0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
254 tayangan22 halaman

Plebitis

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 22

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PLEBITIS

1. Definisi

Plebitis adalah peradangan pada tunika intima vena yang terjadi karena

komplikasi pemberian terapi intravena (IV) yang di tandai dengan bengkak,

kemerahan sepanjang vena , nyeri , peningkatan suhu pada daerah insersi

kanula dan penurunan kecepetan tetesan infus (Brooker et all, 2006).

Phlebitis adalah komplikasi lokal dari terapi intravena antara lain infiltrasi,

phlebitis,trombophlebitis, hematoma, dan ekstravasasi (Potter and Perry, 2005).

Phlebitis merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena

sebagai mekanisme iritasi yang terjadi pada endhotelium tunika intima vena

dan perlekatan trombosit pada area tersebut (INS, 2006).

Tiga definisi diatas kesimpulanya plebitis adalah peradangan pada

tunika intima vena yang terjadi akibat komplikasi lokal dari terapi

intravena, yang ditandai dengan bengkak, kemerahan sepanjang vena, nyeri ,

peningkatan suhu pada daerah insersi kanula dan kecepatan tetesan infus,

ini terjadi akibat mekanisme iritasi yang terj adi pada endotelium tunika

intima vena, dan perlekatan trombosit pada area tersebut. Komplikasi akibat

plebitis antara lain : infiltrasi, trombophlebitis, hematoma dan ekstravasasi.


10

2. Pengelompokan Plebitis

Pengelompokan plebitis didasarkan pada faktor penyebabnya. Ada empat

kategori penyebab terjadinya plebitis yaitu : Kimia, mekanik, agen infeksi, dan

post infus (INS, 2006) :

a. Chemical Plebitis ( Plebitis kimia )

Kejadian plebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada

tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan terjadinya

peradangan. Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang

diberikan atau bahan material kateter yang digunakan.

PH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. PH cairan

yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti netral. Ada

kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah

terjadinya karamelisasi dektrose dalam proses sterilisai autoclaf, jadi larutan

yang mengadung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam

nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik.

Osmolalitas diartikan sebaga i konsentrasi sebuah larutan atau jumlah

partikel yang larut dalam suatu larutan. Pada orang sehat, konsentrasi plasma

manusia adalah 285 ± 10 mOsm/kg H²0 (Sylvia, 2006 ). Larutan sering

dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai

dengan osmolaritas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas

plasma.
11

Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total

sebesar 280 – 310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang

dari itu disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan

hipertonik. Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status

fisik klien akaan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh

darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan

hiperosmoler yang mempunyai osmolalitas lebih dari 600 mOsm/L. Terlebih

lagi pada saat pemberian dengan tetesan cepat pada pembuluh vena yang

kecil. Cairan isototonik akan menjadi lebih hiperosmoler apabila ditambah

dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS, 2006). Menurut Imam Subekti

vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900 mOsm/L.

Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi

kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan

tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena

sentral, karena larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas > 900

mOsm/L, melalui vena sentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak

merusak dinding. Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah

satu penyebab utama kejadian phlebitis. Pada pemberian dengan kecepatan

rendah mengurangi irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan

material katheter juga berperan pada kejadian plebitis. Bahan kateter yang

terbuat dari polivinil klorida atau polietelin


12

(teflon) mempunyai resiko terjadi phlebitis lebih besar dibanding bahan yang

terbuat dari silikon atau poliuretan(INS,2006).

Partikel materi yang terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak

sempurna diduga juga bisa menyebabkan resiko terjadinya phlebitis.

Penggunaan filter dengan ukuran 1 sampai dengan 5 mikron pada infus set,

akan menurunkan atau meminimalkan resiko plebitis akibat partikel materi

yang terbentuk tersebut. (Darmawan, 2008)

b. Mechanical plebitis (plebitis mekanik )

Phlebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau

penempatan katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi

lebih sering menimbulkan kejadian phlebitis, oleh karena pada saat

ekstremitas digerakkan katheter yang terpasang ikut bergerak dan

meyebabkan trauma pada dinding vena. Penggunaan ukuran katheter

yang besar pada vena yang kecil juga dapat mengiritasi dinding vena.

(The Centers for Disease Control and Prevention, Guidlines for

prevention of intravenous catheter, 2011 )


13

c. Backterial Plebitis (Plebitis Bakteri)

Plebitis bacterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan

adanya kolonisasi bakteri.

