunisasi tambahan TT diperlukan di daerah-daerah terpencil, di mana layanan
imunisasi rutin tidak dapat diberikan dengan optimal.
3) Program imunisasi ulangan melalui BIAS DT dan Td harus tetap dilaksanakan dengan baik
dan ditingkatkan cakupannya.
4) Program imunisasi ulangan melalui imunisasi TT Calon Pengantin harus tetap dilaksanakan
dengan baik.
5) Perbaikan pencatatan pada kartu imunisasi TT untuk Ibu untuk mempermudah evaluasi
status TT
6) Peningkatan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan di fasilitas kesehatan.
Persalinan oleh dukun masih tinggi, diperlukan peningkatan kemitraan bidan-dukun dan
edukasi agar masyarakat mau bersalin dengan tenaga kesehatan dan di fasilitas kesehatan.
7) Kit persalinan bersih harus dijamin ketersediaannya untuk semua persalinan baik di fasilitas
kesehatan maupun di rumah (oleh tenaga kesehatan)
8) Edukasi masyarakat dalam perawatan tali pusat bayi baru lahir agar tidak menggunakan
apapun, hanya dibersihkan dengan air dan sabun dan dibiarkan kering
9) Surveilans dengan kualitas yang baik harus tetap dilaksanakan disertai dangan investigasi
kasus TN dan respons masyarakat jika ditemukan kasus pada daerah dengan cakupan TT
dan tenaga kesehatan yang rendah.
Lampiran 1
Formulir-T2
===============================================================
I. IDENTITAS BAYI
1. Nama bayi : Laki-Iaki/Perempuan Anak ke :
2. NamaAyah : Umur : Th Pendidikan : Pekerjaan :
3. Nama Ibu : Umur : Th Pendidikan : Pekerjaan :
4. Alamat: Jl. Rt. Rw. No.
Dusun : Kelurahan /Desa :
Kabupaten :
Kecamatan :
1. Apakah ibu pernah mendapat lmunisasi TT pada waktu hamil bayi ini : a. Ya b. tidak
2. Sumber informasi lmunisasi TT: a. Ingatan b. Buku catatan
3. Berapa kali mendapat imunisasi TT pada saat kehamilan bayi tersebut :
a. Pertama kali : bulan, tgl. Imunisasi :
b. Kedua kali : bulan. tgl. Imunisasi:
4. Pernahkah ibu mendapat imunisasi TT pada kehamilan sebelumnya : a. Ya b. Tidak
Bila "Ya": kapan mendapat suntikan :
a. Kehamilan ke : Berapa kali :
b. Kehamilan ke : Berapa kali :
c. Kehamilan ke : Berapa kali :
d. Kehamilan ke : Berapa kali :
e. Kehamilan ke : Berapa kali :
Pernahkah ibu mendapat suntikan TT calon pengantin : a. ya b. Tidak Bila ”Ya” kapan
mendapat suntikan: a. Tahun : b. Berapa kali :
5. Tentukan status TT ibu pada saat kehamilan bayi tersebut berdasarkan jawaban no 3 dan 4 dengan
mempertimbangkan interval waktu pemberian TT :
a. TT1 b. TT2 c. TT3 d. TT4 e.TT5
IV. RIWAYAT PERSALINAN
No Kehamilan Ke Nama Alamat Tempat Persalinan
1
2
1. Tali pusat dipotong dengan :
a.Gunting b.Silet c.Pisau d. Sembilu e. Tidak tahu f. Lain-Iain: 2. Setelah tali pusat dipotong obat
apa saja yang dibubuhkan di tali pusat .
a. Alkohol b. Betadin /Yodium c. Ramuan tradisional :
3. Siapa yang merawat tali pusat sejak lahir sampai tali pusat puput .
a. Tenaga kesehatan b. Bukan Tenaga kesehatan
4. Obat/ramuan apa yang dibubuhkan selama merawat tali pusat :
Tim Pelacak :
No Nama Jabatan Tanda Tangan
1
2
3
6. MENINGITIS MENINGOKOKUS
Meningitis meningokokus adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri meningokokus,
yang dapat menginfeksi selaput otak dan sumsum tulang belakang. Penyakit ini jika tidak
ditangani dengan segera dapat menyebabkan kerusakan otak dan berakibat fatal pada 50%
kasus. Terdapat berbagai macam bakteri yang dapat menyebabkan meningitis. Neisseria
Meningitidis merupakan salah satu bakteri yang berpotensi menyebabkan wabah yang besar.
Terdapat 12 macam serogroup N. Meningitidis yang telah diidentifikasi, 6 diantaranya (A, B, C,
W, X dan Y) dapat menyebabkan wabah. Salah satu upaya pencegahan dapat dilakukan dengan
vaksinasi. Wilayah yang dikenal sebagai meningitis belt adalah sub-sahara Afrika yang
membentang dari Senegal di bagian Barat sampai ke Ethiopia di Bagian Timur.
a. Gambaran Klinis
Gejala yang paling umum adalah demam mendadak, nyeri kepala hebat, mula dan
sering disertai muntah, kaku kuduk dan seringkali timbul ruam petekie dengan makula
merah muda atau sangat jarang berupa vesikel. Sering terjadi delirium dan koma; pada
kasus berat timbul gejala prostrasi mendadak, ekimosis dan syok. Meningitis bakteri dapat
mengakibatkan kerusakan otak, gangguan pendengaran atau ketidakmampuan belajar pada
10% sampai 20% dari korban. Meningococcemia dapat timbul tanpa mengenai selaput otak
dan harus dicurigai pada kasus-kasus demam akut yang tidak diketahui penyebabnya
dengan ruam petekie dan lekositosis.
Diagnosis
Diagnosis awal meningitis meningokokus dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis
diikuti dengan pungsi lumbal yang menunjukkan cairan tulang belakang (LCS) bernanah.
Diagnosis pasti dibuat dengan ditemukannya meningokokuspada LCS atau darah. Pada
kasus dengan kultur negatif diagnosis dibuat dengan ditemukannya polisakarida terhadap
grup spesifik meningokokus pada LCS dengan teknik IA, CIE dan teknik koaglutinasi, atau
ditemukannya DNA meningokokus pada LCS atau pada plasma dengan PCR. Pemeriksaan
mikroskopis dengan pewarnaan gram, sediaan yang diambil dari petekie.
b. Etiologi
Neisseria meningitidis, suatu jenis meningokokus dengan beberapa serogrup telah di
identifikasi menyebabkan meningitis, yaitu grup A, B, C, W135, X, Y dan Z. KLB N.
Meningitidis biasanya disebabkan oleh strain yang berdekatan. Grup A, B, C, W135, dan X
dapat menyebabkan Epidemic Distribusi Geografis dan kemampuan epidemi berbeda sesuai
dengan serogrup tersebut.
c. Masa inkubasi
Masa inkubasi rata-rata adalah 3-4 hari, tetapi dapat bervariasi antara 2-10 hari.
f. Pengobatan
Meningokokal berpotensi kematian dan harus mendapatkan pengobatan di
fasyankes, meskipun tidak membutuhkan perawatan di ruang isolasi. Penisilin injeksi
merupakan obat pilihan, selain itu ampisilin dan kloramfenikol juga efektif. Pengobatan
harus segera diberikan bila diagnosis terhadap tersangka telah ditegakkan, bahkan sebelum
bakteri diidentifikasi. Pada anak-anak diberikan ampisilin dikombinasikan dengan generasi
ketiga cephalosporin atau dengan kloramfenikol, atau dengan vancomycin. Penderita
dengan infeksi meningokokus harus diberi rifampisin sebelum dipulangkan dari rumah sakit
bila sebelumnya tidak diberikan obat generasi ketiga cephalosporin atai ciprofloxacin. Hal
ini untuk memastikan bahwa bakteri telah terbasmi.
g. Epidemiologi
Wilayah yang selama ini diketahui sebagai daerah dengan insidens tinggi adalah
Afrika Tengah dimana infeksi disebabkan oleh grup A. pada tahun 1996 wabah
meningokokus dilaporkan terjadi di Afrika Barat dengan total penderita yang dilaporkan
150.000 penderita. Penyebaran meningitis sub-Sahara Afrika yang memiliki tingkat
intensitas penyakit tertinggi, membentang mulai dari wilayah barat Senegal ke wilayah
timur Ethiopia. Pada tahun 2014, hasil peningkatan pelaksanaan surveilans di 19 negara
Afrika dilaporkan total kasus suspek sejumlah 11.908 orang, dengan kematian 1.146 orang.
Lampiran 1
FORMULIR PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI MENINGITIS
I. Identitas Pelapor
1. Nama :
2. Nama Kantor & Jabatan :
3. Kabupaten/Kota :
4. Provinsi :
5. Tanggal Laporan : _/_ _/20
1. Nama :
2. Nama Orang Tua/KK :
3. Jenis Kelamin : [1] Laki-laki [2]. Peremp, Tgl. Lahir : / / _, Umur :__ th, bl
4. Tempat Tinggal Saat ini :
Alamat (Jalan, RT/RW, Blok, Pemukiman) :
Desa/Kelurahan : , Puskesmas:
Kecamatan : , Kabupaten/Kota :
Provinsi: Tel/HP :
5. Pekerjaan :
6. Alamat Tempat Kerja :
7. Orang tua/ Saudara dekat yang dapat dihubungi :
Alamat (Jalan, RT/RW, Blok, Pemukiman) :
Desa/Kelurahan : , Kecamatan :
Kabupaten/Kota : , Provinsi : Tel/HP :
V. Riwayat Kontak
Dalam 1 bulan terakhir sebelum sakit apakah penderita pernah berkunjung ke rumah
teman/saudara yang sakit/meninggal dengan gejala yang sama:
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas
Dalam 1 bulan terakhir apakah pernah menerima tamu dengan sakit dengan gejala yang sama:
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas
STATUS
NAMA/UMUR HUB DG KASUS HASIL LAB PROFILAKSIS
IMUNISASI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Lampiran 2
Lampiran 3
Obat/Tindak an
Keterangan St..Imun
Gejala/Tanda utama
Riwayat Penyakit
Nama Penderita
Alamat Lokas/DesaK
Kontak
Tgl. Berobat
Sex
St. Pulang
St. Rawat
Umur
Diagnosis
ecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Difteri
Difteri
Catatan : laporan surveilans epidemiologi berupa laporan perorangan kasus, baik Kab/kota, maupun Provinsi.
E. PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN
1. INFLUENZA A BARU
Influenza adalah salah satu penyakit infeksi virus yang sangat mudah menular antar
manusia dan dapat menyebabkan pandemi. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae,
dan pertama kali di isolasi pada tahun 1932.
Influenza dapat menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian, serta berpotensi
terjadinya pandemi. Selain itu adanya kekhawatiran kemungkinan perubahan atau mutasi genetik
dari virus influenza yang ada menjadi lebih lebih berat daripada saat ini.
Di dunia telah terjadi lima kali pandemi influenza A sejak tahun 1918 dan terjadi berulang
setiap 10 sampai 40 tahun. Pandemi influenza yang terakhir terjadi pada tahun 2009. Hampir
semua pandemi disebabkan oleh Influenza tipe A yang mematikan, seperti pandemi H1N1 pada
tahun 1918 yang telah menyebabkan kematian 40 sampai 50 juta orang di seluruh dunia. Adapun
pandemi influenza pada tahun 1918 juga terjadi di Indonesia mengakibatkan kematian 1,5 juta
orang dan khusus untuk pulau Jawa kematian mencapai 4,26 – 4,37 juta orang. Selain pandemi
yang disebabkan oleh virus influenza A (H1N1), tercatat juga beberapa subtipe virus lainnya, yaitu
virus influenza A (H2N2) yang menyebabkan pandemi tahun 1957-1958 dan virus infleunza A
(H3N2) yang menyebabkan pandemi tahun 1968. Pandemi yang terjadi pada tahun-tahun setelah
1918 menyebabkan kematian lebih sedikit namun angka kesakitan influenza meningkat.
