0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
113 tayangan61 halaman

Case Study RHD

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 61

DIKLAT RS JANTUNG & PEMBULUH DARAH HAPAN KITA

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN.W DENGAN RHEUMATIC


HEART DISEASE( RHD ) DENGAN MITRAL REGURGITASI
DI UNIT RAWAT ANAK
RSPJN HARAPAN KITA JAKARTA

STUDI KASUS

DI SUSUN OLEH :
1. SANTY E. NAINGGOLAN
2. YULI HARNANI
3. DESTA WINDY PAMUNGKAS
4. TIARA GUSTIWIYANA

PROGRAM PELATIHAN KEPERAWATAN


KARDIOVASKULER TINGKAT DASAR
RS JANTUNG & PEMBULUH DARAH
HARAPAN KITA JAKARTA
JUNI 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Studi Kasus ini diajukan oleh:


Nama
1. Santy E. NAinggolan
2. Yuli Harnani
3. Desta Windy Pamungkas
4. Tiara Gustiiyana
Program: Pelatiahn Keperwatan Kardiovaskuler Tingkat Dasar

TIM PEMBIMBING

Pembimbing : Ns. Tiarlin, S. Kep.

Pembimbing : Ns. Herniati Misdah, S. Kep., Sp. KV.

Penguji: Ns. Herniati Misdah, S. Kep., Sp. KV.

Penguji: Ns. Tiarlin, S. Kep.

Penguji: Titi Nurhayati, CTRN, S.Pd.

Penguji: Ns. R. Yanti Rayanti, S.Kep., Sp. KV., MM.

Ditetapkan di:
Tanggal:

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Studi
Kasus ini yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada An. W dengan Rheumatic Heart
Disease ( RHD ) di Unit Rawat Anak di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita”.

Laporan ini disusun memperdalam pemahaman mengenai penyakit jantung katup


(RHD) yang merupakan bagian dari program Pelatihan Keperawatan Kardiovaskular
Tingkat Dasar. Terselesainya penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan dan
dorongan semua pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada;
1. Dr. dr. Iwan Dakota, Sp.JP(K),MARS,FACC,FESC selaku Direktur Utama RS
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
2. Ns. Suryani Rahman, S.Kep.,MM selaku Kepala Bidang Keperawatan RS
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
3. Seluruh Kepala Instalasi RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
4. Seluruh Kepala Unit RS. Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
5. Divisi Pendidikan dan Pelatihan RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan
Kita.
6. Ns. Herniati Misdah, S.Kep.,Sp.KV selaku Pembimbing dan Penilai
Presentasi Studi Kasus Penyakit Jantung Katup; RHD.
7. Ns. Tiarlin, S.Kep selaku Pembimbing dan Penilai Presentasi Studi Kasus
Penyakit Jantung Bawaan; TOF.
8. Titi Nurhayati, CTRN, S.Pd selaku Penilai Presentasi Penyakit Jantung
Bawaan; TOF.
9. Ns. R.Yanti Rayanti, S.Kep.,Sp.Kv,MM selaku MOT dan Penilai Presentasi
Penyakit Jantung Katup; RHD.
10. Seluruh pembimbing klinik di setiap unit RS Jantung dan Pembuluh Darah
Harapan Kita.
11. Semua pihak yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan laporan ini.

iii
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.Semoga Tuhan YME
senantiasa meridhai segala usaha kita.Amin.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rheumatic fever adalah suatu penyakit inflamasi akut yang diakibatkan oleh
infeksi streptococcus β hemolytic group A pada tenggorokan (faringitis), tetapi
tanpa disertai infeksi lain atau tidak ada infeksi streptococcus di tempat lain.
karakteristikrheumatic fever cenderung berulang (recurrence) (Udjianti, 2010).
Seseorang yang mengalami rheumatic fever bila tidak ditangani secara adekuat,
dapat berkembang menjadi RHD.
Rheumatoid Heart Disease (RHD) adalah suatu proses peradangan yang
merupakan suatu reaksi autoimun yang disebabkan oleh infeksi organisme grup A
streptococcus (GAS). Hal tersebut menyebabkan respon inflamasi akut yang
menyerang jaringan penyokong tubuh, terutama persendian, jantung dan
pembuluh darah. Individu dengan RHD sering sangat tidak enak badan dan
memerlukan rawat inap (The Cardiac Society of Australia & New Zealand, 2014).
Infeksi oleh kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang diawali
terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, akan tetapi jika penatalaksanaan
dan pengobatannya yang kurang terarah menyebabkan racun/toxin dari kuman ini
menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan pada katup
jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan hingga menyempit,
atau menebal dan mengkerut sehingga menutup dengan tidak sempurna dan
terjadi kebocoran (Udjianti, 2010).
RHD di Negara industri menurun selama lima decade terakhir namun
penyakit demam rematik ini masih menjadi masalah dinegara berkembang hingga
permulaan abad ke-21 dengan efek yang buruk mengenai anak-anak dan dewasa
muda pada usia produktif.Dalam laporan World Health Organization (WHO) ada
sekitar 15.6juta orang menderita RHD diseluruhdunia.RHD
menyebabkankematiansekitar200.000 kematian dengankejadian tertinggi
padaumur 5-14 tahun, dengan pria 162 per100.000 kematian dan wanita 228 per
100.000 kematian.(Wilson NJ, 2016) Diperkirakan ada lebih dari 15 juta kasus
RHD di seluruh dunia, dengan 282.000 kasus baru dan 233.000 kematian setiap

1
2

tahunnya ( Jonatan B. 2016).Berdasarkan data prevalensi demam rematik, di


Indonesia sendiri menunjukan 0,3-0,8 diantara 1000 anak sekolah. Angka terebut
menunjukan angka yang lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya
(Siregar, AA, 2008). Berdasarkan data yang didapatkan dari medical record (MR)
di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta (RSJPDHK),
jumlah pasien RHD keseluruhan pada tahun 2015 sejumlah 441 pasien dan terus
meningkat hingga 804 pasien di tahun 2016. Tahun 2017 jumlah pasien RHD
mencapai 861 pasien sedangkan angka kematian yang di diagnosa utama RHD
pada tahun 2015 sebanyak 34 orang dan meningkat menjadi 66 orang pada tahun
2016. Di tahun 2017 angka kematian akibat RHD sebanyak 53 orang menurun
dari tahun 2016. (Rekam Medis RSJPDHK, 2018).
Dilihat dari data di atas, perlu diketahui untuk menegakkan diagnosa pasti
RHD dengan melihat tanda dan gejala maka digunakan kriteria Jones yang terdiri
dari kriteria mayor dan kriteria minor.untuk kriteria mayor tanda dan gejalanya
seperti Carditis, Polyarthritis, Khorea Syndenham, Eritema Marginatum dan
Nodul Subkutan. Sedangkan untuk kriteria minor seperti demam (tidak lebih dari
39o), poliatralgia (nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi, klien
kadang-kadang sulit menggerakkan tungkainya, peningkatan sleeping pulse rate,
peningkatan penanda inflamasi akut LED, leukosit, CRP dan pada gambaran
EKG adainterval PR memanjang.Sedangkan pada guidelines pendiagnosaan
Persatuan Dokter Spesial Kardiovaskular Indonesia (Perki, 2015), ditambah
dengan bukti adanya infeksi GAS beta hemolytcus dalam 45 hari sebelumnya.
Diagnosa awal dengan RHD ditegakan apabila pasien memenuhi dua manifestasi
kriteria mayor, atau satu manifestasi kriteria mayor dtambah dengan dua
manifestasi kriteria minor (Park, 2008, Perki, 2015).
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan ketika infeksi telah mencapai jantung
atau telah masuk ketahap penyakit RHD yaitu kolaborasi pemberian antibiotic
sesuai derajat keparahan ditambah dengan tirah baring. Kejadian berulang
diharapkan tidak terjadi dengan keteraturan mengkonsumsi antibiotik dan tirah
baring yang cukup. Perbaikan atau penggantian katup juga dapat dilakukan untuk
memperbaiki manifestasi klinis pasien pada tahap lanjut (Park, 2008, Siregar,
2008).
3

Perawat harus mengenal dengan baik tanda dan gejalaRheumatic fever atau
faringitis streptococcus seperti demam (<40°C), menggigil, sakit tenggorokan,
kemerahan pada tenggorokan disertai eksudatdan infeksi hidung akut (Smeltzer
and Bare, 2014).Pada tahap lanjut sebagai klinisi dan edukator, perawat dapat
memberi edukasi mengenai kekambuhan penyakit dan penatalaksanaan
penyakit.Kepatuhan minum obat dan tirah baring juga merupakan hal yang sangat
berpengaruh terhadap kesembuhan dan kekambuhan di masa mendatang sehingga
diharapkan informasi tersampaikan jelas kepada pasien agar tidak terjadi
kekambuhan berulang.Pasien juga perlu dijelaskan mengenai komplikasi lanjutan
dan bagaimana caranya agar penyakit tidak berkembang menjadi komplikasi.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa RHD merupakan
penyakit jantung yang disebabkan oleh streptococcus hemolitic-b grup A yang
seringkali mengenai anak-anak dan dewasa muda pada usia produktif yang dalam
perkembangannya dapat menyerang katup-katup jantung sehingga dapat
mengalami penurunan fungsi jantung. RHD dapat diobatai dengan managemen
antibiotika dan tirah baring dilanjutkan dengan mobilisasi bertahap serta reparasi
pada manifestasi klinis yang muncul.Oleh karena itu, maka kelompok tertarik
untuk memahami lebih lanjut tata laksana asuhan keperawatan pada pasien
dengan RHD.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.2.1 Tujuan Umum
Penulisan makalah ini betujuan agar peserta pelatihan dapat mengerti dan
memahami tentang konsep RHD dan Asuhan Keperawatan pada anak
dengan RHD
1.2.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini yaitu agar peserta pelatihan
dapat:
1.2.2.1 Dapat menjelaskan konsep dasar RHD (Definisi, etiologi,
patofisiologi, komplikasi, regimen terapi).
1.2.2.2 Dapat melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan
RHD
1.2.2.3 Dapat merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
RHD
4

1.2.2.4 Dapat melakukan perencanaan pada pasien dengan RHD


1.2.2.5 Dapat melakukan implementasi keperawatan pada pasien RHD
1.2.2.6 Dapat melakukan evaluasi pada pasien dengan RHD

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi rumah sakit
Diharapkan studi kasus ini sebagai sarana pembelajaran kepada setiap
multidisipliner ilmu agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik
kepada setiap pasien yang mengalami rematic heart disease.
1.3.2 Bagi perawat
Untuk meningkatkan kompetensi sehingga mampu melakukan asuhan
keperawatan pada pasien dengan rematic heart disease sesuai dengan
kompetensi yang dimilikinya
1.3.3 Bagi bagian diklat
Sebagai media pembelajaran dalam melakukan asuhan keperawatan pada
pasien dengan rematic heart disease

1.4 Ruang lingkup penulisan


Dalam penulisan study kasus ini, kelompok hanya membahas tentang konsep
dasar dan asuhan keperawatan pada An. “ W“ dengan RHD di Unit Rawat Anak
GP II Lantai 7 Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta
dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan dan pelaksanaan asuhan
keperawatan sesuai dengan kondisi pasien dari tanggal 19 juli 2018.

