Kel 1diare&konstipasi
Kel 1diare&konstipasi
Kel 1diare&konstipasi
KELOMPOK 1
A2
Disusun oleh :
Amalia Solihah Eka Mas Supartini
Amila Sholihat Endani Sri Handayani
Angga Miftahur Rahma Erlina Apriliyani
Anisa Maisavitri Erlita Kusuma Dewi
Bastian Ardy Saputra Erni Indrawat
Budhi Kusuma Gina rihandayani
Desi Irma Maryana Haerunisa Sholihah
Desi Nur Alfi Yani
Destyaneu Dwi H O
Desy Adtriani
2. Epidemiologi
Manajemen diet adalah prioritas utama dalam penanganan diare. Dianjurkan untuk
menghentikan konsumsi makanan padat dan produk susu selama 24 jam. Meskipun
demikian, cara perawatan dengan puasa masih dipertanyakan karena belum banyak dipelajari.
Puasa dapat mengendalikan diare osmotik tetapi tidak untuk diare sekretori.
Apabila pasien mengalami mual dan atau muntah, harus diberikan makanan yang
mudah dicerna selama 24 jam. Jika muntah tidak dapat dikontrol dapat diberikan antiemetik
dan tidak boleh diberikan secara oral. Setelah pergerakan usus berkurang, mulai dapat
diberikan diet makanan lunak. Pemberian makanan harus dilanjutkan pada anak-anak dengan
diare bakterial akut karena dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas, apakah mereka
menerima cairan rehidrasi oral ataupun tidak. Belum dilakukan studi untuk menentukan
pengaruh pemberian makanan berkelanjutan untuk diare bakterial terhadap orang tua atau
kelompok dengan risiko tinggi lainnya (Dipiro, 2015).
Tujuan terapi diare adalah memanajemen diet, mencegah kehilangan air, elektrolit,
dan keseimbangan asam-basa, meredakan gejala, dan mengobati penyebab diare. Tenaga
kesehatan harus paham bahwa diare, seperti juga batuk, mungkin merupakan mekanisme
pertahanan tubuh dari substansi yang berbahaya atau patogen ( Dipiro, 2015).
b. Terapi Farmakologi
Berbagai obat telah digunakan untuk mengobati serangan diare. Obat ini
dikelompokkan menjadi beberapa kategori: antimotilititas, adsorben, senyawa antisekretori,
antibiotik, enzim, dan mikroflora usus. Biasanya obat ini tidak menyembuhkan tetapi
meringankan penyakit saja.
Adapun penggolongan obat yang digunakan meliputi :
a. Adsorbents dan Bulk Agents
b. Antiperistaltic (Antimotility) Agents
c. Antisecretory Agents
d. Anti-Infectives
e. Probiotics
(Burns, 2008)
Berikut adalah tabel nama obat dan dosis yang digunakan untuk terapi diare.
IBS merupakan penyakit yang perlu diperhatikan oleh penyedia layanan medis,
diagnosis dapat ditegakkan setelah eksklusi penyakit organik serius. Perlu pendekatan
komprehensif untuk dapat mendiagnosis IBS yang memiliki gejala tidak spesifi k dan
sangat bervariasi. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk membantu mengeksklusi
penyakit organik yang lebih serius. Penatalaksanaan medikamentosa tidak dapat berdiri
sendiri, diperlukan pendekatan psikososial dan modifi kasi gaya hidup untuk dapat mem
perbaiki kualitas hidup pasien IBS.
KONSTIPASI
1.1 Definisi
Konstipasi adalah kelainan pada sistem pencernaan dimana seseorang mengalami
pengerasan feses atau tinja yang berlebihan sehingga sulit untuk dibuang atau dikeluarkan
dan dapat menyebabkan kesakitan yang hebat pada penderitanya. Konstipasi sendiri
sebenarnya bukanlah suatu penyakit, tetapi lebih tepat disebut gejala yang dapat menandai
adanya suatu penyakit atau masalah dalam tubuh (Dipiro et al., 2008). Seseorang dikatakan
mengalami konstipasi apabila frekuensi BAB kurang dari 3 kali dalam seminggu disertai
konsistensi feses yang keras, kesulitan mengeluarkan feses (akibat ukuran feses besar-besar
maupun akibat terjadinya gangguan refleks defekasi), serta mengalami sensasi rasa tidak puas
pada saat buang air besar.