Selain dapat menimbulkan pandemi, virus Influenza A yang menginfeksi unggas dan
kemudian menginfeksi manusia seperti avian influenza atau disebut flu burung dapat
menyebabkan angka kematian dan kesakitan yang tinggi di beberapa negara termasuk Indonesia.
Pada tahun 2003, virus Influenza A/H5N1 menyerang unggas di Indonesia, dan pada tahun 2005
dilaporkan pertama kali adanya kasus infeksi virus unggas ini ke manusia. Virus flu burung dapat
menjadi penyebab pandemi pada manusia bila virus ini telah dapat beradaptasi dengan host
manusia.
Untuk itu dalam upaya pelaksanaan penanggulangan Influenza perlu adanya suatu kegiatan
yang menyeluruh yang meliputi pencegahan melalui komunikasi, edukasi dan informasi ke seluruh
masyarakat dan penatalaksanaan kasus.
a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis berupa gejala Influenza Like Ilness (ILI) yaitu demam dengan suhu
°
>38 C, batuk, pilek, nyeri otot dan nyeri tenggorok. Gejala lain yang mungkin menyertai adalah
sakit kepala, sesak napas, nyeri sendi, mual, muntah dan diare. Pada anak, gejala klinis dapat
terjadi fatique.
Definisi kasus Influenza dibagi menjadi 3, yaitu :
1) Suspek
Seseorang dengan gejala infeksi pernapasan akut (demam ≥ 38 0C) mulai dari yang
ringan (Influenza like Illnes) sampai dengan Pneumonia, ditambah salah satu keadaan di
bawah ini :
a) Dalam 7 hari sebelum sakit, pernah kontak dengan kasus konfirmasi influenza
b) Dalam 7 hari sebelum sakit pernah berkunjung ke area yang terdapat satu atau lebih
kasus konfirmasi influenza
2) Probable
Seseorang dengan gejala di atas disertai dengan hasil pemeriksaan laboratorium
positif terhadap Influenza A baru tetapi tidak dapat diketahui subtipenya dengan
menggunakan reagen influenza musiman atau Seseorang yang meninggal karena penyakit
infeksi saluran pernapasan akut yang tidak diketahui penyebabnya dan berhubungaan
secara epidemiologi (kontak dalam 7 hari sebelum onset) dengan kasus probable atau
konfirmasi.
3) Konfirmasi
Seseorang dengan gejala di atas sudah dikonfirmasi laboratorium dengan pemeriksaan
satu atau lebih test di bawah ini :
a) Real time PCR
b) Kultur virus
c) Peningkatan 4 kali antibodi spesifik influenza dengan netralisasi tes
Diagnosis influenza secara klinis dibagi atas kriteria ringan, sedang dan berat.
1) Kriteria ringan yaitu gejala ILI, tanpa sesak napas, tidak disertai pneumonia dan tidak ada
faktor risiko.
2) Kriteria sedang gejala ILI dengan salah satu dari kriteria: faktor risiko, penumonia ringan
(bila terdapat fasilitas foto rontgen toraks) atau disertai keluhan gastrointestinal yang
mengganggu seperti mual, muntah, diare atau berdasarkan penilaian klinis dokter yang
merawat.
3) Kriteria berat bila dijumpai kriteria yaitu pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal
napas, sepsis, syok, kesadaran menurun, sindrom sesak napas akut (ARDS) atau gagal multi
organ.
b. Etiologi
Penyakit Influenza disebabkan oleh virus Influenza. Virus influenza terdiri dari 3 tipe (A,
B dan C). Virus Influenza A adalah jenis virus yang dapat menginfeksi manusia dan hewan
sehingga kemungkinan terjadinya mutasi di alam akibat interaksi antara manusia dan hewan,
sangat besar. Virus Influenza B adalah jenis virus yang hanya menyerang manusia.
Virus influenza sangat mudah, virus influenza yang bermutasi dapat menyebabkan
kesakitan dan kematian yang tinggi. Kemudahan bermutasi ini juga yang dapat menyebabkan
pandemi akibat terbentuknya subtipe-subtipe baru yang lebih patogen. Selain virus Influenza
A, virus Influenza tipe B juga dapat menyebabkan pandemi namun dengan skala yang lebih
kecil. Virus Influenza tipe C cukup stabil sehingga tidak pernah menyebabkan epidemi yang
besar.
Sampai saat ini telah terdapat 17 subtipe HA dan 10 subtipe NA. Munculnya virus
influenza dengan protein hemagglutinin (HA) baru pada populasi manusia, dimana manusia
belum mempunyai kekebalan terhadap virus tersebut dan mudahnya transmisi virus baru
ini antar manusia menyebabkan terjadinya pandemi influenza.
Virus Influenza yang bersirkulasi di Indonesia pada manusia adalah virus influenza
musiman Influenza A (H1N1pdm09 dan H3N2), Influenza B. Adapun virus avian influenza A
(H5N1) dapat menginfeksi manusia pada keadaan tertentu dan terbatas penularan dari unggas
ke manusia. Virus influenza dapat tetap menular dari permukaan suatu benda yang
terkontaminasi virus ini hingga 3 bulan pada suhu dingin. Virus influenza dapat bertahan hidup
di air pada suhu 0oC selama lebih 30 hari dan pada suhu 22 oC selama 4 hari.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi berkisar antara 1-7 hari, sedangkan masa penularan berkisar antara 1
hari sebelum mulai sakit (onset) sampai 7 hari setelah onset. Namun puncak dari virus
shedding (pengeluaran virus) terjadi pada beberapa hari pertama sakit.
Kortikosteroid
1) Penggunaaan kortikosteroid secara rutin harus dihindarkan pada pasien influenza A baru.
2) Dapat diberikan pada syok septik yang memerlukan vasopresor dan diduga mengalami
adrenal insufisiensi. dapat diberikan dosis rendah hidrokortison 300 mg /hari dosis terbagi.
f. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, dan bersirkulasi sepanjang tahun. Virus
influenza musiman dan pandemi adalah virus yang sangat mudah menular antar manusia dan
menyebar terutama melalui batuk dan bersin. Penyakit ini tercatat paling tinggi pada musim
dingin di negara beriklim dingin dan pada waktu musim hujan di negara tropik.
Di Indonesia, kasus infeksi influenza musiman berlangsung terus sepanjang tahun
yang mengikuti pola sirkulasi virus influenza musiman. Pandemi influenza yang terjadi pada
abad ke 21 yaitu pandemi yang disebabkan oleh virus Influenza A H1N1 (tahun 2009) yang
merupakan virus gabungan (reassortment) antara virus manusia, unggas dan babi. Influenza A
H1N1 pdm09 tahun 2009-2017 terdeteksi positif dengan jumlahpenderita positif adalah 1361
orang. Influenza ini sudah beredar secara luas di masyarakat.
Pada umumnya risiko penularan virus influenza meningkat pada bayi atau anak-anak,
orang berusia lebih dari 50 tahun, orang dengan kondisi sistem imun yang lemah seperti
pada HIV/AIDS, hamil, kemoterapi dan transplantasi organ, serta pada orang-orang yang
memiliki penyakit kronis, seperti diabetes atau penyakit jantung, penyakit ginjal atau paru-
paru. Risiko komplikasi, kesakitan, dan kematian influenza lebih tinggi pada individu di atas
65 tahun, anak-anak usia muda, dan individu dengan penyakit-penyakit tertentu. Pada anak-
anak usia 0- 4 tahun, yang berisiko tinggi komplikasi angka morbiditasnya adalah 500/100.000
dan yang tidak berisiko tinggi adalah 100/100.000 populasi. Pada epidemi influenza 1969-
1970 hingga 1994-1995, diperkirakan jumlah penderita influenza yang masuk rumah sakit
16.000 sampai 220.000/epidemik. Kematian influenza dapat terjadi karena pneumonia dan
juga eksaserbasi kardiopulmoner serta penyakit kronis lainnya.
Kriteria KLB Inluenza A Baru bila ditemukan 1 kasus influenza yang terkonfirmasi.
1) Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan Epidemiologi dilakukan untuk:
a) Identifikasi dini kasus, kontak dan kasus tambahan
b) Menetapkan besarnya masalah
c) Identifikasi daerah dan populasi berisiko tinggi
d) Mengetahui pola penyebaran di masyarakat
e) Mendapatkan arah upaya penanggulangan
c) Kegiatan di lapangan
‐ Satu orang anggota tim masuk ke rumah dengan menggunakan masker, dan segera
menjelaskan rencana kegiatan, masalah Flu A baru, hubungan dengan anggota
keluarga yang dicurigai sebagai penderita Flu A baru(belum pasti), risiko penularan
kepada anggota keluarga yang lain.
‐ Tegaskan bahwa tim akan membantu keluarga ini mencegah berkembangnya
penyakit diantara anggota keluarga.
‐ Sedapat mungkin penderita diminta tidur di tempat tidur dan mengenakan masker.
‐ Setelah dipersilakan, maka anggota tim yang lain masuk ke rumah. Gunakan masker
pada waktu akan masuk ke rumah penderita
‐ Tim melakukan wawancara dan mengisikan dalam formulir penyelidikan
‐ Apabila ditemukan suspek maka segera dikoordinasikan dengan dokter puskesmas
‐ untuk proses rujukan.
‐ Semua kontak dipantau selama 10-14 hari dari kontak terakhir atau sesuai masa
inkubasi terpanjang.
‐ Memberikan pesan kepada keluarga dan masyarakat sekitar.
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
Pesan penting yang disampaikan adalah :
‐ Apabila terdapat anggota keluarga yang lain menderita sakit demam, maka secepatnya
berobat ke puskesmas
‐ Menjaga kebersihan tangan (cuci tangan);
‐ Apabila batuk atau bersin secepatnya tutup mulut dan hidung dengan tissu, atau selalu
menggunakan masker.
‐ Membatasi kegiatan di luar rumah
d) Penatalaksanaan Penderita
Penatalaksanaan penderita dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan, baik di
rumah sakit, puskesmas, pos pelayanan kesehatan atau tempat lain yang sesuai untuk
penatalaksanaan penderita.
Novel Corona virus yang berjangkit di Saudi Arabia sejak bulan Maret 2012, sebelumnya
tidak pernah ditemukan didunia. Oleh karena itu berbeda kakteristik dengan virus corona SARS
yang menjangkiti 32 negara didunia pada tahun 2003.Komite International Taxonomy virus
lengkapnya The Corona Virus Study Group of The International Committee on Taxonomy of
viruses pada tanggal 28 Mei 2013 sepakat menyebut Virus corona baru tersebut dengan nama
Middle East Respiratory Syndrome-Corona Virus (MERS-CoV) baik dalam komunikasi publik
maupun komunikasi ilmiah.
Hingga saat ini (1 Maret 2015) jumlah kumulatif kasus konfirmasi MERS-CoV didunia 94
kasus dan diantaranya 47 meninggal (CFR 50%). Negara yang terjangkit Saudi Arabia
(68/38),Yordania, Qatar,Uni Emirat Arab,Inggris, Jerman, Perancis, Italia dan Tunisia. WHO
menyebutkan terjadi penularan dari manusia ke manusia, masih terbatas, baik di klaster keluarga
(masyarakat) maupun di pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa klaster kasus terkonfirmasi.