1.5 Metode Penulisan


Dalam penulisan study kasus ini kelompok menggunakan metode deskriptif,
dengan cara mengumpulkan data, menganalisa data, mengambilan kesimpulan,
membuatan rencana, mendokumentasian pelaksanaan dan melakukan evaluasi
yang kemudian disajikan dalam bentuk narasi. Adapun teknik memperoleh
informasi atau data dengan mempelajari buku-buku sumber dan internet untuk
memperoleh data dasar ilmiah dan studi kasus yaitu dengan mengadakan
wawancara observasi serta melakukan perawatan langsung kepada An. “W”
dengan RHD di Rawat Anak Lantai 7 GP2 Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita.
5

1.6 Sistematika Penulisan


Dalam sistematika Pendahuluan penulisan study kasus ini, terdiri dari 5 bab,
yaitu:
Bab I : Terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, ruang lingkup, metode
penulisan, sistematika penulisan
Bab II : Landasan teoritis yang meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang, komplikasi,
penatalaksanaan, dan asuhan keperawatan
Bab III : Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi pengkajian, analisa
data, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi
Bab IV : Pembahasan antara teori dengan studi kasus yang ada
Bab V : Kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rheumatic Heart Desease (RHD)


2.1.1 Pengertian
RHD adalah suatu reaksi peradangan autoimun, dimana benang-benang
fibrin membentuk dasar jaringan kelenjar tissue yang melibatkan banyak
sistem akibatreaksi antigen dari group A, -hemolyticum streptococcal
(GABHS) pada infeksi faring (faringitis). Demam rematik ini, pada
umumnya merupakan penyakit jantung yang didapat pada masa anak-anak
sampai dengan dewasa muda (Ranjan, 2011).
Akut rematik fever (RF) merupakan suatu interaksi komplek diantara
group A streptococcus (GAS), penderita yang rentan, dan faktor
lingkungan. Respon imun terhadap infeksi GAS, dapat menyebabkan
inflamasi akut yang menyerang beberapa organ seperti sendi, otak, jantung,
dan/atau kulit. Manifestasi klinis lain yg berakibat buruk adalah miocarditis
yang disebabkan oleh kronik rheumatic heart desease (RHD) yang cukup
signifikan mempengaruhi angka kesakitan dan kematian (Moss. A, 2013).
Demam reumatik merupakan suatu penyakit inflamasi difus yang
ditandai dengan respon lambat pada suatu infeksi oleh streptokokus -
hemolitikus grup A pada area tonsilofaringeal. Demam rematik banyak
digolongkan sebagai penyakit kolagen atau penyakit jaringan ikat. Banyak
organ terlibat pada proses reumatik ini, termasuk jantung, sendi, dan sistem
saraf pusat (Black dan Jane, 2014).
Seseorang yang mengalami RF bila tidak ditangani secara adekuat,
dapat berkembang menjadi RHD. Infeksi oleh kuman Streptococcus -
Hemolyticus group A menyebabkan seseorang mengalami demam rematik
dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan,
dikarenakan penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurang terarah
menyebabkan racun/toxin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah

6
7

dan mengakibatkan peradangan katup jantung (Udjianti, 2010). Penjalaran


pada jantung memiliki respon yang sangat cepat, mulai dari tingkat ringan-
sedang, infeksi/perdangan katub yang menimbulkan gejala klinis, hingga
menyebabkan miocarditis berat akibat katub mitral dan/atau aorta
regurgitasi berat yang berdampak pada gagal jantung (Moss. A, 2013).
Peradangan pada katub-katub ini, mengakibatkan daun-daun katup
mengalami perlengketan hingga menyempit atau menebal dan mengkerut,
sehingga menutup dengan tidak sempurna dan terjadi kebocoran (Udjianti,
2010).
Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa RHD
merupakan suatu respon peradangan demam rematik yang tidak tertangani
yang menyerang imunitas tubuh seseorang akibat pajanan kuman
Streptococcus -Hemolyticus group A yang berasal dari infeksi faring yang
menyerang daerah pesendian, otak, jantung, dan kulit.

2.1.2 Etiologi dan faktor resiko


Penyebab terjadinya RHD diperkirakan adalah reaksi autoimun
(kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam rematik demam rematik
merupakan penyakit multisistem akibat infeksi tosilofaringeal oleh S.
pyogenic tipe M reumatogenik. Penyakit ini memiliki masa inkubasi 2-4
minggu (Mandal, et all, 2008).
Demam rematik terjadi akibat setelah terinfeksi streptokokus yang
virulen sehingga memiliki perandari faktor predisposisi penjamu. Sekali
menderita demam rematik, klien menjadi lebih rentan mengalami infeksi
berulang dibanding populasi umum. Usia yang paling sering mengalami
seragan awal adalah 6-15 tahun dan pada usia dewasa muda sangat jarang.
Faktor prediposisi lain yang dapat menyebabkan demam rematik (RHD)
yaitu:

2.1.2.1 Higiene yang buruk


Kondisi lingkungan yang padat dan kemiskinan merupakan faktor
resiko demam rematik akut. Jika terapi antibiotic yang tepat untuk
8

infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A diberikan selama 9


hari, demam rematik biasanya dapat dicegah (Black dan Jane,
2014).
2.1.2.2 Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan
dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan
tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu
mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin
2.1.2.3 Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama
maupun ulang demam rumatik lebih sering didapatkan pada orang
kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus
dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang
berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan
merupakan sebab yang sebenarnya.
2.1.2.4 Umur
Umur merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya
demam reumatik mapun RHD. Penyakit ini paling sering mengenai
anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun.
Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat
jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun.
Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi
streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz
menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka
yang berumur 2-6 tahun.

2.1.2.5 Keadaan gizi dan lain-lain


Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat
ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya
demam reumatik.
2.1.2.6 Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida
bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan
9

glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya


miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.
2.1.2.7 Serangan demam rematik sebelumnya
Serangan ulang demam rematik sesudah adanya reinfeksi dengan
Streptococcus beta-hemolyticus grup A adalah sering pada anak
yang sebelumnya pernah mendapat demam rematik.
(Aspiani, 2010)

2.1.3 Patofisiologi
Demam rematik memicu inflamasi eksudatif, proliferative dan difus
yang melibatkan semua lapisan jantung, sendi, jaringan subkutan, system
saraf pusat dan kulit. Mekanisme kemungkinan terjadi karena respon
humoral dan respon yang dimediasi oleh seluler pada antigen membrane sel
streptokokus. Terdapat korelasi positif yang menghubungkan streptokokus
grup A sebagai agen penyebab pada serangan awal dan serangan berulang
demam rematik. Antigen ini berikatan dengan reseptor pada jantung,
jaringan lain dan sendi serta memulai respon autoimun. Proses inflamasi
sering menghasilkan kerusakan jantung permanen dan berat. Komplikasi
demam rematik meliputi gangguan katub, kardiomegali, dan gagal jantung
(Black dan Jane, 2014).
Perubahan patologi dari demam rematikyang terjadi melibatkan dua
fase proses inflamasi. Fase pertama yaitu fase exsudat, yang terjadi pada 2-
3 minggu setelah mengalami onset infeksi. Karakteristiknya meliputi
edema pada jaringan interstitial, proses infiltrasi seluler (sel T, sel B, dan
macrofag), dan respon fibrinogen. Selanjutnya fase kedua yaitu proliferasi
atau granulasi yang berlangsung selama berbulan-bulan hingga bertahun-
tahun. Karakteristiknya yaitu terbentuknya nodule Aschoff yang merupakan
ciri khas dari RHD yang dapat ditemukan pada endocardium,
subendocardium, dan interstitial myocardium (Moss, A, 2013).
Nekrosis terjadi pada area myocardium yang mengalami inflamasi,
disebut sebagai badan aschoff. Area ini sering ditemukan nodul sangat
kecil dengan pengendapan fibrin terlokalisasi yang dikelilingi area dengan
nekrosis miokardium. Inflamasi endocardium menyebabkan pembengkakan
10

daun katub yang menyebabkan disfungsi daun katub dan murmur. Vegetasi
bakteri kecil dapat ditemukan di jaringan katub. Katub yang mengalami
kerusakan akan mengalami pembentukan jaringan parut dan stenosis,
sehingga meningkatkan beban kerja jantung karena tekanan yang lebih
tinggi harus dibutuhkan untuk mendorong darah melalui katub yang
sempit. Selanjutnya, daun katub dapat menjadi sangat pendek sehingga
tidak dapat menutup sempurna (regurgitasi). Akibatnya, darah kembali
melalui katub yang rusak. Katub yang mengalami stenosis dan regurgitasi,
pada akhirnya akan menyebabkan gagal jantung akibat beban kerja yang
tinggi (Black dan Jane, 2014).
Penyakit Jantung Rematik sering kali merusak katub jantung dan
penyebab utama gangguan katub mitral dan aorta. Katub mitral adalah
katub yang paling sering rusak (LeMone, P, Karene, Gerene, 2016).
2.1.4 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala RHD dapat dilihat pada Kriteri Jones, yang meliputi tanda
mayor dan tanda minor. Kriteria Jones ini dapat menegakkan diagnosa
RHD.
2.1.4.1 Periode akut
Apabila ditemukan 2 tanda mayor, atau 1 tanda mayor dan 2 tanda
minor setelah ditemukan bukti terinfeksi streptokokus.
2.1.4.2 Periode recurrent/berulang, apabila ditemukan
2.1.4.2.1 1 mayor atau beberapa minor setelah ditemukan bukti
terinfeksi streptokokus
2.1.4.2.2 2 mayor atau 1 mayor + 1 minor atau 3 minor setelah
ditemukan bukti terinfeksi sreptokokus
2.1.4.2.3 2 mayor atau 1 mayor + 2 minor atau beberapa minor
stelah ditemukan bukti infeksi streptokokus.
Bukti infeksi streptokokus grup A dapat ditemukan pada kultur tenggorok
positif strep A dan peningkatan titer antibody anti-streptokokus (Moss, A,
2013).

2.1.5 Kriteria RHD


2.1.5.1 Kriteria Mayor
2.1.5.1.1 Karditis
11

Rematik karditis merupakan penyebab paling


umum penyakit jantung yang didapat pada masa anak-
anak dan remaja muda (Moss, A, 2013).Karditis
merupakan peradangan pada jantung (miokarditis dan
atau endokarditis) yang menyebabkan terjadinya
gangguan pada katub mitral regurgitasi dan aorta
regurgitasi dengan manifestasi terjadi penurunan curah
jantung (seperti hipotensi, pucat, sianosis, berdebar-
debar dan peningkatan nadi), bunyi jantung melemah,
dan terdengar suara bising katup pada auskultasi
akibat stenosis dari katup terutama mitral (bising
sistolik) atau friction rub ( Perki, 2015).
Nyeri dada yang disebabkan inflamasi pada
perikardial dapat ditemukan. Keterlibatan miokardial
dapat menghasilakna defek konduksi atrioventrikular
(blok atrioventrikular derajat satu) atau fibrilasi
atrial(Black dan Jane, 2014).
2.1.5.1.2 Chorea
Korea merupakan gangguan ganglia basalis dan
nukleus kaudatus yang muncul selama 3 bulan atau
lebih setelah terinfeksi streptokokus. Korea ditandai
dengan gerakan involunter tidak bertujuan, mendadak,
dan ireguler. Klien juga dapat mengalami
ketidakstabilan emosi. Korea menghilang tanpa terapi
dan tidak menghasilkan sequel/gejala sisa permanen.
Korea dapat meghilang selama tidur dan lebih sering
terjadi pada waktu terbangun dan/atau dalam keadaan
stress (Black dan Jane, 2014).
2.1.5.1.3 Poliartritis
Periode laten pada masa terinfeksi GAS sampai
dengan timbulnya gejala, yang berlangsung 10 hari
sampai dengan 5 minggu. Manifestasi klinis berupa
12

nyeri sendi yang bermigrasi pada sendi-sendi besar


seperti bahu, lutut, pergelangan kaki, siku, dan
pergelangan tangan (Moss, A, 2013). Artritis pada
demam rematik memiliki respon baik terhadap
salisilat. Jika klien mengkonsumsi aspirin pada tahap
awal penyakit, manifestasi arthritis tidak akan muncul
(Black dan Jane, 2014).
2.1.5.1.4 Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam kulit
nonpruritik yang tampak sebagai macula merah muda
yang memudar dibagian tengah dan menyebabkan
pinggiran merah yang menyebar (mandal, et all, 2008).
Lesi pada ruam kulit tidak nyeri, berwarna pucat
apabila ditekan, dan biasanya terjadi pada batang
tubuh atau proximal extermitas dan pergelangan
tangan. Ruam ini jarang ditemukan dan bersifat
sementara (Moss, A, 2013).
2.1.5.1.5 Subcutaneous Nodules
Nodul berbentuk bulat, tidak nyeri, dan timbul
diatas penonjolan tulang seperti oksiput dan siku
(mandal, et all, 2008). Nodul subkutan berbentuk kecil
dan padat tetapi dapat bergeser yang melekat pada
tendon, terutama pada lutut, buku jari, siku, kulit
kepala, spinosus, dan pergelangan kaki (Moss, A,
2013).
2.1.5.2 Kriteria Minor
2.1.5.2.1 Demam
Suhu berada diantara 38,30C – 400C, beberapa klien
memiliki riwayat demam, tetapi pada saat evaluasi
klinis awal afebris.
2.1.5.2.2 Artralgia
Ditemukan nyeri sendi tanpa tanda objektif yang jelas,
biasanya melibatkan sendi yang luas. Nyeri bervariasi
13

mulai dari tingkat sedang hingga berat dan berpindah-


pindah.
2.1.5.2.3 Peningkatan reaktan fase akut
Pada fase ini, dtandai dengan peningkatan LED,
protein C-reaktif, dan leukositosis.
2.1.5.2.4 Interval PR memanjang pada EKG
(Moss, A, 2013)