Berdasarkan laporan dari The Centers for Disease Control and

Prevention , (CDC) tahun 2002 dalam artikel intravaskuler catheter – related

infection in adult and pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan

katheter infus adalah stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi dengan

epidemic HIV / AIDS infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat.

Adanya bakterial phlebitis bisa menjadi masalah yang serius sebagai

predisposisi komplikasi sistemik yaitu septicemia. Faktor – faktor yang

berperan dalam kejadian phlebitis bakteri antara lain :

1) Tehnik cuci tangan yang tidak baik.

2) Tehnik aseptik yang kurang pada saat penusukan.

3) Tehnik pemasangan katheter yang buruk.

4) Pemasangan yang terlalu lama. (INS, 2006)

Karena kurangnya teknik aseptik saat pemasangan alat intravena sehingga

terjadi kontaminasi baik melalui tangan, cairan infus, set infus, dan area

penusukan (Alexander, et al., 2010, hal 475). Dalam hal ini, hygiene tangan

orang yang memasang infus memegang peranan penting dalam timbulnya

komplikasi tersebut.
14

d. Plebitis post-infus

Merupakan komplikasi lain yang biasa dilaporkan oleh pasien dengan

terapi infus. Komplikasi ini berhubungan dengan inflamasi pada vena yang

biasanya terjadi dalam waktu 48 sampai 96 jam setelah kateter dipasang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis post-infus adalah:

kurangnya kemampuan dalam tehnik insersi kateter; kelemahan pasien,

kondisi vena yang jelek; cairan hipertonis atau cairan yang asam; filtrasi yang

tidak sesuai; ukuran kateter yang besar tetapi dipasang pada vena yang kecil;

dan ketidaksesuaian dalam penggunaan alat set infus, jenis balutan,

penggunaan akses injeksi, dan bahan kateter (Alexander, et al., 2010, hal 475).

3. Derajat Plebitis

Ada 2 macam cara menilai derajat plebitis :

a. Plebitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyebabnya. Skala plebitis

yang direkomendasikan oleh Infusion Nursing Standard of Practice (2006)

terdiri dari lima dengan skala 0 sampai dengan 4, dimana skala 0

menunjukkan tidak terjadi plebitis sedangkan skala 4 menunjukkan derajat

plebitis yang paling berat.


15

Berikut adalah tabel yang menunjukkan skala plebitis yang direkomendasikan

oleh Infusion Nursing Standard of Practice (2006)

Tabel 2.1 Skala Plebitis

Sumber: Infusion Nurse Society: Standard of Practice, (2006)

dalam Alexander, et al. (2010)

Skala Kriteria klinis

Tidak ditemukan gejala klinis


0

1 Eritema pada daerah insersi dengan atau tanpa nyeri

2 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema dan/atau


edema

Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema,


3 pembentukan lapisan, dan/atau pengerasan sepanjang vena

4 Nyeri pada daerah insersi disertai dengan eritema,


pembentukan lapisan, pengerasan sepanjang vena sepanjang >
1 inchi, dan/atau keluaran
purulen
16

b. Sedangkan skor visual untuk plebitis telah dikembangkan oleh Andrew

Jackson(1998) dan RCN (2005) dalam Daugherty (2008) adalah sebagai

berikut:

Gambar 2.1 Skor Visual Plebitis


Visual Infusion Phlebitis score
Sumber : Dougherty, dkk (2010)

Skor Visual Plebitis VIP Score Visual Infusion Phlebitis score

Tempat suntikan tampak 0 Tak ada tanda flebitis


Sehat Observasi kanula

Salah satu dari berikut jelas: 1 Mungkin tanda dini flebitis :


1. Nyeri pada tempat Observasi kanula
Suntikan
2. Eritema pada tempat
Suntikan
Dua dari berikut jelas : 2 Stadium dini flebitis :
1. Nyeri Ganti tempat kanula
2. Eritema
3. Pembengkakan
Semua dari berikut jelas : 3 Stadium moderat flebitis :
1. Nyeri sepanjang kanula 1. Ganti Kanula
2. Eritema 2. Pikirkan terapi
3. Indurasi
Semua dari berikut jelas : 4 Stadium lanjut atau awal
1. Nyeri sepanjang kanula tromboflebitis :
2. Eritema 1. Ganti Kanula
3. Indurasi 2. Pikirkan terapi
4. Venous cord teraba
Semua dari berikut jelas : 5 Stadium lanjut tromboflebitis :
1. Nyeri sepanjang kanula 1. Lakukan
2. Eritema 2. Ganti kanula
3. Indurasi
4. Venous cord teraba
5. Demam
17