Sampai saat ini belum jelas sumber asal virus penularnya dan sedang dalam penelitian lebih
lanjut.
a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis MERS-CoV paling banyak adalah Pneumonia, pasien MERS-CoV
mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan ditemukan juga pasien dengan
Gagal ginjal, Perikarditis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Pengetahuan
tentang gambaran klinis infeksi virus MERS-CoV masih terbatas dan belum tersedia
pengobatan dan pencegahan spesifik terhadap virus MERSCoV (vaksin atau obat antivirus).
Semua kasus konfirmasi yang dilaporkan ke WHO hingga saat ini sebagian besar terjadi
pada orang dewasa, maka pedoman ini fokus pada perawatan remaja dan orang dewasa.
Sedangkan untuk kasus – kasus pada anak akan ditambahkan kemudian seiring dengan
perkembangan penyakit tersebut dan akan diperbarui bila tersedia informasi lebih lanjut.
Definisi kasus MERS-CoV dibagi menjadi 3, yaitu :
1) Kasus dalam penyelidikan (underinvestigated case)
a) Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan tiga keadaan di
bawah ini:
‐ Demam (≥38°C) atau ada riwayat demam,
‐ Batuk,
‐ Pneumonia berdasarkan gejala klinis atau gambaran radiologis yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit. Perlu waspada pada pasien dengan gangguan system
kekebalan tubuh (immuno-compromised) karena gejala dan tanda tidak jelas.
DAN
salah satu kriteria berikut :
‐ Seseorang yang memiliki riwayat perjalanan ke Timur Tengah (negara terjangkit)
dalam waktu 14 hari sebelum sakit kecuali ditemukan etiologi/ penyebab penyakit
lain.
‐ Adanya petugas kesehatan yang sakit dengan gejala sama setelah merawat pasien
ISPA berat (SARI/ Severe Acute Respiratory Infection), terutama pasien yang
memerlukan perawatan intensif, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau riwayat
bepergian, kecuali ditemukan etiologi/penyebab penyakit lain.
‐ Adanya klaster pneumonia (gejala penyakit yang sama) dalam periode 14 hari,
tanpa memperhatikan tempat tinggal atau riwayat bepergian, kecuali ditemukan
etiologi/penyebab penyakit lain.
‐ Adanya perburukan perjalanan klinis yang mendadak meskipun dengan pengobatan
yang tepat, tanpa memperhatikan tempat tinggal atau riwayat bepergian, kecuali
ditemukan etiologi/ penyebab penyakit lain.
b) Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ringan sampai berat yang
memiliki riwayat kontak erat dengan kasus konfirmasi atau kasus probable infeksi MERS-
CoV dalam waktu 14 hari sebelum sakit
2) Kasus Probabel
a) Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan bukti klinis, radiologis atau
histopatologis
DAN
Tidak tersedia pemeriksaan untuk MERS-CoV atau hasil laboratoriumnya negative pada
satu kali pemeriksaan spesimen yang tidak adekuat.
DAN
Adanya hubungan epidemiologis langsung dengan kasus konfirmasi MERS-CoV.
b) Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan bukti klinis, radiologis atau
histopatologis
DAN
Hasil pemeriksaan laboratorium inkonklusif (pemeriksaan skrining hasilnya positif
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
tanpa konfirmasi biomolekular).
DAN
Adanya hubungan epidemiologis langsung dengan kasus konfirmasi MERS-CoV.
3) Kasus Konfirmasi
Seseorang yang terinfeksi MERS-CoV dengan hasil pemeriksaan laboratorium positive.
KLASTER
Adalah bila terdapat dua orang atau lebih memiliki penyakit yang sama,dan
mempunyai riwayat kontak yang sama dalam jangka waktu 14 hari. Kontak dapat terjadi
pada keluarga atau rumah tangga, dan berbagai tempat lain seperti rumah sakit, ruang
kelas, tempat kerja, barak militer, tempat rekreasi, dan lainnya.
Jemaah haji yang baru pulang dari Saudi Arabia dilakukan pengamatan selama 14
hari sejak tanggal kepulangan. Jamaah haji diberikan K3JH dan bila dalam kurun waktu
14 hari sejak tanggal kepulangan mengalami sakit batuk, demam, sesak napas agar
datang ke petugas kesehatan dengan membawa K3JH.
b. Etiologi
MERS-CoV adalah penyakit sindrom pernapasan yang disebabkan oleh virus Corona
yang menyerang saluran pernapasan mulai dari yg ringan sampai berat. Middle East
Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-CoV) adalah suatu strain baru dari virus corona
yang belum pernah ditemukan menginfeksi manusia sebelumnya. Virus corona merupakan
keluarga besar dari virus yang dapat menimbulkan kesakitan pada manusia dan hewan. Virus
corona diketahui dapat menimbulkan kesakitan pada manusia mulai dari yang ringan sampai
berat seperti selesma (common cold) sampai Sindroma Saluran Pernapasan Akut yang berat
(SARS).
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi MERS-CoV adalah 2-14 hari, rata-rata dibawah 1 minggu. Dan
berdasarkan data dari Saudi Arabia menyebutkan bahwa rata-rata inkubasi (dari virus masuk
sampai jatuh sakit) adalah 5,2 hari.
d. Sumber dan Cara Penularan
Virus ini dapat menular antar manusia secara terbatas, dan tidak terdapat transmisi
penularan antar manusia secara luas dan bekelanjutan. Mekanisme penularan belum
diketahui.
Kemungkinan penularannya dapat melalui :
1) Langsung : melalui percikan dahak (droplet) pada saat pasien batuk atau bersin.
2) Tidak Langsung: melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi virus
e. Pengobatan
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang bersifat spesifik, pengobatan hanya
bersifat suportif tergantung kondisi keadaan pasien. WHO tidak merekomendasikan pemberian
steroid dosis tinggi. Belum ada vaksin tersedia untuk MERS-CoV.
f. Epidemiologi
Beberapa negara di Timur Tengah telah melaporkan kasus infeksi MERS CoV pada
manusia, antara lain Jordania, Qatar, Saudi Arabia, dan Uni Emirat Arab. Beberapa kasus juga
dilaporkan dari negara-negara di Eropa antara lain Inggris, Perancis, Italia, dan Tunisia.
Hampir semua kasus di Eropa dan Tunisia mempunyai kesamaan yaitu timbulnya gejala
penyakit setelah melakukan perjalanan ke negara tertentu di Timur Tengah yang diikuti
dengan adanya penularan terbatas di lingkungan keluarga. Di samping itu penularan MERS-
CoV antar manusia juga terjadi di rumah sakit pada petugas yang merawat kasus konfirmasi
MERS-CoV. Namun demikian, sejauh ini belum dapat dibuktikan adanya penularan yang
berkelanjutan.
Berdasarkan data WHO, kasus MERS-CoV sebagian besar menunjukkan tanda dan
gejala pneumonia. Hanya satu kasus dengan gangguan kekebalan tubuh
(immunocompromised) yang gejala awalnya demam dan diare, berlanjut pneumonia.
Komplikasi kasus MERS-CoV adalah pneumonia berat dengan gagal napas yang
membutuhkan alat bantu napas non invasif atau invasif, Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) dengan kegagalan multi-organ yaitu gagal ginjal, Disseminated
Intravascular Coagulopathy (DIC) dan perikarditis. Beberapa kasus juga memiliki gejala
gangguan gastrointestinal seperti diare. Dari seluruh kasus konfirmasi, separuh diantaranya
meninggal dunia.
Persiapan penyelidikan
Persiapan lapangan, menginformasikan kepada petugas kesehatan di lokasi
dimana terdapat kasus.
a) Persiapan formulir penyelidikan.
b) Persiapan Tim Penyelidikan.
c) Persiapan logistik dan obat-obatan.
d) Persiapan pengambilan spesimen.
Penyelidikan epidemiologi
a) Identifikasi kasus Melakukan kunjungan wawancara ke tempat dimana kasus dirawat
termasuk dokter/petugas medis yang melakukan perawatan, dengan menggunakan
formulir investigasi yang sudah disiapkan sebelumnya. Informasi yang perlu digali
antara lain :
- Identitas dan karakteristik kasus: Nama, Umur, Jenis kelamin, Alamat tempat
tinggal, kerja, atau sekolah, Pekerjaan).
- Gejala dan tanda – tanda penyakit, Riwayat perjalanan penyakit, termasuk
komplikasi yang terjadi.
- Pengobatan yang sudah didapat, hasil – hasil pemeriksaan laboratorium dan
radiologis yang sudah dilakukan,
b) Identifikasi faktor risiko
- Riwayat :
Penyakit penyerta.
Potensi pajanan dalam 14 hari sebelum timbul gejala sakit.
- Perjalanan ke daerah terjangkit.
- Kontak dengan kasus MERS-CoV atau ISPA berat.
- Dirawat di sarana pelayanan kesehatan.
- Pajanan dengan hewan (jenis hewan dan kontak).
- Konsumsi bahan makanan mentah / belum diolah.
- Informasi rinci tentang waktu, durasi, dan intensitas pajanan dan jenis kontak.
c) Identifikasi kontak kasus dengan menggunakan formulir yang telah disiapkan sebelumnya.
- Selama penyelidikan, petugas dilapangan melakukan identifikasi siapa saja yang
telah melakukan kontak erat dengan kasus yang sedang diselidiki.
- Pelacakan dilakukan terutama di lingkungan sarana pelayanan Kesehatan,
anggota keluarga/ rumah tangga, tempat kerja, sekolah, dan lingkungan sosial.
Disamping itu perlu diidentifikasi juga:
Waktu kontak terakhir
Bentuk/ jenis kontak
Lama (durasi) kontak
Frekuensi kontak
- Petugas Kesehatan melakukan pemantauan terhadap kontak erat selama 14 hari
setelah kontak terakhir dengan kasus, baik suspek, probable, maupun konfirmasi.
- Pemantauan dilakukan untuk menemukan gejala pneumonia yang mungkin muncul
pada masa pemantauan. Catat tanggal kontak mulai sakit, tingkat keparahan,
perjalanan penyakit.
- Kontak erat yang menunjukkan gejala pneumonia harus diambil spesimennya untuk
diperiksa secara molekuler dengan polymerase chain reaction (PCR) dan serologis.
Identifikasi dan pengamatan ini dilakukan untuk mendeteksi bukti penularan dari
manusia ke manusia, perkiraan angka serangan sekunder, durasi masa infektivitas, dan
masa inkubasi.
d) Pengambilan spesimen
- Untuk keperluan diagnostik infeksi MERS-CoV, spesimen klinis yang diperlukan
adalah spesimen saluran pernapasan bagian bawah, seperti dahak (sputum),
bilasan bronkhoalveolar, yang berdasarkan bukti yang ada saat ini, lebih baik
daripada yang berasal dari saluran pernapasan atas (nasofaring/ orofaring).
- Pengambilan spesimen dilakukan oleh tenaga/ tekhnisi laboratorium yang
berpengalaman dan untuk dahak/ sputum, petugas harus dapat memastikan
bahwa yang diambil adalah benar – benar dahak, bukan air liur.
- Tata cara pengambilan, penyimpanan dan pengiriman specimen sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan dan dikirim ke ke Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan (BTDK) Balitbangkes.
e) Penanggulangan Awal Ketika penyelidikan sedang berlangsung petugas sudah harus
memulai upaya – upaya pengendalian pendahuluan dalam rangka mencegah terjadinya
penyebaran penyakit kewilayah yang lebih luas. Upaya ini dilakukan berdasarkan pada
hasil penyelidikan epidemiologis yang dilakukan saat itu.
Upaya – upaya tersebut dilakukan terhadap orang, masyarakat maupun lingkungan,
antara lain dengan:
- Menjaga kebersihan/ hygiene tangan, saluran pernapasan.