2.1.6 Komplikasi
Komplikasi terparah dari RHD adalah ketika peradangan telah sampai pada
katup-katup jantung.
2.1.6.1 Pericarditis
Perikarditis adalah peradangan pada perikard viseralis dan
parietalis yang bervariasi dari reaksi radang yang ringan sampai
tertimbunnya cairan dalam kavum perikard (Park, 2008).
2.1.6.2 Kelainan katub (valvular)
Gangguan valvular dapatan dapat terjadi akibat kondisi akut
(endocarditis) maupun kondisi kronik (penyakit jantung reumatik).
Penyakit jantung rematik adalah penyebab tersering penyakit
valvular (Huether & McCance, 2008: Bonow et all dalam
Sudoyono, dkk, 2009).
RHD merupakan deformitas katub yang berkembang lambat
yang dapat terjadi setelah serangan RF akut atau berulang. Ketika
proses inflamatorik membaik, terjadi jaringan parut fibrosa yang
menyebabkan deformitas. Lembaran katub menjadi kaku dan rusak;
lubang komisura menyatu, dan korda tendinae mengalami fibrosis
dan memendek. RHD sering kali merusak katub jantung dan
penyebab utama gangguan katub mitral dan aorta. Katub mitral
adalah katub yang paling sering rusak (LeMone, P, Karene, Gerene,
2016).
14

Katup yang terserang penyakit ini mengalami 2 jenis


gangguan, yang pertama regurgitasi yaitu daun katup tidak dapat
menutup rapat sehingga darah dapat mengalir balik, yang kedua
stenosis katup yaitu lubang katup mengalami penyempitan sehingga
aliran darah terhambat. Disfungi tersebut akan meningkatkan kerja
jantung (Park,2008).

2.1.6.3 Mitral Regurgitasi


Regurgitasi mitral disebabkan oleh kelainan salah satu
komponen alat katub mitral manapun yang meliputi daun, korda
tendinae, annulus mitral atau muskulus papilaris. Proses reumatik
menyebabkan pemendekan, kekakuan, deformitas dan retraksi satu
atau kedua kuspis, maupun pemendekan dan fusi korda dan
muskulus papilaris. Proses tersebut mengganggu kerja sfingter
normal dari annulus selama sistolventrikel (Sabiston, 2010).
Regurgitasi mitral memungkinkan darah mengalir kembali ke
dalam atrium kiri selama sistol karena katub tidak menutup secara
sempurna. Aliran menjadi turbulen, yang menyebabkan bunyi
murmur. Volume dan tekanan dibelakang katub yang sakit akan
meningkat, sehingga terjadi perubahan hemodinamik yang dapat
menyebabkan komplikasi paru (edema paru, hipertensi paru) atau
gagal jantung. Tekanan tinggi dan perubahan kompensasi untuk
mempertahankan curah jantung menyebabkan remodeling dan
hipertropi otot jantung. Tekanan tinggi aliran ini juga dapat
merusak endokardium pada ruang jantung yang menerima,
sehingga dapat meningkatkan resiko endokarditis infektif
(Sudoyono, dkk, 2009).
Regurgitasi mitral dapat asimtomatik atau menimbulkan gejala
seperti keletihan, kelemahan, dispnea saat aktifitas, dan orthopnea.
Murmur biasanya keras, bernada tinggi, dan holosistolik (terjadi
15

selama sistolik). Seringkari disertai oleh getaran yang teraba dan


terdengar jelas di apeks jantung (Bonow et all, 2006; Papadakis &
McPhee, 2007 dalam Sudoyono, dkk, 2009).
Regurgitasi mitral yang disebabkan valvulitis reumatik, 35
sampai 45 persen kasus paling lazim memerlukan tindakan operasi,
baik perbaikan katub (valvuloplasti, anuloplasti) atau untuk
penggantian katub (Sabiston, 2010).
2.1.6.4 Mitral Stenosis
Stenosis mitral menyempitkan katub mitral, menyumbat aliran
darah dari atrium kiri menuju ventrikel kiri selama diastol.
Stenosis mitral bersifat kronik dan progresif (Bonowet all, 2006;
Papadakis & McPhee, 2007 dalam Sudoyono, dkk, 2009). Pada
stenosis katub mitral,jaringan fibrosa menggantikan jaringan katub
normal, menyebabkan lembaran katub menjadi kaku dan menyatu.
Perubahan aliran darah yang melewati katub menyebabkan
kalsifikasi lembaran katub. Ketika kalsium menumpuk didalam
dan diatas katub, lembaran menjadi lebih kaku dan menyempit,
akibatnya korda tendinae menyatu, menebal, dan memendek.
Tromboemboli dapat terbentuk pada lembaran yang mengalami
kalsifikasi (Sudoyono, dkk, 2009).
Stenosis mitral akibat rematik dapat disertai cacat septum atrial
(sindrom Luthembacher). Kebanyakan pasien tetap simtomatik
dalam fase laten selam 10 sampai 20 tahun sebelum mulainya
gejala. Fusi daun katub pada komisura merupakan hasil terlazim
radang reumatik. Permukaan endokardium berulserasi di tempat
dua daun normal merapat dalam sistol. Daun katub menjadi
menebal, berkalsifikasi dan kaku dengan pertumbuhan jaringan
fibrosa kedalam. Secara bersamaan korda tendinae menebal,
beretraksi dan berfusi dengan pergeseran katub ke dalam ruang
16

ventrikel kiri. Proses kombinasi ini, menyebabkan katub mitral


menyempit kaku dengan orifisium seperti mulut ikan.
Katub mitral dewasa berukuran 4 cm2 – 6 cm2, jika ukuran luas
penampangnya < 2 cm2akan menimbulkan simptomatik dan
semakin kecil ukurannya akan menimbulkan gejala yang lebih
parah. Tiga perubahan fisiologi yang berhubungan dengan stenosis
mitral, yaitu: hipertensi atrium, pengurangan curah jantung, dan
peningkatan tahanan vaskuler pulmonalis. Obstruksi katub
mitralmeningkatkan tekanan di atrium kiri diatas nilai normal
sekitar 15-20 mmHg. Penigkatan ini disertai dilatasi ruang atrium
kiri. Peningkatan tekanan di atrium kiri akan meningkatkan
tekanan pulmonal, sehingga terjadi transudasi cairan ke dalam
jaringan insterstitial pulmonal, dan menyebabkan terjadinya edema
paru dan gejala kongesti paru lainnya seperti dispne, mudah lelah,
orthopne, batuk, hemoptisis, dan dispne nokturna paroksimal
(Sabiston, 2010). Hipertensi paru meningkatkan beban kerja
ventrikel kanan, sehingga ventrikel kanan berdilatasi dan
dipertropi, yang pada akhirnya terjadi gagal jantung (Sudoyono,
dkk, 2009).
Pada pemeriksaan jantung, ukuran jantung biasanya normal,
dengan impuls apikal normal atau sedikit menurun. Auskultasi
yang khas menghasilkan gemuruh diastolik pada apikal,
peningkatan bunyi jantung pertama, dan opening snap.
Derajat perubahan patologi, penting menentukan pendekatan
pembedahan. Jika fusi komisura saja yang ada, maka dapat
dilakukan komisurotomi. Apabila fibrosis dan kalsifikasi luas
disertai retraksi daun dan fusi korda tendinae yang mengalami
kerusakan, maka lazim dilakukan penggantian katub mitral
(Sabiston, 2010).
2.1.6.5 Aorta Regurgitasi
17

Katub aorta merupakan katub terakhir yang harus dilalui darah


sebelum memasuki sirkulasi sistemik. Regurgitasi aorta sering
terjadi akibat penyakit infeksi seperti demam reumatik dan
endokarditis. Penebalan, pemendekan ujung katub, pembentukan
parut, fibrosis, dan kalsifikasi menghambat penutupan katub
sempuna. Hipertensi kronik, dan aneurisme aorta dapat melebarkan
dan mereangkan lubang katub aorta, ang meningkatkan derajat
regurgitasi (LeMone, P, Karene, Gerene, 2016).
Regurgitasi aorta menyebabkan darah yang mengalir kembali
dari aorta menuju ventrikel kiri. Selama sistolik, darah yang telah
diejeksikan ke aorta masuk kembali ke ventrikel kiri. Oleh karena,
ventrikel kiri menerima darah dari atrium dan sirkulasi sitemik,
regurgitasi aorta menambah peningkatan volume akhir diastolik
ventrikel kiri. Hal ini, menambah beban kerja ventrikel kiri.
Dilatasi kompensatorik terjadi, tetapi peningkatan tekanan akhir
diastolik pada ventrikel kiri minimal. Untuk mempertahankan
tekanan normal, ventrikel kiri mengalami dilatasi dan hipertropi.
Sejalan dengan progesi penyakit dan status kontraktilitas
miokardium menurun, urah jantung juga menurun.
Klien dengan aorta regurgitasi berat dapat asimtomatik untuk
waktu yang lama. Pada priode ini, ventrikel kiri bertahap
membesar. Keluhan dapat dirasakan dengan keadaan tidak nyaman
pada denyut jantung dan palpitasi karena volume sekuncup
ventrikel kiri membesar dengan diastolik yang cepat. Pulsasi leher
yang menonjol juga dapat dirasakan klien. Pada pemriksaan fisik
dapat diketahui tekanan darah sistolik yang rendah karena volume
sekuncup besar, dan penurunan tekanan darah diastolik akibat
regurgitasi. Pulsasi arteri karotis dapat berlebihan. Pada auskultasi
terdengar bunyi murmur diastolik yang lembut, bernada tinggi
18

yang terdengar jelas pada interkostalis dua kanan dan menyebar ke


tepi sternum kiri.
Intervensi medis, yaitu mengurangi manifestasi gagal jantung
dan pencegahan infeksi katub yang telah mengalami deformitas.
Tindakan pembedahan dapat dilakukan jika terdapat gagal
ventrikel kiri. Nitropusid dan agen inotropik seperti dopamine dan
dobutamin dapat diberikan menunggu tindakan pembedahan
(kyle& Susan, 2016).

