0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
116 tayangan32 halaman

MAKALAH DIFTERi

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 32

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN PENYAKIT DIFTERI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak
Dosen Pengampu: Ibu Sri Mulyanti, S.Kep., Ns,. M.Kep

Kelmompok 5 ( 2C D4)

1. Adinda Athaya Isti Kirani (P27220021187)


2. Difa Kusumasari (P27220021200)
3. Egi Puri Dhamanitya (P27220021202)
4. Erick Dwi Wicaksono (P27220021203)
5. Erni Putri Setyawati (P27220021204)
6. Nanda Rizqina Rahmadani (P27220021222)
7. Vanya Fitri Sasongko (P27220021242)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KEMENKES SURAKARTA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah “Keperawatan Anak” dengan judul Asuhan
Keperawatan Anak Dengan Penyakit Difteri. Diharapkan semoga makalah ini
dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua.
Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya penulis mendapatkan
bimbingan, koreksi, arahan, dan saran, untuk itu kami mengucapkan terimakasih
kepada Ibu Sri Mulyanti, S.Kep., Ns,. M.Kep selaku dosen pembimbing mata
kuliah Keperawatan Anak yang telah memberikan bimbingan serta arahan selama
penulisan makalah ini
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
untuk menyempurnakan makalah ini. Terima kasih.

Surakarta, 10 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

A.Latar Belakang.......................................................................................1

B.Tujuan....................................................................................................2

C.Rumusan Masalah..................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................3

A.Definisi..................................................................................................3

B.Etiologi...................................................................................................3

C.Patofisilogi.............................................................................................5

D.Klasifikasi..............................................................................................6

E.Manifestasi Klinis..................................................................................8

F.Pemeriksaan Penunjang..........................................................................8

G.Penatalaksanaan.....................................................................................8

H.Komplikasi.............................................................................................10

I.Teori Konsep Asuhan Keperawatan........................................................11

BAB III PENUTUP..........................................................................................27

A.Kesimpulan............................................................................................27

B.Saran......................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................29

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriare, yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama
bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring atau tenggorokan)
dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui
udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga
melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan
10% kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab
umum dari kematian bayi dan anak-anak muda. Penyakit ini juga dijumpai
pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu,
menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan
penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheriae, Pertusis, dan Tetanus),
penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri
akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
Peran perawat salah satunya adalah peran sebagai pelayanan kesehatan. Peran
pelaksanaan pemberian pelayanan kesehatan individu, keluarga,
kelompok/masyarakat berupa asuhana keperawatan yang komprehensif
meliputi pemeberi asuhan pencegahan pada tingkat satu, dua, dan tiga baik
direc/indirect. Peran educator perawat memberikan pembelajaran merupakan
dasar sari semua tahap kesehatan dan tingkat pencegahan, perawat
mengajarkan pendidikan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan dari

1
2

penyakit, dan menyusun program edukasi kesehatan, memberikan informasi


yang tepat tentang kesehata

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penyakit difteri secara menyeluruh
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian difteri.
b. Untuk mengetahui etiologi difteri.
c. Untuk mengetahui patofisiologi dan pathway penyakit difteri.
d. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit difteri.
e. Untuk mengetahui manifestasi klinik difteri.
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang difteri.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien difteri.
h. Untuk mengetahui komplikasi penyakit difteri.
i. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien difteri.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah penyebab penyakit difteri?
2. Bagaimana etiologi penyakit difteri?
3. Bagaimana patofisiologi dan pathway penyakit difteri?
4. Bagaimana klasifikasi pada penyakit difteri?
5. Bagaimana manifestasi klinik penyakit difteri?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang penyakit difteri?
7. Bagaimana penatalaksanaan pasien penyakit difteri?
8. Bagaimana komplikasi pasien pada penyakit difteri?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien difteri?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob.
Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada
pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau
rongga hidung (Hartoyo, 2018). Awal dari penyakit ini yaitu ditandai
dengan adanya peradangan pada selaput mukosa, faring, laring, tonsil,
hidung dan juga pada kulit. Selain itu manusia merupakan satu-satunya
reservoir Corynebacterium Diphtheriae. Penyebaran penyakit ini melalui
droplet (percikan ludah) dari batuk, muntah, bersin, alat makan, dan
kontak langsung dengan lesi kulit. Setelah terpapar nantinya akan disusul
dengan gejala seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas,
nyeri menelan (faringitis) disertai dengan demam namun tidak tinggi
(kurang dari 38,50 C), dan ditemukan pseudomembrane putih/keabu-
abuan/kehitaman pada tonsil, laring atau faring. (Kemkes RI, 2017).
B. Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalahCorynebacterium
diphtheriaberbentuk batanggram positif, tidak berspora, bercampak atau
kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnyatidak invasive, tetapi kuman dapat
mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteriini, karena mempunyai
efek patoligik menyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga typevariants
dariCorynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, typeintermedius
dantype gravis. Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan
dengan carabacteriophage lysis menjadi 19 tipe.Tipe 1-3 termasuk tipe
mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7termasuk tipe gravis yang
tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipegravis yang
virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau duavarian
yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada
selaputmukosa.

3
4

C. Patofisiologi
Bakteri Corynebacterium Diphtheriae akan tumbuh di membrane
mukosa atau kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan
mulai menghasilkan toksin. Toksin akan diserap ke dalam membran
mukosa yang akan mengakibatkan kerusakan epitelium dan juga respon
inflamasi superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada fibrin, sel
darah merah dan putih sehingga membentuk "pseudomembran" berwarna
kelabu yang seringnya akan menutupi tonsil, faring, atau laring. Di ikuti
dengan kelenjar getah bening regional dileher membesar lalu
kemungkinan akan muncul edema pada bagian leher yang mengakibatkan
gangguan saluran napas yang dikenal dengan "bull neck" (Carroll, 2017)
Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus
diabsorbsi lalu dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh
salah satunya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis pada jantung,
hati, ginjal, dan kelenjar adrenal. Terkadang akan disertai dengan
perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu menyebabkan kerusakan saraf
yang berujung pada paralisis palatum mole, otot-otot mata, dan ekstrimitas
(Carroll, 2017)
a. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan
menempel dimukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit,
mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada
atau di sekitar permukaan selaput lender mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara
(laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempitdan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk
dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di
seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Masa inkubasi penyakit
5

difteri dapat berlangsung antara 2-5hari. Sedangkan masa penularan


beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau
kurang bahkan kadang kala dapat lebih dari empat minggu sejak masa
inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit
sampai 6 bulan
b. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf
ditenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu
pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai,
sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada
otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu
pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringan pada EKG. Namun kerusakan dapat sangat berat,
bahkan dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.
Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama
berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk,
tak jarang difteri juga menyerang kulit.
c. Tahap Penyakit Lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu
lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan
bahan lainnya, didekat amandel dan bagian tenggorokan yang lainnya.
Membrane ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika
membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lender dibawahnya
akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara
atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara,
sehinggaanak mengalami kesulitan bernafas.
6

PATHWAY

Muhamad Andika Sasmita Saputra (2018)


D. Klasifikasi
a. Berdasarkan tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3
tingkat yaitu :
1. Infeksi ringan: bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa
hidung dengan gejala hanya nyeri menelan
2. Infeksi sedang : bila pseudomembran telah menyaring sampai
faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan
pembengkakan pada laring.
3. Infeksi berat : bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai
dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung),
paralysis (kelemahananggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
b. Berdasarakan letaknya, digolongkan menjadi:
1. Difteri Hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak
pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang
berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat
mencapai faring dan laring.
2. Difteri Faring dan Tonsil (Difteri Fausial)
7

Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa


mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering
dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan
pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas
pada penderita. Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan
radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak
terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih
keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas
berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher
sapi (bull’sneck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta
stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.
3. Difteri Laring dan Trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil,
daripada yang primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak
dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas
hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium.
Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan
sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh
pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu
dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
4. Difteri Kutaneus dan Vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina
dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti
sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru
tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah
konjungtiva dan umbilikus.
5. Difteri Kulit, Konjungtiva, dan Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat
membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria
pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema
dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau.
8

E. Manifestasi klinis
1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derjat Celcius,
2. Batuk dan pilek yang ringan.
3. Sakitdan pembengkakan pada tenggorokan
4. Mual, muntah , sakit kepala.
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu
abuan kotor.
6. Kaku leher
F. Pemeriksaan Penunjang
Schick test yaitu tes kulit yang di gunakan untuk menentukan
status imunitas penderita. Untuk pemeriksaan ini di gunakan dosis 1/50
MED. Yang di berikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah di
encerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin
akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa
minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji
schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji shick dikatakan negative bila tidak di
dapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang
dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu
dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan
menghilang dalam 72 jam. Pemeriksaan laboratorium, dimana dalam
pemeriksaan laboratorium baik darah maupun urine ditemukan adanya
penurunan hemoglobin (Hb), penurunan jumlah leukosit, eritrosit, dan
kadar albumin dan pada urine terdapatnya albuminuria ringan.
G. Penatalaksanaan
1. Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat
lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
9

Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT


(difteria, pertusis,dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria,
tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c. Pencarian dan mengobati karier difteri
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin
penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus
diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan
Corynebacterium diphtheria penderita harus diobati dan bila perlu
dilakukan tonsilektomi
2. Pengobatan
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3minggu. Istirahat tirah baring selama kurang
lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.
Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier. Tirah
baring mutlak selama 10–14 hari. Pada miokarditis, tirah baring
selama 4–6 minggu. Diberi cukup cairan dan kalori, makanan
lunak dan mudah dicerna. Pada penderita gawat, mungkin perlu
cairan per infus
b. Pengobatan Khusus
1) Antitoksin
Diberikan sebanyak 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut.
Dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. Bila ternyata
penderita sensitif terhadap serum tersebut, maka harus
dilakukan desensitisasi dengan cara Besredka (secara bertahap).
Dalam literatur lain, dosis pemberian ADS ini dibedakan
berdasarkan tingkat infeksi yaitu : Difteri ringan (hidung,
matadan kulit) : 20.000 U secara IM, difteri sedang (tonsil,
laring) : 40.000 Usecara IV tetesan, difteri berat disertai
penyulit : 100.000 U secara IV tetesan.(ADS) Antitoksin harus
10

diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan


pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari1%. Namun dengan penundaan lebih dari
hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji
kulit atau uji mata terlebih dahulu.
2) Antibiotik
Penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi,
ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
Antibiotika diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan
eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin
prokain.
3) Kortikosteroid
Dapat diberikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu
yang kemudian dihentikan secara bertahap. Dianjurkan
pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai
gejala.
c. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria
dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
penisilin 100 mg/kgBB/harioral/suntikan, atau eritromisin
40mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan
tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.
H. Komplikasi
Komplikasi penyakit difteria dapat terjadi dini maupun lambat, berupa :
a. Saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan
atelektasis.
11

b. Kardiovaskula
Miokarditis akibat toksin yang dibentuk oleh kuman penyakit ini.
c. Urogenital
Dapat terjadi nefritis atau gagal ginjal akut.
d. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteria akan mengalami komplikasi yang
mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik.
e. Paralisis
Paralisis dapat berupa paralisis/paresis palatum mole sehingga terjadi
rinolalia, kesukaran menelan. Sifatnya reversibel dan terjadi pada
minggu kesatu dan kedua. Paralisis/paresisotot-otot mata, sehingga
dapat mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil,
yang timbul setelah minggu ketiga. Paralisis umum yang dapat timbul
setelah minggu keempat. Kelainan dapat mengenai otot muka, leher,
anggota gerak dan yang paling berbahaya bila mengenai otot
pernafasan. (BukuKuliah Ilmu Kesehatan Anak 2, 2007)

I. Teori Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Biodata
1) Umur: biasanya terjadi pada anak – anak umur 2 sampai 10 tahun
dan jarang ditemukan pada bayi berumur di bawah 6 bulan
daripada remaja di atas 15 tahun.
2) Suku bangsa: dapat terjadi diseluruh dunia
3) Tempat tinggal: ditemukan di daerah dengan pemukiman yang
sangat padat penduduknya, sanitasi dan hygiene kurang baik, dan
fasilitas kesehatan yang kurang.
b. Keluhan utama
Klien merasakan demam tetapi tidak terlalu tinggi suhunya.
c. Riwayat Kesehatan sekarang
Klien mengalami demam tetapi tidak terlalu tinggi suhunya, terlihat
lesu, pucat, sakit kepala, dan terkadang anoreksia.
12

d. Riwayat Kesehatan dahulu


Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring,
dan saluran nafas atas serta mengalami pilek dengan secret bercampur
dengan darah.
e. Riwayat penyakit keluarga
Adanya keluarga yang menderita difteri.
f. Pola fungsi Kesehatan
A. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah nutrisi yang kurang disebabkan anoreksia.
2) Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam.
3) Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan
tidur.
4) Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah
asupan gizi atau nutrisi yang kurang disebabkan anoreksia.
b. Pemeriksaan fisik
1) Pada difteria tonsil – faring :
a) Malaise
b) Suhu tubuh < 38,9 derajat celcius
c) Pseudomembran melekat dan menutup tonsil dan dinding
faring
d) Bullneck dalah kondisi saat leher tampak membengkak karena
adanya pembesaran jaringan lunak, sehingga terlihat seperti
leher banteng.
2) Difteria laring :
a) Stridor
b) Suara parau
c) Batuk kering
d) Pada obstruksi laring yang berat, terdapat retraksi
suprasternal, subcostal, dan supraclavicular
13

3) Difteria hidung :
a) Secret hidung serosanginus mukopurulen
b) Lecet pada nares dan bibir atas
c) Membrane putih pada septum nasi
c. Pemeriksaan penunjang
1) Tindakan umum :
a) Mencegah terjadinya komplikasi
b) Mempertahankan / memperbaiki keadaan umum
c) Mengatasi gejala / akibat yang timbul
2) Pengobatan :
a) Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS) harus diberikan
setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke
enam menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%.

No Tipe Difteria Dosis Pemberian


ADS
(KI)
1. Difteria hidung 20.000 IM
2. Difteria tonsil 40.000 IM atau IV
3. Difteria faring 40.000 IM atau IV
4. Difteria laring 40.000 IM atau IV
5. Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV
6. Difteria + penyulit, bullneck 80.000 – IV
120.000
7. Terlambat berobat (>72 80.000 – IV
jam), lokasi 120.000
dimana saja.

b) Antibiotic : diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin


melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
14

produksi toksin. Penisilin prokain 50.000 – 100.000


IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat
hipersensivitas penisilin diberikan eritromisin 40
mg/kgBB/hari.
c) Kortikosteroid : dianjurkan pemberian kortikosteroid pada
kasus difteria yang disertai gejala :
- Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau
tidak bullneck)
- Bila terdapat penyulit miokarditis, pemberian
kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak
terbukti.
Prednisone 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian
diturunkan dosisnya bertahap.
b) Pengobatan penyulit : ditujukan untuk menjaga agar
hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh
toksin umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
c) Pengobatan kontak : pada anak yang kontak dengan pasien
sebaiknya diisolasi sampai tindakan berlaku atau terlaksana
yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti
setiap hari sampai masa tunas terlampaui. Pemeriksaan
serologi dan observasi harian, anak yang telah mendapat
imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
d) Pengobatan karier : mereka yang tidak merasakan atau
menunjukkan keluhan, mempunyai uji Shick (-) tapi
mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Dapat
diberikan penisilin 100 mg/kgBB/ hari oral/suntikan atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari. Selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi atau
adenoidektomi.
e) Imunisasi
15

- Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu


yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan
antitoksin yang dapat bertahan selama 2 sampai 3
minggu. Sedangkan imunisasi aktif diperoleh setelah
menderita aktif atau nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteria.
- Uji kepekaan Shick (menentukan kerentanan atau
suseptibilitas seseorang terhadap difteria, dilakukan
dengan menyuntikkan toksin difteria yang dilemahkan
secara IC). Uji kepekaan Moloney (menentukan
sensitivitas terhadap produk bakteri dari basil difteria,
dilakukan dengan cara memberikan 0,1 ml larutan
toksoid secara intradermal).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan
b. Risiko Infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
tubuh primer imunosupresi
c. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
d. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
kontraktilitas
e. Gangguan menelan berhubungan dengan abnormalitas laring, anomali
jalan napas atas
16

2. Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan Intervensi
(SDKI) Kriteria (SIKI)
1. Bersihan Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif
jalan nafas tindakan Observasi:
tidak efektif keperawatan 1. Identifikasi kemampuan batuk
b/d sekresi selama 3x8 jam 2. Monitor adanya retensi
yang diharapkan sputum
tertahan bersihan jalan 3. Monitor tanda dan gejala
napas meningkat infeksi saluran napas
dengan kriteria 4. Monitor input dan output
hasil: cairan (mis. Jumlah dan
1. Produksi karkteristik)
sputum Terapeutik:
menurun 1. Atur posisi semi-fowler atau
2. Batuk efektif fowler
meningkat 2. Pasang perlak dan bengkok di
3. Mengi pangkuan pasien
menurun 3. Buang sekret pada tempat
4. Wheezing sputum
menurun Edukasi:
5. Mekonium 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
(pada batuk efektif
neonatus) 2. Anjurkan tarik napas alam
menurun melalui hidung selama 4 detik,
6. Dispnea ditahan selama 2 detik,
menurun kemudian keluarkan dari
7. Ortopnea mulut dengan bibir mencucu
menurun (dibulatkan) selama 8 detik
8. Sianosis 3. Anjurkan mengulangi taraik
menurun napas selama 3 kali
17

9. Gelisah 4. Anjurkan batuk dengan kuat


menurun langsung setelah tarik napas
10. Frekuensi dalam yang ke-3
napas membaik Kolaborasi:
11. Pola napas 1. Kolaborasi pemberian
membaik mukolitik atau ekspektoran,
jika perlu
2. Risiko Setelah dilakukan Manajemen imunisasi/vaksinasi
Infeksi b/d tindakan Observasi:
ketidakadek keperawatan 1. Identifikasi riwayat kesehatan
uatan selama 3x24 jam dan riwayat alergi
pertahanan diharapkan tingkat 2. Identifikasi kontraindikasi
tubuh infeksi menurun pemberian imunisasi (mis.
primer dengan kriteria Reaksi anafilaksis terhadap
imunosupre hasil: vaksin sebelumnya dan atau
si 1. Demam sakit parah dengan atau tanpa
menurun demam)
2. Nyeri menurun 3. Identifikasi status imunisasi
3. Kadar sel darah setiap kunjungan ke pelayanan
putih membaik kesehatan
4. Kultur darah Terapeutik:
membaik 1. Berikan suntikan pada bayi
5. Kultur urine pada bagian paha anterolateral
membaik 2. Dokumentasikan informasi
6. Kultur sputum vaksinasi (mis. Nama
membaik produsen, tanggal kadaluwarsa)
7. Nafsu makan 3. Jadwalkan imunisasipada
meningkat interval waktu yang tepat
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan, manfaat, reaksi
yang terjadi, jadwal, dan
efeksamping
18

2. Informasikan imunisasi yang


diwajibkan pemerintah (mis.
Hepatitis B, BCG, Difteri,
tetanus pertusis, H. Influenza,
polio, campak, measles, rubela)
3. Informisikan imunisasi yang
melindungi terhadap penyakit
namun saat ini tidak diwajibkan
pemerintah (mis. Influenza,
pneumokokus)
4. Informasikan imunisasi untuk
kejadian khusus (mis rabies,
tetanus)
5. Informasikan pemberian
imunisasi tidak berarti
mengulang jadwal imunisasi
kembali
6. Informasikan penyedia layanan
Pekan Imunisasi Nasional yang
menyediakan vaksin gratis
Kolaborasi: -

3. Hipervolem Setelah dilakukan Manajemen Hipervolemia


ia b/d tindakan Observasi:
gangguan keperawatan 1. Periksa tanda dan gejala
mekanisme selama 3x24 jam hipervolemia (mis. Ortopnea,
regulasi keseimbangan dispnea, edema, refleks
cairan meningkat hepatojugular positif, suara
dengan kriteria napas tambahan)
hasil: 2. Identifikasi penyebab
1. Asupan cairan hipervolemia
meningkat 3. Monitor status hemodinamik
19

2. Keluaran urin (mis. Frekuensi jantung,


meningkat tekanan darah
3. Edema 4. Monitor intake dan output
menurun cairan
4. Dehidrasi 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
menurun (mis. Kadar natrium, BUN,
5. Tekanan darah hematokrit, berat jenis urine)
membaik 6. Monitor tanda peningkatan
6. Membran tekanan onkotik plasma (mis.
mukosa Kadar protein dan albumin
membaik meningkat)
7. Turgor kulit 7. Monitor kecepatan infus secara
membaik ketat
8. Berat badan 8. Monitor efek samping diuretik
membaik (mis. Hipotensi ortortostatik,
hipovolemia, hipokalemia,
hiponatremia)
Terapeutik:
1. Timbang berat badan setiap
hari pada waktu yang sama
2. Batasi asupan cairan dan garam
3. Tinggikan kepala tempat tidur
(30-40°)
Edukasi:
1. Anjurkan melapor jika haluaran
urin >0,5 mL/kg/jam dalam 6
jam
2. Anjurkan melapor jika BB
bertambah >1 kg alam sehari
3. Ajarkan cara mengukur dan
mencatat asupan dan haluaran
cairan
20

4. Ajarkan cara membatasi cairan


Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian diuretik
2. Kolaborasi penggantian
kehilangan kalium akibat
diuretik
3. Kolaborasi pemberian
continuous renal replacement
therapy (CRRT), jika perlu

4. Penurunan Setelah dilakukan Perawatan Jantung


curah tindakan Observasi:
jantung b/d keperawatan 1. Identifikasi tanda/gejala primer
perubahan selama 3x24 jam penurunan curah jantung
kontraktilita diharapkan curah (meliputi dispnea, kelelahan,
s jantung meningkat edemaortopnea, proxyssmal
dengan kriteria nocturnal dispnea, peningkatan
hasil CVP)
1. Kekuatan nadi 2. Identifikasi tanda/gejala
perifer sekunder penurunan curah
meningkat jantung (meliputi peningkatan
2. Tekanan darah berat badan,
membaik hepatomegalidistensi vena
3. Edema jugularis, palpitasi, ronkhi
menurun basah, oliguria, batuk, kulit
4. Pucat/sianosis pucat)
menurun 3. Monitor tekanan darah
(termasuk tekanan darah
ortostatik, jika perlu)
4. Monitor intake dan output
cairan
5. Monitor berat badan setiap
21

haripada waktu yang sama


6. Monitor saturasi oksigen
7. Monitor keluhan nyeri dada
(mis. Intensitas, lokasi, radiasi,
durasi, presivitasi yang
mengurangi nyeri)
8. Monitor EKG 12 sadapan
9. Monitor aritmia (kelainan
irama dan frekuensi)
10. Monitor nilai laboratorium
jantung (mis. Elektrolit, enzim
jantung, BNP, Ntpro-BNP)
11. Monitor fungsi alat pacu
jantung
12. Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelumdan
sesudah aktivitas
13. Periksa tekanan darah dan
frekuensi nadi sebelum
pemberian obat (mis. Beta
blocker, ACE Inhibitor,
calcium channel blocker,
digoksin)
Terapeutik:
1. Posisikan pasien semi-fowler
atau fowler dengan kaki ke
bawah atau posisi nyaman
2. Berikan diet jantung yang
sesuai (mis. Batasi asupan
kafein, natrium, kolesterol, dan
makanan tinggi lemak)
3. Gunakan stocking elastis atau
22

pneumatik intermiten, sesuai


indikasi
4. Fasilitasi pasien dan keluarga
untuk modifikasi gaya hidup
sehat
5. Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi stres, jika perlu
6. Berikan dukungan emosional
dan spiritual
7. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen >94%
Edukasi:
1. Anjurkan beraktivitas fisik
sesuai toleransi
2. Anjurkan beraktivitas fisik
secara bertahap
3. Anjurkan berhenti merokok
4. Ajarkan pasien dan keluarga
mengukur berat badan harian
5. Ajarkan pasien dan keluarga
mengukur intake dan output
cairan harian
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
2. Rujuk ke program rehabilitasi
jantung
5. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Perawatan Diri:
menelan b.d tindakan Makan/Minum
abnormalita keperawatan Observasi:
s laring, selama 3x24 jam 1. Identifikasi diet yang
23

anomali diharapkan status dianjurkan


jalan napas menelan membaik 2. Monitor kemampuan menelan
atas dengan kriteria 3. Monitor hidrasi pasien, jika
hasil perlu
1. Mempertahank Terapeutik:
an makanan di 1. Ciptakan lingkungan yang
mulut menyenangkan selama makan
meningkat 2. Atur posisi yang nyaman untuk
2. Reflek menelan makan/minum
meningkat 3. Lakukan oral hygiene sebelum
3. Kemampuan makan, jika perlu
mengunyah 4. Letakkan makanan di sisi mata
meningkat yang sehat
4. Usaha menelan 5. Sediakan sedotan untuk
meningkat minum, sesuai kebutuhan
5. Muntah 6. Siapkan makanan dengan suhu
menurun yang meningkatkan nafsu
6. Produksi saliva makan
membaik 7. Sediakan makanan dan
7. Penerimaan minuman yang disukai
makanan 8. Barikan bantuan saat
membaik makan/minumsesuai tingkat
8. Kualitas suara kemandirian, jika perlu
membaik 9. Motivasi untuk makan di ruang
makan, jika tersedia
Edukasi:
1. Jelaskan posisi makanan pada
pasien yang mengalami
gangguan penglihatan dengan
menggunakanarah jarum jam
(mis. Sayur jam 12, rendang di
jam 3)
24

Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian obat
(mis. Analgesik, antiemetik),
sesuai indikasi

3. Implementasi
Menurut Nurarif & Kusuma (2015), Implementasi keperawatan
adalah merupakan fase dimana saat perawat mengimplementasikan
intervensi yang telah dibuat. Implementasi terdiri dari melakukan dan
mendokumentasikan tindakan yang keperawatan khusus yang diperlukan
untuk melakukan intervensi. Perencanaan yang telah disusun oleh perawat
lalu dilaksanakan kemudian diakhiri tahap implementasi dengan mencatat
tindakan keperawatan dan respon pasien terhadap tindakan yang telah
diberikan.
Implementasi Keperawatan yang diberikan kepada anak dengan difteri
yaitu:
Implementasi Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif
1. Mengidentifikasi kemampuan batuk
2. Memonitor adanya retensi sputum
3. Memonitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
4. Mengatur posisi semi-fowler atau fowler
5. Menjelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
6. Menganjurkan tarik napas alam melalui hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
7. Menganjurkan mengulangi tarik napas selama 3 kali
8. Menganjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam
yang ke-3
9. Mengkolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran
4. Evaluasi
25

Menurut Purba (2019), Untuk memudahkan perawat dalam


mengevaluasi atau memantau perkembangan klien, digunakan komponen
SOAP/SOAPIE/SOAPIER.
Pengertian SOAP yaitu :
S artinya data subjektif. Perawat dapat menuliskan keluhan pasien yang
masih dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O artinya data objektif. Data objektif yaitu data berdasarkan hasil
pengukuran atau hasil observasi perawat secara langsung pada klien dan
yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
A artinya analisis. Interpensi dari data subjektif dan data objektif. Analisis
merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi
atau juga dpat dituliskan masalah diagnostic baru yang terjadi akibat
perubahan status kesehatan klien yang telah terdentifikasi datanta dalam
data subjektif dan objektif.
P artinya planning. Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan,
dihentikan, dimodifikasi atau perencanaan yang ditambahkan dari rencana
tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.
Hasil evaluasi keperawatan dalam asuhan keperawatan yang diberikan
kepada anak dengan difteri yaitu:
S:
 Ibu pasien mengatakan anak sudah tidak sesak napas
 Ibu pasien mengatakan pasien sudah mampu batuk
O:
 RR: 24 x/menit
 Posisi anak semi-fowler
 Auskultasi napas tidak terdapat bunyi napas tambahan
 Anak terlihat tidak rewel
 Pasien tampak sudah dapat bicara seperti biasa
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai
dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan
pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Penyebab
penyakit difteri adalahCorynebacterium diphtheriaberbentuk batanggram
positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnyatidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Penyebaran penyakit ini melalui droplet (percikan ludah) dari batuk, muntah,
bersin, alat makan, dan kontak langsung dengan lesi kulit.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diajukan adalah pertama, pemerintah menjaga


dan meningkatkan koordinasi dengan WHO terkait dengan epidemik difteri ini
sehingga dapat menghasilkan sinegrisitas dan efektitas yang lebih baik lagi
bagi kedua belah pihak dalam menanggulangi epidemik difteri yang ada.

Kedua, WHO dan Pemerintah Indonesia harus bersama-sama


mengoptimalkan program imunisasi yang ada dengan terus mengembangkan
kebijakan kesehatan serta melakukan penelitian laboratorium mengenai tingkat
keefektivitasan vaksin dan juga ketahanan bakteri difteri terhadap vaksin agar
hasil imunisasi dapat maksimal.

Ketiga, WHO memberikan bantuan lebih kepada Indonesia dengan


mengetahui Indonesia sebagai negara dengan kasus difteri terparah di dunia
kedua setelah India.

Keempat, Pemerintah Indonesia melakukan kerjasama dengan negara-


negara lain yang tergabung di WHO untuk mengkaji dan membuat inovasi baru
dalam meningkatkan program imunisasi yang ada.

27
28

Kelima, WHO perlu mengadakan pengawasan lebih terhadap kasus difteri


yang ada serta mengevaluasi program imunisasi yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia.

Keenam, Pemerintah Indonesia dan WHO lebih melakukan pendekatan


berupa advokasi terhadap masyarakat untuk penyelarasan informasi terkait
dengan bahaya dari penyakit difteri dan program-program kesehatan yang ada.
Daftar Pustaka

https://eprints.umm.ac.id/67564/3/BAB%20II.pdf

Gaing, Itok (2019), “KONSEP DASAR ASKEP DIFTERI”, (online),


https://www.academia.edu/41859043/KONSEP_DASAR_ASKEP_DIF
TERI , diakses 10 Agustus 2022.

Windawati, Valerina, “ Askep Difteri”, (online),


https://www.academia.edu/10981621/askep_difteri , diakses 10 Agustus
2022

Saputra, M. A. S. 2018. “Difteri dalam Lingkup Asuhan Keperawatan”, (online)


https://www.academia.edu/38357236/Difteri_Dalam_Lingkup_Asuhan
_Keperawatan, diakses pada 10 Agustus 2022.

Marwaddah, Armi (2020), “UPAYA PERAWAT DALAM PENCEGAHAN


PENYAKIT MENULAR DIFTERI” (online), https://osf.io/zd4j9 ,
diakses 10 Agustus 2022

Nurarif, A.H., & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa dan Nanda NIC NOC Jilid I. Jogjakarta: Mediaction.

Ramadhani, dkk. 2020. “Makalah Keperawatan Anak Asuhan Keperawatan Pada


Difteri”.(Online),https://id.scribd.com/embeds/449932303/content?
start_page=1&view_mode=scroll&access_key=key-
fFexxf7r1bzEfWu3HKwf , diakses pada 10 Agustus 2022

29

Anda mungkin juga menyukai