- Penggunaan APD sesuai risiko pajanan.
- Sedapat mungkin membatasi kontak dengan kasus yang sedang diselidiki dan
bila tak terhindarkan buat jarak dengan kasus.
- Isolasi kasus dirumah.
- Asupan gizi yang baik guna meningkatkan daya tahan tubuh.
- Pengendalian sarana, lingkungan dan hewan pembawa penyakit. Apabila
diperlukan untuk mencegah penyebaran penyakit dapat dilakukan tindakan isolasi,
evakuasi dan karantina.
- Isolasi penderita atau tersangka penderita dengan cara memisahkan seorang
penderita agar tidak menjadi sumber penyebaran penyakit selama penderita atau
tersangka penderita tersebut dapat menyebarkan penyakit kepada orang lain.
Isolasi dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas, rumah atau tempat lain sesuai
dengan kebutuhan.
- Evakuasi dengan memindahkan seseorang atau sekelompok orang dari suatu
wilayah agar terhindar dari penularan penyakit. Evakuasi ditetapkan oleh bupati/
walikota atas usulan tim penanggulangan wabah berdasarkan indikasi medis dan
epidemiologi.
- Tindakan karantina dengan melarang keluar atau masuk orang dari dan ke daerah
rawan untuk menghindari terjadinya penyebaran penyakit.
Karantina ditetapkan oleh bupati/walikota atas usulan tim penanggulangan
wabah berdasarkan indikasi medis dan epidemiologi.
f) Pengolahan dan analisis data untuk mengambil kesimpulan dan rekomendasi tindak
lanjut.
g) Laporan Setelah selesai melakukan penyelidikan epidemiologi dalam bentuk laporan
tertulis hasil Investigasi dan perkembangan KLB meliputi:
- Latar belakang dan tujuan
- Metodologi
- Hasil penyelidikan epidemiologi meliputi :
Data umum.
Analisis kasus MERS-CoV berupa gambaran karakteristik kasus menurut variabel
epidemiologi (waktu kejadian, tempat dan orang).
Analisis faktor risiko.
Analisis kontak kasus.
Hasil pemeriksaan laboratorium.
21
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
Penyakit virus Ebola adalah salah satu dari penyakit yang gejala klinisnya demam dengan
pendarahan. Ini adalah penyakit yang sering berakibat fatal pada manusia dan primata (seperti
monyet, gorila, dan simpanse). Penyakit ini sudah ada di dunia sejak tahun 1976 dan sempat terjadi
KLB di beberapa negara. Pada maret 2014 KLB penyakit ini mulai terjadi kembali di beberapa negara
di Afrika Barat yaitu Guinea, Liberia dan Sierra Leone. KLB penyakit ini juga bisa menjadi risiko
kesehatan masyarakat bagi negara lainnya. Virulensi virus, pola penularan di masyarakat, sarana
pelayanan kesehatan dan lemahnya health systems pada negara – negara yang berisiko
memungkinkan terjadinya penyebaran secara global. Berdasarkan hal tersebut WHO menyatakan
penyakit virus Ebola sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia (KKMMD).
Berdasarkan laporan WHO, sejak Desember 2013 – 10 Juni 2016, ditemukan 28.652 kasus
dengan 11.325 kematian, atau total kematian/total kasus 39,52 %. Kondisi kasus di Indonesia
sampai 2017 masih belum terdapat kasus yang dinyatakan positif. Namun mobilitas dari dan ke negara
terjangkit merupakan faktor risiko penyebaran penyakit di Indonesia termasuk jamaah haji atau
umroh yang kontak dengan warga negara dari negara terjangkit.
a. Gambaran klinis
Gejala khas pada penyakit ini adalah demam (>38˚C), sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi,
lemah (weakness), diare (berdarah / tidak berdarah), muntah (vomit), tidak nafsu makan (loss
of appetite) dan nyeri perut. Gejala yang terkadang timbul dari penyakit ini adalah bitnik merah,
mata merah, cegukan, batuk, nyeri tenggorokan, susah bernafas, nyeri dada, nyeri telan dan
perdarahan internal ataupun eksternal.
b. Etiologi
Terdapat 5 tipe virus Ebola yang dapat menyebabkan infeksi, yaitu Ivory Coast, Sudan,
Zaire, Reston dan Bundibugyo. Spesies Bundibugyo, Sudan, dan Zaire adalah penyebab wabah
besar di Afrika yang menyebabkan kematian pada 25-90% kasus klinis. Tipe reston hanya
menyebabkan infeksi pada hewan namun tidak menimbulkan kefatalan pada manusia.
c. Masa Inkubasi
Masa inkubasi dari penyakit virus Ebola adalah 2-21 hari, umumnya 8-10 hari setelah
terinfeksi.
e. Pengobatan
Pengobatan untuk kasus PVE dalam bentuk terapi simptomatis karena Terapi definitif sampai saat
ini belum ada.Terapi simptomatis sesuai dengan temuan klinis yaitu pemberian obat penurun panas,
pemasangan infus (terapi cairan kristaloid atau koloid sesuai klinis), transfusi darah (jika perlu
dilakukan hemodialisa dengan menggunakan hemofilter khusus virus), pemberian O2, dan juga
infeksi sekunder. Selain hal tersebut, juga perlu dilakukan pemantauan ketat untuk perdarahan dan
komplikasi lainnya.
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
f. Epidemiologi
Penyakit virus Ebola ditemukan pertama kali tahun 1976 pada kejadian luar biasa (KLB) di
dua tempat yang terjadi bersamaan, yaitu: Nzara, Sudan, dan Yambuku, DR Kongo (d/h Zaire).
Perkembangan KLB PVE sejak Tahun 1976 – 2015 telah terjadi di beberapa negara, yaitu: 1976
terjadi di Sudan dan DR. Kongo;1977 di DR. Kongo; 1979 di Sudan;1994 di Gabon dan Cote
d’Ivoire;1995 di DR. Kongo; 1996 di Gabon dan Afrika selatan; 2000 di Gabon; 2001-2002 di Kongo
dan Gabon; 2003 di Angola; 2004 di Sudan; 2007 di Uganda dan DR. Kongo; 2008 di DR. Kongo;
2012 di DR. Kongo; 2014 di DR. Kongo, Guinea, Liberia, Sierra Leone, Nigeria dan Senegal. 2015 di
Guinea, Liberia, Sierra Leone dan 2016 di Guinea, Liberia, Sierra Leone.
Amerika 1
4
United Kingdom 0
1
Spain 0
1
Italia 0
1
Mali 6
8
Senegal 0
1
Nigeria 8
20
Sierra Leonea 3956
14124
Liberia 4810
10678
3814
Guinea 2544
KematianKasus
htpp;//apps.who.int/ihr/eventinformation
Grafik diatas menunjukkan bahwa kasus terbanyak berada di Sierra Leone, namun kematian
tertinggi berada di Guinea yang memiliki jumlah kasus terendah diantara 3 negara terjangkit di
Afrika Barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa tatalaksana kasus dan penelusuran kontak melali
penyelidikan epidemiologi dapat membantu meringankan angka kesakitan bahkan kematian
akibat penyakit virus Ebola.
Gambar 1.Sebaran kasus PVE, Maret 2015
htpp;//apps.who.int/ihr/eventinformation
Deteksi dini di wilayah dilakukan melalui peningkatan kegiatan surveilans berbasis kejadian
(event based surveillance) yang dilakukan secara pasif maupun aktif.
1) Mendeteksi kasus klaster penyakit/ kematian yang tidak diketahui penyebabnya.
2) Melakukan pemantauan terhadap warga di wilayahnya yang memiliki riwayat perjalanan dari
negara terjangkit dalam waktu 21 hari sejak kepulangannya dari negara terjangkit
berdasarkan hasil surveilans aktif dan notifikasi dari Dinas Kesehatan setempat atau KKP.
3) Melakukan pemantauan terhadap kontak kasus (termasuk petugas puskesmas, bila ada)
selama 21 hari sejak kontak terakhir, berdasarkan notifikasi dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
4) Melapor kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bila menemukan orang sakit yang
memenuhi kriteria kasus dalam investigasi.
FORMULIR INVESTIGASI KASUS
I Data Dasar
No. Klaster:
Identitas Kasus
Nama :
Tgl lahir / umur :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan : (sebutkan secara
spesifik)
Alamat :
e. Informasi
Klinis Data
klinis:
‐ Tanda mulai gejala
‐ Tanda dan gejala:
Kronologi sakit (tgl mulai ke pelayanan kesehatan, tgl masuk RS, tgl mulai perburukan
klinis dan hasil akhir dirawat):
..................................................................................................................................
f. Data Laboratorium
Nama :
Tempat pemantauan (rumah/ puskesmas/ RS/ KKP/ lainnya):
Kab/Kota :
Tgl
Jenis Hasil
Tanggal dan hasil pemantauan*) specimen Pemeriksaan Ket
No Nama L/P Umur kontak dan tanggal penunjang
terakhir pengambilan
Keterangan: Form ini dikirim ke Dinas Kesehatan Provinsi setempat bila tempat pemantauan berada di rumah/puskesmas/ RS.
Form dikirimkan ke Posko KLB bila tempat pemantauan ada di KKP.
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
Provinsi :
Tanggal Laporan :
Jumlah Kontak Timbul Gejala
No. Nama Kab/Kota Upaya Yang dilakukan
L P Ya Tidak
A. PENDAHULUAN
Dalam aspek kesehatan, pangan dikategorikan dalam pangan yang aman (food safety),
pangan yang bersih (food sanitation) dan pangan yang bergizi (food nutrition). Dari aspek pangan
yang bersih difokuskan pada pengelolaan bahan, alat, penjamah, dan tempat guna mencegah
kemungkinan terjadinya penyakit (foodborne diseases) dan atau keracunan pangan (food
poisoning). Di Indonesia KLB keracunan pangan masih sering terjadi terkait erat dengan
kebersihan pangan dan terjadinya kontaminasi silang pada saat pengelolaan pangan.
Setiap makanan selalu mengalami proses penyediaan bahan, pemilihan bahan mentah,
pengolahan, penyimpanan, pengangkutan sampai penyajian di meja makan rumah tangga,
pertemuan-pertemuan, pesta, makanan jajanan, restoran, dan berbagai cara penyajian pangan.
Semuanya mempunyai risiko terjadinya keracunan, baik keracunan karena pangan itu sendiri
yang beracun atau adanya bahan racun yang mencemari makanan.
Saat ini data epidemiologi KLB Keracunan Pangan belum sepenuhnya dapat diungkapkan
penyebabnya (etiologi) dan bahkan penyelidikan KLB Keracunan Pangan lebih banyak diarahkan
untuk menghitung jumlah kasus keracunan dan belum diarahkan sebagai penunjang penting
penanggulangan KLB yang cepat, tepat dan benar serta dokumen epidemiologi yang dapat
digunakan untuk SKD dan respon KLB keracunan pangan serta perencanaan penanggulangan
KLB dimasa yang akan datang.
B. PENYEBARAN
Berdasarkan data yang tercatat di Ditjen P2P, Jumlah kejadian KLB Keracunan Pangan
tahun 2016 adalah 106 kejadian dengan 4161 kasus dan CFR 0,48%. Data KLB Keracunan Pangan
dari tahun 2012 sampai dengan 2016 berturut-turut adalah (312, 233, dan 306, 164, dan 106)
kejadian. Angka kematian tertinggi terjadi pada tahun 2016 dengan nilai Case fatality Rate
(CFR) 0,48% yang berarti terdapat 1 orang meninggal di setiap 200 korban KLB keracunan
pangan. Data di atas menunjukkan KLB Keracunan Pangan masih tinggi di setiap tahunnya. Hal
ini menggambarkan masih belum optimalnya penanggulangan KLB Keracunan Pangan.
C. PENGERTIAN
Berdasarkan Permenkes Nomor 2 tahun 2013 yang dimaksud dengan KLB keracunan
pangan adalah suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit
dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi pangan, dan berdasarkan
analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan.
D. GAMBARAN KLINIS
Gejala dan tanda-tanda klinik keracunan pangan sangat bergantung pada jenis etiologinya,
tetapi secara umum gejala keracunan pangan dapat digolongkan ke dalam 6 kelompok yaitu :
1. Gejala utama yang terjadi pertama-tama pada saluran gastrointestinal atas (mual, muntah).
2. Gejala sakit tenggorokan dan pernafasan.
3. Gejala utama terjadi pada saluran gastrointestinal bawah (kejang perut, diare).
4. Gejala neurologik (gangguan penglihatan, perasaan melayang, paralysis).
5. Gejala infeksi umum (demam, menggigil, rasa tidak enak, letih, pembengkakan kelenjar limfe).
6. Gejala alergik (wajah memerah, gatal-gatal).
E. ETIOLOGI
Secara umum etiologi keracunan pangan disebabkan oleh bahan kimia beracun
(tanaman, hewan, metabolit mikroba) kontaminasi kimia, mikroba patogen, non bakteri (parasit,
ganggang, jamur, virus, spongiform encephalopathies).
F. PENYELIDIKANEPIDEMIOLOGI
Penyelidikan KLB Keracunan Pangan dapat dilakukan dengan studi epidemiologi
deskriptif dan studi epidemiologi analitik. Studi epidemiologi analitik dapat dibagi menjadi studi
observasional kohort dan case control serta studi epidemiologi eksperimen. Sebagian besar
pelaksanaan penyelidikan KLB menggunakan studi deskriptif, tetapi untuk mengetahui sumber
penyebaran yang lebih tepat biasanya menggunakan desain analisis epidemiologi analitik, yaitu
membanding-bandingkan kelompok yang mendapat racun dengan kelompok yang tidak
mendapat racun, serta antara kelompok yang sakit dengan kelompok yang tidak sakit. Semakin
teliti pelaksanaan penyelidikan KLB, maka akan semakin banyak membutuhkan waktu dan
tenaga, sementara KLB keracunan pangan membutuhkan hasil penyelidikan yang cepat untuk
pengobatan korban dan mencegah jatuhnya korban keracunan berikutnya.
Penyelidikan epidemiologi KLB Keracunan Pangan bertujuan untuk:
‐ Mengetahui agen penyebab KLB Keracunan Pangan, gambaran epidemiologi dan kelompok
masyarakat yang terancam keracunan pangan, sumber dan cara terjadinya keracunan pangan.
‐ Menentukan cara penanggulangan yang efektif dan efisien.
Secara operasional lapangan dan berdasarkan tujuannya, penyelidikan KLB Keracunan Pangan
dibagi :
‐ Teknik Penetapan Etiologi KLB Keracunan Pangan
‐ Identifikasi Sumber Keracunan
‐ Formulir Penyelidikan KLB Keracunan Pangan
Pada tabel dapat dipelajari etiologi yang paling mungkin dari ketiga jenis penyakit
yang ditetapkan sebagai diagnosis banding dan etiologi yang paling tidak mungkin dapat
disingkirkan sebagai etiologi KLB. Pada tabel tersebut, gejala diare berlendir dan berdarah
sangat sedikit. Oleh karena itu, etiologi Shigella dysentriae adalah tidak mungkin sebagai
etiologi KLB. Sedang Vibrio parahemolitikus dan Clostridium perfringens belum dapat
disingkirkan. Pada KLB ini kasus diare Shigella dysentriae tetap ada dalam jumlah normal.
c. Gambaran Epidemiologi
Gambaran epidemiologi menurut ciri waktu, tempat dan orang dapat digunakan
untuk menentukan etiologi KLB keracunan pangan.
1. C. perfringens 8 22 14 Disingkirkan
22
2. V. parahaemoliticus 2 48 46 Belum disingkirkan
Rumus :
Apabila suatu bahan racun (R) diduga merupakan etiologi KLB (K) :
a) Jika masa inkubasi KLB KP-terpendek (K) < masa inkubasi bahan racun-terpendek
(R), maka bahan racun (R) tersebut bukan etiologi KLB KP
b) Jika masa inkubasi KLB KP-terpanjang (K) > masa inkubasi bahan racun-terpanjang
(R), maka bahan racun (R) tersebut bukan etiologi KLB KP.
c) Jika periode KLB KP > selisih masa inkubasi bahan racun terpanjang-terpendek (R),
maka bahan racun (R) tersebut bukan etiologi KLB KP
d. Pemeriksaan Pendukung
Pemeriksaan spesimen tinja, air kencing, darah atau jaringan tubuh lainnya, serta
pemeriksaan muntahan dapat digunakan sebagai cara untuk identifikasi etiologi KLB
keracunan pangan.
Tim penyelidikan mengambil, menangani, mengemas dan mengirimkan spesimen ke
laboratorium dengan tepat dan cepat. Kondisi spesimen diharapkan tidak berubah, baik
secara fisik, kimia, maupun biologi, selama pengiriman sampai saat dianalisis. Penanganan
spesimen harus dilakukan secara aseptis.
Secara sistematis, seharusnya spesimen yang diambil dan diperiksa laboratorium
adalah digunakan untuk memperkuat pemeriksaan etiologi yang telah ditetapkan dalam
diagnosis banding. Misalnya, KLB keracunan pangan tersebut diatas dengan diagnosis
banding Vibrio parahaemolyticus, Clostridium perfringens dan Shigella dysentriae, maka
sebaiknya pemeriksaan laboratorium diarahkan oleh investigator untuk identifikasi
kemungkinan ketiga penyebab tersebut sebagai penyebab, termasuk prosedur
pengambilan sampel dan pengamanan dalam penyimpanan dan pengiriman spesimen.
e. Penarikan Kesimpulan
Dengan memperhatikan berbagai cara dalam menetapkan etiologi KLB keracunan
pangan tersebut di atas, maka kesimpulan etiologi harus didasarkan pada semua analisis
tersebut di atas. Semakin lengkap data tersebut diatas yang dapat ditemukan oleh para
investigator, maka semakin tepat etiologi yang ditetapkannya.
Seringkali etiologi spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan tepat, tetapi
bagaimanapun juga diagnosis banding etiologi merupakan hasil kerja maksimal yang cukup
baik.
30
15
B A
B
a
0
Masa inkubasi terpendek
penyakit pada kasus
b. Analisis Epidemiologi Deskriptif
Gambaran epidemiologi KLB deskriptif dapat ditampilkan menurut karakteristik
tempat dan orang dan akan lebih banyak ditampilkan dengan menggunakan bentuk tabel
dan peta.
Tabel 14. KLB Keracunan Pangan Menurut Umur PT. Sepatu Baru, Bogor, Juni 2011
Gol. Populasi Ka Meni Attac C
Umu Rentan su nggal k F
<15 50 5 0 10 0
15-24 2500 600 0 24 0
25-44 1000 50 0 5 0
45 + 100 5 0 5 0
Total 3650 660 0 18 0
(Catatan : sebelumnya perlu ditetapkan mulai dan berakhirnya KLB, sehingga kasus-
kasus diluar periode KLB dapat disingkirkan).
Tabel 15. KLB Keracunan Pangan Menurut Jenis Kelamin PT. Sepatu Baru, Bogor, Juni
2011
Jenis Kelamin Populasi Kasus Meninggal Attack rate (%) CFR (%)
Rentan
Pria 1150 220 0 19.1 0
Wanita 2500 440 0 17.2 0
Total 3650 660 0 18.4 0
pe
BLOK B nj
BLOK aj
TU a
m
ak
BLOK A an
pintu ke
pabrik
Simulasi KLB Keracunan Pangan
1 titik = 5 kasus, K = kantin
Gambar 3. Spot Map KLB Keracunan Pangan PT. Sepatu Baru, Bogor, Juni 2011
Dengan mencermati pola distribusi kasus dapat mengarahkan pada lokasi sumber
penyebaran KLB. Daerah dengan jumlah kasus sedikit juga penting untuk menelusuri
mengapa kasus-kasus ini juga mendapat bahan beracun.
c. Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan gambaran epidemiologi menurut karakteristik waktu, tempat dan
orang, penyelidik biasanya sudah dapat mengidentifikasi dugaan sumber keracunan. Dugaan
seperti ini masih dalam batasan hipotesis sumber keracunan yang harus dibuktikan
kebenarannya dengan pemeriksaan laboratorium.
Rumus :
Hipotesis sumber keracunan terbukti benar jika racun yang ditemukan pada makanan
(sumber keracunan yang dicurigai) adalah sama dengan racun yang didiagnosis sebagai
penyebab KLB.
Tabel 16. KLB Keracunan Pangan, PT. Sepatu Baru, Bogor, Juni 2001 Studi Kohort (300
Karyawan, 120 Kasus)
Makan Tidak Makan
Makanan RR 5 % *)
Pop Kasus AR/100 Pop Kasus AR/100
Nasi 280 113 40 20 7 35 1.1 (0.6-2.1)
Semur daging 270 110 40.7 30 10 33.3 1.2 (0.7-2.0)
Tempe 220 100 45.4 80 20 25.0 1.2 (1.0-2.4)
Karedok 130 115 95.8 170 5 3.0 16.4 (6.9-39.4)
Air minum 250 100 40 50 20 40 1.00 (0.7-1.5)
Kerupuk 22 22 100 178 98 55.0 1.4 (1.0-2.0)
Telur Goreng 50 47 94 250 73 29.2 2.1 (1.6-2.9)
*) Epi info 6
Berdasarkan analisis risiko relatif untuk setiap jenis makanan, maka dapat
disimpulkan bahwa nasi, semur daging, tempe, dan air minum tidak menunjukkan
perbedaan risiko yang besar antara yang makan dan yang tidak makan. Kerupuk dan telor
goreng mempunyai perbedaan risiko sedang, sedang makan karedok mempunyai risiko yang
sangat besar dibanding yang tidak makan karedok.
Kesimpulan ini sebaiknya diuji dengan pemeriksaan laboratorium, yaitu ditemukannya
racun pada karedok yang sama dengan racun yang terdapat pada karyawan sakit.
Bagaimanpun juga, teridentifikasinya karedok sebagai sumber keracunan sudah merupakan
informasi yang sangat berharga untuk menelusuri lebih jauh lagi penyebab karedok terdapat
racun, disamping itu, dengan menyingkirkan karedok dari makanan yang disajikan, maka
makanan ransum sudah kembali aman.
sumber makanan beracun dalam pesta atau kantin, terutama waktu paparan.
G. PENANGGULANGAN KLB
Penanggulangan KLB meliputi kegiatan penyelidikan KLB, pengobatan dan upaya pencegahan
jatuhnya korban baru dan surveilans ketat.
1. Penyelidikan KLB
Dimulai pada saat informasi pertama adanya kasus keracunan atau diduga keracunan.
Tim Penyelidikan KLB melakukan diskusi intensif dengan setiap dokter atau petugas
kesehatan lain yang menangani penderita untuk menetapkan deferensial diagnosis dan
menyusun tabel distribusi gejala.
Pemeriksaan laboratorium diarahkan pada pemeriksaan etiologi yang dicurigai.
