0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
188 tayangan21 halaman

Kinetika Disolusi (Kelompok 5)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 21

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASI DAN FARMAKOKINETIKA

KINETIKA DISOLUSI

KELOMPOK 5 :
Renata Coerunissa Hadi 612010042
Renny Wulandari 612010043
Reny Parembang 612010044

Program Studi Farmasi


Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Ma Chung
2021
Bab 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Ilmu kefarmasian sangat berkembang dengan pesat, para apoteker dan pakar-
pakar kimia senantiasa merancang sediaan obat untuk menciptakan penemuan baru dalam
menciptakan suatu produk yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun efek
yang ditimbulkan. Sebagai seorang mahasiswa farmasi yang diharapkan kedepannya
menjadi tenaga professional didalam bidang farmasi, diharuskan selalu menggali
informasi terkini mengenai ilmu farmakokinetika obat dan juga biofarmasetika obat.
Sediaan obat diciptakan dengan memperhatikan sifat-sifatnya terhadap tubuh
atau reseptor didalam tubuh manusia atau untuk hewan, misalnya hewan uji. Behubungan
dengan metode uji, maka akan berhubungann dengan: In vivo adalah eksperimen atau tes
yang dilakukan dalam organisme hidup atau di lingkungan alaminya, dan in vitro adalah
eksperimen yang dilakukan di luar organisme hidup
Preformulasi adalah suatu metode perancangan suatu riset dalam rangka
menyusun konsep baru yang akan menghasilkan suatu maha karya yang bernilai. Penting
untuk kita ketahui bersama mengenai disolusi suatu zat, di mana hal tersebut merupakan
suatu tahapan yang yang sangat berperan penting dalam menentukan hasil suatu efek obat
dalam tubuh manusia. Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak
larut dalam air telah lama menjadi masalah pada industri farmasi. Sediaan obat-obat
tersebut umumnya mengalami proses disolusi yang lambat demikian pula laju
absorpsinya. Sehingga partikel obat terlarut akan diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan
tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsi obat tersebut menjadi tidak
sempurna.

1.2 Tujuan Praktikum


1. Mahasiswa mampu memahami kinetika disolusi obat
2. Mahasiswa mampu melakukan studi disolusi obat
3. Mahasiswa mampu menentukan model kinetika dan mengkalkulasi parameter disolusi
obat
Bab II
Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Disolusi


Disolusi adalah suatu proses kinetik, dengan demikian untuk mengetahui proses
disolusi maka dilakukan pengamatan terhadap jumlah zat aktif yang terlarut ke dalam
medium sebagai fungsi waktu (Fudholi, 2013). Faktor yang mempengaruhi kecepatan
disolusi bentuk sediaan padat dapat dibagi ke dalam 4 kategori utama yaitu: sifat fisika
kimia obat, formulasi produk obat, proses pembuatan sediaan, dan kondisi uji disolusi.
Beberapa faktor eksternal yang terkait dengan kondisi percobaan dalam uji disolusi dapat
mempengaruhi kecepatan disolusi, antara lain: intensitas pengadukan, macam dan
komposisi medium, suhu, dan model alat disolusi yang digunakan (Fudholi, 2013).
Pada uji disolusi ini terdapat peran penting dalam pengembangan formulasi obat
dan kontrol kualitas. Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke
dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat
padat melarut. Proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut. Disolusi
merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi
bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk
menilai bioekivalen (bioequivalence). Penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan
padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni (Diyanti,
2019).
Terdapat beberapa karakteristik fisik sediaan seperti pada proses pembasahan
sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan,
proses disintegrasi dan deagregasi sediaan merupakan faktor yang mempengaruhi
karakteristik disolusi obat sediaan. Pengujian disolusi dapat digunakan untuk
mengevaluasi sistem penghantaran obat yang sedang berkembang yaitu fast dissolving
film. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan
bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang
mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan
kompleksasi serta ukuran partikel. Medium larutan yang biasa dipakai pada pengujian
disolusi antara lain seperti cairan lambung yang diencerkan, HCl 0,1 N, dapar fosfat,
cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung sifat-sifat (Diyanti, 2019).
Disolusi dan pelepasan obat merupakan suatu fenomena penting untuk bentuk
sediaan padat seperti tablet, kapsul dan bentuk sediaan semipadat seperti krim, salep, dan
implan yang mengantarkan obat selama periode waktu tertentu berkisar dari jam,
minggu, dan tahun (Ramteke dkk., 2014). Ada beberapa model kinetik yang
menggambarkan pelepasan obat dari bentuk sediaan. Perubahan kualitatif dan kuantitatif
eksipien dalam formula dapat mengubah kinetika pelepasan dan kinerja invivo. Dengan
demikian, pemodelan kinetika dari pelepasan obat memiliki peran yang sangat penting
dalam proses pengembangan formula sediaan obat (Paarakh et al., 2018).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, ketetapan atau kriteria suatu obat
dikatakan baik jika interpretasi kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,
persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai
dengan tabel penerimaan. Lanjutkan pengujian sampai tiga tahap kecuali bila hasil
pengujian memenuhi tahap 2 atau S2. Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut
seperti yang tertera dalam masing-masing monografi, dinyatakan dalam persentase kadar
pada etiket, angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persen tase kadar pada etiket, dengan
demikian mempunyai arti yang sama dengan Q.