2.1.6.6 Aorta Stenosis


Stenosis aorta dapat disebabkan dua proses degeneratif, yaitu:
kalsifikasi katub pada dewasa dan retraksi/kekakuan pada katub
akibat demam rematik.
Pada stenosis aorta, orifisium katub aorta menjadi lebih sempit
yang menyebabkan penurunan aliran darah dari ventrikel kiri ke
aorta dan sirkulasi sistemik. Obstruksi aliran ini membentuk suatu
tahanan pada ejeksi dan meningkatkan tekanan pada ventrikel kiri
saat sistolik. Untuk mempertahankan tekanan normal, ventrikel kiri
mengalami hipertropi. Dilatasi ventrikel kiri terjadi sepanjang
waktu kemunduran kontraktilitas otot yang mengalami hipertropi.
Hal ini, menambah beban kerja ventrikel. Dan pada akhirnya, curah
jantung tidak dapat dipertahankan atau mengalami penurunan,
akibatnya terjadi peningkatan hipertensi pulmonal.
Manifestasi klinis aorta stenosis yang sering terjadi, yaitu
sinkop. Sinkop dapat terjadi saat aktifitas karena curah jantung tetap
pada waktu terjadi peningkatan kebutuhan, dan sinkop dapat terjadi
saat istirahat karena disritmia. Selain sinkop, manifestasi lain dapat
berupa dispnea saat aktifitas, dyspnea noktural parosismal, dan
edema paru karena hipertensi vena pulmonal akibat gagal ventrikel
kiri. Pada stenosis berat, dapat terjadi palpitasi, keletihan, dan
gangguan visual. Pada saat auskultasi, murmur sistolik dapat
19

disertai suara jantu 2 melemah dan klik ejeksi dini. Suatu getaran
(thrill) sistolik dapat terjadi pada aorta.
Intervensi medis, yaitu mengurangi manifestasi gagal jantung
dan pencegahan infeksi katub yang telah mengalami deformitas.
Tindakan pembedahan dapat dilakukan jika terdapat gagal ventrikel
kiri. Antibiotik profilaksis, digitalis, beta blocker dan diuretik dapat
diberikan secara hati-hati menunggu tindakan pembedahan (kyle&
Susan, 2016).
2.1.6.7 Congestif Heart Failure (CHF)
Kondisi ini terjadi karena terjadi kerusakan pada katup jantung
yang berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan yang berujung pada peningkatan
stroke vascular resistance (SVR) (Park, 2008).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


2.1.7.1 Laboratorium
Dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan
ASTO (anti-streptolisin O) di atas 250 IU/ml yang merupakan
antibodi yang paling dikenal dan paling sering digunakan untuk
indikator infeksi streptococcus; peningkatan laju endap darah
(LED); terjadi leukositosis; terjadi penurunan hemoglobin akibat
inhibisi eritropoiesis inflamatorik; CRP positif pada inflamasi aktif;
dan swab tenggorok ditemukan streptococcus hemolitikus beta
group A (Papadakis & McPhee, 2007 pada LeMone, P, Karene,
Gerene, 2016). Pada hapusan swab tenggorok pada fase akut,
biasanya hasil kultur negatif. Apabila positif pun belum pasti
membantu diagnosis sebab kemungkinan akibat kekambuhan atau
streptokokus strain lain (Wong, 2009).
2.1.7.2 Radiologi
Pada pemeriksaan foto thoraks menunjukan terjadinya
pembesaran pada jantung (cardiomegaly).
2.1.7.3 Echocardiografi
20

Menunjukan kerusakan katub, pembesaran ruang, penurunan


fungsi ventrikel, atau efusi pericardium.
2.1.7.4 EKG, menunjukan interval PR memanjang.
(LeMone, P, Karene, Gerene, 2016)

2.1.8 Penatalaksanaan Medis


Tatalaksana rheumatic heart disease aktif atau reaktifasi adalah sebagai
berikut:
2.1.8.1 Tirah baring
Pada pasien dengan rheumatic heart disease aktif harus tirah baring
dan dianjurkan dengan mobilisasi bertahap yang lamanya
tergantung pada kondisi jantungnya.

Kelompok klinis Tirah baring Mobilisasi bertahap


(minggu) (minggu)
Karditis (-) 2 2
Artritis (+)
Karditis (+) 4 4
Kardiomegali (-)
Karditis (+) 6 6
Kardiomegali (+)
Karditis (+) >6 > 12
Payah jantung (+)
Berikan antibiotic untuk eradikasi kuman GAS, sebagai pencegahan
primer demam rematik.
2.1.8.1.1 Eradikasi:
Benzatin penisilin: 1,2 juta ui IM ( BB< 27 Kg : 600. 000 ui
IM)
2.1.8.1.2 Phenoxymethil penicillin (penicillin V) selama 10 sehari
2.1.8.1.2.1 Dewasa dan remaja: 750- 1000 mg/hari di bagi
2-4 dosis
2.1.8.1.2.2 Anak 500-750 mg/hari dibagi 2-3 dosis
2.1.8.1.3 Amoxicillin 25-50 mg/kgBB/hari di bagi 3 dosis (dosis
maximal 750-1000 mg/hari selama 10 hari

2.1.8.1.4 Bagi alergi penicillin dapat diberikan:


21

2.1.8.1.4.1 Cephalosporin spectrum sempit (chepalexin,


cefadroxil) per oral dengan dosis bervariasi
selama 10 hari
2.1.8.1.4.2 Clindamiyin 20 mg/kgBB/hari per oral dibagi
3dosis (maksimal 1,8 gr /hari selama 10 hari
2.1.8.1.4.3 Azitromicin 12 mg/kgBB/per oral sekali sehari
(maksimal 500 mg) selama 5 hari
2.1.8.1.4.4 Klaritromicin 15 mg/kgBB/hari peroral dibagi
dalam 2 dosis (maksimal 500 mg) selama 10 hari
Kultur diulang 2-7 hari paska selesai pemberian antibiotik.
2.1.8.1.5 Antibiotik untuk prevensi sekunder
2.1.8.1.5.1 Benzathine Benzylphenicilin 1,2 juta U IM
(untuk BB <27 Kg, 600.000 U IM) setiap 3-4
minggu atau
2.1.8.1.5.2 henoxymethil Penicillin (Penicilin V): 2 x 250
mg,
Bila alergi penicillin dapat diberikan:
2.1.8.1.5.3 Sulfadizin 1 gram/hari (BB >30 Kg), 500
mg/hari (BB < 30Kg) atau
2.1.8.1.5.4 Erythromycin 2 x 250mg Pemberian Antibiotik
Untuk Prevensi Sekunder

Tabel kebutuhan antibiotik pasien berdasarkan tingkat keparahan RHD

Kategori Durasi
Demam rematik tanpa karditis Minimal 5 tahun setelah serangan
atau sampai usia 21 tahun
Demam rematik dengan 10 tahun setelah serangan terakhir
karditis tapi tanpa penyakit atau hingga usia 25 tahun
katup
Demam rematik dengan 10 tahun sejak serangan berakhir
karditis dan penyakit katup hingga usia 40 tahun atau seumur
hidup.
22

(Perki, 2015)

2.1.8.1.6 Anti radang untuk karditis dan poliarthritis migrans


2.1.8.2.6 Prednison: 2 mg/KgBB/hari (maksimal 80
mg/hari) selama 2 minggu, kemudian di sapih
20- 25% tiap minggu, atau
2.1.8.2.7 Salisilat: 100 mg/KgBB dibagi 4-5 dosis
(maksimal 6 g/hari) selama 2 minggu, kemudian
60-70 mg/KgBB/hari selama 3 –6 minggu.
2.1.8.2 Gagal jantung
2.1.8.2.1 Tempat perawatan: Gagal jantung berat dirawat di ruang
rawat intensif. Gagal jantung sedang dirawat di ruang
rawat intermediate. Gagal jantung ringan dirawat di
ruang rawat biasa
2.1.8.2.2 Lama perawatan dan mobilisasi tergantung kondisi
jantung
2.1.8.2.3 Restriksi cairan dan diet rendah garam,
2.1.8.2.4 Obat-obatan anti gagal jantung: diuretik, ACE-I +/-
digoxin
2.1.8.2.5 Bila terdapat efusi perikard yang berakibat tamponade
maka perlu dilakukan punksi perikard.
2.1.8.3 Chorea
Chorea dapat hilang sendiri setelah tirah baring dan eradikasi
kuman GAS; bila perlu diberikan pengobatan symptomatic dengan
clorpromazin, diazepam atau haloperidol.

2.1.9 Tindakan intervensi bedah dan nonbedah


Jarang dilakukan pada keadaan akut, kecuali bila gagal diatasi dengan
medika mentosa. Intervensi sebaiknya dilakukan 3 (tiga) bulan setelah
demam rematik dinyatakan reda.
2.1.9.1 Repair
23

Penatalaksanaan pada pasien RHD yang sudah mengalami


kerusakan katup adalah dengan cara di perbaiki (repair). Adapun
kriteria perbaikan katup yaitu pada pasien-pasien dengan
kerusakan katup ringan.
2.1.9.2 Replacement
Replacement dilakukan untuk mengganti katup yang tidak dapat
diperbaiki, ada 2 jenis katup buatan yaitu mekanik dan
bioprostetik.
2.1.9.2.1 Bioprostetik.
Bioprostetik adalah katup buatan yang dibuat dari
jaringan hewan (sapi/babi). Keuntungan pasien dengan
katup bio tidak perlu minum obat pengencer darah
seumur hidupnya. Namun kerugian katup bio ini hanya
bertahan antara 10-15 tahun saja dan perlu diganti
kembali dengan proses operasi lagi. Kriteria pemilihan
jenis katup yang akan digunakan tergantung dari usia
pasien, kondisi medis pasien, tempat tinggal pasien,
dan kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

2.1.9.2.2 Mekanik.
Katup mekanik dibuat dari logam dan pyrolytic carbon
yang bisa bertahan selama seumur hidup. Kerugian
Pasien dengan katup mekanik harus minum obat
pengencer darah selama seumur hidup untuk
mencegah terjadinya pembekuan darah (Udjianti,
2010). Warfarin adalah salah satu terapi obat
pengencer darah yang diberikan kepada pasien pasca
penggantian katup yang mengandung natrium walfarin
2 mg/tablet. Indikasinya yaitu untuk pencegahan dan
pengobatan trombosis vena dan sebagai terapi
tambahan untuk mengatasi penyakit sumbatan koroner.
Kontraindikasi warfarin yaitu kondisi potensial
24

perdarahan, pembedahan segera, anestesi lumbalis,


pre-eklamsia dan eklamsia, ancaman abortus, hamil
(Park, 2008). Antikoagulan oral pada dasarnya
merupakan antagonis vitamin K. Pasien yang
mengkonsumsi antikoagulan disarankan untuk tidak
banyak mengkonsumsi sayuran hijau yang merupakan
sumber vitamin K karena sayuran hijau membuat efek
anti koagulan bekerja dengan cara sebaliknya.
Antikoagulan bekerja dengan mengubah cara hati
memproses vitamin K yang dimiliki oleh tubuh.
Semakin sedikit vitamin K yang dimiliki tubuh,
semakin kecil kemungkinan seseorang mengalami
penggumpalan darah. Penggunaan warfarin harus
selalu di control dengan mengambil nilai INR dalam
darah untuk menyesuaikan dosis pengecer darah yang
dibutuhkan pasien (Syahputra &Yuniadi, 2010).
2.1.10 PathwayRHD

