Qanun Asasi Nahdlatul Ulama
Qanun Asasi Nahdlatul Ulama
Qanun Asasi Nahdlatul Ulama
Dosen pengampu
DR. Hj. Aminah, HJS, M. Pd
Disusun Oleh:
Primasari Asa Pratiwi (200204013)
Yesi Anita (200204014)
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufik dan
hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Qanun
Asasi Nahdlatul Ulama yang dalam bentuk maupun isinya sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca. Harapan penyusun, semoga makalah ini membantu
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penyusun
dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih
baik.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 22
4.1 Kesimpulan .................................................................................................. 22
4.2 Saran............................................................................................................ 22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 25.
1
Sejarah serta dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan, dan politik.2
Nahdlatul Ulama (NU) pada dasarnya adalah sebuah identitas kultural
keagamaan yang dianut mayoritas umat Islam di Nusantara. NU hadir antara
lain sebagai reaksi atas gerakan puritanisme (pemurnian Islam) dari bid’ah,
tahayyul, dan khurafat. Dimana gerakan puritanisme ini adalah gerakan yang
gemar menuding pihak lain sebagai ahli bid’ah dan sesat.3
Bagi kaum Nahdliyin, perbedaan tafsir, madzhab, atau aliran dalam tiap-
tiap agama adalah cermin dari keluasan makna yang terkandung dalam ajaran
kitab-kitab suci. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai bagian dari agama Islam harus
diyakini akan mampu menolong dan menyelamatkan umat, serta berbuat demi
kemaslahatan umat.
2
Mudzakkir Ali, Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Semarang: Wahid Hasyim
University Press, 2014, hlm. 245.
3
Said Aqil Siradj, Aktualisasi Ahlussunah wal Jama’ah, (makalah: 1997) dikutip Hilmy
Muhammadiyah Sulthon dalam NU: Identitas Islam Indonesia, hal.115.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Mutawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren, 2007, hlm. 45.
5
Agus Sunyoto, dkk. KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri, Jakarta: Dirjen
Kemendikbud RI, 2017, hlm. 19.
6
Said Aqil Siradj, Aktualisasi Ahlussunah wal Jama’ah, (makalah: 1997) dikutip Hilmy
Muhammadiyah Sulthon dalam NU: Identitas Islam Indonesia, hal.120.
3
Dengan demikian NU secara spesifik mempunyai kesadaran historis
dan kemampuan mereformasi kondisi yang secara kultural maupun
pemikiran yang relevan, artinya sesuai dengan kebutuhan umat di masa
lampau, masa kini, dan di masa yang akan datang. Hal ini diharapkan
menjadi pedoman bagi kaum Nahdliyin dalam berpikir dan bertindak untuk
kemaslahatan umat.
7
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim,
2015, hlm. xii.
8
Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2000,
hlm. 30. 9 Loc. Cit., PBNU, 2015, hlm. vii. 10 Ibid., hlm. 31.
4
(melindungi dan menjaga umat) secara layyin (halus), tathawwu’ (sukarela)
dan tawaddud-tarahum (cinta kasih).9
9
Mudzakkir Ali, Pokok-Pokok Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Semarang: Wahid Hasyim
University Press, 2014, hlm. 240.
10
Ibid., hlm. 245.
5
C. Implementasi Qanun Asasi Terhadap NU / Nahdliyin
Implementasi Qanun Asasi terhadap NU/Nahdliyin adalah
menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa
kini dan masa yang akan datang. Yakni pemikiran dan gerakan konkret ke
dalam semua sektor dan bidang kehidupan baik dalam bidang akidah,
syariah, akhlak, sosial budaya, ekonomi, politik, pendidikan dan lain
sebagainya. 11
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama‟ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia
11
6
BAB III
PEMBAHASAN
12
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014,
hlm. 25. 15 Rumusan Khittah NU bagian Muqadimah, doc. Lakpesdam NU.