Tabel Penerimaan
Tahap Jumlah Kriteria Penerimaan
Yang Diuji
S1 6 Tiap unit sediaan tidak
kurang dari Q+ 5%
S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1+S2) adalah sama
dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu
unit sediaan yang lebih kecil dari Q-15%
S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3)adalah sama
dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2
unit sediaan yang lebih kecil dari Q -15% dan
tidak satu unitpun yang lebih kecil dariQ-25%
2.2 Faktor-Faktor Pengaruh Laju Disolusi
Laju disolusi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari sifat
fisikokimia bahan obat aktif, sifat bahan tambahan dan metode fabrikasi, sebagai berikut:
1. pKa dan Profil pH
Profil pH-kelarutan merupakan suatu gambaran dari disolusi obat pada
berbagai pH fisiologis. Dalam formulasi suatu obat, formulator harus
mempertimbangkan profil pH dari sediaan yang akan dibuat, yaitu bersifat asam
dalam lambung hingga sedikit bersifat basa dalam usus halus. Obat yang bersifat
basa akan lebih larut dalam media asam dan membentuk garam yang mudah larut,
sedangkan obat yang bersifat asam akan lebih larut dalam usus kemudian
membentuk suatu garam yang hanya dapat terlarut pada pH yang lebih basa.
2. Stabilitas
Profil pH-stabilitas suatu obat merupakan gambaran dari tetapan laju
reaksi penguraian obat versus pH. Dalam hal ini, apabila penguraian obat melalui
katalisis asam atau basa terjadi secara baik, maka dapat digunakan sebagai acuan
untuk mengetahui kerusakan obat dalam saluran pencernaan.
3. Ukuran Partikel
Luas permukaan efektif dari suatu obat dapat meningkat dengan sangat
besar apabila terdapat proses pengecilan ukuran partikel. Hal tersebut disebabkan
karena proses disolusi terjadi pada permukaan solut obat, sehingga semakin besar
luas permukaan obat maka laju disolusi dari obat tersebut akan menjadi semakin
cepat.
4. Polimorfisme
Polimorfisme dapat mengambarkan susunan suatu obat dalam berbagai
bentuk kristal atau polimorf. Polimorf memiliki struktur kimia yang sama, tetapi
memiliki sifat fisik seperti kelarutan, densitas, kekerasan, dan karakteristik
pengempaan yang berbeda. Pada umumnya, kristal obat yang memiliki energi
paling rendah merupakan kristal dengan tingkat stabilitas yang tinggi.
5. Temperatur
Semakin tinggi temperatur, maka tingkat kelarutan suatu zat yang
bersifat endotermik akan semakin tinggi pula. Selain itu, peningkatan temperatur
juga dapat memperbesar harga koefisien difusi zat.
6. Viskositas
Penurunan viskositas dari pelarut dapat memperbesar kecepatan disolusi
suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Selain itu, peningkatan temperatur
juga dapat menurunkan viskositas, serta memperbesar kecepatan disolusi.
7. Kecepatan Pengadukan
Kecepatan pengadukan dapat mempengaruhi tebal lapisan difusi.
Apabila pengadukan berlangsung dengan cepat, maka tebal lapisan difusi akan
cepat berkurang.
8. Sifat Bahan Tambahan
Bahan tambahan atau eksipien yang ditambahkan pada suatu formulasi
dapat memberikan sifat fungsional tertentu pada obat dan bentuk sediaan dari obat
tersebut. Beberapa sifat fungsional dari bahan tambahan tersebut dimanfaatkan
untuk memperbaiki kompresibilitas bahan aktif obat, menstabilkan obat terhadap
penguraian, menurunkan resiko terjadinya iritasi pada saluran pencernaan
khususnya lambung, mengendalikan laju absorpsi obat dari site absorpsi,
meningkatkan bioavailabilitas obat, dan lain sebagainya. Selain itu, bahan
tambahan juga dapat mempengaruhi kinetika disolusi obat dengan cara mengubah
media tempat obat melarut maupun bereaksi dengan obat itu sendiri (Shargel et al,
2012).

2.3 Model Kinetika Disolusi


Model kinetika disolusi yang dapat digunakan untuk mempelajari mekanisme
pelepasan zat aktif dari suatu sediaan obat terbagi dalam beberapa macam, sebagai
berikut:
1. Orde Nol
Model kinetika uji orde nol menyatakan pelepasan obat dalam mencapai aksi
farmakologis yang berkepanjangan, sehingga obat akan mengalami proses disolusi
dari bentuk sediaan dan melepaskan zat aktifnya secara perlahan dan dapat
digambarkan dengan persamaan berikut (Bhowmik et al, 2012).
Qt = Qo + Ko.t
Di mana Qt merupakan jumlah obat dalam waktu t, sedangkan Qo merupakan
jumlah awal obat dalam larutan dan Ko merupakan konstanta pelepasan orde nol.
Sediaan yang memiliki pelepasan orde nol akan melepaskan zat aktif dengan
kecepatan yang konstan, sehingga pada model ini adanya peningkatan pada
konsentrasi obat akan selalu berbanding lurus dengan waktu. Pada umumnya, model
orde nol dapat digunakan untuk menggambarkan disolusi obat dari beberapa jenis
pelepasan sediaan obat yang dimodifikasi, seperti beberapa sistem transdermal,
matriks tablet dengan obat yang memiliki kelarutan rendah, sistem osmotik, dan lain
sebagainya (Ramteke et al, 2014).

Gambar 2.3.1 Kurva Kinetika Disolusi Model Orde Nol

2. Orde Satu
Model kinetika disolusi orde satu dipaparkan oleh Wagner yang
mengasumsikan bahwa luas permukaan dari tablet akan mengalami penurunan secara
eksponensial dengan waktu selama proses disolusi yang menunjukkan bahwa
pelepasan obat dari sebagian besar obat terjadi secara lambat dan dapat digambarkan
dengan persamaan sebagai berikut (Ramteke et al, 2014).
Log Qt = Log Qo + (K 1/2 x 303) x t

Di mana Q merupakan fraksi obat yang dilepaskan pada waktu t dan K1 atau
K2 merupakan konstanta pelepasan obat pada orde pertama. Pada model kinetika
disolusi ini, obat yang tersisa dalam jaringan tubuh akan berbanding terbalik dengan
waktu obat pada jaringan tubuh, sehingga dapat digambarkan dalam kurva sebagai
berikut.
Gambar 2.3.2 Kurva Kinetika Disolusi Model Orde Satu

3. Higuchi
Model kinetika pelepasan obat ini ditemukan oleh T. Higuchi yang
mendefinisikan ketergantungan linear dari fraksi zat aktif yang dilepaskan per unit (Q)
dari akar kuadrat waktu dengan persamaan sebagai berikut. Q = KH x √t di mana KH
merupakan konstanta kinetika disolusi model Higuchi dan √t merupakan akar kuadrat
dari waktu yang diperlukan oleh obat untuk melepaskan zat aktifnya menuju jaringan
tubuh. Kurva dari model kinetika disolusi Higuchi mengambarkan disolusi obat
sebagai proses difusi seperti yang dijelaskan dalam Hukum Fick, sebagai berikut
(Shaikh et al, 2015).
Gambar 2.3.3 Kurva Kinetika Disolusi Model Higuchi

2.4 Metode
Metode yang digunakan untuk pengujian disolusi dari bahan aktif obat yang
umumnya digunakan adalah metode disolusi kompendial yang menyatakan bahwa profil
kelarutan menunjukkan disolusi obat yang terlalu lambat atau terlalu cepat dipengaruhi
oleh adanya peningkatan atau penurunan kecepatan rotasi. Berikut ini beberapa alat yang
digunakan pada metode disolusi kompendial, antara lain (Shargel et al, 2012).
1. Rotating Basket
Alat rotating basket terdiri atas keranjang silindris yang ditahan oleh tangkai
motor. Keranjang berfungsi untuk menahan sampel dan berputar dalam suatu labu
bulat yang berisi media disolusi. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang
memiliki suhu konstan, yaitu 37oC. kecepatan berputar dan posisi keranjang harus
memenuhi rangkaian yang memiliki syarat khusus USP yang terakhir. Kecepatan
putaran yang paling lazim digunakan adalah 100 rpm. Pada umumnya, metode
rotating basket digunakan untuk uji disolusi pada kapsul dan sediaan yang memiliki
sifat cenderung mengapung atau terdisintegrasi secara lambat.
2. Paddle
Alat paddle menggunakan serangkaian alat yang terdiri atas dayung lapis
khusus yang berfungsi untuk memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh adanya
pengadukan. Selanjutnya, dayung tersebut diikat secara vertikal pada suatu motor
yang berputar dalam labu disolusi dengan kecepatan yang terkendali. Sampel
kemudian diletakkan dalam labu disolusi beralas bulat yang berfungsi untuk
memperkecil turbulensi dari media disolusi. Alat ditempatkan dalam suatu bak air
yang bersuhu konstan dan dipertahankan pada suhu 37oC. Posisi dan kesejajaran
dayung yang ditetapkan dalam USP. Metode paddle sangat peka terhadap kemiringan
dayung sehingga kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat
mempengaruhi hasil uji disolusi obat. Pada metode paddle, kecepatan alat yang
digunakan sebesar 50 rpm jika digunakan untuk uji disolusi obat dengan bentuk
sediaan oral padat dan 25 rpm jika digunakan untuk uji disolusi sediaan suspensi.
Akan tetapi, metode paddle umumnya digunakan untuk bentuk sediaan oral padat,

khususnya tablet.
Gambar 2.4 Alat Uji Disolusi Paddle
3. Reciprocating Cyllinder
Alat yang digunakan terdiri atas serangkaian wadah gelas silindris dengan
dasar datar yang dilengkapi dengan reciprocating cyllinder yang berfungsi untuk uji
disolusi dari bentuk sediaan extended release, terutama sediaan yang pelepasannya
dimodifikasi dengan tipe butiran (bead) tertentu. Pada metode ini, enam sampel
dilakukan pengujian dengan alat yang telah dijelaskan di atas pada suhu 37°C.
4. Flow-Through Cell
Pada metode ini, digunakan alat yang terdiri atas suatu reservoir yang
berfungsi sebagai media disolusi dan suatu pompa yang berfungsi untuk mendorong
media disolusi untuk melewati sel yang menahan cuplikan uji. Laju aliran memiliki
rentang antara 4 hingga 16 mL/menit. Sejumlah enam sampel yang diuji dan media
disolusi dipertahankan pada suhu 37°C. Metode ini dapat digunakan untuk pengujian
disolusi sediaan obat yang pelepasannya dimodifikasi dan mengandung bahan aktif
dengan tingkat kelarutan yang terbatas.
5. Paddle over Disk
Alat yang digunakan pada metode ini terdiri atas suatu penahan cuplikan atau
rakitan piringan yang berfungsi untuk menahan sampel. Keseluruhan sediaan
ditempatkan di dalam suatu labu pelarutan yang terisi dengan media tertentu yang
dipertahankan pada suhu 32°C. Dayung ditempatkan langsung di atas rakitan
piringan, sedangkan sampel diambil pada pertengahan antara permukaan media
disolusi dan ujung pisau dayung pada waktu tertentu.
6. Silinder
Alat uji disolusi silinder berfungsi untuk menentukan disolusi sediaan
transdermal yang dimodifikasi dari metode basket. Pada metode silinder, keranjang
diletakkan di atas suatu silinder baja yang digunakan untuk menahan sampel,
sedangkan sampel diletakkan pada cuprophan dan keseluruhan sistem ditempelkan
pada silinder baja tersebut. Pengujian disolusi obat dengan metode ini dilakukan pada
suhu 32°C dan sampel yang akan dianalisis diambil pada pertengahan antara
permukaan media disolusi dan ujung silinder yang berputar.
7. Reciprocating Disk
Pada uji disolusi menggunakan alat ini, digunakan suatu rakitan motor
penggerak yang berfungsi untuk membalik sistem secara vertikal dan sampel
ditempatkan pada penahan yang berbentuk piringan dengan menggunakan
pendukung cuprophan. Pengujian disolusi dengan metode ini dilakukan pada suhu
32°C dan frekuensi pembalikan sekitar 30 siklus dalam satu menit dengan kriteria
penerimaan yang tercantum dalam monografi setiap bahan aktif yang digunakan
sebagai sampel.
2.5 Paracetamol
Parasetamol adalah obat golongan analgesik yang berfungsi untuk meredakan
rasa nyeri ringan hingga sedang akibat sakit kepala, sakit gigi, menstruasi, sakit
punggung hingga terkilir. Selain meredakan nyeri, parasetamol juga memiliki fungsi
untuk menurunkan demam. Parasetamol bekerja dengan cara menghambat proses
produksi prostaglandin di dalam tubuh. Prostaglandin merupakan salah satu zat kimia
yang memiliki peranan dalam transmisi pesan rasa sakit yang dikirim ke otak sehingga
ketika proses produksi prostaglandin dihambat dengan penggunaan parasetamol, maka
rasa sakit yang tengah dialami oleh tubuh seperti sakit kepala, nyeri badan hingga
demam akan terus berkurang. Parasetamol memiliki nama kimia sistematis sebagai n-4
hidroksifenil ethanamide dengan rumus molekul C8H9NO2 dan bobot molekul sebesar
151,17 g/mol. Struktur parasetamol terdiri atas sebuah cincin benzen yang tersubstitusi
oleh gugus hidroksil (-OH) dan atom nitrogen dari gugus amida yang berada pada posisi
para (1,4) sehingga senyawa tersebut dinamai dengan para-asetaminofenol yang

kemudian lebih dikenal dengan parasetamol (Tjay, 2015).


Gambar 2.2 Struktur Kimia Paracetamol
Bab III
Metodologi

A. Alat
1. Alat-alat gelas
2. neraca analitik
3. spektrofotometer
4. alat uji disolusi (apparatus 2)

B. Bahan
1. Tablet parasetamol 500 mg
2. Akuades
3. baku pembanding parasetamol
4. KH2PO4
5. NaOH
C. Cara Kerja
1. Pembuatan NaOH 0,2 M

Ditimbang NaOH sebanyak 0,4 g

Dimasukkan kedalam labu ukur 50 ml.

Dilarutkan dengan aquadest sampai tanda


kalibrasi.

2. Pembuatan Larutan Dafar Posfat pH 5,8 (Medium)

Ditimbang KH2PO4 sebanyak 2,722 g

Dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml

Dilarutkan dengan akuadest sampei tanda


kalibrasi dengan konsentrasi 0,2 M.

Dipindahkan larutan sebanyak 50,0 ml kedalam labu ukur


200 ml.

Ditambahkan NaOH sebantak 3,6 ml dengan


konsentrasi 0,2 M kemudian dilakukan pengenceran
3. Pembutan Larutan Paracetamol 1 μg/ml.

Ditimbang serbuk paracetamol sebanyak 10 mg

Kemudian dilarutkan tepat 100 ml dengan medium.

4. Pembuatan Larutan Paracetamol 10 μg/ml

Dilarutkan paracetamol sebanyak 1,0 ml

Dipindahkan kedalam labu ukur 100 ml. kemudian


ditambahkan medium sampai tanda kalibrasi.

5. Pembuatan Larutan Baku Kerja Dan Kurva Standar Paracetamol

Diambil larutan paracetamol dengan jumlah tertentu 10 μg/ml

.
Dipindahkan ke labu takar 10 ml kemudian ditambahkan medium sampai tanda batas kalibrasi

masing-masing larutan baku kerja paracetamol dibaca absorbansinya


dengan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimu 200-300 nm
dengan interval 1 nm.

Apabila absorbansi larutan berada pada kisaran 0,2-0,8, data tersebut dapat langsung digunakan untuk
membuat kurva kalibrasi
6. Uji Disolusi

Susunlah alat uji disolusi

Diisi dengan 900 mL medium, atur pada suhu 37°C dan


kecepatan50 rpm

Dimasukkan tablet parasetamol

Lakukan sampling pada menit ke-0, 5, 10, 15, 20, dan 30


menit

1) Metode Sampling :

Sebanyak 10 mL larutan pada alat uji disolusi dipindahkan


dengan seksama ke dalam tabung reaksi kemudian ditutup

Ditambahkan 10 mL larutan medium yang baru ke dalam alat uji disolusi


sehingga volume larutandi dalamnya selalu konstan

Dilakukan penetapan kadar parasetamol yang terlarut dalam larutan sampel


menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang maksimum.

Dilakukan pengenceran apabila absorbansiterlalu tinggi.

Dicatat hasil percobaan


Bab IV
Hasil dan Pembahasan

4.1 Data Hasil


 Data sampel obat paten paracetamol
W FA
S
A RATA - KT RATA-
A KONSENT
KT ABSO RATA OR JUMLAH % RATA
M KOSENTR RASI
U RBAN KOSEN PEN TERLARUT TERLARU %
P ASI/ x (ppm) TERLARU
(M SI / Y TRASI GE (mg) T TERLA
L T (ppm)
EN (ppm) NC RUT
E
IT) ER
P
0,0401 0,092083584 0 0 0
1
P
0 0,0093 0,061283584 0,030695 0 0 0 0 0
2
P
0,001 0,052983584 0 0 0
3
P
0,2142 0,266183584 26,6183584 23956,52257 4791,30451
1
P
5 0,3513 0,403283584 0,088728 100 40,3283584 36295,52257 7259,10451 1597,102
2
P
0,3336 0,385583584 38,5583584 34702,52257 6940,50451
3
P
0,3918 0,443783584 44,3783584 39940,52257 7988,10451
1
P
10 0,3829 0,434883584 0,147928 100 43,4883584 39139,52257 7827,90451 2662,702
2
P
0,3772 0,429183584 42,9183584 38626,52257 7725,30451
3
P
0,4877 0,539683584 53,9683584 48571,52257 9714,30451
1
P
15 0,5947 0,646683584 0,179895 100 64,6683584 58201,52257 11640,3045 3238,102
2
P
0,3443 0,396283584 39,6283584 35665,52257 7133,10451
3
P
0,6873 0,739283584 73,9283584 66535,52257 13307,1045
1
P
20 0,5921 0,644083584 0,246428 100 64,4083584 57967,52257 11593,5045 4435,702
2
P
0,6699 0,721883584 72,1883584 64969,52257 12993,9045
3
30 P 0,207228 100 3730,102
0,5697 0,621683584 62,1683584 55951,52257 11190,3045
1
P 0,6692 0,721183584 72,1183584 64906,52257 12981,3045
2
P
0,6692 0,721183584 72,1183584 64906,52257 12981,3045
3
P
0,6373 0,689283584 68,9283584 62035,52257 12407,1045
1
P
45 0,5878 0,639783584 0,229761 100 63,9783584 57580,52257 11516,1045 4135,702
2
P
0,5646 0,616583584 61,6583584 55492,52257 11098,5045
3

 Data sampel obat generik paracetamol


W
A FA
S
KT RATA - KT RATA-
A KONSENT
U ABSO RATA OR JUMLAH % RATA
M KOSENTR RASI
( RBAN KOSEN PEN TERLARUT TERLARU %
P ASI/ x (ppm) TERLARU
M SI / Y TRASI GE (mg) T TERLA
L T (ppm)
EN (ppm) NC RUT
E
IT ER
)
G
0,0306 0,082583584 0 0 0
1
G
0 0,019 0,070983584 0,027528 0 0 0 0 0
2
G
0,0424 0,094383584 0 0 0
3
G
0,2294 0,281383584 28,13836 25324,52 5064,905
1
G
5 0,2698 0,321783584 0,093795 100 32,17836 28960,52 5792,105 1688,302
2
G
0,3219 0,373883584 37,38836 33649,52 6729,905
3
G
0,3007 0,352683584 35,26836 31741,52 6348,305
1
G
10 0,3657 0,417683584 0,117561 100 41,76836 37591,52 7518,305 2116,102
2
G
0,3667 0,418683584 41,86836 37681,52 7536,305
3
G
0,403 0,454983584 45,49836 40948,52 8189,705
1
G
15 0,4403 0,492283584 0,151661 100 49,22836 44305,52 8861,105 2729,902
2
G
0,3949 0,446883584 44,68836 40219,52 8043,905
3
20 G 0,173361 100 3120,502
0,4681 0,520083584 52,00836 46807,52 9361,505
1
G 0,2947 0,346683584 34,66836 31201,52 6240,305
2
G
0,5017 0,553683584 55,36836 49831,52 9966,305
3
G
0,4497 0,501683584 50,16836 45151,52 9030,305
1
G
30 0,4661 0,518083584 0,167228 100 51,80836 46627,52 9325,505 3010,102
2
G
0,4459 0,497883584 49,78836 44809,52 8961,905
3
G
0,4671 0,519083584 51,90836 46717,52 9343,505
1
G
45 0,4694 0,521383584 0,173028 100 52,13836 46924,52 9384,905 3114,502
2
G
0,4472 0,499183584 49,91836 44926,52 8985,305
3

absorbansi ( y )−(a)
 Konsentrasi parasetamol (μg/mL) =
( b)
 Konsentrasi parasetamol terlarut (μg/mL) = Konsentrasi parasetamol (μg/mL) ×
Faktor pengenceran
 Jumlah parasetamol terlarut (mg)3 = Konsentrasi parasetamol (μg/mL) × Faktor
pengenceran × Volume medium
Jumlah parasetamol terlarut(mg)3
 % Parasetamol terlarut = ×100 %
500
4.2 Pembahasan
Disolusi adalah suatu proses kinetik, dengan demikian untuk mengetahui
proses disolusi maka dilakukan pengamatan terhadap jumlah zat aktif yang terlarut ke
dalam medium sebagai fungsi waktu (Fudholi, 2013). Faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi bentuk sediaan padat dapat dibagi ke dalam 4 kategori utama yaitu:
sifat fisika kimia obat, formulasi produk obat, proses pembuatan sediaan, dan kondisi uji
disolusi. Beberapa faktor eksternal yang terkait dengan kondisi percobaan dalam uji
disolusi dapat mempengaruhi kecepatan disolusi, antara lain: intensitas pengadukan,
macam dan komposisi medium, suhu, dan model alat disolusi yang digunakan (Fudholi,
2013).
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju disolusi sediaan obat antara lain
kelarutan, ukuran partikel, dan kristalisasi obat. Sifat-sifat kimia, fisika, bentuk obat dan
juga fisiologis dari sistem biologis mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm
tubuh. Oleh karena itu konsentrasi obat, bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran
molekulnya, pKa dan ikatan proteinnya adalah faktor-faktor kimia dan fisika yang harus
dipahami untuk mendesain suatu sediaan. Hal ini meliputi faktor difusi dan disolusi obat.
Faktor formulasi dapat mempengaruhi laju uji disolusi. Berbagai macam bahan
tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan
obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan
bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan
tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan
antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat
membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat
yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah
obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang
diabsorpsi.
Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses
absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke seluruh cairan dan jaringan
tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang cepat, berarti
efek yang ditimbulkan juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya. Mekanisme
yang terjadi bila suatu obat di minum, disolusi merupakan fase pertama dari kerja suatu
obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorpsi. Obat
dalam bentuk padat harus disintegrasi menjadi partikel-partikel kecil agar dapat larut
dalam cairan. Jadi disintegrasi adalah pemecahan sediaan obat padat menjadi partikel-
partikel yang lebih kecil, disolusi melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam
cairan gastrointestinal untuk diabsorpsi.
Pada pratikum kali ini dilakukan uji disolusi terhadap tablet paracetamol. Tujuan di lakukan
uji disolusi ini untuk mengetahui seberapa cepat kelarutan suatu tablet ketika kontak dengan
cairan tubuh, sehingga dapat diketahui seberapa cepat keefektifan obat yang diberikan
tersebut.
Daftar Pustaka

Bhowmik, D., Gopinath and Kumar, K.P.S. 2012. Controlled Release Drug Delivery Systems.
The Pharma Innovation Journal. 1(10): 24-32

Diyanti, risma. 2019. Studi perbandingan metode uji disolusi sediaan fast dissolving film
amlodipin besilat menggunakan aparatus tipe v dan metode franz diffusion cell.
Universitas sriwijaya.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi ke IV. Jakarta Hal. 649, 1085

Fudholi, a., 2013. Disolusi dan pelepasan obat in vitro. Pustaka pelajar, yogyakarta.

Paarakh, m.p., jose, p.a., setty, c., dan peter, g.v., 2018. Release kinetics – concepts and
applications. International journal of pharmacy research & technology, 8: 9.

Ramteke, k.h., dighe, p.a., kharat, a.r., dan patil, s.v., 2014. Mathematical models of drug
dissolution: a review. Sch. Acad. J. Pharm., 3: 388–396.

Shaikh, H.K., Kshirsagar, R.V., Patil, S.G. 2015. Mathematical Model for Drug Release
Characterization: A Review. World Journal of Pharmaceutical Research. 4(4): 324-
338.

Shargel, L., Susanka, W.P., Andrew, B.C.Y. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan Edisi Kelima. Surabaya: Airlangga University Press

Anda mungkin juga menyukai