Penyelidikan KLB diarahkan pada upaya penemuan kasus-kasus baru dan kelompok-kelompok
atau orang-orang yang rawan akan menderita sakit, untuk pengobatan dan pengendalian
3. Surveilans Ketat
Diarahkan pada perkembangan KLB menurut waktu, tempat dan orang dan efektifitas
pengobatan serta upaya pencegahan adanya korban baru.
Apabila tidak ada korban baru, berarti sumber bahan beracun sudah tidak memapari
orang lagi, dan KLB dapat dinyatakan berakhir.
Apabila kurva KLB sudah cenderung turun secara konsisten, maka dapat disimpulkan
bahwa penularan telah berhenti, tetapi kasus baru diperkirakan masih akan bermunculan
sampai masa inkubasi terpanjang telah tercapai.
Lampiran 1
Format Penyelidikan Epidemiologi KLB Keracunan Pangan
Pekerjaan
Keadaan Status
Mulai Mulai Gejala yang Muncul *) Jenis Makanan *)
Sekarang Berobat
Makan Sakit
Masih sakit
Tidak berobat
Kemana
Sembuh
Meninggal
Mual
Diare
Pusing
Muntah
Tgl. Jam Tgl. Jam
FORMULIRPENCATATAN
LAPORAN KEWASPADAAN KERACUNAN PANGAN
Melaporkan pada hari ...................... tanggal …..........……....jam......................(korban pertama sakit) terdapat kejadian
keracunan pangan:
Lokasi/Tempat Kejadian : …………………………….......
Desa/Kelurahan : …………………………….......
Kecamatan : ………………………………....
Kabupaten/Kota : …………………………..........
Provinsi : …………………………..........
Pangan diduga penyebab : ....................................
Laporan akhir berisi temuan lengkap hasil penyelidikan KLB Keracunan Pangan antara lain :
A. PENDAHULUAN
Berisi sumber informasi adanya KLB, dampak KLB terhadap kesehatan masyarakat,
gambaran endemisitas penyakit penyebab KLB dan besar masalah KLB tersebut pada waktu
sebelumnya.
Contoh :
Diagnosis banding KLB Keracunan Pangan
N Nama Penyakit Masa inkubasi (jam) Periode Disingkirkan
o Terpendek Terpanjang Selisih KLB sebagai etiologi
1. C. Perfringens
2.
6. Kurva epidemi
Dibuat berdasarkan tanggal mulai sakit atau tanggal mulai dilakukan pengobatan (kurva
menggambarkan tanggal mulai sakit).
Kurva epidemi dapat dibuat berdasarkan data primer yaitu data hasil penyelidikan KLB dari rumah
ke rumah, atau berdasarkan data sekunder yaitu data yang berasal dari puskesmas, rumah sakit dan
fasilitsa pelayanan kesehatan lainnya.
Apabila penyelidikan KLB berdasarkan data sekunder, dan pada daerah tertentu berdasarkan data
primer, maka dibuat dua kurva epidemi dengan menyebutkan sumber datanya, tabel contoh :
200
150
100
Kasus
50
0
'03'04'05'06'07'08'09'10'11'12
KasusMeninggal
Total
Sumber data : Puskesmas, rumah sakit dan fasyankes lainnya
Jamur Mual, muntah, retching, diare, kejang 30 menit – 2 jam Muntah, sisa makanan
perut
Antimoni Muntah, kejang perut, diare Beberapa menit – 1 jam Sisa makanan, muntahan,
feses, urin
Kadmium Mual, muntah, kejang perut, diare, shock 1-30 menit Sisa makanan,
muntahan, tinja, air
kencing, darah
Tembaga Rasa logam dimulut, mual, muntah Beberapa menit - Sisa makanan,
berwarna hijau, sakit perut, diare beberapa jam muntahan, cucian perut,
air kencing, darah
Fluorida Rasa asin atau bersabun dalam mulut, Beberapa menit- 2 jam Sisa makanan,
hilang rasa pada mulut, muntah, diare, muntahan, cucian perut
sakit perut, pallor, sianosis, pupil
membesar, kejang, pingsan, shock
Timbal Rasa logam dimulut, mulut terasa 30 menit atau lebih Sisa makanan, muntahan,
terbakar, sakit perut, muntahan seperti cucian perut, feses,
susu, feses berdarah atau hitam, bau darah, air kencing
mulut tak sedap, shock, garis biru pada
gusi.
Timah Perut kembung, mual, muntah, kejang 30 menit- 2 jam Sisa makanan, muntahan,
perut, diare, sakit kepala feses, darah air kencing
Seng Sakit di dalam mulut dan perut, mual, Beberapa menit- Sisa makanan, muntahan,
muntah, pusing beberapa jam cucian perut, feses,
darah, air kencing
Bacillus cereus Mual, muntah, kadang diare 30 menit- 5 jam Sisa makanan, muntahan,
feses
Staphylococcus Mual, muntah, retching, sakit perut, diare 1 jam -8 jam, rata-rata 2 Muntahan, feses, usapan
prostration jam-4 jam rectal
Nitrit Mual, muntah, sianosis, sakit kepala, 1 jam- 2 jam Sisa makanan, darah
pusing, lemas, kehilangan kesadaran,
darah berwarna coklat
Kerang-kerangan Mual, muntah, kejang perut, menggigil 30 menit-12 jam, rata- Cucian perut
rata 4 jam
Siklopeptida dan Sakit perut, rasa kenyang, muntah, diare 6 -24 jam Sisa makanan, air
kelompok jagung protacted, kehilangan tenaga, kram otot, kencing, darah,
girometrin pingsan, jaundice, kesadaran rendah, pupil muntahan
membesar, meninggal
Sodium Bibir, mulut, tenggorokan terasa terbakar, Beberapa menit Sisa makanan, muntahan
hidroksida muntah, sakit perut, diare
Infeksi Sakit tenggorokan, demam, mual, muntah, 1-3 hari Sisa makanan, usapan
streptococcus rhinorrhea, kadang-kadang rash tenggorok, muntahan
betahemoltik
Baccilus cereus Mual, kejang perut, diare cair 8 -16 jam, rata-rata 12 Sisa makanan, feses
(enteritis) jam
Clostridium Kejang perut, diare 8-22 jam, rata-rata 10 Sisa makanan, feses
perfringens jam
Campylobacter Diare (seringkali berdara), kejang perut 2-7 hari, ratarata 3-5 Sisa makanan, feses,
jejuni berat, demam, anoreksia, lemah, sakit hari usapan rectal, darah
kepala, muntah
Kolera Diare sangat cair (rice water stools), 1-3 hari Sisa makanan, feses,
muntah, kejang perut, dehidrasi, haus, usapan rektal, darah
pingsan, turgor menurun, jari berkeriput,
mata cekung
Eschericia coli Kejang perut hebat (kadang-kadang 5-48 jam rata-rata 10- Feses, usapan rectal
berdarah), mual, muntah, demam, 24 jam
menggigil, sakit kepala, sakit otot, kencing
berdarah
Salmonellosis Kejang perut, diare, menggigil, demam, 6-72 jam, rata-rata 18- Sisa makanan, feses,
mual, muntah, lemah 36 jam usapan rectal
shigellosis Kejang perut, diare, feses berdarah dan 24-72 jam Sisa makanan, feses,
berlendir, demam usapan rectal
Vibrio Sakit perut, diare, mual, muntah, 2-48 jam, rata-rata 12 Sisa makanan, feses,
parahaemolyticus menggigil, sakit kepala jam usapan rectal
Yersiniosis Sakit perut hebat seprti radang 24-36 jam Feses, darah
usus buntu, demam, sakit kepala,
sakit tenggorokan
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]
BAB V
PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN
KEJADIAN LUAR BIASA PENYAKIT
MISTERIUS
A. PENDAHULUAN
Penyakit, baik menular maupun tidak menular, seringkali menyerang suatu daerah atau
sekelompok masyarakat sebagai suatu kejadian luar biasa penyakit tetapi tidak jelas atau belum jelas
etiologinya. Keadaan tersebut dapat berakibat pada arah penyelidikan dan upaya
penanggulangannya mengalami kesulitan cukup serius. Disisi lain, Kepala Puskesmas dan Kepala
Dinas Kesehatan terus menerus mendapat pertanyaan dari masyarakat dan pimpinan daerah tentang
peningkatan kejadian penyakit tersebut yang disebut sebagai penyakit misterius.
B. PENYEBARAN
KLB penyakit misterius seperti tersebut diatas dapat terjadi dimana saja, karena tidak semua
penyakit berpotensi KLB dapat dikenali oleh petugas di unit-unit pelayanan, para ahli setempat atau
karena munculnya gejala-gejala yang tidak menunjukkan pada suatu penyakit tertentu. Ketidak
tahuan tersebut terutama karena penyakit tersebut memang merupakan penyakit baru didunia, atau
tidak dikenal oleh petugas kesehatan setempat, atau sudah lama tidak berjangkit penyakit tersebut.
Misalnya KLB malaria menyerang warga di Jakarta, penyakit frambosia menyerang daerah-daerah
yang sudah tidak pernah lagi ada penyakit tersebut, bahkan apabila terjadi KLB penyakit polio-lumpuh
mungkin sudah tidak dikenal oleh para dokter yang lulus pada tahun 2000 atau lebih.
C. GAMBARAN KLINIS
Tergantung jenis etiologinya, tetapi menjadi sulit untuk dikenali karena berbagai penyakit
lainpun juga terjadi dalam masyarakat yang mendapat serangan penyakit misterius tersebut walaupun
dalam jumlah normal.
Gejala KLB penyakit misterius adalah sama dengan gejala penyakit lain, sehingga terdiagnosis
sebagai penyakit lain, misalnya serangan malaria seringkali tersembunyi sebagai hepatitis karena
munculnya gejala ikterus, atau diagnosis common cold karena adanya gejala demam tinggi.
D. ETIOLOGI
KLB penyakit misterius seringkali terdiagnosis sebagai KLB penyakit lain, atau karena ketidak
jelasan etiologi penyakit seringkali disebut sebagai KLB kematian atau KLB gejala yang paling menonjol.
Prinsip umum menyatakan bahwa pada suatu KLB penyakit adalah sangat jarang disebabkan oleh lebih
dari satu etiologi.
Sebagai contoh : KLB kematian terjadi Kabupaten A karena terdapat 8 kematian diantara
penderita yang dirawat inap di suatu klinik pada minggu 07 dan 08, 2003. Seorang klinisi akan
memberikan penjelasan bahwa penyebab KLB kematian di klinik tersebut disebabkan karena hepatitis,
tifus perut dan tetanus neonatorum. Apabila dicermati perkembangan kasus dari waktu ke waktu,
sebenarnya hanya hepatitis yang menunjukkan kenaikan kematian yang bermakna, sementara tifus
perut dan tetanus neonatorum menunjukkan kecenderungan jumlah kematian normal.
Kepastian adanya KLB penyakit misterius berdasarkan pada kriteria kerja KLB yaitu
terjadinya peningkatan bermakna secara epidemiologi total kematian, total perawatan,
total penyakit dengan gejala yang sama atau pada dua atau lebih penyakit-penyakit
tertentu. Sebagai pembanding jumlah kematian dan kesakitan dalam keadaan normal dapat
bersumber dari data setempat periode sebelum KLB, data daerah kabupaten/kota, provinsi
atau nasional.
Data kematian dan kesakitan dapat bersumber dari data sekunder unit pelayanan, atau
populasi dicurigai dengan melakukan kunjungan dari rumah ke rumah. Data bersumber unit
pelayanan harus memperhatikan azas keteraturan kunjungan penderita, kelengkapan dan
ketepatan laporan.
Konsultasi dengan dokter atau petugas yang memeriksa penderita dapat membantu
mengarahkan pengembangan penetapan diagnosis banding etiologi dan gambaran gejala
dan tanda-tanda yang banyak ditemukan atau tidak ditemukan pada kasus-kasus yang
diperiksa.
2) Distribusi Gejala Pada Kasus-Kasus Yang Dicurigai Tahapan yang dilaksanakan adalah
sebagai berikut :
- Definisi operasional awal kasus
- Daftar gejala dan tanda kasus-kasus yang dicurigai
- Wawancara dan pemeriksaan kasus-kasus sesuai dengan definisi operasional awal
a) Definisi Operasional Awal Kasus
Berdasarkan diagnosis banding dan gambaran gejala dan tanda-tanda yang banyak
ditemukan atau tidak ditemukan pada kasus-kasus yang diperiksa ditetapkan daftar
gejala dan tanda-tanda penderita dicurigai sebagai kasus yang akan ditanyakan pada
penderita yang dicurigai. Penderita yang akan diwawancarai ditetapkan dalam definisi
operasional kasus awal yang bersifat longgar. Hal ini sangat penting karena, semakin
longgar definisi operasional tersebut, akan semakin banyak kasus yang tidak diharapkan
akan masuk dalam kasus KLB, semakin ketat defini kasus operasional kasus, akan
semakin banyak kasus yang diharapkan akan keluar dari data kasus KLB.
Misal, hasil wawancara menetapkan gejala-gejala penting diantara kasus-kasus
yang diperiksa sebagai berikut : selalu dengan demam, sebagian besar dengan sakit
kepala, dan sebagian kecil dengan diare dan tanda-tanda ikterus. Oleh karena itu definisi
operasional awal kasus adalah seseorang yang menderita demam antara tanggal 01
Oktober - 25 September 2003 (saat penyelidikan dilakukan) di desa A, Kabupaten Aceh
Tengah.
Pada tabel dapat dipelajari etiologi yang paling mungkin dari ketiga jenis penyakit
yang ditetapkan sebagai diagnosis banding dengan cara menyingkirkan diagnosis
banding etiologi yang paling tidak mungkin sebagai etiologi KLB. Berdasarkan tabel
distibusi gejala ini juga dapat dikembangkan kemungkinan diagnosis banding lainnya.
c) Masa Inkubasi Etiologi KLB
Masa inkubasi penyakit dapat memberikan identifikasi lebih jelas pada jenis
penyakit yang menimbulkan KLB. Misalnya masa inkubasi 3-14 hari lebih menunjukkan
penyebab malaria falsiparum (masa inkubasi 2-10 hari) dibandingkan hepatitis A (masa
inkubasi 15-50 hari).
Masa inkubasi penyakit pada KLB dapat diketahui dari masa inkubasi kasus
sekunder yang dapat ditemukan pada kasus dalam keluarga, kasus pasca pertemuan,
kasus pasca perjalanan dan sebagainya.
Masa inkubasi kasus sekunder dalam keluarga dapat dihitung sejak mulai sakit
kasus pertama dalam keluarga sampai mulai sakit kasus kedua. Masa inkubasi kasus
sekunder pada pasca pertemuan dihitung sejak mengikuti pertemuan sampai mulai sakit
diantara anggota pertemuan, demikina juga dengan masa inkubasi kasus sekunder pasca
perjalanan.
Kesalahan masa inkubasi sekunder sering menjadi tepat karena dugaan adanya
kasus sekunder ternyata salah, artinya kasus sekunder tersebut tidak ditulari oleh
penyakit pada kasus pertama, tetapi oleh kasus lain.
d) Gambaran Epidemiologi
Gambaran epidemiologi menurut ciri waktu, tempat dan orang dapat digunakan
untuk menentukan etiologi KLB penyakit misterius. Gambaran epidemiologi terdiri dari :
- Pola kurva epidemi
- Pola serangan KLB menurut umur, jenis kelamin atau faktor risiko lainnya
- Pola Kurva Epidemi
Pola kurva epidemi dapat memberikan gambaran adanya KLB common source
atau KLB propagated source. KLB common source ditandai dengan bentuk kurva
epidemi seperti lonceng terbalik (kurva normal), periode KLB tidak melebihi selisih
masa inkubasi terpanjang dan terpendek etiologi KLB. Pola kurva epidemi
dimanfaatkan untuk mengetahui adanya KLB keracunan yang lebih sering
menunjukkan pola epidemi common source, sementara penyakit menular
menunjukkan pola kurva epidemi propagated source.
- Pola KLB Menurut Umur, Jenis Kelamin dan Daerah Terjadinya KLB
Setiap daerah dan karakteritik populasi menurut umur, jenis kelamin, ras dan
sebagainya mempunyai pengalaman epidemiologi yang berbeda dengan daerah
dan populasi lain. Data epidemiologi ini diketahui berdasarkan surveilans KLB.
Misalnya KLB malaria tidak mungkin menyerang pada daerah yang tidak
memungkinkan nyamuk hidup seperti pada ketinggian lebih dari 1000 m diatas
permukaan air, campak lebih sering menyerang pada usia kurang dari 15 tahun,
dan sebagainya.
Ada tidaknya penderita yang dicurigai meninggal dunia, atau menderita sakit
yang hebat, juga dapat menunjukkan karakteristik penyakit tertentu. Misalnya
serangan hepatitis A, sangat jarang menimbulkan kematian, malaria falsiparum
terdapat sebagian penderita yang menderita sakit berat, anemia dan meninggal
dunia.
Pola KLB seperti tersebut diatas dapat mengarahkan pada etiologi KLB,
setidak- tidaknya dapat memperkecil jumlah penyakit yang masuk dalam diagnosis
banding.
e) Pemeriksaan Pendukung
Pemeriksaan spesimen tinja, air kencing, darah atau jaringan tubuh lainnya dapat
digunakan sebagai cara untuk identifikasi etiologi KLB penyakit misterius. Secara
sistematis, seharusnya spesimen yang diambil dan diperiksa laboratorium adalah
digunakan untuk memperkuat pemeriksaan etiologi yang telah ditetapkan dalam
diagnosis banding. Pada KLB dengan etiologi yang tidak jelas, seringkali pemeriksaan
laboratorium secara lengkap dapat menemukan penyebabnya.
f) Penarikan Kesimpulan Penetapan Etiologi KLB Penyakit Misterius
Dengan memperhatikan berbagai cara dalam menetapkan etiologi KLB penyakit
misterius tersebut diatas, maka kesimpulan etiologi harus didasarkan pada semua
analisis tersebut diatas. Semakin lengkap data tersebut diatas yang dapat ditemukan
oleh para investigator, maka semakin tepat etiologi yang ditetapkannya.
Seringkali etiologi spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan tepat, tetapi
bagaimanapun juga diagnosis banding etiologi merupakan hasil kerja maksimal yang
cukup baik.
Oleh karena itu, pada penyelidikan penyakit misterius, selalu harus dicari hubungan
epidemiologi antara satu kasus dengan kasus-kasus yang lain.
Masa penularan kasus adalah periode waktu dimana seseorang menularkan
penyakitnya kepada orang lain, dan sebaiknya diidentifikasi setelah diyakini bahwa KLB
penyakit misterius adalah penyakit menular. Cara mengetahui masa penularan kasus
adalah dengan mengetahui kapan kasus pertama kontak dengan kasus-kasus sekunder.
Contoh untuk mengetahui masa inkubasi penyakit kasus dan masa penularan
penyakit Sebelum mengetahui jenis penyakitnya adalah pada KLB serangan pernafasan
akut berat (SARS). Masa inkubasi dapat diketahui dengan mengetahui periode waktu sejak
kasus sekunder menginap di hotel yang sama dengan kasus SARS sampai kasus sekunder
mulai timbul gejala.
Sedang masa penularan kasus dapat diketahui dari kapan kasus pertama ini kontak
dengan kasus sekunder. Berdasarkan cara-cara tersebut dapat diketahui bahwa masa
inkubasi SARS adalah 4-12 hari, dengan masa penularan kasus hanya pada saat kasus
menunjukkan gejala demam dan batuk.
2. Penanggulangan KLB
Secara umum penanggulangan KLB meliputi penyelidikan KLB, pertolongan korban,
pencegahan jatuhnya korban baru, manajemen sumber penularan, kerjasama lintas batas, dan
surveilans ketat.
a. Penyelidikan KLB
Kegiatan penyelidikan KLB dilakukan bersamaan dengan upaya penanggulangan KLB
yang lain, dimana setiap hasil penyelidikan yang telah diperoleh dan berguna dalam upaya
penanggulangan yang lebih efektip dan efisien secepatnya disampaikan kepada tim
penanggulangan KLB. Hasil penyelidikan yang penting antara lain, gejala, tanda-tanda
penyakit serta beratnya penyakit yang penting dalam upaya penyiapan sumberdaya
pertolongan korban, penegakan diagnosis, dan penegakan sumber dan cara penularan
penyakit.
b. Pertolongan Korban
Sebelum etiologi KLB dapat diketahui dengan tepat maka upaya penyelematan korban
dapat dilakukan dengan pengobatan simtomatis. Logistik dan sumberdaya lainnya
dikerahkan sesuai dengan temuan gejala dan tanda-tanda penyakit. Penyuluhan pada
masyarakat untuk segera berobat juga perlu dikemas dengan cerdik.
Perintah pada anggota masyarakat yang menderita sakit apa saja untuk segera
berobat mungkin tidak efisien dan merepotkan petugas di pos-pos pelayanan, tetapi
memberikan gambaran gejala dan tanda-tanda penyakit yang sangat teliti juga akan
menyebabkan banyaknya penderita yang tidak tertolong.
Hasil penyelidikan KLB dengan menemukan diagnosis banding etiologi KLB merupakan
hasil yang cukup baik untuk memberikan pengobatan pada korban yang lebih terarah.
Identifikasi daerah atau kelompok rentan dapat memberikan arah yang jelas dalam
Penyuluhan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan serangan penyakit.
e. Surveilans Ketat
Surveilans untuk memantau perkembangan KLB penyakit misterius tidaklah mudah,
karena tidak jelasnya gejala, tanda, diagnosis dan faktor risikonya.
Identifikasi gejala umum dan spesifik serta kemungkinan adanya risiko sakit yang berat
atau bahkan kematian menjadi sangat penting. Gejala umum sebagai cara untuk mendapatkan
data sehingga dapat diketahui perkembangan penyebaran dan peningkatan penyakit pada
suatu wilayah tertentu. Penyakit dengan gejala umum mempunyai diagnosis banding
beberapa jenis penyakit, tetapi secara umum dapat dipahami bahwa peningkatan penyakit
pada suatu KLB hanyalah disebabkan oleh satu penyebab saja, sangat jarang disebabkan oleh
dua sebab atau lebih, oleh karena itu, peningkatan sejumlah penderita berdasarkan gejala
utama menunjukkan peningkatan penyakit yang menjadi KLB tersebut.
Perubahan semua kondisi lingkungan, perilaku penduduk, perubahan kualitas
pelayanan, perubahan kondisi kesehatan penduduk menjadi perhatian pada KLB penyakit
misterius dan menjadi salah satu bagian surveilans ketat.
KEPUSTAKAAN
1) Ali Sulaiman dan Julitasari. Panduan Praktis Hepatitis A. Yayasan Penerbitan IDI, Maret 2000.
2) Beaver, PC., R.C. Jung, and E.W. Cupp. Clinical Parasitology, Lea & Febiger, Philadelphia. 1984.
3) Bres, P., Tindakan Darurat Kesehatan Masyarakat Pada Kejadian Luar Biasa Petunjuk
Praktis, Gajah Mada University Press, Cetakan pertama, 1995, Yogjakarta.
