0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
57 tayangan20 halaman

Asuhan Keperawatan Dengan Myasthenia Gravis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 20

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Dasar
A. Anatomi dan Fisiologi Neuromuscular Junction

Gambar Anatomi fisiologi neuromuscular junction

Dikutip dari (Conti-Fine BM, 2006).

Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang


anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP
ke otot rangka di sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron.
Sewaktu mendekati otot, akson membentuk banyak cabang terminal dan
kehilangan selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal akson ini
membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan satu dari
1
banyak sel otot yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut
juga serat otot, berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar
membentuk struktur mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke
cekungan dangkal, atau groove , di serat otot dibawahnya. Sebagian ilmuwan
menyebut neuromuscular junction sebagai “motor end plate”

Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya,
seperti di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang
mengangkut sinyal antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini
disebut sebagai asetilkolin (ACh).

Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan


dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage
Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan
terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel
tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami
docking pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang
terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic.
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR)
yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-
lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein,
yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-
subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang
Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx
Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada
membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu
(firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial
aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan
karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh
yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak
pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin

2
kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi
terus menerus.

B. Definisi
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah
bahasa Latin untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius.
Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular.
Miastenia gravis adalah gangguan yang memengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-
satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya terjadi
kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu
10-20 kali lebih lama dari normal).
Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan
umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh
fungsi saraf kranial. Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat
paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun. 

C. Klasifikasi Klinis Myasthenia Gravis


1. Kelompok I Myasthenia Okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat
ringan, tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok II Myasthenia Umum
a. Myasthenia umum ringan
progress lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-
otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena. Respon
terhadap terapi obat baik. Angka kematian rendah.
b. Myasthenia umum sedang
progress bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu
berlanjut semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka
dan bulbar. Disartria (gangguan bicara), disfagia (kesulitan menelan)
3
dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan Myasthenia
umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena. Respon terhadap
terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas, tetapi
angka kematian rendah.
c. Myasthenia umum berat
- Fulminan akut : progress yang cepat dengan kelemahan otot-otot
rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam
waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma paling
tinngi. Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis Myasthenik,
kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat
kematian tinggi.
- Lanjut : Myasthenia Gravis berat timbul paling sedikit 2 tahun
sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Myasthenia
Gravis dapat berkembang secara perlahan-lahan atau secara tiba-
tiba. Persentase thymoma menduduki urutan kedua. Respon
terhadap obat dan prognosis buruk.

Myasthenia Gravis bisa juga diklasifikasikan dengan lebih singkat dan


sederhana menjadi :

1. Golongan I = Gejala-gejalanya hanya terdapatpada otot-otot


ocular
2. Golongan II A = Myasthenia Gravis umum ringan
Golongan II B = Myasthenia Gravis umum berat
3. Golongan III = Myasthenia Gravis akut yang berat, yang juga
mengenai otot-otot pernafasan
4. Golongan IV = Myasthenia Gravis kronik yang berat

4
D. Etiologi
Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti, diduga
kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor asetilkolin
(Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular akibat
reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah:
1. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau
kelebihan kolinesterase
2. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
a. Infeksi (virus)
b. Pembedahan
c. Stress
d. Perubahan hormonal
e. Alkohol
f. Tumor mediastinum
g. Obat-obatan:
1) Antikolinesterase
2) Laksative atau enema
3) Sedatif
4) Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin,
erythromycin)
5) Potassium depleting diuretic
6) Narkotik analgetik
7) Diphenilhydramine
8) B-blocker (propranolol)
9) Lithium
10) Magnesium
11) Procainamide
12) Verapamil
13) Chloroquine
14) Prednisone

5
E. Patofisiologi
1. Narasi

Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya


kerusakan pada tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan
kemampuan atau hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada
sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya
penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sambungan
neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan
sebagai penyakit autoimun yang bersikap lansung melawan reseptor
asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.

Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi


yang menyerang salah satu jenis reseptor pada otot samping pada
simpul neuromukular-reseptor yang bereaksi terhadap neurotransmiter
acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel syaraf dan otot
terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang reseptor
acetylcholine sendiri-reaksi autoimun-tidak diketahui. Berdasarkan
salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus kemungkinan terlibat. Pada
kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan belajar bagaimana
membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi
sel otot (myocytes) dengan reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang
tidak diketahui, kelenjar thymus bisa memerintahkan sel sistem
kekebalan untuk menghasilkan antibodi yang menyerang acetylcholine.
Orang bisa mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini.
sekitar 65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami
pembesaran kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada
kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker
(malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki
antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap
enzim yang berhubungan dengan pembentukan persimpangan
neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa memerlukan
pengobatan berbeda.      