1.2 Etiologi
Beberapa penyakit dan penggunaan obat tertentu merupakan salah satu faktor yang
berkaitan dengan timbulnya konstipasi. Gangguan saluran gastrointestinal (sindrom iritasi
usus atau diverticulitis), gangguan metabolik (diabetes), atau gangguan endokrin
(hipotiroidisme) dapat terlibat dalam timbulnya konstipasi. Konstipasi umumnya disebabkan
karena rendahnya asupan serat atau dari penggunaan obat-obatan seperti opiat yang dapat
menginduksi terjadinya konstipasi (Burns et al., 2008). Pada orang tua konstipasi yang sering
terjadi dapat disebabkan karena hasil dari diet yang tidak tepat (rendah serat dan cairan),
kekuatan otot pada dinding abdomen berkurang, serta karena berkurangnya aktivitas fisik.
Namun frekuensi buang air besar tidak menurun dengan penuaan normal (Dipiro et al.,
2008). Daftar penyebab umum konstipasi pada kondisi penyakit tertentu ditampilkan dalam
tabel 1.1.
Tabel 1.1 Daftar Penyebab Umum Konstipasi
Kondisi Etiologi yang Berpotensi Menyebabkan Konstipasi
Gangguan GI Irritable Bowel Syndrome (IBS)
Diverticulitis
Penyakit saluran pencernaan atas
Penyakit anal dan rektal
Wasir
Ulcerative proctitis
Tumor
Hernia
Volvulus usus
Sifilis
Tuberkulosis
Infeksi cacing
Gangguan Diabetes melitus dengan neuropati
metabolisme Hipotiroidisme
dan endokrin Panhypopituitarism
Pheochromocytoma
Hiperkalsemia
Kelebihan glukagon enterik
Kehamilan Motilitas usus tertekan
Peningkatan penyerapan cairan dari usus
Penurunan aktivitas fisik
Perubahan pola makan
Asupan cairan yang tidak memadai
Asupan serat rendah
Penggunaan garam besi
Penyebab Penyakit SSP
Neurogenik Trauma otak (terutama medula)
Cedera tulang belakang
Tumor SSP
Kecelakaan serebrovaskular
Parkinson
Penyebab Mengabaikan keiginan untuk buang air besar
psikogenik Penyakit kejiwaan
Induksi Obat Analgesik (inhibitor sintesis prostaglandin, opiat)
Antikolinergik (antihistamin, agen
antiparkinsonian, Phenothiazines,Tricyclic antidepressant)
Antasida yang mengandung CaCO3 atau Al(OH)3
Barium sulfat
Calcium channel blockers
Clonidine
Diuretik (tidak hemat kalium)
NSAID
(Dipiro et al., 2008)
1.3 Fisiologi Normal
Fungsi sistem pencernaan adalah memproses makanan menjadi bentuk molekulernya
yang kemudian akan diserap dan didistribusikan ke sel melalui sistem sirkulasi. Dalam proses
pencernaan, terdapat sisa pencernaan yang harus diekskresikan, yaitu feses. Feses
mengandung material yang tidak dapat dicerna dan tidak dapat diserap sehingga dikeluarkan
melalui proses defekasi (Vander et al., 2001).
