Kinetika Disolusi (Kelompok 5)
Kinetika Disolusi (Kelompok 5)
Kinetika Disolusi (Kelompok 5)
KINETIKA DISOLUSI
KELOMPOK 5 :
Renata Coerunissa Hadi 612010042
Renny Wulandari 612010043
Reny Parembang 612010044
Tabel Penerimaan
Tahap Jumlah Kriteria Penerimaan
Yang Diuji
S1 6 Tiap unit sediaan tidak
kurang dari Q+ 5%
S2 6 Rata-rata dari 12 unit (S1+S2) adalah sama
dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu
unit sediaan yang lebih kecil dari Q-15%
S3 12 Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3)adalah sama
dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2
unit sediaan yang lebih kecil dari Q -15% dan
tidak satu unitpun yang lebih kecil dariQ-25%
2.2 Faktor-Faktor Pengaruh Laju Disolusi
Laju disolusi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, mulai dari sifat
fisikokimia bahan obat aktif, sifat bahan tambahan dan metode fabrikasi, sebagai berikut:
1. pKa dan Profil pH
Profil pH-kelarutan merupakan suatu gambaran dari disolusi obat pada
berbagai pH fisiologis. Dalam formulasi suatu obat, formulator harus
mempertimbangkan profil pH dari sediaan yang akan dibuat, yaitu bersifat asam
dalam lambung hingga sedikit bersifat basa dalam usus halus. Obat yang bersifat
basa akan lebih larut dalam media asam dan membentuk garam yang mudah larut,
sedangkan obat yang bersifat asam akan lebih larut dalam usus kemudian
membentuk suatu garam yang hanya dapat terlarut pada pH yang lebih basa.
2. Stabilitas
Profil pH-stabilitas suatu obat merupakan gambaran dari tetapan laju
reaksi penguraian obat versus pH. Dalam hal ini, apabila penguraian obat melalui
katalisis asam atau basa terjadi secara baik, maka dapat digunakan sebagai acuan
untuk mengetahui kerusakan obat dalam saluran pencernaan.
3. Ukuran Partikel
Luas permukaan efektif dari suatu obat dapat meningkat dengan sangat
besar apabila terdapat proses pengecilan ukuran partikel. Hal tersebut disebabkan
karena proses disolusi terjadi pada permukaan solut obat, sehingga semakin besar
luas permukaan obat maka laju disolusi dari obat tersebut akan menjadi semakin
cepat.
4. Polimorfisme
Polimorfisme dapat mengambarkan susunan suatu obat dalam berbagai
bentuk kristal atau polimorf. Polimorf memiliki struktur kimia yang sama, tetapi
memiliki sifat fisik seperti kelarutan, densitas, kekerasan, dan karakteristik
pengempaan yang berbeda. Pada umumnya, kristal obat yang memiliki energi
paling rendah merupakan kristal dengan tingkat stabilitas yang tinggi.
5. Temperatur
Semakin tinggi temperatur, maka tingkat kelarutan suatu zat yang
bersifat endotermik akan semakin tinggi pula. Selain itu, peningkatan temperatur
juga dapat memperbesar harga koefisien difusi zat.
6. Viskositas
Penurunan viskositas dari pelarut dapat memperbesar kecepatan disolusi
suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Selain itu, peningkatan temperatur
juga dapat menurunkan viskositas, serta memperbesar kecepatan disolusi.
7. Kecepatan Pengadukan
Kecepatan pengadukan dapat mempengaruhi tebal lapisan difusi.
Apabila pengadukan berlangsung dengan cepat, maka tebal lapisan difusi akan
cepat berkurang.
8. Sifat Bahan Tambahan
Bahan tambahan atau eksipien yang ditambahkan pada suatu formulasi
dapat memberikan sifat fungsional tertentu pada obat dan bentuk sediaan dari obat
tersebut. Beberapa sifat fungsional dari bahan tambahan tersebut dimanfaatkan
untuk memperbaiki kompresibilitas bahan aktif obat, menstabilkan obat terhadap
penguraian, menurunkan resiko terjadinya iritasi pada saluran pencernaan
khususnya lambung, mengendalikan laju absorpsi obat dari site absorpsi,
meningkatkan bioavailabilitas obat, dan lain sebagainya. Selain itu, bahan
tambahan juga dapat mempengaruhi kinetika disolusi obat dengan cara mengubah
media tempat obat melarut maupun bereaksi dengan obat itu sendiri (Shargel et al,
2012).
2. Orde Satu
Model kinetika disolusi orde satu dipaparkan oleh Wagner yang
mengasumsikan bahwa luas permukaan dari tablet akan mengalami penurunan secara
eksponensial dengan waktu selama proses disolusi yang menunjukkan bahwa
pelepasan obat dari sebagian besar obat terjadi secara lambat dan dapat digambarkan
dengan persamaan sebagai berikut (Ramteke et al, 2014).
Log Qt = Log Qo + (K 1/2 x 303) x t
Di mana Q merupakan fraksi obat yang dilepaskan pada waktu t dan K1 atau
K2 merupakan konstanta pelepasan obat pada orde pertama. Pada model kinetika
disolusi ini, obat yang tersisa dalam jaringan tubuh akan berbanding terbalik dengan
waktu obat pada jaringan tubuh, sehingga dapat digambarkan dalam kurva sebagai
berikut.
Gambar 2.3.2 Kurva Kinetika Disolusi Model Orde Satu
3. Higuchi
Model kinetika pelepasan obat ini ditemukan oleh T. Higuchi yang
mendefinisikan ketergantungan linear dari fraksi zat aktif yang dilepaskan per unit (Q)
dari akar kuadrat waktu dengan persamaan sebagai berikut. Q = KH x √t di mana KH
merupakan konstanta kinetika disolusi model Higuchi dan √t merupakan akar kuadrat
dari waktu yang diperlukan oleh obat untuk melepaskan zat aktifnya menuju jaringan
tubuh. Kurva dari model kinetika disolusi Higuchi mengambarkan disolusi obat
sebagai proses difusi seperti yang dijelaskan dalam Hukum Fick, sebagai berikut
(Shaikh et al, 2015).
Gambar 2.3.3 Kurva Kinetika Disolusi Model Higuchi
2.4 Metode
Metode yang digunakan untuk pengujian disolusi dari bahan aktif obat yang
umumnya digunakan adalah metode disolusi kompendial yang menyatakan bahwa profil
kelarutan menunjukkan disolusi obat yang terlalu lambat atau terlalu cepat dipengaruhi
oleh adanya peningkatan atau penurunan kecepatan rotasi. Berikut ini beberapa alat yang
digunakan pada metode disolusi kompendial, antara lain (Shargel et al, 2012).
1. Rotating Basket
Alat rotating basket terdiri atas keranjang silindris yang ditahan oleh tangkai
motor. Keranjang berfungsi untuk menahan sampel dan berputar dalam suatu labu
bulat yang berisi media disolusi. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang
memiliki suhu konstan, yaitu 37oC. kecepatan berputar dan posisi keranjang harus
memenuhi rangkaian yang memiliki syarat khusus USP yang terakhir. Kecepatan
putaran yang paling lazim digunakan adalah 100 rpm. Pada umumnya, metode
rotating basket digunakan untuk uji disolusi pada kapsul dan sediaan yang memiliki
sifat cenderung mengapung atau terdisintegrasi secara lambat.
2. Paddle
Alat paddle menggunakan serangkaian alat yang terdiri atas dayung lapis
khusus yang berfungsi untuk memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh adanya
pengadukan. Selanjutnya, dayung tersebut diikat secara vertikal pada suatu motor
yang berputar dalam labu disolusi dengan kecepatan yang terkendali. Sampel
kemudian diletakkan dalam labu disolusi beralas bulat yang berfungsi untuk
memperkecil turbulensi dari media disolusi. Alat ditempatkan dalam suatu bak air
yang bersuhu konstan dan dipertahankan pada suhu 37oC. Posisi dan kesejajaran
dayung yang ditetapkan dalam USP. Metode paddle sangat peka terhadap kemiringan
dayung sehingga kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat
mempengaruhi hasil uji disolusi obat. Pada metode paddle, kecepatan alat yang
digunakan sebesar 50 rpm jika digunakan untuk uji disolusi obat dengan bentuk
sediaan oral padat dan 25 rpm jika digunakan untuk uji disolusi sediaan suspensi.
Akan tetapi, metode paddle umumnya digunakan untuk bentuk sediaan oral padat,
khususnya tablet.
Gambar 2.4 Alat Uji Disolusi Paddle
3. Reciprocating Cyllinder
Alat yang digunakan terdiri atas serangkaian wadah gelas silindris dengan
dasar datar yang dilengkapi dengan reciprocating cyllinder yang berfungsi untuk uji
disolusi dari bentuk sediaan extended release, terutama sediaan yang pelepasannya
dimodifikasi dengan tipe butiran (bead) tertentu. Pada metode ini, enam sampel
dilakukan pengujian dengan alat yang telah dijelaskan di atas pada suhu 37°C.
4. Flow-Through Cell
Pada metode ini, digunakan alat yang terdiri atas suatu reservoir yang
berfungsi sebagai media disolusi dan suatu pompa yang berfungsi untuk mendorong
media disolusi untuk melewati sel yang menahan cuplikan uji. Laju aliran memiliki
rentang antara 4 hingga 16 mL/menit. Sejumlah enam sampel yang diuji dan media
disolusi dipertahankan pada suhu 37°C. Metode ini dapat digunakan untuk pengujian
disolusi sediaan obat yang pelepasannya dimodifikasi dan mengandung bahan aktif
dengan tingkat kelarutan yang terbatas.
5. Paddle over Disk
Alat yang digunakan pada metode ini terdiri atas suatu penahan cuplikan atau
rakitan piringan yang berfungsi untuk menahan sampel. Keseluruhan sediaan
ditempatkan di dalam suatu labu pelarutan yang terisi dengan media tertentu yang
dipertahankan pada suhu 32°C. Dayung ditempatkan langsung di atas rakitan
piringan, sedangkan sampel diambil pada pertengahan antara permukaan media
disolusi dan ujung pisau dayung pada waktu tertentu.
6. Silinder
Alat uji disolusi silinder berfungsi untuk menentukan disolusi sediaan
transdermal yang dimodifikasi dari metode basket. Pada metode silinder, keranjang
diletakkan di atas suatu silinder baja yang digunakan untuk menahan sampel,
sedangkan sampel diletakkan pada cuprophan dan keseluruhan sistem ditempelkan
pada silinder baja tersebut. Pengujian disolusi obat dengan metode ini dilakukan pada
suhu 32°C dan sampel yang akan dianalisis diambil pada pertengahan antara
permukaan media disolusi dan ujung silinder yang berputar.
7. Reciprocating Disk
Pada uji disolusi menggunakan alat ini, digunakan suatu rakitan motor
penggerak yang berfungsi untuk membalik sistem secara vertikal dan sampel
ditempatkan pada penahan yang berbentuk piringan dengan menggunakan
pendukung cuprophan. Pengujian disolusi dengan metode ini dilakukan pada suhu
32°C dan frekuensi pembalikan sekitar 30 siklus dalam satu menit dengan kriteria
penerimaan yang tercantum dalam monografi setiap bahan aktif yang digunakan
sebagai sampel.
2.5 Paracetamol
Parasetamol adalah obat golongan analgesik yang berfungsi untuk meredakan
rasa nyeri ringan hingga sedang akibat sakit kepala, sakit gigi, menstruasi, sakit
punggung hingga terkilir. Selain meredakan nyeri, parasetamol juga memiliki fungsi
untuk menurunkan demam. Parasetamol bekerja dengan cara menghambat proses
produksi prostaglandin di dalam tubuh. Prostaglandin merupakan salah satu zat kimia
yang memiliki peranan dalam transmisi pesan rasa sakit yang dikirim ke otak sehingga
ketika proses produksi prostaglandin dihambat dengan penggunaan parasetamol, maka
rasa sakit yang tengah dialami oleh tubuh seperti sakit kepala, nyeri badan hingga
demam akan terus berkurang. Parasetamol memiliki nama kimia sistematis sebagai n-4
hidroksifenil ethanamide dengan rumus molekul C8H9NO2 dan bobot molekul sebesar
151,17 g/mol. Struktur parasetamol terdiri atas sebuah cincin benzen yang tersubstitusi
oleh gugus hidroksil (-OH) dan atom nitrogen dari gugus amida yang berada pada posisi
para (1,4) sehingga senyawa tersebut dinamai dengan para-asetaminofenol yang
A. Alat
1. Alat-alat gelas
2. neraca analitik
3. spektrofotometer
4. alat uji disolusi (apparatus 2)
B. Bahan
1. Tablet parasetamol 500 mg
2. Akuades
3. baku pembanding parasetamol
4. KH2PO4
5. NaOH
C. Cara Kerja
1. Pembuatan NaOH 0,2 M
.
Dipindahkan ke labu takar 10 ml kemudian ditambahkan medium sampai tanda batas kalibrasi
Apabila absorbansi larutan berada pada kisaran 0,2-0,8, data tersebut dapat langsung digunakan untuk
membuat kurva kalibrasi
6. Uji Disolusi
1) Metode Sampling :
absorbansi ( y )−(a)
Konsentrasi parasetamol (μg/mL) =
( b)
Konsentrasi parasetamol terlarut (μg/mL) = Konsentrasi parasetamol (μg/mL) ×
Faktor pengenceran
Jumlah parasetamol terlarut (mg)3 = Konsentrasi parasetamol (μg/mL) × Faktor
pengenceran × Volume medium
Jumlah parasetamol terlarut(mg)3
% Parasetamol terlarut = ×100 %
500
4.2 Pembahasan
Disolusi adalah suatu proses kinetik, dengan demikian untuk mengetahui
proses disolusi maka dilakukan pengamatan terhadap jumlah zat aktif yang terlarut ke
dalam medium sebagai fungsi waktu (Fudholi, 2013). Faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi bentuk sediaan padat dapat dibagi ke dalam 4 kategori utama yaitu:
sifat fisika kimia obat, formulasi produk obat, proses pembuatan sediaan, dan kondisi uji
disolusi. Beberapa faktor eksternal yang terkait dengan kondisi percobaan dalam uji
disolusi dapat mempengaruhi kecepatan disolusi, antara lain: intensitas pengadukan,
macam dan komposisi medium, suhu, dan model alat disolusi yang digunakan (Fudholi,
2013).
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju disolusi sediaan obat antara lain
kelarutan, ukuran partikel, dan kristalisasi obat. Sifat-sifat kimia, fisika, bentuk obat dan
juga fisiologis dari sistem biologis mempengaruhi kecepatan absorbsi suatu obat dalm
tubuh. Oleh karena itu konsentrasi obat, bagaimana kelarutannya dalam air, ukuran
molekulnya, pKa dan ikatan proteinnya adalah faktor-faktor kimia dan fisika yang harus
dipahami untuk mendesain suatu sediaan. Hal ini meliputi faktor difusi dan disolusi obat.
Faktor formulasi dapat mempengaruhi laju uji disolusi. Berbagai macam bahan
tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan
obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan
bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan
tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan
antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat
membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat
yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah
obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang
diabsorpsi.
Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses
absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan ke seluruh cairan dan jaringan
tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang cepat, berarti
efek yang ditimbulkan juga akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya. Mekanisme
yang terjadi bila suatu obat di minum, disolusi merupakan fase pertama dari kerja suatu
obat. Dalam saluran gastrointestinal, obat perlu dilarutkan agar dapat diabsorpsi. Obat
dalam bentuk padat harus disintegrasi menjadi partikel-partikel kecil agar dapat larut
dalam cairan. Jadi disintegrasi adalah pemecahan sediaan obat padat menjadi partikel-
partikel yang lebih kecil, disolusi melarutnya partikel-partikel yang lebih kecil itu dalam
cairan gastrointestinal untuk diabsorpsi.
Pada pratikum kali ini dilakukan uji disolusi terhadap tablet paracetamol. Tujuan di lakukan
uji disolusi ini untuk mengetahui seberapa cepat kelarutan suatu tablet ketika kontak dengan
cairan tubuh, sehingga dapat diketahui seberapa cepat keefektifan obat yang diberikan
tersebut.
Daftar Pustaka
Bhowmik, D., Gopinath and Kumar, K.P.S. 2012. Controlled Release Drug Delivery Systems.
The Pharma Innovation Journal. 1(10): 24-32
Diyanti, risma. 2019. Studi perbandingan metode uji disolusi sediaan fast dissolving film
amlodipin besilat menggunakan aparatus tipe v dan metode franz diffusion cell.
Universitas sriwijaya.
Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi ke IV. Jakarta Hal. 649, 1085
Fudholi, a., 2013. Disolusi dan pelepasan obat in vitro. Pustaka pelajar, yogyakarta.
Paarakh, m.p., jose, p.a., setty, c., dan peter, g.v., 2018. Release kinetics – concepts and
applications. International journal of pharmacy research & technology, 8: 9.
Ramteke, k.h., dighe, p.a., kharat, a.r., dan patil, s.v., 2014. Mathematical models of drug
dissolution: a review. Sch. Acad. J. Pharm., 3: 388–396.
Shaikh, H.K., Kshirsagar, R.V., Patil, S.G. 2015. Mathematical Model for Drug Release
Characterization: A Review. World Journal of Pharmaceutical Research. 4(4): 324-
338.
Shargel, L., Susanka, W.P., Andrew, B.C.Y. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika
Terapan Edisi Kelima. Surabaya: Airlangga University Press