LP Peritonitis Mawar
LP Peritonitis Mawar
LP Peritonitis Mawar
JEMBER
NIM :2201031035
MUHAMMADIYAH JEMBER
2022
BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT
Peritoneum berasal dari bahasa yunani yaitu “peri” yang berarti sekitar dan
tonos yang berarti peregangan yang ketika digabungkan keduanya memiliki arti
membentang di sekitar. Peritoneum adalah sebuah membran yang dilapisi oleh selapis
sel mesotelial, luasnya sebesar 1,7m² hampir sama dengan luas total permukaan tubuh.
Rongga peritoneal mengandung beberapa mililiter cairan peritoneal yang steril dan
berperan sebagai pertahanak lokal terhadap bakteri. Lapisan peritoneum parietal dan
visceral memiliki ruangan diantara keduanya, ruangan tersebut disebut kantong
piretoneum. Pada laki-laki kantong peritoneum tertutup sedangkan pada perempuan
kantong piretonium terbuka yaitu pada saluran telur atau tuba fallopi yang membuka
masuk ke adama rongga peritoneum. Di dalam kantong tersebut memiliki banyak
lipatan atau kantong yang terdapat dalam peritoneum sebuah lipatan besar yaitu
omentum. Omentum dibagi menjadi dua yaitu omentum minus dan majus. Omentum
majus atau mayor kaya akan lemak bergantungan di sebelah depan lambung. Omentum
minus atau mayor berjalan dari porta hepatis setelah menyelaputi hati ke bawah. Kolon
juga terbungkus peritoneum ini, kedua omentum mayor dan minor ini mesentrium usus
halus dan meso kolon memmuat penyaluran darah vaskuler dan limfe dari organ-organ
yang diselimutinya (Simbiring 2018).
Fungsi peritoneum adalah menutupi sebaian besar organ-organ abdomen dan pelvis,
membenruk perbatasan halus yang memungkinkan organ saling bergeseran tanpa ada
penggasakan. Kelenjar limfe dan pembuluh darah ada di dalam peritoneum, maka
peritoneum ini berfungsi untuk melindungi terhadap infeksi. Fungsi lain peritoneum
adalah setengah bagiannya memiliki membran basal semipermiabel yang berguna untuk
difusi air, elektrolit, makro maupun mikro sel. Oleh karena itu peritoneum digunakan
sebagai media cuci darah yaitu peritoneal dialisis (Pearcce, 2009).
1.2 Definisi Peritonitis
1.3 Epidemiologi
Prevalensi kasus peritonitis di dunia masih sangat tinggi, peritonitis akut terjadi
pada 9,3 pasien per 1000 pasien yang masuk ke rumah sakit .Peritonitis adalah
kegawatdaruratan bedah yang paling sering terjadi di dunia. Peritonitis banyak terjadi
pada negara-negara dengan pendapatan menengah kebawah seperti pada negara afrika
sub-sahara dengan tingkat prevalensi 915 kematian. Kasus baru ditemukan sebanyak
305 kasus yaitu kasus ulkus gastrointestinal, perforasi apendisitis dan perforasi ileum
thypoid. Tingkat kematian setelah dilakukan operasi peritonitis akut bervariasi antara
(8,4%) dan (34%) yang disebabkan oleh perforasi ileum thypoid sebanyak (34,7%),
setelah operasi peritonitis sebanyak (19,5%), perforasi ulkus peptikum sebanyak
(15,2%), perforasi apendisitis sebanyak (8,7%), dan perforasi kolon sigmoid sebanyak
(8,7%) (Touchie dkk, 2020).
Penelitian di India mendapatkan hasil selama 3 tahun terdapat 545 pasien yang
menderita peritonitis sekunder yang sedang menjalani pengobatan, (48,44%)
diakibatkan oleh perforasi gastroduenal, (36,1%) diakiabtkan oleh infeksi luka. Di
dalam penelitian ini pasien yang menderita peritonitis sekunder di dominasi oleh laki-
laki yaitu sebanyak 461 pasien (84,58%) dengan angka kematian (8,4%) (Sarathi gosh
dkk, 2016). Peritonitis tuberkolosis merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi
paling banyak dengan angka kejasian 0,4-2% dari semua kasus tuberkolosis yang ada
terutama pada negara-negara maju. Di indonesia khususnya padang terdapat 144 kasus
peritonisis tuberkolosis dalam satu tahun pada tahun 2013 yang sedang rawat inap
(Japanesa dkk, 2016).
1.4 Etiologi
Penyebab terjadinya peritonitis adalah bakteri, bakteri ini masuk ke rongga
peritoneum yang mengakibatkan terjadinya peradangan. Peritonitis ini juga bisa
disebabkan oleh kalinan di dalam abdomen berupa inflamasi seperti perforasi
apendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi thypoid abnominalis, ileus obstruktif dan
perdarahan. Menurut Hidayati dkk. (2018) peritonitis berdasarkan penyebabnya dibagi
menjadi dua yaitu disebabkan dari dalam tubuh dan dari luar tubuh yaitu :
a. Dari dalam tubuh :
1) infeksi bakteri : Peritonitis yang disebabkan oleh infkesi yang menyebar dari
saluran pencernaan seperti adanya bakteri atau jamur seperti eschericia coli dan
stafilokokus,
2) Apendisitis : Apendisitis yang meradang dan adanya perforasi yaitu bakteri
masuk ke peritoneum melalui lubang pada saluran pencernaan,
3) Pankreatitis : adanya peradangan pada pankreas yang mengakibatkan infeksi dan
dapat menyebabkan peritonitis apabila bakteri menyebar secara luas
4) Divertikulisis : yaitu infeksi kantong kecil yang menonjol pada saluran
pencernaan, hal tersebut bisa mengakibatkan peritonitis apabila saah satu kantong
pecah ke dalam rongga abdomen
b. Dari luar tubuh :
1) pembedahan medis : ketika dilakukan pembedahan medis yang tidak steril dapat
menyebabkan infeksi dikarenakan dikarenakan lingkungan yang kotor, kurang
terjaganya kebersihan, peralatan yang terkontaminasi, komplikasi dari operasi
pencernaan dan komplikasi kolonoskopi atau endoskopi.
2) Trauma pada kecelakaan : dapat menyebabkan peritonitis apabila bakteri atau
bahan kimia dari bagian organ tubuh lain memasuki peritoneum
1.5 Klasifikasi
Menurut Wyers & Matthews (2016) Klasifikasi peritonitis menurut penyebabnya dibagi
menjadi 3 yaitu primer, sekunder dan tersier:
1. Peritonitis primer
Peritonitis primer merupakan infeksi pada peritoneum yang tidak berhubungan
dengan abnormalitas organ dan biasanya terjadi secara spontan. Peritonitis primer
bisa juga disebabkan karena penyebaran infeksi melalui darah dan kelenjar getah
bening di peritoneum. Peritonisis primer biasanya sering dikaitkan dengan penyakit
sirosis hepatis yang biasanya dikenal dengan spontaneounus bacterial peritonitis
(SBP). Pasien sirosis hepatis yang mengalami asites biasanya akan rentan terhadap
infeksi bakteri, hal ini disebabkan karena mekanisme pertahanan tubuh yang tidak
adekuat. Peritonitis juga bisa disebakan karena penggunaan atau pemasangan kateter
peritoneum dimana terdapat akses untuk masuknya benda asing ke dalam rongga
peritoneum yang bisa menyebabkan peritonitis
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder terjadi disebabkan arena adanya proses inflamasi pada rongga
perinoteum yang bisa disebabkan karena adanya inflamasi, perforasi, san gangren
dari stukrut intraabdominal. Contoh dari peritonitis sekunder yang paling sering
ditemui adalah perforasi apendisistis, ulkus peptikum, divertikulisis dan komplikasi
pasca operasi merupakan beberapa penyebab yang sering ditemui pada peritonitis
sekunder. Penyebab lain terjadinya peritonitis sekunder adalah bocornya darah
kedalam rongga peritoneal yang disebabkan robekan pada kehamilan di tuba fallopi
dan kista
3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier yaitu peritonitis berulang dari rongga peritoneum setelah
dilakukannya terapi peritonitis sekunder. Peritonitis tersier biasanya timbul setelah
48 jam pengobatan peritonitis sekunder. Peritonitis ini terjadi ketika imunitas pasien
tidak adekuat sehingga terjadi disfungsi pada organ abdomen.
1.6 Patofisiologi
Peritonitis disebabkan dari berbagai penyebab baik infeksius ataupun non-
infeksius yang menyebabkan terjadinya peradangan pada peritoneum viseral dan
parietal. Ketika ada inflamasi respon awal peritoneum terhadap infeksi adalah adanya
vasodilatasim edema pada jaringan, transudasi cairan dan masuknya makorofag dan
keukosit sebagai tanda inflamasi. Invasi oleh bakteri pada peritoneum mengakibatkan
keluarnya eksudat fibrinosa terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat fibrosa
dari peritoneum yang kemudian terbentuk kantong-kantong nanah (abses) diantara
perlekatan fibrosa yang menempel. Perlekatan biasanya menghilang apabila infeksi
menghilang, tetapi bisa menetap dan menjasi pita-pita fibrosa yang dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi usus. Apabila abses menyebar kepada semua permukaan pertoneum
dapat memnimbulkan peritonitis generalisata yang menyebabkan aktivitas peristaltik
usus berkurang sehingga mengakibatkan ileus paralitik yang kemudian usus menjadi
meregang. Cairan dan elektrolit akan menurun dikarenakan caira masuk ke dalam lumen
usus yang mengakibatkan dehidrasi syok (Sembiring 2018).
1. 9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan peritonitis bisa dilakukan dalam dua hal yaitu pre operatif dan pos
operatif. Menurut Japanesa dkk. (2016) penatalaksanaan peritonitis adalah :
1. Penanganan preoperatif
a) Resusitasi Cairan
Pengembalian volume cairan melalui intravaskular yang diperlukan untuk
menjaga produksi urin tetap baik dan menjaga keseimbangan status hemodinamik
tubuh. Cairan yang diberikan adalah cairan lartan kristaloid dan koloid, cairan
koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan akan tetapi cairan koloid
harganya lebih mahal sehingga biasanya tenaga kesehatan medis menggunkan
cairan kristaloid dengan jumlah yang lebih besar.
b) Antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk melawan kuman aerob atau anaerob yang
menginfeksi peritoneum. Terapi antibiotik ini biasanya digunakan sebelum dan
setelah pasien dilakukan pembedahan. Banyak jenis antibiotik yang bisa
digunakan secara tunggal atau bisa dikombinasikan antara lain sefalosporin,
betalaktam, metronidazil dan aminoglikosida
c) Oksigen dan ventilator
Pemberian oksigen pada peritonitis biasanya diberikan kepada pasien peritonitis
dengan hipoksemia. Oksigen perlu diberikan dikarenakan ketika mengalami
peritonitis biasanya terjadi peningkatan metabolisme tubuh akibat adanya infeksi
sehingga menimbulkan gangguan ventilasi pada paru-paru.
d) Pemasangan kateter urin dan monitor hemodinamik
Pemasangan keteter urin digunakan untik mengetahui fungsi dari kandung kemih
dan pengeluaran urin. Memonitor tanda tana vital setiap 4 jam sekali.
2. Operatif (Pembedahan)
Terapi yang dilakukan untuk peritonitis adalah tindakan operasi (pembedahan).
Operasi ini bertujuan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi pertoneum.
Tindakan pembedahan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus. Beberapa
tindakan pembedahan yang bisa dilakukan untuk mengatasi peritonitis adalah :
a) Kontrol sepsis
Tujuan pembedahan pada peritonitis adalah untuk menghilangkan sepsis dan
mencegah kompilkasi lebih lanjut. Kontrol sespis ini dilakukan dengan insisi.
Insisi merupakan teknik operasi yang terbaik, insisi dilakukan dengan
membuang jaringan yang terkontaminasi yang sudah menjadi abses atau
nekrosis
b) Peritoneal Drainage
Peritoneal drainage ini efektif digunakan pada peritonitis ditempat yang
terlokalisir dan melekat pada dinding yang biasanya gagal untuk masuk ke
rongga peritoneum. Pembedahan ini dilakukan dengan cara mencuci atau
mengirigasi semua rongga pertoneum untuk mengeluarkan semua bakteri akan
keluar setelah irigasi. Cairan yang digunakan yaiyu 3 liter cairan fisiologis saline
atau ringer laktat untuk membersihkan ous, feses, bahan nekrotik dan kemudian
cairan tersebut akan dibuang. Prosedur drainage ini dilakukan berulang sampai
semua rongga peritoneum bersih dari semua bakteri
c) Pembedahan Laparotomi
Laparotomi merupakan pilihan utama untuk menemukan infeksi peritoneal
dengan ditemukannya pus yang kemudian dilakukan piihan antibiotik sebagai
terapi.
d) Pembedahan Laparoskopi
Laparoskopi ekftif untuk peritoitis dengan apendisitis akut, perofrasi ulkus
duodenum dan perforasi kolon
3. Penanganan pos operatif
Monitor tanda-tanda vital secara intensif, pemberian cairan dan elektrolit, dan
bantuan ventilator pada klien yang tidak stabil untuk mencapai stabilitas pembedahan
odinamik dan perfusi organ-organ vital. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari
bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan
produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan
keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan
keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal
dapat menurunkan resiko infeksi sekunder
1.10. Pathway
Inflamasi pada
rongga peritoneum
Peritonitis
Hambatan Rasa
Nyaman
BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
B. Diagnosia Keperawatan
Diganosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan peritontis menurut
SDKI (2017) antara lain :
1 Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x Manajemen jalan napas I.01011 Ns. Tita
D.0005 24 jam diharapkan pola nafas tidak efektif 1. Monitor pola napas
pasien dapat teratasi dengan kriteri hasil : 2. Monitor bunyi napas tambahan
Pola Napas L. 601004 : 3. Monitor sputum
No Indikator Awal Tujuan 4. Memposisikan pasien semi fowler atau
1 2 3 4 5 fowler
nafas pasien
Hidayati Afif Nurul, Ikbar M. Ilham Adika dan Rosyid Nur A. 2018. Gawat Darurat
Medis dan Bedah. Airlangga University Press : Surabaya
Japanesa A., Zahari Asril dan Rusjdi Renita Selfi. 2016. Pola Kasus dan
Penatalaksanaan Peritonitis Akut di Bangsal bedah RSUP Dr. M. Djamil padang.
Journal Kesehatan anadalas : Vol 5 (1).
Pearce Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia
Sarathi Ghosh., Mukherjee R, Sarkar S, Halder dan Dhar Debasis. 2016. Epidemiology
of Secondary Peritonitis : Analysis of 545 cases. International Journal of
Scientific study : Vol (3) issue (12)
SDKI DPP PPNI 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
SLKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tochie J.N., Agboor V.N, Leonel, Mbonda dan Darwang. 2020. Global Epidemiology
of Acute Generalised peritonitis : A Protocol For a Systematic review an Meta
Analysis. BMJ Open.
Wyers, S. G & Matthews. 2016. Surgical peritonitis and Other Disease of The
Peritoneum, Mesentry, Omentum and Diaphragm’in Slesenger and Fordtran’s
Gastrointentinal and Liver Disease. United Stase of Amerika 634-641