Gambar 1.1 Saluran cerna manusia (lambung dan usus)
1.5 Manifestasi Klinis
A Tanda dan Gejala
Pasien mengeluh tentang rasa tidak nyaman dan kembung pada perut, kelelahan, sakit
kepala, mual dan muntah, pergerakan usus yang hilang, feses dengan ukuran kecil, perasaan
penuh, kesulitan, dan sakit saat mengeluarkan feses (Dipiro et al., 2008; Sukandar dkk.,
2008)
Implikasi dari konstipasi dapat bervariasi mulai dari rasa tidak nyaman sampai gejala
kanker usus besar atau penyakit serius lainnya (Sukandar dkk., 2008).
Konstipasi menunjukan gejala yang parah apabila ditandai dengan gejala berlangsung
lebih dari 3 minggu, terdapat darah dalam tinja, penurunan berat badan, demam,
anoreksia, mual, dan muntah atau setiap kali terjadi perubahan kebiasaan buang air besar
yang biasa terjadi secara signifikan (Burns et al., 2008).
B. Tes Laboratorium
Pada tes laboratorium, terdapat serangkaian pemeriksaan, termasuk proktoskopi,
sigmoidoskopi, kolonoskopi, dan barium enema yang mungkin diperlukan untuk menentukan
adanya kolorektal patologi.
Studi mengenai fungsi tiroid dapat dilakukan untuk menentukan adanya metabolik
dan gangguan endokrin yang berhubungan dengan konstipasi. (Dipiro et al., 2008).
1.6 Tata Laksana Terapi dan Farmakologi Obat
Pada pasien dengan konstipasi, tujuan utama terapi adalah untuk mengidentifikasi dan
mengobati penyebab sekunder, mengurangi gejala, serta mengembalikan fungsi normal usus
(Chisholm-Burns et al., 2008). Tindakan umum yang diyakini bermanfaat dalam mengatasi
konstipasi adalah modifikasi diet untuk meningkatkan jumlah serat yang dikonsumsi tiap
hari, olahraga, penyesuaian pola buang air besar sehingga teratur dan waktu yang memadai
dibuat untuk merespon dorongan untuk buang air besar, dan meningkatkan asupan cairan.
Jika yang mendasari penyebab konstipasi adalah penyakit lain, maka lakukan upaya untuk
menyembuhkannya.Gangguan GI yang berbahaya bisa dihilangkan melalui bedah reseksi.
Penyakit pada endokrin dan metabolik harus ditangani dengan metode yang tepat. Obat yang
berpotensi menyebabkan konstipasi harus diidentifikasi dan dipertimbangkan diganti dengan
agen lainnya. Jika tidak ada alternatif yang rasional untuk menggantinya, maka dapat
dipertimbangkan untuk menurunkan dosis dari obat tersebut (Dipiro et al., 2008).
Satu atau lebih laksatif dapat diberikan untuk mengobati gejala. Jika
apoteker merasa bahwa pasien hanya perlu diberikan saran diet, maka akan masuk akal
untuk melihat terlebih dahulu keadaan pasien sekitar 2 minggu untuk melihat
apakah konstipasi menetap sebelum pasien dirujuk ke dokter (Blenkinsopp et al., 2005).
a. Algoritma Terapi Konstipasi
Riwayat
a. frekuensi feses
b. konsistensi feses
c. Kesulitan buang air besar
Kemungkinan penyebab
a. Diet makanan tinggi serat yang kurang dan terutama terdiri dari makanan yang sangat
halus
b. Gangguan GI
c. Gangguan metabolisme dan endokrin
d. Kehamilan
e. Neurogenik
f. Psikogenik
g. Diinduksi oleh penggunaan obat
h. Penyalahgunaan laksatif
Gejala yang terlihat pada sembelit kronis
a. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (hipokalemia)
b. Protein-losing gastroenteropathy dengan hipoalbuminemiak. Sindrom yang me- nyerupai
kolitis
Diagnosa
1. Mengobati penyebab spesifik
2. Tidak ada diagnosis, terapi simtomatis :
a. Bulk-forming agent
b. Modifikasi diet
c. Perubahan gaya hidup (olahraga)
d. Asupan cairan
e. Hentikan obat yang berpotensial menginduksi konstipasi
Sebelum memulai terapi, pasien harus ditanyakan tentang frekuensi pergerakan usus
dan tingkat keparahan konstipasi. Pasien juga harus berhati-hati dalam menjawab pertanyaan
yang berkaitan tentang kebiasaan diet dan regimen laksatif yang dikonsumsi. Pasien juga
harus ditanyakan dengan seksama tentang kebiasaan diet dan regimen pencahar yang
diterima. Ditanyakan apakah pasien memiliki diet tetap dengan mengurangi makanan yang
berserat tinggi, terutama yang berserat halus serta obat pencahar (laksatif atau katartik) apa
yang pernah dicoba oleh pasien untuk menghilangkan konstipasi/sembelitnya. Selain itu,
pasien juga harus ditanyakan tentang kombinasi pengobatan yang dilakukan secara
bersamaan, yang mungkin dapat menyebabkan sembelit (Dipiroet al., 2008).
Dasar dari perawatan dan pencegahan konstipasi harus terdiri dari usaha pemberian agen
yang membentuk bulk disamping modifikasi diet untuk meningkatkan serat. Untuk beberapa
penderita konstipasi akut yang tidak dirawat di rumah sakit, penggunaan produk laksatif
dapat diterima. Namun sebelum pasien diberikan laksatif ataupun katartik yang lebih poten,
sebaiknya dicobakan terlebih dahulu langkah-langkah pengobatan yang lebih sederhana.
Misalnya, konstipasi akut dapat dihilangkan dengan penggunaan tap-water enema (agen
yang menyebabkan terjadinya pemasukan air ke dalam usus atau kolon melalui anus untuk
merangsang buang air besar) atau suppositoria gliserin. Jika tidak efektif, penggunaan
sorbitol oral, bisakodil atau senna dalam dosis rendah atau saline laksatif (misalnya susu
magnesium) dapat diberikan sebagai pembantu perawatan. Jika pengobatan laksatif
diperlukan untuk lebih dari 1 minggu, orang tersebut dianjurkan untuk berkonsultasi dengan
dokter untuk menentukan apakah ada penyebab lain yang mendasari konstipasi sehingga
diperlukan pengobatan dari agen lain selain laksatif (Dipiro et al., 2008).
c. Terapi Farmakologi
1. Laksatif Stimulan (Stimulant Laxative)
Derivatif difenilmetana (bisacodyl) dan antrakuinon (senna) memiliki aksi yang
selektif pada saraf pleksus otot polos usus yang menyebabkan peningkatan motilitas usus
(Chisholm-Burns et al., 2008).
Semua obat laksatif stimulan dapat menghasilkan kram nyeri. Disarankan untuk
memulai dengan dosis paling rendah dari kisaran dosis yang dianjurkan, kemudian dosis
dapat ditingkatkan jika diperlukan. Intensitas efek laksatif berhubungan dengan dosisyang
digunakan. Laksatif stimulan bekerja dalam 6-12 jam bila digunakan secara oral. Harus
digunakan maksimum 1 minggu. Bisacodyl tablet yang dilapisi salut enterik
harus ditelanutuh karena bisacodyl dapat mengiritasi lambung. Jika diberikan
sebagai supositoria, efeknyabiasanya terjadi dalam 1 jam dan kadang-kadang 15
menit setelah insersi (Blenkinsopp et al., 2005).
Natrium Docusate tampaknya memiliki efek stimulan dan efek melembutkan tinja,
bertindak dalam waktu 12 hari. Penggunaan dari senna dan cascara yang tidak terstandar-
disasi, harus digunakan secara hati-hati, karena dosis dan mekanismenya tidak bisa
ditebak. Minyak jarak adalah obat tradisional untuk konstipasi, yang tidak lagi dianjurkan
karena adanya sediaan lain lebih baik. Penggunaan laksatif stimulan secara terus menerus
dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas otot di dinding usus dan nantinya menyebabkan
konstipasi (Blenkinsopp et al., 2005).