4) Brunei.www.isid.org
5) Buku Saku Pengendalian Rabies di Indonesia, Ditjen PP & PL, Jakarta 2014
6) CDC Directorate, 2008, Hand Foot Mouth Disease, Healthy WA (6). NSW Health Department
2003, Hand Foot Mouth Disease
7) CDC. 2014. Information Catalog of Guidance on Ebola Outbreak Response CDC Ebola
International Task Force Version 2 (released September 12, 2014).
8) CDC. 2014. Interim Guidance for Monitoring and Movement of Persons with Ebola Virus
Disease Exposure. http://www.cdc.gov/vhf/Ebola/hcp/monitoring- and-movement-of-
persons-with-exposure.html
9) CDC. Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid,
reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine: recommendations of the
10) CDC. Updated Recommendations for Use of Tetanus Toxoid,Reduced Diphtheria Toxoid
and Acellular Pertussis (Tdap) Vaccine from the Advisory Committee on Immunization
Practices, 2011. MMWR 2011;60(No.1):13-15.
11) cherry JD, The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the
disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics
2005;115:1422–7.
12) Chin, James, Control of Communicable Diseases Manual , American Public Health
Association, 17th Editions, 2000, Washington
13) Christie AB, 1980. Infection Deseases :Epidemiology Epidemiology and Clinical Practice.
14) Dari : www.cdc.gov/ Swine Flu
15) Departemen Kesehatan RI. Pedoman Pengamatan dan Penanggulangan KLB di
Indonesia.
16) Departemen Kesehatan. Pencegahan dan Penanggulangan Chikungunya,
17) Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI, No.
1479/MENKES/SK/X/2003, tentang Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu, 2003
18) Departemen Kesehatan RI. Modul Pemberantasan vector. Ditjen PPM&PL, Dit.P2B2,
Jakarta, 1999
19) Departemen Kesehatan RI. Peran Surveilans Dalam Upaya penanggulangan KLB Penyakit
Menular dan keracunan. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal PPM&PLP, Jakarta,
1998.
20) Departemen Kesehatan RI., Pedoman dan Protap Penatalaksanaan Kasus Antraks di
Indonesia., Subdirektorat Zoonosis, Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber
Binatang, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit-Penyehatan Lingkungan, 2002.
21) Departemen Kesehatan, Pedoman Tatalaksana Kasus dan Laboratorium Antraks di Rumah
Sakit. Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, Direktorat Jenderal PPM&PL,
Departemen Kesehatan RI, 2003.
22) Departemen Kesehatan. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013.
23) Ditjen PPM-PL, Depkes RI, Petunjuk Teknis Pelaksanaan SKD-KLB Penyakit Menular
dan Keracunan, 1995, Jakarta.
24) DItjen PP dan PL Kemenkes RI. 2015. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus
Ebola.
25) Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, Buku Saku Tatalaksana Malaria, 2014, Jakarta
26) Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI, Pedoman Penyelenggaraan Surveilans dan Sistem Informasi
Malaria, 2014, Jakarta
27) Ditjen PPM-PL Depkes RI, Pedoman Pemberantasan Rabies, Jakarta, 2001
28) Ditjen PPM-PL Depkes RI, Pedoman Tatalaksana Leptospirosis, Jakarta 2003.
29) Ditjen PPM-PL Depkes RI, Pedoman Tatalaksana Pes, Jakarta, 2001
30) Ditjen PPM-PL, Depkes RI, Pedoman Surveilans dan Respon KLB dalam Rangka Reduksi
Campak di Indonesia, Jakarta, 2002
31) DitJen PPM-PL, DepKes RI. Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare, 2011, Jakarta
32) DitjenPPM-PL,Depkes RI. Petunjuk Pelaksanaan Sistim Kewaspadaan
Dini dan Penanggulangan KLB Diare, 1996, Jakarta
33) Divisi infeksi & P. Tropik. Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, 2008, Pedoman
Klinis Enterovirus.
34) Farmakologi dan Terapi. edisi 4. Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 2002
35) Ganda Husada S,W, Pribadi dan H.D. Ilahude. Parasitologi Kedokteran, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 1990.
36) Goodman & Gilman’s, The Pharmacological Basis of Therapeutics, Tenth Edition, McGraw-
Hill Medical Publishing Division, Chapter 42, Drugs Used in The Chemotherapy of
Helminthiasis. 2001.
37) http://www.mhcs.health.nsw.gov.au/publication_pdfs/8440/DOH-8440-IND.pdf
38) http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs100/en/
39) Indonesia, Departemen Kesehatan. 2008, Pedoman Penanggulangan Episenter Pandemi
Influenza, Jakarta
40) Indonesia, Bapenas. 2007, Panduan Rencana Kesiapsiagaan Pemerintah Indonesia dalam
Menghadapi Kemungkinan Pandemi Influenza, Jakarta
41) Indonesia, Departemen Kesehatan, Ditjen PP & PL. 2003, Pedoman Surveilans
Epidemiologi Penyakit SARS, Jakarta
42) Indonesia, Departemen Kesehatan, Ditjen PP & PL. 2008, Pedoman Surveilans Integrasi
Avian Influenza, Jakarta
43) Indonesia, Departemen Kesehatan, Ditjen PP dan PL, Manual Pemberantasan Penyakit
Menular, DJAMES CHIN, MD, MPH, Editor Penterjemah : Dr. I NYOMAN KANDUN, MPH,
Edisi 17,Tahun 2000
44) Indonesia, Kementerian Kesehatan, Balitbangkes. 2013, Penyakit Menular Non Neglected
Kajian Program dan Penelitian, Jakarta
45) Informal Expert Consultation on Surveillans, Diagnosis and Risk Reduction of Leptospirosis,
46) International Society for Infectious Disease, 2008. Hand Foot Mouth Disease-Singapore,
47) Investigasi KLB Keracunan Pangan, Sholah Imari, FETP-Kementerian Kesehatan –WHO, 2011.
48) Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya, 2007
49) Kementerian Kesehatan RI, Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia, 2005
50) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 893/MENKES/SK/VIII/2007 tentang
Pedoman Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Pengobatan Filariasis. 2007.
51) Komite Penasehat untuk Praktik Imunisasi (ACIP). MMWR 2006;55(No. RR-17):1–33. (3).
CDC. Pertussis—United States, 2001–2003. MMWR 2005;54:1283–6.
52) Lampiran IV Keputusan Menteri Kesehatan No. 1582/Menkes/SK/XI/2005 tentang Buku
Pedoman Pengobatan Massal Filariasis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal PP & PL. Jakarta. 2006.
53) Lampiran V Keputusan Menteri Kesehatan No. 1582/Menkes/SK/XI/2005 tentang Buku
Pedoman Pengobatan Massal Filariasis. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal PP & PL. Jakarta. 2006.
54) Laporan Data KLB Keracunan Pangan di Indonesia Tahun 2010 – 2014, Subdit Higiene
Sanitasi Pangan, Direktorat Penyehatan Lingkungan, Ditjen PP dan PL, Jakarta, 2014.
55) Laporan Tahunan KLB Keracunan Makanan di Indonesia Tahun 2008 - 2010, Subdit
Surveilans dan Respon KLB, Direktorat Simkarkesma, Ditjen PP dan PL, Jakarta, 2011.
56) Modul Pelatihan Penanggulangan Rabies, Ditjen PP & PL, Jakarta 2008
57) Outbreak Analysis – Epi Curves, University of North Carolina, Division of Public Health, NC
2004
58) Pedoman Kebijakan dan Pengendalian Flu Burung, Ditjen PP dan PL , Kemenkes, 2009
59) Pedoman Pelaksanaan Program Penanggulangan Rabies di Indonesia, Ditjen PP & PL,
Jakarta 2009
60) Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan, Direktorat Surveilans
Epidemiologi, Imunisasi dan Kesehatan Matra, Ditjen PPM&PL, Jakarta, 2003.
61) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang
Jenis Penyakit Menular tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya
Penanggulangannya. 2010.
62) Peraturan Menteri Kesehatan RI, No. 45/ 2014, tentang Penyelenggaraan Surveilans
Kesehatan
63) Peraturan Pemerintah RI, No. 40 tahun 1991, tentang Penanggulangan KLB Penyakit
Menular
64) Principles of Epidemiology, 2nd ed, US, CDC, 1998
65) RSPI Sulianti Saroso Ditjen PP dan PL, Pedoman Tatalaksana Kasus dan pemeriksaan
Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit, Jakarta 2003.
66) Soeharsono. Zoonosis. Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Kanisius, 2002
67) Surveilans Keamanan Pangan, Direktorat Surveilans dan Penyuluhan Keamanan Pangan,
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat
dan Makanan, Jakarta, 2002.
68) The Role of Albendazole in Programmes to Eliminate Lymphatic Filariasis, E.A. Ottesen,
M.M., Ismail and J. Horton. Published on Parasitology Today. Vol : 5 No. 9.1999.
69) Third Edition, Churchill Livingstone,Edinburg, London, Melbourne and New York.
70) Treatment of Brugia timori and Wuchereria bancrofti infections in Indonesia using DEC or
a Combination of DEC ang Albendazole : Adverse Reactions and Short Term Effects on
Microfilariae. Taniawati Supali, Is Suhariah Ismid, Paul Rückert and Peter Rischer. Tropical
Medicine and International Health vol 7 No. 10 PP 894-901 October 2002.
71) Undang-Undang No. 4 Tahun 1984, tentang KLB Penyakit Menular
72) US Department of Health and Human Services,Principles of epidemiology.
An introductions and biostatistics. Second editions, Atlanta, Georgia, 12/92.
73) WHO Aviation Guide which includes information on sanitizing of aircraft 11)WHO. 2014.
Ebola Surveillance in Countries with No Reported Cases of Ebola Virus Disease
74) WHO Organization Writing Group.2009, Nonpharmaceutical Intervention for Pandemi
Influenza, International Measures
75) WHO, 2008, EV 71, www.who.int/csr/don/2008_05_01/en/index.html
76) WHO, Division of Emerging and Other Communicable Diseases Surveillance and Control,
Global Programme for Vaccines and Immunization, Expanded Programme on
Immunization, District Guidelines For Yellow Fever Surveillance, 1998
77) WHO, Food Safety and Foodborne Illness, Revised January, 2002
78) WHO, Global Incidence, Control Programme, Prevention Strategis 2003
79) WHO, Guideline for The Surveillance and Control of Anthrax in Humans and Animals, 2001
80) WHO, Water Related Diseases, Prepared for world water day, 2001
81) WHO,2011, A Guide to Clinical Management and public Health Response for Hand, Foot
and Mouth Disease
82) WHO. 2007, Interim Protocol : Rapid operations to contain the initial emergence of
pandemic influenza
83) WHO. 2009, Interim WHO Guidance for the Surveillance of Human infection with Swine
Influenza A (H1N1) Virus
84) WHO. 2013, Global Pandemic Influenza Surveillance
85) WHO. 2014. Risk Assessment Human infections with Zaïre Ebolavirus in West Africa
86) WHO. 2014. WHO Statement on the Meeting of the International Health Regulations
Emergency Committee Regarding the 2014 Ebola Outbreak in West Africa
87) WHO. 2014.Case definition recommendations for Ebola or Marburg Virus Diseases
88) WHO. Control of Lymphatic Filariasis. A Manual for Health Personel. WHO Geneva. 1987.
89) WHO. Preparing and Implementing a National Plan to Eliminate Lymphatic Filariasis WHO
Geneva, Switzerland. 2000.
90) WHO.2014.Travel and transport risk assessment: Recommendations for public health
authorities and transport sector
[PEDOMAN PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB PENYAKIT MENULAR DAN KERACUNAN
PANGAN]