7
Bagi NU, ranah perjuangan tidak hanya berupa perjuangan simbolis,
tetapi adalah perjuangan nilai-nilai moralitas yang akan memperkokoh
tatanan sebuah negara. Maka, yang harus diperjuangkan adalah nilai-nilai
yang merupakan tegaknya tatanan sebuah negara, seperti:
- Pertama, mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah (al-syura’);
- Kedua, ditegakkannya keadilan (al-‘adl);
- Ketiga, adanya jaminan kebebasan (al-hurriyah) dalam menjalankan
rukun Islam yang lima (al-ushul al-khamsah);
- Keempat, adanya kesetaraan derajat (al-musawah), di mana semua
warga negara memperoleh perlakuan yang sama dalam mendapatkan
hak dan menjalankan kewajiban.13
13
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 27.
14
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 21.
8
bersifat dinamis dan kontekstual. Cara pandang ini telah memungkinkan
NU berperan lebih besar dalam isu-isu yang bersifat mondial, seperti
demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Sebagai kelompok moderat, NU
tidak merasakan dirinya kehilangan pijakan khazanah keislaman klasik.
Sedangkan di pihak lain, NU mampu beradaptasi dengan realitas
pemikiran kontemporer yang bersifat lintas agama dan lintas batas
nasionalitas. 15
Lebih jauh lagi, dalam hal ini, moderasi NU bukanlah moderasi pasif
yang hanya berhenti pada tataran ide. Moderasi NU pada hakikatnya adalah
sebuah jalan alternatif untuk tujuan penguatan dan pemberdayaan
masyarakat sipil. Komitmen NU pada demokrasi dan kewarganegaraan
membuktikan bahwa moderasi tidak hanya dalam rangka melawan
puritanisme, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana menjadikan
umat ini lebih sejahtera, mandiri dan terdidik. Tidak pada tempatnya segala
tanggung jawab diserahkan kepada negara. Masyarakat yang
mengidentifikasi dirinya sebagai kelompok moderat harus melakukan
sesuatu untuk kemajuan dan kebangkitan bangsa. 16
15
Ibid., hlm. 28.
16
Mutawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren, 2007, hlm. 50.
17
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim,
2015, hlm. 38.
9
wajib atau fardhu, diseyogyakan (sunnah), diperkenankan (mubah), tidak
diseyogyakan (makruh) dan terlarang (haram).
Selain itu, Adapun alasan kenapa NU dalam bidang hukum islam
lebih berpedoman kepada salah satu dari empat mazhab : 18
- Pertama, Al-Quran sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama
yang bersifat universal, sehingga hanya Nabi Muhammad SAW yang tahu
secara mendetail maksud dan tujuan apa yang terkandung dalam Al-Quran.
Nabi saw sendiri menunjukan dan menjelaskan makna dan maksud dari al
Quran tersebut melalui sunnah-sunnah beliau, yatu berupa perkataan,
perbuatan, dan taqrir.
- Kedua, Sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang berupa perkataan ,
perbuatan dan taqrir yang hanya diketahui oleh para sahabat yang hidup
bersama (semasa) dengan beliau, oleh karena itu perlu untuk memeriksa,
menyelidiki, dan selanjutnya berpedoman pada keterangan-keterangan
para sahabat tersebut. Namun sebagian ulama tidak memperbolehkan
untuk mengikuti para sahabat dengan begitu saja. Maka dari itu untuk
mendapatkan kepastian dan kemantaban, maka jalan yang ditempuh
adalah merujuk pada ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam
mazhab yang empat, artinya bahwa dalam mengambil dan mengunakan
produk fiqih (hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan
dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan landasan
bagi Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu
produk fiqih dalam NU ada suatu forum pengkajian produk-produk hukum
fiqh yang bisa disebut “Bahsul Masail Ad-Diniyah (pembahasan masalah-
masalah keagamaan)”. Jadi dalam forum ini berbagai masalah keagamaan
akan digodok dan diutuskan hukumnya yang selanjutnya keputusan
tersebut akan menjadi pegangan bagi Nahdlatul Ulama.
B. Aqidah NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab II Pasal 5 dinyatakan bahwa:
Nahdlatul Ulama beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama’ah
18
Loc. Cit., Mutawir Abdul, 2007, hlm. 55.
10
dalam bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansur al-Maturidi; dalam bidang fiqh mengikuti salah satu dari
madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali); dan dalam bidang
tasawuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Bagdadi dan Abu Hamid al-
Ghazali. 19
Pemilihan madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah didasari
pertimbangan bahwa madzhab ini merupakan madzhab mayoritas di dunia
Islam yang menjadi pegangan ulama-ulama salaf shaleh, sehingga kualitas
kebenarannya tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, bertaqlid pada salah
satu madzhab tertentu menjamin pada hakikat kebenaran, lebih dekat pada
ketelitian, dan lebih mudah mendapatkan ajaran islam. Inilah yang telah
dianut oleh para ulama salaf shaleh dikalangan umat Islam.
Adapun masyarakat Islam dianjurkan bertaqwa kepada Allah SWT
dengan sungguh-sungguh, mempertahankan agama Islam hingga akhir
hayat, menjalin persaudaraan, menyambung silaturahmi, berbuat baik
kepada tetangga, kerabat, dan saudara, menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda, tolong menolong dalam kebaikan, dan
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana yang dilakukan
para ulama seperti: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan
Imam Ahmad bin Hanbal.
Berdasarkan pertimbangan kualitas kebenaran yang dipegangi oleh
mayoritas ulama dan umat Islam inilah maka KH Hasyim Asy’ari mengajak
umat Islam agar mengikuti madzhab mayoritas dunia Islam, serta
merumuskannya dalam Qanun Asasi.
Karena kebenaran madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak
diragukan lagi, maka umat Islam berkewajiban untuk mempertahankan
madzhab ini sebagai pegangan dalam kehidupan beragama. Disamping itu,
secara sosiologis masyarakat Indonesia (Jawa) dalam kesehariannya telah
berpegang pada Ahlussunnah Wal Jama’ah.
19
PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-NU Jatim,
2015, hlm. 38.
11
C. Asas NU
Pada Anggaran Dasar NU dalam Bab II Pasal 6 dinyatakan bahwa:
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, Nahdlatul Ulama
berasas kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.20
Penerimaan NU terhadap asas tunggal Pancasila melalui Muktamar
NU ke-27 di Situbondo 1984. Komitmen NU pada finalitas Pancasila dan
UUD 1945 ini merupakan refleksi dari moderasi NU yang memandang
kebhinnekaan sebagai sebuah sunnatullah, yang harus dirayakan, dihargai,
dan digunakan sebagai potensi untuk membangun kekuatan demokrasi yang
melayani dan memberdayakan umat.21
Bagi kalangan yang biasa dikenal dengan sebutan “muslim
tradisionalis” ini, memilih Pancasila merupakan sebuah keniscayaan
teologis dan sosiologis. Secara teologis, tidak ada keharusan untuk memilih
ideologi negara Islam. Sedangkan secara sosiologis, bangsa ini dihadapkan
pada fakta keragaman agama, suku, bahasa, dan ras. Karena itu, Pancasila
sebagai ideologi negara merupakan pilihan terbaik untuk semua kalangan.
Dalam hal ini harus diakui bahwa para pendiri NU telah berhasil
melestarikan karakter keindonesiaan dalam keislaman, dan sebaliknya
karakter keislaman dalam keindonesiaan.
K.H. Sholahuddin Wahid, atau yang diakrab disapa dengan
panggilan Gus Sholah, dalam sebuah artikelnya di Harian Kompas
Nahdlatul Ulama dan Pancasila, mengisahkan penalaran yang diusulkan
Kyai Achmad Siddiq perihal perlunya menerima Pancasila sebagai dasar
negara. Sebab, jika Islam dijadikan dasar negara, dapat diartikan Islam
sejajar dengan paham-paham lainnya. Padahal, Islam diyakini sebagai
agama yang kedudukannya sangat mulia, bahkan mengatasi paham-paham
lainnya.
Kyai Achmad Siddiq menegaskan, “Pancasila adalah bentuk final
dari upaya membentuk negara oleh seluruh bangsa Indonesia”. Lebih kurang
38 tahun umat Islam menerima Pancasila tanpa ada pihak yang
20
Ibid., hlm. 38.
21
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 21.
12
mempersoalkan kehalalan dan keharamannya. Jadi, sebenarnya Islam dapat
memperkokoh Pancasila dan mendorong agar sila-sila yang terdapat di
dalamnya bisa diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Mendengar
alasanalasan tersebut, sejumlah kyai semakin mantap dengan Pancasila, dan
hingga sekarang ini di dalam internal NU tidak ada lagi pihak yang
mempersoalkan Pancasila.22
22
Ibid., hlm. 22.
23
Loc. Cit., PBNU, 2015, hlm. 39.
13
agama, Quran dan Hadis, tidak dipertentangkan dengan adat, tapi dicari
titik-temu dan penguatannya masing-masing.24
Kembalinya NU kepada Khittahnya 1926, menegaskan kembali
tujuan awal didirikannya mengurusi persoalan agama, pendidikan, sosial
kemasyarakatan saja, artinya NU meninggalkan politik praktis dengan
pertimbangan bahwa selama ini NU terlampau mengedepankan politik yang
kenyataanya bukan semata-mata kepentingan organisasi melainkan untuk
kepentingan pribadi-pribadi daripada urusan sosial keagamaan. 25
24
Ibid., hlm. 20.
25
Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Erlangga, 1992,
hlm. 2. 29 PBNU, AD ART Nahdlatul Ulama Hasil Keputusan Muktamar Ke 33, Jombang: LTN-
NU Jatim, 2015, hlm. 48.
14
5) Mengembangkan usaha-usaha lain melalui kerjasama dengan pihak
dalam maupun luar negeri yang bermanfaat bagi masyarakat banyak
guna terwujudnya Khairu Ummah.
26
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 46-48.
15
Kegiatan-kegiatan yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada awal
berdiri dan khidmahnya menunjukkan pandangan dasar yang peka terhadap
pentingnya terus-menerus membangun hubungan dan komunikasi antar para
ulama sebagai pemimpin masyarakat; serta adanya keprihatinan atas nasib
manusia yang terjerat oleh keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan.
Sejak semula Nahdlatul Ulama melihat masalah ini sebagai bidang garapan
yang harus dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan nyata. Pilihan akan
ikhtiyar yang dilakukan mendasari kegiatan Nahdlatul Ulama dari masa ke
masa dengan tujuan untuk melakukan perbaikan, perubahan dan
pembaharuan masyarakat, terutama dengan mendorong swadaya
masyarakat sendiri. 27
Nahdlatul Ulama sejak semula meyakini bahwa persatuan dan
kesatuan para ulama dan pengikutnya, masalah pendidikan, dakwah
Islamiyah, kegiatan sosial serta perekonomian adalah masalah yang tidak
bisa dipisahkan untuk mengubah masyarakat yang terbelakang, bodoh dan
miskin menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlak mulia.
Pilihan kegiatan Nahdlatul Ulama tersebut sekaligus menumbuhkan sikap
partisipatif kepada setiap usaha yang bertujuan membawa masyarakat
kepada kehidupan yang maslahat. Sehingga setiap kegiatan Nahdlatul
Ulama untuk kemaslahatan manusia dipandang sebagai perwujudan amal
ibadah yang didasarkan pada faham keagamaan yang dianutnya.
27
A. Muadz Thohir, Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah, 2014, hlm. 49.
16
satu kesatuan tak terpisahkan mengalahkan persaudaraan yang berasas pada
garis darah. Di kemudian hari, integrasi berdasar iman tersebut mampu
membawa masyarakat Madinah menjadi masyarakat beradab melampaui
masyarakat lain di saat itu.28
Dalam konteks berbeda, identitas berdasar agama (Islam) diyakini
memberikan kontribusi signifikan dalam proses pembangunan identitas
keindonesiaan. Berawal dari identitas keislaman, masyarakat kepulauan
nusantara yang terpisah secara geografis, kultural, suku, kerajaan dan bahasa
berhasil bersatu membentuk identitas bersama yang di kemudian hari kita
sebut sebagai Indonesia.
Gagasan tentang persatuan umat Islam saat ini menjadi sesuatu yang
sangat penting bahkan mendesak dilakukan dan disebarkan ke masyarakat
muslim mengingat kondisi kekinian umat Islam yang semakin terpecah belah
dan terjebak dalam gesekan dan konflik, baik yang berwarna politik, ekonomi
ataupun perbedaan keyakinan.
Fenomena konflik yang semakin menyebar di berbagai negara Islam
(termasuk Indonesia) patut dijadikan bahan refleksi tentang perlunya
penyebaran ide-ide persaudaran dan persatuan di tengah-tengah masyarakat
Muslim. Upaya ini perlu dilakukan mengingat umat Islam merupakan satu
saudara sehingga sesama Muslim merupakan satu tubuh yang saling terkait-
menguatkan. Acuh terhadap konflik dan gesekan yang terjadi dapat merusak
persaudaraan yang berujung pada perpecahan umat Islam. Alhasil, kondisi itu
akan mengakibatkan tidak tercapainya misi Islam sebagai rahmat bagi
semesta alam.
Pandangan hidup Islam tidak berdasarkan realitas dan kebenaran
dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhîd). Pandangan dunia/hidup
Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi.
Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya,
doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh
Nabi. Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan
28
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 25.
17
progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat
jelas (alma'lûm min al-dîn bi al-dharûrah). Pandangan dunia/hidup Islam
terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu,
pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan
serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk
perubahan, perkembangan dan kemajuan. Pandangan hidup Islam dibangun
atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya,
peradaban dan agama lain. 29
Orientasi tauhid sebagai kekuatan yang menggerakkan persatuan umat
Islam mengindikasikan bahwa tauhid bukan saja berkaitan dengan beriman
kepada Tuhan yang Maha Esa seperti yang diyakini selama ini, melainkan
juga kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan manusia (unity of
mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance) dan kesatuan tujuan
hidup (unity of purpose of life). Seluruh pandangan hidup tersebut merupakan
derivasi dari kesatuan Tuhan (unity of Godhead).34
Imperatif persatuan umat yang dibangun atas dasar kesamaan iman
merupakan implikasi jauh dari tauhid juga menjadi cita-cita KH. Hasyim
Asy'ari. Dengan bahasa yang agak serupa, KH. Hasyim Asy'ari menekankan
persatuan umat yang dibangun atas dasar faktor kesamaan agama. Persatuan
akan mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dan menghindarkan dari
bahaya yang mengancam. Persatuan merupakan prasyarat utama untuk
menciptakan kemakmuran sekaligus mendorong terjalinnya moral welas asih
antar sesama umat. Sebaliknya, perpecahan dan memutuskan hubungan
persaudaraan adalah perbuatan dosa besar dan kejahatan yang keji. KH.
Hasyim Asy'ari menegaskan bahwa, persatuan telah terbukti mendatangkan
kemakmuran negeri, kesejahteraan rakyat, tersemainya peradaban, dan
kemajuan negeri. 30
KH. Hasyim Asy'ari mencoba menggabungkan antara sentimen
keagamaan dengan geografis agar terwujudnya persatuan umat Islam
29
Mutawir Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Jakarta: Pustaka Pesantren, 2007,
hlm. 55. 34 Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam, Jakarta: Kemenag RI, 2012,
hlm. 155.
30
Ibid., hlm. 156.
18
Nusantara. Artikulasi pemikiran KH. Hasyim Asy'ari tersebut menegaskan
bahwa sejak kedatangan dan perkembangan awalnya di Indonesia, Islam,
mengutip Azyumardi Azra, tidak hanya menjadi faktor penting yang
menyatukan masyarakat Nusantara secara keagamaan, tetapi juga
memberikan basis ikatan solidaritas sosial-politik yang kokoh.31
31
Azyumardi Azra, "Antara Kesetiaan dan Perbenturan: Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di
Indonesia dan Malaysia," dalam Kalam, edisi 3/1994, hlm. 46.
32
Asmaul Husna, Sikap Keagamaan Moderat Nahdlatul Ulama, Bandung: UPI, 2017, hlm. 30.
19
Mayoritas kaum Nahdliyyin, baru mengenal Aswaja secara sekilas
dan elementer, lalu kemudian tidaklah heran bila Aswaja dalam kelompok ini
mempunyai ciri-ciri praktis, memakai kata sayyidina (yang kami mulyakan)
dalam menyebut nama Nabi Muhammad Saw. Mengamalkan qunut dalam
shalat shubuh, 20 rakaat dalam shalat tarawih, tahlil, marhabanan dalam
upacara syukuran hari kelahiran, membaca manakib dan cenderung
mengakomodir terhadap tradisi lokal.
Motif yang mendorong KH Hasyim Asy’ari menetapkan Ahlussunnah
Wal Jama’ah sebagai pijakan teologis umat Islam di Indonesia berdasarkan
kelakuan fundamental yang sudah ada serta tumbuh dan berkembang
ditengah-tengah masyarakat, antara lain: tradisional (mengikuti kebiasaan
yang sudah lazim), afektif (bersifat emosional), bernilai (didasari
kepercayaan yang penuh kesadaran terhadap nilai-nilai etis, estetis, religius,
atau nilai mutlak tanpa memandang konsekuensi-konsekuensinya), dan
bertujuan (untuk mencapai maksud yang diinginkan).
20
yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama
mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan
dinamis. Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan Nahdlatul
Ulama berusaha secara sadar untuk menciptakan warga Negara yang
menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan Negara.
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyyah secara organisatoris tidak terikat dengan
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga
Nahdlatul Ulama adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang
dilindungi oleh undang-undang. Di dalam hal warga Nahdlatul Ulama
menggunakan hak-hak politiknya harus melakukan secara bertanggung
jawab, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang
demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan
mekanisme musyawarah, dan mufakat dalam memecahkan permasalahan
yang dihadapi bersama. Sesuai kultur NU dengan sikap akomodatif,
kompromatif dan keluwesan yang artinya menaati pemerintah, dengan begitu,
juga merupakan suatu kewajiban sepanjang pemerintah tidak menganjurkan
kepada kekhufuran.
21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Motivasi yang ada di balik keputusan KH. Hasyim Asy’ari ketika
menetapkan pilihan teologis kepada madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah
didasari oleh keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai religius yang bersifat
normatif. Motivasi tersebut diterapkan untuk membentuk sikap keberagamaan
kaum muslimin di Indonesia yang bercorak Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan
karakteristik moderasinya.
Makna moderasi (tassamuh, tawassuth, tawazun, dan I’tidal) adalah
suatu sikap yang cenderung menghindari ekstrimisme dan radikalisme dalam
bertindak. Diantara kriteria yang melekat pada moderasi antara lain:
menghindari tindakan radikal, menghormati pluralitas pendapat, menghargai
perbedaan keyakinan, dan menjunjung tinggi toleransi.
Sikap moderat yang mengutamakan jalan tengah dalam menyikapi
perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab inilah yang diteladankan oleh
ulama-ulama madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh sebab itu kebijakan KH.
Hasyim Asy’ari yang tertuang dalam Qanun Asasi wajib dilestarikan secara terus
menerus oleh kaum muslimin Indonesia, khususnya kaum Nahdliyin dengan
bimbingan para ulama dan dukungan organisasi Nahdlatul Ulama sehingga dapat
mewarnai dinamika perkembangan umat Islam di Indonesia, karena Nahdlatul
Ulama merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia.
4.2 Saran
Hendaknya semua warga NU atau kaum Nahdliyin berkomitmen untuk
mempertahankan eksistensi Ahlussunnah Wal Jama’ah di tempat berkhidmat
masing-masing dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai yang tertuang dalam
Qanun Asasi dalam upaya menjaga keutuhan NKRI dan memperjuangkan
terciptanya kehidupan yang damai dan sejahtera adalah merupakan wujud
manifestasi keberislaman ala orang-orang NU.
22
DAFTAR PUSTAKA
Said Aqil Siradj, Aktualisasi Ahlussunah wal Jama’ah, (makalah: 1997) dikutip
Hilmy Muhammadiyah Sulthon dalam NU: Identitas Islam Indonesia.
Siradj, S.A. 2008. Ahlussunnah wal Jama‟ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta:
Pustaka Cendikia Muda.
Sunyoto, A. dkk. 2017. KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk
Negeri, Jakarta: Dirjen Kemendikbud RI.
Thohir, A.M. 2014. Khittah dan Khidmah NU, Pati: MBN Nahdliyah.
23