r3 k12 Intranasal Pulmonari
r3 k12 Intranasal Pulmonari
r3 k12 Intranasal Pulmonari
Disusun oleh:
Kelompok 12
Widya Gusti Pradini (20330715)
Nopa Aprilia Yosi Yuni (20330722)
Dhiny Zsa Zsa Aulia (20330724)
Riezki Tri Wahyuni (20330727)
Nur Ainun Nisa (20330739)
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Teti Indrawati, M.S, Apt
Ritha Widyapratiwi, S.Si.,MARS.,Apt
Puji syukur kami haturkan ke hadirat Tuhan Yang Masa Kuasa karena
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Biofarmasi yang
berjudul “Perjalanan Obat Dalam Tubuh yang Diberikan secara Intra
Nasal/Pulmonari”. Terima kasih kami ucapkan kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Teti Indrawati, M.S, Apt. dan Ibu Ritha Widyapratiwi,
S.Si.,MARS.,Apt selaku dosen mata kuliah Biofarmasi
2. Rekan- rekan yang memberikan masukkan dan saran kepada kami.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna serta masih banyak kekurangan, oleh karena itu sangat diharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi rekan-rekan yang
membaca dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi........................................................................3
1. Anatomi dan Fisiologi Hidung......................................................3
2. Anatomi dan Fisiologi Paru-paru...................................................8
B. Peredaran Darah..................................................................................9
1. Peredaran Darah Hidung................................................................9
2. Peredaran Darah Paru-paru..........................................................10
C. Komponen Cairan Saluran Nafas......................................................10
D. Faktor-faktor DDS Obat Intranasal/Pulmonari.................................12
E. Evaluasi Biofarmasetik Obat Intranasal/Pulmonari..........................20
F. Macam-macam Bentuk Sediaan Obat Intranasal/Pulmonari.............20
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di zaman yang semakin canggih ini, banyak industri farmasi yang telah
berinovasi membuat suatu sediaan yang dimodifikasi bentuk sediaan dan sistem
perjalanan obatnya di dalam tubuh. Hal ini tidak terlepas dari peran farmasi yang
memanfaatkan ilmu dan juga teknologi yang ada. Obat-obatan bisa masuk ke
dalam tubuh melalui berbagai jalur, yaitu mulut, kulit, rectum, aliran darah, dan
saluran nafas berupa hidung.
Pulmonary drug delivery system atau Intranasal drug delivery system pada
mukosa hidung memiliki sifat absorbsi yang baik dan lebih cepat karena dapat
mengurangi aktivitas dari saluran pencernaan, mengurangi aktivitas pankreas dan
aktivitas enzimatik lambung, pH netral pada mukus hidung akan mengurangi
aktivitas gastrointestinal, sehingga cocok untuk pemakaian obat mukosa secara
topikal, serta menjadi pilihan alternative ideal pengganti penghantaran obat
sistemik parenteral. Berdasarkan penelitian Ratunanda, S. et al (2016),
menyatakan bahwa kortikosteroid intranasal efektif menurunkan derajat inflamasi
adenoid pada pasien usia dewas..
1
Berdasarkan latar belakang di atas, maka disusunlah makalah ini untuk
memahami lebih jauh tentang perjalanan obat intranasal/pulmonary di dalam
tubuh.
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas, struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian :
Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah,
terdiri dari pangkal hidung, batang hidung, puncak hidung, ala nasi, kolumela,
lubang hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari
tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila , prosesus nasalis os frontal
dan sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
3
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago ala mayor, dan tepi anterior kartilago septum.
Selain hidung luar, juga terdapat hidung bagian dalam terdiri atas struktur
yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior,
yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum,
dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah
antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya
celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas
konka media disebut meatus superior. Berikut beberapa bagian dalam hidung:
a. Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista
sfenoid (Dhingra PL, 2007).
4
b. Kavum Nasi
Kavum nasi terdiri dari beberapa bagian yaitu, dasar hidung, atap hidung,
dinding lateral, dan konka.
c. Meatus Superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid (Ballenger JJ,1994).
d. Meatus Media
Salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus
frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media
yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk
bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang
berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum
yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum
membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus
unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang
dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-
sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan
kadangkadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan
infundibulum (Dhingra PL, 2007).
5
e. Meatus Inferior
f. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus. Di bahagian atap dan lateral dari rongga
hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan
sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya,
yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa
nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os
maksilla. (Dhingra PL, 2007). Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam
tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga
bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung
hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut
terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan melalui
ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet (Sobol SE, 2007).
Udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media
dankemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, dan seterusnya. Pada ekspirasi
terjadi hal sebaliknya.
6
b. Alat pengatur kondisi udara
1) Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit,
sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
2) Mengatur suhu. Fungsi ini terjadi karena banyak pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal.
c. Penyaring udara
d. Indra penghirup
e. Resonansi udara
7
f. Membantu proses bicara
g. Refleks nasal
Gambar 3. Paru-paru
8
Gambar 4. Fisiologis Paru
Udara yang dihirup dan masuk ke paru-paru melalui sistem berupa pipa
yang menyempit (bronchi dan bronkiolus) yang bercabang di kedua belah paru-
paru utama (trachea). Pipa tersebut berakhir di gelembung-gelembung paru-paru
(alveoli) yang merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan
karbondioksida dipindahkan dari tempat yang dialiri darah. Ruang udara tersebut
dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat
menetralkan kecenderungan alveoli untuk mengempis (Yunus, 2007).
B. Peredaran Darah
9
1. Peredaran Darah Hidung
Dari rongga hidung zat aktif akan terikat pada sarah penciuman, kemudian
melewati sawar darah otak (Blood Brain Barrier) untuk diteruskan ke jaringan
otak dan masuk ke dalam cairan serebrospinal yang mengalir di SSP (otak dan
susmsum tulang belakang) untuk kemudian di absorbsi oleh pembuluh darah dan
dialirkan seluruh tubuh dan menghasilkan efek sistemik.
10
Sistem peredaran darah dalam paru-paru diawali ketika darah yang
mengandung CO2 di bilik kanan dipompa dan dialirkan oleh pembuluh arteri
pulmonalis menuju paru-paru. Pada paru-paru, terjadi difusi gas yang akhirnya
mengubah kandungan CO2 di dalam darah sehingga menjadi O2 ketika keluar dari
paru-paru. Darah ini selanjutnya dialirkan oleh vena pulmonalis menuju serambi
kiri, proses ini biasa disebut dengan peredaran darah kecil.
Cairan dalam saluran nafas biasa disebut dengan mucus yang diproduksi
normalnya 100 ml setiap harinya. Rongga hidung dan paru-paru ditutupi oleh
selaput lendir dan diperbarui dalam 15-20 menit untuk dibuang ke faring.
Komponen utama dari mukus adalah 95% air, 2% musin, 1% garam, 1% protein
lain (albumin, Ig, lisozim, laktoferin), dan 1% lemak. Imunoglobulin A sekretori
merupakan penghalang imunologi dan memiliki fungsi penting untuk
meningkatkan ketahanan terhadap infeksi paru, lisozim dan laktoferin merupakan
suatu bakterisidal, lipid di dalam mukus dapat memberikan pengaruh pada sifat
perekat mukus. Lipid ini dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, cell
debris bisa berasal dari puing DNA, bakteri, leukosit, dan epitel dan garam
merupakan 0,9% dari total masa mucus. Mukus dihasilkan dari proses sekresi
bronkus.
11
1. Intra nasal
1) Ukuran partikel
12
b. Efek faktor pada hidung (sifat anatomi dan fisiologis dari rongga hidung)
1) Permeabilitas membrane
2) Lingkungan Ph
3) Pembersihan Mukosiliar
13
4) Rhinitis
2) Gradien konsentrasi
3) Osmolaritas
Distribusi obat dalam rongga hidung merupakan salah satu faktor penting
yang mempengaruhi efisiensi penyerapan hidung. Modus pemberian obat dapat
mempengaruhi distribusi obat di rongga hidung yang pada gilirannya akan
menentukan efisiensi penyerapan obat. Penyerapan dan bioavailabilitas bentuk
sediaan hidung terutama tergantung pada lokasi disposisi. Bagian anterior hidung
menyediakan waktu perumahan berkepanjangan hidung untuk disposisi dari
formulasi, hal ini akan meningkatkan penyerapan obat. Dan ruang posterior dari
rongga hidung akan digunakan untuk pengendapan bentuk sediaan, melainkan
dihilangkan oleh proses pembersihan mukosiliar dan karenanya menunjukkan
bioavailabilitas rendah. Situs disposisi dan distribusi bentuk sediaan terutama
tergantung pada penghantar perangkat, cara pemberian, sifat fisikokimia molekul
obat (Alagusundaram, 2010).
5) Viskositas
15
namun, formulasi sangat kental akan mengganggu fungsi normal seperti
pergerakan silia atau clearance mukosiliar dan dengan demikian mengubah
permeabilitas obat (Alagusundaram, 2010).