Author: Oxynthes, 2013

25
27

2.2 Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian Keperawatan
2.2.1.1 Anamnesa
2.2.1.1.2 Identitas
2.2.1.1.3 Keluhan utama
2.2.1.1.4 Riwayat penyakit dahulu
2.2.1.1.5 Riwayat penyakit sekarang
2.2.1.1.6 Riwayat kesehatan keluarga
2.2.1.1.7 Riwayat psikososial
2.2.1.1.8 Pola fungsi kesehatan
2.2.1.1.8.1 Persepsi terhadap kesehatan
2.2.1.1.8.2 Manajemen kesehatan
2.2.1.1.8.3 Pola aktifitas dan latihan
2.2.1.1.8.4 Pola istirahat dan tidur
2.2.1.1.8.5 Pola nutrisi – metabolic
2.2.1.1.8.6 Pola eliminasi
2.2.1.1.8.7 Pola kognitif dan persepsi sensori
2.2.1.1.8.8 Pola fungsi seksual – reproduksi
2.2.1.1.8.9 Pola tata nilai dan kepercayaan
2.2.1.2 Pemeriksaan fisik persistem
2.2.1.2.1 Sistem respirasi: adanya takipneu, suara tambahan dan
cuping hidung.
2.2.1.2.2 Sistem kardiovaskuler
Biasanya pada pasien yang mengalami RHD ditemukan
suara abnormal yaitu murmur, kemudian adanya
takikardi.
2.2.1.2.3 Sistem integument: integritas turgor kulit menurun,
pucat, berkeringat banyak
2.2.1.2.4 Sistem GIT
Adanya gangguan pencernaan karena disebabkan
perubahan pola makan akibat anoreksia.
2.2.1.2.5 Sistem eliminasi
Apakah di dalam penderita RHD mengalami konstipasi,
produksi kemih mengalami oliguria.
2.2.1.2.6 Sistem muskuloskletal
Apakah ada gangguan pada ekstremitas atas maupun
bawah
2.2.1.2.7 Sistem endokrin
Pada penderita RHD tidak ditemukan pembesaran
kelenjar tiroid
2.2.1.2.8 Sistem persyarafan
Apakah kesadaran itu composmentis atau apatis,
somnolen atau koma pada penderita RHD
28

(Aspiani, 2014)
2.2.1.3 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa utama keperawatan menurut NANDA (2015-2017), NIC
(2008), NOC (2008), yaitu:
2.2.1.3.1 Penurunan kardiak output berhubungan dengan
gangguan konduksi, hambatan aliran dari atrium ke
ventrikel
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan asuhan 1. Evaluasi adanya nyeri dada
keperawatan selama 2x24 2. Catat adanya tanda dan
jam, masala dapat berkurang gejala penurunan cardiac
dengan kriteria hasil: output
1. Output jantung 3. Monitor adanya takipnea,
menunjukkan dispnea, fatigue
4. Pertahankan catatan intake
keadekuatan
2. Nadi perifer kuat output
3. Tanda vital dalam batas 5. Monitor status nutrisi dan
normal berat badan
4. Mampu mentoleransi 6. Monitor tanda dan gejala
aktivitas tanpa dispnea dari oedema
7. Monitor bunyi jantung dan
dan sinkop
5. Keluhan nyeri tidak ada suara paru

2.2.1.3.2 Intoleransi aktifitas berhubungan dengan deformitas


katup atau ketidakmampuan jantung untuk memompa
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi adanya
keperawatan selama 2x24 pembatasan pasien dalam
jam, melakukan aktifitas
masalah dapat berkurang 2. Kaji adanya faktor yang
dengan kriteria hasil: menyebabkan kelelahan
1. Mampu berpartisipasi 3. Monitor nutrisi dan
dalam aktifitas fisik tanpa sumber energi yang
disertai penigkatan tanda adekuat
vital 4. Monitor respon
2. Mampu melakukan kardiovaskuler terhadap
aktifitas sehari-hari secara aktifitas
mandiri 5. Monitor tidur dan lamanya
tidur pasien
6. Kolaborasi dengan tenaga
rehabilitasi medik dalam
merencanakan program
29

terapi.

2.2.1.3.3 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kongest


paru
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan asuhan 1. Pertahankan catatan
keperawatan selama 2x24 intake dan output
jam, 2. Monitor tanda vital
masalah dapat berkurang 3. Monitor indikaso retensi
dengan kriteria hasil: atau kelebihan cairan
1. Terbebas dari 4. Kaji lokasi dan luas
oedema,efusi dan oedema
anasarka 5. Monitor tanda dan gejala
2. Bunyi nafas bersih oedema
3. Terbebas dari distensi 6. Monitor adanya distensi
vena jugularis leher ronki, oedema
4. Terbebas dari kelelahan perifer, dan penambahan
berat badan.

2.2.1.3.4 Nyeri berhubungan dengan organisme penginfeksi


(Sakit sendi)
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji hemodinamik pasien
keperawatan selama 2x24 2. Kaji karakteristik, lokasi,
jam, masalah nyeri dapat intensitas, dan durasi nyeri
berkurang dengan kriteria dengan rentang skala nyeri
hasil: 0-10
2.3 Ekspresi rileks 3. Ajarkan teknik relaksasi
2.4 Skala nyeri ringan- (napas dalam, posisi yang
sedang nyaman distraksi, dan
2.5 Tanda vital dalam batas sebagainya)
normal 4. Berikan lingkungan yang
2.6 Mobilisasi aktif kondusif agar pasien dapat
2.7 Keluhan nyeri tidak ada beristirahat
5. Hindari faktor yang dapat
meningkatkan persepsi
nyeri seperti cemas,
kelelahan, dan sebagainya
5. Beritahukan pasien untuk
30

segera melaporkan pada


perawat jika terjadi nyeri
dada berulang
6. Kolaborasi : berikan
analgetik sesuai instruksi

2.2.1.3.5 Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi suhu pasien
keperawatan selama 1x24 2. Observasi iwl
jam, masalah hipertermi 3. Observasi warna dan suhu
dapat teratasi dengan kriteria kulit
hasil: 4. Observasi hemodinamik
1. Suhu dalam batas normal 5. Observasi penurunan
2. Tidak ada sakit kelapa tingkat kesadaran
3. Nadi dalam batas normal 6. Observasi sel darah
4. Frekuensi nafas dalam merah, hb, dan hct
batas normal 7. Observasi intake dan
5. Tidak ada perubahan arna output
kulit 8. Observasi adanya aritmia
6. Hidrasi cukup 9. Kolaborasi pemberian
7. Otot tidak nyeri antipiretik
8. Tidak mengatuk 10. Kolaborasi pengobatan
penyebab demam
11. Berikan cairan IV jika
perlu

2.2.1.3.6 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


peradangan kulit dan jaringan subkutan
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji faktor risiko yang
keperawatan selama 2x24 dapat menyebabkan
jam klien menunjukan keruskan integritas kulit
integritas jaringan kulit dan 2. Kaji karakteristik
membrane adekuat dengan kerusakan integritas kulit
criteria hasil : 3. Pertahankan tempat tidur
1. Integritas kulit baik yang bersih, kering, dan
dengan cirri suhu, bebas dari kerutan
elastisitas, hidrasi, 4. Anjurkan klien
pigmentasi, dan warna menggunakan pakaian
kulit dalam batas normal yang longgar
2. Klien terbebas dari 5. Jaga kebersihan kulit agar
adanya lesi jringan tetap bersih dan kering
3. Kulit utuh 6. Bersihkan kulit dengan air
hangat dan keringkan
kembali.
31

7. Konsultasi gizi untuk


makaan tinggi proten,
mineral dan protein.
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian
3.1.1 Anamnesa
Pasien An. W, rujukan dari RSUD Abdul Moeloek Lampung. Pasien
mengeluh badan pegal-pegal sejak dua minggu terakhir ini disertai demam
kadang-kadang. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh
demam disertai batuk, pilek dan sakit tenggorokan. Pasien berobat ke klinik
dokter umum, dilakukan pemeriksaan auskultasi jantung, dan diarahkan
untuk diperiksa lanjutan ke dokter spesialis jantung. Dari praktek dokter
umum, pasien diberikan beberapa obat penurun demam, obat batuk, dan
antibiotik untuk satu minggu, demam sudah berkurang, pasien
menghentikan pengobatan (hanya antibiotik yang habis).
Dua hari penghentian obat, keluhan bertambah dan timbul sesak.
Selama dua minggu aktifitas terganggu, nyeri sendi-sendi daerah siku
tangan, lutut, pinggang, dan belakang punggung, demam, batuk, pilek
muncul kembali, pasien lemas dan penurunan BB (0,5–1) Kg per minggu.
Pasien berobat ke dokter spesialis jantung, dilakukan pemeriksaan
echokardiografidan EKG (12/06/2018), dan dikatakan pasien menderita
sakit jantung, Pasien diberi obat-batan seperti lasik 1x 40 mg (P.O) dan
concor 2 x 2,5 mg (P.O), dirawat lima hari kemudian membaik lalu pulang
kedaerahnya selama 1 bulan lebih. Selama lima belas hari dirumah, muncul
batuk pilek lagi, kemudian brobat kedokter umum, dan diberi obat batuk.

32
33

Setelah lebaran keluhan menjadi semakin perburukan, pasien


cepat lelah, lemas, dan tidur tidak bias. Kemudian pasien berobat
kembali ke dokter spesialis jantung, lalu dirujuk ke RS. Abdul
Moeloek. Pasien dirawat Selama 1 bulan, dan 2 bulan terakhir ini
mengalami penurunan BB 8kg, riwayat Hb 10.4, konjungtiva
anemis. Kemudian pasien dirujuk ke RSPJNHK.Data Demografi
3.1.1.1 Data Demografi
Tanggal pengkajian : 19/07/2018, pukul 12.00 WIB
Nama : An. W
Tanggal lahir : 18/06/2002 (16 tahun)
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SLTA
Agama : Islam
Golongan darah : B+
Tanggal MRS : 19/07/2018, pukul 01.29 WIB
Alamat : Desa Sungai Ceper, Mesuji, Perbatasan
Sumatera-Lampung

3.1.1.2 Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Usia ibu saat mengandung 22 tahun, dengan kehamilan
G1P0A0. Pasien anak pertama dari dua bersaudara. Ibu
melahirkan secara spontan oleh bidan dengan segera menangis
kuat. Selama kehamilan tidak ada masalah, dan kontrol 2x saja ke
bidan. Pasien lahir dengan BB 3000 gram dengan riwayat
imunisasi lengkap.

3.1.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang


34

Saat ini pasien mengeluh masih mudah capek, dan berkurang


jika istirahat. Demam hilang timbul, nyeri sendi, badan pegal
sudah berkurang, masih sakit tenggorokan. Dalam memenuhi
kebutuhan sehari hari pasien dibantu sebagian oleh ibunya dengan
skor barthel index 70. Pasien mengatakan nafsu makan berkurang
karena cepat capek dan sakit tenggorokan. Ibunya pun
mengatakan anaknya mengalami penurunan BB 8 kg dalam waktu
2 bulan (BB sekarang 41 kg).
Selama perawatan disana, pasien mendapat terapi pengobatan:
Prednison 4x20mg P.O (9 minggu yang lalu), Ranitidin 2x20 mg
P.O (tapering off), PMP 2x500mg P.O (10 hari yang lalu),
Paracetamol 3x500mg P.O, Furosemide 1x40mg P.O, dan
Ramipril 1x2,5mg P.O.
Saat ini, pasien dilakukan pemeriksaan echocardiografi dan x-
ray dengan diagnosa reaktifasi rheuma (RHD), MR severe e.c.
flaill AML dengan CTR 64. TD pasien saat ini yaitu 78/54
mmHg, HR 98 x/menit, RR 20 x/menit, dan suhu 370C.

3.1.1.4 Riwayat Personal dan Sosial


An. W adalah seorang pelajar kelas2 SLTA, sejak pasien sakit 2
bulan terakhir ini, pasien tidak masuk sekolah untuk perawatan di
RS dan pasien cenderung ditempat tidur beristirahat. Keseharian
an. W, masih dapat bermain dengan temannya walapun tidak
bertahan lama akibat cepat capek.
An. W bertempat tinggal di lingkungan perairan laut, dengan
mata pencarian orang tua sebagai nelayan. Sehari-hari pasien dan
keluarga mengkonsumsi air laut dan memiliki rumah di atas air
laut atau pinggir pantai. Warga setempat banyak yang tiba-tiba
meninggal akibat pembengkakan jantung.

3.1.2 Pemeriksaan Fisik


3.1.2.1 Kesadaran : Compos Mentis
3.1.2.2 Tanda-tanda vital :
35

3.1.2.2.1 Tekanan darah : 93/59 mmHg


3.1.2.2.2 Nadi : 98 x/menit (irama kuat dan teratur)
3.1.2.2.3 Suhu : 36,30C
3.1.2.2.4 SPO2 : 98-100%
3.1.2.3 Pernapasan : 20 x/menit (suara napas vesikuler, dan
pola napas normal).
3.1.2.4 Auskultasi Jantung : Bunyi S1 normal, S2 normal, dan
terdapat bunyi tambahan murmur saat
sistolik di katub mitral (ICS 5
midclavikularis sinistra)
3.1.2.5 Kepala : Normal
3.1.2.6 Leher : Tidak ada distensi jugularis, dan arteri
carotis teraba kuat
3.1.2.7 Mata : Normal (tidak ada ikterik, dan tidak
anemis)
3.1.2.8 Gigi dan Mulut
3.1.2.8.1 Bibir : Normal
3.1.2.8.2 Gigi berlubang : ada, 1 buah geraham kiri bawah
belakang (sudah 5 tahun lebih)
3.1.2.8.3 Kemampuan makan : Sulit menelan akibat faringitis
dan cepat capek
3.1.2.9 Muskuloskeletal
3.1.2.9.1 Kekuatan motorik : +4
3.1.2.9.2 Clubbing finger : Tidak ditemukan
3.1.2.9.3 Sendi - sendi : Nyeri berkurang
3.1.2.9.4 Capillary refill time : <2 detik
3.1.2.9.5 Deformitas : Tidak ada
3.1.2.9.6 Edema extermitas : Tidak ada
3.1.2.9.7 Pulsasi perifer : Teraba
3.1.2.9.8
3.1.2.10 Persyarafan : Normal (kejang : tidak ada, dan
parese : tidak ada)
3.1.2.11 Paru-paru
3.1.2.11.1 Pergerakan dada : Simetris
3.1.2.11.2 Sesak : Tidak ada
3.1.2.11.3 Bentuk Dada : Normal
3.1.2.12 Abdomen
3.1.2.12.1 Bentuk : Soepel
3.1.2.12.2 Asites : Tidak ada
3.1.2.12.3 Absorbsi : Baik
36

3.1.2.12.4 Peristaltik usus : 6 x/menit


3.1.2.12.5 Hepatomegali : Tidak ditemukan
3.1.2.12.6 Nyeri tekan epigastrik : Tidak ada
3.1.2.12.7 Konstipasi/distensi : Tidak ada
3.1.2.13 Integumen
3.1.2.13.1 Suhu Kulit : Hangat dan lembab
3.1.2.13.2 Turgor Kulit : Elastis
3.1.2.13.3 Luka decubitus : Grade 0
3.1.2.13.4 Warna kulit : Asianotik
3.1.2.13.5 Eritema : Tidak ada
3.1.2.13.6 Subkutan Nodul : Tidak ada

3.1.3 Skrinning Gizi


Terjadi penurunan berat badan dalam 2 bulan terakhir 8 kg.
3.1.3.1 TB/BB : 163 cm/41 Kg (BB saat dikaji
40 kg)
2
3.1.3.2 IMT = BB (kg)/TB (m) : 15,43 Kg/m2(underweight)
3.1.3.3 Kebiasaan makan sebelumnya : 3x1 porsi (jenis makan
seafood dan sayur kadang-
kadang)
3.1.3.4 Kebiasaan makan ketika sakit : 2x1/2 porsi
3.1.3.5 Kebiasaan minum sebelum sakit : 1500 ml/hari
3.1.3.6 Kebiasaan minum ketika sakit : 800 ml/hari (perlu motivasi)
3.1.3.7 Target Kebutuhan Nutrisi : DJ II 1800 Kkal/24 jam
3.1.3.8 Status cairan : TC 1900/24 jam
3.1.3.9 Intake 24 jam : 1500 cc
3.1.3.10 BAK 24 jam : 1800 cc
3.1.3.11 Balance cairan 24 jam : - 300 cc
3.1.3.12 Target balance 24 jam : 0 cc atau minus (-)

3.1.4 Status Fungsional


Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari/aktifitas, an. W dibantu sebagian
oleh keluarga (skor barthel index 70), karena kondisi tubuhnya yang
mudah capek.

3.1.5 Pemeriksaan Penunjang


3.1.5.1 Hasil Laboratorium
Nilai
Tanggal Pemeriksaan Hasil
Normal
37

19/07/2019 Hematologi
Hb 11,6g/dl 12-14,7
Hematocrit 34,5 35,2-46,7
Leukosit 12320 /mcL 3170-8400
Eritrosit 4,51 juta/mcL 3,72-5,06
Trombosit 258.000/mcl 167-390
VER (MCV) 76,5 fL 87,1-102,4
HER (MCH) 25,7 pg 26,8-32,4
KHER (MCHC) 33,6  29,6-32,5
RDW (CV) 16,2  12,2-15
Infection
CRP 46mg/L <5
ASTO 598 IU/ml <200
Renal
Ureum 21,7mg/dl 10,7-38,52
Creatinin 0,63 mg/dl 0,51-0,95
BUN 10 mg/dl 5-18
Elektrolit Gas Darah
Natrium 137 mmol/L 135-153
Kalium 4,1 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 100mmol/L 98-109
Calsium Total 2,24 mmol/L 2,10-2,55
Magnesium 1,9mmol/L 1,7-2,22

Glukosa
GDS 114 mg/dl 77-199

3.1.5.2 EKG
38

Irama reguler, HR: 125 x/m, axis RAD, Gelombang P tidak ada, Interval PR
tidak bias dihitung, kompleks QRS 0,08 detik, tidak ada perubahan ST
segmen, ST segmen 0,08 detik.
Kesimpulan :Irama Junctional Takikardi.

3.1.5.3 Echocardiografi

Situs Solitus
AV-VA concordance
ASD (-) VSD (-) PDA (-)
Fungsi Sistolik LV baik, EF 64% (LA-LV dilatasi)
39

Fungsi RV baik, TAPSE 2,6 cm


Katub Mitral dengan MR Severe, Prolaps AML, ujung katub tampak tebal
Katub Trikuspid dengan TR Mild, TVG 36 mmHg
Katub Aorta dan Pulmonal dalam batas normal
Arcus Aorta di kiri, Coarch tidak ada
Efusi Pericard 0,6 – 1 cm di posterior RA

3.1.5.4 Radiologi

Cor: CTR 60 % apex tertanam. Segmen tidak menonjol. Mediastinum tidak


melebar. Aorta di tengah.
Paru: Hilus baik. Vaskularisasi paru tidak meningkat. Parenkim paru dalam
batas normal.
Situs costofrenikus dan diafragma baik. Tulang dan soft tissue baik.
Kesan: Cardiomegali

3.1.6 Diagnosa Medis


Reaktivasi Rheuma, MR Severe, Efusi Pericard Ringan ec RHD
40

3.1.7 Terapi Farmakologi


Prednisone : 4x20 mg P.O (19/07/2018)
Ranitidin : 2x150 mg P.O (19/07/2018)
PMP : 2x500 mg P.O (19/07/2018)
Paracetamol : 3x500 mg P.O (19/07/2018)
Furosemide : 1x40 mg P.O (19/07/2018)
Ramipril : 1x2,5 mg P.O (19/07/2018)
Concor : 1x1,25 mg P.O (19/07/2018)

3.2 Analisa Data


Data Masalah
DS :Pasien mengatakan lebih Risiko Penurunan Cardiac Output
cepat lelah saat aktivitas ringan berhubungan gangguan
dan kadang timbul sesak jika afterload/stroke volum akibat dari
aktivitas sedang dilakukan. pemendekan dan kekakuan korda
DO : tendinae dan muskulus papilaris.
a. TD : 93/59 mmhg
b. HR : 98 x/menit
c. HR saat tidur malam :
d. RR : 20 x/menit
e. Sat O2 : 98% - 100%
f. Crt : <2 detik
g. Tidak terdapat distensi vena
jugularis
h. Akral hangat, tidak biru
i. Batuk (+), Pilek (+)
j. Intake output (balance cairan):
1500 – 1800 = -300 cc
k. Auskultasi jantung: S1 normal
dan S2 normal, terdapat murmur
di akhir sistolic di ICS 5 sinistra
l. Hasil Echo : MR Severe, efussi
pericard minimal, LA-LV dilatsi
m. EKG : RAD, Junctional
Takikardia
n. Rontgen : Cardiomegali
o. EF : 64%
41

DS :. Intoleransi aktifitas berhubungan


a. Pasien mengatakan lebih cepat gangguan sirkulasi/ketidakseimbangan
lelah saat aktivitas ringan dan asupan oksigen dengan kebutuhan
kadang timbul sesak jika
aktivitas sedang dilakukan.
b. Ibu pasien mengatakan, an. W
lebih mudah lelah dan banyak
tirah baring/immobilasi sejak
sebulan yang lalu.

DO :
a. TD : 93/59 mmhg
b. HR : 98 x/menit
c. HR saat tidur malam :
d. RR : 20 x/menit
e. Sat O2 : 98% - 100%
f. Crt : <2 detik
g. Tidak terdapat distensi vena
jugularis
h. Akral hangat, tidak biru
i. Intake output (balance cairan):
300 – 300 = 0 cc
j. Auskultasi jantung: S1 normal
dan S2 normal, terdapat murmur
di akhir sistolic di ICS 5 sinistra
k. Hasil Echo : MR Severe, efusi
pericard minimal
l. EKG : RAD, junctional
Takikardia
m. Rontgen : Cardiomegali
n. Riwayat Hb 10.4, konjungtiva
anemis
o. Riwayat intoleransi aktifitas
sebelumnya
DS: Ketidakseimbangan nutrisi: kurang
a. Ibu pasien mengatakan, an. W dari kebutuhan tubuh b/d kesulitan
mengalami penurunan nafsu menelan akibat faringitis dan cepat
makansemenjak 2 bulan capek.
terkahir ini, dan butuh
dimotivasi sekali.
b. Pasien mengatakan tidak selera
42

makan dan mudah kenyang


karena cepat capek dan sakit
tenggorokan
DO:
Pengkajian Status Nutrisi (ABCD)
a. Antropometri:
 TB/BB : 163 cm/41 Kg (BB
saat dikaji 40 kg)
 IMT = BB (kg)/TB2 (m):
15,43 Kg/m2 (underweight)
 BB turun 8 Kg dalam 2
bulan terakhir.

b. Biokimia:
 Riwayat Hb 10.4 gr/dL dan
konjungtiva anemis saat di
RS Abdul Moeluk Lampung
 Hb 11,6 gr/dL (19/7/18)
c. Clinis:
 Tampak kurus
 Tampak lemas dan cepat
capek, lebih banyak
melakukan aktivitas di
tempat tidur
d. Diet
 Kebiasaan makan
sebelumnya : 3x1 porsi
(jenis makan seafood dan
sayur kadang-kadang)
 Porsi makan tidak habis (2 x
1/2 porsi)
 Minum 1500 cc/hari
(dimotivasi sekali)

DS: Resiko Infeksi berhubungandengan


a. Pasien/ibu mengatakan ketidakadekuatan pertahanan sekunder
kadang-kadang demam (agen supresi respon inflamasi)
b. Pasien mengatakan agak sulit
menelan
DO:
a. Hasil Laboratorium:
 Leukosit :12320/mcL
 CRP : 46 mg/L
 ASTO : 598 IU/ml
43

b. Terpasang IV cath di vena


radialis sinistra
c. Batuk (+)
d. Gigi berlubang pada graham
bawah belakang

3.3 Diagnosa Keperawatan


3.3.1 Risiko Penurunan Cardiac Output berhubungan gangguan afterload/stroke
volume akibat mitral regurgitasi
3.3.2 Intoleransi aktifitas berhubungan gangguan sirkulasi/ketidak seimbangan
asupan oksigen dengan kebutuhan
3.3.3 Gangguan keseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kesulitan menelan akibat cepat lelah
3.3.4 Resiko infeksi berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan
sekunder (agen supresi respon inflamasi)

