LP Kelolaan Kasus Head Injury
LP Kelolaan Kasus Head Injury
LP Kelolaan Kasus Head Injury
PENDAHULUAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis dan akibat
paling fatal adalah kematian. Asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala
2008)
separuh dari seluruh kematian akibat trauma disebabkan oleh cedera kepala.
Cedera kepala merupakan keaadan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan
dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Ada 1,25
juta kematian lalu lintas diseluruh dunia setiap tahunnya, dengan jutaan lainnya
menderita luka serius dan hidup dengan konsekuensi kesehatan jangka panjang
yang merugikan secara global, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama
kematian di kalangan anak muda, dan penyebab utama kematian diantara mereka
yang berusia 15-29 tahun. Hampir setengah dari setengah kematian di jalan-jalan
dunia termasuk di antara mereka yang paling tidak memiliki pengaman pada
pengendara sepeda motor, pengendara sepeda dan pejalan kaki. Presentase jenis
(RISKESDAS) tahun 2018, jumlah data yang dianilis seluruhnya 1.027.758 orang
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
2. Bagi Pembaca
Untuk menambah referensi dan bahan ajar mengenai asuhan keperawatan pada
B. Anatomi Fisiologi
C. Klasifikasi
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut:
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi
kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang
dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusio atau temotom
(sekitar 55%).
2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran
atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak,
disorientasi ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24
jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau
edema. Selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai
berikut :
a. Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak
tulang tengkorak.
b. Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai
edema cerebra.
c. Glasgow Coma Seale (GCS) :
Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada
tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas
pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera
kepala. Evaluasi ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien,
verbal dan respon membuka mata.
a) Skala GCS :
1) Membuka mata :
Spontan :4
Dengan perintah : 3
Dengan Nyeri :2
Tidak berespon :1
2) Motorik :
Dengan Perintah :6
Melokalisasi nyeri :5
Menarik area yang nyeri : 4
Fleksi abnormal :3
Ekstensi :2
Tidak berespon :1
3) Verbal :
Berorientasi :5
Bicara membingungkan :4
Kata-kata tidak tepat :3
Suara tidak dapat dimengerti :2
Tidak ada respons :1
D. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma olehbenda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan/energi yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan
(akselerasi-deselerasi) pada otak, selain itu dapat disebabkan oleh kecelakaan,
jatuh, trauma akibat persalinan (Aprilia, 2017).
E. Manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.
F. Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler.Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera
kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada epidural
hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan durameter,
subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter
dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah berkumpulnya darah
didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala terjadi karena
hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan
perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak. (SARI, 2019)
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek
pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya
duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui
batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa
ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga
kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan
kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang
progresif dan terjadi penurunan Tekanan
Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler. Cedera
Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP – ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak.
Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin
parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok,
hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid
a.l.glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat)
dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks
berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif
serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan
kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown)
melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak
diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair
membran tersebut). Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan
terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang
berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic
bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan
akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
G. Pathway
H. Komplikasi
1. Perdarahan intra cranial
2. Kejang
3. Parese saraf cranial
4. Meningitis atau abses otak
5. Infeksi pada luka atau sepsis
6. Edema cerebri
7. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
8. Kebocoran cairan serobospinal
9. Nyeri kepala setelah penderita sadar
K. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas
darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun
thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial. (Musliha, 2010).
L. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah
terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor
sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak.
Penatalaksanaan umum adalah:
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofusin,
aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikana makanan lunak, Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari),
tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer
dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-
3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.
Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:
1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenisasi adekuat
3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid
5. Peningkatan kepala tempat tidur
6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain yaitu:
1. Dukungan ventilasi
2. Pencegahan kejang
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4. Terapi anti konvulsan
5. Klorpromazin untuk menenangkan klien
6. Pemasangan selang nasogastrik.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea.
Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama
memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak
boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
2. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas
yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
3. Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik
dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu
kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil.
5. Exposure dan Environment control
6. Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
b. Pengkajian sekunder
1. Identitas :
nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi badan,
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota keluarga, agama.
2. Riwayat kesehatan:
waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran
saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
3. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
b. Tanda :Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,
ataksia, cara berjalan tidak tegang.
4. Sirkulasi
a. Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.
5. Integritas Ego
a. Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
b. Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
6. Makanan/cairan
a. Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
b. Tanda : muntah, gangguan menelan.
7. Eliminasi
a. Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.
8. Neurosensori
a. Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope,
kehilanganpendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman,
perubahan penglihatan seperti ketajaman.
b. Tanda:Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris.
9. Nyeri/kenyamanan
a. Gejala : Sakit kepala.
b. Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
10. Pernafasan
a. Tanda: Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
11. Keamanan
a. Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
b. Tanda: Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis,
demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
12. Interaksi sosial
a. Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria.
C. Masalah Keperawatan
1. Resiko Ketidakefektifanperfusijaringan serebral
2. Ketidakefektifanbersihan jalan nafas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer
5. Kerusakan integritas jaringan kulit
Prioritas Masalah
1. Ketidakefektifanperfusijaringan serebral
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ketidak efeketifan perfusi jaringan perifer
5. Kerusakan integritas jaringan kulit
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1. Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral b/d Faktor resiko:
a. Perubahan status mental
b. Perubahan perilaku
c. Perubahan respon motorik
d. Perubahan reaksi pupil
e. Kesulitan menelan
f. Kelemahan atau paralisis ekstremitas
g. Paralisis
h. Ketidaknormalan dalam berbicara
i. Ketidakefektifanbersihan jalan nafas
Faktor berhubungan:
a. Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif
b. Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme
jalan napas
c. Fisiologis; kelainan dan penyakit
Batasan karakteristik:
a. Subjektif : Dispnea
b. Objektif
1) Suara napas tambahan
2) Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan
3) Batuk tidak ada atau tidak efektif
4) Sianosis
5) Kesulitan untuk berbicara
6) Penurunan suara napas
7) Ortopnea
8) Gelisah
9) Sputum berlebihan
10) Mata terbelalak
2. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer b/d Faktor berhubungan:
a. diabtes militus
b. gaya hidup kurnag gerak
c. hipertensi
d. kurang pengetahuan tentang faktor pemberat
e. kurang pengetahuan tentang proses penyakit
f. merokok
Batasan karakteristik:
a. Subjektif : Perubahan sensasi
b. Objektif
1) Perubahan karakteristik kulit
2) Perubahan tekanan darah pada ekstremitas
3) Klaudikasi
4) Kelambatan penyembuhan
5) Nadi arteri lemah
6) Edema
7) Tanda human positif
8) Kulit pucat saat elevasi, dan tidak kembali saat diturunkan
9) Diskolorasi kulit
10) Perubahan suhu kulit
11) Nadi lemah atau tidak teraba
12) Kerusakan integritas jaringan kulit b/d
Faktor berhubungan :
1) Cedera jaringan
2) Jaringan rusak
3) Batasan karakteristik
4) Kerusakan pada lapisan kulit
5) Kerusakan pada permukaan kulit
6) Invasi struktur tubuh
3. Ketidak efektifan pola nafas Faktor berhubungan:
a. Ansietas
b. Cidera medula spinalis
c. Disfungsi neuromuskular
d. Gangguan neuromuskular
e. Gangguan neurologis
f. Hiperventilasi
g. Keletihan
h. Keletihan otot pernapasan
i. Nyeri
j. Obesitas
k. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, H. (2017). Gambaran status fisiologis pasien cedera kepala di IGD RSUD
Ulin Banjarmasin tahun 2016. Dinamika Kesehatan: Jurnal Kebidanan Dan
Keperawatan, 8(1), 237–249.
Gifani, F. N. (2017). Gambaran Penanganan Pasien Cedera Kepala Di Instalasi
Gawat Darurat Rs Dustira Tahun 2016.
SARI, D. D. (2019). Asuhan keperawatan pada Tn A denga kasus cedera kepala
berat di ruang IGD RSUD H. Hanafie Muara Bungo Tahun 2019.
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA.
Tobing, H. G., Susanto, M., Ichwan, S., Sadewo, W., Timan, I. S., Priyambodo, A.,
Aman, R. A., Ashari, S., Tandian, D., & Saekhu, M. (2020). Status Koagulasi
Pasien Cedera Kepala Sedang Berdasarkan Tromboelastografi dan Hemostasis
Konvensional. EJournal Kedokteran Indonesia.
Wibowo, D. (2016). Hubungan Antara Faktor Pre-Hospital Stage Dengan Komplikasi
Sekunder Pada Pasien Cedera Kepala Berat Setelah Kedatangan Pasien Di IGD
RSUD Ulin Banjarmasin. Dinamika Kesehatan: Jurnal Kebidanan Dan
Keperawatan, 7(2), 250–265.