LP Epilepsi
LP Epilepsi
LP Epilepsi
EPILEPSI
Oleh :
Riska Amalia Adilla
Nim.19020074
1.1 Pengertian
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulanga kibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto,2007). Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri
timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulan-!ulang
yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2010)
Epilepsi adalah sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya
faktor predisposis yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan
neurobiologis, kognitif, dan psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya.
Status epileptikus (aktifitas kejang lama yang bersifat akut) merupakan
suatu runtutan kejang umum yang terjadi tanpa adanya perbaikan kesadaran
penuh di antara serangan. Status epileptikus menimbulkan kebutuhan
metabolicsar dan berpengaruh terhadap pernafasan. Pada saat kejang, terdapat
beberapa kejadian henti nafas yang menimbulkan kongesti vena dan hipoksia
pada otak. Faktor – faktor yang mencetuskan status epileptikus meliputi gejala
putus obat antikonvulsan, demam, serta adanya infeksi penyerta (Muttaqin,
2008).
1.2 Etiologi
Menurut Rilianto (2015) epilepsi merupakan manifestasi akut dari
penyakit infeksi system saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksis,
gangguan metabolic dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah.
Gangguan serebrovaskuler menjadi penyebab SE tersering di Negara maju,
sedangkan pada negara berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan
saraf pusat
Secara umum penyebab status epileptikus dapat diklasifikasikan menjadi 3
yaitu:
a. Idiopatik
Tidak diketahui penyebabnya namun umumnya mempunyai predisposisi
genetik
b. Kriptogenik
Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk
sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan epilepsi mioklonik,
gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.
c. Imptomatik
Disebabkan oleh adanya kelainan/lesi pada susunan saraf pusat misalnya
adanya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, serta kelainan neuro degenerative.
1.3 Klasifikasi
Klasifikasi menurut International Leage Against Epilepsy (ILAE)
a. Kejang parsial (fokal)
1. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a) Dengan gejala motorik
b) Dengan gejala sensorik
c) Dengan gejala otonomik
d) Dengan gejala psikis
2. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian dikuti dengan gangguan
kesadaran
1) Kejang parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
2) Dengan automatisme
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
1) Dengan gangguan kesadaran saja
2) Dengan automatisme.
3. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-
klonik), tonik atauklonik)
a) Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
b) Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
c) Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,
dan berkembang menjadi kejang umum.
b. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
a. Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat
kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang (dewasa)
b. Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,
lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso (anak).
c. Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi
kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan
ekstensi tungkai (anak)
1.4 Patofisiologi
Menurut Rilianto (2015) kejang dipicu oleh rangsangan neuron secara
belebihan, spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktifitas fungsi
motorik (kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif, emosional)
secara local atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
1. Gangguan pembentukan ATP akibat kegagalan pompa Na-K, seperti
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Pada kejang sendiri dapat
terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
2. Perubahan permeabilitas membrane sel syaraf
3. Perubahan relative neurotransmitter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmitter inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara
GABA atau glutamate akan menimbulkan kejang
Menurut Muttaqin (2008) Epilepsi disebabkan oleh instabilitas membran
sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya
banyak di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-
basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik. Status epileptikus menimbulkan kebutuhan
metabolistik besar dan dapat mempengaruhi pernafasan. Terdapat beberapa
kejadian henti nafas pada puncak setiap kejang yang menimbulkan kongesti
vena dan hipokia otak. Episode berulang anoksia dan pembengkakan serebral
dapat menimbulkan kerusakan otak janin yang tak reversible dan fatal. Faktor-
faktor yang mencetuskan status epileptikus meliputi gejala putus obat
antikonvulsan, demam dan infeksi penyerta.
1.6 Manifestasi Klinis
1. Kejang parsial sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar atau mulut yang bergerak tak
terkontrol, bicara tidak dapat dimengerti, mungkin dapat mengalami
perubahan penglihatan, suara, bau atau pengecapan yang tak lazim atau
tak menyenangkan.
2. Kejang parsial
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis
tetapi tidak bertujuan; dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan,
marah kegiangan atau peka rangsangan yang berlebihan, tidak
mengingat periode tersebut ketika sudah berlalu.
3. Kejang Umum (kejang grand mall)
Mengenal kedua hemister otak, kekuatan yang kuat dari seluruh tubuh
diikuti dengan perubahan kedutan dari reaksi otot dan kontraksi
(kontraksi tonik klonik umum)
Menurut Rilianto (2015) epilepsi dihubungkan dengan perubahan
fisiologis sistemik hasil peningkatan kebutuhan metabolic akibat kejang
berulang dan perubahan autonomy termasuk takikardia, aritmia, hipotensi,
dilatasi pupil, dan hipertermia. Perubahan sistemik termasuk hipoksia,
hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan gangguan elektrolit
memerlukan intervensi media. Kehilangan autoregulasi serebral dan kerusakan
neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas kejang yang terus menerus.
Fase Serangan Kejang
a. Fase Prodromal
Terjadi beberapa jam atau hari sebelum serangan kejang yang ditandai
dengan perubahan alam rasa (mood) dan tingkah laku
b. Fase Aura
Merupakan fase awal terjadinya serangan seperti gangguan perasaan,
pendengaran, penglihatan, halusinasi, reaksi emosi afektif yang tidak
menentu.
c. Fase Iktal
Merupakan fase serangan kejang, disertai gangguan muskuloskletal.
Tanda lain : hipertensi, nadi meningkat, sianosis, tonus spinkterani
meningkat, kesadaran menurun, tubuh rigid-tegang-kaku, stridor dilatasi
pupil, hipersalivasi dan lidah resiko tergigit,
d. Fase Post Iktal
Merupakan fase setelah serangan ditandai dengan : amnesia
retrograd,confuse lama, lemah, sakit kepala, nyeri otot, mual dan isolasi
diri.
40-60 menit Jika kejang masih berlanjut, induksi koma dengan pilihan:
1. Midazolam 0,2 mg/kg IV, ulangi dosis 0,2-0,4 mg/k
IV bolus setiap 5 menit hingga maksimal loading
dose 2 mg/kg, kemudian dosis pemeliharaan 0,005-
2,9 mg/kg/jam, titrasi dengan monitoring EEG, atau
2. Propofol 1-2 mg/kg, ulangi 1-2 mg/kg tiap 3-5
menit sampai kejang berhenti dengan loading dose
maksimal 10 mg/kg, diikuti 1-15 mg/kg/jam, titrasi
dengan monitoring EEG
3. Pentobarbital dosis awal 5 mg/kg IV, bolus hingga
kejang berhenti, lanjutkan infus pentobarbital 1
mg/kg/jam, infus dilambatkan setiap 6 jam untuk
memastikan bangkitan kejang berhenti dengan
pedoman monitoring EEG, observasi tekanan darah
dan pernafasan. Jika perlu berikan pressor untuk
mempertahankan tekanan darah (Rilianto, 2015).
1.10 Komplikasi
Komplikasi kejang parsial komplek dapat dengan mudah dipicu oleh
stress emosional. Pasien mungkin mengalami kesulitan kognitif dan
kepribadian seperti:
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan
epilepsi adalah:
a. Risioko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
b. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
c. Gangguan pertukana gas
d. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
e. Hipertermia
f. Nyeri akut
g. Risiko cidera
h. Intoleransi aktifitas
i. Hambatan mobilitas fisik
j. Ansietas
k. Distress spiritual
3. Intervensi