3.4 Intervensi Keperawatan


Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
Risiko Penurunan Cardiac Setelah dilakukan asuhan 1. Evaluasi adanya
Output berhubungan keperawatan selama 7 x24 nyeri dada
gangguan afterload/stroke jam, Cardiac Output dan 2. Catat adanya tanda
volum akibat mitral sistem sirkulasi disaritmia jantung
regurgitasi optimal/adekuat, dengan 3. Monitor adanya
kriteria hasil: takipnea, dispnea,
1. Vital sign dalam fatigue
batas normal 4. Posisikan pasien
2. Tidak ada penurunan senyaman mungkin
kesadaran 5. Monitor HD,
3. AGDA dalam batas intake output,
normal balance cairan, dan
4. Toleransi terhadap urin aoutput
aktivitas dan tidak 6. Monitor status
ada kelelahan dan nutrisi dan berat
dyspnea badan
5. Tidak ditemukan 7. Monitor adanya
44

oedem paru, perifer, oedema


dan asites 8. Monitor bunyi
jantung dan suara
paru
9. Monitor capillary
refill
10. Kolaborasi
pemberian diuretic,
anti inflamasi, anti
aritmia,beta
blocker, dan ACE
inhibitor
Intoleransi aktifitas Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi adanya
berhubungan gangguan keperawatan selama 7 x24 pembatasan pasien
sirkulasi/ketidakseimbangan jam,pasien bertoleransi dalam melakukan
asupan oksigen dengan terhadap aktifitas, dengan aktifitas
kebutuhan kriteria hasil: 2. Kaji adanya faktor
1. Mampu berpartisipasi yang
dalam aktifitas fisik menyebabkan
tanpa disertai kelelahan
penigkatan tanda vital 3. Monitor nutrisi
2. Mampu melakukan dan sumber energi
aktifitas khusus yang yang adekuat
dapat dilakukan secara 4. Monitor respon
mandiri kardiovaskuler
terhadap aktifitas
(takikardia,
disritmia, sesak
nafas, diaphoresis,
pucat, dan
perubahan
hemodinamik)
5. Monitor tidur dan
lamanya tidur
pasien
6. Bantu pasien
untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan positif
7. Kolaborasi dengan
tenaga rehabilitasi
medik dalam
merencanakan
45

program terapi.
Ketidakseimbangan nutrisi: Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji adanya
kurang dari kebutuhan keperawatan selama 7x24 tingkat alergi
tubuh b/d kesulitan menelan jam, status nutrisi intake terhadap makan
akibat faringitis dan cepat aoutput adekuat, dengan pada pasien
capek kriteria hasil : 2. Monitoring adanya
1. Adanya peningkatan mual, muntah
BB 3. Kaji makanan
2. BB ideal sesuai dengan kesukaan pasien
tinggi badan 4. Monitoring intake
3. Tidak ditemukan output pasien per
tanda-tanda malnutrisi 24 jam
4. Mampu 5. Ukur BB per 3
mengidentifikasi hari
kebutuhan nutrisi 6. Monitor jumlah
makanan yang
dikonsumsi
perhari
7. Edukasi pasien
dan keluarga (Ibu)
tentang kebutuhan
nutrisi pasien
8. Ciptakan
lingkungan yang
nyaman untuk
pasien selama
makan
9. Monitor turgor
kulit,
pucat,kemerahan
pada konjungtiva
pasien
10. Kolaborasi dengan
ahli gizi dalam
pemenuhan jumlah
kalori, dan jenis
nutrisi pasien
11. Yakinkan pasien
untuk
menkonsumsi
makan yang tinggi
serat untuk
pencegahan
konstipasi
46

12. Kolaborasi
pemberian
suplemen vitamin
seperti Fe, vitamin
C jika diperlukan
13. Kolaborasi cek
laboratorium
seperti albumin,
hb, dan kadar Ht

Resiko Infeksi Setelah dilakukan 1. Monitoring tanda-


berhubungandengan perawatan 7 x 24 jam, tanda vital (TD,
ketidakadekuatan resiko infeksi dapat HR, T, dan RR)
pertahanan sekunder (agen dikontrol dan status imun 2. Pertahankan
supresi respon inflamasi) optimal, dengan kriteria standart
hasil: precaution
1. Tidak ditemukan universal seperti
tanda-tanda infeksi cuci tangan five
seperti : moment
rubor,calor,dollor,tum 3. Batasi
or, dan function laesa pengunjung, dan
2. Hasil laboratorium pertahankan suhu
infeksi marker dalam lingkungan kamar
batas normal pasien
3. Pasien dan keluarga 4. Pertahankan
menunjukkan perilaku ligkungan yang
hidup sehat bersih dan
4. Pasien/keluarga nyaman pasien
mampu menunjukkan 5. Monitoring tanda-
pencegahan infeksi tanda infeksi dan
seperti cuci tangan adanya phlebitis
6. Anjurkan pasien
untuk lebih
banyak istirahat
pada saat proses
perawatan dan
pengobatan
7. Edukasi
pasien/keluarga
untuk patuh dan
taat cuci tangan 6
langkah.
8. Motivasi pasien
47

untuk
meningkatkan
intake nutrisinya
seperti tinggi
protein dan intake
cairan
9. Kolaborasi
dengan
laboratorium
untuk cek infeksi
marker, swab
tenggorokdan
evaluasi ASTO
10. Kolaborasi dalam
pemberian terapi
medikasi seperti
antibiotic (PMP),
dan anti inflamasi
(prednisolone)
11. Pastikan pasien
minum obat tepat
waktu
3.5 Implementasi dan Evaluasi
Tanggal/ Diagnosa Implementasi Evaluasi Paraf
jam keperawatan
19/7/2018 Risiko Penurunan 1. Memonitor tanda-tanda vital S:
Jam Cardiac Output 2. Memonitor capillary refill
09.00 3. Memonitor adanya takipnea, dispnea, Pasien mengatakan saat ini tidak ada
fatigue keluhan nyeri dada maupun berdebar.
09.30 4. Memposisikan pasien senyaman Pasien mengeluh masih lemas, lebih cepat
09.40 mungkin lelah saat aktivitas ringan dan kadang
09.50 5. Mengevaluasi adanya nyeri dada timbul sesak jika aktivitas sedang.
10.00 6. Memonitor tanda dan gejala dari O:
10.30 oedema
12.00 7. Memonitor bunyi jantung dan suara TD: 93/59 mmhg, HR: 98 x/menit, RR: 20
paru x/menit, Sat O2: 98% - 100%, CRT <2 detik,
8. Memonitor status nutrisi dan berat tidak tampak tanda gejala edema, tidak
badan tampak distensi vena jugularis, akral hangat,
12.30 9. Berkolaborasi dengan tim gizi dan tidak ada sianosis, Auskultasi jantung: S1
melibatkan keluarga pasien dalam normal dan S2 normal, terdapat murmur di
13.00 memberikan pasien makan siang sesuai akhir sistolic di ICS 5 sinistra, BB 40 kg
kebutuhan nutrisi DJ II 1800 Kkal/24 (19/7/18), makan siang habis ½ porsi, Intake
jam output (balance cairan): 300 – 300 = 0 cc,
10. Memonitor hemodinamik, intake output pasien tampak menghabiskan obat siang.
dan balance cairan A : Masalah belum teratasi
11. Kolaborasi pemberian obat:
- Diuretic: Furosemide1x40 mg PO P : Melanjutkan intervensi untuk risiko
- Anti inflamasi: Prednisone 4x20 mg penurunan cardiac output
PO
- Anti aritmia B-Blocker: Concor 1x1,25

49
Tanggal/ Diagnosa Implementasi Evaluasi Paraf
jam keperawatan
mg PO
- ACE inhibitor : Ramipril : 1x2,5 mg
PO
19/7/18 Intolerasi Aktifitas 1. Mengobservasi adanya pembatasan S:
Jam pasien dalam melakukan aktifitas
09.00 2. Mengkaji adanya faktor yang Pasien mengatakan saat ini tidak ada
menyebabkan kelelahan. keluhan nyeri, berdebar, maupun sesak.
09.20 3. Mengkaji kualitas tidur dan lamanya Pasien mengeluh masih lemas, lebih cepat
tidur pasien lelah saat aktivitas ringan seperti mandi
10.00 4. Membantu pasien untuk dan kadang timbul sesak jika aktivitas
mengembangkan motivasi diri dan sedang seperti berjalan-jalan. Pasien
penguatan positif untuk tetap bangun pagi pukul 6. Pasien membatasi
melakukan aktivitas ringan disamping aktivitasnya dan lebih banyak
tempat tidur sebagai peregangan menghabiskan waktu istirahat di tempat
12.00 persendian. tidur. Aktifitas yang dilakukan adalah
5. Monitor nutrisi dan sumber energi yang makan, mandi, tidur, main hp dan sesekali
13.00 adekuat berjalan-jalan ke ruang bermain jika badan
6. Memonitor respon kardiovaskuler pegal dan bosan di kamar.
terhadap aktifitas (takikardia, disritmia, O :
sesak nafas, diaphoresis, pucat, dan
perubahan hemodinamik) TD: 93/59 mmhg, HR: 98 x/menit, RR: 20
x/menit, Sat O2: 98% - 100%, CRT <2 detik,
tidak tampak sesak dan pucat. Tampak
kualitas tidur baik dengan lama waktu 8 jam
di malam hari. Pasien tampak mengalami
penurunan nafsu makan hanya

50
Tanggal/ Diagnosa Implementasi Evaluasi Paraf
jam keperawatan
menghabiskan ½ porsi makan siang. BB 40
Kg (19/7/18), IMT = 15,43 kg/m2
(underweight), Riwayat Hb 10.4,
konjungtiva anemis.
A : Masalah belum teratasi
P : Melanjutkan intervensi untuk risiko
intoleransi aktifitas berhubungan dengan
bedrest.
19/7/18 Ketidakseimbangan 1. Mengkaji adanya tingkat alergi S:
Jam nutrisi: kurang dari terhadap makan pada pasien
09.00 kebutuhan tubuh. 2. Mengkaji makanan kesukaan pasien Ibu pasien mengatakan, an. W mengalami
3. Memonitor turgor kulit, pucat, penurunan nafsu makan dan harus
09.20 kemerahan pada konjungtiva pasien dimotivasi sekali ketika makan. Pasien
4. Memonitoring adanya mual, muntah mengatakan tidak selera makan dan
09.30 dan kemampuan menelan. mudah kenyang karena cepat capek dan
09.40 5. Mengukur BB per 3 hari sakit tenggorokan
6. Mengedukasi pasien dan keluarga (Ibu) O:
10.00 tentang kebutuhan nutrisi pasien
7. Melakukan kolaborasi dengan ahli gizi TD: 93/59 mmhg, HR: 98 x/menit, RR: 20
dalam pemenuhan jumlah kalori, dan x/menit, Sat O2: 98% - 100%, CRT <2 detik,
11.00 jenis nutrisi pasien turgor kulit elastis, tidak pucat dan
8. Meyakinkan pasien untuk konjungtiva ananemis. Tidak ada tanda mual
menkonsumsi makan yang tinggi serat muntah. Pasien tampak kesulitan menelan
12.00 untuk pencegahan konstipasi karena faringitis dan hanya menghabiskan ½
porsi makan siang. BB 40 Kg (19/7/18), IMT

51
Tanggal/ Diagnosa Implementasi Evaluasi Paraf
jam keperawatan
9. Memberikan makan siang dan = 15,43 kg/m2 (underweight), Hb: 11,6 gr/dL
menciptakan lingkungan yang nyaman (19/8/18)
13.00 untuk pasien selama makan
10. Memonitor jumlah makanan yang
13.10 dikonsumsi perhari A:
11. Memonitor intake output pasien per 24
jam Masalah belum teratasi
P:
Melanjutkan intervensi untuk ketidak
seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh

52
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Proses Penyakit RHD


RHD adalah suatu reaksi peradangan autoimun, dimana benang-benang
fibrin membentuk dasar jaringan kelenjar tissue yang melibatkan banyak sistem
akibat reaksi antigen dari group A, -hemolyticum streptococcal (GABHS) pada
infeksi faring (faringitis). Demam rematik ini, pada umumnya merupakan
penyakit jantung yang didapat pada masa anak-anak sampai dengan dewasa muda
(Ranjan, 2011).
Seseorang yang mengalami demam rematik bila tidak ditangani secara
adekuat, dapat berkembang menjadi RHD. Infeksi oleh kuman Streptococcus -
Hemolyticus group A menyebabkan seseorang mengalami demam rematik dimana
diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan
penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurang terarah menyebabkan
racun/toxin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan
peradangan katup jantung (Udjianti, 2010). Penjalaran pada jantung memiliki
respon yang sangat cepat, mulai dari tingkat ringan-sedang, infeksi/perdangan
katub yang menimbulkan gejala klinis, hingga menyebabkan miocarditis berat
akibat katub mitral dan/atau aorta regurgitasi berat yang berdampak pada gagal
jantung (Moss. A, 2013). Peradangan pada katub-katub ini, mengakibatkan daun-
daun katup mengalami perlengketan hingga menyempit atau menebal dan
mengkerut, sehingga menutup dengan tidak sempurna dan terjadi kebocoran
(Udjianti, 2010).
Komplikasi demam rematik meliputi gangguan katub, kardiomegali, dan
gagal jantung (Black dan Jane, 2014).

4.2 Pengkajian
Pengambilan data pada kasus ini dilakukan pada tanggal 19 juli 2018
dengan metode anamnese, pemeriksaan fisik, analisa pemeriksaan diagnostik dan
juga observasi. Ketika melakukan pengkajian, kelompok memperoleh data dari
klien dan juga melibatkan orangtua (ibu)klien.

53
54

Pada studi kasus, tanda dan gejala RHD yang dialami klien yang sesuai
dengan teori kriteria jones, yaitu selain hasil ASTO 598 IU/ml, ditemukan tanda
mayornya miokarditis, dan tanda minornya arthralgia dan riwayat
demam.Miokarditis ditandai dengan ditemukan valvulitis pada katub mitral
dengan mitral regurgitasi tingkat severe dan prolapse AML. Penyebab RHD pda
pasien bersumber dari hygiene yang buruk dengan riwayat tinggal daerah tepi
pantai dengan konsumsi air laut dan suber gigi bolong area graham belakang
bawah yang sdh lebih 5 tahun tidak dicabut. Untuk kriteria minor pada kasus
RHD yang dialami pasien yang berbanding terbalik adalah ditemukan gambaran
EKG berupa irama junctional takikardia. Junctional takikardia terjadi akibat
adanya gangguan hantaran impuls kelistrikan jantug dari SA node ke AV node.
Pada hasil kultur swab tenggorok tidak ditemukan kuman group A beta
hemoliticus streptokokus. Hal ini kemungkinan dikarenakan, pada saat
pengambilan sample, pasien sudah menjalani terapi pengobatan antibiotik dan
antiinflamasi selama 5 hari.

4.3 Diagnosa
Saat ini diagnosa keperawatan yang muncul yaitu risiko penurunan cardiac
output (CO). Risiko penurunan CO sebagai akibat dari perubahan anatomi katup
jantung berupa penurunan fungsi katup jantung akibat proses inflamasi pada
katup yang menyebabkan regurgitasi pada katub serta ditemukan hasil rongen
kardiomegali. Kelompok juga memproritaskan masalah tersebut karena, jika tidak
ditangani segera akan menimbulkan dampak yang lebih berat pada tubuh klien.
Diagnosa yang kedua adalah intoleransi aktifitas berhubungan dengan
gangguan sirkulasi. Klien diharapkan melakukan aktifitas minimal dan dibantu
dahulu dalam melakukan aktifitas berat. Pasien juga diistirahat dahulu dari
kegiatan sekolah. Klien juga memiliki riwayat intoleransi aktifitas akibat efek
mudah capek jika beraktivitas ringan.
Diagnosa yang terakhir yang kelompok angkat yaitu ketidakseimbangan
nutrisi berhubungan dengan respon lelah dan faringitis. Dalam 2 bulan terakhir,
pasien mengalami penurunan BB 8 kg dengan IMT 15,43 kg/m 2. Riwayat
konsumsi makanan biasanya sering dan habis 1 porsi akan tetapi dalam 2 bulan
terakhir ini mengalami penurunan menjadi 2x1/2 porsi per hari.
55

4.4 Intervensi dan Implementasi


Intervensi keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana
tujuannya berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dari
intervensi keperawatan yang dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Intervensi
keperawatan dapat dilakukan secara mandiri maupun kolaborasi dengan petugas
kesehatan yang lain. Intervensi keperawatan dilakukan melalui asuhan
keperawatan secara langsung, monitoring dan edukasi. Klien dengan RHD
membutuhkan perawatan dan terapi yang lama sehingga edukasi harus diberikan
untuk tercapainya perawatan secara paripurna. Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian terapi dan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa,
mengevaluasi penyakit dan mencegah terjadinya komplikasi. Kolaborasi dengan
tim gizi dalam pemberian nutrisi yang tepat dan kolaborasi dengan pharmacist
mengenai pemberian anti inflamasi dan antibiotik.
Mengingat padaklien RHD harus benar-benar melaksanakan bedrest dan
kepatuhan mengkonsumsi antibotik, maka lingkungan klien harus mendapat
informasi mengenai cara perawatan klien yang baik dan benar meliputi kepatuhan
minum obat dan bedrest, konsumsi nutrisi yang cukup, pembatasan aktifitas klien,
faktor penyebab kekambuhan pada klien sehingga diharapakan kejadian berulang
tidak terjadi. Keluarga klien juga perlu diberi informasi mengenai kemungkinan
operasi perbaikan katup serta menjaga kestabilan keadaan tubuh untuk
memperlancar tindakan operasi. Keluarga juga perlu memahami pentingnya
antibiotik sebelum tindakan pembedahan maupun tindakan pencabutan gigi untuk
mencegah perkembangan infeksi menjadi inefektif endocarditis.

4.5 Evaluasi
56

Evaluasi adalah proses keperawatan yang mengukur respon klien terhadap


tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian tujuan.
Saat ini kegiatan klien masih dalam kontrol tim medis sehingga masih
dalam batas normal. Keluarga di edukasi mengenai kegiatan klien di rumah
sehingga kerja jantung klien tetap terkontrol.Untuk tindakan pembedahan akan
dilakukan konferensi bedah, ketika inflamasi tertangani dengan habisnya program
tapering off dari proses medikamentosa streroid prednisolon.
BAB V
KESIMPULAN

5.1 KESIMPULAN
RHD merupakan suatu respon peradangan demam rematik yang tidak
tertangani yang menyerang imunitas tubuh seseorang akibat pajanan kuman
Streptococcus -Hemolyticus group A yang berasal dari infeksi faring yang
menyerang daerah pesendian, otak, jantung, dan kulit.
Pada asuhan keperawatan yang kelompok lakukan pada kasus RHD dengan
Mitral Regurgitasi pada pasien anak “W” kelompok mendapatkan masalah
keperawatan sebagai berikut: Risiko Penurunan Cardiac Output berhubungan
gangguan afterload/stroke volume akibat mitral regurgitasi, Intoleransi aktifitas
berhubungan gangguan sirkulasi/ketidak seimbangan asupan oksigen dengan
kebutuhan, Gangguan keseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan kesulitan menelan akibat cepat lelah, Resiko infeksi
berhubungan dengan ketidak adekuatan pertahanan sekunder (agen supresi respon
inflamasi)
Dari keempat masalah keperawatan tersebut telah diambil tiga diagnosa yang
dilakukan perencanaan dan pelaksaan keperawatan. Berdasarkan kreteria hasil di
dapatkan evaluasi bahwa masalah keperawatan belum teratasi, di karenakan
waktu yang kelompok dapatkan terbatas.

5.2 SARAN
Perawat harus memiliki pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan
pada pasien RHD dan tumbuh kembangnya sangatlah penting untuk dapat
memberikan asuhan keperawatan yang maksimal baik pada pasien RHD maupun
orang tua. Sehingga dapat meningkatkan status kesehatan pasien. Hal ini
merupakan peran perawat dalam menurunkan angka morbilitas dan mortalitas.

57
DAFTAR PUSTAKA

Aspiani, RenyYuli. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Kardiovaskular:


Aplikasi Nanda, NIC, NOC. Jakarta: Infomedia.

Black, J.M dan Jane, H.Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen
Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Edisi 8-Buku 3. Elsevier: ISBN

Heart Foundation of New Zealand. 2014. New Zealand GuidelnesFor Rheumatic


Fever. The Cardiac Society of Australia and New Zealand.
Dikutipdariwww.Heartfondation.org.Nzpada 10 November 2017.

Jonatan B, et all. 2016.Gambaran Kelainan Katup Jantung Pada Pasien Penyakit


Jantung Rheumatik dan Pasien Jantung BawaanPada Orang Dewasa di RSUP
Prof Kandou. Jurnal KedokteranKlinik (JKK). Volume 1: Nomor 1. Desember
2016.

Kyle, T & Susan, C. 2016. Buku Ajar KeperawatanPediatrik. Edisi 2: Volume 3.


Jakarta: EGC

LeMone.P, Karen.M.Burke, Gerene Bauldoff. 2016. Buku Ajar


KeperawatanMedikalBedah:
GangguanEliminasidanGangguanKardiovaskular. Volume 3: Ed. 5. Jakarta:
EGC

Mandal, et.all. 2008. PenyakitInfeksi. Edisi : 6. Erlangga: PusatPerbukuanDepdiknas

Moss & Adam. 2013. Heart Disease In Infants, Children, and Adolescents: including
the fetus and young adult. Volume 1: Ed 9. WoltersKluwers : E-Book

Oxynthes.2013. Pathophysiology Map of Rheumatic Fever and Rheumatic


Heart Disease. Author.
Diambil:https://www.textbookofcardiology.org/wiki/File:Rheum.hea
rt.disease.jpeg#filehistory

Park, Myung. 2008. Pediatric Cardiology for Practitioner. 5th Edition. Mosby
Elsevier: Philadelpia.

Persatuan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. 2015. PanduanPraktikKlinis


(PPK) dan Clinical Pathway (CP). PenyakitJantungdanPembuluhdarah. ISBN
978602.7885431

Ranjan, Dr. Alok. 2013. A Handbook of Rheumatic Fever. Authorhause: India.


https://books.google.co.id/books?
id=wfpu9ywu4lMC&printsec=frontcover&dq=rheumatic+heart+disease,
+ranjan+2011&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjp1KO2g-
PcAhURfisKHYVRC_cQ6AEIKDAA#v=twopage&q=rheumatic%20heart
%20disease%2C%20ranjan%202011&f=false

RekamMedikRumahSakitJantungdanPembuluhDarahHarapan Kita. Data Pasien


2015-2017 dengan Rheumatic Heart Disease. Jakarta : RSJPDHK
iv

Siregar, Abdullah Afif. 2008. Demam Rheumatik dan Penyakit Jantung Rheumatik
Sebagai Permasalahan Indonesia disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru
Besar tetap Fakultas Kedokteran. Dikutip pada 10 Febuari dari USU
Repository

Smeltzer& Bare. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Sudoyo, Aru. W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5: Jilid II.
Jakarta: Interna Publishing

SyahputradanYuniadi. 2010. AnticoagulanTherapiAfterValvular Heart


Surgery. Journal Cardiologi Indonesia. Volume 31, page 18-125.

Udjanti, WajanJuni, 2010. Keperawatan kardiovaskuler. Jakarta: SalembaMedika.

Vijayalakshmi, I B. 2011. Acute Rheumatic Fever and Chronic Rheumatic Heart


Disease. Jaypee: brothers medical publisher (ltd).
https://books.google.co.id/books?
id=llU1YvigwJMC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad
=0#v=onepage&q&f=false

Wong, Donna. L, et all. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6: volume 2.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai