MAKALAH DIFTERi
MAKALAH DIFTERi
MAKALAH DIFTERi
KEPERAWATAN ANAK
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN PENYAKIT DIFTERI
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak
Dosen Pengampu: Ibu Sri Mulyanti, S.Kep., Ns,. M.Kep
Kelmompok 5 ( 2C D4)
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah “Keperawatan Anak” dengan judul Asuhan
Keperawatan Anak Dengan Penyakit Difteri. Diharapkan semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua.
Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya penulis mendapatkan
bimbingan, koreksi, arahan, dan saran, untuk itu kami mengucapkan terimakasih
kepada Ibu Sri Mulyanti, S.Kep., Ns,. M.Kep selaku dosen pembimbing mata
kuliah Keperawatan Anak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama
penulisan makalah ini
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
untuk menyempurnakan makalah ini. Terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A.Latar Belakang.......................................................................................1
B.Tujuan....................................................................................................2
C.Rumusan Masalah..................................................................................2
A.Definisi..................................................................................................3
B.Etiologi...................................................................................................3
C.Patofisilogi.............................................................................................5
D.Klasifikasi..............................................................................................6
E.Manifestasi Klinis..................................................................................8
F.Pemeriksaan Penunjang..........................................................................8
G.Penatalaksanaan.....................................................................................8
H.Komplikasi.............................................................................................10
A.Kesimpulan............................................................................................27
B.Saran......................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................29
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriare, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama
bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan)
dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui
udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga
melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan
10% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab
umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijumpai
pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu,
menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan
penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheriae, Pertusis, dan Tetanus),
penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri
akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
Peran perawat salah satunya adalah peran sebagai pelayanan kesehatan. Peran
pelaksanaan pemberian pelayanan kesehatan individu, keluarga,
kelompok/masyarakat berupa asuhana keperawatan yang komprehensif
meliputi pemeberi asuhan pencegahan pada tingkat satu, dua, dan tiga baik
direc/indirect. Peran educator perawat memberikan pembelajaran merupakan
dasar sari semua tahap kesehatan dan tingkat pencegahan, perawat
mengajarkan pendidikan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan dari
1
2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penyakit difteri secara menyeluruh
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian difteri.
b. Untuk mengetahui etiologi difteri.
c. Untuk mengetahui patofisiologi dan pathway penyakit difteri.
d. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit difteri.
e. Untuk mengetahui manifestasi klinik difteri.
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang difteri.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien difteri.
h. Untuk mengetahui komplikasi penyakit difteri.
i. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien difteri.
C. Rumusan Masalah
1. Apakah penyebab penyakit difteri?
2. Bagaimana etiologi penyakit difteri?
3. Bagaimana patofisiologi dan pathway penyakit difteri?
4. Bagaimana klasifikasi pada penyakit difteri?
5. Bagaimana manifestasi klinik penyakit difteri?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang penyakit difteri?
7. Bagaimana penatalaksanaan pasien penyakit difteri?
8. Bagaimana komplikasi pasien pada penyakit difteri?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien difteri?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob.
Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada
pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau
rongga hidung (Hartoyo, 2018). Awal dari penyakit ini yaitu ditandai
dengan adanya peradangan pada selaput mukosa, faring, laring, tonsil,
hidung dan juga pada kulit. Selain itu manusia merupakan satu-satunya
reservoir Corynebacterium Diphtheriae. Penyebaran penyakit ini melalui
droplet (percikan ludah) dari batuk, muntah, bersin, alat makan, dan
kontak langsung dengan lesi kulit. Setelah terpapar nantinya akan disusul
dengan gejala seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas,
nyeri menelan (faringitis) disertai dengan demam namun tidak tinggi
(kurang dari 38,50 C), dan ditemukan pseudomembrane putih/keabu-
abuan/kehitaman pada tonsil, laring atau faring. (Kemkes RI, 2017).
B. Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalahCorynebacterium
diphtheriaberbentuk batanggram positif, tidak berspora, bercampak atau
kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnyatidak invasive, tetapi kuman dapat
mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteriini, karena mempunyai
efek patoligik menyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga typevariants
dariCorynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, typeintermedius
dantype gravis. Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan
dengan carabacteriophage lysis menjadi 19 tipe.Tipe 1-3 termasuk tipe
mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7termasuk tipe gravis yang
tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipegravis yang
virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau duavarian
yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada
selaputmukosa.
3
4
C. Patofisiologi
Bakteri Corynebacterium Diphtheriae akan tumbuh di membrane
mukosa atau kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan
mulai menghasilkan toksin. Toksin akan diserap ke dalam membran
mukosa yang akan mengakibatkan kerusakan epitelium dan juga respon
inflamasi superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada fibrin, sel
darah merah dan putih sehingga membentuk "pseudomembran" berwarna
kelabu yang seringnya akan menutupi tonsil, faring, atau laring. Di ikuti
dengan kelenjar getah bening regional dileher membesar lalu
kemungkinan akan muncul edema pada bagian leher yang mengakibatkan
gangguan saluran napas yang dikenal dengan "bull neck" (Carroll, 2017)
Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus
diabsorbsi lalu dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh
salah satunya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis pada jantung,
hati, ginjal, dan kelenjar adrenal. Terkadang akan disertai dengan
perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu menyebabkan kerusakan saraf
yang berujung pada paralisis palatum mole, otot-otot mata, dan ekstrimitas
(Carroll, 2017)
a. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan
menempel dimukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit,
mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada
atau di sekitar permukaan selaput lender mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara
(laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempitdan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk
dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di
seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Masa inkubasi penyakit
5
PATHWAY
E. Manifestasi klinis
1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
2. Batuk dan pilek yang ringan.
3. Sakitdan pembengkakan pada tenggorokan
4. Mual, muntah , sakit kepala.
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu
abuan kotor.
6. Kaku leher
F. Pemeriksaan Penunjang
Schick test yaitu tes kulit yang di gunakan untuk menentukan
status imunitas penderita. Untuk pemeriksaan ini di gunakan dosis 1/50
MED. Yang di berikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah di
encerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin
akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa
minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji
schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji shick dikatakan negative bila tidak di
dapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang
dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu
dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam. Pemeriksaan laboratorium, dimana dalam
pemeriksaan laboratorium baik darah maupun urine ditemukan adanya
penurunan hemoglobin (Hb), penurunan jumlah leukosit, eritrosit, dan
kadar albumin dan pada urine terdapatnya albuminuria ringan.
G. Penatalaksanaan
1. Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
9
b. Kardiovaskula
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk oleh kuman penyakit ini.
c. Urogenital
Dapat terjadi nefritis atau gagal ginjal akut.
d. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang
mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik.
e. Paralisis
Paralisis dapat berupa paralisis/paresis palatum mole sehingga terjadi
rinolalia, kesukaran menelan. Sifatnya reversibel dan terjadi pada
minggu kesatu dan kedua. Paralisis/paresisotot-otot mata, sehingga
dapat mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil,
yang timbul setelah minggu ketiga. Paralisis umum yang dapat timbul
setelah minggu keempat. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher,
anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot
pernafasan. (BukuKuliah Ilmu Kesehatan Anak 2, 2007)
3) Difteria hidung :
a) Secret hidung serosanginus mukopurulen
b) Lecet pada nares dan bibir atas
c) Membrane putih pada septum nasi
c. Pemeriksaan penunjang
1) Tindakan umum :
a) Mencegah terjadinya komplikasi
b) Mempertahankan / memperbaiki keadaan umum
c) Mengatasi gejala / akibat yang timbul
2) Pengobatan :
a) Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) harus diberikan
setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke
enam menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%.
2. Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan Intervensi
(SDKI) Kriteria (SIKI)
1. Bersihan Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif
jalan nafas tindakan Observasi:
tidak efektif keperawatan 1. Identifikasi kemampuan batuk
b/d sekresi selama 3x8 jam 2. Monitor adanya retensi
yang diharapkan sputum
tertahan bersihan jalan 3. Monitor tanda dan gejala
napas meningkat infeksi saluran napas
dengan kriteria 4. Monitor input dan output
hasil: cairan (mis. Jumlah dan
1. Produksi karkteristik)
sputum Terapeutik:
menurun 1. Atur posisi semi-fowler atau
2. Batuk efektif fowler
meningkat 2. Pasang perlak dan bengkok di
3. Mengi pangkuan pasien
menurun 3. Buang sekret pada tempat
4. Wheezing sputum
menurun Edukasi:
5. Mekonium 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
(pada batuk efektif
neonatus) 2. Anjurkan tarik napas alam
menurun melalui hidung selama 4 detik,
6. Dispnea ditahan selama 2 detik,
menurun kemudian keluarkan dari
7. Ortopnea mulut dengan bibir mencucu
menurun (dibulatkan) selama 8 detik
8. Sianosis 3. Anjurkan mengulangi taraik
menurun napas selama 3 kali
17
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian obat
(mis. Analgesik, antiemetik),
sesuai indikasi
3. Implementasi
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), Implementasi keperawatan
adalah merupakan fase dimana saat perawat mengimplementasikan
intervensi yang telah dibuat. Implementasi terdiri dari melakukan dan
mendokumentasikan tindakan yang keperawatan khusus yang diperlukan
untuk melakukan intervensi. Perencanaan yang telah disusun oleh perawat
lalu dilaksanakan kemudian diakhiri tahap implementasi dengan mencatat
tindakan keperawatan dan respon pasien terhadap tindakan yang telah
diberikan.
Implementasi Keperawatan yang diberikan kepada anak dengan difteri
yaitu:
Implementasi Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
1. Mengidentifikasi kemampuan batuk
2. Memonitor adanya retensi sputum
3. Memonitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
4. Mengatur posisi semi-fowler atau fowler
5. Menjelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
6. Menganjurkan tarik napas alam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
7. Menganjurkan mengulangi tarik napas selama 3 kali
8. Menganjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam
yang ke-3
9. Mengkolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran
4. Evaluasi
25
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
27
28
https://eprints.umm.ac.id/67564/3/BAB%20II.pdf
29