Dougherty (2008) mengatakan bahwa untuk mendeteksi adanya plebitis, maka semua

pasien yang terpasang infus harus diobservasi terhadap tanda plebitis sedikitnya 1 x 24

jam. Observasi juga dilakukan ketika memberikan obat intravena, mengganti cairan infus,

dan terhadap perubahan kecepatan tetesan infus.

4. Pencegahan Plebitis

Plebitis dapat dicegah dengan menggunakan teknik aseptik selama

pemasangan, menggunakan ukuran kateter dan ukuran jarum yang sesuai dengan

ukuran vena, mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi ketika memilih

daerah penusukan, mengobservasi tempat penusukan akan adanya komplikasi

apapun setiap jam, dan menempatkan kateter atau jarum dengan baik

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Plebitis

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis menurut Perdue

dalam Hankins (2004) dan Ignatavicius, et al. (2010) adalah umur, jenis penyakit ,

lama pemasangan infus, perawatan luka insersi, lama pemasangan infus ,

perawatan luka insersi dan lokasi pemilihan vena . Adapun uraian masing-masing

faktor adalah sebagai berikut :

a. Umur

Umur mempengaruhi kondisi vena seseorang, dimana semakin

muda manusia (misal pada usia infant) pembuluh darah masih rapuh

sehingga mudah pecah apalagi dengan gerakan yang tidak terkontrol


18

meningkatkan risiko plebitis mekanik. Dan tentunya dengan ukuran

pembuluh darah yang kecil akan menyulitkan dalam pemasangannya,

sehingga dibutuhkan orang yang benar-benar terampil. Sebaliknya orang

semakin tua mengalami kekakuan pembuluh darah hal ini juga yang

menyebabkan semakin sulit untuk dipasang, serta kondisi pembuluh darah

juga sudah tidak dalam kondisi baik (Dougherty, 2008). Adapun

menurut Nassaji Zavareh M, Ghorbani.R ((Singapore Medical

Journal)Singapore Med J, 2007) meneliti kejadian plebitis pada 300

pasien yang dirawat di bangsal interna dan bedah hasilnya adalah:

berdasarkan usia, usia <60 tahun dari 169 sampel terdapat 47

pasien yang phlebitis (27,8%) usia ≥ 60 tahun dari 131 sampel

terdapat 31 pasien yang plebitis (23,7%).

b. Jenis Kelamin

Campbell (1998) menemukan bahwa jenis kelamin mempunyai

pengaruh terhadap kejadian plebitis, dimana jenis kelamin perempuan

meningkatkan risiko terjadinya plebitis. Berdasarkan Penelitian european

Journal of public health mengungkap bahwa kesehatan perempuan yang

lebih rendah menunjukkan beban lebih tinggi akibat penyakit yang mereka

derita. Hal ini berarti bahwa resiko terjadi infeksi pada perempuan lebih

besar dari laki-laki (Nurlaila , 2011). Wanita yang menggunakan

kontrasepsi kombinasi ( mengandung estrogen dan progesteron , oral atau

suntikan ) mudah mengalami plebitis.


19

c. Jenis Penyakit

Setiap pasien yang dirawat di rumah sakit umumnya mengalami

penurunan kekebalan tubuh baik disebabkan karena penyakitnya maupun

karena efek dari pengobatan. Pada satu waktu, 9 % pasien mengalami

infeksi yang diperoleh dari rumah sakit ( Hindley, 2004 ).

Menurut ( Kathryn L. McCance & Sue E. Huether (2010) dalam

buku pathophysiology hal 752) , penyakit arteri perifer akan muncul lebih

awal dan lebih cepat pada pasien diabetes melitus daripada pasien yang

bukan menderita diabetes melitus.

Riwayat penyakit seperti pembedahan, luka bakar, gangguan

kardiovaskuler, gangguan ginjal, gangguan pencernaan, gangguan

persyarafan dan juga keganasan dapat menimbulkan masalah

keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa. Semua kondisi tersebut

membutuhkan terapi intravena baik sebagai terapi utama maupun sebagai

akses medikasi. Pemberian terapi intravena dapat menimbulkan risiko

terjadinya infeksi, termasuk plebitis, karena adanya portal the entry and

exit yang merupakan akses masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh jika

tidak dilakukan tindakan pencegahan yang adekuat (Potter & Perry, 2005).

d. Lama pemasangan infus

Infusion Nursing Standards of Practice (INS 2006) merekomendasikan

bahwa kanula perifer harus diganti setiap 72 jam dan segera mungkin jika
20

diduga terkontaminasi, adanya komplikasi, atau ketika terapi telah

dihentikan (Perucca dalam Hankins, et al., 2001; Alexander, et al., 2010).

Sementara penelitian yang dilakukan oleh Barker et al. (2004),

membuktikan bahwa pemindahan lokasi penusukan dengan terencana

setiap 48 jam secara signifikan mengurangi insiden plebitis infuse.

e. Perawatan luka insersi

Perawatan infus merupakan tindakan yang dilakukan dengan

mengganti balutan/plester pada area insersi infus (Perry dan Potter, 2005)

Frekuensi penggantian balutan ditentukan oleh kebijakan institusi. Dahulu

penggantian balutan dilakukan setiap hari, tapi saat ini telah dikurangi

menjadi setiap 48 sampai 72 jam sekali, yakni bersamaan dengan

penggantian daerah pemasangan IV (Gardner, 2006). Tujuan perawatan

infus yaitu mempertahankan tehnik steril, mencegah masuknya bakteri ke

dalam aliran darah, pencegahan/meminimalkan timbulnya infeksi, dan

memantau area insersi

INS (2006) dalam Alexander, et al. (2010) merekomendasikan

bahwa kriteria perawatan daerah insersi kateter yaitu: yang pertama

pertemuan kulit dengan kateter harus dibersihkan dengan cairan antiseptik,

dan yang kedua adalah meminimalkan kerusakan dan pergerakan kateter.

Balutan untuk menutupi tempat insersi kanula IV merupakan faktor yang

mempengaruhi terjadinya infeksi, hal ini dipengaruhi karena faktor


21

kelembaban. Kondisi lingkungan yang lembab menyebabkan mikroba

akan lebih cepat berkembang, sehingga tempat insersi kanula IV harus

dijaga agar tetap kering (Hidley, 2004).

f. Lokasi pemilihan vena

Banyak tempat yang dapat digunakan untuk terapi IV, tetapi

kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di antara tempat-tempat ini.

Tempat insersi kanula intravena umumnya pada ektremitas atas. Pada

ekstremitas bawah sangat tidak dianjurkan karena meningkatkan risiko

terjadinya tromboplebitis. Kalaupun digunakan, vena ini merupakan cara

terakhir dan dapat dilakukan hanya dengan program medik dokter

(Daugherty, 2008).

Tempat lain yang harus dihindari adalah vena dibawah infiltrasi

vena sebelumnya atau di bawah area yang plebitis; vena yang sklerotik

atau bertrombus; lengan dengan pirai arteriovena atau fistula; atau lengan

yang mengalami edema, infeksi, bekuan darah, kerusakan kulit atau post

mastectomy. Lengan yang berada di bagian payudara yang sudah diangkat

( mastectomy ) tidak dianjurkan untuk dipasang kateter infus karena

memiliki risiko terjadi emboli (NHS County and Darlington Community

Health Services, 2010)

Vena yang dapat digunakan sebagai tempat insersi kanula adalah

vena basilaris, vena metacarpal, dan vena sepalika. Lokasi tempat insersi

juga sangat menentukan. Selain itu perlu dipertimbangkan ukuran vena


22

yang digunakan, jika untuk terapi cairan isotonik dapat menggunakan vena

yang ukuran kecil. Tetapi jika pasien mendapat program terapi obat yang

bersifat iritatif atau mendapat terapi cairan hipertonis, maka perlu

dipertimbangkan untuk memilih vena yang ukurannya lebih besar

(Hanskin, et al., 2001; Philips, 2005; Alexander, et al., 2005; RCN, 2005).

Daugherty (2008) mengatakan bahwa vena sephalik merupakan

vena dengan ukuran besar. Berdasarkan ukuran dan posisinya, maka vena

ini dapat menjadi pilihan terbaik untuk pemberian tranfusi karena ukuran

venanya siap untuk mengakomodasi kateter yang berukuran besar, dan

berdasarkan posisinya yang berada di lengan bawah.