2. Pulmonari (Paru-paru)
Dengan adanya gaya gravitasi, obat yang terhirup dapat terdeposisi dalam
saluran pernapasan. Yang paling mempengaruhi mekanisme deposisi ini adalah
ukuran partikel obat dan kecepatan aliran pernapasan. Semakin lama suatu obat
berada pada daerah tertentu maka semakin banyak partikel yang terdeposisi pada
daerah tersebut (Yadaf et al., 2010).
b. Faktor fisiologis
a) Epitel Bronkus
16
Pada lapisan epitel di sepanjang daerah ini didominasi dengan sel bersilia
dan sel goblet. Selain itu juga ditemukan beberapa sel serous, sel brush, dan sel
Clara dengan sedikit sel Kulchitsky.
b) Epitel Bronkiolus
Lapisan epitel ini didominasi dengan sel cubodia bersilia. Jumlah sel
goblet dan sel serous menurun seiring semakin dalamnya saluran pernapasan
dan semakin meningkatnya sel-sel Clara. Semakin dalam paru-paru maka
lapisan epitel pun semakin tipis dan sedikit mucus yang terdapat pada bagian
ini.
c) Epitel Alveolus
Pada bagian ini tidak terdapat mucus dan banyak mengandung epitel
yang lebih datar sehingga membentuk lapisan squamosa dengan ketebalan 0,1-
0,5µm. Sel-sel makrofag banyak terdapat di daerah ini. Menurut Glyn Taylor
dan lan Kellaway (2001), ada 2 tipe sel pneumosit, tipe 1, sel-sel tipis yang
menawarkan saluran jalan udara- darah yang sangat pendek untuk difusi gas
dan molekul-molekul obat dan tipe 1 ini menempati 93% permukaan kantung
alveolus, untuk tipe 2 sel-sel cuboidal yang menyimpan dan mensekresikan
surfaktan paru-paru
2) Sel bersilia
3) Alveolar Macrophage
17
Sel makrofag pada alveolus ditemukan pada permukaan alveolus. Sel-sel
fagosit ini memainkan peran penting dalam mekanisme pertahanan melawan
bakteri dan perikel yang terhirup dan mencapai alveoli (Tronde, A., 2002).
Makrofag dibersihkan dari alveolus menuju bronkiolus oleh adanya aliran
caiaran paru-paru dan kemudian dikeluarkan dari saluran pernapasan melalui
mucociliary escalator (Tronde, A., 2002).
4) Lapisan Cairan Epitel
Partikel padat obat untuk saluran pernapasan harus terbasahi dan terlarut
sebelum dapat memberikan efek terapinya. Meskipun tingkat kelembaban di
dalam paru-paru mendekati 100%, lapisan cairan pada epitel ini kecil,
ketebalannya berkisar 5-10 µm dan berangsung-angsur menurun sepanjang
saluran pernapasan sampai alveoli (0,05-0,08 µm) (Tronde, A., 2002).
5) Surfaktan Paru-paru
Sel epitel tipe dua secara aktif mengeluarkan surfaktan paru-paru. Sekitar
85-90% komponennya merupakan fosfolipid dan sisanya adalah protein.
Fosfolipid yang dikandung 90% diantaranya adalah fosfogliserol. Surfaktan
paru- paru terletak di dinding internal wilayah alveolar dan memiliki fungsi
utama menurunkan tegangan permukaan, mempertahankan morfologi dan
fungsi pernapasan juga pertahanan paru-paru melawan adhesi mikroorganisme
dan meningkatkan fagositosis oleh sel makrofag. Surfaktan mengalami proses
metabolisme konstan dan dinamis termasuk pembersihannya melalui
mucociliary escalator, fagositosis, dan daur ulang. Waktu paruh fosfolipid
yang disekresikan telah dibuktikan yaitu 15-30 jam. Rangsangan seperti
peningkatan tingkat ventilasi dan inflasi paru-paru volume tinggi merangsang
sekresi surfaktan dari bagian lamelar pada sel alveolar tipe II (Tronde, A.,
2002).
18
untuk meningkatkan kelarutan glukokortikosteroid, yang dapat mempengaruhi
waktu tinggal steroid dalam paru- paru. Selanjutnya, interaksi kuat dari
polipeptida ditirelix dan siklosporin A dengan fosfolipid telah dibuktikan dan
telah disarankan untuk membatasi penyerapan dari paru-paru, sehingga
menyebabkan retensi berkepanjangan obat di paru-paru (Tronde, A., 2002).
Penggunaan surfaktan eksogen sebagai pembawa untuk pemberian obat paru-
paru telah diusulkan sebagai sarana untuk meningkatkan penyebaran obat
dalam paru-paru. Namun, interaksi yang kompleks antara obat dan surfaktan
paru-paru, harus dipertimbangkan dalam pengembangan obat.
6) Mucociliary Clearance
Mucociliary clearance merupakan mekanisme pertahanan paru-paru yang
paling penting. Berkoordinasi dengan pergerakan silia, mucus disapu bersihkan
dari nasal dan paru-paru menuju faring dan kemudian ditelan. Kecepatan
clearance pada hidung rata-rata 3-25 mm/min. Mucus terutama disekresikan
dari sel serosa darikelenjar submukosa dan dari sel goblet , dan terdiri dari air
(95 %), glikoprotein (mucins) (2%) , protein (1%), garam anorganik (1%), dan
lipid (1%) (Tronde, A., 2002) . Peraturan kadar air sangat penting yang
signifikan untuk mempertahankan sifat viskoelastik optimal.
c. Faktor farmasetika
19
dan mudah dikeluarkan oleh kejadian batuk, menelan, dan proses bersihan oleh
mukosiliari. Partikel dengan ukuran 0,5 – 5 µm dapat menghindari tubrukan yang
terjadi di saluran pernapasan atas dan akan terdeposisi melalui tubrukan dan
sedimentasi di daerah trakheobronkial dan alveolar. Jika ukuran partikel berada
diantara 3-5 µm maka akan terdeposisi sepenuhnya di daerah trakheobronkial dan
jika ukurannya kurang dari 3 µm maka kemungkinan akan terdeposisi jauh lebih
dalam lagi di daerah alveolar. Sedangkan partikel dengan ukuran submikron
mungkin tidak dapat terdeposisi akan akan terbuang saat ekspirasi sebelum terjadi
sedimentasi. Partikel dengan ukuran diameter 20 µm dan kerapatan 0,4 g/cm-3
akan secara efektif terdeposit dalam paru-paru (Glyn Taylor and lan
Kellaway,2001)
1. Pengukuran konsentrasi zat aktif dalam udara ekspirasi dan yang tertahan.
2. Studi radiologi pencacahan zat aktif yang kedap cahaya ( tetapi hanya
berkaitan dengan percobaan tentang pernapasan dinamik).
3. Evaluasi kadar obat dalam darah atau efek farmakologi dari obat.
4. Evaluasi perubahan sifat alir getah bronkus atau lendir. Hal ini merupakan
uji yang baik tetapi sulit dilaksanakan bila dimaksudkan untuk meneliti aktivitas
setempat dari aerosol, kekentalan cairan bronkus yang dikeluarkan, aktivitas
enzimatik atau malahan beberapa antibiotic.
1. Semprot hidung
20
Ketersediaan pompa dosis terukur pada nasal spray dapat memberikan dosis
yang tepat dari 25-200 μm. Ukuran partikel dan morfologi dari obat dan
viskositas formulasi menentukan pilihan pompa dan perakitan (Kushwara, 2011).
2. Tetes hidung
Tetes hidung adalah salah satu yang paling sederhana dan nyaman
dikembangkan untuk penghantaran. Kerugian utama dari ini adalah kurangnya
presisi dosis tetes hidung mungkin tidak cocok untuk produk resep (Kushwara,
2011).
3. Nasal gel
4. Nasal bubuk
Keuntungan untuk bentuk sediaan serbuk hidung adalah tidak adanya bahan
pengawet dan stabilitas superior formulasi. Namun, kesesuaian bubuk formulasi
tergantung pada kelarutan, ukuran partike, sifat aerodinamis dan iritasi hidung
obat aktif dan/ atau bahan pembantu. Tetapi iritasi mukosa hidung dan pengiriman
dosis terukur adalah beberapa tantangan formulasi. Umumnya, penyerapan
bertindak melalui salah satu dari mekanisme berikut antara lain menghambat
aktivitas enzim, mengurangi kekentalan lendir atau elastisitas, penurunan
pembersihan mukosiliar, dan melarutkan atau menstabilkan obat (Kushwara,
2011).
5. Intranasal mikroemulsi
21
yang lebih besar dari transportasi obat ke dalam otak tikus setelah pemberian
intranasal mukoadhesif mikroemulsi zolmitriptan dan sumatriptan. Mukesh, dkk
(2008) mempelajari pengiriman intranasal risperidone dan menyimpulkan bahwa
jumlah yang signifikan dari risperidone dengan cepat dan efektid disampaikn ke
otak dengan pemberian intranasal nanoemulsion mukoadhesif risperidone
(Kushwara, 2011).
Berikut daftar obat yang diberikan intranasal dengan tujuan efek sistemik
tubuh dan jenis obat pengiriman perangkat yang digunakan Sarana pengiriman
dan perangkat untuk administrasi intranasal obat (Putheti dkk, 2009).
22
BAB III
PEMBAHASAN
A. Perjalanan Obat Intranasal/Pulmonari
2. Fase biofarmasetik
Fase ini meliputi waktu mulai penggunaan sediaan obat melalui hidung
3. Ketersediaan farmasi
Obat dalam bentuk zat aktif terlarut siap untuk diabsorpsi yang selanjutnya
zat aktif akan didistribusikan keseluruh tubuh (sistemik).
Fase ini meliputi waktu selama obat diangkut ke organ yang ditentukan
Pada tahap ini obat mulai memberikan efek pada pasien dengan cara
berikatan dengan reseptor-reseptor yang ada pada tubuh.
6. Fase farmakodinamik
Bila obat telah berinteraksi dengan sisi reseptor biasanya protein membran
akan menimbulkan respon biologik. Tujuan utama fase ini adalah optimisasi dari
efek bilogik.
23
7. Efek terapi
Obat pada akhirnya memberikan efek terapi atau pengobatan pada pasien.
Yang diharapkan dapat memberikan kesembuhan pada pasien.
24
dihirup). Zat aktif akan bergerak menuju tempat aksi (bersama dengan aliran
udara yang dihirup), dan ebraksi selama ada kontak (kadang sangat terbatas) dan
dengan dosis yang umumnya sangat kecil.
Oleh sebab itu perjalanan obat aerosol dibagi menjadi 2, yaitu saat
perjalanan partikel-partikel dari alat generator sampai ke tempat fiksasidi dalam
saluran nafas (kemungkinan kembali ke lingkungan) dan transfer zat aktif dalam
partikel aerosol sejak dari tempat depo sampai dikeluarkan tubuh. Tahapan
perjalanan aerosol seperti di bawah ini:
Pada tahap kedua dimana terjadi penahanan atau depo, partikel aerosol
ditahan oleh epitel broncho-alveoli. Hanya sebagian partikel yang
diteruskan sedangkan bagian lainnya ditolak. Sekali partikel tertahan, maka zat
aktif yang terlarut akan memberikan efek. Tahap ini merupakan hal yang
paling penting ditinjau dari sudut penggunaan praktis aerosol obat, dan
terdapat banyak mekanisme cara penahanan. Mekanisme yang mengatur
penahanan atau depo partikel padaberbagai daerah konduksi dan daerah
pertukaran terdiri dari 3 (tiga)cara yaitu:
25
selanjutnya membentur dinding saluran napas. Tumbukan terutama terjadi di
permukaan hidung, pharynx dan segmen trakeo-bronkus yang banyak
percabangannya. Kemungkinan terjadi depo akibat tumbukan dinyatakan oleh
persamaan berikut:
I = Ut . U . sin θ .............................................................(persamaan 1)
gR
Ut = laju partikel
R = jari-jari bronkus
Depo yang terjadi karena pengendapan akibat gaya tarik bumi terjadi pada
bagian akhir dari bronkus (dimana laju pengaliran gas tinggal beberapa millimeter
sampai satu atau dua sentimeter tiap detik). Keadaan ini sangat berarti bila debit
antara inspirasi dan ekspirasi menjadi nol. Hal tersebut juga berpengaruh pada
saluran atas dan alveoli untuk partikel berdiameter antara 0,1 dan 50 µm. Proses
penahanan bekerja dibawah rangsangan yang merupakan fungsi dari laju
perpindahan partikel, lamanya melewati saluran dan inklinasi sudut saluran. Laju
pengendapan partikel dapat dihitung menurut persamaan berikut ini:
Ut=σ . g . d2 ……(persamaan 2)
18η
26
d = diameter partikel
η = kekentalan udara
Jadi, pengendapan partikel berbanding terbalik dengan laju pengaliran udara dan
berbanding lurus dengan bobot partikel.
1/2
∆= RT C
N 2π η d
T= suhu mutlak
N= bilangan avogadro
27
η = kekentalan udara
d= diameter partikel
Aktivitas partikel aerosol ditentukan oleh laju pelarutan dan difusi melintasi
selaput mukosa, oleh perubahan laju perjalanan dan peniadaanya dari lapisan
mukosa tersebut. Penangkapan partikel ke dalam mukus diikuti dengan perjalanan
menuju saluran napas bagian atas kecuali saluran dan kantong alveoli dan alveoli.
Hal ini disebabkan dalam kantong alveoli dan alveoli terdapat film surfaktan yang
berfungsi untuk membawa partikel – partikel menuju daerah dimana akan
bercampur dengan mucus.
Lamanya pembersihan sekitar 100 jam untuk partikel yang dibersihkan oleh
selaput mukosilia, 30-40% dikeluarkan pada 24 jam pertama. Mekanisme
pembersihan tergantung pada sistem aerosol. Yaitu pada aerosol yang larut dalam
air atau cairan biologis dan aerosol yang tidak larut dalam cairan biologis. Dalam
mekanisme yang pertama, cara pembersihan terjadi dengan penyerapan oleh
mukosa saluran napas. Dalam mekanisme yang kedua cara pembersihan
dinyatakan sebagai fungsi tempat fiksasi : pada saluran napas bagian atas,
pembersihan terjadi lebih awal dan cepat ( kurang dari 2 hari ), dan ditampung
pada mukosilier. Untuk aerosol yang tidal larut maka partikel tersimpan dalam
saluran napas bagian bawah, pembersihan terjadi lebih lambat dan diperpanjang
oleh pengaruh penahanan partikel dalam waktu yang berbeda – beda sesuai
dengan daerahnya.
Telah dijelaskan pula bahwa gerakan silia dipengaruhi oleh penyakit atau
keadaan yang kurang menguntungkan ( lingkungan tidak setara dengan
konsentrasi 0,9-2% NaCl, pH di luar rentang 6,2-7,2 ,suhu di luar rentang 28 –
35oC ) dan akibatnya pembersihan diperlambat.
4. Penyerapan
Pada tahap penyerapan, sebagian bahan yang dihirup dalam bentuk aerosol
akan terikat dalam saluran napas dan selanjutnya diserap oleh mukosa saluran.
28
Penyerapan dapat terjadi pada berbagai tempat yang berbeda dan kadang – kadang
`selektif untuk beberapa zat aktif tertentu.
a. Penyerapan di hidung
b. Penyerapan di mulut
Luas permukaan penyerapan pada bagian dalam dari mulut dan pharynx
adalah sekitar 75cm2. Sebagian partikel aerosol yang tertinggal di dalam mulut
dapat tertelan , atau diserap melalui bukal setelah terlarut dalam saliva. Mulut
yang mempunyai mukosa berciri lipoid, penyerapan zat aktif terjadi dengan difusi
dalam bentuk tak terionkan. Misalnya : nitrogliserin,testosteron, desoksi
kortikosteron,isoproterenol,alkaloid dapat diserap dengan baik. Sebaliknya
barbiturat, protein bermolekul besar dan heparin sedikit sekali diserap.
c. Penyerapan di trakea
Baik air maupun larutan garam (saline) tidak diserap pada daerah trakea,
demikian pula beberapa bahan larut lemak seperti barbital, tiopental,
striknin,kurare.
29
larutan methoxamin 1-2 ml dengan kadar 20 mg/ml menghasilkan efek yang sama
dibandingkan dengan pemberian 1mg melalui intravena. Pemberian penisilina
dengan penetesan pada trakea menghasilkan kadar dalam darah pada daerah
terapetik dua kali lebih lama dibandingkan pemberian intramuskular dan juga
tampak efek depo. Pembiusan setempat seperti tetrakaina diserap dengan cepat di
trakea dan sedikit diserap di daerah esofagus dan lambung.
d. Penyerapan di bronkus
Pada permukaan bronkus banyak terdapat otot polos yang sangat peka
terhadap beberapa senyawa iritan, sehingga dapat menyebabkan aktivitas lokal
bronkodilator. Saat pemberian senyawa vasodilator, bronkus akan mengalami
dilatasi sehingga efek sistemik dapat dihindari. Hal ini dapat diterangkan bahwa
sistem bronkus-paru memiliki 2 tipe reseptor andrenergik yaitu reseptor α yang
terdapat dalam pembuluh darah bronkus dan reseptor β yang terdapat dalam otot
bronkus. Kedua reseptor ini dapat di aktifkan langsung oleh parasimpatomimetik
dan secara tidak langsung oleh pelepasan katekolamin. Kedua rangsangan tersebut
terjadi setiap ada hambatan saluran udara, dengan rangsangan reseptor α akan
terjadi vasokonstriksi dan dekongesti mukosa bronkus, sedangkan rangsangan β
menyebabkan relaksasi otot polos saluran udara. Obat bronkodilator terutama
bekerja terhadap reseptor β, kecuali epinefrina dan efedrina yang merangsang
kedua reseptor tersebut, atau fenilefrina yang hanya bekerja pada reseptor α.
e. Penyerapan di alveolus
1) Gas bius dan gas pernapasan melintasi sawr alveoli dengan sangat cepat.
30
2) Air juga dapat melintasi dinding alveoli dengan sangat cepat dan dalam
jumlah besar, larutan fisiologi NaCl diserap sangat perlahan
4) Amida dan alkilamina dengan bobot molekul yang besar lewat lebih cepat
dibandingkan dengan senyawa yang bobot molekulnya kecil.
6) Aerosol antibiotika juga digunakan untuk tujuan efek sistemik atau efek
setempat.kanamisina sedikit diserap pada daerah alveoli, sehingga efeknya sangat
terbatas.
7) Pelintasan zat aktif yang terkandung dalam partikel aerosol terjadi dengan
beberapa cara berbeda tergantung pada keadaan tetesan bahan yang terlarut,
partikel terlarut atau tak terlarut.
31
Dautrebande, membuktikan bahwa aerosol murni dengan partikel yang
sangat halus dapat mengangkut bahan obat 30 – 40 kali lebih banyak daripada
aerosol polidispersi dan hanya dan hanya sejumlah kecil yang dapat menimbulkan
efek sistemik setelah perlintasan melewati paru. Sebaliknya efek pengobatan pada
permukaan yang ditimbulkan oleh aerosol murni adalah 5 kali lebih kecil
dibandingkan aerosol larutan dengan volume 10x lebih besar.
1. MDI
MDI adalah alat terapi inhalasi dengan dosis yang terukur yang
disemprotkan dalam bentuk gas ke dalam mulut dan dihirup. Dalam
menyemprotkannya didorong menggunakan propelan. MDI mulai diperkenalkan
pada tahun 1956. Obat dalam MDI dapat berupa larutan atau suspensi dalam
propelan. Dapat ditambahkan eksipien khusus untuk meningkatkan stabilitas
fisika atau untuk meningkatkan kelarutan obat. Penggunaan MDI memerlukan
teknik tersendiri, dimana diperlukan koordinasi yang tepat antara tangan menekan
alat MDI (aktuasi) dan mulut menghirup obat. Cara penggunaan yang keliru dapat
menyebabkan hasil klinis yang tidak optimal. Teknik ini masih sering digunakan
32
secara tidak tepat oleh penderita asma sehingga perlu dilatih. Namun hal ini dapat
dikoreksi dengan penggunan spacer.
Sementara DPI atau inhalasi serbuk kering yang diperkenalkan pada awal
tahun 1970-an adalah alat dengan obat dalam bentuk serbuk dihantarkan secara
lokal atau sistemik melalui rute paru-paru. Perkembangan DPI dimotivasi dengan
adanya keinginan besar mencari alternative pengganti MDI yang terkenal tidak
ramah lingkungan karena mengandung propelan CFC. Berbeda dengan MDI, DPI
dirancang dalam berbagai macam tipe. Semuanya bervariasi bergantung pada tipe
formulasi dan bentuk sediaan. DPI mengatasi kesulitan dalam penggunaan MDI
yang seringkali sukar menyelaraskan antara aktuasi alat inhalasi dan pernapasan.
Namun pada DPI diperlukan energi untuk menggerakkan serbuk mengikuti aliran
udara pernapasan dan memecah formula serbuk menjadi partikel kecil. Pada
penggunaan DPI diperlukan hirupan yang cukup kuat agar obat masuk ke saluran
pernapasan. Kinerja DPI tergantung dari teknik dan kemampuan pasien dalam
menghirup udara dan kecepatannnya.
33
dengan pengukuran dosis dari blister atau strip dari pabrik obat untuk
menghantarkan dosis ulangan.
c. Multiple-dose DPI, mengukur dosis obat dari reservoir. Contoh yang paling
umum adalah Twisthaler, Flexhaler dan Diskus. Twisthaler mengandung bahan
aktif mometason furoat, sedangkan Flexhaler mengandung bahan aktif budesonid,
keduanya anti inflamasi, digunakan sebagai preventer pada penderita asma.
Diskus menghantarkan salmeterol, flutikason atau kombinasi keduanya. Diskus
mengandung 60 dosis dalam pengemas berupa strip.
3. Nebulizer
34
digunakan untuk balita dan anak kecil, atau untuk penderita asma yang kesulitan
menggunakan inhaler.
Banyak jenis obat-obatan asma yang bisa digunakan dengan nebulizer, baik
itu untuk menghadapi serangan asma ataupun untuk mengontrol gejala-gejala
asma. Jenis nebulizer ada yang berupa model rumahan/tabletop dan ada pula yang
berupa portable (menggunakan baterai), sehingga lebih mudah untuk dibawa.
35
Dosis :> 6 tahun: 2-3 semprot ke dalam tiap lubang hidung 2x/hr
(pagi dan sore)
Cara Penyimpanan :Simpan ditempat sejuk dan kering, terlindung dari cahaya
matahari
Perhatian :Hipersensitifitas
Pabrik :Schering-Plough
2. Vicks Inhaler
36
Indikasi :Hidung tersumbat karena pilek
3. Ventolin Inhaler
37
Komposisi :Salbutamol Sulfate 100 mcg/puff
1. MAD Nasal
Link : ( https://www.youtube.com/watch?v=7sJMaSOoH88 )
Menjelaskan tentang perjalanan obat nasal dari rongga hidung menuju otak
dan dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.
38
2. Exubera Delivery Route Animation
Link : ( https://www.youtube.com/watch?v=vU1gVsul0ME&t=87s )
Link : ( https://www.youtube.com/watch?v=BRfRNIhwJt4 )
Mekanisme kerja dari semprot hidung vitamin B12 terabsorbsi dan memberi
efek sisitemik ke dalam organ-organ tubuh.
Link : (https://www.youtube.com/watch?v=H5MUhgrWUt8&feature=. )
39
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
3. Cairan yang terdapat dalam saluran nafas menyelimuti rongga hidung dan
paru-paru dikenal dengan istilah mucus, mucus terdiri dari 95% air, 2% musin,
1% garam, 1% protein lain (albumin, Ig, lisozim, laktoferin), dan 1% lemak
40
obat dalam darah atau efek farmakologi dari obat dan evaluasi perubahan sifat alir
getah bronkus atau lendir.
DISKUSI
1. Bagaimana cara pemakaian pada sediaan nasal seperti nasal bubuk, apa
keuntungan serta kerugian dalam sediaan tersebut? (Pertanyaan dari Dina
Setyarahma 17330006, Kelompok 1).
Jawab :
c. Pegang botol dibagian leher botol dengan dua jari, dengan posisi ibu jari
dibagian bawah botol.
e. Tarik nafas dan tekan ibu jari ke atas dan lepaskan droplets atau serbuk yang
keluar berupa kabut, lalu bernafaslah seperti biasa.
41
c. Presisi dosis tidak jelas diatur.
Jawab :
a. Ukuran partikel.
a. Permeabilitas membrane.
b. Lingkungan pH.
c. Pembersihan mukosiliar.
d. Rhinitis.
b. Gradien konsentrasi.
e. Viskositas.
42
zat-zat yang tidak penting setelah larut dalam rongga hidung akan segera diangkut
ke nasofaring untuk di buang ke saluran pencernaan, sehingga tidak mengganggu
proses penyerapan partikel obat sediaan Intranasal.
Jawab :
Evaluasi perubahan sifat alir getah atau lendir bronkus ini masih sangat
jarang dilakukan, karena memerlukan peralatan yang modern dalam
melakukannya. Dalam penelitian Oldenburg, et al (2012), membahas tentang
pelacakkan perubahan sifat alir lendir menggunakan alat Particle Tracking
Velocimetry, untuk melacak pergerakkan alirannya dengan menggunakan metode
Optical Coherence Tomography sehingga bisa terlihat jelas secara 3 dimensi,
dilakukan dengan 2 cara in vitro denga menggunakan sel epitel bronkial manusia
dan ex vivo dengan menggunakan trakea tikus. Evaluasi ini penting dilakukan
karena adanya aliran lendir mampu mempengaruhi penyerapan partikel-partikel
obat ke dalam tubuh.
43
DAFTAR PUSTAKA
Ratunanda, S. S., Satriyo, J. I., Samiadi, D., Madiadipoera, T., & Anggraeni, R.
2016. Efektivitas Terapi Kortikosteroid Intranasal pada Hipertrofi Adenoid
Usia Dewasa berdasarkan Pemeriksaan Narrow Band Imaging Bandung .
MKB Volume 48.
Soetjipto D., Wardani RS.2007. Hidung. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Jakarta : FK
UI, hal : 118-122.
44
Yadaf, Vimal K, A.B. Gupta, Raj Kumar, Jaideep, S Y. dan Brajess Kumar. 2010.
Muchoadhesive polymers: Mean of Improving the Muchoadhesive
properties of Drug Delivery System. Journal of Pharmaceutical Researh.
Volume 2 (5). Hal 418-432
45