Kelompok 3 (Rheumatic Heart Disease) - Camelia
Kelompok 3 (Rheumatic Heart Disease) - Camelia
Kelompok 3 (Rheumatic Heart Disease) - Camelia
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas kelompok makalah
seminar kasus yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Klien dengan RHD”
dengan baik.
Kami menyampaikan terima kasih yang juga kepada:
1. Prof. Nursalam, M.Nurs (hons), selaku Dekan yang senantiasa memacu,
dan memotivasi mahasiswa untuk selalu bersemangat dalam belajar;
2. Erna Dwi Wahyuni, S.Kep. Ns., M.Kep., selaku fasilitator yang
memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian makalah ini;
3. Binafsih, S.ST., selaku fasilitator klinik yang sealu memberi arahan
kepada kami untuk melakukan asuhan keperawatan yang baik pada klien
dengan penyakit jantung.
4. Teman-teman yang telah bekerja sama dalam penyelesaian tugas ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini belum sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penyusun berharap adanya kritik dan saran yang
dapat membangun agar dalam penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih
baik lagi. Penyusun juga berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kami
secara pribadi dan bagi yang membutuhkannya.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Rheumatic Heart Disease merupakan reaksi autoimun terhadap infeksi
bakteri reumatogenik, streprococus grup A. Karakteristik primer dari penyakit ini
adalah lesi permanen pada katup jantung, meskipun bagian lain dari jantung juga
terdampak. Angka kejadian Rheumatic Heart Disease di Negara berkembang
mengalami penurunan, namun penyakit ini masih menjadi masalah yang tinggi
bagi Negara industry dan Negara tertinggal (Dwivedi, 2016). Rheumatic Heart
Disease sering kali diabaikan oleh masyarakat, padahal penyakit ini merupakan
gangguan kardiovaskular dengan angka mordibitas dan mortalitas yang tinggi
pada kelompok dewasa muda, yaitu sekitar 250.000 kematian pertahun dari
seluruh dunia (Marijon et al. 2012).
WHO melaporkan sekitar 18,1 juta jiwa mengalami demam rematik akut,
rheumatic heart disease , dan rheumatic heart disease berhubungan dengan stroke
atau infeksi endokarditis, 5 juta jiwa diantaranya meninggal pada tahun 2005.
Mayoritas dari penyebab kematian tersebut adalah berkaitan dengan komplikasi
rheumatic heart disease (Watson et al. 2014). Rheumatic Heart Disease kronis
diperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak-anak dan orang dewasa muda =, 90.000
orang diantaranya meninggal setiap tahunnya. Angka kematian dari penyakit ini
sekitar 1%-10%. Hasil laporan WHO Expert Consultation Geneva menunjukkan
bahwa angka mortalitas rheumatic heart disease 0,5 per 100.000 penduduk di
Negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di Negara berkembang, dan di
daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 (Afif, 2008). Diantara 32
pasien dengan rheumatic heart disease, 21 (66%) terdiagnosa tanpa adanya
riwayat demam rematik, hal tersebut mengindikasikan bahwa pasien tidak
mencari atau mendapatkan diagnose sebelum penyakitnya berkembang.
Prevalensi rheumatic heart disease adalah 3,2 per 1.000 orang pada Agustus 2013
(Beaudoin et al. 2015).
Rheumatic heart disease dapat berulang (rekuren), biasanya mengikuti
pola umur, sering terjadi pada masa anak dan jarang muncul setelah umur 25
tahun. Episode rekuren dapat terjadi kerusakan progresif pada katup. Gejala sisa
dan deformitas katup yang progresif dapat menyebabkan manifestasi kronik pada
masa dewasa bahkan kematian. Sangat penting untuk dilakukan upaya
mengurangi komplikasi serangan berulang dengan mengetahui secara pasti faktor-
faktor predictor sehingga menghasilkan luaran (outcome) yang lebih baik. (Sari
Pediatri, 2012). Beberapa faktor yang diduga berperan terhadap rheumatic heart
disease berulang yaitu usia saat pertama serangan, adanya penyakit jantung
reumatik, jarak waktu serangan berulang dari serangan sebelumnya, jumlah
serangan demam sebelumnya, derajat kekumuhan suatu keluarga, riwayat
keluarga dengan rheumatic heart disease atau penyakit jantung reumatik, faktor
sosial dan edukasi pasien, risiko infeksi streptokokus di area tempat tinggal, dan
penerimaan pasien terhadap pengobatan yang diberikan. Pengobatan dilakukan
agar dapat dilakukan tatalaksana yang cepat, tepat sehingga dapat menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas. Setiap pasien dating untuk melakukan kontrol,
hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan darah rutin, urin rutin, feces rutin, nilai
ASTO, CRP, LED, hasil EKG, fototoraks, dan hasil ekokardiografi untuk
mendeteksi risiko serangan rekuren.
Sehubungan dengan bebagai kondisi di atas tersebut perawat diharapkan
dapat memberikan asuhan keperawatan secara holistik yang didasarkan kepada
perawatan pasien secara total yang mempertimbangkan kebutuhan bio-psiko-
sosial dan spiritual. Sehingga, mahasiswa tertarik untuk meninjau lebih jauh lagi
lewat seminar yang membahas rheumatic heart disease pada Tn. S dirumah sakit
umum daerah DR. Soetomo Surabaya.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuanumum
Mahasiswa mampu memahami dan menerapkan konsep asuhan keperawatan
pada klien dengan rheumatic heart disease.
1.3.2 TujuanKhusus
1. Mahasiswa mampu memahami definisi rheumatic heart disease.
2. Mahasiswa mampu memahami etiologi rheumatic heart disease.
3. Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis rheumatic heart disease.
4. Mahasiswa mampu memahami patofisiologirheumatic heart disease.
5. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan diagnostic rheumatic heart
disease.
6. Mahasiswa mampu memahami web of causation rheumatic heart disease.
7. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan rheumatic heart disease.
8. Mahasiswa mampu memahami prognosis rheumatic heart disease.
9. Mahasiswa mampu memahami pengkajian keperawatan pada rheumatic
heart disease.
10. Mahasiswa mampu memahami diagnose keperawatan rheumatic heart
disease.
11. Mahasiswa mampu memahami intervensi keperawatan rheumatic heart
disease.
1.4 Manfaat
1. Makalah ini dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan rheumatic heart disease.
2. Makalah ini dapat digunakan untuk acuan dalam memberikan pendidikan
kesehatan rumah sakit terutama pada pasien dengan rheumatic heart
disease.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat
bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi
Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas.
Demam reumatik akut ditandai oleh demam berkepanjangan, jantung berdebar
keras, kadang cepat lelah. Puncak insiden demam rematik terdapat pada
kelompok usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah
usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun.
Penyakit jantung rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya rheumatic
heart disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup
jantung yang bisa mengakibatkan penyempitan atau kebocoran, terutama
katup mitral sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam rematik.
Penyakit jantung reumatik adalah penyakit yang di tandai dengan
kerusakan pada katup jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang
berulang kali. (kapita selekta, edisi 3, 2000).
Rheumatic fever adalah suatu penyakit inflamasi akut yang
diakibatkan oleh infeksi streptococcus β hemolytic group A pada tenggorokan
(faringitis), tetapi tanpa disertai infeksi lain atau tidak ada infeksi
streptococcus di tempat lain seperti di kulit. Karakteristik rheumatic fever
cenderung berulang (recurrence) (Udjianti, 2010).
Rheumatic fever terdiri atas beberapa manifestasi klinis 1) arthritis
(paling sering) 2) carditis (paling serius) 3) chorea (paling jarang dan tidak
berkaitan) 4) subcutaneous nodule 5) erythema marginatum (Udjianti, 2010).
Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani
secara adekuat, Maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit
jantung rematik. Infeksi oleh kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A
yang menyebabkan seseorang mengalami demam rematik dimana diawali
terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan penatalaksanaan
dan pengobatannya yang kurang terarah menyebabkan racun/toxin dari kuman
ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan katup
jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga
menyempit, atau menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak
sempurna lagi dan terjadi kebocoran.
B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah
reaksi autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik.
Infeksi streptococcus β hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului
terjadinya demam reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun
demam reumatik serangan ulang.
Infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada tenggorok selalu
mendahului terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama maupun
serangan ulang.
Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam rematik terdapat
beberapa predisposisi antara lain :
Faktor-faktor pada individu :
1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap
demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik
dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus.
2. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan
dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada
perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih
sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
3. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun
ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam
dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati,
sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua
golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang
sebenarnya.
4. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya
demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering
mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8
tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat
jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi
umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak
usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi
streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
5. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan
apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian
dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein
dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis
pada reumatik fever.
7. Serangan demam rematik sebelumnya.
Serangan ulang demam rematik sesudah adanya reinfeksi dengan
Streptococcus beta-hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang
sebelumnya pernah mendapat demam rematik.
Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi:
1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai
predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik
di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik
termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan
yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan
sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit
sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan
kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor
yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak
didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi,
lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi
agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi
saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik
juga meningkat.
C. MANIFESTASI KLINIS
Demam reumatik merupakan kumpulan sejumlah gejala dan tanda
klinik. Demam reumatik merupakan penyakit pada banyak sistem, mengenai
terutama jantung, sendi, otak dan jaringan kulit. Tanda dan gejala akut demam
reumatik bervariasi tergantung organ yang terlibat dan derajat keterlibatannya.
Biasanya gejala-gejala ini berlangsung satu sampai enam minggu setelah
infeksi oleh Streptococcus. Perjalanan klinis penyakit demam reumatik /
penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium.
1. Stadium I
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus
Hemolyticus Grup A. Keluhan yang terjadi diantanya :
a. Demam
b. Batuk
c. Rasa sakit waktu menelan
d. Muntah
e. Diare
f. Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.
2. Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi
streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode
ini berlangsung 1 – 3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu
atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
3. Stadium III
Stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya
berbagai manifestasi klinis demam reumatik /penyakit jantung reumatik.
Manifestasi klinis tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan
umum dan menifesrasi spesifik demam reumatik /penyakit jantung
reumatik.
Gejala peradangan umum :
a. Demam yang tinggi
b. Lesu
c. Anoreksia
d. Berat badan menurun
e. Kelihatan pucat
f. Epistaksis
g. Athralgia
h. Rasa sakit disekitar sendi
i. Sakit perut
4. Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik
tanpa kelainan jantung / penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala
sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa. Pada penderita penyakit
jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang
timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pasa fase ini baik
penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-
waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.
Manifestasi klinis penyakit jantung rematik menurut Jones (1982)
diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1. Kriteria mayor :
a. Arditis
Yaitu terjadi peradangan pada jantung ( miokarditis dan atau
endokarditis ) yang menyebabkan terjadinya gangguan pada katup
mitral dan aorta dengan manifestasi terjadi penurunan curah jantung
( seperti hipotensi, pucat, sianosis, berdebar-debar dan heart rate
meningkat ), bunyi jantung melemah, dan terdengar suara bising katup
pada auskultasi akibat stenosis dari katup terutama mitral ( bising
sistolik ), Friction rub.
b. Polyarthritis
Klien yang menderita RHD biasanya datang dengan keluhan nyeri
pada sendi yang berpindah-pindah, radang sendi-sendi besar, lutut,
pergelangan kaki, pergelangan tangan, siku ( polyarthritis migrans ),
gangguan fungsi sendi.
c. Khorea Syndenham
Merupakan gerakan yang tidak disengaja / gerakan abnormal ,
bilateral,tanpa tujuan dan involunter, serta sering kali disertai dengan
kelemahan otot ,sebagai manifestasi peradangan pada sistem saraf
pusat.
d. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan manifestasi RHD pada kulit, berupa
bercak-bercak merah dengan bagian tengah berwarna pucat sedangkan
tepinya berbatas tegas , berbentuk bulat dan bergelombang tanpa
indurasi dan tidak gatal. Biasanya terjadi pada batang tubuh dan
telapak tangan.
e. Nodul Subcutan
Nodul subcutan ini terlihat sebagai tonjolan-tonjolan keras dibawah
kulit tanpa adanya perubahan warna atau rasa nyeri. Biasanya timbul
pada minggu pertama serangan dan menghilang setelah 1-2 minggu.
Ini jarang ditemukan pada orang dewasa.Nodul ini terutama muncul
pada permukaan ekstensor sendi terutama siku,ruas
jari,lutut,persendian kaki. Nodul ini lunak dan bergerak bebas.
2. Kriteria Minor :
a. Mempunyai riwayat menderita demam reumatik /penyakit jantung
reumatik
b. Athralgia atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi;
pasien kadang-kadang sulit menggerakkan tungkainya
c. Demam tidak lebih dari 39 derajad celcius
d. Leukositosis
e. Peningkatan Laju Endap Darah (LED)
f. C-Reaktif Protein (CRF) positif
g. P-R interval memanjang
h. Peningkatan pulse denyut jantung saat tidur (sleeping pulse)
i. Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)
Selain kriteria mayor dan minor tersebut, terjadi juga gejala-gejala
umum seperti akral dingin, lesu,terlihat pucat dan anemia akibat gangguan
eritropoesis.gejala lain yang dapat muncul juga gangguan pada GI tract
dengan manifestasi peningkatan HCL dengan gejala mual dan anoreksia.
Diagnosa ditegakkan bila ada dua kriteria mayor dan satu kriteria minor, atau
dua kriteria minor dan satu kriteria mayor.
D. PATOFISIOLOGI
Demam rematik adalah penyakit radang yang timbul setelah infeksi
streptococcus golongan beta hemolitik A. Penyakit ini menyebabkan lesi
patologik jantung, pembuluh darah, sendi dan jaringan sub kutan. Gejala
demam rematik bermanifestasi kira-kira1-5 minggu setelah terkena infeksi.
Gejala awal, seperti juga beratnya penyakit sangat bervariasi. Gejala awal
yang paling sering dijumpai (75%) adalah arthritis. Bentuk polyarthritis yang
bermigrasi. Gejala dapat digolongkan sebagai kardiak dan non kardiak dan
dapat berkembang secara bertahap.
Demam reumatik dapat menyerang semua bagian jantung. Meskipun
pengetahuan tentang penyakit ini serta penelitian terhadap kuman Beta
Streptococcus HemolyticusGrup A sudah berkembang pesat, namun
mekanisme terjadinya demam reumatik yangpasti belum diketahui.Pada
umumnya para ahli sependapat bahwa demam remautik termasuk dalam
penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20
produk ekstrasel yang terpenting, diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin
S, hialuronidase, streptokinase, difosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease
serta streptococcal erytrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang
timbulnya antibody.
Pada penderita yang sembuh dari infeksi streptococcus, terdapat kira-
kira 20 sistem antigen-antibodi; beberapa diantaranya menetap lebih lama
daripada yang lain. Anti DNA-ase misalnya dapat menetap beberapa bulan
dan berguna untuk penelitian terhadap penderita yang menunjukkan gejala
korea sebagai manifestasi tunggal demam rematik, saat kadar antibody lainnya
sudah normal kembali.
Terjadinya jantung rematik disebabkan langsung oleh demam rematik,
suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A.
demam rematik mempengaruhi semua persendian, menyebabkan poliartritis.
Jantung merupakan organ sasaran dan merupakan bagian yang kerusakannya
paling serius.
Kerusakan jantung dan lesi sendi bukan akibat infeksi, artinya jaringan
tersebut tidak mengalami infeksi atau secara langsung dirusak oleh organism
tersebut, namun hal ini merupakan fenomena sensitivitas atau reaksi, yang
terjadi sebagai respon terhadap streptokokus hemolitikus. Leukosit darah
akan tertimbun pada jaringan yang terkena dan membentuk nodul, yang
kemudian akan diganti dengan jaringan parut. endokarditis rematik
mengakibatkan efek samping kecacatan permanen. Tepi bilah katup yang
meradang menjadi lengket satu sama lain, mengakibatkan stenosis katup, yaitu
penyempitan lumen katup.
Stenosis mitral menyebabkan pengosongan atrium kiri tidak sempurna,
menaikkan tekanan vena pulmonalis, hipertensi pulmo dan hipertrofi ventrikel
kanan, dilatasi dan kegagalan.
Fibrilasi atrium sering merupakan komplikasi stenosis mitral akibat
valvulitis reumatik. Penyebab lain fibrilasi atrium ialah penyakit jantung
iskemik, tirotoksikosis dan pembedahan jantung, beberapa kasus idiopatik.
Kontraksi atrium yang tidak efektif akan menyebabkan stasis dan
pembentukan trombus dalam atrium, ini merupakan sumber yang potensial
untuk terjadinya trombo-emboli yang sistemik. Mitral stenosis murni terdapat
pada kurang lebih 40% dari semua penderita penyakit jantung reumatik.
Terdapat periode laten antara 10-20 tahun, atau lebih, setelah suatu episode
penyakit jantung rematik; dengan demikian tidak akan terjadi onset dari gejala
mitral stenosis sebelumnya.
Penyempitan dari katup mitral menyebabkan perubahan pada
peredaran darah, terutama di atas katup. Ventrikel kiri yang berada di bawah
katup tidak banyak mengalami perubahan kecuali pada mitral stenosis yang
berat, ventrikel kiri dan aorta dapat menjadi kecil. Luas normal orifisium
katup mitral adalah 4-6 cm2. Ketika daerah orifisium ini berkurang hingga 2
cm2 maka akan terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang dibutuhkan agar
aliran transmitral tetap normal. Mitral stenosis yang parah terjadi ketika
pembukaan berkurang hingga 1 cm2. Pada tahap ini dibutuhkan tekanan atrium
kiri sebesar 25 mmHg untuk mempertahankan cardiac output yang normal.
Mitral stenosis menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri
selama fase diastolic ventrikel. Untuk mengisi ventrikel dengan adekuat dan
mempertahankan curah jantung, atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang
lebih besar untuk mendorong darah melampaui katup yang menyempit.Karena
itu, selisih tekanan atau gradient tekanan antara kedua ruang tersebut
meningkat. Dalam keadaan normal selisih tekanan tersebut minimal.
Otot atrium kiri mengalami hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan
memompa darah. Makin lama peranan kontraksi atrium makin penting sebagai
faktor pembantu pengisian ventrikel. Dilatasi atrium kiri terjadi oleh karena
volume atrium kiri meningkat karena ketidakmampuan atrium untuk
mengosongkan diri secara normal. Peningkatan tekanan dan volume atrium
kiri dipantulkan ke belakang ke dalam pembuluh paru-paru. Tekanan dalam
vena pulmonalis dan kapiler meningkat, akibatnya terjadi kongesti paru-paru,
mulai dari kongesti vena yang ringan sampai edema interstitial yang kadang-
kadang disertai transudasi dalam alveoli. Pada akhirnya, tekanan arteria
pulmonalis harus meningkat sebagai akibat dari resistensi vena pulmonalis
yang meninggi.
Respon ini memastikan gradient tekanan yang memadai untuk
mendorong darah melalui pembuluh paru-paru.Akan tetapi, hipertensi
pulmonalis meningkatkan resistensi ejeksi ventrikel kanan menuju arteria
pulmonalis. Ventrikel kanan memberi respons terhadap peningkatan beban
tekanan ini dengan cara hipertrofi. Lama kelamaan hipertrofi ini akan dikuti
oleh dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ventrikel kanan ini nampak pada foto
jantung pada posisi lateral dan posisi PA. Pembesaran ventrikel kanan ini lama
kelamaan mempengaruhi fungsi katup trikuspidalis. Katup ini akan
mengalami insufisiensi. Kalau ventrikel kanan mengalami kegagalan, maka
darah yang mengalir ke paru berkurang. Dilatasi ventrikel kanan akan
bertambah, sehingga kemungkinan terjadinya insufisisiensi katup trikuspid
semakin besar pula.
Dari hal di atas, dapat disimpulkan bahwa stenosis mitral menghalangi
aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri selama fase diastolik ventrikel.
Untuk mengisi ventrikel dengan adekuat dan mempertahankan curah jantung,
atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk mendorong
darah melampaui katup yang menyempit. Karena itu selisih tekanan atau
gradien tekanan antara dua ruangan tersebut meningkat. Dalam keadaan
normal selisih kedua tekanan itu minimal.
E. WOC
Anoreksia
Terjadi proses autoimun
Pelepasan
mediator nyeri Jantung Menyerang sendi,
bradikinin pembuluh darah, subkutan
prostaglandin dan
serotonin Terjadi reaksi inflamasi
Darah
Pengisian Tekanan vena Resistensi arteri
terakumulasi di
ventrikel kiri pulmonal meningkat pulmonal
vena pulmonal
menurun
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan demam reumatik aktif atau reaktivasi kembali
diantaranya adalah :
1. Tirah baring dan mobilisasi (kembali keaktivitas normal) secara bertahap
2. Pemberantasan terhadap kuman streptokokkus dengan pemberian
antibiotic penisilin atau eritromisin. Untuk profilaksis atau pencegahan
dapat diberikan antibiotic penisilin benzatin atau sulfadiazine
3. Antiinflamasi (antiperadangan). Antiperadangan seperti salisilat dapat
dipakai pada demam reumatik tanpa karditis (peradangan pada jantung)
Karena demam rematik berhubungan erat dengan radang Streptococcus
beta-hemolyticus grup A, maka pemberantasan dan pencegahan ditujukan
pada radang tersebut. Ini dapat berupa :
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta-hemolyticus grup A
Pengobatan adekuat harus dimulai secepatnya pada DR dan dilanjutkan
dengan pencegahan. Erythromycin diberikan kepada mereka yang alergi
terhadap penicillin.
2. Obat anti rematik
Baik cortocisteroid maupun salisilat diketahui sebagai obat yang berguna
untuk mengurangi/menghilangkan gejala-gejala radang akut pada DR
3. Diet
Makanan yang cukup kalori, protein dan vitamin.
4. Istirahat
Istirahat dianjurkan sampai tanda-tanda inflamasi hilang dan bentuk
jantung mengecil pada kasus-kasus kardiomegali. Biasanya 7-14 hari pada
kasus DR minus carditis. Pada kasus plus carditis, lama istirahat rata-rata 3
minggu – 3 bulan tergantung pada berat ringannya kelainan yang ada serta
kemajuan perjalanan penyakit.
5. Obat-obat Lain
Diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada kasus dengan dekompensasi
kordis diberikan digitalis, diuretika dan sedative. Bila ada chorea diberikan
largactil dan lain-lain.
H. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR)
diantaranya adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di
seluruh bagian jantung), pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau
sumbatan pada paru, kelainan katup jantung, dan infark (kematian sel
jantung).
1. Dekompensasi Cordis
Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan
terdapatnya sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi
keperluan metabolic termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena
kerja otot jantung yang berlebihan, biasanya karena kelainan struktur
jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses inflamasi atau
gabungan kedua faktor tersebut. Pada umumnya payah jantung pada anak
diobati secara klasik yaitu dengan digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan
pengobatan ialah menghilangkan gejala (simptomatik) dan yang paling
penting mengobati penyakit primer.
2. Pericarditis
Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari
reaksi radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum
pericard.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
a. Identifikasi pasien
Nama, usia (paling banyak menyerang anak usia 5-15 tahun), jenis
kelamin (paling banyak menyerang anak perempuan), alamat (insiden
terbanyak terjai di daerah dataran tinggi), pendidikan, bangsa (orang kulit
hitam lebih banyak terserang), dan pekerjaan.
b. Keadaan sebelum sakit
Klien merasa nyeri pada area dada.
c. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama : nyeri daerah dada
d. Riwayat kesehatan keluarga
ada anggota keluarga yang sebelumnya mengalami penyakit yang sama
e. Pola nutrisi dan metabolic
Pasien dapat merasa mual, anoreksia, dan nyeri abdomen
f. Pola aktivitas dan latihan
Pasien mengeluh lemas dan sesak nafas, akral dingin dan pasien palpitasi.
g. Pola eliminasi
Luaran urin tidak adekuat, oliguria
h. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
Pasien Nampak gelisah, dan takut dengan tindakan medis yang diberikan
i. ROS (Review of System)
B1 (breath) : sesak, RR meningkat, batuk, otrthopnea, fagal.
B2 (blood) : peningkatan vena jugularis, edema tungkai, aritmia atrial,
fibrilasi atrium, denyut jantung cepat/ tidak teratur, hemoptysis, emboli,
thrombus, kekuatan nadi melemah, takikardia, edema perifer, BJ 1 eras
murmur sistolik, palpiasi, apical diastolic murmur.
B3 (brain) : klien merasa pusing, dan gelisah
B4 (bladder) : aliran darah ke ginjal sedikit, produksi urine sedikit
B5 (bowel) : mual, disfagia, mual, anoreksia
B6 (bone) : kelemahan, keringat dingin, cepat lelah
Masalah keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas
b. Perfusi jaringan inefektif
c. Penurunan cardiac output
d. Hipertermia
e. Nyeri akut
f. Intoleransi aktivitas
Intervensi keperawatan
a. Gangguan Pertukaran Gas
NOC: Respiratoy Status : Ventilation, vital Sign Status
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tidak ada
gangguan pertukaran gas pada klien dengan kriteria hasil :
1. Tanda-tanda vital klien normal
2. Irama nafas regular
3. Tidak ada otot bantu pernafasan
4. Pola nafas normal
5. Saturasi oksigen normal
6. Tidak ada sianosis
NOC: Airway Management
1) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2) Berikan bronkodilator
3) Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
4) Monitor respirasi dan status O2
5) Pertahankan jalan nafas yang paten
6) Observasi adanya tanda tanda hipoventilasi
7) Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
8) Monitor vital sign
9) Informasikan pada pasien dan keluarga tentang
teknik relaksasi untuk memperbaiki pola nafas.
10) Pertahankan kolebaorasi terapi O2 tambahan
11) Monitor pola nafas
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perfusi jaringan
perifer kembali normal, dengan criteria hasil:
Tissue perfusion: peripheral.
1. CRT normal (kurang dari 2 detik)
2. Akral hangat
3. TTV normal
4. Tidak ada edema perifer
5. Tidak ada parestesia dan kemerahan
NIC
Peripheral sensation management.
1. Lindungi tubuh dari suhu yang ekstrim
2. Monitor suhu secara berkala
Hemodynamic regulation
1. Kaji status hemodinamik
2. Kaji CRT
3. Monitor TTV
4. Periksa adanya edema perifer atau pitting edema
5. Auskultasi suara nafas
c. Penurunan cardiac output
NOC : cardiac pump effectiveness
Circulation status
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …x24 jam cardiac output
kembali normal, dengan kriteria hasil:
1) Tanda vital dalam rentang normal
2) AGD dalam batas normal
3) Warna kulit normal
4) Tidak ada edema dan asites
5) Tidak ada penurunan kesadaran
NIC :
1) Meminimalkan stress psikologis
2) Kolaborasi pemberian koagulan untuk mencegah thrombus
3) Kolaborasi pemberianobat aritmia, inotropic, nitrogliserin, dan
vasodilator untuk menjaga kontraktilitas jantung
4) Berikan terapi oksigen
5) Monitor TTV klien
6) Monitor keadaan jantung, suara, irama
7) Waspada tanda sianosis dan sesak nafas
8) Atur posisi dan istirahat untuk menghindari kelelahan
d. Hipertermia
NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam suhu tubuh
pasien normal, dengan criteria hasil:
Thermo regulation
1. Penurunan temperature kulit
2. Sakit kepala
3. RR normal
4. Nadi normal
NIC
Hiperthermia treatment
1. Monitor TTV
2. Menjauhkan pasien dari sumber panas
3. Kompres pada bagian lipatan tubuh
4. Tingkatkan hidrasi oral
5. Monitor hasil laboratorium
6. Monitor urine output
e. Nyeri akut
NOC : pain level, pain control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. Klien tidak merasa
nyeri atau nyeri berkurang, dengan kriteria hasil:
1) Klien mengatakan secara verbal bahwa nyeri berkurang
2) Skala nyeri berkurang
3) Klien tidak menunjukkan ekspresi menahan nyeri
NIC : pain management
1) Ajarkan teknik relaksasi atau distraksi
2) Kolaborasi pemberia analgesic
3) Berikan posisi yang nyaman
4) Tingkatkan istirahat klien
5) Monitor TTV
6) Monitor nyeri klien
f. Intoleransi aktivitas
NOC
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien
mentoleransi aktivitas dengan criteria hasil
Activity tolerance
1. Saturasi oksigen selama aktivitas > 98%
2. Tekanan darah normal selama aktivitas.
3. Mampu memenuhi ADL
NIC
Activity therapy
1. Menilai aktivitas pasien untuk melakukan aktivitas
2. Bantu pasien memilih latihan aktifitas yang akan dilakukan
3. Bantu pasien dan keluarga beradaptasi dengan lingkungan
4. Sarankan metode untuk meningkatkan aktivitas fisik harian
5. Ciptakan lingkungan yang aman
7) Atur waktu aktivitas dan istirahat.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS
IDENTITAS
1. Nama Pasien : Tn. S
2. Umur : 36 tahun
3. Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
4. Pendidikan : SLTA
5. Pekerjaan : Karyawan swasta
6. Alamat : Gresik
7. Biaya : JKN Askes
KELUHAN UTAMA
Keluha Utama : klien mengeluhkan nafas terasa sesak
Genogram
Keterangan :
: Perempuan : Klien
: Laki-laki : Tinggal dalam satu rumah
-- --
+ +
l) Tidak ada wheezing di lapang paru
-- --
- -
2. B2 (Blood)
a) Suhu 36,1 C
b) Nadi : 102x/menit, nadi ireguler, teraba kuat
c) Tekanan darah : 110/70 mmHg
d) Suara jantung murmur diastolik di apex grade III/IV
e) Detak jantung ireguler
f) CRT 2 detik
g) Klien sering merasakan jantung berdebar terutama ketika beraktivitas
h) Akral dingin dan pucat di tangan. Tangan kadang-kadang basah.
i) Konjunctiva anemis, bibir agak pucat.
j) SPO2 98% tanpa oksigen nasal
k) Tidak ada keluhan nyeri dada
3. B3 (Brain)
a) Kesadaran composmentis
b) GCS 456
c) Klien tidak gelisah
d) Tidak ada keluhan pusing ataupun nyeri kepala
e) Pupil isokor (3mm/3mm)
f) Sclera anikterus
g) Konjunctiva anemis
h) Istirahat tidur rata-rata 7 jam ditambah kadang-kadang tidur siang 1,5 jam
i) Keluhan yang mengganggu aktivitas tidur adalah sesak
4. B4 (Bladder)
a) Alat genital tampak bersih, tidak ditemukan sekret pada area genital
b) Tidak ada ulkus atau luka pada area genital
c) Meatus uretra tampak bersih dan kering
d) Klien tidak mengalami keluhan kencing. Tidak ada nyeri tekan di area
bladder atau nyeri di area saluran uretra. Tidak ada distensi area bladder.
e) Klien terpasang alat bantu kencing Dower Catether terpasang sejak tanggal
10 November 2016. Selang kateter paten dan lancar. Warna urine kuning
oranye bening dengan bau khas. Produksi urine kurang lebih 40 ml/jam
dan 960 ml/24 jam.
f) Masukan cairan: PZ 500 ml/24 jam, minum maksimal 750 ml/jam
5. B5 (Bowel)
a) Tinggi badan klien 168 cm
b) Berat badan klien 50 kg
c) IMT 17, 86 (underweight)
d) Mulut bersih, mukosa lembab
e) Tidak ada nyeri telan, disfagia, atau pembesaran tonsil
f) Tidak ada distensi abdomen. Tidak ditemukan asites pada abdomen.
Abdomen teraba supel, tidak ada massa atau benjolan abnormal.
g) Bising usus 20x/menit
h) Rata-rata klien BAB 1x/hari, terakhir tanggal 14 November 2016
i) Konsistensi feses lunak berwarna kuning kecoklatan
j) Diit klien lunak, nafsu makan klien baik tetapi setiap makan hanya habis ¾
porsi karena tidak suka makanan rumah sakit
k) Klien suka mengemil makanan kecil dan roti
l) Klien tidak merasa mual atau muntah
6. B6 (Bone)
a) Pergerakan sendi bebas
b) Kekuatan otot
Ekstremitas atas kanan : 4
Ekstremitas atas kiri : 2 2 4
Ekstremitas bawah kanan : 4 3 4
Ekstremitas kiri bawah : 3
c) Klien mengalami kelemahan pada bagian tubuh sebelah kiri
d) Tidak ditemukan abnormalitas bentuk ekstremitas
e) Tidak ada riwayat fraktur pada klien
f) Tidak ada kelainan pada tulang belakang maupun riwayat gangguan tulang
belakang
g) Tidak ada keluhan nyeri pada ekstremitas maupun tulang belakang
h) Sirkulasi perifer menurun, warna kulit pucat akral dingin, kadang-kadang
tangan basah
i) Turgor kulit baik
j) Tidak ditemukan edema pada ektremitas
- -
- -
k) Tidak ditemukan eksoriasis, psoriasis, urtikaria atau pruritus
l) Penilaian risiko dekubitus
ASPEK KRITERIA PENILAIAN
YANG NILA
1 2 3 4
DINILAI I
TERBATAS
PERSEPSI SANGAT KETERBATAS TIDAK ADA
SEPENUHNY 3
SENSORI TERBATAS AN RINGAN GANGGUAN
A
TERUS
KELEMBABA SANGAT KADANG2 JARANG
MENERUS 3
N LEMBAB BASAH BASAH
BASAH
KADANG2 LEBIH SERING
AKTIVITAS BEDFAST CHAIRFAST 2
JALAN JALAN
IMMOBILE TIDAK ADA
SANGAT KETERBATAS
MOBILISASI SEPENUHNY KETERBATAS 2
TERBATAS AN RINGAN
A AN
KEMUNGKIN
SANGAT
NUTRISI AN TIDAK ADEKUAT SANGAT BAIK 3
BURUK
ADEKUAT
GESEKAN & POTENSIAL TIDAK
BERMASALA
PERGESERA BERMASALA MENIMBULKA 3
H
N H N MASALAH
NOTE : Pasien dengan nilai total < 16 maka dapat dikatakan bahwa pasien
berisiko mengalami dekubitus (pressure ulcers). TOTAL NILAI 16
(15 or 16 = low risk, 13 or 14 = moderat risk, 12 or less = high risk)
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
Persepsi klien terhadap penyakitnya :
Klien menganggap bahwa penyakitnya adalah cobaan dari Tuhan. Ketika dikaji
kelien kooperatif. Klien kadang murung dan diam. Tetapi klien tetap semangat
untuk bisa sembuh oleh karena motivasi dari keluarga dan kerabat.
PENGKAJIAN SPIRITUAL
Klien mengatakan sebelum sakit dan di rawat klien sering beribadah tetapi ketika
sakit klien beribadah kadang-kadang.
PEMERIKSAAN PENUNJANG (Laboratorium, Radiologi, EKG, USG, dll)
Pemeriksaan Analisis Gas Darah (Pemeriksaan diambil tanggal 10 November
2016)
Jenis Hasil Nilai Normal
Pemeriksaan
Gas darah
Ph 7,545 7,35 – 7,45
pCO2 25,5 mmHg 35 – 45
pO2 78,1 mmHg 75 – 100
HCO3 22,2 mmol/l 22 – 28
TCO2 23,0 mmol/l
Beect -0,2 mmol/l ((-2) – 2)
SO2 97,2 (95 – 99)
AaDO2 37,5 mmHg
BE-b 1,3 mmol/l
SBC 25,6 mmol/l
A 115,6 mmHg
a/A 0,7
RI 0,5
PO2/FIO2 373,8 mmHg
Temp 37 deg C
TERAPI
Terapi saat klien baru masuk (tanggal 10 November 2016)
1. Oksigen nasal canule 3 lpm
2. Drip furosemid 5 mg/jam per IV
3. Spironolactone 50 mg per oral setiap 24 jam
4. Digoxin 0,125 mg per oral setiap 24 jam
5. Infus PZ 500 cc + KCL 25 Meq/12 jam per IV
6. Injeksi ceftriaxone 1 gram IV setiap 12 jam
7. KSR 600 mg per oral setiap 8 jam
8. Simac 2 mg per oral setiap 24 jam
9. Injeksi ranitidin 50 mg setiap 12 jam
Terapi tanggal 14 November 2016
1. Oksigen nasal canule 3 lpm
2. Injeksi furosemide 50 mg per IV setiap 8 jam
3. Infus NaCl 0,9% 500 ml + KCl 25 Meq/24jam, minum maksimal 750 ml/24
jam
4. Spironolactone 50 mg per oral setiap 24 jam
5. Digoxin 0,125 mg per oral setiap 24 jam
6. KSR 600 mg per oral setiap 8 jam
7. Injeksi Ceftriaxone 1 gram per IV setiap 12 jam
8. Injeksi ranitidine 50 mg per IV setiap 12 jam
Intrepretasi EKG:
Atrium : sde (sulit dievaluasi)
Ventrikel : GG- 130 x/menit
P – R Interval : sde (sulit dievaluasi)
QRS Interval : 0,06 detik
QT interval :
Sek sumbu listrik QRS
Sek bidang frontal : normal
Sek bidang horizontal : CCUR
Irama : Atrial fibrilasi
Interpretasi : irama fibrilasi atrial/ 66-130 x/menit, Sumbu F (N), Sb H
CCUR
Pemeriksaan EKG pada tanggal 13 November 2016
Interpretasi EKG :
Atrium :
Ventrikel :
P – R Interval :
QRS Interval :
QT interval :
Sek sumbu listrik QRS
Sek bidang frontal :
Sek bidang horizontal :
Irama :
Interpretasi :
Pemeriksaan EKG pada tanggal 15 November 2016
Intrepretasi EKG:
Atrium :
Ventrikel :
P – R Interval :
QRS Interval :
QT interval :
Sek sumbu listrik QRS
Sek bidang frontal : normal
Sek bidang horizontal : CCUR
Irama : Atrial fibrilasi
Interpretasi : irama fibrilasi atrial/ 60-88 x/menit, Sumbu F (N), Sb H
CCUR
-- --
g.
+ +
h. Klien mengalami kelemahan fisik
i. Akral dingin, tangan kadang-kadang basah, ekstremitas pucat, konjunctiva
anemis
j. Hasil foto thorax AP didapatkan hasil : Cardiomegaly dengan gambaran L
to R shunt disertai dengan oedema paru.
k. Ph 7,54, pCO2 25,5 mmHg, pO2 78,1 mmHg, HCO3 22,2 mmol/l, SO2 97,2
Etiologi dan Masalah Keperawatan
Etiologi Masalah Keperawatan
Mitral stenosis Gangguan pertukaran gas
(00030)
Pengosongan LA menurun
2. Data subjektif
Klien mengatakan sering kelelahan saat beraktivitas, dan jantung berdebar-
debar
Data objektif
a. TTV : N : 102x/menit (ireguler, teraba kuat), S : 36,1 C, TD : 110/70, RR :
26x/menit
b. CRT : 2 detik
c. Irama jantung ireguler, suara jantung murmur diastolik pada apex grade III/IV
d. Akral dingin, tangan kadang-kadang basah, ekstremitas pucat, konjunctiva
anemis
e. Tidak ada edema di ekstremitas
f. Kesadaran composmentis dengan GCS 456
g. Ph 7,54, pCO2 25,5 mmHg, pO2 78,1 mmHg, HCO3 22,2 mmol/l, SO2 97,2,
kadar kalium dalam darah Kalium 3,4 mmol/l
h. Hasil foto thorax AP didapatkan hasil : Cardiomegaly dengan gambaran L
to R shunt disertai dengan oedema paru.