Vena basilaris sering di abaikan karena posisinya yang tidak

menarik perhatian yaitu pada perbatasan ulnaris dan lengan bawah.

Canulasi yang dilakukan dapat menjadi canggung karena posisinya

tersebut, dan mobilitas serta kecenderungan memiliki banyak katup

( Daugherty 2008 ).

Vena metacarpal merupakan vena yang mudah diakses dan mudah

dilihat serta dipalpasi. Vena ini sangat baik untuk kanulasi karena posisi

kateter akan datar, dan vena metacarpal ini memberikan bebat alami

(Weinstein 2007 dalam Daugherty 2008). Tetapi vena ini kontraindikasi

digunakan pada pasien lansia karena turgor kulit sudah berkurang dan

sudah kehilangan lapisan subkutan, sehingga membuat


23

vena kurang stabil, vena lebih rapuh, serta distensi vena yang menurun

(Daugherty 2008).

Sedangkan menurut (Sugiarto,2006), Faktor-faktor yang

mempengaruhi terjadinya plebitis adalah

a) Hindari pemilihan vena pada area fleksi atau lipatan

atau pada ekstremitas dengan pergerakan maksimal

b) Faktor - faktor pada pasien seperti adanya vena yang

berkelok-kelok dan spasme vena dapat mempengaruhi

kecepatan aliran (infus menjadi lambat atau berhenti ).

c) Ukuran kateter intra vena yang terlalu besar di

bandingkan dengan ukuran vena memungkinkan

terjadinya cedera pada vena tunika intima.

d) Fiksasi yang kurang adekuat menyebabkan pergerakan

kanula di dalam vena sehingga menyebabkan terjadinya

infeksi .

e) Pengenceran obat injeksi yang tidak maksimal terutama

jenis antibiotika.

f) Keseterilan alat-alat intravena.

g) Faktor kebersihan perawat (cuci tangan sebelum dan

sesudah pemasangan infus


24

B. IPSG (International Patient Safety Goals)

IPSG disusun dengan cara yang sama seperti standar JCI lainnya.

Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem di mana rumah

sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen resiko,

identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan

dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta

implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem tersebut

diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan

akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan yang

seharusnya dilakukan ( Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit,

Depkes R.I. 2008).

Tujuan :

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit

2. Meningkatnya akutanbilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat

3. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit

4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga

tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan

IPSG terdiri dari 3 komponen :

1. Standar, merupakan prinsip

2. Deskripsi, merupakan penjelasan standar

3. ME (Measurable element), merupakan kebutuhan rinci dari standar dan

nilai skor berdasarkan ME.


25

Semua ME (Measurable element) dirata-ratakan untuk mendapatkan skor

standar, semua standar dirata-ratakan untuk mendapatkan skor chapter, dan semua

chapter dirata-ratakan untuk mendapatkan skor total.

Adapun yang termasuk standar IPSG adalah :

a) SASARAN I : KETEPATAN IDENTIFIKASI PASIEN

Standar SKP I Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki/

meningkatkan ketelitian identifikasi pasien

Elemen Penilaian Sasaran I :

1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh

menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien.

2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah atau produk darah.

3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk

pemeriksaan klinis.

4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.

b) SASARAN II : PENINGKATAN KOMUNIKASI EFEKTIF

Standar SKP II Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan

efektifitas komunikasi antar para pemberi pelayanan

Elemen Penilaian Sasaran II :

1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan

dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.

2. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan

dibacakan secara lengkap oleh penerima perintah.


26

3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang

menyampaikan hasil pemeriksaan.

4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan

komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten

c) SASARAN III : PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU

DIWASPADAI (HIGH ALERT)

Standar SKP III Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high alert)

Elemen Penilaian Sasaran III :

1. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,

menetapkan lokasi, pemberian label dan penyimpanan elektrolit konsentrat.

2. Implementasi kebijakan dan prosedur.

3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika

dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian

yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.

d) SASARAN IV : KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR,

TEPAT-PASIEN OPERASI

Standar SKP IV Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur dan tepat-pasien.


27

Elemen Penilaian Sasaran IV :

1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk

identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien didalam proses penandaan.

2. Rumah sakit menggunakan suatu cheklist atau proses lain untuk memverifikasi

saat pre operasi tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-pasien dan semua

dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat dan fungsional.

3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur sebelum

"incisi/time out" tepat sebelum dimulainya suatu prosedur tindakan

pembedahan.

4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung suatu proses yang

seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-pasien,

termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

e) SASARAN V : PENGURANGAN RESIKO INFEKSI TERKAIT

PELAYANAN KESEHATAN

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi

yang terkait pelayanan kesehatan. yang tergolong dalam Intens of IPSG 5 yaitu:

pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar di rumah

sakit, peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan

pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para

profesional pelayanan kesehatan, infeksi biasanya: infeksi saluran kemih, infeksi

pada aliran darah (blood stream infections) dan VAP (Ventilator Associated
28

Pneumonia), pokok eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci

tangan (hand hygiene) yang tepat memakai pedoman hand hygiene dari WHO.

Pada umumnya rumah sakit telah mempunyai proses kolaboratif untuk

mengembangkan kebijakan dan prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi

petunjuk hand hygiene yang sudah diterima secara umum untuk implementasi

petunjuk itu di rumah sakit yang bersangkutan. Elemen penilaian IPSG 5 yaitu:(1)

rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang

diterbitkan dan sudah diterima secara umum, (2) rumah sakit menerapkan

program hand hygiene yang efektif, (3) kebijakan dan prosedur dikembangkan

untuk mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan risiko infeksi yang terkait

pelayanan kesehatan. Petugas kesehatan adalah sebagai agen kuman karena dari

tangannyalah seorang pasien dapat selamat dari infeksi nasakomial rumah sakit

dan kepatuhan perawat untuk melakukan cuci tangan yaitu penelitian WHO

persepsi paling baik yaitu 83,9% pada kebersihan tangan perawat (WHO, 2009).

Acuan dapat berasal dari dalam dan luar negeri, seperti WHO mempublikasikan

pedoman 6 langkah cuci tangan (hand hygiene) dan 5 momen cuci tangan.

Sebagai tambahan, program pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit

membutuhkan sumber daya yang dapat memberikan edukasi kepada semua staf

dan penyediaan, seperti alcohol atau handrubs untuk hand hygiene.

Pimpinan rumah sakit menjamin bahwa proram ini mempunyai sumber daya yang

cukup untuk dapat menjalankan program ini secara efektif. Seluruh area
29

pasien, staf dan pengunjung rumah sakit dimasukkan dalam program pencegahan

dan pengendalian infeksi (Kemenkes, 2012).

Pedoman kebersihan tangan dalam perawatan kesehatan menyajikan bukti dasar

untuk berfokus pada peningkatan kebersihan tangan sebagai bagian dari

pendekatan terpadu untuk pengurangan perawatan kesehatan terkait

infeksi/Health care-associated Infection (HCAI), implementasi pedoman ini

sangat penting untuk mencapai dampak pada keselamatan pasien dan panduan ini

bertujuan secara aktif mendukung untuk dapat digunakan dalam pelayanan

(WHO, 2009).

Elemen Penilaian:

1. Unit pengelola mengadaptasi dan menerapkan standard teraktual mengenai

kebersihan tangan.

2. Unit pengelola menjalankan program kebersihan tangan yang efektif

3. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan sehingga mendukung

kelangsungan pengurangan risiko infeksi yang terkait dengan pelayanan

kesehatan

Kebijakan Pencegahan infeksi dilakukan untuk meningkatkan standar mutu

rumah sakit , kebijakan yang tertera di atas menjadi acuan RSPP. Dan RSPP

sendiri memiliki standart tersendiri , salah satu diantaranya terbentuknya Tim

PPIRS ,yang berfungsi sebagai surveilens dan meminimalisir tingkat kejadian

plebitis pada khususnya.


30

f) SASARAN VI : PENGURANGAN RESIKO PASIEN JATUH

Standar SKP VI Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk

mengurangi resiko pasien dari cidera karena jatuh.

Elemen Penilaian Sasaran VI :

1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap resiko

jatuh dan melakukan asesmen ulang bila pasien diindikasikan terjadi

perubahan kondisi atau pengobatan dan lain-lain.

2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi resiko jatuh bagi mereka yang

pada hasil asesmen dianggap beresiko jatuh.

3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan, pengurangan cedera

akibat jatuh dan dampak dari kejadian yang tidak diharapkan.

4. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan

berkelanjutan resiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai