Asuhan Keperawatan Dengan Myasthenia Gravis
Asuhan Keperawatan Dengan Myasthenia Gravis
Asuhan Keperawatan Dengan Myasthenia Gravis
I. Konsep Dasar
A. Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya,
seperti di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang
mengangkut sinyal antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini
disebut sebagai asetilkolin (ACh).
2
kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi
terus menerus.
B. Definisi
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah
bahasa Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius.
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular.
Miastenia gravis adalah gangguan yang memengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-
satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya terjadi
kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu
10-20 kali lebih lama dari normal).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh
fungsi saraf kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat
paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun.
4
D. Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga
kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin
(Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat
reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah:
1. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau
kelebihan kolinesterase
2. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
a. Infeksi (virus)
b. Pembedahan
c. Stress
d. Perubahan hormonal
e. Alkohol
f. Tumor mediastinum
g. Obat-obatan:
1) Antikolinesterase
2) Laksative atau enema
3) Sedatif
4) Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin,
erythromycin)
5) Potassium depleting diuretic
6) Narkotik analgetik
7) Diphenilhydramine
8) B-blocker (propranolol)
9) Lithium
10) Magnesium
11) Procainamide
12) Verapamil
13) Chloroquine
14) Prednisone
5
E. Patofisiologi
1. Narasi
6
2. Skema
Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan neuromuskular
Kelemahan otot
Hambatan
Ptosis & Diplopia Moblitas fisik
Ketidakefektivan
pola napas
Krisis Miastenia
Gangguan Citra Diri
Kematian
Risiko Cedera
7
F. Manifestasi Klinis
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah
mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan
berkurang setelah istirahat. Berbagai gejala yang muncul sesuai denagn otot
yang terpenagaruh, sebagai berikut:
1. Apabila otot simetri yang terkena, umumnya dihubungkan dengan saraf
kranial. Karena otot – otot okular terkena, maka gejala awal yang muncul
diplopia (penglihata ganda) dan ptosis (jatuhnya kelopak mata). Ekspresi
wajah pasien seperti sedang tidur terlihat seperti patung hal ini
dikarenakan otot wajah terkena
2. Pengaruh terhadapa laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam
pembentukan bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata
kata. Kelemahan pada otot otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah
dan menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi.
3. Sekitar 15% sampai 20% keluhan pada tangan dan otot otot lengan, pada
otot kaki mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh.
4. Kelemahan diafragma dan otot – otot interkostal menyebabkan gawat
nafas, yang merupakan keadaan darurat akut. (Keperawatan medikal
bedah, 2001).
G. Pemeriksaan Penunjang
Tes darah dikerjakan untuk menebtukan kadar antibody tertentu didalam
serum(mis, AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies,
antistriational antibodies). Tingginya kadar dari antibody dibawah ini dapat
mengindikasikan adanya MG.
Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan reflex. MG
dapat menyebabkan pergerakan mata abnormal, ketidakmampuanuntuk
menggerakkan mata secara normal, dan kelopak mata turun. Untuk
memeriksa kekuatan otot lengan dan tungkai, pasien diminta untuk
mempertahankan posisint melawan resistansi selama beberapa periode.
Kelemahan yang terjadi pada pemeriksaan ini disebut fatigabilitas.
Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk mendeteksi
adanya pembesaran thymoma, yang umum terjadi pada MG
8
Pemeriksaan Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosis MG. Enzim
acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot distimulasi,
mencegah terjadinya perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan
saraf tunggal. Edrophonium Chloride merupakan obat yang memblokir aksi
dari enzim acetylcholinesterase.
Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk merangsang
otot dan mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah
menandakan adanya MG.
H. Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia
gravis adalah:
a. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
b. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan
pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan.
Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak
bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda
adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi
dan antibiotik.
c. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan
dosis 50 ml/kg BB. Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis miastenik
karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor
asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
d. Terapi farmakologi
a. Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau
neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk
memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut neuromuskular.
Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat pada miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase
disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil,
9
kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi
bronkial berlebihan.
b. Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-seling/alternate days
dengan dosis awal kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu). Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis
diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan
memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian
prednisolon secara mendadak harus dihindari.
c. Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek samping
lebih sedikit jika dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa
gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia).
Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap
dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan
setiap bulan sekali.
d. Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun
I. Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat.
Ada dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis
(Corwin, 2009), yaitu:
1. Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak
pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal
menjadi lumpuh. Dalam kondisi ini, dibutuhkan antikolinesterase yang
lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak
memperoleh obat secara cukup, terjadi setelah pengalaman yang
menimbulkan stres seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan,
atau selama kehamilan, serta infeksi. Tindakan terhadap kasus ini
adalah:
a) kontrol jalan napas
b) pemberian antikolinesterase
c) bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
10
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan
(respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu,
karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan
dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis
terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan
seringkali dosis dapat diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak
sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi
berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol
dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu
sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka
terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Status hiperkolinergik
ditandai dengan peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil,
bradikardia, mual dan muntah, berkeringat, diare, serta dapat pula
timbul gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini adalah:
a. kontrol jalan napas
penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat
diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika
diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena sekret
saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau
mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus,
menyebabkan atelektasis. Kemudian, antikolinesterase dapat
diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah
b. bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan
tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan
sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan
perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
Perbedaan kedua krisis di atas secara rinci disajikan dalam tabel
berikut:
11
J. Pencegahan Myasthenia Gravis
Seperti pada penyakit autoimun lainnya, tidak ada yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya myasthenia gravis, karena bukan disebabkan oleh
sesuatu yang bisa kita hindari.
12
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dannstatus
2. Keluhan utama : kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat
dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan
pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan
miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan
pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata
pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik :
B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.
13
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola
pernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil :
Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
Bunyi nafas terdengar jelas
Respirator terpasang dengan optimal
Intervensi Rasional
1. Untuk klien dengan penurunan
kapasitas ventilasi, perawat
mengkaji frekuensi pernapasan,
kedalaman, dan bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi paru-
paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan interval
yang sering dalam mendeteksi
masalah pau-paru, sebelum
perubahan kadar gas darah arteri
dan sebelum tampak gejala klinik.
14
(nadi,RR) merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru
Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan klien dalam Menjadi data dasar dalam
melakukan aktivitas melakukan intervensi selanjutnya
15
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot
fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah
komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu
menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil :
Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat
dipenuhi
Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun
isyarat.
Intervensi Rasional
1. Kaji komunikasi verbal klien. Kelemahan otot-otot bicara klien
krisis miastenia gravis dapat
berakibat pada komunikasi
16
3. Beri peringatan bahwaklien Untuk kenyamanan yang
di ruang inimengalami berhubungan dengan
gangguanberbicara, sediakan ketidakmampuan komunikasi
bel khusus bila perlu
Intervensi Rasional
1. Kaji perubahan darigangguan Menentukan bantuan individual
persepsi danhubungan dengan dalam menyusun rencana
17
derajat ketidakmampuan perawatan atau pemilihan
intervensi.
18
Intervensi Rasional
1. Kaji keterbatasan gerak sendi Menentukan batas gerakan yang
akan dilakukan.
D. Evaluasi
1. Pola napas kembali efektif
2. Terhindar dari resiko cedera
3. Tidak terjadi hambatan dalam komunikasi
4. Citra tubuh klien meningkat
5. Hambatan mobilitas fisik menurun
19
DAFTAR PUSTAKA
20