i. Hasil kateterisasi jantung didapatkan:
j. Katerisasi jantung kanan : PA Pressure 70/44 dengan PH (Pulmonal
Hipertensi) sedang (mPAP 51.3 mmHg)
Katerisasi jantung kiri :
1) CO 5.47 L/min
2) CI 3.11 L/min.m2
3) SV 78.2 mL/beat
4) SVI 44.46 mL/beat/m2
LV Ventrikulosrafi : tidak tampak MR
Aortografi : tampak AR grade IV MV mean PG 21.97 mmHg
Kesimpulan : MS Berat + AR Grade IV + PH Ringan
Pengosongan LA menurun
Risiko penurunan cardiac
Pengisian LV terhambat output
(00240)
Darah yang dipompa LV berkurang
3. Data subjektif
Klien mengatakan hanya menghabiskan ¾ porsi setiap kali makan. Nafsu
makan baik, tetapi ketika sesak menjadi tidak nafsu makan. Klien tidak
merasakan mual atau muntah
Data objektif
A : Tinggi badan klien 168 cm, Berat badan klien 50 kg, IMT 17, 86
(underweight), BB sebelum masuk rumah sakit 53 kg
B : RBC 4,38 x 106/ µL, HGB 12,3 g/dl
C : klien tampak kurus, tulang-tulang costae terlihat dengan jelas
D : klien hanya mengahbiskan ¾ porsi makanan, klien mendapatkan intake
cairan NaCl 0,9% 500 ml per 24 jam, dan minum maksimal 750 ml per 24 jam
Etiologi dan Masalah Keperawatan
Etiologi Masalah Keperawatan
Mitral stenosis Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Pengosongan LA menurun
tubuh
Tekanan vena pulmonal naik (00002)
Sesak
Senin, 14 08.00 Gangguan Pertukaran Respiratpory Status : Gas Exchange Airway Management
November Gas berhubungan Respiratoy Status : Ventilation
2016 dengan gangguan Vital Sign Status 1. Posisikan klien semi fowler
proses difusi darah di untuk memaksimalkan ekspansi
paru-paru Setelah dilakukan tindakan keperawatan dada
selama 1x24 jam tidak ada gangguan 2. Kolaborasi pemberian diuretik
pertukaran gas pada klien dengan furosemide 50 mg tiap 8 jam per
kriteria hasil : IV
1. Tanda-tanda vital klien normal (TD : 3. Atur intake cairan NaCl 0,9%
100-130/60-90 mmHg, Nadi: 60- 500 ml + minum maksimal 750
100x/menit, Suhu : 35,5-38 deg C, ml setaip 24 jam untuk
RR: 12-20x/menit) mengoptimalkan keseimbangan c
2. Irama nafas reguler airan tubuh
3. Tidak ada otot bantu pernafasan 4. Pertahankan kolebaorasi terapi
4. Pola nafas normal O2 tambahan nasal canule 3 lpm
5. Tidak terdengar ronki di lapang paru 5. Anjurkan klien untuk
6. Saturasi oksigen normal (96-100%) menghindari aktivitas berlebihan
7. Akral hangat kering merah untuk mengirangi kebutuhan
8. Kesadaran composmentis oksigen tubuh
6. Monitor tanda-tanda vital klien
setiap 2 jam (TD, Suhu, Nadi,
Penafasan, dan CRT)
7. Monitor status respirasi klien
setiap 2 jam (Pola nafas, irama
nafas, suara nafas, saturasi
oksigen, penggunaan otot bantu
pernafasan)
8. Monitor status sirkulasi klien
setiap 2 jam (Akral, dan
kesadaran klien)
2 08.30 1. Memberikan Digoxin Rio 09.00 S : Klien merasa cepat lelah, Rio
0,125 mg Cristianto jantung berdebar Cristianto
08.30 2. Memberikan furosemide O : TD = 100/60, RR =
50 mg per IV Muthmainn 24x/menit, T = 36,4 C, N = 72 Muthmainnah
08.30 3. Memberikan KSR tablet ah x/menit (ireguler, teraba kuat)
600 mg Kesadaran composmentis
08.30 4. Memberikan Akral dingin basah pucat
spironolactone 50 mg CRT = 2 detik
08.45 5. Menganjurkan klien untuk Kesadaran komposmentis
mempertahankan GCS 456
intake cairan NaCl 0,9% Tidak ada oedem di
500 ml + minum ekstremitas
maksimal 750 ml setaip Kadar kalium klien, 4,7
09.00 24 jam mmol/l
6. Memonitor tanda-tanda Klien minum 100 ml sejak
09.00 vital klien bangun pukul 5.30
7. Memonitor status A : Masalah belum teratasi
11.00 sirkulasi klien P : Cardiac Care dilanjutkan
8. Memonitor tanda-tanda (No. 1-10)
11.00 vital klien 11.00
9. Memonitor status S : Klien merasa cepat lelah, Rio
13.00 sirkulasi klien jantung berdebar Cristianto
10. Memonitor tanda-tanda O : TD = 110/60, RR =
13.00 vital klien 25x/menit, T = 36,6 C, N = 68 Muthmainnah
11. Memonitor status (ireguler, teraba kuat)
sirkulasi klien Kesadaran composmentis
Akral dingin basah pucat
CRT = 2 detik
Kesadaran komposmentis
GCS 456
Tidak ada oedem di
ekstremitas
Kadar kalium klien, 4,7
mmol/l
Klien minum lagi 50 ml
A : Masalah belum teratasi
P : Cardiac Care dilanjutkan
13.00 (No. 1-10)
2 08.00 1. Memberikan Digoxin Rio 09.00 S : Klien merasa cepat lelah, Rio
0,125 mg Cristianto jantung berdebar Cristianto
08.00 2. Memberikan furosemide O : TD = 110/60, RR =
50 mg per IV Nurullia 24x/menit, T = 36,8 C, N = 62 Nurullia
08.00 3. Memberikan KSR tablet Hanum x/menit Hanum
600 mg (ireguler, teraba kuat)
08.00 4. Memberikan Kesadaran composmentis
spironolactone 50 mg Akral dingin kering pucat
08.30 5. Menganjurkan klien untuk CRT = 2 detik
Mempertahankan Kesadaran komposmentis
intake cairan NaCl 0,9% GCS 456
500 ml + minum Tidak ada oedem di
maksimal 750 ml setaip ekstremitas
09.00 24 jam Kadar kalium klien, 4,7
6. Memonitor tanda-tanda mmol/l
09.00 vital klien Klien sudah minum 50 ml
7. Memonitor status sejak bangun tidur pukul
sirkulasi klien 06.00
11.00 8. Memonitor tanda-tanda A : Masalah belum teratasi
vital klien P : Cardiac Care dilanjutkan
11.00 9. Memonitor status 11.00 (No. 1-10)
sirkulasi klien Rio
11.00 10. Memonitor tanda-tanda S : Klien merasa cepat lelah, Cristianto
vital klien jantung berdebar
11.00 11. Memonitor status O : TD = 110/60, RR = Nurullia
sirkulasi klien 24x/menit, T = 36,2 C, N = 68 Hanum
x/menit
(ireguler, teraba kuat)
Kesadaran composmentis
Akral dingin kering pucat
CRT = 2 detik
Kesadaran komposmentis
GCS 456
Tidak ada oedem di
ekstremitas
Kadar kalium klien, 4,7
mmol/l
Klien minum lagi 100 ml
A : Masalah belum teratasi
13.00 P : Cardiac Care dilanjutkan
(No. 1-10)
Rio
S : Klien merasa cepat lelah, Cristianto
jantung berdebar
O : TD = 100/70, RR = Nurullia
22x/menit, T = 36,1 C, N = 72 Hanum
x/menit (ireguler, teraba kuat)
Kesadaran composmentis
Akral dingin kering pucat
CRT = 2 detik
Kesadaran komposmentis
GCS 456
Tidak ada oedem di
ekstremitas
Kadar kalium klien, 4,7
mmol/l
Klien minum lagi 100 ml
A : Masalah belum teratasi
P : Cardiac Care dilanjutkan
(No. 1-10)
3 09.30 Rio 13.00
1. Menganjurkan makan Cristianto
11.30 sedikit tetapi sering S : klien mengatakan tidak
2. Memberikan posisi dan Aprilia Dani menghabiskan makanannya, Rio
lingkungan yang nyaman nafsu makan berkurang karena Cristianto
11.45 untuk klien makan sesak
3. Memotivasi klien agar O : Berat badan sulit Aprilia Dani
meningkatkan nafsu dievaluasi
12.00 makan Makan hanya ½ porsi
4. Memonitor nafsu makan intake cairan NaCl 0,9% 500
13.00 dan porsi makan klien ml + minum maksimal 750 ml
5. Memonitor intake cairan setaip 24 jam (klien sudah
minum sebanyak 250 ml)
A : Masalah belum teratasi
P : Nutrition management
4 09.10 Rio 10.00 dilanjutkan (No. 1 -7
1. Memotivasi klien agar Cristianto
menceritakan
kecemasannya S : klien mengatakan
09.10 2. Mendengarkan klien cemasnya sudah berkurang, Rio
dengan penuh perhatian klien juga mengatakan telah Cristianto
09.15 3. Memberikan informasi sedikit mengetahui prosedur
tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
kateterisasi yang akan O: Tidak ada ekspresi gelisah
dilaksanakan atau ekspresi yang
09.30 4. Mengajarkan klien teknik menggambarkan kecemasan
nafas dalam Klien tampak tenang
09.40 5. Menganjurkan keluarga Skala kecemasan VAS : 20
untuk memberi motivasi (kecemasan ringan)
10.00 6. Memonitor kecemasan A : Masalah teratasi
P : Anxiety reduction
dihentikan
MK : Ansietas
Aorta regurgitasi Katup saling lengket dan sulit membuka
Akumulasi darah di LA Pengisian LV terhambat Darah kembali ke vena pulmonal MK : Rsiko perdarah
LA dilatasi Volume darah yang dipompa Hipertensi vena pulmonal Darah kembali ke arteri
ventrikel berkurang pulmonal
LA tidak cukup tekanan untuk Darah kembali ke paru-paru Pulmonal hipertension
memompa darah ke LV MK : Risiko Penurunan pulmonal Darah kembali ke RV
Cardiac output
Transudasi alveoli
Akumulasi darah di RV
Atrial fibrilasi
DCFC
BAB 4
PEMBAHASAN
Kesimpulan
Reumatoid heart disease (RHD) adalah suatu proses peradangan yang
mengenai jaringan-jaringan penyokong tubuh, terutama persendian, jantung dan
pembuluh darah oleh organisme streptococcus hemolitic-b grup A (Pusdiknakes,
1993).
Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat
akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi
Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran pernafasan bagian atas.
Demam reumatik akut ditandai oleh demam berkepanjangan, jantung berdebar
keras, kadang cepat lelah. Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok
usia 5-15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan
penduduk di atas 50 tahun.
Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani secara
adekuat, Maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung
rematik. Infeksi oleh kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang
menyebabkan seseorang mengalami demam rematik dimana diawali terjadinya
peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan penatalaksanaan dan
pengobatannya yang kurang terarah menyebabkan racun/toxin dari kuman ini
menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan katup jantung.
Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau
menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi
kebocoran.
Saran
1. Bagi profesi keperawatan
Sebagai seorang perawat, diharapkan dapat mengembangkan ilmu
keperawatan agar lebih memahami apa yang terjadi pada klien dengan
rheumatic heart disease dan dapat memberikan asuhan keperawatan yang
tepat dan lebih baik lagi.
2. Bagi mahasiswa
Kepada mahasiswa dan mamasiswi lebih menggembangkan lagi ilmu terkait
rheumatic heart disease sehingga mahasiwa diharapkan lebih memahi dan
dapat memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan rheumatic heart
disease secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Afif, A., 2008. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik. FK USU.
Beaudoin, A. et al., 2015. Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease
Among Children. CDC, 64(20), pp.555–558.
Dwivedi, J., 2016. Prevention of Rheumatic Heart Disease: Potential for Change.
Australian Medical Student Journal.
Marijon, E. et al., 2012. Rheumatic Heart Disease. The Lancet, 379(9819),
pp.953–964.
Watson, G. et al., 2014. Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease In
Resource-Limited Setting. BMJ Journals.
Sari Pediatri, Rahmawaty NK . 2012. Risiko serangan berulang pasien DR/PJR
Vol. 14, No. 3, Oktober 2012 Journals. Doenges, Marilynn E. (1993).
Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakart : EGC.
Lili ismudiarti rilantono,dkk. 2001. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI.
Poestika S, Sarodja RM. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Udjianti, Wajan Juni. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba
Medika