6
2. Skema

Gangguan autoimun yang merusak reseptor asetikolin

Jumlah reseptor asetikolin berkurang pada membrane


postsinaps

Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot karena kehilangan kemampuan atau
hilangnya reseptor normal membrane postsinaps pada sambungan neuromuskular

Penurunan hubungan neuromuskular

Kelemahan otot

Otot-otot okular Otot Wajah Otot Volunter Otot Pernapasan

Kelemahan Otot- Kelemahan otot-


Gangguan otot Levator Hambatan
otot rangka otot Pernapasan
palpebra komunikasi Verbal

Hambatan
Ptosis & Diplopia Moblitas fisik
Ketidakefektivan
pola napas

Krisis Miastenia
Gangguan Citra Diri

Kematian
Risiko Cedera

Sumber : Smeltzer, 2014

7
F. Manifestasi Klinis
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah
mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan
berkurang setelah istirahat. Berbagai gejala yang muncul sesuai denagn otot
yang terpenagaruh, sebagai berikut:
1. Apabila otot simetri yang terkena, umumnya dihubungkan dengan saraf
kranial. Karena otot – otot okular terkena, maka gejala awal yang muncul
diplopia (penglihata ganda) dan ptosis (jatuhnya kelopak mata). Ekspresi
wajah pasien seperti sedang tidur terlihat seperti patung hal ini
dikarenakan otot wajah terkena
2. Pengaruh terhadapa laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam
pembentukan bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata
kata. Kelemahan pada otot otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah
dan menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi.
3. Sekitar 15% sampai 20% keluhan pada tangan dan otot otot lengan, pada
otot kaki mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh.
4. Kelemahan diafragma dan otot – otot interkostal menyebabkan gawat
nafas, yang merupakan  keadaan darurat akut. (Keperawatan medikal
bedah, 2001).

G. Pemeriksaan Penunjang
Tes darah dikerjakan untuk menebtukan kadar antibody tertentu didalam
serum(mis, AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies,
antistriational antibodies). Tingginya kadar dari antibody dibawah ini dapat
mengindikasikan adanya MG.
Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan reflex. MG
dapat menyebabkan pergerakan mata abnormal, ketidakmampuanuntuk
menggerakkan mata secara normal, dan kelopak mata turun. Untuk
memeriksa kekuatan otot lengan dan tungkai, pasien diminta untuk
mempertahankan posisint melawan resistansi selama beberapa periode.
Kelemahan yang terjadi pada pemeriksaan ini disebut fatigabilitas.
Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk mendeteksi
adanya pembesaran thymoma, yang umum terjadi pada MG

8
Pemeriksaan Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosis MG. Enzim
acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot distimulasi,
mencegah terjadinya perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan
saraf tunggal. Edrophonium Chloride merupakan obat yang memblokir aksi
dari enzim acetylcholinesterase.
Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk merangsang
otot dan mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah
menandakan adanya MG.

H. Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia
gravis adalah:
a. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat
kekuatan
b. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan
pasca operasi dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan.
Melemahnya penderita beberapa hari pasca operasi dan tidak
bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan tanda
adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi
dan antibiotik.
c. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan
dosis 50 ml/kg BB. Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis miastenik
karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor
asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
d. Terapi farmakologi
a. Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau
neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk
memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut neuromuskular.
Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat pada miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase
disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil,

9
kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi
bronkial berlebihan.
b. Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-seling/alternate days
dengan dosis awal kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu). Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis
diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan
memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian
prednisolon secara mendadak harus dihindari.
c. Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek samping
lebih sedikit jika dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa
gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia).
Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap
dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan
setiap bulan sekali.
d. Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun

I. Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat.
Ada dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis
(Corwin, 2009), yaitu:
1. Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak
pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal
menjadi lumpuh. Dalam kondisi ini, dibutuhkan antikolinesterase yang
lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak
memperoleh obat secara cukup, terjadi setelah pengalaman yang
menimbulkan stres seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan,
atau selama kehamilan, serta infeksi. Tindakan terhadap kasus ini
adalah:
a) kontrol jalan napas
b) pemberian antikolinesterase
c) bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis

10
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan
(respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu,
karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan
dan dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis
terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan
seringkali dosis dapat diturunkan.
2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak
sengaja telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi
berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol
dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu
sedikit dan dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka
terhadap obat-obatan seringkali hanya parsial. Status hiperkolinergik
ditandai dengan peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil,
bradikardia, mual dan muntah, berkeringat, diare, serta dapat pula
timbul gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini adalah:
a. kontrol jalan napas
penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat
diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika
diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena sekret
saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau
mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus,
menyebabkan atelektasis. Kemudian, antikolinesterase dapat
diberikan lagi dengan dosis yang lebih rendah
b. bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan
tensilon 2-5 mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan
sementara pada krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan
perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.
Perbedaan kedua krisis di atas secara rinci disajikan dalam tabel
berikut:

11
J. Pencegahan Myasthenia Gravis
Seperti pada penyakit autoimun lainnya, tidak ada yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya myasthenia gravis, karena bukan disebabkan oleh
sesuatu yang bisa kita hindari.

12
II. Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dannstatus
2. Keluhan utama : kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat
dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan
pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan
miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan
pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata
pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
4. Pemeriksaan fisik :

a. B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan


akut, kelemahan otot diafragma
b. B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
c. B3(brain)       : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi
okular,jatuhnya mata atau dipoblia
d. B4(bladder)   : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi
urine,hilangnya sensasi saat berkemih
e. B5(bowel)     : kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan
peristaltik usus turun, hipersalivasi,hipersekresi
f. B6(bone)       : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot
yang berlebih

B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot
fasial atau oral
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

13
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi pola
pernapasan klien kembali efektif
Kriteria hasil :
 Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
 Bunyi nafas terdengar jelas
 Respirator terpasang dengan optimal

Intervensi Rasional
1.  Untuk klien dengan penurunan
kapasitas ventilasi, perawat
mengkaji frekuensi pernapasan,
kedalaman, dan bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi paru-
paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan interval
yang sering dalam mendeteksi
masalah pau-paru, sebelum
perubahan kadar gas darah arteri
dan sebelum tampak gejala klinik.

2. Kaji kualitas, frekuensi,Dan  Dengan mengkaji kualitas,


kedalaman frekuensi, dan kedalaman
pernapasan,laporkansetiap pernapasan, kita dapat mengetahui
perubahan yang terjadi. sejauh mana perubahan
kondisiklien.

3. Baringkan klien dalam posisi  Penurunan diafragma memperluas


yang nyaman dalam posisi daerah dada sehingga ekspansi
semifowler paru bisa maksimal

4. Observasi tanda-tanda vital  Peningkatan RR dan takikardi

14
(nadi,RR) merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru

2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal


Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam
kemungkinan cedera.
Kriteria hasil :
 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan
faktor resiko dan melindungi diri dari cedera.
 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan
keamanan

Intervensi Rasional
1. Kaji kemampuan klien dalam  Menjadi data dasar dalam
melakukan aktivitas melakukan intervensi selanjutnya

2. Atur cara beraktivitas klien  Sasaran klien adalah memperbaiki


sesuai kemampuan kekuatandan daya tahan. Menjadi
partisipan dalam pengobatan, klien
harus belajar tentangfakta-faakta
dasar mengenai agen-
agenantikolinesterase-kerja,
waktu, penyesuaiandosis, gejala-
gejala kelebihan dosis, dan efek
toksik. Dan yang penting pada
pengguaan medikasi dengan tepat
waktu adalah ketegasan.

3. Evaluasi Kemampuan  Menilai singkat keberhasilan dari


aktivitas motorik terapi yang boleh diberikan

15
3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan
pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot
fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah
komunikasi, mampu mengekspresikan perasaannya, mampu
menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil :
 Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat
dipenuhi
 Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun
isyarat.

Intervensi Rasional
1. Kaji komunikasi verbal klien.  Kelemahan otot-otot bicara klien
krisis miastenia gravis dapat
berakibat pada komunikasi

2. Lakukan metode komunikasi  Teknik untuk meningkatkan


yang idealsesuai dengan komunikasimeliputi
kondisiklien mendengarkan klien, mengulangi
apa yang mereka coba
komunikasikan dengan jelas dan
membuktikan yang
diinformasikan, berbicara dengan
klien terhadap kedipan mata
mereka dan atau goyangkan jari-
jari tangan atau kaki untuk
menjawab ya/tidak. Setelah
periode krisis klien selalu mampu
mengenal kebutuhan mereka.

16
3. Beri peringatan bahwaklien  Untuk kenyamanan yang
di ruang inimengalami berhubungan dengan
gangguanberbicara, sediakan ketidakmampuan komunikasi
bel khusus bila perlu

4. Antisipasi dan bantu  Membantu menurunkan frustasi


kebutuhan klien oleh karenaketergantungan atau
ketidakmampuan berkomunikasi

5. Ucapkan langsung kepada  Mengurangi kebingungan atau


klien dengan berbicara pelan kecemasan terhadap banyaknya
dan tenang,gunakan informasi. Memajukan stimulasi
pertanyaan denganjawaban komunikasi ingatan dan kata-kata.
”ya” atau”tidak” dan
perhatikanrespon klien

6. Kolaborasi: konsultasi ke ahli  Mengkaji kemampuan verbal


terapi bicara individual,sensorik, dan motorik,
serta fungsi kognitif untuk
mengidentifikasi defisit dan
kebutuhan terapi

4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan


komunikasi verbal
Tujuan : Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil :
 Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yangsedang terjadi
 Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
 Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri
dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.

Intervensi Rasional
1. Kaji perubahan darigangguan  Menentukan bantuan individual
persepsi danhubungan dengan dalam menyusun rencana
17
derajat ketidakmampuan perawatan atau pemilihan
intervensi.

2. Identifikasi arti dari  Beberapa klien dapat menerima


Kehilangan atau disfungsi dan mengatur beberapa fungsi
pada klien. secara efektif dengan sedikit
penyesuaian diri, sedangkan yang
lain mempunyai kesulitan
membandingkan mengenal dan
mengatur kekurangan.

3. Bantu dan anjurkan  Membantu meningkatkan perasaan


perawatan yang baik dan harga diri dan mengontrol lebih
memperbaiki kebiasaan dari satu area kehidupan

4. Anjurkan orang yang  Menghidupkan kembali perasaan


Terdekat untuk mengizinkan kemandirian dan membantu
klien melakukan hal untuk perkembangan harga diri serta
dirinya sebanyak-banyaknya mempengaruhi proses rehabilitasi

5. Kolaborasi: rujuk pada ahli  Dapat memfasilitasi perubahan


neuropsikologi dan konseling peran yang penting untuk
bila ada indikasi. perkembangan perasaan

5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.


Tujuan: Hambatan mobilitas fisik menurun
Kriteria Hasil:
 Pergerakkan ekstremitas meningkat = 5
 Kekuatan otot meningkat = 5
 Rentang gerak (ROM) meningkat = 5
 Kecemasan menurun = 5
 Gerakan tidak terkoordinasi = 1
 Gerakan terbatas menurun = 5
 Kelemahan fisik meurun = 5

18
Intervensi Rasional
1. Kaji keterbatasan gerak sendi  Menentukan batas gerakan yang
akan dilakukan.

2. Bantu klien ke posisi yang  Memaksimalkan latihan


optimal untuk latihan rentang
gerak.

3. Anjurkan klien melakukan  ROM dapat mempertahankan


latihan range of motion pergerakkan sendi.
secara akif jika
memungkinkan.

4. Beri reinforcement positif  Meningkatkan harga diri klien


setiap kemajuan klien

D. Evaluasi
1. Pola napas kembali efektif
2. Terhindar dari resiko cedera
3. Tidak terjadi hambatan dalam komunikasi
4. Citra tubuh klien meningkat
5. Hambatan mobilitas fisik menurun

19
DAFTAR PUSTAKA

Conti-Fine BM, Milani,Monica ,Kaminski,Henry J. 2006. Myasthenia gravis:


past, present, and future. The Journal of Clinical Investigation
116(Number 11).

Doenges, E Marilyn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta:


EGC.
Ilmu Penyakit Saraf S. Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2014.

Sherwood L. 2012 Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. In: Taut


Neuromuskular. 6 th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Smeltzer, C Suzanne, Brenda G Bare. 2014. Keperawatan Medikal
Medah Brunner dan Suddarth Ed. . E G C : Jakarta
www.mda.org.nz. Myasthenia Gravis. Muscular Dystrophy association of New
Zealand Inc. 2010.

20

Anda mungkin juga menyukai